Kelompok 4 - Wisata

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 50

MATA KULIAH

PERENCANAAN KAWASAN WISATA


(Studi Kasus: “Kawasan Ekowisata Lantebung, Kecamatan
Tamalanrea, Kota Makassar”)

Oleh :
Syahriani Ramadhani D101191026
Putrawanto Mayungallo D101191059
Igel Paonganan D101191001
Andi Reza Yusuf D101191040

Dosen Pengampu :
Dr. Eng. Abdul Rachman Rasyid, ST.,M.Si.
Dr. Wiwik Wahidah Osman, ST., MT
Sri Aliah Ekawati, ST., MT

DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah
memberikan segala berkah dan karunia sehingga kami dapat menyelesaikan laporan
penelitian yang berjudul “Perencanaan Kawasan Wisata Pada Kawasan Ekowisata
Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar.”
Adapun tujuan dari penyusunan laporan penelitian ini adalah, untuk memberikan
informasi kepada pembaca mengenai perencanaan kawasan wisata, khususnya pada kawasan
ekowisata Lantebung.
Dalam melewati perjalanan penelitian, peneliti dibantu oleh banyak pihak yang pada
kesempatan ini peneliti ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada,
1. Bapak/Ibu Dosen Pembimbing
2. Teman-teman mahasiswa yang tergabung dalam tim peneliti
3. Serta masyarakat di kawasan Ekowisata Lantebung
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini baik dari segi isi dan penyampaian masih
jauh dari kata sempurna. Maka dari itu dengan penuh kerendahan hati, penulis mohon
masukan baik berupa kritikan atau saran untuk penulis dapat membuat laporan ini lebih baik
di kemudian hari. Lebih lanjut, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Akhir kata penulis mengucapkan mohon maaf bila ada kata-kata dalam penyampaian
yang kurang berkenan. Sekian dan terima kasih.

Makassar, 9 November 2021

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................3

BAB I

GAMBARAN UMUM WISATA............................................................................................5

BAB II

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN.......................................................................................9

2.1 Perhitungan Kesesuaian Kawasan....................................................................................9

2.2 Kesesuaian Kawasan untuk Ekowisata..........................................................................11

BAB III

ANALISIS KEBERADAAN RUANG TERBUKA HIJAU................................................15

BAB IV

ANALISIS ASPEK FISIK.....................................................................................................16

2.1 Sarana Dan Prasarana.....................................................................................................16

2.2 Karakteristik Pengelolaan Kawasan...............................................................................17

2.3 Karakteristik Perumahan dan Permukiman....................................................................17

2.4 Karakteristik Sarana dan Prasarana Lingkungan...........................................................18

BAB V

ANALISIS ASPEK NON FISIK...........................................................................................24

5.1 Karakteristik Masyarakat dan Pengunjung Wisata Lantebung......................................24

5.2 Karakteristik Status Hukum (Legalitas).........................................................................25

5.3 Dukungan pemerintah dalam pengembangan ekowisata Lantebung.............................26

BAB VI

POTENSI DAN MASALAH.................................................................................................27

5.1 Potensi............................................................................................................................27

5.2 Masalah..........................................................................................................................28

3
BAB VI

SARAN SOLUSI & KONSEP PENGEMBANGAN...........................................................29

7.1. Saran dan Solusi............................................................................................................29

7.2 Konsep Pengembangan Wisata......................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................33

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pariwisata telah menjadi salah satu industri terbesar di dunia dan merupakan
andalan utama bagi sebagian besar negara dalam menghasilkan devisa. Maka wajar
apabila Indonesia mulai memperhitungkan sektor pariwisata untuk mengambil peranan
penting dalam pembangunan Indonesia ke depannya, khususnya sebagai penghasil
devisa negara di samping sektor migas yang selama ini diandalkan oleh pemerintah.
Meskipun perkembangan pariwisata di Indonesia bertumbuh dengan cepat, namun pada
kenyataannya masih banyak masalah-masalah yang dihadapi seperti ketersediaan sarana
dan prasarana yang tidak memadai, terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia
(SDM), kebijakan atau peraturan yang menyangkut kepariwisataan belum tepat sasaran,
dan kurangnya peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata.
Kota Makassar merupakan salah satu kota di Indonesia Timur yang memiliki
destinasi pariwisata yang beraneka ragam. Salah satu objek wisata di Makassar yang
mulai dikenal oleh masyarakat luas dan ramai dikunjungi oleh para wisatawan adalah
kawasan wisata hutan mangrove Lantebung. Sebagai tempat kegiatan wisata, maka
hutan mangrove Lantebung harus dijaga kelestariannya dengan memperhatikan daya
dukung kawasannya sebagai kawasan ekowisata. Hal ini tentu tidak terlepas dari
masalah yang sering terjadi dalam pengembangan ekowisata dimana adanya
pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan untuk kegiatan wisata tanpa
mempertimbangkan daya dukung kawasan, sehingga tak jarang ditemukannya suatu
ekosistem mangrove yang rusak akibat dari adanya kegiatan wisata. Ekowisata
merupakan suatu bentuk wisata yang dalam pemanfaatannya tidak boleh melampaui
daya dukung kawasannya (Bjork, 2000). Keberadaan objek wisata hutan mangrove
Lantebung harus diperhitungkan, hal ini tidak terlepas dari langkah strategis yang
diambil oleh Pemerintah Kota Makassar untuk mengembangkan kawasan mangrove
Lantebung sebagai kawasan ekowisata yang telah tercantum di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Makassar tahun 2005-2025.
Selain itu, di dalamnya juga telah dijelaskan bahwa kawasan hutan mangrove
Lantebung yang berada di Kelurahan Bira Kecamatan Tamalanrea ini ditetapkan
sebagai kawasan konservasi dan perlindungan ekosistem pesisir.

5
1.2 Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan penelitian dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kondisi umum kawasan Wisata Mangrove Lantebung?
2. Bagaimana kesesuaian lahan kawasan Wisata Mangrove Lantebung?
3. Bagaimana ketersediaan ruang terbuka hijau di kawasan Wisata Mangrove
Lantebung?
4. Bagaimana aspek fisik dan non fisik kawasan Wisata Mangrove Lantebung?
5. Bagaimana konsep perencanaan dan pengmbangan kawasan Wisata Mangrove
Lantebung?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui kondisi umum kawasan Wisata Mangrove Lantebung.
2. Untuk mengetahui kesesuaian lahan kawasan Wisata Mangrove Lantebung.
3. Untuk mengetahui ketersediaan ruang terbuka hijau di kawasan Wisata
Mangrove Lantebung.
4. Untuk mengetahui aspek fisik dan non fisik kawasan Wisata Mangrove
Lantebung.
5. Untuk mengetahui konsep perencanaan dan pengmbangan kawasan Wisata
Mangrove Lantebung.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pariwisata Berkelanjutan


