Makalah Transgenik CP-SMV Kedelai
Makalah Transgenik CP-SMV Kedelai
Makalah Transgenik CP-SMV Kedelai
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Tanaman adalah tumbuhan yang bermanfaat baik secara langsung maupun tidak
langsung bagi kehidupan manusia. Tumbuhan yang menganggu disebut gulma. Bagi
pemulia tanaman baik tanaman, tumbuhan dan gulma adalah penting sebagai sumber
keragaman genetik. Pemuliaan tanaman sendiri adalah perbaikan sifat genetik tanaman
baik dengan transfer material genetik dari tanaman donor atau donor yang lain (introgresi)
kepada tanaman penerima maupun perubahan material genetik dari tanaman penerima itu
sendiri yang dikenal dengan mutasi. Jadi introgresi dan mutasi merupakan dua proses
utama dalam perbaikan sifat tanaman. Pemuliaan tanaman sendiri adalah suatu proses yang
progresif dan berkelanjutan baik dari segi ilmu dan teknologi. Tanaman itu tumbuh pada
berbagai habitat tumbuh dari iklim kutub sampai iklim tropis dan dari rawa sampai lahan
kering. Berbagai habitat tumbuh ini yang menyebabkan tanaman beradaptasi untuk
bertahan hidup yaitu terjadi semacam "struggle for life". Perubahan fenotipe tanaman untuk
beradaptasi itu didasar pada perubahan genotipe tanaman. Jadi sebelum manusia campur
tangan dalam pemuliaan tanaman, tanaman sendiri sudah memuliakan dirinya secara
mandiri. Pemulia tanaman belajar dari tanaman bagaimana perubahan genetik yang terjadi
pada tanaman, memodifikasi dan mempercepat perubahan genetik yang terjadi.
Bioteknologi adalah terapan biologi yang melibatkan disiplin ilmu mikrobilogi,
biokimia, genetika, dan biologi monokuler. Definisi bioteknologi secara klasik atau
konvensional adalah teknologi yang memanfaatkan agen hayati atau bagian-bagiannya
untuk menghasilkan barang dan jasa dalam skala industri untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Sedangkan jika ditinjau secara modern, bioteknologi adalah pemanfaatan agen
hayati atau bagian-bagian yang sudah direkayasa secara in vitro untuk mrenghasilkan
barang dan jasa pada skala industri. Bioteknologi dikembangkan untuk meningkatkan nilai
bahan mentah dengan memanfaatkan kemampuan mikroorganisme atau bagian-bagiannya
misalnya bakteri dan kapang. Selain itu bioteknologi juga memanfaatkan sel tumbuhan
atau sel hewan yang dibiakkan sebagai bahan dasar sebagai proses industri.
Bioteknologi tanaman meliputi Kultur Jaringan dan Rekayasa Genetika. Kultur
jaringan erat kaitannya dengan rekayasa genetika, karena pengerjaan rekayasa genetika
juga kebanyakan dilakukan secara in vitro di laboratorium. Selain itu, sistem regenerasi
2
tanaman transgenik juga mebutuhkan ilmu kultur jaringan, sehingga orang yang bekerja di
bidang rekayasa genetika wajib mengetahui prinsip-prinsip kerja dalam kultur jaringan.
diharapkan dapat mengekspresikan coat protein yang akan menghambat replikasi virus
SMV di dalam sel tanaman (Agung-Astuti et al., 2002).
Setelah diketahui bekerjanya sistem ekspresi gen cp-SMV isolat lokal DIY pada
tembakau sebagai tanaman model, maka untuk mendapatkan tanaman kedelai yang tahan
terhadap infeksi virus SMV dengan mekanisme CP-MR, perlu dilakukan transformasi gen
cp-SMV isolat lokal DIY ke tanaman kedelai.
Permasalahan.
Untuk transformasi gen cp-SMV isolat lokal DIY ke tanaman kedelai, dihadapi
beberapa permasalahan antara lain :
(a) Apakah regenerasi kalus atau tunas transforman dapat ditingkatkan dengan
menentukan macam medium dan zat pengatur tumbuh yang sesuai untuk menginduksi
tunas dan planlet,
(b) Bagaimana ekspresi dan stabilitas gen cp-SMV di dalam sel tanaman kedelai,
(c) Bagaimana aklimatisasi transforman : medium penyapihan, komposisi medium
bibit, kondisi rumah kaca,
(d) Bagaimana tingkat ketahanan tanaman kedelai terhadap serangan virus di lapangan
(Bioassay).
