Referat Tonsilitis Difteri-Fitrah Amalia

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 43

BAGIAN ILMU THT-KL Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN November


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

“TONSILITIS DIFTERI”

OLEH:
FITRAH AMALIA (105101103820)

PEMBIMBING:
dr. Hj. Faridah Muhammad, Sp. THT-KL

Dibawakan Dalam Rangka Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2022
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
Nama : Fitrah Amalia, S.Ked
NIM : 105101103820
Judul Referat : Tonsilitis Difteri
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, November 2022


Pembimbing,

dr. Hj. Faridah Muhammad, Sp.THT-KL

i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya kepada kita semua
bahwa dengan segala keterbatasan yang penulis miliki akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Tonsilitis Difteri” dalam rangka
tugas kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Bedah, Program Pendidikan Profesi
Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Makassar.

Keberhasilan penyusunan referat ini adalah berkat bimbingan, kerja sama,


serta bantuan moril dan materil dari berbagai pihak yang telah diterima penulis
sehingga segala rintangan yang dihadapi selama penulisan dan penyusunan referat
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan
penghargaan yang setinggi-tingginya secara tulus dan ikhlas kepada yang
terhormat:
1. dr. Hj. Faridah Muhammad, Sp. THT-KL selaku supervisor pembimbing.
2. Serta semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu.
Tidak ada manusia yang sempurna maka penulis menyadari sepenuhnya
bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, sehingga dengan segala kerendahan
hati penulis siap menerima kritik dan saran serta koreksi yang membangun dari
semua pihak.
Makassar,
18 November 2022

Fitrah Amalia

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 2
A. DEFINISI ..................................................................................................... 2
B. EPIDEMIOLOGI ......................................................................................... 2
C. ANATOMI HISTOLOGI DAN FISIOLOGI TONSIL ............................... 4
D. ETIOLOGI ................................................................................................. 14
E. PATOGENESIS ......................................................................................... 15
F. KLASIFIKASI DIFTERI ........................................................................... 22
G. MANIFESTASI KLINIS ........................................................................... 22
H. DIAGNOSIS .............................................................................................. 27
I. DIAGNOSIS BANDING ........................................................................... 31
J. TATALAKSANA ...................................................................................... 31
K. KOMPLIKASI ........................................................................................... 35
L. PENCEGAHAN......................................................................................... 36
M. PROGNOSIS ............................................................................................. 37
BAB III KESIMPULAN ...................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Difteri merupakan infeksi jalan napas dengan tingkat morbiditas dan mortalitas
yang tinggi, dan menjadi masalah kesehatan global. Difteri merupakan salah satu
target dalam program imunisasi (expanded immunization programme). Beberapa
tahun terakhir ini terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas difteri di negara-
negara dengan cakupan imunisasi (total coverage vaccination) yang tinggi dimana
penyebaran penyakit difteri telah dapat dikendalikan sebelumnya.1
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae (C. diphtheri), suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Organ
paling sering terinfeksi adalah tonsil dan faring sebanyak 94% kasus difteri.
Penularan terjadi melalui droplet, kontak langsung dengan sekresi saluran napas
penderita atau dari penderita karier.1
Delapan puluh persen kasus difteri terjadi pada anak dengan usia dibawah 15
tahun, namun dapat juga terjadi pada anak dengan usia lebih dari 15 tahun. Empat
puluh tujuh kasus difteri dilaporkan terjadi di Eropa selama tahun 2008. Kasus
terbanyak (62%) dilaporkan oleh Negara Latvia. Kasus difteri di Negara Vietnam
mengalami penurunan pada tahun 1980 sesuai dengan meningkatnya cakupan
imunisasi difteri. Pertengahan tahun 1990 kasus difteri mulai muncul kembali di
Vietnam. Tahun 1999 hingga 2004 dilaporkan 401 kasus dicurigai difteri. Sembilan
puluh kasus diantaranya telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium dan
terbukti disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae.2
Jumlah kasus difteri pada tahun 2016 adalah 7097 kasus dan sebagian besar
berada di negara Asia dan Afrika. Berdasarkan data World Health Organization
(WHO) 2016, Indonesia menempati urutan ke-3 setelah India dan Madagaskar.
Jumlah kasus difteri pada tahun 2017 di Indonesia sebanyak 229 kasus dengan Case
Fatality Rate (CFR) 6,99%. Dari jumlah tersebut, kasus tertinggi terjadi pada
kelompok umur 5˗9 tahun, dan ditemukan kasus pada kelompok umur lebih dari 40
tahun sebesar 6,52%.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius
(lateral band dinding taring I Gerlach's tonsil).3
Tonsilitis difteri adalah peradangan pada tonsil yang disebabkan kuman
Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan
lokasinya bisa pada hidung di saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring
dan laring.3
B. EPIDEMIOLOGI
Penularan disebarkan melalui droplet, kontak langsung dengan sekresi
saluran napas penderita atau dari penderita karier. Pada daerah endemis, 3%-
5% orang sehat bisa sebagai pembawa kuman difteri toksigenik. Kuman C.
diptheriae dapat bertahan hidup dalam debu atau udara luar sampai dengan 6
bulan.4
Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2014, tercatat
sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus di antaranya (98%) berasal dari negara-
negara anggota WHO South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus Difteri
di Indonesia, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total
kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014
(6% dari total kasus SEAR).5
Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika
dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada
tahun 2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada
tahun 2016 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah
Kabupaten/ Kota pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota
dan pada tahun 2016 menjadi 100 Kabupaten/ Kota.5

2
Jumlah kasus difteri cenderung meningkat, puncaknya terjadi pada tahun
2012, yaitu sebanyak 1192 kasus. Provinsi Jawa Timur merupakan kontributor
terbesar difteri yaitu sebanyak 74% dari seluruh kasus pada tahun 2014.
Demukian pula pada tahun 2015, Jawa Timur menyumbang kasus terbesar 419
(63%) dan pada 2016 sebanyak 209 kasus 340 kasus di Indonesia.
Bandarlampung terdapat 1 kasus difteri pada tahun 2016 dan tidak memiliki
riwayat divaksin. Gambaran menurut umur terbanyak pada usia 5-9 tahun dan
1-4 tahun.6

Grafik 1. Perkembangan Difteri di Indonesia mulai 2010-20174

Grafik 2. Case Fatality Rate berdasarkan kelompok umur4

3
C. ANATOMI HISTOLOGI DAN FISIOLOGI TONSIL
1. ANATOMI
Tonsil merupakan bagian dari organ limfoid sekunder. Jaringan limfoid
terkait mukosa (MALT) adalah kumpulan jaringan limfoid tidak berkapsul
yang terletak difus di mukosa saluran aerodigestif dan terdiri dari tonsil,
apendiks vermiformis, dan patch Peyeri. Sebagai bagian dari MALT, tonsil
berfungsi sebagai cincin perlindungan termasuk jaringan limfoid terkait
nasofaring (NALT), yang dikenal sebagai cincin tonsil Waldeyer, di sekitar
pintu masuk saluran aerodigestif atas tonsil berperan sebagai pertahanan
awal terhadap infeksi. Cincin limfoid berbentuk annular ini berisi empat
jenis tonsil dalam posisi tetapnya:7
1. Tonsil faringeal (adenoid)
2. Tonsil tuba eustachius (amandel Gerlach)
3. Tonsil lingual dan agregasi limfoid dekat dengan epiglotis
4. Tonsil palatine (faucial)