Pembangunan yang berkelanjutan pada hekekatnya ditujukan untuk mencari
pemerataan pembangunan antar generasi pada masa kini maupun masa mendatang.
Pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Salim, 1990). Menurut Kementerian
Lingkungan Hidup (1990) pembangunan (yang pada dasarnya lebih berorientasi
ekonomi) dapat diukur keberlanjutannya berdasarkan tiga kriteria yaitu:
1) Tidak ada pemborosan penggunaan sumber daya alam atau depletion of natural
resources;
2) Tidak ada polusi dan dampak lingkungan lainnya;
3) Kegiatannya harus dapat meningkatkan useable resources ataupun replaceable
resource.
Daly (1990) menambahkan beberapa aspek mengenai Definisi Operasional
pembangunan berkelanjutan, antara lain:
1) Untuk sumber daya alam yang terbarukan: laju pemanenan harus sama dengan
laju regenerasi (produksi lestari).
2) Untuk masalah lingkungan: laju pembuangan limbah harus setara dengan
kapasitas asimilasi lingkungan. (
3) Sumber energi yang tidak terbarukan harus dieksploitasi secara quasi
sustainable, yakni mengurangi laju deplesi dengan cara menciptakan energi
substitusi.
Dalam membangun paradigma pembangunan berkelanjutan, hendaknya
memperhatikan aspek berikut:
1) Perilaku generasi kini tidak dapat sepenuhnya menentukan perilaku generasi
mendatang.
2) Generasi mendatang harus dipastikan memperoleh paling tidak tingkat konsumsi
minimum.

7
3) Pergerakan harga sumberdaya alam dan hak kepemilikan terhadap konsumsi
dimasa mendatang harus ditentukan untuk menghindari eksploitasi yang
berlebihan terhadap sumber daya alam masa kini.
4) Dalam situasi pasar tidak berfungsi, diperlukan intervensi non pasar.
5) Intervensi yang benar merupakan strategi yang penting untuk menjaga
keberlanjutan.
6) Dan yang lebih penting untuk menjaga tetap terjadi keberlajutan dalam
pembangunan dibutuhkan komitmen pemerintah dalam menentukan arah dan
kebijakan pembangunan baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
2.2 Aspek Yang Mempengaruhi Pembangunan Berkelanjutan
1) Aspek Ekonomi
Pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan
bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang dan
dapat meningkatkan kesejahteraan generasi sekarang tanpa mengurangi
kemampuan alam, masyarakat dan ekonomi untuk menaikan kesejahteraan generasi
masa depan.
2) Aspek Sosial
Aspek sosial, maksudnya dipengaruhi oleh manusia sebagai pendukung
komunitas dalam hal interaksi, interrelasi dan interdependesi. Hal-hal yang
merupakan perhatian utama dalam aspek sosial adalah stabilitas penduduk,
pemenuhan kebutuhan dasar manusia, pertahanan keanekaragaman budaya dan
partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
Aspek yang terdiri dari sosial sebagai berikut:
 Memastikan adanya distribusi yang baik dari biaya dan keuntungan dari
pembangunan disemua aspek kehidupan.
 Menghargai dan meningkatkan perhatian terhadap hak asasi manusia, termasuk
kebebasan masyarakat dan politik, budaya ekonomi dan keamanan.
Aspek yang terdiri dari pemerintahan sebagai berikut: Mendukung wakil rakyat
dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
mendorong kebesaan usaha dengan memberikan insentif, kebijakan dan sistem yang
mendukung meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan dan akurasi
informasi meningkatkan akuntabilitas.

8
3) Aspek Lingkungan
Faktor lingkungan (ekologi) yang diperlukan untuk mendukung pembangunan
yang berkelanjutan, aspek ekologi merupakan aspek yang banyak disorot ketika
membahas tentang sustainable design. Hal ini disebabkan karena aspek ini
terkait langsung dengan faktor-faktor alami yang ada di bumi yang kita pijak ini.
Aspek yang terdiri dari lingkungan sebagai berikut:
1. Meminimalkan sampah dan kerusakan lingkungan
2. Meningkatkan tanggung jawab dan kepedulian terhadap sumberdaya alam
dan lingkungan
3. Melindungi modal alam yang kritis/penting.
Pariwisata Berkelanjutan atau Sustainable Tourism adalah pariwista yang
berkembang sangat pesat, termasuk pertambahan arus kapasitas akomodasi, populasi
lokal dan lingkungan, dimana perkembangan pariwisata dan investasi – investasi baru
dalam sektor pariwisata seharusnya tidak membawa dampak buruk dan dapat menyatu
dengan lingkungan, jika kita memaksimalkan dampak yang positif dan meminimalkan
dampak negative. Maka beberapa inisiatif diambil oleh sektor publik untuk mengatur
pertumbuhan pariwisata agar menjadi lebih baik dan menempatkan masalah akan
sustainable tourism sebagai prioritas karena usaha atau bisnis yang baik dapat
melindungi sumber – sumber atau asset yang penting bagi pariwisata tidak hanya untuk
sekarang tetapi dimasa depan.
2.3 Pariwisata Berbasis Masyarakat
Mengenal konsep Pariwisata Berbasis Masyarakat (PBM) merupakan
kepariwisataan yang perkembangan dan pengelolaannya dikontrol oleh masyarakat
lokal, dimana bagian terbesar dari manfaat yang dihasilkan kepariwisataan tersebut
dinikmati oleh masyarakat lokal baik yang terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dalam kepariwisataan tersebut. Pariwisata berbasis masyarakat memiliki
beberapa karakteristik yaitu adanya pendidikan dan interpretasi sebagai bagian dari
produk wisatanya, meningkatkan kesadaran masyarakat lokal dan pengunjung terhadap
pentingnya upaya konservasi, umumnya diperuntukkan bagi wisatawan dalam jumlah
kecil oleh usaha jasa yang dimiliki masyarakat lokal, meminimalisir dampak negatif
terhadap alam dan lingkungan sosial-budaya dan mendukung upaya perlindungan
terhadap alam (Hausler dan Strasdas, 2002). Dari uraian tersebut dapat dirumuskan

9
prinsip-prinsip dari konsep pariwisata berbasis masyarakat (CBT) yaitu prinsip
partisipasi masyarakat, prinsip pendidikan (edukasi), prinsip konservasi alam, prinsip
konservasi budaya, dan prinsip ekonomi lokal.

2.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengembangan Kawasan Wisata


Pembangunan berkelanjutan menurut World Commission on Environmental and
Development Tahun (1987) dalam UNEP WTO (2005) diartikan sebagai pembangunan
yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan
kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Dalam hal ini terdapat dua konsep uatama yang dikemukakan, yaitu kebutuhan
dan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang
dan yang akan datang. Dengan demikian diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap
mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan
manusia. Menurut Ardiwidjaja (2003), berkelanjutan dapat diartikan sebagai
kelestarian yang menyangkut aspek fisik, sosial, dan politik dengan memperhatikan
pengelolaan sumberdaya alam yang mencakup hutan, tanah dan air, pengelolaan
dampak pembangunan terhadap lingkungan serta pembangunan sumberdaya manusia.
Selain itu menurut Swarbrooke (1998), mengatakan bahwa pada hakekatnya
parisiwata berkelanjutan harus terintegrasi pada tiga dimensi. Adapun tiga dimensi
tersebut adalah dimensi sosial, dimensi ekonomi, dimensi lingkungan.
Berdasarkan konteks pembangunan berkelanjutan, pariwisata berkelanjutan
dapat didefinisikan sebagai pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan kebutuhan
wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan alam. Daerah tujuan
wisata yang sukses tergantung pada keindahan dan keutuhan lingkungan sekitar.
Daerah tujuan wisata yang tidak dapat menjaga keutuhan lingkungan baik fisik
ataupun sosial budaya akan mengalami penurunan kualitas, penduduk lokal akan
mengalami kerugian akibat kerusakan lingkungan, hilangnya kekhasan budaya asli serta
berkurangnya keuntungan dibidang ekonomi.
Selain itu menurut Gunn (1994), suatu kawasan wisata yang baik & berhasil harus
memperhatikan :
1. Mempertahankan kelestarian lingkungan
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut

10
3. Menjamin kepuasan pengunjung
4. Meningkatkan keterpaduan dan unit pembangunan masyarakat disekitar
kawasan dan zona pengembangannya.
Kelestarian lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan erat
kaitannya dengan upaya menyeimbangkan sistem ekologi lingkungan yang terbentuk
dalam suatu kawasan. Kelestarian lingkungan dalam proses perancangan lanskap
kawasan merupakan salah satu sumberdaya atau elemen yang harus dipertimbangkan.
Perencanaan dan perancangan lanskap yang mempertimbangkan kelestarian
lingkungan sebagai elemen sumberdaya, selalu menggunakan pendekatan proses
penilaian lingkungan untuk menentukan kesesuaian kawasan terhadap perencanaan,
rancangan, dan preservasi ruang terbuka (Gold. M, 1980).
Proses penilaian lingkungan sebagai upaya menjaga konsistensi kelestarian
lingkungan sebuah kawasan di jabarkan oleh Mc. Harg terdiri dari nilai sosial dan nilai
lingkungan itu sendiri.
Nilai sosial dapat terbentuk dari adanya sumber daya alam vital bagi kehidupan
(lahan, udara, serta air) yang dimanfaatkan dalam pengembangan beberapa aktivitas
seperti rekreasi dan perumahan (Mc. Harg, 1971). Sedangkan nilai lingkungan dapat
diidentifikasi melalui proses fisik dan biological (geologi permukaan, fisiografi,
hidrologi, jenis tanah, ekologi tanaman, habitat binatang khas, dan penggunaan lahan) di
seluruh kawasan (Mc. Harg, 1971).
Salah satu bentuk upaya pelestarian alam dalam proses perencanaan dan
perancangan lanskap adalah melihat fenomena alam serta kemungkinan kesesuaian
penggunaan lahan yang ada. Berikut adalah klasifikasi fenomena alam dengan
kesesuaian penggunaan lahan menurut Mc. Harg, 1971.
2.5 Pendekatan Ekowisata
Pada dasarnya konsep ekowisata merupakan turunan atau bentuk dari penjabaran
prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana telah dijabarkan pada sub bab
sebelumnya. Ekowisata sering merujuk sebagai sesuatu yang Hijau, Konservasi, dan
berkelanjutan. Kata eko- diimplikasikan sebagai ekologi yang memiliki hubungan
antara organism kehidupan dan lingkungan mereka, sehingga membentuk jalinan antara
pengembangan wisata dan lingkungannya.

11
Pemahaman lain terkait ekowisata menurut pendapat Honey (1999) dalam
Drumm dan Moore (2002) menjelaskan bahwa ekowisata sebenarnya merupakan
perjalanan menuju area yang masih rentan, murni, dan biasanya daerah yang dilindungi
dan diusahakan memiliki dampak yang rendah dan biasanya dalam skala kecil.
Ekowisata biasanya memiliki tujuan membantu mendidik para wisatawan,
membantu menyediakan dana untuk konservasi, pemberdayaan masyarakat lokal, dan
menghargai setiap budaya lokal yang berbeda. Pada hakekatnya ekowisata yang
melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat
dibanding dengan hanya keberlanjutan.
Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya
dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab
ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik/ dan psikologis wisatawan.
Prinsip Ekowisata, pada dasarnya memiliki prinsip ataupun kriteria yang harus
dipenuhi dalam upaya pengembangan ataupun perancangan kawasan wisata alam.
Prinsip penting yang harus mendasari konsep ekowisata menurut Wight (1992) dalam
Gunn (1994) adalah:
1. Seharusnya tidak menurunkan sumber daya alam dan harusnya dikembangkan
dalam sebuah perilaku lingkungan yang sensitif.
2. Seharusnya melibatkan tangan pertama, partisipasi, dan pengalaman yang
memberikan pencerahan
3. Seharusnya pendidikan terlibat dalam seluruh bagian- komunitas lokal,
pemerintah, organisasi diluar pemerintah, industri, dan wisatawan (sebelum,
selama proses, dan setelah perjalanan)
4. Seharusnya menggabungkan seluruh pengakuan para pihak dari nilai inti yang
dihubungkan pada nilai hakiki dari sebuah sumber daya
5. Seharusnya melibatkan penerimaan dari kekhasan sebuah sumberdaya yang
dimiliki, dan mengakui sumberdaya sebagai sebuah keterbatasan, yang
melibatkan pengelolaan supply-oriented.
6. Seharusnya menyediakan keuntungan jangka panjang : bagi sumberdaya,
komunitas lokal dan industri (keuntungan yang mungkin dalam bentuk
konservasi, ilmu pengetahuan, sosial, budaya, atau ekonomi).

12
7. Seharusnya mendorong tanggung jawab moral dan etika serta tingkah laku
seluruh pihak.
8. Seharusnya mendorong pemahaman dan melibatkan hubungan antara banyak
pihak, yang dapat terdiri dari pemerintah, organisasi di luar pemerintah, industri,
ilmu pengetahuan, dan penduduk lokal (sebelum pengembangan dan selama
proses).
Menurut Drumm dan Moore (2002), pada dasarnya ekowisata harus
diimplementasikan secara fleksibel. Adapun elemen penting bagi keberhasilan akhir
dari sebuah inisiatif konsep ekowisata, maka ekowisata haruslah.
1. Memiliki dampak yang rendah pada kawasan lindung yang masih memiliki
sumber daya alami.
2. Melibatkan stakeholders (individu, komunitas, eko- wisatawan, pelaku operator
wisata, dan institusi pemerintah) di dalam perencanaan, pengembangan,
perancangan, dan bagian implentasi serta monitoring.
3. Menghasilkan pendapatan untuk melindungi area konservasi dan
4. Pendidikan seluruh stakeholder tentang peranan mereka dalam upaya
konservasi. Dari prinsip atau kriteria secara makro terkait pemahaman ekowisata
seperti yang telah dijabarkan maka, terdapat beberapa persamaan pendapat yang
dapat dipertimbangkan menjadi poin penting dari konsep ekowisata pada objek
penelitian nantinya.
Adapun poin penting tersebut yakni melihat konsep ekowisata sebagai upaya
pengembangan wisata yang harus melihat keterbatasan sumberdaya dan harus
mempertimbangkan aspek konservasi serta harus melibatkan stakeholder (individu,
komunitas, eko-wisatawan, pelaku operator wisata, dan institusi pemerintah).
Di dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata haruslah mempergunakan
pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan dalam pengelolaan
ekowisata ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan.
Untuk memahami hal tersebut konsep ekowisata dapat dituangkan secara fisik spasial
yang membagi suatu kawasan wisata berdasarkan pada pendekatan pelestarian.
Konsep spasial menurut Wallance (1995) mengilustrasikan kemungkinan dan
kebutuhan akan zonasi pada konsep ekowisata yang memunculkan variasi spektrum
zonasi seperti berikut ini :

