Khudriyah - Revisi Makalah Islam Indonesia - IAT 3A

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH ISLAM INDONESIA


Intelektual Islam di Indonesia

Disusun oleh:
Khudriyah (19010887)
Dosen Pengampu: Pak Nurul Kholis

Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir


Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran
2019

1
A. Pendahuluan
Mencermati perkembangan pemikiran Islam kontemporer, setidaknya ada lima tren besar

yang dominan. Salah satunya, fundamentalistik, kelompok pemikiran yang sepenuhnya

percaya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan umat dan

manusia. Mereka ini dikenal sangat commited dengan aspek religius budaya Islam. Bagi

mereka, Islam sendiri telah cukup, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi sehingga

tidak butuh segala metode maupun teori-teori dari Barat. Garapan utama mereka adalah

menghidupkan Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan

kembali kepada sumber asli (al-Qur`an dan al-sunnah) dan menyerukan untuk mempraktekkan

ajaran Islam sebagaimana yang dipraktekkan Rasul dan khulafa al-râsyidîn. Sunnah-sunnah

Rasul harus dihidupkan dalam kehidupan modern dan itulah inti dari kebangkitan Islam.1.

Indonesia sebagai salah satu bagian dari kebudayaan melayu secara keseluruhan yang

berada di wilayah Asia Tenggara, menjadi salah satu daerah yang dipengaruhi oleh tradisi

intelektual Islam yang berkembang mulai dari abad ke-7 M yang digambarkan Sir Thomas

Arnold bahwa “tradisi ini masuk dengan pengaruh dari para pedagang yang berasal dari

Semenanjung Arab pada pertama dari Hijrah Nabi. Intelektualitas kaum muslim/Islam yang

dimulai abad 7 M, diperkenalkan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh

pedagang Persia, Gujarat (India) dan Arabia yang dilakukan di tempat para pedagang ini

tinggal. Tempat tinggal para pedagang yang memiliki fungsi ganda sebagi guru agama

(religious teachers), mengajarkan Islam sebagai sebuah ajaran yang mendekatkan pemeluknya

kepada ilmu pengetahuan di tempat yang dikenal pada saat ini sebagai “Pondok” yang

memiliki fungsi “to get religious advice2”.

Indonesia masih menjadi salah satu dunia Muslim yang mendapatkan perhatian dari para

peneliti dan akademisi. Satu karya yang muncul dan mewarnai kajian Islam Indonesia kali

adalah ditulis oleh seorang sarjana kebangsaan Belanda, Carrol Kersten, yang juga merupakan

seorang dosen senior di King’s College London dan juga peneliti pada School of Oriental and

African Studies (SOAS). Buku memaparkan dinamika perkembangan pemikiran intelektual dan

gerakan Islam Indonesia kontemporer yang didasarkan pada penelitian penulisanya selama

bertahun-tahun di Indonesia. Buku ini telah mengisi kekosongan atau lebih tepatnya

1
Drs. A. Khudori Soleh, M.Ag, “Pemikiran Islam Kontemporer”, Yogyakarta 2003.
2
Fabian Fadhly, “TRADISI INTELEKTUAL ISLAM DI INDONESIA ABAD VII-XXI M”, Universitas Sunan Gunung
Jati. Hlm. 30-31.

2
melengkapi literatur untuk kajian tentang sejarah intelektual Muslim Indonesia yang pada

tahun-tahun 1990an dan awal 2000an pernah ditulis oleh sarja-sarjana lainnya seperti Robert

W. Perkembangan inetelektualisme Islam Indonesia menunjukkan bahwa kaum Muslim pada

tahun 1980an dan 1990an telah merupaya mencurahkan enerji dan pemikirannya untuk

sebuah agenda pembaruan pemikiran Islam dalam konteks Islam dan kenegaraan maupun

Islam dan keindonesiaan. Memahami substansi pemikiran yang berkembang tentang Islam di

