Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga
(VERSI JAWA)
Tuban yang terletak di pantai Utara Pulau Jawa, pada abad XV adalah pintu pusat
kegiatan ekonomi kunci kemakmuran Majapahit. Adipati Tuban ketika itu, Arya Teja IV, juga
dikenal dengan nama Adipati Tumenggung Wilatikta, yang sering disebut Raden Sahur.
Walaupun dia masih ketururan Ranggalawe yang beragama Hindu, namun Raden Sahur telah
masuk agama Islam. Beliau adalah Ayah dari Sunan Kalijaga, yang merupakan seorang muslim
taat pada agamanya, begitu juga dengan istrinya. Raden Sahur seorang muslim yang taat pada
agamanya.
Nama asli Sunan Kalijaga bernama asli Raden Syahid, putra Adipati Tuban yaitu
Tumenggung Wilatikta dan ibunya Dewi Nawangarum. Raden Syahid memiliki saudara
perempuan yang bernama Dewi Rasa Wulan. Kakak beradik itu saling menyayangi dan selalu
kompak dalam segala hal.
Raden Syahid mempunyai kegemaran keluar rumah bergaul dengan rakyat jelata. Ada
kekuatan yang ia bawa sejak lahir, ia sulit diikat agar betah di rumah. Raden Syahid lebih suka
menjalani kehidupan yang bebas tidak terikat oleh adat istiadat dan kebangsawanan. Demi
kegemarannya keluar rumah, ia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban. Ia
melihat alam satu keluarga yang terdiri atas enam orang, lima di antaranya meninggal dunia
karena kelaparan. Sebagai anak penguasa Tuban, hatinya merasa sedih melihat kesengsaraan
rakyat. Sebaliknya orang tua dari Raden Syahid merasa khawatir melihat Raden Syahid keluar
rumah. Dipanggillah Raden Syahid oleh ibunya. “Kenapa Ananda tidak betah di rumah? Apa ada
yang kurang?” tanya ibunya. “Tidak. Justru lebih baik, Ibu,” awab raden Syahid. “Kalau tidak di
rumah, Ananda ke mana?” tanya ibunya. “Keliling kampung,” jawab raden Syahid. “Tidak…
Tidak boleh Ananda keliling kampung lagi!” larang ibunya. “Ibu… Apakah Ibu pernah dengar
ada lima orang meninggal dalam keadaan sembahyang di sebuah rumah karena kelaparan?”
tanya Raden Syahid. “Cukup… Cukup!” bentak ibunya. “Apakah Ibu tidak menyesal kalau Ibu
melihat orang kampung muntah berak?” Sebagai penguasa, apa sampai hati Ibu melihat keadaan
seperti itu?” tanya Raden Syahid. “Diam!” bentak ibunya. “Kenapa Ibu?” tanya Raden Syahid.
“Dalam hal ini Ananda tak perlu mengetahui,” jawab ibunya sambal pergi meninggalkan Raden
Syahid.
Masih dalam kegemarannya keliling kampung, Raden Syahid melihat dua anak kecil
memburu tikus untuk dibuat sup. Ketika sup itu diberika kepada ibunya yang sedang sakit dan
adiknya yang hamper mati kelaparan, ibunya memarahi kedua anak kecil itu dan menganggap
daging sup itu hasil curian. Tak tega melihat dua anak kecil itu menangis karena dimarahi
ibunya, masuklah Raden Syahid ke dalam rumah orang tersebut seraya berkata kepada anak kecil
itu. “Tunggu Kakang ya!” Pergilah Raden Syahid dan kembalilah dengan membawa banyak
makanan untuk diberikan kepada keluarga tesebut. Ternyata makanan yang diberikan kepada
keluarga yang kelaparan itu hasil mencuri dari gudang makanan kadipaten. Melihat hal tesebut,
orang tua Raden Syahid marah dan memberi ganjaran kepada Raden Syahid berupa cambukan
rotan pada tangannya dan mengurungnya ke dalam Gudang.
