Askep Konstipasi
Askep Konstipasi
Askep Konstipasi
Kep
Mata kuliah : KMB 1
“KONSTIPASI”
Oleh :
RANA AULIA
NIM : 20040
KONSEP MEDIS
A. Pengertian
o Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai
dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang
sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).
o Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup
jumlahnya, berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995).
o Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut
konsistensi tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1
sampai 4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan
(Mansjoer, 2000).
o Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin karena feses keras
atau kering sehingga terjadi kebiasaaan defekasi yang tidak teratur, faktor
psikogenik, kurang aktifitas, asupan cairan yang tidak adekuat dan abnormalitas usus.
(Paath, E.F. 2004) .
o Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan frekunsi
defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering.
Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan
konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat, masa feses lebih lama terpapar
pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air dalam feses diabsorpsi.
Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran
feses yang kering dan keras dapat menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry,
2005).
o Normalnya pola defekasi yang biasanya setiap 2 sampai 3 hari sekali tanpa ada
kesulitan, nyeri, atau perdarahan dapat dianggap normal.
B. Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah sebagai
berikut:
1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi
dapat menyebabkan konstipasi.
2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging,
produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup yang berat)
sering mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat didalam saluran
cerna. Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltik.
3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan
konstipasi.
4. Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal. Selain
itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan sempurna, memerlukan waktu
untuk diisi kembali oleh masa feses.
5. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan
dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi.
Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada
sebagian orang), diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obat-obatan
antiparkinson dapat menyebabkan konstipasi.
6. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan
penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal), seperti
obstruksi usus, ileus paralitik, dan divertikulitus.
8. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera pada
medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
9. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau hypokalemia
dapat menyebabkan konstipasi.
10. Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi
dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem
syaraf simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi
hipertonik atau iritasi colon ). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah
kram pada abdominal, meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya
antara diare dan konstipasi.
11. Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang tua
turut berperan menyebabkan konstipasi.
C. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,
koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai
tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena
banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi
secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain:
rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot
sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen).
Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari
gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan.
Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus
interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi
dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf
pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan
kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi
sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat
dalam proses BAB.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-
endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di
usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat
menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-
kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-
otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan konstipasi
mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras
sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan
pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya,
pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada
rektum, sebagai berikut:
1. Diskesia Rektum
2. Dis-sinergis Pelvis
Tanda dan gejala akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain,
karena pola makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbeda-
beda, tetapi biasanya tanda dan gejala yang umum ditemukan pada sebagian besar atau
kadang-kadang beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja (jika tinja
sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau lebih, perut penderita dapat terlihat seperti
sedang hamil).
2. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan
jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil
bila sudah parah).
3. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus
mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan
tinja.
4. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat
bergesekan dengan tinja yang panas dan keras.
6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada biasanya
(jika kram perutnya parah, bahkan penderita akan kesulitan atau sama sekali tidak
bisa buang
7. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang air
besar (biasanya buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih).
8. Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari
keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada
selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses
menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan.
Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam
dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi.
Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan
dalam rongga perut atau adanya massa tinja.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan
tinja, atau adanya darah.
F. Penatalaksanaan
1. Pengobatan non-farmakologis
a. Latihan usus besar:
Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan
pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan
mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus
besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat
memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat
menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB,
dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
b. Diet
Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia
lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak
serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit
gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat
meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus.
untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8
gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
c. Olahraga:
2. Pengobatan farmakologis
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose,
Psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak
kastor, golongan dochusate.
c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan,
misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini
yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa
dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat
dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-
cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi
sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat
dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada
respons dengan pengobatan yang diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai
sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.
G. Pencegahan
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Biodata Pasien
2. Keluhan Utama
3. Riwayat Kesehatan
4. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan dan durasi
konstipasi, pola emliminasi saat ini dan masa lalu, serta harapan pasien tentang
elininasi defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji, termasuk latihan dan tingkat
aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat medis dan bedah
masa lalu, terapi obat-obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta enema adalah
penting. Pasien harus ditanya tentang adanya tekanan rektal atau rasa penuh, nyeri
abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi, flatulens, atau diare encer.
C. Intervensi
D. Implementasi
E. Evaluasi
TINJAUAN KASUS
Seorang kakek bernama Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut
bagian bawah. Kakek mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa
BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah menghabiskan porsi makan sehari-
harinya karena kurang nafsu makan. Setelah dikaji inspeksi terdapat pembesaran abdomen
dan saat dipalpasi ada impaksi feses.
1. Pengkajian
Nama : Evart
Alamat : Surabaya
Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian bawah. Kakek
mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa BAB tiga hari
sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya.
Selain itu, kakek mengaku mudah lelah untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
a. B1 (Breath) : RR meningkat
b. B2 (Blood) : denyut jantung meningkat, TD meningkat
c. B3 (Brain) : nyeri pada abdomen bawah
d. B4 (Bladder) :-
e. B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun
f. B6 (Bone) :-
1. ANALISA DATA
2. DIAGNOSA
1) Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu
makan.
3) Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3. INTERVENSI
keadekuatan pasien
3) Lakukan
3) Agar mengetahui
pengkajian nyeri
nyeri secara
yang komperhensif
spesifik
NO DIAGNOSA IMPLEMENTASI
Kep.
1. Konstipasi M mandiri :
berhubungan dengan 1. Menentukan pola defekasi bagi klien dan latih klien
pola defekasi tidak untuk menjalankannya
teratur. 2. Mengattur waktu yang tepat untuk defekasi klien
seperti sesudah makan
3. Memberikan cakupan nutrisi berserat sesuai dengan
indikasi
4. Memberikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 liter
per hari
2. Kolaborasi:
Pemberian laksatif atau enema sesuai indikasi
2. Mandiri :
Perubahan nutrisi
1. Membuat perencanaan makan dengan pasien untuk
kurang dari
dimasukkan ke dalam jadwal makan.
kebutuhan
2. Mendukung anggota keluarga untuk membawa
berhubungan dengan
makanan kesukaan pasien dari rumah.
hilangnya nafsu
makan.
3. Menawarkan makanan disiang hari ketika nafsu
makan tinggi
Kolaborasi
1. Meminta pasien untuk menilai nyeri atau ketidak
nyaman pada skala 0 – 10
Health education
1. Menginstruksikan pasien untuk meminformasikan
pada perawat jika pengurang nyeri kurang tercapai
P : intervensi dilanjutkan
3.
Nyeri akut berhubungan S : klien mengatakan nyeri berkurang
dengan akumulasi feses O : klien tampak lebih enteng dan tidak meringis lagi
keras pada abdomen. A : gangguan nyeri akut teratasi
P : intervensi dilanjutkan