Indonesia dan merumuskan gagasan-gagasan oleh organisasi-organisasi keagamaan di

Indonesia, seperti gerakan pemikiran di kalangan muyda Muhammadiyah, NU, dan juga

gagasan-gagasan yang dirumuskan oleh MUI (Majelis Ulama Indoensia), Hizbut Tahrir, FPI dan

lain sebagainya3.
B. Sejarah Intelektual Islam
Di antara kebudayaan Islam Indonesia dalam bidang intelektual, barangkali, pemikiran

kalam (akidah) adalah yang paling susah ditelusuri. Hal ini disebabkanobjek akidah adalah

barang gaib, soal keimanan, pelakunya hati manusia. Ditambahlagi, perkembangan pemikiran

ini di Indonesia kurang membedakan antara akidah,syariah, dan tasawuf. Dalam praktiknya,

ketiga ilmu itu menyatu, hanya gelarnyayang tampak berbeda. Sumber ketiganya juga sama,

cuma penekanannya yang lain;kalau akidah af’al hati, syariah af’al tubuh lahiriyah, maka

tasawuf adalah penghayatan terhadap ibadah.Pemikiran kalam ini di Indonesia datang dan

berkembang bersamaan dengandatangnya Islam yang dibawa oleh pedagang berasal dari

Arab, Persi, dan keturunanArab Gujarat di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Mereka ada yang

berpaham Sunni dan Syi’ah. Pada mulanya kedua aliran tersebut berkembang hanya dalam

segiteologinya, lambat laun bergulat pada bidang politik. Hal ini terjadi ketika golongan Syi’ah

yang pernah menjadi kekuatan politik di Nusantara pada kerajaan Perlakdengan sultannya

Alauddin Maulana Ali Mughayat Syah (303-305 H/915-918 M),ditumbangkan oleh kelompok

Sunni dengan sultannya Mahdum Alauddin Abd.Qodir Johan (306-310 H/918-922 M). Dalam

kekalahan ini, orang Syi’ah mengadakan perlawanan. Puncaknya, pada masa Sultan Mahdum

Alauddin Abd.Malik Syah Johan Berdaulat (334-362 H/956-983 M), orang Syi’ah memaksakan

perdamaian dengan memecah kerajaan Perlak menjadi dua yaitu:

a. Perlak pesisir, dikuasai Syi’ah dengan sultannya Alauddin Sayid Maulana Syah.

3
Hilman Latief, “Wajah Islam Indonesia Kontemporer yang Terus Berhadap-hadapan”, dalam jurnal
Afkaruna. Vol. 12 No. 1 Juni 2016. Hlm. 136-136.

3
b. Perlak pedalaman, dikuasai Sunni dengan sultannya Mahdun Alauddin Malik Ibrahim Syah

Johan Berdaulat (365-402 H/986-1023 M).

Setelah sultan dari golongan Syi’ah wafat, sultan dari golongan Sunni berhasil menyatukan

Perlak. Hal ini berlanjut dengan dipersatukannya kerajaan Perlak dengan Samudra Pasai

dengan raja pertamanya Malik as-Saleh.


C. Tradisi Intelektual Islam di Indonesia
Tradisi intelektual Islam Indonesia dibangun bersamaan dengan Islam diturunkan ke dunia

melalui lisan Nabi Muhammad saw. Tradisi ini dalam perkembangnya memiliki corak yang

berbeda dalam tiap zaman peradaban yang telah berlangsung dalam Islam. Corak yang

berbeda itu terjadi mulai zaman klasik, zaman pertengahan dan dan zaman modern. Zaman

klasik memberikan sumbangan terhadap pengembangan keintelektualan dengan

menempatkan metode yang berkembang dalam pengajaran dan pendidikan yang

dipraktekkan mulai zaman Nabi Muhammad saw yaitu metode metode, tulisan, dan hafalan.

Metode ini menjadi cara mempengaruhi pengajaran dan pendidikan terhadap kaum muslim

pada zaman klasik di Indonesia dengan munculnya pondok dan/atau pesantren sebagai

contoh yang nyata dalam membina kaum muslim saat itu.