Tujuan Penelitian.
1) Regenerasi kalus atau tunas kedelai yang membawa gen cpSMV.
2) Memperoleh konfirmasi ekspresi coat protein SMV pada kalus transforman kedelai.
3) Menginduksi tunas/akar dari kalus transforman kedelai dengan perlakuan ZPT.
4) Mengetahui pengaruh pupuk daun dan air kelapa untuk substitusi sumber hara dan
ZPT pada medium MS pada multiplikasi transforman.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak 8000 tahun yang lalu, bangsa Mesir kuno menggunakan mikroba kapang
Saccharomyces atau ragi untuk pembuatan minuman anggur and roti. Ragi itu mengubah
gula dalam cairan anggur menjadi alkohol. Dalam pembuatan roti, gelembung gas yang
dihasilkan dalam proses fermentasi oleh bantuan ragi roti (yeast), membuat roti bertekstur
empuk sehingga enak dimakan. Nenek moyang bangsa Indonesia telah menggunakan
4
mikroba lain, yaitu jamur Rhizopus, untuk membuat tempe dari kedelai. Semua ini adalah
penggunaan mikroba pada tingkat sel untuk tujuan pengolahan pangan.
kembali tanaman utuh dari sel-selnya mempunyai peranan penting pada rekayasa genetik
tanaman untuk mendapatkan tanaman unggul.
1. Teknik rekayasa genetik, untuk merekayasa gen (DNA) yang hendak ditransfer ke dalam
tanaman,
2. Teknik transfer gen, yaitu untuk mentransfer gen yang sudah direkayasa ke dalam
jaringan atau sel tanaman,
3. Teknik kultur jaringan atau kultur sel, untuk menumbuhkan tanaman utuh dari jaringan.
Dengan melibatkan ketiga teknik tersebut pada akhirnya akan diperoleh tanaman hasil
rekayasa genetik atau disebut tanaman transgenik (Chawla, 2000).
regenerasi tanaman transgenik juga mebutuhkan ilmu kultur jaringan, sehingga orang yang
bekerja di bidang rekayasa genetika wajib mengetahui prinsip-prinsip kerja dalam kultur
jaringan.
Kultur jaringan adalah metode perbanyakan secara vegetatif yang dilakukan secara
in vitro, sehingga hasil akhirnya adalah klon tanaman atau yang biasa disebut somaklon
(karena berasal dari sel-sel somatik). Metode perbanyakan ini dilakukan secara aseptik di
laboratorium, membutuhkan bahan awal tanaman (biasa disebut eksplan) yang relatif
berukuran kecil untuk menghasilkan somaklon dalam jumlah banyak dan dalam waktu
yang relatif singkat. Somaklon ini memiliki karakter morfologi dan molekuler yang identik
dengan induknya. Kadangkala modifikasi genetis bisa terjadi pada kultur jaringan melalui
variasi somaklonal, akan tetapi hal ini bukan menjadi tujuan, meskipun variasi somaklonal
ini bisa bersifat positif.
Tanaman transgenik adalah tanaman yang telah disisipi atau memiliki gen asing
dari spesies tanaman yang berbeda atau makhluk hidup lainnya. Penggabungan gen asing
7
ini bertujuan untuk mendapatkan tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan, misalnya
pembuatan tanaman yang tahan suhu tinggi, suhu rendah, kekeringan, resisten terhadap
organisme pengganggu tanaman, serta kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi dari
tanaman alami. Sebagian besar rekayasa atau modifikasi sifat tanaman dilakukan untuk
mengatasi kebutuhan pangan penduduk dunia yang semakin meningkat dan juga
permasalahan kekurangan gizi manusia sehingga pembuatan tanaman transgenik juga
menjadi bagian dari pemuliaan tanaman.