13
1. Pedesaan mungkin mencakup semua wilayah yang bersebelahan dengan taman
wisata, taman wisata tersebut bekerja dengan pemilik lahan perorangan untuk
mengembangkan kegiatan-kegiatan wisata.
2. Zonasi Intensif/ rekreasi. Zonasi ini mungkin mencakup areal-areal rekreasi
yang berkembang di taman wisata dekat masyarakat lokal atau lokasi-lokasi
yang berkaitan dengan taman wisata tapi berada di dalam komunitas masyarakat.
Zona ini dirancang untuk pengunjung dalam jumlah besar.
3. Zona Intensif/ alami. Zona ini akan mencakup lokasi-lokasi kunjungan dengan
nilai-nilai yang dominan dalam hal kehidupan liar (wildlife), ekosistem, atau
riwayat kultural dan natural, tetapi dengan kendala sumberdaya yang bertaraf
sedang-sedang saja. Zona ini cenderung mengarah pada lokasi-lokasi dengan
berbagai jarak dari kota-kota pelabuhan.
4. Zona Ekstensif/ natural. Zona ini mencakup lokasi-lokasi dengan nilai-nilai yang
menonjol dalam hal kehidupan liar, ekosistem, serta nilai sejarah kultural atau
natural, dengan kendala sumberdaya yang lebih bersifat spesifik terhadap lokasi.
Lokasinya mempunyai jarak yang bervariasi dari kota-kota pelabuhan.
5. Semi primitif. Zona ini mencakup wilayah-wilayah pedalaman atau pantai-
pantai yang terpencil, yang biasanya pada pulau-pulau yang lebih besar yang
tidak berpenghuni. Zona ini berjarak 1 mil dari setiap jalan atau wilayah pantai
yang bisa dilalui kendaraan bermotor.
6. Asli /ilmiah. Zona ini merupakan pulau-pulau atau bagian-bagian dimana nilai
ekosistemnya adalah tertinggi dengan tanpa atau sangat sedikit
introduksiintroduksi spesies eksotik. Biasanya zona ini terpencil dan tidak
berpenghuni.

14
BAB III
GAMBARAN UMUM WISATA
Dalam Ketentuan Umum UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil dikatakan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya
buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang,
padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air
laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait
dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam,
permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan
perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
Ekowisata Lantebung merupakan satu-satunya kegiatan pariwisata yang
bertemakan hutan Mangrove yang ada di kota Makassar. Kegiatan pariwisata
bertemakan alam ini di pelopori oleh masyarakat sendiri dengan bantuan CSR dari
beberapa perusahaan seperti Bank Indonesia, PT. Jasaraharja dan perusahaan lainnya.
Ekowisata Lantebung sendiri terletak di wilayah pesisir kelurahan Bira, Kecamatan
Tamalanrea dengan luas wilayah mencapai lebih dari 1 km persegi. Kelurahan Bira
merupakan kelurahan terluas di Kecamatan Tamalanrea dengan luas 9,26 km2 dan
termasuk daerah pantai dengan ketinggian wilayah 1-22 m di atas permukaan laut (BPS
Kota Makassar, 2021).
Adapun batas wilayahnya yaitu:
● Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar
● Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Kapasa dan Kelurahan PAI
● Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Untia
● Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Parang Loe

15
Gambar 1. Peta Administrasi Kelurahan Bira

16
Gambar 2. Peta Guna Lahan Kelurahan Bira

17
Gambar 3. Peta Kawasan Ekowisata Lantebung

18
Gambar 4. Peta Fungsi Lahan Kawasan Ekowisata Lantebung

19
Berdasarkan peta diatas, di sekitar kawasan ekowisata Lantebung terdapat beberapa
pemanfaatan lahan seperti pemanfaatan lahan untuk permukiman, rawa, sungai, tambak,
serta pemanfaatan lahan untuk hutan Mangrove. Pemanfaatan yang paling dominan
pada wilayah ini yakni wilayah tambak dan untuk wilayah hutan mangrove sendiri
berada di posisi kedua dengan pemanfaatan lahan terbanyak. Masyarakat sekitar
kawasan ekowisata pada umumnya berprofesi sebagai nelayan namun tidak jarang di
jumpai masyarakat yang berprofesi sebagai buruh harian.

20
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kesesuaian Lahan Wisata
Pengembangan wisata mangrove memerlukan kesesuaian sumber daya dan
lingkungan yang sesuai dengan yang disyaratkan. Kesesuaian karakteristik sumber daya
dan lingkungan untuk pengembangan wisata dilihat dari aspek keindahan alam,
keamanan dan keterlindungan kawasan, keanekaragaman biota, keunikan sumber daya
dan aksesibilitas. Yulianda (2010) menyatakan bahwa wisata mangrove merupakan
bentuk wisata pantai yang kegiatannya menikmati alam habitat mangrove. Jenis wisata
ini mensyaratkan:
1. Ketebalan mangrove, dimana ketebalan mangrove diukur dari garis terluar ke
arah laut tegak lurus ke arah darat hingga vegetasi mangrove berakhir.
2. Kerapatan mangrove, dimana jumlah pohon mangrove menunjukkan daya
dukung kawasan dan kenyamanan habitat.
3. Jenis mangrove, dimana jenis mangrove mempunyai pemandangan dan
kenyaman bagi pengunjung
4. Pasang surut, dimana ketinggian air dan frekuensi pasang air laut ikut
menentukan kenyamanan wisata
5. Obyek biota, dimana keragaman biota seperti ikan, kepiting, moluska, mamalia
dan burung menambah nilai daya tarik di habitat mangrove.
4.1.1 Perhitungan Kesesuaian Kawasan
Menurut Yulianda (2007), kesesuaian wisata mangrove mempertimbangkan lima
parameter. Parameter tersebut adalah ketebalan mangrove (m), kerapatan mangrove
(ind/100m2), jenis mangrove, pasang surut (m) dan obyek wisata.
Untuk menghitung indeks kesesuaian kawasan untuk wisata mangrove, digunakan
persamaan berikut:

Dimana:
IKW= indeks kesesuaian wisata
Ni = nilai parameter ke-i (bobot x skor)
Nmaks = nilai maksimum dari suatu kategori wisata

21
Tingkat kesesuaian kawasan dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu:
S1 = sangat sesuai, dengan nilai 75- 100%
S2 = sesuai, dengan nilai 50-74%
S3 = sesuai bersyarat, dengan nilai 25-49%
N = tidak sesuai, dengan nilai <25%
Tabel 1. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Mangrove
Paramete Bobo Kelas kesesuaian (skor)
S1 Skor S2 Sko S3 Skor N Sko
r t
r r
Ketebalan 5 >500 3 >200 2 50- 1 <5 0
mangrove -500 200 0
(m)
Kerapata 3 >15- 3 >10- 2 5-10 1 <5 0
n 25 15
mangrove
(100 m2)
Jenis 3 >5 3 3-5 2 1-2 1 0 0
mangrove
Pasang 1 0-1 3 >1-2 2 >2-5 1 >5 0
surut
(m)
Objek 1 Ikan, 3 Ikan, 2 Ikan, 1 Sala 0
Biota udang, udang, molusk h
kepiting kepiting a satu
, molusk biota
moluska a air
, reptil,
burung
Sumber: Yulinda (2007)
Iklim dan Cuaca
Iklim di Kelurahan Bira merupakan iklim tropis. Rerata suhu dan kelembaban
udara adalah 26,4oC dan 67,25%, kecepatan angin rata-rata 44 knot, curah hujan
tertinggi berada pada bulan Desember yaitu 924 mm3 dengan jumlah hari hujan tertinggi