Zaman Pertengahan memiliki sumbangan terhadap munculnya institusiinstitusi yang

membantu dan mengembang tradisi intelektual Islam. Pengembangan ini dibentuk oleh

institusi yang dilembagakan melalui aliran-aliran teologi, sufisme, maupun mazhab yang telah

jauh berkembang dibandingkan dengan zaman klasik. Keberkembangan ini pun memberikan

pengaruh yang cukup besar terhadap tradisi intelektual Islam di Indonesia dengan dibuktikan

menguatnya aliran teologi (ilmu kalam) ahluu sunnah wa al-Jama’ah yang beraliran mazhab

Syafi’i, dengan tidak menafikan terdapatnya aliran dan pemikiran Syi’ah yang berkembang

bersamaan dengan aliran arus utama Islam di Indonesia pad saat itu.

Zaman Modern merupakan pergulatan tradis intelektual Islam Indonesia, yang melahirkan

dua kelompok kaum muda dan kaum tua. Kaum muda mengedepankan pentingnya

pembaharuan pemikiran dalam ranah pemahaman Islam, dengan metode mengembalikan

Islam pada tempatnya melalui pemahaman ajaran Islam yang menghilangkan sisi taqlid dan

memurnikan ajaran Islam dari tahayul, khurafat, bid’ah dan kembali kepada ajaran Islam

berdasarkan kepada al-Quran dan al-Hadits. Gerakan pembaharuan Islam ini dipelopori oleh

Syeih Ahmad Khatib yang kemudian melalui pengajaran yang dilakukannya melahirkan tokoh-

4
tokoh seperti Mohd. Tahir bin Djalaluddin, M. Djamil Djambek, Abdullah Ahmad, Abdul Karim

Amrullah (Hadji Rasul), M. Thaib Umar, Achmad Dachlan, dan Agus Salim4.
D. Tokoh Intelektual Islam

1. K.H Ahmad Dahlan

Dilahirkan pada tahun 1869 di Kauman Yogyakarta dengan nama Muhamad Darwis.

Ayahnya bernama Kiai Haji Abu Bakar bin Kiai Sulaiman, seorang khatib tetap di masjid

Sultan. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, adalah anak seorang penghulu di Kraton

Yogyakarta, Haji Ibrahim. Kauman adalah suatu tempat yang biasanya berada di sekitar

kraton atau kompleks penguasa seperti bupati, atau kepala daerah, yang dilengkapi

dengan alun-alun dan masjid besar. Penduduknya terkenal sangat taat beragama.8 KH.

Ahmad Dahlan berasal dari keluarga berpengaruh dan terkenal di lingkungan kesultanan

Yogyakarta, yang secara biografis silsilahnya dapat ditelusuri sampai pada Maulana Malik

Ibrahim.5

Silsilah KH. Ahmad Dahlan hingga Maulana Malik Ibrahim melalui 11 keturunan, yaitu

Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana Muhamad Fadlullah, Maulana Sulaiman,

Ki Ageng Giring (Jatinom), Demang Jurang Juru Sapisan, Demang Jurang Juru Kapindo, Kiai

Ilyas, Kiai Murtadha, Kiai Muhammad Sulaiman, Kiai Haji Abu Bakar dan KH. Ahmad

Dahlan.6 KH. Ahmad Dahlan mempunyai saudara sebanyak 7 orang, yaitu Nyai Ketib

Harum, Nyai Mukhsin atau Nyai Nur, Nyai Haji Saleh, Ahmad Dahlan, Nyai Abdurrahim,

Nyai Muhammad Pakin dan Basir. KH. Ahmad Dahlan pernah nikah dengan Nyai Abdullah,

janda dari H. Abdullah. Pernah juga nikah dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakir)

adik ajengan penghulu Cianjur, dan beliau juga pernah nikah dengan Nyai Solekhah putri

kanjeng Penghulu M. Syari’ adiknya kiai Yasin Paku Alam Yogyakarta. Dan terakhir KH.