Sejarah penemuan tanaman transgenik dimulai pada tahun 1977 ketika bakteri
Agrobacterium tumefaciens diketahui dapat mentransfer DNA atau gen yang dimilikinya
8
ke dalam tanaman. Pada tahun 1983, tanaman transgenik pertama, yaitu bunga matahari
yang disisipi gen dari buncis (Phaseolus vulgaris) telah berhasil dikembangkan oleh
manusia. Sejak saat itu, pengembangan tanaman transgenik untuk kebutuhan komersial
dan peningkatan tanaman terus dilakukan manusia. Tanaman transgenik pertama yang
berhasil diproduksi dan dipasarkan adalah jagung dan kedelai. Keduanya diluncurkan
pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1996. Pada tahun 2004, lebih dari 80 juta
hektar tanah pertanian di dunia telah ditanami dengan tanaman transgenik dan 56% kedelai
di dunia merupakan kedelai transgenic
,kualitas gizi serta daya simpan produk pertanian juga dapat ditingkatkan sehingga secara
ekonomi memberikan keuntungan secara nyata .Adapun dampak positifnya adalah untuk
menciptakan keanekaragaman hayati yang lebih tinggi .
2. Florikultur .
Antara lain telah diperoleh tanaman anggrek transgenik dengan masa kesegaran
bunga yang lama .Demikian juga telah dihasilkan. Beberapa jenis tanaman bunga
transgenik lainnya dengan warna bunga yang diinginkan .
3. Kesehatan
Mampu menghasilakan berbagai jenis obat dengan kualitas yang lebih baik
sehingga memberikan harapan dalam upaya penyembuhan sejumah penyakit dimasa
mendatang .Teknik rekayasa genetika memungkinkan diperolehnya berbagai produk
industri farmasi penting seperti insulin,interferon dan beberapa hormon pertumbuhan
dengan cara yang lebih efisien .Hal ini karena gen yang bertanggung jawabatas produk
tersebut dikloning ke dalam sel inang bakteri tertentu yang sangat cepat pertumbuhannya
dan hanya memerlurkan kultivasi biasa Beberapa tanaman transgenik telah diaplikasikan
untuk menghasilkan tiga macam sifat unggul, yaitu tahan hama, tahan herbisida, dan buah
yang dihasilkan tidak mudah busuk. Tanaman jagung dan kapas transgenik dengan sifat
tahan hama telah diproduksi secara massal dan dipasarkan di dunia. Gen asing yang
banyak digunakan untuk sifat resistensi hama ini adalah gen penyandi toksin Bt dari
bakteri Bacillus thuringiensis. Sejak tahun 1996, Monsanto, salah satu perusahaan
multinasional di bidang bioteknologi, telah menjual benih kapas transgenik dengan merek
dagang “Bollgard”. Selain itu, tanaman kedelai dan kanola tahan herbisida juga telah
dijual ke berbagai negara, termasuk Indonesia, dengan merek “Roundup Ready”.
Tanaman tomat transgenik dengan sifat pematangan buah diperlambat pernah
diproduksi oleh Calgene pada tahun 1994 dan dipasarkan di Amerika Serikat dengan
merek “Flavr Savr”. Biasanya, tanaman tomat alami dipanen dalam keadaan masih hijau
dan belum matang kemudian disemprot dengan gas etilen untuk membuat buah matang dan
berwarna merah. Namun, rasa tomat yang dihasilkan umumnya kurang terasa. Tujuan
pembuatan tomat transgenik tersebut adalah untuk memperpanjang masa simpan dan
menghindari pembusukan buah selama transportasi dari lahan penanaman ke tempat
penjualan. Namun, penjualan Flavr Savr ditarik dalam waktu kurang dari setahun karena
alasan kesehatan dan penjualannya mengalami kerugian. Produk tersebut tidak banyak
terjual karena harganya dua kali lipat dari tomat biasa namun rasa yang dihasilkan sama.
11
Kalus atau tunas kedelai hasil transformasi diperbanyak pada medium MS + 0,3 mg/l
NAA + 2 mg/l BAP sesuai prosedur George dan Sherrington (Pierik, 1987). Seluruh
tahapan multiplikasi dilakukan dalam kondisi aseptis dan diinkubasi pada pencahayaan
sekitar 1000 lux (dengan transmission light) fase gelap 8 jam dan fase terang 16 jam serta
suhu 25-280 C.
