Polemik Puisi Esai

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 3

Puisi esai digagas oleh Denny JA.

Kehadirannya membawa polemik, ada begitu banyak yang menentang


puisi esai? Kenapa ditentang? Nah, kita bahas asal-usul puisi esai terlebih dahulu.

Pada tahun 2006, pemimpin Foundation of Poetry yaitu John Barr menulis sebuah buku berjudul


"American Poetry in New Century". Buku ini diterbitkan oleh tim redaksi Poetry. Di dalam buku
tersebut, John Barr menulis kritik terhadap perkembangan puisi di Amerika Serikat. Selain itu, kritik
tersebut juga ditujukan bagi dunia perpuisian masa kini di Indonesia. John Barr mengemukakan
bahwa puisi belum memahami perubahan yang berarti selama berabad-abad dan semakin sulit
dipahami oleh publik.[4] Menanggapi hal tersebut, pada tahun 2011, Denny Januar Ali melakukan
riset terbatas tentang perkembangan puisi di Indonesia. Riset ini dilakukan sepenuhnya
oleh Lembaga Survei Indonesia yang didirikan olehnya.[5] Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan yang berpendidikan tinggi, sangat sulit memahami
makna puisi-puisi masa kini. Sebaliknya makna puisi-puisi lama seperti puisi karya Chairil
Anwar dan W.S. Rendra dapat dipahami dengan mudah walaupun diberi pemaknaan yang
beragam.

Sebelum John Barr mengemukakan pendapatnya tersebut, Joseph Epstein telah lebih dahulu


mengemukakan bahwa karya-karya penyair kontemporer hanya mampu dipahami oleh kalangan
mereka sendiri dan tidak dikenal oleh para pelajar karena kurangnya adaptasi bahasa. Hal ini
diungkapkannya dalam esainya yang berjudul "Who Killed Poetry?". Hal yang sama turut
dikemukakan oleh Delmore Schwartz dalam esainya yang berjudul "The Isolation of Modern Poetry".
Schwartz mengungkapkan bahwa alasan puisi modern kekurangan peminat adalah karena
kerumitan bahasa yang digunakan dalam puisi modern itu sendiri.

Menanggapi hal tersebut, Denny Januar Ali mulai memikirkan sebuah medium baru yang mampu


memberikan pemahaman mengenai isu-isu sosial sekaligus menyentuh hati pembacanya. Denny
menetapkan empat kriteria medium baru tersebut, yaitu harus menyentuh hati dan
mengeksplorasi sisi batin, mengungkapkan kehidupan sosial manusia secara konkret, ditulis dengan
bahasa yang mudah dimengerti namun indah, serta menggambarkan dinamika
sosial maupun dinamika karakter tokoh utama dalam cerita. Kemudian, Denny menemukan sebuah
medium baru yang disebutnya dengan nama "puisi esai". Medium ini merupakan perpaduan antara
puisi dan esai.[8] Bersamaan dengan penemuan puisi esai, Denny pun menerbitkan sebuah buku
berjudul "Atas Nama Cinta" pada bulan Maret 2012. Sebelum menetapkan nama medium "puisi
esai", Denny Januar Ali telah beberapa kali melakukan pergantian nama, mulai dari opini liris, esai
liris, puisi opini, dan puisi naratif. Pemilihan nama puisi esai merupakan hasil akhir dari diskusi yang
dilakukan oleh Denny Januar Ali bersama rekan-rekannya, yaitu Sapardi Djoko Damono, Ignas
Kleden, Eriyanto, Fatin Hamama dan Mohamad Sobary.

(Dilansir dari Wikipedia)

Dari wacana di atas dapat kita simpulkan bahwa semangat Denny JA dalam membawa puisi esai adalah
untuk membentuk puisi yang mudah dimengerti dan puisi yang berbentuk cerita. Hadirnya puisi ini
langsung mendapat penolakan. Mari kita simak pendapatan Satu Situmorang.
Tingkat keawaman yang begitu parah tentang Sastra dipamerkan Denny JA dengan menyatakan bahwa “puisi esai”
merupakan “historical fiction”, bahwa “puisi esai” adalah  “novel pendek yang dipuisikan”. Hanya seorang yang sama
sekali buta Sastra akan membuat pernyataan-pernyataan yang sangat menggelikan di atas.