Gambar 1. Anatomi Tonsil8

Tonsil adalah organ limfoepitel yang bertindak sebagai penjaga di pintu


masuk saluran aerodigestif bagian atas. Sistem limfoid sebagai salah satu
komponen sistem imun terdiri dari pembuluh limfe, nodus, dan organ yang
mengatur respon imun secara langsung maupun tidak langsung. Pembuluh
getah bening memainkan peran kunci dalam drainase cairan interstitial dari
jaringan ke darah dan penyerapan lemak, sedangkan organ limfoid
memediasi proliferasi dan pematangan sel-sel sistem kekebalan tubuh, yang

4
melindungi tubuh terhadap patogen asing yang tertelan atau terhirup.
Kelompok sel dari sistem kekebalan tubuh dibedakan menjadi dua yaitu
kekebalan bawaan (alami) dan adaptif. limfosit dan sel aksesori
dimatangkan ke tahap pengenalan antigen pada organ limfoid primer
termasuk timus dan sumsum tulang, dan kemudian mereka diaktifkan dan
berdiferensiasi menjadi sel efektor dari respon imun dengan presentasi
antigen pada organ limfoid sekunder. Kelenjar getah bening, limpa, dan
jaringan limfoid terkait mukosa adalah organ limfoid sekunder yang
memungkinkan limfosit berfungsi untuk menghasilkan mekanisme
pertahanan terhadap mikroorganisme seperti virus, parasit, dan bakteri.7
Cincin Waldeyer terdiri dari jaringan limfoid terkait mukosa (MALT)
yang tidak bersebelahan yang diatur dalam konfigurasi melingkar di
nasofaring dan orofaring. Dimana letak tonsil berada pada pintu masuk
umum saluran pernapasan dan pencernaan, cincin Waldeyer memainkan
peran unik dalam menyaring dan menyaring antigen eksogen, serta dalam
inisiasi dan pemeliharaan respons imun. Cincin Waldeyer meliputi empat
struktur berikut: (1) tonsil faring, terletak di garis tengah sepanjang atap dan
dinding posterior nasofaring; (2) tonsil tuba (juga dikenal sebagai tonsil
Gerlach), terletak di salah satu dinding nasofaring lateral tepat di belakang
orifisium tuba Eustachius dan berhubungan erat dengan torus tubarius; (3)
tonsil palatina, terletak di sepanjang setiap dinding orofaringeal lateral
antara pilar tonsil anterior dan posterior; (4) tonsil lingual, terletak di
sepanjang pangkal lidah dan bersebelahan dengan tonsil palatina di sulkus
glossotonsillar.9

5
Gambar 2. Anatomi Tonsil Membentuk Cincin Weldeyer9

Sebagai bagian dari saluran aerodigestive atas, faring terletak di antara


pangkal tengkorak dan batas inferior tulang rawan cricoid dan terdiri dari tiga
bagian; nasofaring (hidung bagian atas), orofaring (oral tengah), dan laring
(laring bawah). Faring membentuk seperti tabung muskulomembranous yang
ditutupi dengan tiga konstriktor eksternal (melingkar, superior, tengah, dan
inferior) dan tiga otot internal (longitudinal, volunter), yang memainkan peran
kunci dalam menelan, respirasi, dan fonasi. Tonsil terletak posterior ke bagian
nasofaring dan orofaring untuk membentuk cincin melingkar, yang dikenal
sebagai cincin tonsil Waldeyer, yang pertama kali dijelaskan oleh ahli anatomi
Jerman Heinrich Wilhelm Gottfried von Waldeyer-Hartz. Tonsil nasofaring
dan lingual yang tidak berpasangan dan tonsil palatina dan tuba berpasangan
membentuk cincin limfoid Waldeyer pada pembukaan saluran aerodigestive
bagian atas dan bertanggung jawab atas respons imunologis bawaan dan
adaptif yang memiliki peran penting dalam mekanisme pertahanan faring.7

6
Gambar 3. Anatomi Tonsil dan Faring10
1) Tonsil Pharyngeal
Tonsil faring (disebut "adenoid") adalah kumpulan jaringan limfoid
yang terletak di garis tengah sepanjang atap dan dinding posterior
nasofaring, setinggi tulang sphenoid dan oksipital. Fasia pharyngobasilar
terletak jauh ke tepi inferior tonsil faring, dan kemudian berlanjut lebih
inferior sebagai otot konstriktor faring. Meskipun jarang, sindrom Grisel,
atau subluksasi atlanto-aksial non-traumatik, telah diamati setelah
adenoidektomi. Kelemahan ligamen di sekitar sendi servikal ini
diperkirakan terjadi sebagai akibat peradangan, yang mungkin terjadi dari
adenoidektomi agresif dan/atau hiperekstensi pada pasien dengan faktor
risiko anatomis. Pasokan darah tonsil faring termasuk arteri faring asenden,
bersama dengan kontribusi dari cabang arteri palatina asenden, cabang
tonsil dari arteri wajah, cabang faring dari arteri maksilaris interna, dan

7
arteri dari kanal pterygoid (cabang dari arteri maksilaris atau dalam
beberapa kasus arteri karotis interna). Drainase vena mengalir dari pleksus
vena faring eksternal ke vena paratonsillar, dan akhirnya ke vena jugularis
fasialis atau interna. Drainase limfatik menuju kelenjar getah bening
retropharyngeal dan faringomaxillary.9
2) Tonsil Tuba Eustachius
Tonsil tabung eustachius (ET), agregat kecil jaringan limfoid,
membentuk aspek lateral atas cincin dan terletak secara bilateral di sekitar
ostium faring ET (torus tubarius) yang berada di bawah dan di depan reses
faring (fossa Rosenmüller) di dinding posterolateral nasofaring. Karena
hubungan dekat mereka dengan torus tubarius, mereka disebut amandel tuba
atau Gerlach (ahli anatomi Jerman). Tonsil ini menerima pasokan arteri
melalui arteri faring asenden. Daerah posterior dari nasofaring dibentuk oleh
tulang rawan yang memproyeksikan ke tabung pendengaran, yang disebut
torus tubarius, dan juga terletak sebagai plica salpingopharyngeus yang
terdiri dari SPm (Salpingopharyngeus). Drainase limfatik mereka sama
dengan tonsil faring.7
3) Tonsila Lingualis
Tonsil lingual adalah yang paling rendah dari cincin weldeyer dan
terdiri dari banyak nodul limfoid di sepertiga posterior lidah. Epitel
nonkeratinized skuamosa bertingkat mencakup agregat jaringan limfoid ini
membentuk tonjolan besar dan tidak teratur. Pasokan darah ke tonsil lingual
disediakan oleh cabang lingual dari arteri dan vena lingual. Pembuluh
limfatik eferen dari tonsil lingual yang melewati dinding faring mengalir ke
kelenjar getah bening servikal yang dalam.7
4) Tonsila Palatina (Faucial)
Tonsil palatina adalah struktur limfoid yang terletak di dalam fossa
tonsil, yang dibatasi di bagian anterior dan posterior oleh lipatan mukosa
(sering disebut sebagai pilar tonsil anterior dan posterior) yang masing-
masing terdiri dari otot palatoglossus dan palatopharyngeus. Otot
konstriktor superior membentuk batas lateral fosa tonsil. Jauh di dalam otot