B. Isolasi dan penentuan konsentrasi coat protein SMV
Gel akrilamid terdiri atas resolving gel 15% (10 ml larutan stok akrilamid :
bisakrilamid 30 : 0,8 + 7,4 ml Tris-HCl 1 M pH 8,6 + 0,2 ml SDS 10 % + 1 ml APS 1,5 %
+ 1,36 ml akuades) + 10 µl TEMED, segera dimasukkan ke slab gel vertikal setinggi 5 cm
dan stacking gel (3%). Selanjutnya ditambahkan butanol untuk menutup permukaan larutan
agar permukaan rata dan menghilangkan gelembung udara. Gel dibiarkan mengalami
polimerisasi selama 30 - 60 menit. Setelah padat maka resolving gel dibersihkan dengan
menyemprot akuades ke permukaan gel. Stacking gel (2,8 ml larutan stok akrilamid :
bisakrilamid 30 : 0,8 + 1,66 ml Tris-HCl 1 M pH 6,8 + 0,14 ml SDS 10 % + 0,66 ml APS
1,5 % + 8,2 ml akuades) + 8 µl TEMED. Campuran dituang di atas resolving gel dengan
cepat, kemudian sisir dipasang dan gel dibiarkan berpolimerisasi selama 30-40 menit
sehingga siap digunakan. Sampel protein yang akan dipisahkan ditambah dengan sampel
bufer (2X), dipanaskan selama 2 menit, setelah itu larutan sampel dimasukkan ke dalam
sumuran pada gel yang telah terbentuk. Elektroforesis protein SDSPAGE dijalankan pada
voltase 80 V selama kurang lebih 1 jam (hingga batas bawah gel). Setelah selesai gel
direndam dalam coomase blue untuk pewarnaan dan digoyang selama semalam dan
dilakukan desstaining hingga pita-pitanya dapat dilihat dengan jelas dan dapat diketahui
berat molekulnya.
D. Analisis coat protein SMV dengan metode Immunoblotting- antibodi poliklonal
Pengujian ini terdiri atas tahapan : transfer membran, blocking, pengujian antibodi,
pengujian anti-antibodi (conjugate) dan pewarnaan. Transfer gel ke membran dilakukan
setelah protein dielektroforesis pada SDS-PAGE dan direndam transfer bufer selama 30
menit. Membran nitrosellulosa dipotong sesuai ukuran gel dan diberi tanda untuk
menentukan posisi sumuran, lalu direndam transfer buffer bersama-sama dengan fiber
pads. Setelah 30 menit, gel disusun dalam Trans-blot SD Semi-dry Transfer Cell dengan
urutan dari bawah sebagai berikut : fiber pad (+), membran nitrosellulosa, gel, fiber pad (),
diratakan agar tidak ada gelembung. Trans-blot SD Semi-dry Transfer Cell ditutup.
Blotting dijalankan pada voltase 20 V selama 45 menit. Blocking dilakukan supaya gel
13
tertutup larutan blocking sehingga pita protein yang sudah diberi antigen dapat terdeteksi.
Sebelum dilakukan blocking dengan larutan BSA 1% dalam TTBS-tween 0,05 %,
membran yang telah diblot dengan protein dari gel direndam dengan transfer bufer salin
(TBS 1X) selama 5 menit. Membran direndam pada larutan blocking selama 60 semalam
pada suhu 40 C tanpa penggoyangan. Selanjutnya larutan blocking dibuang dan membran
dicuci dengan larutan Tween transfer bufer salin (TTBS) selama 10 menit dengan
penggoyangan pada suhu kamar lalu larutan TTBS dibuang. Pengujian antibodi dilakukan
dengan merendam membran pada larutan antibodi pertama dan selanjutnya membran
diinkubasi selama 120 menit dengan penggoyangan pada suhu kamar. Membran dicuci
dengan TTBS dua kali, masing-masing 5 menit dan selanjutnya TTBS dibuang. Pengujian
anti-antibodi (conjugate) dilakukan dengan merendam membran pada larutan antibodi ke
dua (anti-Rabbit IgG alkaline phosphatase conjugate) dan diinkubasi selama 2 jam pada
suhu kamar dengan penggoyangan. Setelah inkubasi, larutan antibodi ke dua dibuang dan
membran dicuci dengan TTBS dua kali, masing-masing 5 menit, kemudian dicuci dengan
larutan TBS satu kali 5 menit. Deteksi hasil reaksi dilakukan dengan merendam membran
di dalam larutan colour developer (BCIP/NBT) sampai terbentuk warna ungu pada
membran. Reaksi pewarnaan kemudian dihentikan dengan merendam membran dalam
akuades selama 10 menit.