Bagi mereka yang mengerti Sastra maka secara umum Sastra biasanya dibagi atas 3 genre yaitu Puisi, Prosa, dan
Drama. Fiksi (novel dan cerpen) dan Esei biasanya dimasukkan dalam kategori Prosa, walau tentu saja selalu ada
tumpah-tindih atau gabungan dari genre di antara ketiga genre utama Sastra tersebut.

Puisi biasanya dibedakan dari Prosa dalam hal berikut ini: Puisi biasanya ditulis dalam sebuah sistem persajakan
sementara Prosa tidak; Prosa ditulis dalam kalimat sedangkan Puisi dalam Baris; dan sintaks dalam Prosa dipengaruhi
oleh Artinya sementara dalam Puisi oleh Persajakan dan aspek Visualnya.

Esei adalah satu jenis tulisan analitis, interpretatif dan kritis tentang suatu topik yang biasanya ditulis dari perspektif
pribadi penulisnya untuk mengekspresikan pendapat pribadinya. Bentuk esei biasanya terdiri dari pembukaan dan
kesimpulan. Dan terdapat beberapa paragraf sebagai isi esei antara pembukaan dan kesimpulan tersebut.

Walaupun begitu tidak semua esei berbentuk tulisan. Ada bentuk-bentuk lain dari esei yang fungsinya mirip dengan
fungsi tulisan yang disebut esei di atas yaitu Foto Esei dan Film Esei.

Istilah “puisi-esei” adalah kombinasi dari dua genre Sastra yang berbeda yaitu Puisi dan Prosa dalam hal ini subgenre
Esei.

Kalau kita bicara tentang “puisi esei” maka kita akan bicara tentang satu genre tulisan yang merupakan gabungan
dari dua genre Sastra. Suatu tulisan yang SEKALIGUS Puisi dan Esei. Biasanya puisi adalah Bentuknya dan Esei
adalah isinya.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah tulisan yang disebut “puisi-esai” [sic] oleh Denny JA itu memang Puisi-Esei?
Apakah sudah ada yang membuktikan bahwa Puisi memang sudah berhasil dituliskan dalam “puisi-esai” dan isinya
memang merupakan Esei analitis, interpretatif dan kritis tentang suatu topik?

Bukankah yang justru ditemukan dalam apa yang disebut Denny JA sebagai ‘puisi-esai” [sic] itu tak lebih dari Cerita
Naratif biasa (memiliki Plot, Tokoh dan Dialog seperti dalam Cerpen) yang disusun Tipografinya seperti tipografi
Puisi, seolah-olah Puisi! Bukan cerita naratif yang harusnya jadi Isi “puisi-esai” mereka itu tapi Esei! Dan seperti yang
sudah saya sebutkan di atas, Esei adalah subgenre dari Prosa, BUKAN bagian dari Fiksi seperti Novel dan Cerpen.

Denny JA sendiri di pembuka eseinya tersebut sudah menegaskan bahwa yang dia maksud sebagai “puisi esai” itu
adalah “fiksi sejarah” (walau pembacanya tidak dijelaskannya apa yang dia maksud dengan istilah ini) dan “novel
pendek yang dipuisikan” (cuma dia yang tahu di mana bisa ditemukan Novel tersebut dalam puisi esai).