22
pada bulan Desember yaitu 29 hari dan curah hujan terendah pada bulan Juli yaitu 9
mm3 dan jumlah hari hujan 5 hari (BPS Kota Makassar, 2021).
4.1.2 Kesesuaian Kawasan untuk Ekowisata
Indeks kesesuaian wisata mangrove terdiri dari ketebalan mangrove (m),
kerapatan jenis mangrove (ind/100m2), pasang surut (m) dan obyek biota.
Ketebalan Mangrove
Perhitungan ketebalan mangrove dilakukan pada 4 titik stasiun dengan
menganalisis citra satelit Google Earth. Adapun tingkat ketebalan mangrove dari tiap
stasiun, yaitu stasiun 1 sebanyak 243, stasiun 2 sebanyak 218, stasiun 3 sebanyak 164
dan stasiun 4 sebanyak 120 dengan rata-rata 184 m.
Jenis dan Kerapatan Mangrove
Jenis mangrove yang ditemukan pada lokasi penelitian sebanyak 7 jenis, terdiri
dari 3 jenis mangrove sejati dan 4 jenis flora asosiasi mangrove. Spesies mangrove
sejati yang ditemukan yaitu Avicennia marina, Avicennia alba dan Rhizphora
mucronata. Sedangkan spesies flora asosiasi mangrove ditemukan yaitu Acanthus
ebracteatus (Jeruju putih), Sesuvium portulacastrum (Gelang laut), Acrostichum
aureum (Paku Laut) dan Hibiscus tiliaceus (Waru Laut). Selain spesies mangrove yang
ditemukan, terdapat juga spesies Rhizophora apiculata yang tidak ditemukan di stasiun
pengamatan namun ditemukan oleh Bando et al. (2017).

Gambar 5. Jenis Mangrove dan Obyek Biota yang Ditemukan di Ekosistem Mangrove
Lantebung

23
Dari hasil analisis data vegetasi dengan menggunakan ukuran plot 10 × 10 m
diperoleh data kerapatan mangrove pada tiap stasiunnya, yaitu pada stasiun 1
kerapatannya 29/m2, stasiun 2 kerapatannya 19/m2, stasiun 3 kerapatannya 21/m2 dan
stasiun 4 kerapatannya 18/m2.
Pasang Surut Perairan Kota Makassar
Berdasarkan data yang telah diperoleh dari BMKG Stasiun Paotere Makassar
tahun 2020, mengenai pasang surut di Kota Makassar dimana terdapat tipe campuran.
Pasang surut terendah sampai tertinggi di wilayah perairan Makassar selama periode
bulan Desember 2018 sampai November 2019 berkisar 0,1 - 0,4 m, dengan rata-rata
pasang surut sebesar 0,8 m.
Objek Biota
Mangrove merupakan daerah asuhan (nusery ground), daerah mencari makanan
(feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang,
kepiting dan biota laut lainnya. Serta tempat berlindung dan berkembangbiaknya
berbagai jenis burung dan binatang mamalia lainnya. Pada ekosistem mangrove
Lantebung ditemukan berbagai jenis biota. Untuk jenis burung yang diidentifikasi
terdapat 5 jenis yaitu Kowak Malam Kelabu (Nycticorax nycticorax), Kuntul Kecil
(Egretta garzetta), Kokokan Laut (Butorides striata), Blekok Sawah (Ardeola speciosa)
dan Walet (Collacalia fluciphaga). Khusus untuk burung Kuntul Kecil (Egretta
garzetta) merupakan spesies burung yang dilindungi di Indonesia berdasarkan UU No. 5
Tahun 1990 tentang konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistenya dan PP No. 7
Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Jenis reptil terdiri dari dua
yaitu Biawak (Varanus salvatoe) dan Ular. Jenis ikan yaitu Ikan Glodok
(Periophthalmus spilotus). Jenis moluska terdiri dari 8 jenis yaitu Siput Belongkeng
(Ellobium sp.), Ellobium aurijudae, Telecopium Telescopium, Terebralia sulcate,
Cassidula aurisflis, Cerithidea cingulate, Cassidula sp. dan Pugilina cochilidium. Jenis
Kepiting ditemukan 3 jenis yaitu Kepiting Pemanjat (Episesarma sp.), Kepiting Ungu
Pemanjat (Metopograpsus sp.) dan Uca sp.

24
Gambar 6. Obyek Biota yang Ditemukan di Ekosistem Mangrove Lantebung
Perhitungan Tingkat Kesesuaian
Berdasarkan pembahasan data-data di atas menyangkut ketebalan mangrove,
kerapatan mangrove, jenis mangrove, pasang surut dan objek wisata didapatkanlah
perhitungan skor parameter indeks kesesuaian wisata seperti tabel di bawah ini.
Tabel 2. Perhitungan Skor Parameter Indeks Kesesuaian Wisata
Paramete Bobot Kelas kesesuaian
r (skor)
St1 Skor St2 Skor St3 Skor St 4 Skor
Ketebalan 5 368 2 324 2 285 2 246 2
mangrove
(m)
Kerapatan 3 29 3 19 3 21 3 18 3
mangrove
(100m2)
Jenis 3 3 2 3 2 2 1 2 1
mangrove
Pasang 1 0.8 3 0.8 3 0.8 3 0.8 3
surut (m)
Objek 1 Ikan, 3 Ikan, 3 Ikan, 3 Ikan, 3
biota udang, udang, udang, udang,
kepiting, kepiting, kepiting, kepiting,
moluska, moluska, moluska, moluska,
reptil, reptil, reptil, reptil,
burung burung burung burung

Tabel 3. Indeks Kesesuaian Wisata di Mangrove Lantebung


Stasiun Total Skor Indeks Tingkat Kesesuaian
1 31 60.79 Sesuai
2 31 60.79 Sesuai
3 28 54.90 Sesuai
4 28 54.90 Sesuai
Rata-rata 29,5 57.84 Sesuai

25
4.1.3 Daya Tarik Wisata
Banyaknya wisatawan yang datang berkunjung di kawasan wisata hutan
mangrove Lantebung tak terlepas dari daya tarik wisata yang ada di lokasi wisata.
Selain adanya keberagaman flora dan fauna di kawasan wisata hutan mangrove
Lantebung, ternyata keindahan panorama matahari terbenam dan keindahan panorama
hutan mangrove menjadikan tempat ini sebagai tujuan wisata yang layak untuk
dikunjungi.

Gambar 7. Keindahan panorama matahari terbenam dan hutan mangrove


Lantebung.

