PDF Kegawatdaruratan Fraktur Basis Cranii Compress
PDF Kegawatdaruratan Fraktur Basis Cranii Compress
PDF Kegawatdaruratan Fraktur Basis Cranii Compress
MAKALAH
KEPERAWATAN KEGAWATDARUR
KEGAWATDARURATAN
ATAN
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR BASIS CRANII
Oleh:
NAMA : SUSILOWATI
NIM : P27822317041
P27822317041
KELAS : KEPERAWATA
KEPERAWATAN
N RPL
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karuniaNya
penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu. Dan dengan
mengucap puji syukur atas curahan kasih karunia-Nya kepada penulis, terutama ilmu
dan akal sehat sehingga dengan ijin-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah yang berjudul
berjudul “Konsep
“Konsep Asuhan Keperawatan Fraktur Basis Cranii”.
Cranii ”. Makalah
ini disusun sebagai tugas mata kuliah keperawatan kegawatdaruratan.
Dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari beberapa
pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan
mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya Bpk. Drg. Bambang Hadi
Sugito, M.Kes.
2. Ketua Program Studi DIII Keperawatan Kampus Tuban Bapak Hadi Purwanto,
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini penuh
keterbatasan dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, saran yang konstruktif
merupakan bagian yang tak terpisahkan dan senantiasa kami harapkan demi
penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak. Allahumma Amin.
Amin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
MAKALAH................
................................ .................. Error! Bookmark not defined.
................................
LEMBAR PENGESAHAN ....................... Error! Bookmark not defined.
................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .................................................................................
DAFTAR ISI .................
.................................
................................
................................
................................. .......... iv
...........................
BAB I PENDAHULUAN ...............
................................
.................................
................................ ......... 1
.........................
1.1 Latar Belakang ..........................................
................................................................
.................................................... 1
..............................
2.3 Etiologi
Eti ologi Trauma Kepala ................................................................................ 7
................................................................................
2.9 Pemeriksaan
Pemeriksa an Penunjang Trauma Kepala .........................
..................................................... 15
............................
iv
4.2 Saran ......................................................
............................................................................
.............................................
................................
......... 26
DAFTAR PUSTAKA ................
................................
.................................
................................ ............. 27
............................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik,
keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang (Nurarif & Kusuma, 2013). Salah
satu fraktur yang
yang sering terjadi yaitu
yaitu fraktur basis cranii. Fraktur basis cranii adalah
suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini sering kali
disertai dengan robekan pada duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan rracun
acun eyes sign (fraktur basis
krani fossa anterior), atau othorhea dan battle sign (fraktur crani fossa media) (Kowalak,
2011)..
2011)
Cedera pada susunan saraf pusat masih merrupakan penyebab utama tingginya
angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh dunia. Pada tahun 1998
sebanyak 148.000 orang di amerika meninggal akibat berbagai jenis cedera. Trauma
kapitis menyebabkan 50.000 kematian.Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah
sakit dan tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk.Sebanyak 22%
pasien trauma kapitis meninggal akibat cederannya.Sekitar 10.000 – 20.000 kejadian
medulla spinalis setiap tahunnya (Kowalak, 2011).
Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus fraktur
linear sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum, terutama pada anak usia
dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian
fraktur tulang tengkorak, dan fraktur basis crani sebesar 19-21%. Fraktur depresi antara
lain frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-daerah lain
(10%). Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden
fraktur tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413 penduduk (0,02%), atau 42.409 orang
setiaptahunnya. Sejauh ini fraktur linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak
usia dibawah 5 tahun amerika serikat.
Akibat dari fraktur basis cranii akan menimbulkan beberapa masalah, salah
satunya perdarahan otak. Oleh sebab itu perawat kedaruratan harus dapat mengkaji
secara adekuat pasien fraktur basis cranii dan memulai tindakan keperawatannya.