Ahmad Dahlan nikah dengan Nyai Walidah binti Kiai penghulu Haji Fadhil (terkenal dengan

nama Nyai KH. Ahmad Dahlan) yang mendampinginya hingga beliau meninggal dunia.7

Latar belakang pendidikan KH. Ahmad Dahlan keluarganya memberikan pengaruh

yang besar dalam pendidikan awal KH. Ahmad Dahlan. Semenjak kecil, KH. Ahmad Dahlan

diasuh dan dididik sebagai putra kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar

4
Fabian Fadhly, “TRADISI INTELEKTUAL ISLAM DI INDONESIA ABAD VII-XXI M”, Universitas Sunan Gunung
Jati. Hlm. 40-41.

5
Putri Yuliasari, RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM KH. AHMAD DAHLAN DI ABAD 21, Jurnal As-
Salam, Vol V, No. 1, Th 2014, hlm. 49.
6
Ibid.
7
Ibid.,

5
membaca, menulis, mengaji al Quran dan kitab-kitab agama. KH. Ahmad Dahlan tidak

pernah mengenyam pendidikan formal di sekolahsekolah model pendidikan Belanda.

Malahan beliau mendapatkan pendidikan tradisional di Kauman Yogyakarta, di mana

ayahnya sendiri menjadi guru utamanya yang mengajarkan pelajaran-pelajaran dasar

mengenai agama Islam, seperti juga anak-anak kecil lain ketika itu. KH. Ahmad Dahlan

dikirim ke pesantren di Yogyakarta danpesantrenpesantren lain di beberapa tempat di

Jawa, di antaranya KH.Ahmad Dahlan belajar pelajaran nahwu kepada KH. Muhsin,

qiraatkepada syekh Amin dan sayyid Bakri, fiqih kepada KH. Muhamad Saleh,ilmu hadits

kepada KH. Mahfudz dan syekh Khayyat Sattokh, dan ilmu falak kepada KH. R. Dahlan.8

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di madrasah dan pesantren di Yogyakarta

dan sekitarnya, di saat usianya mencapai 22 tahun KH. Ahmad Dahlan berangkat ke

Mekkah untuk pertama kali pada tahun 1890. Selama setahun beliau belajar dan

memperdalam ilmu agama diMekkah. Dalam kesempatan tersebut, KH. Ahmad Dahlan

banyak belajar ilmu agama dari para ulama terkenal. Di antara gurunya adalah Sayyid Bakri

Syata’, salah seorang mufti Madzhab Syafi’i yang bermukim di Makkah. Bahkan Sayyid

Bakri Syata’-lah yang memberikan atau mengganti nama Muhammad Darwis menjadi

Ahmad Dahlan.9

Sekembalinya dari Mekkah dengan berbekal ilmu yang cukup, KH. Ahmad Dahlan

diangkat sebagai khatib di Masjid Agung Yogyakarta, menggantikan ayahnya. Ketika

berusia empat puluh tahun, 1909, KH. Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan

strategi dakwah; beliau memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, KH.

Ahmad Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.

Lebih dari itu, karena anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan

kantor-kantor pemerintah, KH. Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran

agama di sekolah-sekolah pemerintah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama yang

diberikan KH. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo.10

Pada 18 November 1912, KH. Ahmad Dahlan mendirikan perkumpulan

Muhammadiyah di Yogyakarta. Tujuan dari perkumpulan ini adalah menyebarkan

pengajaran Rasulullah kepada penduduk bumi putera dan memajukan hal agama Islam

kepada anggota-anggotanya. Untuk mencapai maksud ini, KH. Ahmad Dahlan bersama

8
Ibid.
9
Ibid., hlm. 50.
10
Ibid., hlm 51.

6
perkumpulan Muhamadiyah mendirikan lembaga pendidikan (tingkat dasar sampai

perguruan tinggi), mengadakan rapat-rapat, dan tabligh, mendirikan badan wakaf, dan

masjid, serta menerbitkan buku-buku, brosur, surat kabar dan majalah.11 Semangat dan

cita-cita pembaharuan KH. Ahmad Dahlan, kendati menghadapi berbagai kendala, namun

berhasil dihadapinya dengan arif dan bijaksana. Melalui kharismanya, akhirnya

perkumpulan Muhammadiyah menjadi sebuah organisasi Islam yang besar di

Indonesiadan telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pembangunan

peradaban umat.12

2. KH. Hasyim Asy’ari

KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul

Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul

Rahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah

bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan

sebutan Sunan Giri. Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim binti Halimah binti

Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran

Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng

(Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur

bapak, sedangkan yang kedua dari jalur ibu. Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai

Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau

bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar

2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang

merupakan salah satu dusun yang ada di desa Tambakrejo, Jombang13.

KH Hasyim Asyari merupakan sosok yang gemar menimba ilmu, dari kegemaran itu

beliau belajar kepada beberapa ulama pesantren, bahkan beliau juga belajar hingga ke

timur tengah. Latar belakangnya yang merupakan putra dari seorang ulama pesantren,

beliau pun dididik oleh ayahnya tentang kelimuan islam hingga usianya 13 tahun. Belum

puas dari ilmu yang didapat dari ayahnya, beliaupun melanjutkan belajarnya keluar rumah.

Awalnya, beliau belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren

Langitan (Tuban).

11
Ibid., hlm. 52.
12
Ibid.
13
Qona’atun Putri Rahayu, “Biografi Lengkap Hadratusy Syekh KH Hasyim Asyari”,
https://tebuireng.online/biografi-lengkap-kh-m-hasyim-asyari/ Diakses pada Minggu, 24 Januari 2021, 18:47.

7
Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke

Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan

(Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai

Hasyim melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai Ya’kub

dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas

intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai Hasyim mendalami berbagai bidang kajian

islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada Kiai Kholil. Sementara, di

bawah bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh, Adab, Tafsie

dan Hadits. Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk

berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan ibadah haji untuk kali

kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan

bin Hashim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin

Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal,

dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim

Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan

Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi multi di Makkah.

Pemikiran KH. Hasjim Asy'ari tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah adalah "ulama

dalam bidang tafsir Al-Qur'an, sunnah Rasul, dan fiqh yang tunduk pada tradisi Rasul dan

Khulafaur Rasyidin." beliau selanjutnya menyatakan bahwa sampai sekarang ulama

tersebut termasuk "mereka yang mengikuti mazhab Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali."

Doktrin ini diterapkan dalam NU yang menyatakan sebagai pengikut, penjaga dan

penyebar faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Ahl al-sunnah wa al-jama'ah dalam

pandangan KH. Hasjim Asy'ari tidak memiliki makna tunggal, tergantung perspektif yang

digunakan. Paling tidak terdapat dua perspektif yang digunakan untuk mendefinisikan Ahl

al-sunnah wa al-jama'ah, yaitu teologi dan fiqh. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut melalui

karya-karya K.H. Hasjim Asy'ari, maka sebenarnya dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu

Ahl al-sunnah wa al-jama'ah pada dasarnya lebih mengandaikan pola keberagaman

bermadzhab kepada generasi Muslim masa lalu yang cukup otoritatif secara religius.

8
E. Kesimpulan
Perkembangan inetelektualisme Islam Indonesia menunjukkan bahwa kaum Muslim pada

tahun 1980an dan 1990an telah merupaya mencurahkan enerji dan pemikirannya untuk

sebuah agenda pembaruan pemikiran Islam dalam konteks Islam dan kenegaraan maupun

Islam dan keindonesiaan. Memahami substansi pemikiran yang berkembang tentang Islam di

Indonesia dan merumuskan gagasan-gagasan oleh organisasi-organisasi keagamaan di

Indonesia, seperti gerakan pemikiran di kalangan muyda Muhammadiyah, NU, dan juga

gagasan-gagasan yang dirumuskan oleh MUI (Majelis Ulama Indoensia), Hizbut Tahrir, FPI dan

lain sebagainya.