4.2 Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau


Ruang terbuka (open space) adalah ruang yang direncanakan karena kebutuhan
akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama diudara terbuka. Dengan adanya
pertemuan bersama dan relasi antara orang banyak, kemungkinan akan timbul berbagai
macam kegiatan diruang umum terbuka tersebut (Eko Budiharjo & Djoko Sujarto,
2005).
RTH memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:
 Memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara
(paru-paru kota);
 Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat
berlangsung lancar;
 Sebagai peneduh;
 Produsen oksigen;
 Penyerapan air hujan;
 Penyedia habitat satwa;

26
 Penyerap polutan media udara, air, dan tanah, serta;
 Penahan angin.

b. Fungsi Tambahan (ekstrinsik) yaitu:


 Fungsi sosial dan budaya;
 Fungsi ekonomi, dan;
 Fungsi estetika
Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami berupa habitat liar alami,
kawasan lindung dan taman-taman nasional serta RTH non alami atau binaan seperti
taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur-jalur hijau jalan. Diliat dari fungsi
RTH dapat berfungsi ekologis, sosial bidaya, estetika, dan ekonomi. Secara struktur
ruang, RTH dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok, memanjang, tersebar),
maupun pola planologis yang mengikuti hirarki dan struktur ruang perkotaan. Dari segi
kepemilikan, RTH dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH privat.
Berdasarkan hasil analisis, RTH di lokasi wisata terbagi atas ruang terbuka hijau
alami berupa kawasan mangrove seluas 12 Ha dan ruang terbuka biru berupa tambak
seluas 92 Ha.

27
Gambar 8. Peta Ketersediaan RTH di Lokasi Wisata

28
4.3 Analisis Kondisi Fisik
4.3.1 Sarana Dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang ada di ekowisata Lantebung, yaitu
a. Plang petunjuk kawasan mangrove.

Gambar 9. Plang penunjuk kawasan Mangrove Lantebung


b. Pintu masuk bagi pengunjung

Gambar 10. Pintu gerbang dan pintu masuk kawasan wisata Mangrove Lantebung
c. Spot foto yang dapat dijadikan pengunjung sebagai tempat untuk berswafoto
ataupun fotografi.

29
Gambar 11. Spot foto kawasan wisata Mangrove Lantebung
d. Jembatan warna-warni.

Gambar 12. Jembatan Warna-Warni


Jalur tracking yang ada di kawasan wisata, yaitu sepanjang 270 meter, namun
sebaiknya jalur tracking ini diperpanjang dan diperlebar sehingga para pengunjung
dapat menikmati secara keseluruhan wilayah hutan mangrove ini. Kawasan mangrove
Lantebung ini hanya beroperasi sampai sore hari karena tidak adanya fasilitas
penerangan di sepanjang jalur tracking sehingga berbahaya apabila pengunjung
mengunjunginya pada malam hari.

30
e. Tempat cuci tangan bagi pengunjung (selama masa pandemik berlangsung)

Gambar 13. Tempat cuci tangan di kawasan wisata Mangrove Lantebung


f. Loket tiket
Saat mengunjungi tempat Wisata Mangrove Lantebung, pengunjung harus
membayar uang tiket sebesar Rp. 5.000, dimana uang tiket tersebut akan
dikumpulkan dan digunakan pihak pengelola dalam pengembangan objek
wisata.

Gambar 14. Loket tiket kawasan wisata Mangrove Lantebung


g. Tempat Sampah
Tempat sampah di kawasan wisata tersedia di spot-spot wisata. Hal ini
bertujuan agar para pengunjung tidak membuang sampah sembarangan ke laut
dan kawasan wisata akan tetap bersih.

31
Gambar 15. Tempat sampah di kawasan wisata
h. Toilet
Pada kawasan wisata terdapat sebuah toilet, tetapi dalam penggunaanya
terdapat permasalahan air bersih. Hal ini dikarenakan karena pasokan air dari
pihak PDAM tidak lancar sehingga masyarakat biasanya menggunakan air dari
sumur agar toilet dapat digunakan.

Gambar 16. Toilet


i. Pondokan kecil, dimana pondokan ini berfungsi sebagai tempat informasi bagi
para pengunjung.

Gambar 17. Pos Informasi


j. Gazebo di ujung jembatan yang menghadap ke laut lepas

32
Gambar 18. Gazebo
k. Perahu nelayan yang akan dijadikan sebagai alat transportasi wisata untuk
tracking hutan mangrove ini, namun hal ini masih belum terealisasi karena
belum tersedianya jalur track. Namun hal ini telah direncanakan oleh warga
setempat sehingga pengunjung bisa lebih menikmati pemandangan hutan bakau
ini ditemani dengan bunyi dan suara-suara burung yang berada di kawasan
mangrove ini.

Gambar 19. Perahu nelayan


l. Kantin dan Kios
Kantin yang ada di kawasan wisata menjual aneka gorengan dan
minuman dingin yang diperuntukkan bagi pengunjung wisata, tetapi selama
pandemi berlangsung kantin tersebut tutup sehingga pengunjung biasanya hanya
membeli makanan ringan di warung/kios sekitar objek wisata. Sedangkan untuk
kedai sendiri juga masih belum ada di kawasan ini, namun ke depannya
masyarakat sekitar berniat untuk membuat kafe di tengah-tengah hutan bakau
sehingga pengunjung dapat bersantai sambil makan dan minum menikmati
pemandangan hutan bakau.

33
Gambar 20. Kantin dan kios
m. Tempat Parkir
Tempat parkir di lokasi wisata berada di pekarangan rumah warga. Pengunjung
yang datang dapat membayar parkir sebesar Rp. 2000.

Gambar 21. Tempat parkir


4.3.2 Karakteristik Perumahan dan Permukiman
Kondisi perumahan pada wilayah ini di dominasi oleh rumah yang terbuat darti
bata. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah ini
memiliki kondisi ekonomi yang baik.

Gambar 22. Kondisi Perumahan dan Permukiman

34
4.3.3 Karakteristik Sarana dan Prasarana Lingkungan
1) Jalan
a. Jalan Utama

Gambar 23. Jalan Utama


Jalan utama di wilayah ini memiliki lebar sekitar 4-5 meter, namun akses
masuk menuju lokasi wisata hanya memiliki lebar sekitar 1-3 meter.
b. Jalan Lingkungan

Gambar 24. Jalan Lingkungan


Pada jalan lingkungan yang menghubungkan antar rumah warga serta
dermaga menggunakan perkerasan berbahan beton dengan lebar 3-4 meter serta
terdapat trotoar pembatas. Secara umum kondisi jalan masih cukup baik, namun
terdapat beberapa jalan yang sudah mengelupas atau terkikis.
2) Penerangan Jalan
Lampu jalan terdapat pada sepanjang jalan lingkungan namun jarang terdapat
pada jalan utama. Lampu jalan menggunakan aliran listrik dari PLN namun untuk
beberapa titik menggunakan panel surya sebagai sumber energi.
3) Air Bersih
Masyarakat di sekitar dermaga wilayah Ekowisata Lantebung menggunakan air
bor dan air dari PDAM dalam kebutuhan sehari-hari.

