Makalah 6 Materi Wajib Hmi Mpo
Makalah 6 Materi Wajib Hmi Mpo
Makalah 6 Materi Wajib Hmi Mpo
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
Muhammad Iqbal Farabi
FAKULTAS : HUKUM UIR
BAB 1
AZAS
KEYAKINAN MUSLIM
Keyakinan merupakan dasar dari setiap gerak dan aktivitas hidup manusia. Tiap-tiap
sistem keyakinan memiliki konsepsi tersendiri dalam mengantarkan pengikutnya pada
pemahaman dan kepercayaan terhadap Tuhan. Pertama, sistem keyakinan empiris atau
ilmiah yang obyeknya didasarkan pada sesuatu yang nyata. Kelemahannya, sistem
keyakinan ini tidak dapat menjelaskan sisi di luar indrawi. Kedua, sistem keyakinan yang
didasarkan pada dokrin literal. Dalam sistem ini dinyatakan bahwa kebenaran adalah
sesuatu yang telah jadi secara sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya
terlebih dahulu (dokma). Dalam ajaran Islam tidak hanya diajarkan konsep keyakinan
empiris dan dokma. Islam mengajarkan konsepsi keyakinan yang disebut tauhid. Konsepsi
tauhid mengajarkan bahwa Allah SWT adalah Zat Yang Maha Esa, sebab dari segala sebab
dalam rantai kausalitas. Ajaran tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah (berupa
akal) yaitu suatu potensi ilmiah untuk memilah haq dan bathil (kebenaran dan kesalahan)
secara sadar.
Tuhan tak dapat diyakini keberadaannya lewat bantuan sistem keyakinan ilmiah.
Selain obyeknya, metodenya juga rapuh karena setiap teori yang diklaim sebagai kebenaran
baru sekaligus mengandung keraguan. Manusia tak dapat berpegang teguh pada prinsip
yang di dalamnya mengandung kebenaran dan keraguan sekaligus, karena hal itu bukan
keyakinan, melainkan persangkaan saja. Al Qur’an menegaskan bahwa persangkaan tak
dapat mengantarkan manusia pada kebenaran. Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan
pada doktrin literal. Sistem ini dapat ditemukan dalam semua agama. Pada dasarnya, sistem
keyakinan literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai sarana verifikasi kebenaran.
Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang sudah jadi secara sempurna dan harus diterima
tanpa perlu menyadarinya terlebih dahulu. Akibat sistem keyakinan literal, manusia
potensial melarikan diri dari kenyataan dan tantangan zaman setelah terlanjur mendikotomi
antara doktrin ketundukan pada ayat suci dengan peran- peran peradaban manusia.
Termasuk dalam kategori ini adalah keyakinan yang didasarkan pada kebiasaan budaya yang
diwarisi dari nenek moyang yang tidak sesuai dengan petunjuk Tuhan. Islam mengajarkan
sistem keyakinan yang disebut Tauhid. Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas
karena cara pandangnya terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem
keyakinan yang mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab dari segala
sebab dalam rantai kausalitas. Ajaran Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah
yaitu suatu potensi alamiah berupa akal sebagai bekal untuk memilih sikap yang . paling
tepat serta untuk mengenali dan memverifikasi kebenaran dan kesalahan (haq dan bathil)
secara sadar. Manusia meyakini Tuhan dengan metode yang berbeda-beda. Kandungan Al
Qur’an yang amat penting terletak pada misi dan seruan kepada manusia untuk beriman,
beribadah serta beramar ma’ruf nahi mungkar. Al Qur’an juga dinyatakan sebagai kitab yang
memberi petunjuk, pembeda, pengingat, pembawa berita gembira, pembawa syari’at yang
lurus dan pedoman bagi manusia. Al Qur’an diklaim bahwa dirinya adalah kitab yang
membawa misi pembebasan bagi manusia dari kegelapan menuju cahaya.Itulah sebabnya
manusia diperintah Allah agar menerima Al Qur’an tanpa keraguan. Kandungan Al Qur’an
tidak hanya memuat ajaran tauhid dan peribadatan, tetapi Al Qur’an juga memberikan
persepsi tentang masalah-masalah kosmologi, sejarah, fenomena sosial, membicarakan
suatu entitas tertentu secara mondial, misalnya tentang langit dan bumi dengan detail atau
rinci. Kelengkapan Al Qur’an ini diimbangi dengan seruan Allah pada manusia agar hati dan
akalnya senantiasa dimanfaatkan dalam segala hal dan digunakan untuk memikirkan
permasalahan intelektual. Al Qur’an menunjukkan kelengkapan ajaran dan misi yang
diperuntukan bagi manusia, sehingga Allah berkenan menurunkan sejarah kenabian dan
kerasulan di dalamnya, berikut dengan konsekuensi penerimaan dan penolakannya. Semua
nabi menyampaikan ajaran tauhid tanpa pemaksaan, namun dengan penyampaian,
pengajaran dan peringatan, serta memberikan janji tentang kesucian diri kepada manusia.
