Teolgi Kontekstual
Teolgi Kontekstual
Teolgi Kontekstual
Disusun oleh
HENDRA SUHERMAN
Jakarta 2021
2
BAB 1
Latar Belakang
oleh
gereja masa kini dalam upaya menjawab kebutuhan jemaat yang hidup dalam era post-modern.
Menjadi pertanyaan yang mendasar, mengapa diperlukan teologi kontekstual? Jawabanya ialah
kalau gereja tidak menerapkan teologi kontekstual, maka gereja tidak akan fungsional dan tidak
dapat mendaratkan Injil secara efektif dalam konteks keberadaan umat di mana dia hadir.
Sebab, teologi yang terasing dari konteksnya tidak akan mampu berfungsi, karena teologi yang
hidup adalah teologi mengenai kehidupan. “ A living theology is a theology of life.” Dengan
demikian maka teologi kontekstual akan memberi dampak “ kehidupan” bagi jemaat. Gereja akan
mengalami pertumbuhan dan perkembangan ketika menerapkan teologi kontekstual, dan gereja
yang menerapkan teologi yang kontekstual adalah gereja yang sungguh-sungguh berteologi,
sebab teologi hanya dapat disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar kontekstual.
Teologi sebagai upaya untuk merumuskan penghayatan iman kristiani pada konteks dan ruang
waktu tertentu dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk, salah satu di antaranya adalah
dalam bentuk ibadah yang dipahami sebagai persekutuan jemaat yang berbakti kepada Tuhan.
Sebagai implementasi dari teologi , maka ibadah perlu ditata supaya menjadi ibadah yang
kontekstual, yakni ibadah yang secara langsung bersangkut paut dengan konteks di mana jemaat
hidup dan berkarya. Berkenaan dengan hal ini, maka dibuatlah tulisan ini, dengan judul: IBADAH
tulisan ini dapat memberi makna baru dalam khasanah berteologi dalam konteks masa kini.
3
BAB II
IBADAH
Ibadah berasal dari bahasa Arab, dan juga sama maknanya dengan Kebaktian yang berasal dari
bahasa Sansekerta yang mengandung arti: Suatu pernyataan kusyuk dan hormat dan sembah
kepada Tuhan. Kata ibadah, seakar kata dengan bahasa Ibrani Aboda (Kel 13 :20), dan kata
Yunani Latreia (Roma 12:1), yang pada mulanya diartikan sebagai pekerja budak atau pelayan
upahan. Kata kerja dari aboda adalah abad yang berarti: bekerja, bekerja sebagai buruh,
membanting tulang, mengolah tanah, membajak, melayani, bekerja sebagai budak, beribadat.
Sedangkan kata bendanya adalah ebed, yang berarti: buruh, pelayan, budak, orang jaminan,
penyembah.
Menurut Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, dikatakan bahwa Kata Ibrani Aboda dan Latreia pada
mulanya menyatakan pekerjaan budak atau hamba upahan. Dalam rangka mempersembahkan
‘ibadat’ ini kepada Allah, maka para hamba-Nya harus meniarap-Ibrani: hisytakhawa, atau
Yunani: proskuneo --- dan dengan demikian mengungkapkan rasa takut penuh hormat,
kekaguman dan ketakjuban penuh puja. Selain Kata Abodah dan Latreia, didapati juga satu kata
dalam bahasa Yunani yaitu Leitourgia , yang sering diterjemahkan sebagai ibadah (Kis 13:2).
Kata Leitourgia terdiri dari kata leos = rakyat dan ergon = kerja, sehingga leituorgia diartikan:
Di zaman Perjanjian Baru, kata Leitourgia dikenakan juga kepada mereka yang memungut pajak
(Roma 13:6), Pelayan Kristus dalam pemberitaan Injil Allah (Roma 15:16), imam yang melayani
ibadah (Lukas 1:23), mereka yang melayani ibadah (Ibrani 8:2), semuanya itu disebut Leiturgos.
Disamping itu, kata leiturgia diartikan sebagai ibadah, seperti dalam Kisah Para Rasul 13:2 ditulis:
Pada suatu hari ketika mereka beribadah (Yun: Leitourgounton, dari kata: Leiturgeo) kepada
4
Tuhan,…’ Dari kata ini kita mengenal kata liturgi dalam arti: Tata Ibadah. Kata lain yang menunjuk
pada ibadah adalah Worship (Inggris). Kata ini berasal dari sebuah kata bahasa Inggris kuno
weorthscipe yang secara harafiah terdiri atas weorth (worthy) dan scipe (ship) yang berarti:
Melalui uraian di atas kita dapat memahami bahwa ibadah adalah suatu bentuk kegiatan baik
dalam dunia politik, ekonomi, maupun keagamaan. Ini adalah pengertian ibadah secara makro.