1
Meskipun peran perawat dalam program pencegahan amat penting, perannya dalam
mengenali dan merawat pasien fraktur basis cranii juga tidak kalah pentingnya (Oman,
2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka menjadi penting untuk menyusun
makalah tentang konsep fraktur basis cranii untuk mengetahui lebih dalam tentang
karakteristik fraktur basis cranii serta bagaimana penatalaksanaan keperawatan yang
tepat. Sehingga kejadian yang tidak diinginkan seperti adanya komplikasi lebih lanjut
seperti angka kesakitan dan angka kematian akibat fraktur ini dapat dikurangi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana konsep teori dari fraktur basis cranii ?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawaatan pada klien fraktur basis cranii ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Advance Nursing Praktice I pada program studi S-1 Keperawatan
di STIKES Muhammadiyah Lamongan.
1.3.2 Tujuan khusus
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
membentuk lantai cavitas cranii, yang dibagi menjadi fossa anterior, fossa media, dan
fossa posterior.
1. Fossa anterior dibentuk oleh os frontal di bagian depan dan samping, lantainya
dibentuk oleh os frontale pars orbitale, pars cribriformis os ethmoidal, dan bagian
depan dari alae minor os sphenoid. Fossa ini menampung traktus olfaktorius dan
permukaan basal dari lobus frontalis, dan hipofise. Fossa anterior dan media
dipisahkan di lateral oleh tepi posterior alae minor os sphenoidale, dan di medial
oleh jugum sphenoidale. Pada fossa cranii anterior terdapat sinus frontalis di bagian
depan, alae minor os sphenoidale yang dengan bersama-sama pars orbitalis os
frontal membentuk atap orbita dengan struktur-struktur di midline, diantaranya
terdapat crista galli, pars cribriformis dan pars sphenoidal.
2. Fossa media lebih dalam dan lebih luas daripada fossa anterior, terutama ke arah
lateral. Di bagian anterior dibatasi oleh sisi posterior alae minor, processus
clinoideus anterior, dan sulcus chiasmatis. Di belakang dibatasi oleh batas atas os
temporal dan dorsum sellae os sphenoid. Di lateral dibatasi oleh pars squamosa
ossis temporalis, os parietal dan alae major os sphenoid. Merupakan tempat untuk
permukaan basal dari lobus temporal, hipotalamus, dan fossa hipofiseal di tengah.
Di kedua sisi lateralnya terdapat tiga foramina (foramen spinosum, foramen ovale,
dan foramen rotundum). Pars anterior dinding lateral fossa media dibentuk oleh
alae major os sphenoidal. Sisa dinding lateral lainnya dibentuk oleh pars squamosa
os temporal yang merupakan tempat processus mastoideus dan mastoid air cells
serta kanalis auditorius eksternus. Pyramid petrous mengandung membrane
tympani, tulang-tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes), dan cochlea pada
telinga dalam. Fossa media dan fossa posterior dibatasi satu sama lain di lateral
oleh bagian atas os petrosus, dan di medial oleh dorsum sellae.
3. Fossa posterior adalah fossa yang terbesar dan terdalam merupakan tempat untuk
cerebellum, pons, dan medulla. Di bagian anteromedial dibatasi oleh dorsum sellae
yang melanjutkan diri menjadi clivus. Bagian anterolateral dibatasi oleh sisi
posterior pars petrosa ossis temporalis, di lateral oleh os parietal, dan di posterior
oleh os occipital. Lubang paling besar yang ada di basis cranii terdapat pada os
occipital yaitu foramen magnum, dilalui oleh medulla oblongata. Meatus akustikus
interna terdapat pada bagian posteromedial pars petrosa ossis temporalis. Foramen
jugular berada di kedua sisi lateral foramen magnum. Foramen jugular dilalui oleh
vena jugularis yang perluasan ke anterior dari sinus sagitalis superior dan
melanjutkan diri menjadi sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Menurut Corwin (2009), Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fossa
cranii anterior, fossa cranii media dan fossa cranii posterior.