Keyakinan akan bimbingan oleh para nabi disebut dengan doktrin kenabian. Kenabian ini
amat penting karena dalam kenyataan hidupnya, manusia ternyata tidak senantiasa mampu
menjaga dan mengembangkan jati diri untuk kembali kepada fitrahnya secara mandiri,
bahkan tidak jarang manusia tenggelam dalam noda dan dosa serta kekafiran. Penyampai
risalah yang memiliki otoritas sebagai uswatun hasanah, harus menyampaikan risalahnya
kepada manusia secara langsung agar dapat dipraktekkan di kehidupan manusia. Perilaku
kehidupan manusia yang diridhoi Allah SWT diajarkan oleh Islam dalam konsep kesaksian
syahadah rasulnya. Maka kedudukan nabi, rasul dan Muhammad sebagai penutupnya tidak
cuma penyampai risalah dan menjadi uswatun hasanah, akan tetapi juga sebagai acuan dan
sumber syari’ah setelah wahyu. Pada realitas sosial, selain mengajarkan risalah, setiap rasul
terutama Muhammad SAW juga memimpin dan mendidik umatnya, dan dalam keadaan
tertentu juga menjadi panglima perang. Kehadiran dan peran ini memiliki kesamaan misi,
yakni menyelamatkan dan membebaskan manusia dari kehancuran dan dari api neraka,
serta mengajaknya pada kehidupan yang sejahtera dunia akhirat. Kompleksitas peran dan
kedudukan nabi menunjukkan bahwa persoalan agama bukanlah sebatas rohani, spiritual,
etika dan keakhiratan belaka, tetapi meliputi semua kehidupan manusia. Salah satu misi
adalah untuk mengembangkan “kejatidirian” manusia dengan benar, terletak pada
pandangan dan penjelasan Al Qur’an tentang alam semesta. Menurut Al Qur’an,
keberadaan alam semesta juga karena diciptakan. Proses penciptaan itu sendiri berjalan
secara evolutif dalam enam masa.10 Alam diciptakan Allah SWT dalam keadaan seimbang
dan tanpa cacat.Alam semesta secara pasif adalah muslim. Keberadaannya sebagai bukti
kekuasaan dan keberadaan Allah SWT. Karena itu manusia jangan terperosok ke dalam
penyembahan terhadap alam, dan melupakan Tuhan karena interaksinya yang keliru
terhadap alam. Alam semesta ini diciptakan Allah SWT untuk manusia dan menjadi
pelajaran baginya. Manusia berhak mengelola dan memanfaatkannya guna memenuhi
kebutuhan dan untuk mencapai tujuan hidupnya. Tetapi sebaiknya, manusia dilarang meng-
eksploitasi dan merusaknya sehingga segala akibatnya akan diderita oleh manusia. Agar
manusia dapat memperoleh pelajaran, maka alam juga dilengkapi dengan ukuran atau
qadar dan hukum- hukum tertentu yang disebut sunnatullah. Sunnatullah pada alam
semesta bersifat tetap, dapat diamati dan Oleh karena itu jika manusia secara serius mau
memperhatikan alam dengan mengi- kuti petunjuk kitab suci dan nabinya serta
mendayagunakan secara maksimal akal budinya maka ia akan dapat memperkirakan
perjalanan alam dan selanjutnya menguasainya secara proporsional. Dari sinilah sejarah
hidup manusia dan masa depannya diuji Apakah dengan diturunkannya risalah universal itu
manusia dengan sadar mengikutinya yang berarti muslim atau menempuh jalan lain yang
berarti kafir atau munafik. Setiap pilihan manusia membawa konsekuensi di dunia maupun
di akherat. Konsekuensi di akherat akan menjadi tanggungan bagi dirinya sendiri. Suatu
masa ketika setiap manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya
disebut hari kiamat atau hari pembalasan. Pada hari itu semua amal manusia akan dihisab
atau dihitung dan ditimbang baik dan buruknya. Akhirnya, sebagai konsekuensi amal
perbuatannya, apabila kebajikannya lebih banyak, akan menjahli surga atau sebaliknya
menjadi ahli neraka.