Hukuman yang diberikan kepada Raden Syahid tidak membuatnya jera. Ia masih ingin
menolong rakyat yang sengsara karena kelaparan dan pembayaran upeti yan melebihi
kemampuan rakyat. Agar aksinya tidak diketahui, ia pun menyamar dengan memakai topeng. Ia
merampok dan membegal di tempat-tempat perjudian, serta di rumah orang kaya. Hasil
curiannya ia bagikan kepada rakyat miskin. Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirya jatuh
juga. Penyamaran Raden Syahid diketahui oleh perampok dan penarik upeti. Terbongkarnya
penyamaran Raden Syahid disalahgunakan oleh para perampok dengan melakukan kejahatan
dengan memakai topeng. Suatu hari Raden Syahid ingin menolong perempuan kampung, tapi
justru ia yang dituduh berbuat asusila kepada perempuan itu.
Marahlah orang tua Raden Syahid mendengar kabar tersebut. Sesampainya di rumah,
diusirlah Raden Sayahid oleh ibunya. “Pergi dari sini! Jangan kembali sebelum Kau
menggetarkan apa yang ada di kadipaten ini! Dan jangan kembali lagi, sebelum kau bisa
menggoyahkan dan meluluhkan hati Nurani manusia dengan ayat-ayat suci yang Kau bacakan!”
kata ibunya. “Allahu Akbar!” seru Raden Syahid sambal bersujud. Pergilah Raden Syahid dari
kadipaten.
Dalam pengusirannya, Raden Syahid ingin mencari dan belajar dari orang berilmu. Di
perjalanan setelah ia melaksanakan sholat, Raden Syahid mendapat petunjuk suara ghoib. “
Dekatkanlah diri kepada Allah memilikilah suatu petunjuk jalan sebagai tongkat menempuh
hidup yang sementara ini dan emas pada tongkatnya selalu tergenggam. Gunakanlah untuk amal
ibadahmu. Betapa sukar …berat harus ditempuh. Milikilah dan harus menjadi bagian dari
jiwamu”. Raden Syahid meneruskan perjalanannya dan bertemulah ia dengan sunan Bonang
yang berjalan dengan memakai tongkat. Raden Syahid menyapa Sunan Bonang.
“Assalamualikum warohmatullahi wabarakatuh” sapa Raden Syahid. “Wa’alaikum salam
warohmatullahi wabarakatuh” jawab Sunan Bonan.”Maaf Kanjeng , apa boleh saya
bertanya?”tanya Raden Syahid. “Ooo…boleh kisanak ada apa? Tanya Sunan Bonang. “Boleh
saya melihat tangkai tongkat kanjeng? “tanya raden syahid. “ Ada apa dengan tongkat saya
kisanak?” tanya balik Sunan Bonang. “ saya mau melihat tongkat yang kanjeng genggam itu
terbuat dari emas” jawab Raden Syahid. “Jangan, nanti timbul keinginan yang bukan menjadi
milik sendiri.”kata Sunan Bonang. Tiba-tiba Raden Syahid merebut tongkat yang dibawa Sunan
Bonang dengan paksa dan terjatuhlah sunan Bonang. “Maaf kanjeng ini tongkatnya ( seraya
memberikan tongkatnya),”kata Raden Syahid. “ Mungkin kalau kisanak Cuma ingin
benda?”tanya Sunan Bonang. “Benda apa ?” tanya Raden Syahid. Sunan bonang menunjukkan
tongkatnya ke pohon aren. Berubahlah buah aren menjadi emas. Dengan emas itu kisanak boleh
berbuat apa saja. Apa yang kisanak inginkan sudah di depan mata. Dapatkan selagi Allah
mencari kesempatan, ambil dan pergunakan baik-baik, ” kata Sunan Bonang. Raden Syahid
kemudian menuju pohon aren emas dan memanjat. Saat buah aren mau dipetik, terjatuhlah
Raden Syahid hingga pingsan. Saat sadar, ia mencari Sunan Bonang.