1. Fossa crania anterior
Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera.
Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi
mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau
kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars
Fraktur petrous os temporal ini meluas dari bagian skuamosa tulang temporal
terhadap piramida petrosa dengan sering keterlibatan sendi temporomandibular.
Fraktur oblik ini sering mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif akibat
dislokasi incudostapedial. Hematotimpanum dan ottorhea juga sering terjadi pada
fraktur oblik. Keterlibatan saraf fasialis kurang umum daripada pada fraktur
transversal.
2. Fraktur longitudinal os temporal
posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii
media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal
merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal
dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,
berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur
dari kedua fraktur longitudinal dan transversal
3. Fraktur transversal os temporal
Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari
piramida petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau
temporoparietal. Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum melalui fosa
posterior, melalui pyramid petrosa, termasuk kapsul otik dan ke dalam fosa
kranial tengah. Kapsul otik dan kanalis auditorius internal sering terlibat juga.
4. Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital dengan garis fraktur meluas di hampir segala arah di
bagian basal tengkorak mungkin dapat dilihat. Akhir-akhir ini, juga terdapat
peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi
perenggangan kapsul otik (otic capsule sparing/OCS) dan kerusakan kapsul otik
(otic capsule disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi lebih baik terhadap
sekuel klinis (Ho dan Makishima, 2010). Fraktur OCS lebih sering terjadi (>90%)
daripada OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya insidensi cedera saraf
fasialis (30-50%), SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4 kali lebih
tinggi daripada OCS).
2.5 Manisfesta
Manisfestasi
si Klinis Fraktur Basis Cranii
Menurut Engram (2007), Tanda dan Gejala fraktur basis cranii berdasarkan
klasifikasi sebagai berikut :
1. Fraktur petrous os temporal
a. Otorrhea
Liquor keluar dari telinga.
b. Battle sign (Memar pada mastoids)
Warna biru atau ekimosis dibelakang telinga di atas os mastoid
c. Rhinorrhea
Liquor keluar dari hidung.
d. Raccoon eyes (Memar di sekitar palpebral)
Mata warna hitam tanpa trauma langsung.
e. Hemotipanum
Perdarahan di daerah gendang telinga.
f. Kehilangan kesadaran dan GCS dapat bervariasi tergantung pada kondisi
patologis intracranial
2. Fraktur longitudinal os temporal
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran
dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berangsung lebih dari 6
6 –
–
7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 6-7
minggu disebabkan karena hemotympanum dan oedema mukosa di fossa tmpany.
Facial palsy, nygtagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
3. Fraktur tranversal os temporal
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan lairin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen
(permanent neural hearing loss)
4. Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan
serius.Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama
dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang
serviklis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan
hemiplegia atau guadriplegia.
Fraktur basis crani merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbital), tansmisi energy yang
berasal dari benturan pada wajah atau mandubula, atau efek ““remote”
remote” dai benturan pada
kepala (“gelombang tekanan”) yang dipropagasi
dipropagasi dari titik benturan atau perubahan
bentuk tengkorak) (Corwin, 2009).
2009).
Tipe dari fraktur basis crani yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura didasar tengkorak dimana spinal cord lewat.
Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring
fracture in komplit lebih sering dijumai. Kematian biasannya terjadi seketika kamu
cedera batan otak disertai denan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada
dasar tengkorak (Corwin, 2009).
Fraktur basis crani telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk
benturan dari arah mandibular atau wajah dan kubah tengkorak, atau akiat beban inersia
pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya baban inersia, misalnya,
ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami
benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kemudian secara
secar a tiba
ti ba –
– tiba
tiba mengalami
percepaatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh
foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian menyebabkan ring fracture. Ring
fracture juga dapat terjadi akibat paksa ruda paksa pada benturan tipe vertical, arah
benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari ara
superior kemudian diteruskan kearah acciput atau mandibular.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis crania.