Dalam makalah ini menjelaskan tokoh intelektual Islam di Indonesia yaitu K.H. Ahmad

Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari. K.H Ahmad Dahlan dilahirkan pada tahun 1869 di Kauman

Yogyakarta dengan nama Muhamad Darwis. Ayahnya bernama Kiai Haji Abu Bakar bin Kiai

Sulaiman, seorang khatib tetap di masjid Sultan. Sementara ibunya bernama Siti Aminah,

adalah anak seorang penghulu di Kraton Yogyakarta, Haji Ibrahim. Pada 18 November 1912,

KH. Ahmad Dahlan mendirikan perkumpulan Muhammadiyah di Yogyakarta. Tujuan dari

perkumpulan ini adalah menyebarkan pengajaran Rasulullah kepada penduduk bumi putera

dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya. Untuk mencapai maksud ini,

KH. Ahmad Dahlan bersama perkumpulan Muhamadiyah mendirikan lembaga pendidikan

(tingkat dasar sampai perguruan tinggi), mengadakan rapat-rapat, dan tabligh, mendirikan

badan wakaf, dan masjid, serta menerbitkan buku-buku, brosur, surat kabar dan majalah.

KH Hasyim Asyari. Yang mana merupakan pemikir kontemporer atau modern, dari

pemikirannya kelak akan menjadi aliran yang besar di Indonesia, yakni aliran ahlus sunnah wal

jamaah dan menjadi ormas besar Nahdlatul Ulama. Dalam makalah ini, akan membahas

tentang sejarah dan perkembangan pemikiran KH Hasyim Asyari, mulai dari sejarahnya, faktor

kemunculan pemikirannya hingga berdirinya Nahdlatul Ulama. Pemikiran KH. Hasjim Asy'ari

tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah adalah "ulama dalam bidang tafsir Al-Qur'an, sunnah

Rasul, dan fiqh yang tunduk pada tradisi Rasul dan Khulafaur Rasyidin." beliau selanjutnya

menyatakan bahwa sampai sekarang ulama tersebut termasuk "mereka yang mengikuti

mazhab Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali." Doktrin ini diterapkan dalam NU yang

menyatakan sebagai pengikut, penjaga dan penyebar faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Ahl

al-sunnah wa al-jama'ah dalam pandangan KH. Hasjim Asy'ari tidak memiliki makna tunggal,
tergantung perspektif yang digunakan. Paling tidak terdapat dua perspektif yang digunakan

9
untuk mendefinisikan Ahl al-sunnah wa al-jama'ah, yaitu teologi dan fiqh. Namun, jika

ditelusuri lebih lanjut melalui karya-karya K.H. Hasjim Asy'ari, maka sebenarnya dapat diambil

sebuah kesimpulan yaitu Ahl al-sunnah wa al-jama'ah pada dasarnya lebih mengandaikan pola

keberagaman bermadzhab kepada generasi Muslim masa lalu yang cukup otoritatif secara

religius.

10
Daftar Pustaka
Putri Rahayu, Qona’atun, “Biografi Lengkap Hadratusy Syekh KH Hasyim Asyari”,
https://tebuireng.online/biografi-lengkap-kh-m-hasyim-asyari/ Diakses pada Minggu, 24
Januari 2021, 18:47.
Drs. Soleh, A. Khudori M.Ag. “Pemikiran Islam Kontemporer”, Yogyakarta 2003.
Fadhly, Fabian. “TRADISI INTELEKTUAL ISLAM DI INDONESIA ABAD VII-XXI M”,

Universitas Sunan Gunung Jati.

Latief, Hilman. “Wajah Islam Indonesia Kontemporer yang Terus Berhadap-hadapan”,

dalam jurnal Afkaruna. Vol. 12 No. 1 Juni 2016.

Yuliasari, Putri. RELEVANSI KONSEP PENDIDIKAN ISLAM KH. AHMAD DAHLAN DI

ABAD 21, Jurnal As-Salam, Vol V, No. 1, Th 2014.

11

Anda mungkin juga menyukai