2.WAWASAN ILMU
Al Qur’an merupakan sumber nilai yang mampu berdialog dengan seluruh problem
kehidupan manusia, sehingga banyak ayat Al Qur’an meminta perhatian manusia agar hati
dan akalnya senantiasa dimanfaatkan dalam segala hal. Hal ini karena manusia memiliki
fuad (hati dan akal) serta panca indra yang melahirkan keyakinan, perasaan, pandangan
hidup, pikiran dan lingkungan pergaulan. Maka, manusia akan memperoleh kebenaran jika
cara berfikirnya diletakkan di bawah iman dengan Al Qur’an sebagai informasi awal
pengetahuan. Salah satu sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan masyarakat (menurut
Al Qur’an) adalah bahwa masyarakat akan mengalami kejayaan (mencapai puncak
peradaban) jika mayarakat tersebut mengikuti “dienul Islam” yang sejalan dengan fitrah
manusia, memiliki kesadaran akan hakikat keberadaan dirinya akan dirinya dimata Allah,
dan memperjuangkannya dengan kesungguhan. Masyarakat akan hancur jika mengikuti
hawa nafsu dengan menjadikan dirinya sebagai sumber nilai dan tujuan kehidupan. Karena
hawa nafsu menyuruh manusia berbuat kejahatan. Oleh karena itu masyarakat yang hanya
mengikuti hawa nafsu, keinginan tak terbatas untuk menjadikan manusia sebagai pusat
orientasi kehidupan, termasuk ciri utama masyarakat yang dzalim. Dalam perspektif sejarah,
masyarakat yang dzalim pasti mengalami kehancuran. Proses kehancurannya ditandai
dengan krisis keyakinan dan moral serta munculnya pemuka masyarakat, baik dalam
kekuasaan, kekayaan maupun ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memimpin dengan
melampaui batas, dan baru kemudian lahir generasi pengganti sebagai pemimpin (khalifah)
yang juga masih akan diuji bagaimana cara kerja mereka. Adapun jenis pengetahuan yang
lain merupakan ikhtiar manusia dalam memahami Tuhannya. Hal itu tidak mungkin dicapai
kecuali memahami sifat-sifat-Nya melalui Al Qur’an dan sunnah rasul. Jika semata-mata
manusia mendasarkan rasio, niscaya tidak mungkin mencapai pengetahuan tentang Tuhan
yang sebenarnya, bahkan tersesat jauh dari kebenaran.Penerimaan manusia terhadap
otoritas Al Qur’an dan sunnah rasul sebagai referensi akan memberikan bekal bagi akal
untuk proses pemerkayaan dan pembentukan pola berfikir yang Islami. Hal ini terjadi karena
Al-Qur’an memiliki keragaman tema pembahasan terhadap berbagai masalah, alur logika,
semangat dan metodologi yang komprehensif. Dalam kerangka referensi inilah, manusia
mempunyai peluang untuk berhasil mengantisipasi problematika kehidupan, keilmuan serta
memastikan bentuk epistemologinya secara komprehensif pula, berdasarkan prinsip-prinsip
tauhid. Satu pihak, ilmu merupakan rangkaian kegiatan progresif yang dilakukan dengan
sistem dan metode tertentu melalui usaha akal budi dalam memahami Tuhan, manusia dan
alam. Dilain . pihak, tujuan ilmu adalah kebenaran, dimana sumber nilai kebenaran asasi dan
hakiki adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Maka pandangan tentang Tuhan, manusia dan alam
harus bertitik tolak dari Dien al-Islam dalam prinsip-prinsip Tauhid. Ilmu hanya untuk
mencapai kebahagian dunia akherat, sehingga semakin tinggi ilmu manusia, meninggi pula
tingkat ketaqwaannya. Merekalah yang derajat dan kemuliaannya ditinggikan di sisi Allah.
Akibatnya struktur ilmu dalam pandangan Islam secara epistemik berbeda dengan ilmu atau
(sains) yang dibangun berdasarkan ideologi non Islam. Pada perspektif Islam, ilmu dibangun
atas dasar keyakinan tauhid, kemudian diturunkan dan dikembangkan berbagai asumsi teori
dasar, penalaran ilmiah, disiplin ilmu dan teknologi. Sedangkan khasanah kon- vensional,
ilmu tidak dibangun berdasarkan keyakinan agamawi, bahkan terpisah sama sekali.
Perbedaan itu membawa implikasi besar. Pada khasanah konvensional, ilmu biasanya
diverifikasi (ditashih) hanya sebatas empirik dan logis saja. Akibatnya hal-hal yang tidak
dapat diverifikasi secara empiris dan logis, dianggap di luar kategori ilmiah. Sedangkan
dalam pandangan Islam untuk memverifikasi atau mentashih, tidak hanya bersifat empirik
dan logis tetapi juga normatif, yakni berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah. Akhirnya banyak
hal-hal keilmuan yang tidak dapat diverifikasi secara empirik dan logis, dapat diverifikasi
secara langsung berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Islam menyatakan bahwa ilmu
merupakan kesatuan pengetahuan tentang Tuhan, alam dan manusia, sehingga melahirkan
spektrum yang sangat luas yaitu Tauhid, kealaman, dan sosial yang kemudian melahirkan
cabang-cabang ilmu lainnya. Pada pandangan umum, ilmu terbagi menjadi ilmu agama,
sosial dan alam. Kategori ini secara filosofis sekuler, karena agama adalah urusan akherat
atau pribadi saja, tidak merangkum seluruh kenyataan sosial. Sedangkan ilmu sosial dan
alam adalah urusan dunia yang terlepas dari kehidupan beragama. Padahal alam semesta ini
sebuah kesatuan yang membentuk ilmu dalam satu kesatuan pula, dimana cabangcabang
ilmu harus dilihat sebagai hubungan yang saling bergantung. Akhir kata kesemuanya
mengacu pada kata kunci bahwa Allah sebagai sumber kebenaran, memerintahkan manusia
mempelajari alam dengan segala petunjukNya. Namun untuk memahaminya, manusia harus
belajar dengan akal budi. Manusia akan mencapai puncak perkembangan diri dan
masyarakatnya melalui landasan iman yang kuat dan disertai dengan penguasaan ilmu
pengetahuan dalam perspektif Al Qur’an dan As sunnah. Dengan demikian Kesesatan
pencarian kebenaranpun akan berakhir.