Namun secara khusus (mikro), ibadah berarti pengagungan, penyembahan, pengabdian diri
kepada Tuhan lewat suatu persekutuan, perkumpulan jemaat. Ibadah seperti ini dikenal dengan
BAB III
KONTEKSTUALISASI IBADAH
Sebelum memahami tentang kontekstualisasi ibadah, pertama kita harus memahami apa itu
Education Fund= Dana Pendidikan Teologi) di bawah naungan IMC ( International Missionary
Council) yang bergabung dengan DGD ( Dewan Gereja-gereja se-Dunia). Pada tahun 1972, TEF
memberikan pernyataan, sebagaimana dikutip oleh Hesselgrave dan Rommen: “Tekanan kuat
dari mandat ketiga terhadap pembaruan dalam pendidikan teologi tampaknya dipusatkan pada
suatu konsep sentral, yaitu kontekstualitas, kemampuan untuk menanggapi Injil sesunguhnya di
semboyan melainkan suatu kebutuhan teologis yang dituntut oleh sifat Firman yang telah menjadi
daging di dunia.
Kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah ‘pempribumian’ namun
lebih dalam daripada itu kontekstualisasi berkaitan dengan penilaian kita terhadap konteks-
konteks dalam Dunia Ketiga. Istilah ‘pempribumian’ cenderung dipergunakan dalam pengertian
menanamkan Injil ke dalam suatu budaya tradisional. Sedangkan kontekstualisai dengan tidak
perjuangan manusia demi keadilan, yang menjadi ciri saat ini dalam sejarah bangsa-bangsa
Dunia Ketiga. Jadi kontekstualisasi lebih luas dari pempribumian (indeginization). Kalau
pempribumian hanya berpusat pada dimensi budaya murni dari pengalaman manusia, tetapi
politik dan ekonomi. Kontekstualisasi adalah suatu istilah yang memaparkan suatu proses di
6
mana berita tentang iman Kristen dibuat menjadi relevan dan berarti bagi budaya yang menjadi
penerima berita tersebut. Dengan demikian, konteksualisasi ibadah dapat diartikan sebagai
proses penataan dan pelaksanaan ibadah Kristen yang berdasar pada Injil dengan memasukkan
unsur-unsur budaya dan memperhatikan situasi atau keadaan sekitar serta permasalahan yang
BAB III
Gereja masa kini hadir di tengah-tengah konteks yang bervariasi dan majemuk. Tak dapat
disangkal bahwa gereja hadir dalam konteks post-modern saat ini, tetapi juga belum terlepas
sepenuhnya dari budaya setempat, yaitu hal-hal yang bersifat tradisional. Karena itu Johan
Effendi mengatakan bahwa kita hadir dalam situasi dunia yang bercampur (melting pot). Demikian
pula dalam hal kehidupan bergereja, gereja masa kini tidak dapat dipisahkan dari tradisi gereja
Barat, kendati kita hidup di Asia (Indonesia). Rasyid Rachman berkata: I aware that western is
not only our heritage, but our blood also. Blood, because western theology has given us a life:
contain of our theology of flesh of Christian spirituality. Karena itu budaya barat tidak perlu
Berkaitan dengan ibadah, khususnya liturgi Kontekstual, Rachmanpun berkata bahwa Liturgi
yang kontekstual adalah liturgi yang bersifat holistik. Dan liturgi yang holistic adalah liturgi yang
memperhatikan dua hal yaitu: Pertama, ibadah menggunakan sumber-sumber yang universal
dan tradisional, seperti tradisi , budaya, bahasa, isu-isu, pesan, topic khotbah, dsb.
Kedua, Ibadah menggunakan sumber tradisional dan modern, seperti musik dan lagu, ornament,
arsitektur, dsb. Dengan harapan ibadah akan membawa orang yang beribadah melihat masalah-
masalah yang aktual. Steven Bevans menguraikan dalam bukunya bahwa ada beberapa model
Anthropological Model), 3. Model Praxis ( Praxis Model), 4. Model Sintetis ( Syntetic Model), 5.
1. Model Terjemahan
Model Terjemahan adalah suatu pendekatan yang menemukan makna atau jiwa dari teks atau
terjemahan yang bersifat idiomatic, artinya mencari kesepadanan yang fungsional atau dinamis.