Biasanya disertai robekan durameter dan terjadi pada daerah –
daerah – daerah
daerah tertentu dari basis
crania. Fraktur basilar adalah fraktur linear meliputi dasar pertengahan pada tulang
tengkorak. Fraktur ini biasanya berhubungan dengan dural. Sebagian besar fraktur
10
basilar berlangsung pada 2 lokasi spesifik seperti regio temporal dan regio kondilar
oksipital (Batticaca, 2008).
Fraktur temporal dapat dibagi dalam 3 subtipe yaitu longitudinal, transversal,
dan campuran. Fraktur longitudinal adalah adalah subtipe yang paling umum (70-90%)
dan meliputi bagian skuamous pada tulang temporal, inding superior pada canalis
auditory eksterna dan tegmen timpani. Fraktur dapat terjadi pada anterior atau posterior
ke koklea dan kapsul labirin, berakhir pada fossa cranial media dekat foramen spinosum
atau pada sel udara mastoid. Fraktur transversal (5-30%) berasal dari foramen magnum
dan keluar mengelilingi koklea dan labirin berakhir pada fossa cranial media.
Dinamakan fraktur campuran jika memiliki kedua komponen fraktur longitudinal dan
fraktur transversal (Batticaca, 2008).
Fraktur condylar oksipital biasanya diakibatkan oleh trauma tumpul dengan
kekuatan yang tinggi yang menekan axial, bagian sudut lateral, atau berputar ke jaringan
ikat kontinyu. Fraktur ini dapat dibagi dalam tiga tipe dasar berdasarkan morfologi dan
mekanisme trauma atau secara alternatif dalam kestabilan dan displace fraktur
tergantung dari ada tidaknya kerusakan ligamen. Fraktur tipe I adalah trauma kompresi
axial yang menghasilkan fraktur comuniti pada oksipital condilar. Fraktur ini bersifat
stabil. Fraktur tipe II disebabkan oleh pukulan langsung dan meluas pada daerah
basioccipital, hl ini berhubungan dengan trauma yang menetap karena melindungi
ligamen alar dan membran tectorial. Fraktur tipe III secara potensial tidak stabil dan
berhubungan dengan suatu luka avulsion sesuai dengan putaran dan sudut lateral
(Batticaca, 2008).
11
Kecelakaan
2.7 Pathway kendaraan/transportasi Kecelakaan olahraga
Kecelakaan terjatuh Kejahatan/tindak kekerasan
Tulang tengkorak
B1 (Breathing) B2 Bloo
Blood
d B3 Brai
Brain
n B4 Bla
Bladde
dderr B5 Bow
Bowel
el B6 Bon
Bonee
12
2.8 Penatalaks
Penatalaksanaan
anaan Fraktur Basis Cranii
1. ABC
a. Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau
nasopharyngeal tube.
b. Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu pernafasan
misalnya Nasal Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask Nonrebreating,
Bag-Valve-Mask, dan Intubasi Endotrakea.
c. Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5
kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi
antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam
darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan
perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa
dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
2. Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah rebound
(manitol 20%) diberikan dalam 30 menit.
Pemberian diulang setelah 6
jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama
(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang efek
osmotik serum mannitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan Diberikan bila ada kejang
bisa diulang sampai 3 kali
bila masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 mg Untuk mengurangi
12
13
3. Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil fragmen
fraktur yang terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil benda asing
dan jaringan nekrotik sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak lebih lanjut
14
35%. Aliran darah otak berkurang jika hematocrit meningkat dari 50% dan
meningkat dengan tingkat hematocrit di bawah 30.