3.WAWASAN SOSIAL
Wawasan sosial merupakan pengetahuan ataupun ilmu yang ada dalam ide ataupun
yang pernah terjadi. Ada yang membagi dimensi wawasan sosial ini kedalam
dimensi private dan publik. Artinya, ada yang meyakini aspek individu yang utama (primer).
Anggapan ini di satu sisi menimbulkan sikap apatis dan di sisi lain menyebabkan munculnya
keserakahan yang berujung pada eksploitasi atas orang lain. Ada pula keyakinan yang
menemukan keutamaan aspek sosial. Pandangan ini mengakibatkan terabaikannya kepentingan
pribadi (individu). Selain itu, juga dapat menyebabkan kediktatoran yang memaksa tatanan
sosial sesuai dengan kemauannya. Jika kedua aspek ini terjadi, maka dapat mengakibatkan
kematian sosial sehingga apatis menjadi wajar.
Islam menolak kedua aspek di atas. Juga menolak ungkapan, ‘manusia dapat hidup tanpa
orang lain’ dan ‘manusia membutuhkan orang lain’. Islam memandang kemasyarakatan
merupakan ciri yang tak dapat dipisahkan dari kepribadian manusia. Manusia memiliki hak
dan kewajiban individu (pribadi) dan sosial (bersama) yang merupakan satu kesatuan.
Islam memandang bahwa seorang manusia memiliki hak-hak pribadi yang harus
dihormati. Individu yang bersangkutan juga bertanggung jawab untuk memenuhi
kepentingannya, baik yang bersifat material untuk kebahagiaan di dunia hingga yang
menyangkut keselamatan dan kebahagiaannya di akhirat. Namun, pada saat yang sama
manusia bertanggung jawab mewujudkan kepentingan bersama. Masyarakat dalam
pandangan Islam memiliki jiwa sebagaimana individu memiliki jiwa juga. Perbedaan jiwa
kemasyarakatanlah yang membuat suatu perbedaan antara kaum yang satu dengan kaum
yang lain. Jiwa kemasyarakatan yang lemah akan menyebabkan lemahnya sistem kehidupan
dan hilangnya kehormatan warga masyarakat atau suatu kaum. Problematika ini dikenal
dengan kematian sosial38 yang selalu diawali dengan munculnya penyakit-penyakit sosial.
Tiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga kehormatan dan harga diri
masyarakatnya sehingga terhindar dari kematian sosial. . Kematian sosial biasanya dimulai
dan ditandai oleh sebuah sikap saling tidak peduli satu dengan yang lainnya yang kemudian
menjadi suatu kewajaran dalam sistem masyarakat. Inilah awal kematian sosial. Sikap saling
tidak peduli akan memperbanyak orang yang menindas diantara sesamanya. Pada awalnya
penindasan cuma sebuah noktah ditengah lautan, namun ketidakpedulian membuatnya
menjadi samudera kehidupan, ketidak pedulian membuat penindasan menjadi sistem
masyarakat. Tak ada lagi yang mampu mencegahnya kecuali kehancuran masyarakat itu
sendiri. Allah SWT mengecam sikap-sikap yang melemahkan jiwa kemasyarakatan. Sikap
seperti ini dsetarakan dengan “kemurtadan”. Allah SWT akan menghapus kehormatan,
bahkan eksistensi suatu masyarakat itu lalu menggantikannya dengan kaum yang baru.
Kaum baru ini adalah kaum yang dicintai dan mencintai Allah SWT, bersikap lemah lembut
terhadap orang beriman, bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, berjihad dijalan Allah
dan tidak takut terhadap celaan para pencela. Kaum baru ini memiliki jiwa yang kuat,
memiliki inspirasi sosial untuk melahirkan karya peradaban. Kaum baru ini adalah kaum
yang hidup atas dasar konsep tauhid yang hanya dapat dikembangkan oleh diri-diri yang
bertaqwa. Inilah yang disebut dengan masyarakat yang “hidup”. Masyarakat ini tidak
memiliki penyakit sosial yang bernama ketidakpedulian diantara sesamanya. Sikap saling
menjaga akan mencegah penindasan meluas karya peradaban umat terus terlahirkan.
Konsepsi mengenai masyarakat diatas tak dapat lepas dari konsepsi tentang manusia.