8
ini terdapat lapisan jaringan ikat longgar dan fasia buccopharyngeal, yang
merupakan batas akhir antara tonsil dan ruang parapharyngeal. Banyak
cabang dari sistem arteri karotis eksterna menembus melalui otot konstriktor
faring superior untuk perfusi amandel. Kutub inferior disuplai terutama oleh
arteri tonsilar, cabang dari arteri wajah. Suplai darah tambahan ke kutub
inferior berasal dari cabang dorsal lingual dari arteri lingual. Arteri palatina
asendens, cabang lain dari arteri fasialis, bercabang di distal menjadi dua
cabang, salah satunya juga mensuplai tonsil palatina. Kutub superior tonsil
palatina disuplai terutama oleh cabang tonsil dari arteri faring asendens dan
oleh arteri palatina desendens, cabang dari arteri maksilaris interna.
Drainase vena terjadi melalui vena paratonsillar, yang akhirnya bergabung
dengan pleksus vena faring dan vena wajah umum. Cekungan drainase
limfatik termasuk kelenjar getah bening jugulodigastrik dan, kadang-
kadang, retrofaring. Input sensorik ke tonsil palatina dan fossa tonsilaris
dibawa oleh nervus palatina minor dari divisi kedua nervus trigeminal (V2)
dan oleh cabang tonsil dari nervus glossopharyngeal. Karena saraf
glossopharyngeal juga memberikan sensasi ke telinga tengah melalui
cabang saraf timpani, pasien dengan penyakit tonsil atau prosedur tonsil
baru-baru ini sering mengeluhkan otalgia yang dirujuk.9
Vaskularisasi Fossa tonsil dan tonsil dengan batas disuplai oleh cabang-
cabang arteri karotis externa termasuk arteri lingual, wajah, faring asenden,
dan maksilaris internal. Bagian atas disuplai oleh cabang arteri palatina
desenden dari arteri maksilaris internal dan cabang tengah dan inferior dari
arteri faringeal asenden. Bagian tengah disuplai oleh cabang tonsil dari arteri
wajah. Bagian bawah disuplai oleh cabang arteri palatina naik dari arteri
wajah dan cabang lingual dorsal dari arteri lingual. Vena tonsil dialirkan ke
vena paratonsillar dan kemudian ke pleksus vena faring. Pleksus ini
mengalir melalui vena wajah ke dalam IJV. Limfatik menembus SPCm dan
mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bagian atas terutama
kelenjar getah bening jugulodigastrik yang terletak di bawah sudut
mandibula posterior. Sensasi umum dari fossa tonsil dan tonsil disuplai oleh

9
cabang-cabang tonsil dari cabang palatine yang lebih rendah dari ganglion
pterygopalatine (divisi rahang atas saraf trigeminal).7

Gambar 4. Vaskularisasi Tonsil7

10
2. HISTOLOGI

Tonslila paltina yang berpasangan merupakan agregat nodulus limfoid


yang terletak di rongga mulut. Tonsila palatina tidak dibungkus oleh kapsul
jaringan ikat. Akibatnya, permukaan tonsila palatina dilapisi oleh epitel
berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. (1,6), yang juga melapisi bagian
mulut lainnya. Masing-masing tonsil memiliki alur-alur yang dalam yaitu
kriptus tonsil (3,9) yang juga dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk (1,6).
Di bawah epitel (1,6) dalam jaringan ikat terdapat banyak nodulus
limfoid (2) yang tersebar disepanjang kriptus tonsil (3,9), nodulus limfoid
(2) sering menyatu dengan yang lain dan biasanya memperlihatkan pusat
germinal (7) yang berwarna lebih muda.
Dibawah tonsila palatine terdapat jaringan ikat padat dan membentuk
kapsul (4,10) dari kapsul terbentuk jaringan ikat trabekula dengan pembuluh
darah (8). Jaringan ikat ini meluas kea rah permukaan tonsil di antara
nodulus-nodulus limfoid (2). Di bawah kapsul jaringan ikat (10) terdapat
potonganserat otot rangka (5).

11
3. FISIOLOGI
Permukaan epitel medial tonsil terbentuk dari kantong brankial kedua,
saat inti epitel padat berinvaginasi ke mesenkim sekitarnya. Inti ini akhirnya
mengkanalisasi dan membentuk crypts. Sekitar minggu ke-16. Pada
perkembangan embriologis, limfosit dan sel punca limfoid menginvasi
lamina propria yang lebih dalam dan mulai membentuk folikel dan pada
akhirnya akan menjadi pusat germinal. Saat elemen limfoid ini tumbuh,
lapisan terdalam dari lamina propria akhirnya menyatu menjadi membran
tipis yang membentuk kapsul tonsil. Serat jaringan ikat yang lebih
superfisial, terutama terdiri dari kolagen tipe III, membentuk septa yang
melintasi antara kripta dan menjadi kontinu dengan kapsul yang lebih
dalam. Dalam kehidupan pascakelahiran, kriptus bercabang, berjumlah
sekitar 10e30 per amandel, berikan amandel penampilan "berlubang" di tepi
bebas medialnya. Kripto mirip divertikula tubular dan memiliki inti
fibrovaskular yang dikelilingi oleh jaringan limfoid dan permukaan epitel
terdiri dari epitel skuamosa berlapis non-keratin di sepanjang permukaan
medial (luminal) tonsil. Kriptus itu sendiri dilapisi oleh distribusi epitel
skuamosa berlapis dan epitel kripta retikulat yang tidak seragam. Epitel
yang terakhir ini, juga disebut sebagai lymphoepithelium, mirip dengan
patch Peyer yang ditemukan di saluran pencernaan. Epitel retikulat kurang
teratur daripada epitel skuamosa berlapis dan mengandung sel epitel dan
non-epitel, terutama sel limfoid. Lapisan epitel ini bisa sangat tipis dan
bahkan tidak memiliki membran basal di beberapa daerah. Dengan limfosit
dan sel dendritik hanya jauh ke permukaan epitel, pengaturan histologis ini
memungkinkan transportasi cepat dan presentasi antigen eksogen ke sel
limfoid untuk inisiasi respons imun yang efisien. Selain itu, struktur
invaginasi kripta tonsil secara signifikan meningkatkan luas permukaan
total yang dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan sampel antigen ini
dan dapat memfasilitasi penjebakan langsung bahan asing yang memasuki
orofaring. Ini sangat penting karena tonsil palatina tidak memiliki jaringan