4. Pengaturan suhu
Demam dapat mempercepat deficit neurologis yang ada dan dapat memperburuk
komdisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9% maka
harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
5. Kontrol cairan
NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mosm/I, telah menjadi kristaloid pilihan
dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9% saline membutuhkan
Menurut Kowalak (2011), Komplikasi utama dari fraktur basis cranii yaitu :
1. Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK)
2. Perdarahan
3. Kejang
4. Infeksi (trauma terbuka)
5. Depresi pernapasan dan gagal napas
6. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang pendengaran
15
7. Pasien dengan fraktur tulang tengkorak bisa terjadi bocornya cairan
serebrospinal (CSS) dari hidung (renorea) atau telinga (otorea) dan
menyebabkan meningitis.
8. Sindrom vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii yang
terkait dengan gangguan nervus IX, X, dan XI.
9. Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang banyak berdampak
terhadap nervus IX, X, dan XII.
2.10 Pemeriksaan Penunjang Fraktur Basis Cranii
Menurut Kowalak (2011), pemeriksaan penunjang fraktur basis cranii yaitu :
1. Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan yaitu pemeriksaan neurologis lengkap,
pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid
2. CT Scan menunjukkan
menunjukkan perdarahan intrakranial akibat ruptur pembuluh
pembuluh darah dan
pembengkakan. CT Scan juga membantu untuk penilaian fraktur condylar
occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
3. MRI menunjukkan kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. MRI juga
memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik.
4. X-
X-ray
ray posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi Sinar x kepala dan
servikal untuk mendeteksi lokasi dan parahnya fraktur.
5. Pungsi lumbal meningitis bila pasien memperlihatkan tanda-tanda iritasi
meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang). Pungsi lumbal merupakan
kontraindikasi jika terdapat lesi yang luas.
6. Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran
CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan
mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran
seperti cincin yang jelas yang melingkari dar ah,
ah, maka disebut “halo” atau “ring”
sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa kadar
glukosa dan dengan mengukur transferring
16
Pada fraktur basis cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda
tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini
mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder,
sekunder, sedangkan
sedangkan pada fraktur basis cranii
posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat
mengakibatkan kompresi batang otak (Corwin, 2009).
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN FRAKTUR BASIS CRANII
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin (laki-laki beresiko dua kali lipat lebih besar daripada
risiko pada wanita), usia (bisa terjadi pada anak usia 2 bulan, usia 15 hingga 24 tahun,
dan lanjut usia), alamat, agama, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, dan diagnosa medis.
3.1.2 Riwayat Kesehatan
3.1.3 Pemeriksaan Primer
17
18
d. Kaji jalan napas definitive (akses langsung melalui oksigenasi intratrakeal).
e. Kaji jalan napas dengan pembedahan (krikotiroidotomi).
2. Breathing/pernapasan:
a. Kaji pemberian O2.
b. Kaji nilai frekuensi napas/masuknya udara (simetris)/pergerakan dinding dada
(simetris)/posisi trakea.
c. Kaji dengan oksimetri nadi dan observasi.
3. Circulation/sirkulasi:
a. Kaji frekuensi nadi dan karakternya/tekanan darah/pulsasi apeks/JVP/bunyi
jantung/bukti hilangnya
hilangnya darah.
b. Kaji darah untuk cross match, DPL, dan ureum + elektrolit.
c. Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.
3.1.4 Pemeriksaan Sekunder
1. Penampilan atau keadaan umum
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada gerakan, lemah, lemas.
19
20
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, nafas dada
cepat dan dangkal , sesak nafas,
nafas, frekuensi nafas <16 x/menit .
Palpasi : Suara fremitus simetris, tidak ada nyeri tekan.
Perkusi : Sonor pada kedua paru.
Auskultasi : Suara nafas tidak baik , ada weezing .
Jantung :
Inspeksi : Bentuk simetris, Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba pada V±2cm, tidak ada nyeri tekan, denyut nadi
Bradikardia
Bradikardia
Perkusi : Pekak, batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri,
batas kanan ics 2 sternal kanan dan ics 5 axilla anterior kanan
Auskultasi : BJ I-II tunggal, tidak ada gallop, ada murmur, Irama nafas
tidak teratur, tekanan darah menurun
c. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Permukaan simetris, warna cokelat, permukaan normal
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar
Hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba, Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada
Titik Mc. Burney.