Kegagalan dalam memahami manusia akan menyebabkan kegagalan yang sama dalam
memahami masyarakat, serta kekeliruan dalam memperlakukannya. Manusia merupakan
puncak kesempurnaan penciptaan. Di antara seluruh makhluk, manusialah yang dianugerahi
keutamaan untuk memiliki “unsur ilahiyah” yakni perwujudan ruh Tuhan, yang kelak akan
menjadi modal baginya untuk berakhlak berdasarkan sifat-sifat Tuhan. Manusia tidak dapat
diukur hanya dari sisi materialnya seperti anggapan kaum materialis, demikian juga tidak
hanya dari sisi non- materialnya seperti anggapan kaum batiniyah. Itu sebabnya, manusia
disebut sebagai sebaik-baik ciptaan.Manusia memiliki kehendak bebas dan kemerdekaan
memilih dalam rangka menentukan nasib masa depannya. Allah SWT mengaruniakan
kesanggupan merancang sejarah masa depannya hingga hari akhir saat menghadapkan
dirinya pada hari pembalasan. Pada fitrah sebaik-baiknya ciptaan ini bukan berarti manusia
adalah makhluk super dan bukan pula penguasa yang berhak mengeksploitasi :. makhluk
lainnya.Hal ini Karena konsep kemanusiaan bukanlah penegasian makhluk lain. Sehingga
kematian satu makhluk merupakan kematian sebagian sisi manusia itu sendiri. Pada sebaik-
baiknya ciptaan tersebut pula, Allah SWT menciptakan manusia dan alamnya dengan
karakter-karakter yang mandiri, dan tak satupun yang persis serupa adanya. Akibatnya
dalam interaksi akan selalu ditemui keberagaman. Kenyataan keberagaman manusia, dari
individu, suku, bangsa atau kaum merupakan kehendak bijak Allah SWT untuk mendidik
manusia membangun interaksi sosial dalam kerangka ketaqwaan. Islam memandang bahwa
seorang manusia memiliki hak-hak pribadi yang harus dihormati. Individu yang
bersangkutan juga bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingannya, baik yang bersifat
material untuk kebahagiaan di dunia hingga yang menyangkut keselamatan dan
kebahagiaannya di akhirat. Namun, pada saat yang sama manusia bertanggung jawab
mewujudkan kepentingan bersama. Masyarakat dalam pandangan Islam memiliki jiwa
sebagaimana individu memiliki jiwa juga. Perbedaan jiwa kemasyarakatanlah yang membuat
suatu perbedaan antara kaum yang satu dengan kaum yang lain. Jiwa kemasyarakatan yang
lemah akan menyebabkan lemahnya sistem kehidupan dan hilangnya kehormatan warga
masyarakat atau suatu kaum. Problematika ini dikenal dengan kematian sosial38 yang selalu
diawali dengan munculnya penyakit-penyakit sosial. Tiap anggota masyarakat bertanggung
jawab untuk menjaga kehormatan dan harga diri masyarakatnya sehingga terhindar dari
kematian sosial. . Kematian sosial biasanya dimulai dan ditandai oleh sebuah sikap saling
tidak peduli satu dengan yang lainnya yang kemudian menjadi suatu kewajaran dalam
sistem masyarakat. Inilah awal kematian sosial. Sikap saling tidak peduli akan
memperbanyak orang yang menindas diantara sesamanya. Pada awalnya penindasan cuma
sebuah noktah ditengah lautan, namun ketidakpedulian membuatnya menjadi samudera
kehidupan, ketidak pedulian membuat penindasan menjadi sistem masyarakat. Tak ada lagi
yang mampu mencegahnya kecuali kehancuran masyarakat itu sendiri.Allah SWT mengecam
sikap-sikap yang melemahkan jiwa kemasyarakatan. Sikap seperti ini dsetarakan dengan
“kemurtadan”. Allah SWT akan menghapus kehormatan, bahkan eksistensi suatu
masyarakat itu lalu menggantikannya dengan kaum yang baru. Kaum baru ini adalah kaum
yang dicintai dan mencintai Allah SWT, bersikap lemah lembut terhadap orang beriman,
bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, berjihad dijalan Allah dan tidak takut terhadap
celaan para pencela. Kaum baru ini memiliki jiwa yang kuat, memiliki inspirasi sosial untuk
melahirkan karya peradaban. Kaum baru ini adalah kaum yang hidup atas dasar konsep
tauhid yang hanya dapat dikembangkan oleh diri-diri yang bertaqwa.41 Inilah yang disebut
dengan masyarakat yang “hidup”. Masyarakat ini tidak memiliki penyakit sosial yang
bernama ketidakpedulian diantara sesamanya. Sikap saling menjaga akan mencegah
penindasan meluas karya peradaban umat terus terlahirkan. Konsepsi mengenai masyarakat
diatas tak dapat lepas dari konsepsi tentang manusia. Kegagalan dalam memahami manusia
akan menyebabkan kegagalan yang sama dalam memahami masyarakat, serta kekeliruan
dalam memperlakukannya. Manusia merupakan puncak kesempurnaan penciptaan. Di
antara seluruh makhluk, manusialah yang dianugerahi keutamaan untuk memiliki “unsur
ilahiyah” yakni perwujudan ruh Tuhan, yang kelak akan menjadi modal baginya untuk
berakhlak berdasarkan sifat-sifat Tuhan. Manusia tidak dapat diukur hanya dari sisi
materialnya seperti anggapan kaum materialis, demikian juga tidak hanya dari sisi non-
materialnya seperti anggapan kaum batiniyah. Itu sebabnya, manusia disebut sebagai
sebaik-baik ciptaan.Manusia memiliki kehendak bebas dan kemerdekaan memilih dalam
rangka menentukan nasib masa depannya. Allah SWT mengaruniakan kesanggupan
merancang sejarah masa depannya hingga hari akhir saat menghadapkan dirinya pada hari
pembalasan. Pada fitrah sebaik-baiknya ciptaan ini bukan berarti manusia adalah makhluk
super dan bukan pula penguasa yang berhak mengeksploitasi . makhluk lainnya.Hal ini
Karena konsep kemanusiaan bukanlah penegasian makhluk lain. Sehingga kematian satu
makhluk merupakan kematian sebagian sisi manusia itu sendiri. Pada sebaik-baiknya ciptaan
tersebut pula, Allah SWT menciptakan manusia dan alamnya dengan karakter-karakter yang
mandiri, dan tak satupun yang persis serupa adanya. Akibatnya dalam interaksi akan selalu
ditemui keberagaman. Kenyataan keberagaman manusia, dari individu, suku, bangsa atau
kaum merupakan kehendak bijak Allah SWT untuk mendidik manusia membangun interaksi
sosial dalam kerangka ketaqwaan.