Kalus yang telah disubkultur dan dimultiplikasi kemudian diinduksi untuk beregenerasi
membentuk tunas atau akar. Untuk itu dilakukan optimasi medium terbaik yang dapat
menginduksi tunas atau akar dengan Kanamycin 50 mg/l sebagai marker seleksi. Optimasi
medium regenerasi dilakukan dalam kondisi aseptis dan diinkubasi pada pencahayaan
sekitar 1000 lux ( dengan transmision light) fase gelap 8 jam dan fase terang 16 jam serta
suhu 25-280 C.
Perlakuan medium yang dicobakan adalah :
G. MS0
14
J. MS + 3 mg/l BAP
Seluruh tahapan substitusi medium multiplikasi dilakukan dalam kondisi aseptis dan
diinkubasi pada pencahayaan sekitar 1000 lux ( dengan transmision light) fase gelap 8 jam
dan fase terang 16 jam serta suhu 25-280 C.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Regenerasi Transforman Kedelai cp-SMV
Subkultur I 60 39,70
Subkultur II 20 10,00
Subkultur III 8 4,00
Subkultur IV 6 3,00
Subkultur V 6 3,00
Subkultur VI 6 3,00
Subkultur VII 6 3,00
Dari 200 eksplan yang diseleksi, 151 isolat berhasil membentuk kalus dalam medium
berisi Kanamycin (75,5%). Kalus yang telah tersisipi gen cp- SMV kemudian diisolasi
DNAnya untuk mendeteksi keberhasilan transformasi. Dari 151 isolat, yang diisolasi
DNAnya sebanyak 21 isolat (13,9 %). Dari 21 DNA yang dideteksi PCR dan
menunjukkan kalus tersisipi gen cp-SMV sebanyak 11 isolat (5,5 %). Sementara kalus
juga disubkultur untuk menyuplai hara dan dimultiplikasi untuk memperbanyak kalus.
Kalus yang sudah ditransformasi tidak mudah mempertahankan pertumbuhannya, kalus
mengalami browning yang kemudian berlanjut pada kematian kalus. Kalus bisa
dipertahankan kesegarannya antara 3 – 6 minggu dari inokulasi, sehingga kalus harus
disubkultur dan dilakukan sampai 7 kali selama sekitar 7 bulan untuk memperoleh kalus
yang akan diisolasi protein dan diregenerasi lebih lanjut. Keberhasilan kalus beregenerasi
dan membelah cukup rendah, karena dari 21 transforman, hanya 6 isolat (3 %) yang dapat
bertahan hidup dan diperbanyak yaitu transforman S11, S17, 24, 33, 35 dan 40. Sementara
itu menurut Wattimena (1992) keberhasilan transformasi genetik kedelai menggunakan
metode mikroproyektil sebesar 2 % persen .
Isolat yang membentuk kalus dan bertahan hidup sampai subkultur VII kemudian
dikembangkan untuk mendapatkan kalus dalam jumlah banyak. Hasil multiplikasi dapat
dilihat pada Gambar 2.
16
Kemampuan multiplikasi kalus cenderung rendah, karena dari 1 botol koleksi isolat
transforman rata-rata hanya dapat diperbanyak menjadi 2 botol koleksi, kecuali pada
transforman nomor S11 yang dapat diperbanyak sampai 64 botol koleksi pada subkultur
III, meskipun kemampuan multiplikasinya menurun pada subkultur IV menjadi 16 botol
koleksi dan meningkat lagi pada subkultur V. Keberhasilan subkultur dan multiplikasi
menurun karena komposisi medium dan ZPT yang digunakan sama dengan medium untuk
induksi kalus awal, sehingga kalus mengalami stagnasi pertumbuhan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Gunawan (1987) bahwa subkultur beruntun pada medium yang sama
menyebabkan pertumbuhan eksplan mengalami stagnasi.