Tujuan dari pendekatan ini adalah menghasilkan reaksi yang sama pada pendengar saat ini
dengan pendengar pertama/asli. Dengan kata lain, yang dicapai bukan saja ketepatan
pemahaman pendengar tetapi mesti menampilkan relevansi dari isi dan kemudian menggerakkan
persesuaian kata demi kata, bahasa doktrinal satu kebudayaan ke dalam bahasa doktrinal
kebudayaan yang lain. Model Terjemahan lebih merupakan terjemahan makna doktrin-doktrin
tersebut ke dalam kebudayaan yang lain. Ada sesuatu dari luar yang mesti dimasukkan,
dicocokkan dengan apa yang ada di dalam kebudayaan tertentu. Metode Terjemahan merupakan
sebuah metode teologi kontekstual yang memberikan penekanan pada kesetiaan terhadap Kitab
Suci dan Tradisi sambil tidak Iupa memberi ruang bagi kebudayaan/konteks.
2. Model Antropologi
Model ini berpusat pada nilai dan kebaikan anthropos, pribadi manusia. Pengalaman manusia
(dalam kebudayaan, perubahan social, lingkungan geografis & historis) sebagai kriteria penilaian
yang mendasar terhadap konteks (sejati atau tidak). Model ini bersifat antrooopologis dalam arti
bahwa ia mengunakan wawasan ilmu-ilmu sosial, terutama antrhropologi. Seorang praktisi model
antropologis berupaya memahami secara lebih jelas jaringan relasi manusia serta nilai-nilai yang
penyembuhan serta keutuhan. Penekanan utama dari pendekatan ini meyangkut teologi
kontekstual adalah budaya. Apa yang memberi bentuk bagi model khusus ini adalah perhatiannya
3. Model Praksis.
Model dalam teologi kontekstual adalah memusatkan perhatianya pada jati diri orang-orang
Kristen di dalam sebuah kebudayaan karena kebudayan itu dipahami dalam pengertian
perubahan sosial. Model praksis memilik titik berangkat pada konteks, tindakan atau situasi
sosial. Bertolak dari konteks atau praksis. Kenyataan praksis itu menyangkut dua hal yaitu aksi
dan kontemplasi (saat kita diam di hadapan Allah). Dari kenyataan praksis kita melakukakan
refleksi. Model praksis sering juga disebut sebagai “ model pembebasan”. Dalam model praksis,
pewahyuan dipandang sebagai kehadiran Allah dalam sejarah dalam perstiwa-peristiwa hidup
sehari-hari, dalam struktur-struktur sosial dan ekonomi, di dalam situasi penindasan, dan di dalam
4. Model Sintetis
Model sintesis merupakan model jalan tengah, dalam mana model ini menekankan pengalaman
masa kini (pengalaman, kebudayaan, lokasi social, perubahan sosial) dan pengalaman masa
lampau (kitab suci). Model sintesis bersandar pada ihwal pembenaran Alkitabiah menyangkut
keseluruhan proses penyusunan rupa-rupa buku dalam Alkitab. la juga bersandar pada teori-teori
tentang perkembangan doktrin yang memahami doktrin-doktrin sebagai sesuatu yang lahir dari
interaksi yang majemuk antara iman Kristen dan rupa-rupa perubahan yang terjadi dalam
kebudayaan, masyarakat dan bentuk-bentuk perubahan. Cara berteologi ini berupaya untuk
menghasilan suatu sintesis dari ketiga model di atas. Ia mencoba mempertahankan pentingnya
pewartaan Injil dan khazanah rumusan-rumusan doctrinal tradisional, seraya pada saat yang
sama mengakui peran teramat penting yang dapat dan harus dinainkan kebudayaan dalam
5. Model Transendental
Titik tolak model ini bersifat transendental, yaitu mulai dari pengalaman religius kita dan
pengalaman diri sendiri, namun tidak dapat lepas dari konteks kita. Model ini member banyak
sebagai seorang yang beriman dan pribadi yang hidup pada konteks tertentu. Pengembangan
teologi kontekstual yang sejati berlangsung ketika pribadi bergumul dengan imannya, dan
membagikan pengalaman imannya kepada orang lain. Namun karena ciri transkultural dari akal
budi manusia, dialog dengan orang-orang dari kebudayaan lain atau dari kurun waktu yang lain,
tidaklah dikecualikan. Oleh karena itu, model transendental ini mempunyai ciri simpati dan
antipati. Simpati dalam arti bahwa pribadi yang memiliki integritas dapat belajar dari pribadi lain
yang memiliki integritas dari konteks lain. Antipati dalam arti bahwa apabila seseorang
menganalisis mengapa ia menolak atau merasa tidak tertarik terhadap satu cara berteologi
tertentu, maka ia sudah mengambil langkah untuk berteologi secara kontekstual. Hal yang
penting adalah ketika seseorang dari konteks kita bertemu dengan orang lain dari konteks yang
berbeda, ia tidak boleh melepaskan autentisitasnya sebagai subyek sejarah dan budaya tertentu.
