Ringkasan Materi Agama Hindu 9 Covid
Ringkasan Materi Agama Hindu 9 Covid
Ringkasan Materi Agama Hindu 9 Covid
BAB I
ASTA AISWARYA
Aham atma gudakesa, sarwa bhutasaya sthitah, aham adis cha madhyam cha,bhutanam anta eva cha
Terjemahan:
Aku adalah jiwa yang berdiam dalam hati segala insani, wahai
. Aku adalah permulaan, pertengahan, dan penghabisan
dari makhluk semua (Gede Pudja, 1999: 258).
Tuhan (Hyang Widhi), yang bersifat maha ada, juga berada di setiap makhluk hidup, di dalam maupun di
luar dunia (imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap di segala tempat, ada dimana-mana ( Wyapi
wyapaka) : kekal abadi (Nirwikara). Di dalam Upanisad (Katha Upanisad. 1.2)
disebutkan bahwa Hyang Widhi adalah “telinga dari semua telinga, pikiran dari segala pikiran, ucapan dari segala
ucapan, nafas dari segala nafas, dan mata dari segala mata.” Namun demikian, Hyang Widhi itu bersifat gaib
( maha sukma) dan abstrak, tetapi ada. Di dalam Lontar Bhuana Kosa II.17
inyatakan sebagai berikut:
Bhatara Siwa Sira Wyapaka sira sukma tan keneng angen-angen. Kadiang ganing akasa tan kagrahita dening manah
muang indriya.
Terjemahan :
Tuhan (Siwa), Dia ada di mana-mana, Dia gaib, sukar dibayangkan,
bagaikan angkasa (ether), dia tak dapat ditangkap oleh akal maupun
panca indriya (Bantas, 2000: 25).
Walaupun amat gaib, tetapi Tuhan hadir di mana-mana. Beliau bersifat, meresapi segalanya. Tiada suatu
tempat pun yang Beliau tiada tempati, karena Tuhan memenuhi jagad raya ini. Hal ini dijelaskan dalam Rg Weda
X.90.1, yang menyatakan bahwa:
Seribu dalam mantra Rg Veda di atas berarti tak terhingga. Tuhan berkepala tak terhingga, bermata tak
terhingga, bertangan tak terhingga. Semua kepala adalah kepala-Nya, semua mata adalah mata-Nya, semua tangan
adalah tangan-Nya. Walaupun Tuhan tak dapat dilihat dengan mata biasa, tetapi Tuhan dapat dirasakan
kehadirannya dengan hati, bagaikan garam dalam air. Ia tidak tampak, namun bila mencicipinya akan terasa
keberadaan-Nya.
Kendatipun Tuhan itu selalu hadir dan meresap di segala tempat, tetapi sukar dapat dilihat oleh mata
biasa. Indra kita hanya dapat menangkap apa yang dilihat, didengar, dikecap, dan dirasakan. Kemampuannya
terbatas, sedangkan Tuhan (Hyang Widhi) adalah Maha Sempurna dan tak terbatas. Di dalam Weda disebutkan
bahwa Tuhan (Hyang Widhi) tidak berbentuk , tidak bertangan dan berkaki , tidak berpanca indra , tetapi Tuhan
(Hyang Widhi) dapat mengetahui segala yang ada pada makhluk.
BAB III
DASA MALA
BAB IV
NITYA DAN NAIMITIKA YAJNA
A. Pengertian Nitya dan Naimitika yajna
Nitya Karma atau nitya adalah yajña yang dilaksanakan setiap hari, seperti Tri Sandya dan yajña Sesa.
Yajña sesa dilaksanakan setalah kita selesai memasak nasi dan sebelum makan. Yajña sesa diaturkan kepada
Bhatara-Bhatari di pemerajan Hyang Wisnu di Sumur (tempat penyimpanan air) Hyang Raditya di atap rumah,
Hyang pertiwi dan Bhuta-bhuta di halaman rumah, penunggu karang di tugu, dan tempat- tempat lainnya yang
dianggap suci.
Sedangkan Naimitika Karma adalah pelaksanaan yajña yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu,
misalnya berdasarkan sasih maupun pawukon (Adiputra, 2003). Naimitika Karma yang lain berdasarkan adanya
peristiwa yang dianggap perlu untuk di adakan pelaksanaan yajña, seperti puja wali, selesai pembangunan Candi,
galungan, Kuningan, Saraswati, Nyepi, Siwaratri.
Keberhasilan sebuah yajña bukan dari besar kecilnya materi yang dipersembahkan, namun sangat
ditentukan oleh kesucian dan ketulusan hati. Selain itu juga ditentukan oleh kualitas dari yadnya itu sendiri. Dalam
Kitab Bhagavadgītā, XVII. 11, 12, 13 disebutkan ada tiga pembagian yajña yang dilihat dari kualitasnya, yaitu:
1. Tamasika yajña adalah yadnya yang dilaksanakan tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk sastra, mantra,
kidung suci, daksina dan sradha.
2. Rajasika yajña adalah yadnya yang dilaksanakan dengan penuh harapan akan hasilnya dan bersifat pamer serta
kemewahan.
3. Satwika yajña adalah yadnya yang dilaksanakan beradasarkan sraddhā, lascarya, sastra agama, daksina,
mantra, gina annasewa, dan nasmita.
Pelaksanaan yajña di atas merupakan tingkatan korban suci yang dalam hal ini tergantung dari orang yang
melakukan korban suci tersebut. Pada materi ini kita telah memahami dari macam yajña tersebut, untuk itulah kita
akan bahas sloka yang mendukungnya. Berikut adalah kutipan kitab Bhagavadgītā XVII. 12, sebagai berikut:
Abhisandhāya tu phalaṁ dambhārtham api cai vayat ijyate bharaśrestha taṁ yajñyan viddhi rājasam
Terjemahan:
Tetapi yang dipersembahkan dengan harapan pahala, dan semata mata untuk keperluan kemegahan semata, ketahuilah,
wahai putra terbaik dari keturunan Bharata, itu adalah merupakan yadnya yang bersifat rajas (Pendit, 2002: 410).