35
4) Listrik
Kawasan ini sudah dijangkau saluran listrik dari PLN sehingga masyarakat dapat
menjalankan kegiatan rumah tangga pada umumnya.
5) Peribadatan

Gambar 25. Sarana Peribadatan


Pada Kawasan Wisata Lantebung terdapat 1 tempat ibadah. Tempat ibadah ini
sendiri terletak di sekitar jalan utama sehingga lebih mudah di jangkau oleh
kendaraan roda 4 dan masyarakat setempat.
6) Bank Sampah
Bank sampah terletak di sekitar lingkungan kawasan wisata. Masyarakat
mengumpulkan sampah-sampah plastik kemudian dikumpulkan ke bank sampah.

36
Gambar 26. Kondisi Eksisting Kawasan Wisata

37
Gambar 27. Kondisi Spot Foto Kawasan Wisata

38
4.4 Analisis Aspek Non-Fisik
4.4.1 Karakteristik Masyarakat dan Pengunjung Wisata Lantebung
Masyarakat yang tinggal di kawasan mangrove Lantebung ada sekitar 380
Kepala Keluarga (KK) dan 80% diantaranya merupakan nelayan. Sebelum
berkembangnya kawasan mangrove, para ibu hanya berdiam diri di rumah namun
sekarang ibu-ibu tergabung dalam suatu kelompok yang mengolah kembali hasil
tangkap ikan dan kepiting. Semenjak membaiknya kawasan hutan mangrove
menyebabkan populasi biota tertentu, seperti kepiting meningkat 3x lebih banyak.
Selain itu, masyarakat sekitar juga membuat tambak udang dan ikan bandeng
dan menjualnya ke pasar, baik langsung ataupun diproduksi menjadi olahan baru. Pada
awalnya masyarakat kurang berminat untuk ikut dalam kegiatan konservasi mangrove
ini, namun setelah merasakan adanya dampak positif, yakni meningkatnya pendapatan
masyarakat sekitar serta menahan dampak kerusakan dari angin dan ombak karena
adanya mangrove. Perlahan namun pasti, masyarakat mulai aktif dalam kegiatan
konservasi mangrove ini karena mulai merasakan serta mengerti manfaat dari
mangrove. Masyarakat juga memanfaatkan kondisi yang ada untuk berdagang di sekitar
kawasan ekowisata.

Gambar 28. Perahu nelayan

39
Gambar 29. Tempat Pengolahan Kepiting dan Kelompok Perikanan Bakau

Karakteristik dari pengunjung sendiri pada umumnya adalah anak muda-mudi


yang ingin berfoto di spot-spot tertentu serta mahasiswa atau civitas akademika yang
sekedar melakukan pembelajaran lapangan ataupun penelitian.

Gambar 30. Masyarakat Berswafoto di Lokasi Wisata


4.4.2 Karakteristik Status Hukum (Legalitas)
a. Kepemilikan Tanah
Masyarakat di sekitar wilayah parawisata memiliki izin tinggal pada wilayah
tersebut mengacu kepada aturan mengenai Hak Atas Tanah yang disebutkan dalam
Pasal 4 ayat (1) UUPA dijabarkan macamnya dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA dan
Pasal 53 ayat (1) UUPA.
b. Kegiatan Wisata di wilayah pesisir
Pemanfaatan wilayah pesisir sendiri diatur dalam Keputusan Jendral
Pengawasan Sumber daya kelautan dan perikanan No.3 Tahun 2017 dan UU No. 27
Tahun 2007 tentang pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

40
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan kegiatan ekowisata Lantebung memiliki
izin langsung dari kementerian Kelautan dan Perikanan, selain untuk meningkatkan
kondisi lingkungan sekitar, kegiatan wisata ini juga telah memenuhi standar dan
pedoman yang berlaku
4.4.3 Dukungan pemerintah dalam pengembangan ekowisata Lantebung
Pada tahun 2016, pemerintah kota telah meresmikan kawasan mangrove
Lantebung sebagai kawasan ekowisata dan sebagai simbolnya adalah melakukan
penanaman bibit mangrove sebanyak 20.000 bibit (Antara news.com, 2016). Dalam
melaksanakan pengelolaannya, DKP3 Makassar bersama International Fund for
Agricultural Development (IFAD) dan Ditjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia saling bekerjasama dan melakukan
pendampingan dan pemberdayaan masyarakat. Adapun kelompok yang dibina dan
dibentuk antara lain satu kelompok infrastruktur, satu kelompok pengelola SDA empat
kelompok nelayan tangkap, dua kelompok budidaya ikan dan kepiting, serta dua
kelompok Kelompok Pengolah dan Hasil Pemasaran (POKLAHSAR) yang disi oleh
ibu-ibu. Dua POKLAHSAR yang dibentuk pertama adalah POKHLAHSAR Bina
Lestari dengan usaha kacang kepiting krispi, kerupuk bandeng, kepiting kambu, dan
ikan kambu. Kemudian ada POKLAHSAR Insan Mandiri, dengan suaha kerupuk
kepiting, abon kepiting, dan kue nastar kepiting. Berdasarkan hal ini, maka diketahui
bahwa pemerintah setempat sangat mendukung kegiatan pengelolaan mangrove
Lantebung.

41
BAB V
POTENSI DAN MASALAH
Kawasan ekowisata merupakan salah satu kegiatan parawisata yang bertujuan
untuk menekan dampak negatif dari kegiatan pariwisata. oleh karena itu pengembangan
potensi yang ada pada kawasan ekowisata khususnya ekowisata Lantebung perlu
menjadi perhatian.
Selain potensi terdapat juga beberapa masalah seperti akses yang terbatas dan juga
sumber informasi yang minim. Untuk lebih jelasnya di uraikan sebagai berikut:
5.1 Potensi

Gambar 31. Potensi Ekowisata Lantebung

42
● Ditetapkan sebagai kawasan ekowisata di dalam RPJMD Kota Makassar tahun
2005-2025.
● Peranan teknologi dalam mempromosikan tempat wisata melalui media sosial.
● Pengelolaan tempat wisata diberikan secara penuh kepada kelompok pengelola.
● Ekowisata Lantebung memiliki pesona alam yang indah, seperti tanaman
mangrove dan pemandangan pantai.
● Ekowisata Lantebung merupakani tempat favorit bagi masyarakat kelurahan Bira
untuk melihat matahari terbenam.
● Tempat berlabuh kapal nelayan masyarakat setempat setelah mencari ikan di laut.
● Situasi keamanan dan kenyamanan yang kondusif
● Meningkatnya jumlah kepiting bakau yang hidup dan berkembang.

5.2 Masalah

Gambar 28. Permasalahan Kawasan Ekowisata Lantebung


● Akses jalan menuju lokasi wisata yang cenderung kecil sehingga sulit di lalui
kendaraan roda 4.
● Terdapat tumpukan sampah di beberapa titik. Walaupun secara teknis tidak
berserakan namun hal tersebut dapat mengganggu wisatawan yang datang.
● Tempat informasi belum difungsikan dengan baik.
● Tingkat keterampilan masyarakat yang masih rendah.

