Polemik Puisi Esai
Polemik Puisi Esai
Polemik Puisi Esai
Dari wacana di atas dapat kita simpulkan bahwa semangat Denny JA dalam membawa puisi esai adalah
untuk membentuk puisi yang mudah dimengerti dan puisi yang berbentuk cerita. Hadirnya puisi ini
langsung mendapat penolakan. Mari kita simak pendapatan Satu Situmorang.
Tingkat keawaman yang begitu parah tentang Sastra dipamerkan Denny JA dengan menyatakan bahwa “puisi esai”
merupakan “historical fiction”, bahwa “puisi esai” adalah “novel pendek yang dipuisikan”. Hanya seorang yang sama
sekali buta Sastra akan membuat pernyataan-pernyataan yang sangat menggelikan di atas.
Bagi mereka yang mengerti Sastra maka secara umum Sastra biasanya dibagi atas 3 genre yaitu Puisi, Prosa, dan
Drama. Fiksi (novel dan cerpen) dan Esei biasanya dimasukkan dalam kategori Prosa, walau tentu saja selalu ada
tumpah-tindih atau gabungan dari genre di antara ketiga genre utama Sastra tersebut.
Puisi biasanya dibedakan dari Prosa dalam hal berikut ini: Puisi biasanya ditulis dalam sebuah sistem persajakan
sementara Prosa tidak; Prosa ditulis dalam kalimat sedangkan Puisi dalam Baris; dan sintaks dalam Prosa dipengaruhi
oleh Artinya sementara dalam Puisi oleh Persajakan dan aspek Visualnya.
Esei adalah satu jenis tulisan analitis, interpretatif dan kritis tentang suatu topik yang biasanya ditulis dari perspektif
pribadi penulisnya untuk mengekspresikan pendapat pribadinya. Bentuk esei biasanya terdiri dari pembukaan dan
kesimpulan. Dan terdapat beberapa paragraf sebagai isi esei antara pembukaan dan kesimpulan tersebut.
Walaupun begitu tidak semua esei berbentuk tulisan. Ada bentuk-bentuk lain dari esei yang fungsinya mirip dengan
fungsi tulisan yang disebut esei di atas yaitu Foto Esei dan Film Esei.
Istilah “puisi-esei” adalah kombinasi dari dua genre Sastra yang berbeda yaitu Puisi dan Prosa dalam hal ini subgenre
Esei.
Kalau kita bicara tentang “puisi esei” maka kita akan bicara tentang satu genre tulisan yang merupakan gabungan
dari dua genre Sastra. Suatu tulisan yang SEKALIGUS Puisi dan Esei. Biasanya puisi adalah Bentuknya dan Esei
adalah isinya.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah tulisan yang disebut “puisi-esai” [sic] oleh Denny JA itu memang Puisi-Esei?
Apakah sudah ada yang membuktikan bahwa Puisi memang sudah berhasil dituliskan dalam “puisi-esai” dan isinya
memang merupakan Esei analitis, interpretatif dan kritis tentang suatu topik?
Bukankah yang justru ditemukan dalam apa yang disebut Denny JA sebagai ‘puisi-esai” [sic] itu tak lebih dari Cerita
Naratif biasa (memiliki Plot, Tokoh dan Dialog seperti dalam Cerpen) yang disusun Tipografinya seperti tipografi
Puisi, seolah-olah Puisi! Bukan cerita naratif yang harusnya jadi Isi “puisi-esai” mereka itu tapi Esei! Dan seperti yang
sudah saya sebutkan di atas, Esei adalah subgenre dari Prosa, BUKAN bagian dari Fiksi seperti Novel dan Cerpen.
Denny JA sendiri di pembuka eseinya tersebut sudah menegaskan bahwa yang dia maksud sebagai “puisi esai” itu
adalah “fiksi sejarah” (walau pembacanya tidak dijelaskannya apa yang dia maksud dengan istilah ini) dan “novel
pendek yang dipuisikan” (cuma dia yang tahu di mana bisa ditemukan Novel tersebut dalam puisi esai).