12
limfatik aferen seperti organ limfoid lainnya seperti kelenjar getah bening
dan limpa. struktur invaginasi kripta tonsil secara signifikan meningkatkan
luas permukaan total yang dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan
sampel antigen ini dan dapat memfasilitasi penjebakan langsung bahan
asing yang memasuki orofaring. Ini sangat penting karena tonsil palatina
tidak memiliki jaringan limfatik aferen seperti organ limfoid lainnya seperti
kelenjar getah bening dan limpa. struktur invaginasi kripta tonsil secara
signifikan meningkatkan luas permukaan total yang dapat berpartisipasi
dalam proses pengambilan sampel antigen ini dan dapat memfasilitasi
perangkap langsung bahan asing yang memasuki orofaring. Ini sangat
penting karena tonsil palatina tidak memiliki jaringan limfatik aferen seperti
organ limfoid lainnya seperti kelenjar getah bening dan limpa.
Tonsil faring memiliki beberapa kesamaan dengan tonsil palatina dalam
penampilan kasar dan histologis. Permukaan bebas tonsil faring dicirikan
oleh lipatan mukosa yang menonjol ke anterior dan lateral, dengan jumlah
kripta yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan tonsil palatina. Secara
histologis, tonsil faringeal terutama terdiri dari epitel kolumnar bersilia
pseudostratifikasi, dengan folikel limfoid, jumlahnya lebih sedikit daripada
tonsil palatina, tersusun di seluruh lipatan mukosa. Di superior, sebuah
kapsul memisahkan tonsil faring dari periosteum os sphenoid dan tulang
oksiput; dan septa jaringan ikat memanjang dari kapsul ini ke dalam jaringan
tonsil faring, memisahkannya menjadi 46 segmen. Sebuah diskusi lengkap
tentang fungsi imunologi tonsil palatina dan faring berada di luar cakupan
ulasan ini dan dirinci di tempat lain. Secara singkat, antigen eksogen
"diambil sampelnya" melalui proses yang tidak sepenuhnya dipahami yang
dianggap melibatkan sel M (membran), juga ditemukan di tambalan Peyer,
yang strukturnya memfasilitasi pengambilan antigen dari naso-/ orofaring.
Setelah antigen ini melintasi epitel permukaan tonsil luminal, antigen
diproses oleh sel penyaji antigen (APC), seperti sel dendritik dan makrofag,
dan kemudian dipresentasikan ke sel T dan sel B di daerah ekstrafollicular
yang berdekatan. Jika antigen telah ditemukan sebelumnya, respon imun

13
sekunder distimulasi melalui proliferasi sel T dan/atau produksi antibodi
sekunder oleh sel B. Jika antigen yang ditemui adalah baru dan berhasil
dikenali oleh sel T penolong, aktivasi, proliferasi, dan diferensiasi menjadi
populasi sel T yang spesifik untuk antigen ini terjadi, selama sinyal
kostimulatori yang sesuai ada. Sel T ini merangsang sel B naif, yang
kemudian berjalan ke folikel terdekat dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma antigen spesifik dan sel B memori, akhirnya membentuk pusat
germinal. Sel-sel ini kemudian dapat meninggalkan struktur limfoid
masing-masing melalui endotel yang tinggi. venula dan melakukan
perjalanan ke situs mukosa lain, seperti mukosa hidung, di mana mereka
menerima sinyal lebih lanjut untuk berdiferensiasi secara terminal menjadi
sel penghasil imunoglobulin spesifik, dengan produksi IgG dan IgA yang
dominan. Imunoglobulin secara langsung disekresikan oleh tonsil faring dan
ekstravasasi antara sel epitel tonsil palatina untuk mencapai permukaan
tonsil masing-masing untuk pengawasan imun, mencegah perlekatan
antigen ke jaringan inang dan/atau merangsang penghancuran yang
dimediasi oleh imun. Yang tak kalah penting dari respons imunologi ini
adalah apoptosis, atau kematian sel terprogram. Proses ini membantu
mempertahankan homeostasis karena amandel terus-menerus menghadapi
antigen baru, dan juga berfungsi untuk menghilangkan sel imun autoreaktif
atau non-spesifik di dalam organ. Ketika berfungsi dengan baik, apoptosis
akan meminimalkan risiko patologi seperti penyakit autoimun, hiperplasia
organ limfoid patologis, dan/atau penurunan fungsi kekebalan akibat
penurunan imunokompetensi limfosit.9

D. ETIOLOGI
Corynebacterium diphteriae merupakan bakteri basil gram positif anaerob.
Produksi toksin terjadi hanya jika bakteri terinfeksi (mengalami lisogenisasi)
oleh virus spesifik (bakteriofage) yang membawa informasi genetik untuk
toksin (gen tox). Hanya strain toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit
berat. Masa inkubasi bakteri ini biasanya 2-5 hari (1-10 hari).11 Bakteri ini
terutama menyebabkan infeksi pada saluran napas berupa tonsilofaringitis,

14
laringitis, maupun keduanya secara bersamaan dan ditandai dengan
terbentuknya pseudomembran.2
C.diphtheriae dapat menginvasi secara lokal dan memproduksi eksotoksin
yang sangat berbahaya, menyebabkan gangguan pada otot jantung dan sistem
saraf yang dapat berakhir pada kematian. Diagnosis dini dan intervensi yang
sesuai dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas difteri.2

Gambar 5. Sel Corynebacterium pada pewarnaan gram2

E. PATOGENESIS
C. diphtheriae tidak selalu bersifat toksik karena gen toksin difteri sebagai
penyebab penyakit difteri tidak berada pada genom bakteri. Gen toksin difteri
terdapat pada genom corynephage salah satu jenis bakteri yang telah terinfeksi
oleh genom virus (prophage). Prophage dapat bereproduksi tanpa
menghancurkan genom bakteri (lysogenic conversion) atau dengan
menghancurkan genom bakteri yang merupakan hospesnya (lytic cycle). Tidak
semua phage mengandung gen toksin difteri. C. diphteriae yang telah melalui
proses lisogenisasi ataupun telah terinfeksi virus masih mungkin tidak
mengandung toksin difteri di dalam genomnya. Toksigenitas C. Diphtheriae
ditentukan oleh jenis phage, terutama phage yang memiliki gen protein toksin
(corynephage). Produksi toksin yang meningkat akan memperluas dan
memperdalam area infeksi, sehingga terbentuk eksudat fibrin. Pseudomembran
yang terbentuk akan berwarna keabuan sampai hitam tergantung dari jumlah

15
darah di dalamnya. Pseudomembran mengandung sel inflamasi, darah merah
dan membran epitel superfisial, sehingga akan terjadi perdarahan jika dilepas.
Pseudomembran ini akan berkurang secara spontan selama masa
penyembuhan.2