4. Kepemimpina
Pemimpin memiliki arti orang yang mampu mempengaruhi orang lain. Dengan
dimuatnya konotasi ‘ke’ di depannya maka memuat arti memiliki tujuan. Islam memandang
bahwa hubungan masyarakat bukanlah hubungan antara individu dengan masyarakat yang
saling bertentangan, menindas, dan eksploitatif. Individu dan masyarakat terikat dalam sistem
yang sama. Memiliki orientasi dalam sistem yang sama lewat pola kerja yang beragam, dari
sini muncul istilah Islam bersaudara. Dalam Islam dikenal istilah rahmatan lil ‘alamin, dimana
kehadiran seorang muslim adalah sebagai nikmat, bukan bencana. Kepemimpinan bukan alat
yang untuk diperebutkan. Kepemimpinan adalah untuk membangun tatanan masyarakat yang
diridhoi Allah SWT. Pemimpin bertanggungjawab terhadap diri sendiri dan orang banyak.
sistem kepemimpinan juga harus mampu menjamin adanya aturan atas pengakuan
“hak milik” dengan pola distribusinya. Salah satu aturannya adalah adanya hak sang fakir
miskin. Sistem kepemimpinan harus mampu menjamin pemenuhan hak bagi fakir-miskin dari
harta orang-orang kaya. Muaranya sistem kepemimpinan mampu melahirkan interaksi
ekonomi yang tidak mengarah kepada akumulasi kekayaan disatu pihak yang mengakibatkan
penderitaan dipihak lainnya.60 Pada konteks Individu, Al Qur’an mengatur kualifikasi khalifah.
Prinsip utama kualifikasinya adalah pada tingkat keimanan sang makhluk. Sebagaimana
diserukan oleh Allah SWT kepada sekalian mu’min untuk taat kepada Allah SWT, dan rasul-
NYA serta ulil amri diantara para mu’min tersebut.Berarti, secara tegas kepemimpinan orang-
orang yang ingkar ditolak. Prinsip ini sekaligus mengikat bai’at yang seharusnya dilakukan
setiap mu’min, untuk tidak memilih walinya dari orang-orang yang membuat agama (Islam)
menjadi buah permainan dan ejekan, yakni dari kalangan ahli kitab dan orang-orang
kafir.Kualifikasi berikutnya terletak pada tingkat kearifan seseorang, baik dalam urusan
syari’ah, ilmu pengetahuan, politik dan aspek kehidupan lainnya. Karena itu seorang khalifah
atau imam, haruslah memiliki kualitas ulil albab, dan mewarisi sifat-sifat nabi, yakni berbudi
pekerti yang agung.Keberadaan sistem kepemimpinan dalam masyarakat juga harus mampu
melahirkan sosok pemimpin yang berkualifikasi tersebut diatas. Ketidakmampuan dalam
melahirkan sosok pemimpin yang pantas akan berimbas pada kehancuran masyarakat itu
sendiri. Mulai dari jiwanya sampai dengan peradabannya. Tentu saja individu-individu yang
mukmin yang dapat memenuhi kualifikasi itu. Karena ia akan mampu
mempertanggungjawabkan perannya sebagai khalifah dalam konteks dirinya dan dalam
konteks lingkungannya dihadapan Allah SWT. Meluasnya tanggungjawab kepemimpinan ini
juga mengakibatkan bertambahnya tanggungjawab yang harus dipikul seorang umat yang
beriman dihadapan Allah SWT. Ia tidak hanya akan ditanya bagaimana ia menghidupi dirinya
namun juga ditanya bagaimana ia menghidupi umat yang dipimpinnya.65
Pertanggungjawaban ini mencerminkan bahwa pemimpin lebih memiliki kemungkinan lebih
besar untuk terjerumus kedalam neraka jahanam kelak, sehingga menjaga pemimpin-
pemimpin yang telah kita beri amanah menjadi kewajiban mutlak bagi tiap manusia.