1 2 3 4 5 6 7
Menurut Tang dan Tian (2003) untuk pengujian western blotting cukup digunakan
sampel 1 gram dari kalus segar transgenik loblolly pine dengan konsentrasi 10 uM. Dari
Gambar 3 tampak bahwa pada transgenik kedelai cp-SMV diperlukan sampel seberat 2
gram kalus untuk mendapatkan pita-pita protein yang cukup untuk dianalisis secara
SDSPAGE dengan jumlah protein 10 uM. Isolasi protein dari 6 transforman dengan berat
sampel masing-masing 2 gram, hasilnya tersaji pada Tabel 2.
(mg/ml) Protein
Non transforman 13,97 4,89
S11 13,04 5,22
S17 15,65 8,61
24 14,71 6,62
33 15,59 8,57
35 15,78 7,10
40 16,34 8,17
Hasil isolasi protein dari berat sampel yang sama ternyata menghasilkan jumlah
protein yang berbeda. Hal tersebut selain dipengaruhi oleh kandungan protein dalam
masing-masing transforman, juga oleh sifat kalus yang mempengaruhi isolasi protein.
Jumlah protein yang diperoleh dari enam transforman berkisar antara 4,89 – 8,61 mg
dengan konsentrasi sebesar 13,04 – 16, 34 mg/ml. Dari 2 gram kalus transforman S17, 33
dan 40 diperoleh protein dalam jumlah banyak dengan konsentrasi tinggi. Sementara dari
2 gram kalus non transforman diperoleh protein dalam jumlah yang cenderung lebih
sedikit. Hasil analisis SDS-PAGE berbagai transforman kedelai cp-SMV tersaji pada
Gambar 4.
1 2 3 4 5 6 7 8
Pada Gambar 4 tampak ada perbedaan profil pita-pita protein antara kontrol dengan
transforman, namun adanya pita coat protein-SMV pada transforman tidak begitu spesifik
karena coat protein SMV pada marker (sumur 2) tidak tampak tegas sebagai pembanding
dikarenakan konsentrasinya yang rendah (10 uM). Untuk memastikan adanya ekspresi gen
cp-SMV pada transforman maka dilakukan analisis coat protein SMV dengan metode
Immuno-dot-blot dan Immunoblotting-SDS-PAGE dengan antibodi poliklonal dari kelinci.
Keterangan :
1. 1,00 uM coat protein SMV 5. 13,95 uM protein non transforman
2. 13,04 uM protein transforman 11 6. 15,59 uM protein transforman 33
20
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
Gambar 6b. Analisis SDS-PAGE berbagai konsentrasi protein transforman kedelai cp-SMV
Menurut Eggenberger et al., (1989) ukuran protein lebih rendah dari yang
diperkirakan, diduga karena adanya prosesing. SMV menyandi delapan protein yang pada
awalnya merupakan satu protein besar yang kemudian mengalami pemotongan
(posttranslationally processed) menjadi protein virus. Gen cp-SMV diperkirakan
panjangnya 795 nukleotida yang mengkode 265 asam amino menjadi protein seberat
29.857 dalton. Pada Gambar 6a dari analisis SDS-PAGE tampak bahwa pada transforman
11, 24, 33, 40 maupun kontrol terdapat pita protein yang sejajar dengan coat protein SMV
sebesar <30.200 dalton. Setelah dideteksi secara immunoblotting SDS-PAGE pada Gambar
6b tampak bahwa pada kontrol tidak ada ekspresi coat protein SMV, sedang transforman
33 terekspresi coat protein SMV secara kuat dan pada transforman 11, 24 dan 40
terekspresi coat protein dengan ukuran lebih kecil dari standar cp-SMV.
Diantara medium yang dicoba, medium MS + 0,5 mg/l NAA + 3 mg/l BAP
menghasilkan persentase browning terendah dengan kualitas kesegaran kalus sedang.