Kalau puisi esai itu adalah “fiksi sejarah” dan “novel pendek yang dipuisikan”, kenapa terus menerus ngotot minta
diterima sebagai Puisi, bahkan diklaim sebagai “genre baru” Puisi?! Mungkin karena begitu awam tentang Sastra
maka Denny JA tidak pernah tahu bahwa apa yang disebut sebagai “historical fiction” alias fiksi sejarah itu dalam
Teori Sastra adalah fiksi yang setting ceritanya suatu masa/periode dalam sejarah yang sudah lalu dan yang berusaha
sesetia dan serealistik mungkin menggambarkan kondisi sosial, semangat zaman dan adat istiadat periode sejarah
tersebut sesuai dengan fakta sejarah.
Biasanya setting waktu tersebut sekitar 50 tahun atau lebih sebelum saat fiksi tersebut ditulis atau ditulis oleh
seseorang yang belum lahir pada saat cerita terjadi makanya penulisannya dilakukan berdasarkan riset penulisnya
dan bukan dikarang-karang.Satu ciri-khas lain dari fiksi sejarah adalah tokoh cerita yang biasanya adalah figur-figur
sejarah yang terkenal dan keterlibatan mereka dalam peristiwa-peristiwa sejarah penting.
Dalam Sastra Indonesia, Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer adalah contoh karya sastra yang disebut
sebagai “historical fiction” alias fiksi atau novel sejarah itu. Apakah ciri-ciri yang saya tuliskan di atas bisa kita
temukan dalam “historical fiction” alias puisi esai Denny JA? Seperti yang sudah kita harapkan, Denny JA pasti akan
berkilah lagi bahwa “historical fiction”nya adalah genre baru juga – seperti puisi esainya adalah genre puisi baru —
dan berbeda dari “historical fiction” para Teoritikus Sastra dengan mindset lama di atas.
Tidak hanya genre puisi saja yang menjadi polemik, tapi tentang penyair-penyair yang dibayar oleh
Denny JA juga banyak disoroti Saut. Mari kita simak tulisan Saut tentang hal tersebut.
Kita tentu saja berhak berandai-andai…. Seandainya tidak ada tawaran duit pra-bayar Rp 5 juta itu, apakah
“angkatan baru” ini akan (bersedia) menulis puisi esai?! Akankah Proyek Manipulasi Sejarah Sastra Indonesia lewat
“inovasi marketing” berbentuk “34 buku puisi esai di 34 provinsi” oleh seorang “entrepreneur” yang menganggap
“marketing sama pentingnya dengan estetika” itu terwujud?
Inilah satu-satunya “angkatan” di sastra manapun di dunia ini yang “lahir” karena para anggotanya dibayari untuk
menulis dalam satu gaya seragam bahkan sebelum tulisan mereka tersebut mulai ditulis. Saya usulkan nama yang
tepat untuk angkatan baru ini adalah Angkatan Puisi Esai Pra-Bayar Denny JA
Penolakan Puisi Esai tidak menghalangi genre puisi tersebut untuk tetap eksis, buktinya sekarang ini puisi esai sudah
banyak dibuat menjadi film pendek dan banyak dibacakan yang tersiar di laman youtube, selain itu puisi esai juga
masuk ke dalam KBBI. Dalam KBBI puisi esai diterjemahkan sebagai “Ragam sastra berisi
pesan sosial dan moral melalui kata sederhana dengan pola berbait-bait, berupa fakta,
fiksi dan catatan kaki
Menurut saya pribadi. Puisi esai tak lebih dari puisi naratif dan jenis puisi itu sudah ada sejak lama. Jadi
saya lebih condong pada pendapat Saut. Terlebih kemunculannya sangat erat dengan kekuatan uang.