Kepemimpinan Islam sebagai instrumen kelembagaan, dalam kenyatannya, mempunyai tugas
yang sama dengan tugas-tugas setiap mu’min yakni amar ma’ruf nahi munkar. Dengan
demikian, antara intitusi kekhalifahan dengan individu-individu mu’min adalah koheren
dalam mengemban tugas-tugas keumatan. Oleh karena itu keberadaan kepemimpinan Islam,
bagi umatnya merupakan interpedensi dan koeksistensi. Hal ini menjadi citra utama
keberadaan jama’ah dan kekhalifahan Islam yang par excelent sempurna, yang
termanifestasikan pada masa. nabi muhammad SAW. Demikian juga seharusnya bagi umat
Islam dewasa ini sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
5.ETOS PERJUANGAN
Etos berarti semangat yang dalam Islam merupakan cerminan gerak iman seorang
muslim. Iman yang bukan hanya seberapa banyak sholat dikerjakan, bukan seberapa banyak
zakat yang dikeluarkan, haji yang ditunaikan, dan puasa yang dijalankan. Namun, seberapa
lama dan kuat berjuang (istiqamah) mewujudkan kebenaran dalam masyarakat [Q.S. 5 : 35].
Perjuangan seorang muslim dimulai dari lahir hingga mati, dari lingkungan dirinya hingga
masyarakat. Perjuangan merupakan peningkatan kualitas iman yang membentuk jati diri
seorang muslim. Kegagalan dalam perjuangan bukanlah titik kehinaan dalam keimanan
seseorang. Dan keberhasilan bukanlah titik kemuliaaEtos perjuangan yang harus dimiliki tiap
muslim merupakan cerminan gerak iman seorang muslim tersebut. Iman tidak hanya diukur
atas berapa banyak shalat yang ia kerjakan, atau berapa banyak zakat yang ia keluarkan atau
berapa lama puasa yang ia lakukan dan berapa banyak ibadah haji yang ia tunaikan Namun
iman juga diukur dengan seberapa lama dan seberapa kuat manusia berjuang mewujudkan
kebenaran dalam masyarakat demi kemaslahatan :. umat manusia. Keistiqomahan berjuang
ini menjadi ukuran kemuliaan iman karena menunjukan tingkat keyakinan diri manusia atas
kebenaran keilahian itu sendiri . Pada intinya perjuangan dalam hidup seorang muslim
merupakan suatu proses peningkatan kualitas akan iman yang membentuk jati diri muslim
seutuhnya. Oleh sebab itu perjuangan pada seorang muslim harus merupakan sebuah
pilihan sadar atas dasar keimanan, bukan sebuah tuntutan yang lahir dari luar dirinya.
Dikatakan sebagai pilihan sadar jika ia telah memenuhi dua syarat yaitu “berkehendak dan
terlibat”. Ini artinya seseorang tidak dapat mengaku berjuang atas dasar pilihan sadar dari
dirinya sendiri jika dalam memulai perjuangannya dilakukan atas dasar perintah atau
paksaan orang lain (bukan kehendak diri). Seseorang juga tidak dapat mengaku berjuang
atas dasar pilihan sadar dari dirinya sendiri jika selama perjuangan tersebut berjalan ia tidak
secara langsung terlibat dalam aktifitas perjuangan itu. Selain kesadaran akan pilihan,
seorang muslim dikatakan berjuang jika ia juga sadar akan resiko dan prestasi yang akan ia
peroleh. Sehingga tidak ada perjuangan yang berjalan secara buta tanpa melihat apa yang
akan ditemui di medan juang . Dengan demikian seorang muslim yang berjuang tidak
mengalami keterkejutan dan kegagapan yang muncul ditengah perjalanan perjuangannya.
Seorang muslim harus melakukan taksiran-taksiran atas apa yang akan ia hadapi dalam
rentang waktu perjuangannya. Ini akan menciptakan sikap diri yang tidak pernah terjerumus
dalam kesedihan akan kegagalan dan tidak pernah terbuai dalam kegembiraan akan
keberhasilan. Keterjebakan pada kesedihan pada saat gagal dan pada saat berhasil cuma
akan membuat seseorang lupa diri. Lupa diri selalu membuat perjuangan berhenti pada satu
titik kegagalan atau pada satu titik keberhasilan. Sebagai suatu ukuran keimanan yang paling
terpenting dalam etos perjuangan adalah bagaimana seorang muslim dapat
mempertahankan imannya dengan tetap berjuang setiap saat (istiqomah). Keberhasilan
suatu perjuangan bukanlah titik kemuliaan keimanan dari seorang muslim. Kegagalan juga
bukan merupakan titik kehinaan dalam keimanan seorang muslim. Namun istiqomahlah
yang menentukan apakah keimanan seorang muslim itu merupakan iman yang
sebenarbenarnya atau iman yang sebatas pengakuan tanpa implementasi keimanan.
6.HARI KEMUDIAN
Hari kemudian atau hari pembalasan yang mengandung makna sebagai hari
pertanggungjawaban manusia (pengadilan) beserta balasannya berupa syurga ataukah neraka.