Peningkatan konsentrasi NAA dan BAP menyebabkan kalus yang sudah disubkultur
berkali-kali pada medium MS + 0,3 mg/l NAA + 2 mg/l BAP mampu beregenerasi kembali
dalam medium MS + 0,5 mg/l NAA + 3 mg/l BAP. Gunawan (1987) menyatakan bahwa
subkultur beruntun pada medium yang sama menyebabkan pertumbuhan eksplan stagnan
dan dapat diregenerasi kembali dalam medium yang ditingkatkan konsentrasi ZPTnya dari
medium semula atau medium tanpa ZPT. Namun demikian peningkatan konsentrasi NAA
dan BAP belum mampu menginduksi akar/tunas sehingga morfogenesis kalus transforman
setelah subkultur VII masih terjadi secara tidak langsung yaitu melalui pembentukan kalus.
Untuk itu perlu dicoba ZPT jenis lain yang lebih efektif menginduksi akar/tunas, misalnya
Thidiazuron. Mok et.al (1987) menyatakan bahwa Thidiazuron merupakan turunan
fenilurea yang aktivitasnya lebih tinggi dibanding sitokinin lainnya.
23
Kalus yang diperoleh dalam kultur in vitro terus-menerus harus dipelihara agar
tidak mengalami kematian dan dapat disimpan sebagai koleksi atau bahan tanam
berikutnya. Pemeliharaan yang utama adalah subkultur yaitu memindahkan kultur dari
medium lama yang telah kehilangan kandungan unsur hara lengkap ke dalam medium baru
yang kandungannya sama dengan medium sebelumnya. Oleh karena komposisi medium
yang digunakan adalah MS maka diperlukan biaya cukup besar disebabkan bahan
penyusun medium MS merupakan senyawa pure analysis yang harganya cukup mahal.
Untuk itu dilakukan upaya mengganti atau mensubstitusi sumber hara dan zat pengatur
tumbuh yang ditambahkan. Sebagai pengganti sumber hara digunakan pupuk daun dan air
kelapa sebagai pengganti sitokinin. Pada Tabel 4 tersaji hasil rerata persentase browning,
diameter kalus dan kesegaran warna transforman kedelai yang diukur dengan teknik
skoring berdasar Munchell Colour Chart. Sedang visualisasi kalus pada substitusi medium
untuk multiplikasi dan induksi tunas/akar tersaji pada Gambar 7.
Tabel 4. Rerata persentase browning, kesegaran warna dan diameter kalus transforman
kedelai pada medium substitusi
Hyponek + 0,5 mg/l NAA + 3 mg/l BAP 91,80 49,23 2,26 Kalus
+ 20 % air kelapa
Hyponek + 0,5 mg/l NAA + 2 mg/l BAP 40,40 78,18 2,74 Kalus
+ 20 % air kelapa
Hyponek + 0,5 mg/l NAA + 1 mg/l BAP 46,00 61,66 2,70 Kalus
+ 20 % air kelapa
Hyponek +0,5 mg/l NAA + 20 % air 37,00 92,72 2,70 Kalus
kelapa
24
Keterangan : semakin tinggi persentase warna akan menunjukkan kalus semakin hijau
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa persentase warna tertinggi diperoleh pada medium
substitusi Hyponek + 0,5 mg/l NAA + 20 % air kelapa (Gambar 7 H) diikuti medium
Hyponek + 0,5 mg/l NAA + 2 mg/l BAP + 20 % air kelapa (Gambar 7 F). Pada medium
tersebut diperoleh kalus dalam jumlah cukup tinggi dengan diameter 2,70-2,74 cm dan
semakin hijau kalus yang diperoleh (78,18 -92,72 %) dengan persentase browning yang
cukup rendah (37,:-40,40 %). Hasil ini lebih baik jika dibandingkan persentase warna
kalus yang ditanam dalam medium MS dengan variasi zat pengatur tumbuh buatan dan
alami.