Gambar 6. Proses infeksi virus pada bakteri2


Difteri diawali oleh masuknya C. diphtheriae ke dalam hidung atau mulut
dan terlokalisasi pada permukaan mukosa saluran pernapasan atas (mata dan
genitalia juga dapat menjadi tempat lokalisasi bakteri). Setelah periode
inkubasi 2-4 hari, strain difteri yang terinfeksi (mengalami lisogenisasi) dapat
menghasilkan toksin. Toksin awalnya diserap ke dalam membran sel target
melalui ikatan reseptor pada permukaan sel dan mengalami endositosis.
Toksin ini terdiri atas 2 komponen, yaitu subunit A dan subunit B. Subunit B
berperan dalam pengikatan reseptor sedangkan subunit A merupakan
komponen toksin yang enzimatik aktif. Setelah mengalami endositosis, subunit
A akan menghambat sintesis protein sel. Selain itu, dengan adanya kalsium dan
magnesium, toksin difteri dapat menyebabkan fragmentasi DNA melalui
mekanisme nuclease-like activity. Akibatnya, terjadi sitolisis. Nekrosis luas

16
terjadi pada jaringan tempat kolonisasi kuman difteri dan akan memicu respons
inflamasi lokal. Respons inflamasi bersama jaringan nekrosis membentuk
eksudat pseudomembran. Eksudat ini awalnya dapat diangkat, tetapi seiring
berjalannya infeksi, terjadi peningkatan produksi toksin sehingga terbentuk
eksudat dengan komponen fibrin. Pseudomembran awalnya berwarna putih,
akan menjadi abu-abu gelap disertai bintik hijau atau hitam yang menunjukkan
area nekrosis. Perdarahan hebat dapat terjadi jika pseudomembran berusaha
diangkat. Jaringan edema dan pseudomembran difteri dapat menutup saluran
napas. Pseudomembran ini akan meluruh spontan selama masa penyembuhan.
Toksin yang dihasilkan di lokasi pseudomembran akan didistribusikan ke
seluruh tubuh melalui aliran darah dan limfatik. Distribusi dimulai saat faring
dan tonsil tertutup pseudomembran difteri. Organ dan jaringan di seluruh tubuh
dapat mengalami kerusakan akibat toksin ini. Lesi sistem saraf, jantung, serta
ginjal merupakan komplikasi berat; manifestasi klinis miokarditis tampak
setelah periode laten 10-14 hari, sistem saraf, misalnya neuritis perifer, terjadi
pada 3-7 minggu. Strain non-toksigenik juga dapat menyebabkan faringitis
ringan hingga sedang tetapi tidak terbentuk pseudomembran.11

Gambar 7. Infeksi Corynebaterium difteri.Jalur infeksi melalui droplet dan


pembentukan pseudomembran (ditunjukkan dengan warna kuning) yang disebabkan
oleh kolonisasi saluran pernapasan bagian atas.12
Untuk mengenali dan menjajah sel inang, patogen menampilkan molekul
di permukaannya, misalnya, protein permukaan yang terhubung dengan

17
dinding sel dan polimer protein berserat seperti fimbriae dan pili yang berikatan
dengan reseptor spesifik pada sel inang dan sering memicu respons imun inang.
Dalam kasusC. diphtheriae, beberapa molekul yang memainkan peran penting
dalam adhesiC. diphtheriaedicirikan, dan seperti dalam kasus yang terkait erat
Mycobacterium tuberculosis, adhesi dari C. Diphtheriae ke sel inang adalah
proses multifaktorial.12

Gambar 8. Adhesi dari C. diphtheriae: proses multifaktorial C. diphtheria dapat


mengikat jenis sel epitel yang berbeda dengan cara yang spesifik. Beberapa protein
yang terlibat dalam proses ini telah diidentifikasi sejauh ini, termasuk pili perekat dan
MSCRAMMS (Microbial Surface Components Recognizing Adhesive Matrix
Molekul), yang memediasi perlekatan pada fibrinogen atau kolagen. Penghapusan
atau gangguan gen tunggal yang mengkode salah satu protein ini biasanya hanya
menghasilkan sedikit kehilangan adhesi, yang menunjukkan bahwa kombinasi
mekanisme adhesi independen bekerja bersama. Sebagai tambahan C. Diphtheriae
dapat mengikat eritrosit manusia, yang dapat mendukung penyebaran bakteri melalui
aliran darah di dalam seluruh tubuh.12
Cara umum sel eukariotik untuk bereaksi terhadap infeksi mikroorganisme
patogen adalah respons peradangan. Sekresi sitokin inflamasi dan histamin

18
mengarah pada perekrutan sel kekebalan seperti neutrofil dan sel pembunuh
alami yang membantu menelan dan menghilangkan patogen (Gambar3a, b).
Jelas sekali,C. Diphtheriae telah mengembangkan mekanisme untuk
menghindari pengenalan oleh sistem kekebalan inang dan membiarkan bakteri
bertahan di dalam sel inang, berkembang biak, dan memasuki pembuluh darah,
di mana mereka dapat berikatan dengan eritrosit (hemaglutinasi) dan menyebar
ke seluruh tubuh melalui aliran darah.12

Gambar 9. Respon inflamasi yang diinduksi olehC. diphtheriae. (sebuah,b) Respon


peradangan yang disebabkan oleh non-invasif C. diphtheriae. Memasuki bakteri
menyebabkan perekrutan sel kekebalan seperti neutrofil dan makrofag dan
menghilangkan patogen. (c) Invasif C. Diphtheriae tetap tidak terdeteksi oleh sistem
kekebalan inang melalui mekanisme yang tidak diketahui, mendapatkan akses ke
jaringan dan pembuluh darah yang lebih dalam, dan menyebar ke seluruh tubuh
dengan mengikat eritrosit (hemaglutinasi).12

19
Tabel 1. Faktor Virulensi bakteri dan reseptor pada manusia12

Langkah pertama yang diperlukan untuk infeksi C. difteri adalah


kolonisasi inang. C. difteri menggunakan pili, semacam tonjolan seperti
rambut pada permukaannya, untuk menempel pada sel inang. DNA bakteri
mengkodekan sembilan jenis pili yang berbeda. Bakteri dapat beralih di antara
sembilan pili yang berbeda ini untuk membingungkan sistem kekebalan tubuh
manusia sehingga dapat hidup dan tumbuh lebih lama di lokasi infeksi. Ini
disebut variasi antigenik. Faktor virulensi yang paling penting untuk C. difteri
adalah DT. C. difteri akan mengeluarkan DT setelah menempel pada sel-sel
yang melapisi tenggorokan, saluran pernapasan bagian atas, atau kulit. Karena
DT disekresikan dari C. difteri, DT disebut sebagai eksotoksin. DT terdiri dari
dua subunit, A dan B. Subunit A adalah subunit enzimatik yang mempercepat
reaksi, dan subunit B bertanggung jawab untuk mengikat sel target dan
melepaskan subunit A ke dalam sel. Subunit B menempel pada reseptor,