43
44
BAB VI
SARAN SOLUSI & KONSEP PENGEMBANGAN
6.1. Saran dan Solusi
Ada pun saran berdasarkan pemaparan informasi sebelumnya yakni,
• Agar pemerintah lebih dapat memperhatikan kondisi ekowisata Lantebung
dan usaha untuk meningkatkan kunjungan wisatawan. Adapun solusi untuk
masalah ini yakni dengan melakukan promosi baik media cetak maupun
elektronik mengenai keberadaan ekowisata ini, dan juga ikut melibatkan
masyarakat dalam keputusan apapun terkait pengembangan wilayah
• Secara teknis fasilitas pada kawasan ini telah memenuhi syarat untu
dijadikan sebagai tempat wisata namun perlu di perhatikan mengenai
revitalisasi infrastruktur yang ada terutama jalan kayu sepanjang objek
wisata. Hal tersebut dapat di selesaikan dengan bantuan pembiayaan dari
pemerintah dan pihak swasta melalui CSR secara konsisten.

6.2 Konsep Pengembangan Wisata


Pengembangan pembangunan ekowisata Lantebung sangat diperlukan dalam
upaya untuk memenuhi tercapainya tujuan pembangunan kawasan lingkungan hidup
berkelanjutan, dimana kawasan mangrove akan memberikan manfaat penting dalam
keberlangsungan makhluk hidup, baik secara fisik, ekologi, dan ekonomi. Secara fisik,
vegetasi mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai dari pengaruh gelombang laut,
mencegah abrasi, mengurangi risiko tingkat kerusakan akibat bencana alam seperti
tsunami dan angin kencang, akarnya menyerap limbah, dan membentuk daratan.
Sedangkan secara ekologi vegetasi mangrove berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery
ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan tempat mencari makanan (feeding
ground) bagi keanekaragaman biota perairan seperti ikan, udang, dan kepiting
(Cahyanto T, dan Rosmayanti K, 2013).
Selain memiliki fungsi fisik dan ekologi, vegetasi mangrove juga mempunyai
fungsi ekonomi yaitu sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan
industri, penghasil bibit, sebagai sarana objek wisata yang akan berpengaruh terhadap
tingkat pendapatan masyarakat sekitar. Selain itu, hutan mangrove juga memiliki fungsi
dalam ilmu, yaitu sebagai sarana pembelajaran dan penelitian. Banyaknya manfaat yang

45
dimiliki oleh vegetasi mangrove, maka suatu strategi pengembangan kawasan wisata
mangrove sangat diperlukan.
Musanef (1995) mengemukakan bahwa pengembangan pariwisata merupakan
suatu konsep kegiatan yang menyediakan segala macam bentuk kebutuhan serta fasilitas
yang berhubungan dengan pariwisata (Musanef, 1995). Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pasal 7 menjelaskan bahwa
pembangunan kepariwisataan meliputi kelembagaan pariwisata, dalam ketentuan ini
yang dimaksud dengan pembangunan kelembagaan kepariwisataan yaitu pengembangan
sumber daya manusia, regulasi, serta mekanisme operasional di bidang kepariwisataan.
Menurut Soebagyo (2012), pengembangan pariwisata yang dapat menunjang dan
mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat yang tinggal di kawasan wisata
dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut, yaitu (Mustikawati TA,
Sunarti, dan Edriana Pangestuti. 2017):
a. Perlu ditetapkan beberapa peraturan yang berpihak pada peningkatan mutu
pelayanan pariwisata dan kelestarian lingkungan wisata. Selain itu, ada tindakan
dan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dari
aturan yang telah ditetapkan.
b. Pengelola pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat dalam kegiatan
pengembangan pariwisata. Berdasarkan poin ini, masyarakat yang tinggal di
wilayah kawasan mangrove Lantebung telah ikut berpartisipasi dalam kegiatan
pengelolaan mangrove tersebut.
c. Melakukan kegiatan promosi tempat pariwisata melalui program visit Indonesia
ataupun melalui kerjasama dengan membentuk suatu sistem informasi dengan
pusat-pusat infromasi pariwisata. Selain itu, maraknya penggunaan media sosial,
khususnya instagram dapat dijadikan sebagai lahan promosi untuk mengenalkan
suatu kawasan wisata.
d. Menentukan daerah tempat wisata (DTW) utama yang memiliki keunikan
dibanding dengan DTW lain, khususnya yang masih bersifat tradisional dan
alami.
e. Pemerintah pusat membangun kerjasama dengan kalangan swasta dan
pemerintah daerah setemoat, dengan sistem yang jujur, adil, dan terbuka.

46
f. Perlu dilakukan pemerataan arus wisatawan bagi semua DTW yang ada di
seluruh Indonesia.
g. Mengajak masyarakat sekitar untuk menyadari peran, fungsi, dan manfaat
pariwisata serta mengajak masyarakat untuk berperan aktif daam memanfaatkan
sumber daya serta peluang yang ada sehingga dapat menguntungkan secara
ekonomi. Masyarakat berkesempatan untuk memasarkan produk lokal serta
membantu mereka untuk meningkatkan keterampilan dan pengadaan modal bagi
usaha-usaha yang mendatangkan peruntungan. Dalam hal ini, masyarakat sekitar
kawasan ekowisata Lantebung telah mampu memproduksi sendiri barang-barang
dari hasil budidaya kepiting, seperti kacang krispi kepiting, kerupuk ikan
bandeng, abon kepiting, dan lain-lain.
h. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan perlu dipersiapkan secara baik untuk
menunjang kelancaran pariwisata, pengadaan, dan perbaikan jalan, pusat
perbelanjaan wisata, dan fasilitas lain di sekitar lokasi kawasan wisata sangat
diperlukan.
Adapun strategi pengembangan pariwisata di ekowisata mangrove Lantebung adalah
sebagai berikut:
a. Membangun tempat untuk berjualan souvenir khas ekowisata mangrove
Lantebung, misalnya seperti gantungan kunci yang terbuat kayu yang diukir
dengan tulisan Mangrove Lantebung, dan sebagainya. Selain itu, bisa pula
membuat baju kaos dan tas sablon yang bertuliskan Lantebung. Hal ini
merupakan salah satu cara selain untuk meningkatkan tingkat pendapatan,
namun juga bisa menjadi upaya promosi untuk mengenalkan mangrove
Lantebung kepada masyarakat luas.
b. Pada dasarnya fasilitas yang tersedia di kawasan ekowisata Mangrove
Lantebung sudah memadai, namun yang utamanya harus disediakan oleh pihak
pengelola adalah musholla, tempat parkir, kedai, dan penyediaan sumber energi
atau listrik berupa lampu penerangan di kawasan wisata. Ekowisata mangrove
Lantebung hanya beroperasi sampai sore hari, namun apabila tersedia sumber
energi yang cukup, maka hal ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi
pengunjung untuk bersantai dan menikmati kawasan hutan mangrove.

47
c. Perbaikan dan perluasan jalur tracking mangrove juga sangat diperlukan dalam
upaya untuk melakukan pengembangan kawasan ekowisata mangrove
Lantebung ini. Selain itu, penambahan alat transportasi seperti kapal dapat
diupayakan dan dapat meminta bantuan kepada pemerintah sehingga kapal
tersebut dapat digunakan untuk tracking mangrove,
d. Penyelenggaran acara seni atau kebudayaan dapat menjadi salah satu alternatif
untuk meningkatkan pengunjung.

48
DAFTAR PUSTAKA
Valemtino Srapang Batari. 2020. Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Hutan
Mangrove Lantebung Kota Makassar.

49
50

Anda mungkin juga menyukai