Model transcendental dengan sungguh-sungguh mengakui bahwa setiap porang Kristen yang
secara autentik coba memahami imannya berarti ia sudah ambil bagian dalam proses berteologi
dan melaksanakan teologi kontekstual yang sejati. Bagi setiap orang Kristen sejati, ikhwal
berteologi tidak ditakar oleh berapa banyak yang ia ketahui atau keakuratan dia dalam
mengungkapkan doktrin. Sebaliknya sampai sejauh mana seorang pribadi mencari kaidah
BAB IV
IBADAH JEMAAT
Dari uraian tentang model-model teologi kontekstual, maka konsep inipun dapat diterapkan dalam
kontekstualisasi ibadah, sehingga kita dapat menata ibadah secara liturgis dengan mengacu dari
kelima model teologi kontekstual. Dengan demikian kita dapat menata ibadah yang lebih variatif
apakah itu bersifat Terjemahan (model ibadah konvensional), Antropologi ( Model Ibadah Etnik)
Praksis( Model Ibadah Sosial) , Sintesis (Gabungan Mode ibadah konvensional, Etnik dan Sosial)
dan Transendental ( Model ibadah Kontenporer). Melaui penataan ibadah-ibadah yang variatif
dan kontekstual diharapkan akan mampu memjawab kebutuhan anggota jemaat dengan
berbagai latar belakang sosial , budaya, dsb. Pada prinsipnya Ibadah (liturgi) perlu ditata dengan
baik bahkan perlu untuk terus dibaharaui supaya bersifat kontekstual kontekstual. Sebagaimana
pemahaman Reformasi tentang gereja, demikian pula pemahamannya tentang liturgi. Ecclesia
reformata semper reformanda dipahami pula sebagai liturgia reformata semper reformanda.
Dalam Tugas kali ini maka Penulis mencoba memaparkan perihal Teologi Kontekstual yang
dialami oleh salah satu gereja di Minahasa yakni GMIM (Gereja Masehi di Minahasa) terkait
dengan adanya kepercayaan budaya dalam masyarakat Minahasa itu sendiri yang dalam hal ini
mengenai mu’kur. Dan dalam hal ini masyarakat Minahasa sendiri masih melakukan Ibadah
(Model Ibadah Etnik/Antropologi) yakni setiap akhir tahun keluarga mengunjungi kuburan orang
orang yang telah meninggal. penghormatan terhadap mu’kur atau jiwa anggota keluarga yang
sudah meninggal dan para leluhur (yang disapa sebagai opo/apo atau dotu) masih merupakan
kesadaran umum di kalangan orang Minahasa. Sadar atau tidak sadar kepercayaan itu masih
sering tampak pada kebiasaan-kebiasaan tertentu, misalnya di sekitar peristiwa kematian dan
12
pada pelaksanaan ritual agama tua Minahasa oleh kelompok-kelompok tertentu. Dalam
kaitannya dengan Teologi Kontekstual adalah Masyarakat Minahasa tidak kehilangan budayanya
hanya saja disadur untuk tidak mempercayai akan masih adanya roh-roh orang mati yang bisa
berhubungan atau berkaitan dengan orang-orang yang masih hidup, namun ajang ziarah tiap
akhir tahun tersebut dimaknai dengan berkumpulnya seluruh keluarga dari orang yang telah
meninggal tersebut, dan apabila memungkinkan maka mengundang Pendeta untuk melakukan
Ibadah Keluarga, bukan untuk orang mati tersebut, melainkan Ibadah yang menguatkan bagi
BAB V
PENUTUP
Demikian tulisan singkat tentang kontekstualisasi ibadah. Dengan harapan bahwa hal ini dapat
mendorong para pembaca, khususnya para teolog yang terlibat langsung dalam pelayanan
gereja untuk dapat menata ibadah-ibadah kontekstual, bersangkut paut dengan kehidupan
jemaat secara langsung, sehingga ibadah-badah jemaat tidak sekedar meniru gaya peribadatan
model barat, tetapi jemaat dapat mengekspresikan imannya dalam perspektif budaya di mana
dia hidup dan dengan demikian maka upaya-upaya berteologi secara kontekstual dapat
termanisfestasi dalam kehidupan berjemaat dan tidak sekedar teori belaka yang tak pernah
habisnya dibicarakan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Bevans Stephen B, Models Of Contextual Theology.New York : Orbis Books, Maryknoll, 1992
Darmaputra Eka , Menuju Teologi Konteksual di Indonesia, dalam buku: Konteks Berteologi di
Hesselgrave, David J & Rommen Edward , Kontekstualisasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Rachman Rasid, A Holistic Liturgy The Need and Necessity to do Justice to Different
Saruan, J.M.Liturgi Sebagai Sarana Pengungkapan Iman, dalam buku: Ibadah, Liturgi dan
Singgih Gerit , Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III.
White, James F.Pengantar Ibadah Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009