Burney.
Perkusi : Tidak ada cairan atau udara suara redup
d. Pemeriksaan Genetalia
Inspeksi : Terjadi penurunan jumlah urin dan peningkatan cairan
cairan
21
setelah injuri.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
radioaktif .
c. Pungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien
memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang).
d. X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang..
e. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
f. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
3.2 Diagnosa Keperawatan
22
3.3 Interve
Intervensi
nsi Keperawatan
23
yang berlebihan
3. TTV dalam batas normal
4 Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan Perawatan jantung
jantung b.d keperawatan selama …. 1. O : Monitor EKG, adakah
perubahan diharapkan penurunan curah perubahan segmen ST
24
25
keluar
5. E : Ajarkan pasien atau
keluarga untuk mencatat urin
6. C : Kolaborasi dengan dokter
dengan penberian obat
7 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Terapi aktivitas
b.d keperawatan selama …. 1. O : Monitor respon fisik,
ketidakseimbangan diharapkan intoleransi emosi, social dan spiritual
antara suplai dan aktivitas teratasi 2. N : Bantu klien untuk
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Fraktur basis cranii adalah suatu kondisi dimana suatu fraktur ada tulang
tengkorak yang biasanya terjadi karena adanya benturan secara langsung merupakan
fraktur akibat benturan langsung ada daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,
supraorbita) transmisi energy yang berasal dari benturan ada wajah atau mandibular.
Penyebab dari fraktur basis cranii yaitu Kecelakaan kendaraan atau transportasi,
Kecelakaan terjatuh, Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga, Kejahatan dan tindak
kekerasan. Manifestasi klinis dari fraktur basis cranii yang umum yaitu terjadi
penurunan kesadaran, nyeri hebat, dan adanya lesi. Komplikasi yang dapat terjadi
diantaranya Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK), Perdarahan, Kejang, Infeksi
(trauma terbuka), Depresi pernapasan dan gagal napas, dan paralisis
paralisi s otot-otot paralisis.
Penatalaksanan secara medis yaitu diantaranya dengan ABC untuk
mempertahankan jalan nafas, Pemberian obat-oabatan, dapat dilakukan pembedahan,
dan immobilisasi. Sedangkan penatalaksanaan keperawatan yaitu memantau ttv, adanya
perdarahan, riwayat cidera, rehidrasi cairan, serta mencegah infeksi akibat pembedahan.
Asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien trauma kepala mulai dari
pengkajian misalnya biodata, riwayat kesehatan, pengkajian primer, pengkajian
sekunder, dan pemeriksaan penunjang. Setelah itu ditentukan diagnosa keperawatan dan
dilanjut dengan intervensi keperawatan.
4.2 Saran
Diharapkan para pembaca memperbanyak literatur dalam pembuatan makalah
agar dapat membuat makalah yang baik dan benar. Terutama litelatur yang berhubungan
dengan penatalaksaan yang lebih efektif mengenai fraktur basis cranii karena di dalam
makalah ini penatalaksaannya masih banyak kekurangan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Batticaca, F. (2008). Asuhan
(2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
Corwin, E. J. (2009). Buku
(2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:
Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Engram, B. (2007). Rencana
(2007). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:
Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Edisi 3.
3.
Jakarta: Salemba Medika.
Kowalak, J. P. (2011). Buku
(2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta:
Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskuloskeletal.
Muskuloskeletal. Jakarta:
EGC.
Oman, K. S. (2008). Panduan
(2008). Panduan Belajar Keperawatan
Keperawatan Emergensi. Jakarta:
Emergensi. Jakarta: EGC.
Wilkinson, J. M. (2011). Buku
(2011). Buku Saku Diagnosis
Diagnosis Keperawatan. Jakarta:
Keperawatan. Jakarta: EGC.
27