Setelah sadar dari pingsannya, Raden Syahid mencari Sunan Bonang. Dan bertemulah
Raden Syahid dengan sunan Bonang di tepi sungai. “ Maaf kanjeng” kata raden Syahid . “ Ada
Apa kisanak?” tanya sunan Bonang.” Saya ingin diwejangi ilmu yang kanjeng miliki “jawab
Raden Syahid. “ Misalkan air laut dijadikan tinta dan daun -daun diseluruh jagat ini dijadikan
kertasnya belum cukup untuk menuliskan ilmu Allah itu kisanak “ kata Sunan Bonang. “ Tidak
banyak itu yang mau saya tuntut, saya hanya perlu satu titik ba ( ) ﺐitu kanjeng” kata Raden
Syahid. “ baiklah kisanak ( sambal menancapkan tongkatnya di tepi sungai ) , tunggu di sini
sampai saya kembali “ kata Sunan Bonang. Setelah kepergian Sunan Bonang, duduklah bersila
Raden Syahid didepan tongkat dan Allah menidurkannya. Setiap orang yang lewat sungai
memanggilnya “ Jaga Kali “.
Tak terasa sudah tiga tahun Raden Syahid menunggu Sunan Bonang. Datanglah Sunan
Bonang, Sunan Bonang menghampiri Raden Syahid dan menyapanya. “Assalamualaikum waroh
matullahi wabarokatuh” sapa Sunan Bonang, tapi tak ada jawaban. Sampai tiga kali sapaan itu
tak dijawab. Kemudian Sunan Bonang membersihkan lumut dan rumput yang menempel ditubuh
Raden Syahid, setelah bersih kemudian Sunan Bonang membisikan Qomat ke telinga Raden
Syahid. Dan terbangunlah Raden Syahid dari tidurnya.
Di dalam masjid setelah sholat, “ Saat Bahagia bagi Raden Syahid yang selama ini
dikenal sebagai penjaga kali, ada juga yang menyebutkan Kalijaga. Silahkan ( seraya
menyerahkan jubah putih dan tasbih), mulai hari ini kami bisa mempercayakanmu sebagai
mubaliq untuk menyeberkan Islam di seluruh pelosok jagat” kata Sunan Bonang. “ tapi ingat
didalam Islam tudak ada paksaan. Berpeganglah selalu pada ayat suci Al Qur’an dan hadist Nabi
besar Muhammad S.A.W, jadilah mubaliq sejati, Insyallah akan mendapat tuntunan dari Allah”
Pesan Sunan Bonang. Demikian itu proses penobatan gelar Raden Syahid menjadi Sunan
Kalijaga.
Suatu hari Sunan Kali Jaga menemui Sunan Bonang di padepokannya. “ Terpaksa saya
kembali, saya merasa hati ini belum putih” kata Sunan Kalijaga.” Kalau jiwa belum bersih harus
dibersihkan” kata Sunan Bonang. “ Siap kanjeng sunan”, kata sunan Kalijaga. “ Jalan menuju
Allah S.W.T itu ialah hati, di hati ini apa yang dikatakan hati yang membawa keburukan harus
dihilangkan. Hati kita harus bersih,bersih seperti Baitullah”, kata Sunan Bonang. “ Kalau begitu
tidak boleh lagi ada kata syirik,dengki dan dusta. Aku telah melukai hati orang tuaku, aku benci
orang yang suka berdusta, berarti hati dan pikiranku belum bersih kanjeng sunan”, kata Sunan
Kali Jaga. “ Kamu harus dikubur hidup – hidup untuk membersihka hari dan pikiranmu, agar
bersih hatimu lahir batin”, kata Sunan Bonang. Dan dikuburlah sunan Kalijaga hudu- hidup.
Setelah dibangunkan dari kubur, “ Bersihkan dulu seluruh tubuhmu dan sertai membaca doa.
Kemudian bacalah ayat suci Al Qur’an tujuh kali katam.” Kata sunan Bonang. Ketika ayat suci
Al Qur’an dibacakan oleh Sunan Kalijaga, suara sunan Kalijaga terdengar sampai kadipaten,
maka bergetarlah apa yang ada dikadipaten dan meluluhkan hati siapapun yang mendengar.
Demikianlah dinobatkannya Raden Syahid menjadi wali Allah dengan jukukan “ Sunan
Kalijaga “ dan diberikan tugas sebagai penyebar agama Islam diseluruh pelosok jagad. Semoga
dari cerita ini kita bisa memetik pelajaran dan tauladan dari perjalanan Sunan Kalijaga menuju
kewaliannya.