Hari kemudian memberikan gambaran kepada manusia bahwa dalam setiap mengambil
tindakan mesti berpikir dahulu. Karena semua itu akan dipertanggungjawabkan di akhirat
kelak. Dalam Islam orientasi kehidupan manusia tidak hanya dunia namun juga berorientasi
pada kehidupan akhirat.
HARI KEMUDIAN Al Qur’an memperingatkan dan memerintahkan manusia untuk
berfikir terlebih dahulu sebelum bertindak agar tidak menyesal dikemudian
hari.Ditekankannya pula manusia dengan berbagai peringatan dan ancaman, serta pada saat
yang bersamaan digembirakannya dengan janjijanji imbalan. Hari berbangkit dan
pembalasan, surga dan neraka, diungkapkan dengan cukup gamblang kepada manusia agar
mereka mengerti, bahwa apa saja yang mereka lakukan harus dipertanggungjawabkan
dihadapan Allah. Namun semua janji itu bukan untuk menjadikan manusia takut atas
ancaman juga tidak membuat manusia berharap imbalan di hari kemudian, namun agar sadar
atas pilihannya yang memiliki akibat di hari kemudian. Hari kemudian atau akherat akan
menjadi masa pengadilan bagi umat manusia. Semua yang dilakukan manusia semasa
kehidupannya dimuka bumi akan dihisab. Hasil hisab inilah yang kemudian menjadi bahan
penilaian atas apa yang akan ia dapatkan dalam masa akherat kelak. Artinya amal manusia di
dunia inilah yang akan menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya di akherat kelak. Tak
satupun perbuatan yang lepas dari perhitungannya.Tak satu perhitunganpun yang tak
mendapat balasannya. Masa pengadilan ini menjadi masa yang tak bisa dihindari oleh satu
umat manusiapun. Kekuasaan Allah SWT akan menunjukan bahwa keadilan yang berjalan
adalah keadilan yang tidak dapat dihindari oleh manusia, bahkan hasilnya tak bisa
dikompromikan seperti keadilan yang ada di dunia ini. Kehidupan akherat yang merupakan
kehidupan “pasca sejarah” kemanusiaan juga menjadi logis dan amat adil, mengingat keadilan
tidak selalu terwujud dalam setiap saat bagi seseorang atau suatu masyarakat di dunia. Pada
kenyataannya bahkan amat banyak orang yang didzalimi di muka bumi ini. Mereka yang
berbuat dzalim pun tidak selalu sempat mendapat ganjaran yang setimpal. Bahkan banyak
orang yang berbuat kebathilan justru beroleh “ketenaran” dalam sejarah dunia. Islam sangat
menekankan umatnya yakin akan keberadaan akherat, karena dengan keyakinan ini umatnya
tetap berjalan dalam kehidupan yang berorientasi tujuan pada akherat. Al Qur’an juga
berulang kali menyatakan bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah di akherat.
Kehidupan manusia di dunia, diibaratkan permainan, atau sementara,serta jauh lebih rendah
tingkatannya. Akan tetapi kehidupan dunia itu harus dilalui manusia lengkap dengan cobaan
:. dan ujian yang menjadi penentu kehidupan di akherat. Segala sesuatu yang diperbuat ada
imbalannya di akherat, sehingga manusia tidak boleh berputus asa ketika menjalani beratnya
kehidupan didunia. Berputus asa adalah sikap ingkar atas ketetapan Allah akan akherat dan
janji Allah yang tidak membebani makhluknya melebihi kemampuannya. Konsekuensinya
kehidupan di dunia bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan. Manusia harus berusaha
mendapatkan apa yang harus ia dapatkan, bahkan Allah memperkenankan manusia untuk
beroleh kebahagiaan darinya.88 Kebahagiaan itu sudah barang tentu menurut tolak ukur
ajaran Islam, bukan menurut materialisme atau faham-faham yang lain. Betapapun, nabi
Muhammad SAW mencontohkan beberapa hal yang secara manusiawi dapat dianggap
sebagai kesenangan, seperti halnya kecintaan kepada keluarga. Kenyataan tersebut menjadi
penting karena Islam memang tidak mengajarkan faham yang menuntut agar kehidupan
manusia selalu menderita di dunia untuk mencapai kebahagiaan di akherat. Islam
mengajarkan keharmonisan yang dinamis, dengan kehidupan akherat tetap sebagai tujuan
akhirnya. Ada kalanya orang-orang beriman menikmati keamanan dan kesentosaan, namun
tidak jarang harus menahan pahit getir perjuangan melawan kedzaliman yang suatu saat lebih
dominan di masyarakat. Manusia berhak memperoleh keberhasilan atas perjuanganya
namun ia tak bisa terhindar dari kegagalan. Pada kerangka ini, manusia harus selalu siap
berkorban, dengan harta dan bahkan juga dengan nyawa sendiri. Manusia tidak perlu
khawatir atas kuantitas dan kualitas pengorbanan yang ia keluarkan di dunia fana ini