Kalau puisi esai itu adalah “fiksi sejarah” dan “novel pendek yang dipuisikan”, kenapa terus menerus ngotot minta
diterima sebagai Puisi, bahkan diklaim sebagai “genre baru” Puisi?! Mungkin karena begitu awam tentang Sastra
maka Denny JA tidak pernah tahu bahwa apa yang disebut sebagai “historical fiction” alias fiksi sejarah itu dalam
Teori Sastra adalah fiksi yang setting ceritanya suatu masa/periode dalam sejarah yang sudah lalu dan yang berusaha
sesetia dan serealistik mungkin menggambarkan kondisi sosial, semangat zaman dan adat istiadat periode sejarah
tersebut sesuai dengan fakta sejarah.
Biasanya setting waktu tersebut sekitar 50 tahun atau lebih sebelum saat fiksi tersebut ditulis atau ditulis oleh
seseorang yang belum lahir pada saat cerita terjadi makanya penulisannya dilakukan berdasarkan riset penulisnya
dan bukan dikarang-karang.Satu ciri-khas lain dari fiksi sejarah adalah tokoh cerita yang biasanya adalah figur-figur
sejarah yang terkenal dan keterlibatan mereka dalam peristiwa-peristiwa sejarah penting.
Dalam Sastra Indonesia, Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer adalah contoh karya sastra yang disebut
sebagai “historical fiction” alias fiksi atau novel sejarah itu. Apakah ciri-ciri yang saya tuliskan di atas bisa kita
temukan dalam “historical fiction” alias puisi esai Denny JA? Seperti yang sudah kita harapkan, Denny JA pasti akan
berkilah lagi bahwa “historical fiction”nya adalah genre baru juga – seperti puisi esainya adalah genre puisi baru —
dan berbeda dari “historical fiction” para Teoritikus Sastra dengan mindset lama di atas.

(Dilansir dari laman https://boemipoetra.wordpress.com/)

"Kalau 'ke-esai-an' sebuah 'genre' bernama 'sajak-esai' cuma dibuktikan dari


catatan kaki yang dimilikinya, kasihan amat tuh genre! Kasihan amat pula genre
yang bernama 'esei' itu! Mosok esei cuma macam begitu hakekatnya! Bukannya
lebih tepat kalau 'genre baru'-mu ini disebut 'sajak-skripsi' aja, hahaha!!! Atau
'sajak-yang-bercatatan-kaki'! LOL," tulis Saut di beranda Facebook.

Tidak hanya genre puisi saja yang menjadi polemik, tapi tentang penyair-penyair yang dibayar oleh
Denny JA juga banyak disoroti Saut. Mari kita simak tulisan Saut tentang hal tersebut.

Kita tentu saja berhak berandai-andai…. Seandainya tidak ada tawaran duit pra-bayar Rp 5 juta itu, apakah
“angkatan baru” ini akan (bersedia) menulis puisi esai?! Akankah Proyek Manipulasi Sejarah Sastra Indonesia lewat
“inovasi marketing” berbentuk “34 buku puisi esai di 34 provinsi” oleh seorang “entrepreneur” yang menganggap
“marketing sama pentingnya dengan estetika” itu terwujud?

Inilah satu-satunya “angkatan” di sastra manapun di dunia ini yang “lahir” karena para anggotanya dibayari untuk
menulis dalam satu gaya seragam bahkan sebelum tulisan mereka tersebut mulai ditulis. Saya usulkan nama yang
tepat untuk angkatan baru ini adalah Angkatan Puisi Esai Pra-Bayar Denny JA

Penolakan Puisi Esai tidak menghalangi genre puisi tersebut untuk tetap eksis, buktinya sekarang ini puisi esai sudah
banyak dibuat menjadi film pendek dan banyak dibacakan yang tersiar di laman youtube, selain itu puisi esai juga
masuk ke dalam KBBI. Dalam KBBI puisi esai diterjemahkan sebagai “Ragam sastra berisi
pesan sosial dan moral melalui kata sederhana dengan pola berbait-bait, berupa fakta,
fiksi dan catatan kaki

Menurut saya pribadi. Puisi esai tak lebih dari puisi naratif dan jenis puisi itu sudah ada sejak lama. Jadi
saya lebih condong pada pendapat Saut. Terlebih kemunculannya sangat erat dengan kekuatan uang.

Anda mungkin juga menyukai