20
molekul yang mengenali target spesifik, pada permukaan sel inang. Reseptor
ini disebut prekursor faktor pertumbuhan epidermal pengikat heparin (HB-
EGF). Pengikatan DT melalui subunit B ke reseptor menyebabkan sel untuk
mengambil dalam kompleks reseptor-DT. Proses ini disebut endositosis. Pada
titik ini, DT berada dalam endosom, semacam tas, di dalam sel inang. Protease,
yang merupakan enzim yang mendegradasi protein, kemudian memotong DT
karena lingkungan di endosom menjadi semakin asam. Endosom asam
menyebabkan DT berubah bentuk dan subunit B mendorong subunit A ke
dalam sitoplasma sel inang, yang merupakan larutan yang mengisi sel. Dalam
sitoplasma, subunit A akan memodifikasi komponen mesin sel inang yang
terlibat dalam sintesis protein. Komponen ini disebut EF-2. Dengan
memodifikasi komponen ini, DT akan membuat sel inang tidak dapat membuat
protein yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya. Akibatnya, sel yang
terkena DT akan mati, menyediakan sumber daya untuk pertumbuhan C.
difteri.13

Gambar 10. Peran berbagai Faktor Virulensi C. difteri yang terlibat dalam difteri. DT:
Racun Difteri; HB-EGF: prekursor faktor pertumbuhan epidermis pengikat heparin13

21
F. KLASIFIKASI DIFTERI
a) Suspek difteri: adalah orang dengan gejala faringitis, tonsillitis, laryngitis,
trakeitis (atau kombinasi), tanpa demam atau kondisi subfebris disertai
adanya pseudomembran putih keabu-abuan/kehitaman pada salah satu atau
kedua tonsil yang berdarah bila terlepas atau dilakukan manipulasi.
Sebanyak 94% kasus difteri mengenai tonsil dan faring.
b) Kasus probable difteri adalah orang dengan gejala laringitis, nasofaringitis
atau tonsilitis ditambah pseudomembran putih keabu-abuan yang tak mudah
lepas dan mudah berdarah di faring, laring, tonsil (suspek difteri) ditambah
salah satu dari :
- Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu)
- Status imunisasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster
- Stridor, bullneck
- Pendarahan submukosa atau petekie pada kulit
- Gagal jantung toksik, gagal ginjal akut
- Miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah onset
- Meninggal.14
c) Kasus konfirmasi Difteri adalah kasus probable yang hasil isolasi ternyata
positif C. difteri yang toksigenik (dari usap hidung, tenggorok, ulkus kulit,
jaringan, conjungtiva, telinga, vagina) atau serum antitoksin meningkat 4
kali lipat atau lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh sebelum
pemberian toksoid difteri atau antitoksin). Didapatkan hasil kultur atau PCR
C. diphtheria positif dan tes Elek positif.6

G. MANIFESTASI KLINIS
Lokasi yang paling umum untuk infeksi difteri adalah faring dan amandel
(tonsil palatina). Infeksi pada daerah-daerah ini biasanya terkait dengan
penyerapan toksik sistemik yang substansial.6 Gejala difteria tonsil-faring
adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari
kemudian timbul membran yang mudah berdarah, melekat, berwarna putih-
kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum
molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis

22
dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan
lunak leher yang luas timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari
derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi
kegagalan pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum molle baik uni maupun
bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian
bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan
terjadi secara berangsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis.
Pada kasus ringan, membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi
penyembuhan sempurna. Pertumbuhan membran hingga menutupi jalan napas
akan menyebabkan obstruksi jalan napas yang berat.4 Pseudomembran
merupakan jaringan fibrin yang terinfeksi oleh C. diphtheria melapisi lesi
nekrotik dan epitel di daerah tenggorok.2

(a) (b)

(c)
Gambar 11. (a) pseudomembran, (b) Bullneck yang khas disebabkan oleh
pembesaran kelenjar getah bening2, (c) difteri kulit

23
Tonsilitis Difteri Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronik
T. Folikularis T. Lakunaris Eks Akut
Etiologi Corynebacterium Kuman grup A Streptokokus B Kuman penyebabnya
diptheriae hemolitikus, pneumokokus, streptokokus sama dengan
viridan dan streptokokus piogenes tonsilitis akut
kadang-kadang
berubah menjadi
gram negatif. Faktor
predisposisi
rangsangan yang
menahun dari rokok,
makanan, higiene
mulut yang buruk,
cuaca, kelelahan fisik
dan pengobatan tidak
adekuat
Gejala Umum :Suhu Nyeri tenggorok dan nyeri menelan, Gejala kembali
Klinis subfebris, nyeri demam dengan suhu tubuh tinggi, lesuh, muncul akibat daya
kepala, tidak nafsu nyeri sendi-sendi, tidak nafsu makan, nyeri tahan tubuh lemah
makan, badan lemah, telinga karena nyeri alih (reffered pain) seperti demam namun
nadi lambat, nyeri melalui saraf n.glosofaringeus. Pada tidak mencolok. Rasa
menelan pemeriksaan tonsil tampak membengkak, mengganjal
Lokal: tonsil hiperemis dan detritus berbentuk folikel, ditenggorok, rasa
bengkak ditutupi lakuna atau membran semu. Kelenjar kering ditenggorok
bercak putih kotor submandibula membengkak dan nyeri dan napas berbau.
membentuk tekan. Tonsil membesar
membran semu bila dengan permukaan
diangkat mudah yang tidak rata,
berdarah, kel.limfa kriptus melebar dan
leher membengkak beberapa kripti
(bullneck) atau tampak diisi oleh
Burgemeester’s hals detritus. Pada anak
disertai pem. Kelenjar
submandibula
Gejala Miokarditis, Jarang Jarang
sistemik kelumpuhan otot
palatum dan otot-
otot pernapasan

24
Detritus

Detritus melebar
membentuk
pseudomembran Detritus yang jelas Detritus seperti Kripti melebar dan
berbentuk folikel alur-alur berbentuk terisi detritus dan
lakuna permukaan tidak rata
Terapi - Anti serum difteri - Antibiotik spektrum luas penisilin, - Terapi lokal
(ADS) segera eritromisin. ditujukan pada
diberikan tanpa - Obat kumur yang mengandung higiene mulut
menunggu hasil disinfektan dengan berkumur
kultur, dosis atau obat isap
20.000-100.000 - Tonsilektomi
- Antibiotik
penisilin atau
eritromisin 25-50
mg/kgbb dibagi 3
dosis
- Kortikosteroid 1,2
mg/kgbb
- Antipiretik
- Bed Rest 2-3
minggu

Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Berikut ini adalah beberapa jenis
difteri menurut lokasinya:4
- Difteri saluran napas
Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx
kemudian hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi
pada bayi, menyebabkan sekret serosanguinis, purulen, dan rhinitis erosiva
dengan pembentukan membran. Ulkus dangkal dari nares eksternal dan
bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan pharyngeal, sakit
tenggorokan merupakan gejala yang pertama kali muncul. Separuh pasien
memiliki gejala demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara
serak, malaise atau sakit kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan
pembentukan membran tonsilar baik uni maupun bilateral yang bisa meluas

25
ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis yang dimediasi oleh toksin), palatum
molle, oropharynx posterior, hypopharynx, atau area glotis.
- Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen,
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak
membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan
gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
- Difteri Laring
Pada difteria laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring
karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas
lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan dengan gejala
sindrom croup, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau
dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal, dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan
membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada
kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila
difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring maka gejala yang
tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia
- Difteri Kulit
Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan
ulkus superfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di
atasnya, sulit dibedakan dengan impetigo akibat Stapyllococcus/
Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada banyak
kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder pada dermatosis, laserasi,
luka bakar, tersengat atau impetigo. Ekstremitas lebih sering terkena
daripada leher atau kepala. Infeksi simtomatik atau kolonisasi kuman di
traktus respiratorius dengan komplikasi toksin terjadi pada sebagian kecil
penderita difteria kulit.