Berdasarkan kutipan sloka Bhagavadgītā diatas dapat dipahami bahwa pelaksanaan yajña berdasarkan
kualitasnya yang terdiri dari satvam, rajas dan tamas. Korban suci yang dilakukan oleh seseorang sangat tergantung
dari keikhlasannya buka atas kemewahan atau mahalnya pelaksanaan korban suci tersebut.
Sastra Veda membenarkan yajña yang dilakukan dengan perasaan tulus ikhlas, seperti yang terjadi pada cerita
mahābhārata ketika pandawa melaksanakan upacara rajasunya maupun aswamedha karena pelaksanaan yajna ini
dengan tulus ikhlas, maka para dewa berkenan untuk memberikan anugerah-Nya.
Pelaksanaan korban suci ketika di Indonesia menyesuaikan dengan daerah masing-masing, sehingga
bentuk pelaksanaannya berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain. Namun, yang harus diingat bahwa
yajña yang dilakukan ini menyesuaikan aturan sesuai dengan sastra Veda, bukan atas dorongan keinginan individu
atau kelompok tertentu.
D. Syarat Yajna
1. Sradha, artinya: pelaksanaan yajna hendaknya dengan keyakinan penuh, diyakini kebenarannya yang bersifat
mutlak. Yajna tidak akan membawa dampak spiritual kalau tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang
mantap. Tanpa keyakinan yang mantap, lambang atau symbol yang terdapat dalam upakara hanya akan berarti
sebagai pajangan keindahan belaka tanpa arti. Bhima memandang perintah guru Drona untuk mencari Tirtha
Kamandhalu sebagai suatu yajna. Dijalaninya dengan keyakinan yang mantap, tanda keraguan, tidak
memikirkan segala akibatnya, dengan keyakinannya itu akhirnya Bhima berhasil mendapatkan Tirtha
kamandhalu.
2. Lascarya, artinya: suatu pengorbanan / persembahan besar atau kecil, sedikit atau pun banyak dari ukuran
materi hendaknya dengan penuh keiklasan. Orang yang pikirannya masih diselimuti keragu-raguan
melaksanakan yajna tidak akan mendapatkan anugerah dari Hyang Widhi. Dewi Kunti Ibu dari Panca Pandawa
atas permintaan Dewi Durga untuk mempersembahkan salah satu putranya. Dengan diselimuti keragua-raguan
Dewi Kunti menghaturkan Sahadewa putra tirinya kepada Dewi Durga. Saat keragu-raguan dalam beryajna
inilah maka Kalika Raksasi (Bhuta kala) menyusup ke dalam diri Kunti. Kunti menjadi emosi menyeret
Sahadawa. Sahadewa dengan tulus iklas menyerahkan diri. Karena keiklasannya Dewa Siwa masuk ke dalam
tubuh Sahadewa, Sahadewa menjadi sakti dan tidak bisa disantap oleh Dewi Durga. Bahkan Dewi Durga yang
berujud mengerikan berubah menjadi cantik kembali sebagai Dewi Uma.
3. Sastra, artinya: beryajna haruslah dilaksanakan berdasarkan petunjuk sastra. Kata sastra dalam hal ini adalah
peraturan atau ketentuan hukum yang bersumber dari kitab suci. Kedudukan hukum kitab suci Hindu
disebutkan dalam Manawa Dharmasastra II.6 sebagai berikut: “Seluruh kitab suci Veda merupakan sumber
pertama dari dharma. Kemudian sumber dharma berikutnya adalah adat istiadat, tingkah laku yang terpuji dari
orang-orang budiman yang mendalami Veda, juga kebiasaan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri
sendiri “. Sumber-sumber dharma yang disebut belakangan dari sumber pertama tidak boleh bertentangan atau
pun menyimpang dari Veda.
4. Daksina, artinya : suatu penghormatan dan penghargaan dalam bentuk harta benda atau uang yang dihaturkan
secara tulus iklas kepada pemimpin upacara (Pandita, Pinandita/Pemangku), yang telah berjasa sehingga
upacara berjalan aman, lancar dan sukses.
5. Mantra, artinya : setiap pelaksanaan upacara keagamaan yang berkualitas unsur mantra atau Gita nyanyian
ke-Tuhan-an adalah sangat penting. Lagu-lagu suci untuk pemujaan diucapkan umat, Pinandita dan Pandita
sesuai dengan ketentuan dan aturannya.
6. Annasewa artinya: jamuan makan atau minum kepada tamu upacara (atithi yajna) sesuai dengan kemampuan
masing-masing juga sebagai salah satu syarat yajna yang baik. Namun demikian jamuan ini tidak boleh
dipaksakan. Kalau dipaksakan bukanlah disebut yajna yang satwika.
7. Nasmita, artinya : suatu upacara agama hendaknya tidak dilangsungkan dengan tujuan pamer kemewahan atau
pamer kekayaan dengan maksud tamu dan tetangga berdecak kagum. Tetapi bukan berarti yang mampu tidak
boleh menampilkan kemewahan dan keindahan dalam upacara yajna, asalkan kemewahan dan keindahan yang
dihadirkan itu hanya pantas dilangsungkan dengan tujuan menganggungkan nama Tuhan. Atau dengan kata
lain tidak menekankan semata-mata aspek ritual dan seremonial belaka.