KESIMPULAN
1. Perlu dicoba sitokinin lain seperti Thidiazuron untuk menginduksi tunas/akar dari
kalus transforman kedelai
2. Dilakukan aklimatisasi pada planlet transforman cp-SMV
26
3. Dilakukan uji stabilitas gen pada transforman cp-SMV dan uji ketahanan terhadap
virus SMV
TERIMA KASIH
DIRJEN DIKTI yang telah membiayai penelitian ini melalui HIBAH PEKERTI tahun
2004.
DAFTAR PUSTAKA
Agung-Astuti, Etty H. dan Ainun, F. 2001. Pengaruh Konsentrasi NAA dan BAP
Terhadap Multiplikasi Kalus dan TunasTembakau Hasil Transformasi cp-SMV.
Agung-Astuti, E. Handayani, Innaka, A.R. dan Sismindari. 2002. Analisis Gen Coat
Protein SMV Tembakau Hasil Transformasi cp-SMV. AgroUMY XI (2) : 49-59.
Agung-Astuti, E. Handayani dan A.S. Alim. 2002. Kajian Berbagai Konsentrasi Sterilan
dan Lama Perendaman Eksplan Kotiledon Kedelai Varietas Wilis Terhadap
Keberhasilan Kultur in vitro. Prosiding Seminar Nasional Kimia UNY.
Agung-Astuti, Innaka, A.R. dan E. Supanti. 2003. Substitusi Hara dan ZPT pada Medium
MS dengan Pupuk daun dan Air Kelapa untuk Multiplikasi Kalus Kedelai Hasil
Transformasi cp-SMV Secara In Vitro
27
Beachy, RN., M. Bendahmane, J.H. Fitchen, G. Zhang. 1997. Studies of Coat Protein-
Mediumted Resistance to Tobacco Mosaic Tobamovirus : Correlation between
Assembly of Mutant Coat Proteins and Resistance. Virology 71 (10) : 1942 – 7950.
Beachy, RN. 1998. Virus-resistant Transgenic Plants. In: Biotechnology in Plant Disease
Control. Wiley – Liss, New York.
Clark, W.G., J. Fitchen, A. Nejidat, C.M. Deom, R.N. Beachy. 1995. Studies of coat
protein-mediumted resistance to tobacco mosaic virus (TMV). II. Challenge by a
mutant with altered virion surface does not overcome resistance conferred by TMV
coat protein. J.G. virol. 76 ( 10 ) : 2613 –1617.
Eggenberger, A.L., D.M. Stark and R.N. Beachy. 1989. The Nucleotide Sequence of SMV
Coat Protein Region and its Expression in E. coli, Agrobacterium and Tobacco
Callus. J. Gen. Virol. 70 : 1853-1860
Nelson, R.S. 1988. Virus Tolerance, Plant Growth and Field Performance of Transgenic
Tomato Plant Expressing Coat Protein from TMV. Bio/Technology 6: 403-409.
Mantell, S.H., Matthews, J.A., McKee, R.A. 1985. Principle of Plant Biotechnology An
introduction To Genetic Engineering In Plants. Blackwell Scientific Publications.
Oxfords London Edinburgh. Boston Palo Alto Melbourne.
28
Power-Abel, P., R.S. Nelson, B.D.N. Hoffmann, Roger, Fraky and R.N. Beachy. 1996.
Delay of Disease Development in Transgenic Plant That Express the TMV Coat
Protein Gene. Science 232 : 738-743
Sismindari dan Sujadi. 1996. Kloning Gen Coat Protein SMV dengan pendekatan PCR
Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 2 : 36-39
Sumardiyono, Y.B., Wuye Ria Andayani, Susamto S. 1995. Karakterisasi dan serologi
Virus SMV. Makalah Kongres Nasional XIII PFI, Mataram.
Tang, W and Tian, Y. 2003. Transgenic loblolly pine (Pinus taeda L.) plants expressing a
modified d-endotoxin gene of Bacillus thuringiensis with enhanced resistance to
Dendrolimus punctatus Walker and Crypyothelea formosicola Staud. J. of
Exoerimental Botany 54 (383): 835 – 844.
Wang, Y., R.L. Nelson, Y. Hu. 1998. Genetic analysis of resistance to soybean mosaic
virus in four soybean cultivar from China. Crop Science 38 (4) : 922-925.
29