26
- Difteri tempat lain
C. diphteriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus pada tempat
lain, seperti di telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif
konjungtivitis) dan traktus genitalis (purulen dan ulseratif vulvovaginitis).
Tanda klinis terdapat ulserasi, pembentukan membran dan perdarahan
submukosa membantu dalam membedakan difteria dari penyebab bakteri
lain dan virus.Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa
kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

H. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Suara serak, nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi,
hingga adanya stridor, “ngences”, dan tanda lain dari obstruksi napas atas,
dengan riwayat imunisasi tidak lengkap, serta kontak erat dengan kasus
difteri. Kontak erat yang dimaksud adalah orang serumah dan teman
bermain; kontak dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi tanpa alat
pelindung diri); individu seruang dengan penderita dalam waktu >4 jam
selama 5 hari berturut-turut atau >24 jam dalam seminggu (a.l.: teman
sekelas, teman seruang tidur, teman mengaji, les).14
2. Pemeriksaan Fisik
Umumnya (94%) menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis dengan
pseudomembran/selaput pada tempat infeksi berwarna putih keabu-abuan,
mudah berdarah bila diangkat. Pada keadaan berat dapat ditemukan
pembesaran leher (bull neck), tampak toksik dan sakit berat, padahal demam
tidak terlalu tinggi, muka pucat bahkan sampai sianosis, tanda-tanda syok,
serta kesulitan menelan.14
3. Tes Schick
Tes Schick di temukan antara tahun 1910-1911. Penemunya adalah
Bella Shick (1877-1967) seorang dokter anak amerika kelahiran Hungaria.
Tes ini digunakan untuk menentukan apakah seseorang rentan terhadap
difteri atau tidak. Agen penyebabnya adalah Corynebacterium diptheriae.

27
Tes ini dilakukan dengan menyuntikkan secara intradermal ke kulit lengan
bawah 0,1 ml toksin difteri (1/50 MLD) yang diencerkan. Sedangkan lengan
yang satunya disuntikkan sebagai kontrol, jumlah toksin yang sama yang
telah dinonaktifkan oleh panas.
Jika seseorang tidak memiliki cukup antibodi untuk melawannya, kulit
sekitar suntikan akan menjadi merah dan bengkak menandakan hasil positif.
Pembengkakan ini akan hilang setelah beberapa hari. Jika orang tersebut
memiliki kekebalan maka tidak akan muncul kemerahan dan bengkak
menunjukkan hasil negatif. Reaksi Schick negatif berarti dalam tubuh
didapati anti toksin yang mencapai level proteksi yaitu lebih besar dari 0.002
units/ml serum.

Interpretasi:
- Negatif: jika seseorang memiliki kekebalan terhadap difteri, tidak ada
reaksi yang diamati pada kedua lengan
- Positif: area indurasi berdiameter 10-15 mm umumnya muncul dalam
24-36 jam, mencapai perkembangan maksimum dalam 4-7 hari. Pada
lengan kontrol tidak menunjukkan perubahan. Pasien rentan terhadap
difteri
- Positif palsu: muncul kemerahan pada kedua lengan, kemudian
reaksinya memudar dengan sangat cepat. Menghilang pada hari ke-4,
hal ini disebabkan karena reaksi alergi terhadap toksin.
- Reaksi kombinasi: gambaran awal psudo-reaksi tetapi eritem memudar
setelah 4 hari hanya pada lengan kontrol. Kemudian pada lengan uji

28
tampak berkembang eritem. Sehingga ditafsirkan sebagai rentan dan
hipersensitifitas.
4. Laboratorium
Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR positif.
Untuk mengetahui toksigenisitas difteri, dilakukan pemeriksaan tes Elek.
Pengambilan sampel kultur dilakukan pada hari ke-1, ke-2, dan ke-7. Media
yang digunakan saat ini adalah Amies dan Stewart, dahulu Loeffler atau
telurit. Keberhasilan kultur hidung tenggorok di indonesia kurang dari 10%,
sehingga diupayakan untuk menggunakan PCR untuk diagnosis pasti.
Sampel diambil dari jaringan di bawah atau sekitar pseudomembran.
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop atau pewarnaan
Gram/Albert tidak dapat dipercaya karena di rongga mulut banyak terdapat
bakteri berbentuk mirip C. diphtheriae (difteroid).14

Gambar 12. Elek Imunodefisiensi Test2

29
Gambar 13. Metode Kultur Difteri5

Gambar 14. Algoritma diagnosis difteri5

30
I. DIAGNOSIS BANDING
Berikut Diagnosis Banding dari Tonsilitis Difteri:3
1. Tonsilitis Septik
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptokokus hemolitikus yang terdapat
dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi oleh karena di lndonesia
susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum maka
penyakit ini jarang ditemukan.
2. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C.
3. Penyakit kelainan darah
- Leukemia akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut,
gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak ke- biruan. Tonsil
membengkak ditutupi membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa
nyeri yang hebat di tenggorok.
- Angina agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa
dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring
serta di sekitar ulkus tampak gejala radang.

J. TATALAKSANA
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah meng- inaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.4
A. Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3

31
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier.
B. Khusus
Antitoksin: Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan segera
setelah dibuat diagnosis difteria, dengan pemberian antitoksin pada hari
pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun, dengan
penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa
meningkat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit
atau uji mata terlebih dahulu. Pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam
semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL ADS dakam larutan
garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit
trejadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes
larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan
garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis
pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS
diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas
tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien. Pemberian ADS intravena
dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya.
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat
(serum sickness).

32
Tabel 2. Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit4

C. Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan
produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50
mg/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram
per hari), Penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali sehari, kristal aqueous pensilin
G (100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV atau IM), atau
Penisilin prokain (25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 12 jam
IM). Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa pasien dengan difteria
kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari. Eliminasi bakteri harus
dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari hidung dan
tenggorokan (atau kulit) yang diambil 24 jam setelah terapi selesai. Terapi
dengan eritromisin diulang apabila hasil kultur didapatkan C. Diphteriae.
D. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang
disertai gejala:
- Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)
- Bila terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap.
E. Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

33
F. Pengobatan kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai
tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala
klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan
serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria.
Tabel 3. Pengobatan terhadap kontak difteria4

G. Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/iv
atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan
tindakan tonsilektomi/ adenoidektomi.
H. Profilaksis
Profilaksis diberikan pada kontak dekat, yaitu orang-orang yang
terpapar dengan sekret pernapasan pasien atau yang tinggal bersama dengan
pasien. Sebelum diberikan profilaksis, harus dilakukan swab dari hidung
atau tenggorok. Profilaksis yang dapat diberikan berupa antibiotik
benzylpenisilin intramuskular dengan dosis 600.000 IU untuk usia di bawah
enam tahun, dan 1.200.000 IU untuk usia lebih dari enam tahun, dosis
tunggal. Selain itu, dapat juga diberikan eritromisin oral dengan dosis 125
mg setiap 6 jam untuk anak di bawah 2 tahun, 250 mg setiap 6 jam untuk
anak usia 2-8 tahun, dan 250-500 mg setiap 6 jam untuk usia di atas 8 tahun
selama 7 hari.2

34
Gambar 16. Clinical Pathway Tonsilitis Difteri Menurut WHO15
K. KOMPLIKASI
Sebagian besar komplikasi, termasuk kematian, berhubungan dengan efek
toksin. Derajat penyakit dan komplikasi umumnya berhubungan dengan
penyebaran infeksi lokal. Toksin, jika diabsorpsi, dapat menyerang organ dan
jaringan; paling sering adalah miokarditis dan neuritis. Miokarditis dapat
bermanifestasi sebagai irama jantung abnormal pada awal perjalanan penyakit
atau beberapa minggu kemudian, dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika
miokarditis terjadi pada awal perjalanan penyakit, sering fatal. Neuritis sering
mengenai saraf motorik dan biasanya sembuh total. Paralisis palatum molle
paling sering terjadi pada minggu ke- 3. Paralisis otot mata, tungkai, dan
diafragma dapat terjadi setelah minggu ke-5. Pneumonia sekunder dan gagal
napas dapat terjadi akibat paralisis diafragma. Komplikasi lain meliputi otitis
media dan insufisiensi pernapasan akibat obstruksi, khususnya pada bayi.11

35
L. PENCEGAHAN
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah
seorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah
sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT
dan pengobatan karier. Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu
yang kebal terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat
bertahan selama 2-3 minggu. Imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif
yang nyata atau inapparent infection serta imuni sasi toksoid difteria. Imunisasi
DPT sangat penting untuk mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas
ambang pencegahan dan imunisasi ulangan sangat diperlukan agar lima kali
imunisasi sebelum usia 6 tahun. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan
uji Schick dan uji Moloney.4
Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT
tiga kali dengan interval masing-masing 4-6 minggu. Apabila imunisasi belum
lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan,
tidak perlu diulang), dan yang telah lengkap imunisasi primer (<1 tahun) perlu
dilakukan imunisasi DPT ulangan umur 18 bulan dan 5 tahun.
- DPT-HB-Hib untuk anak usia <5 tahun
- DT untuk anak usia 5 tahun sampai <7 tahun
- Td untuk usia 7 tahun keatas4
Vaksin difteri adalah toksoid bakteri, yaitu toksin yang toksisitasnya tidak
aktif. Vaksin ini biasanya diberikan bersamaan dengan vaksin lain seperti
vaksin DTP atau vaksin pentavalent. Untuk remaja dan orang dewasa toksoid
difteri sering dikombinasikan dengan toksin tetanus dalam konsentrasi rendah
(vaksin Td). WHO merekomendasikan seri vaksinasi primer 3 dosis dengan
toksoid difteri, diikuti oleh dosis booster.6
1. Di negara-negara non-endemik dengan cakupan imunisasi yang tinggi,
rangkaian vaksinasi utama 3 dosis harus diberikan paling sedikit 1 dosis
booster.

36
2. Untuk lebih meningkatkan kekebalan terhadap difteri, tetanus toksoid dan
toksoid difteri daripada tetanus toksoid sendiri, harus digunakan saat
profilaksis tetanus setelah cedera.6
Tabel 4. Jadwal pemberian imunisasi sampai kelas 3SD6

M. PROGNOSIS
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik
daripada sebelumnya. Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum di
imunisasi, masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Menurut
Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
(1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran
difteria, (2) Adanya miokarditis dan gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma
sebagai akibat neuritis nervus frenikus. Anak yang pernah menderita miokarditis
atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna
tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang
menetap.4

37
BAB III
KESIMPULAN
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Tonsilitis difteri adalah peradangan pada tonsil yang disebabkan kuman
Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan lokasinya
bisa pada hidung di saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring.
Penularan disebarkan melalui droplet, kontak langsung dengan sekresi saluran
napas penderita atau dari penderita karier. Gejala difteria tonsil-faring adalah
anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian
timbul membran yang mudah berdarah, melekat, berwarna putih-kelabu dapat
menutup tonsil dan dinding faring. Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah
kultur atau PCR positif. Untuk mengetahui toksigenisitas difteri, dilakukan
pemeriksaan tes Elek. Komplikasinya adalah toksin difteri menyebabkan
miokarditis dan neuritis. Pengobatan difteri adalah pemberian cairan dan diet yang
adekuat, diberikan antitoksin (ADS), antibiotik berupa eritromisin dan penisilin
prokain. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan
karier.

38
DAFTAR PUSTAKA
1. Priyadi MHT, Dharmmika S, Triyani Y. Gambaran Karakteristik Suspek Tonsilitis
Difteri di RSUD R. Syamsudin, SH Kota Sukabumi. 2021;Vol 7(1)
2. Hutauruk SM , Fardizza F, Aristya S. Tonsilitis difteri dengan sumbatan jalan napas.
2018;Vol 48(1)
3. Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, Editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Ketujuh. Jakarata: Badan Penerbit FKUI
4. Hartoyo E. Difteri pada Anak. 2018;Vol 19(5)
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Difteri. 2017
6. Purwati A, Putri MN. Pemanfaatan Imunisasi sebagai Upaya Pencegahan Difteri.
2018;Vol 5(1)
7. Acar G. Surgical Anatomy of the Tonsils. 2020
8. Santhosh, S. (n.d.). The Tonsils (Waldeyer’s Ring).
https://teachmeanatomy.info/neck/misc/tonsils-and-adenoids/ Diakses pada Tanggal
5 Oktober 2022.
9. Arambula A, Brown JR, Neff L. Anatomy and Physiology of the Palatine Tonsils,
Adenoids, and Lingual Tonsils. 2021
10. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AMW. Dasar-dasar Anatomi Gray. Elsevier
11. Saunders R, Suarca IK. Diagnosis dan Tatalaksana Difteri. 2019; Vol 46(2)
12. Ott L, Moller J, Burkovskiz A. Interactions between the Re-Emerging Pathogen
Corynebacterium Diptheriae and Host Cells. Internasional Journal Molecular
Science.2022
13. Koh J, Alipour S. Corynebacterium Diphteriae Patogenesis.
https://mechpath.com/2021/11/18/corynebacterium-diphtheriae/ Diakses pada
Tanggal 5 Oktober 2022.
14. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan Tatalaksana Difteri. 2017
15. WHO. Operational Protocol for Clinical Management of Diptheriae Bangladesh,
Cox’s Bazar.2017

39

Anda mungkin juga menyukai