Tutorial 3.4.3

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 70

TUTORIAL 3.4.

LEARNING OBJECTIVE

1. M3 kelainan pada lensa


2. M3 kelainan pada visus dan refraksi
3. M3 kelainan retina

LIST PENYAKIT

1. Hipermetropi (4A) age


2. Miopi (4A) qarissya
3. Presbiopi (4A) firas
4. Astigmatisme (4A) tifa
5. Katarak (2) nawal
6. Strabismus endang
7. Ambliopia (2) adis
8. Ablasio retina (2) laura
9. Perdarahan vitreous (1) bg muhtadi
10. Neuropati optik (2) tan

GANGGUAN REFRAKSI
Gangguan refraksi merupakan suatu kondisi dimana terdapat kelainan bentuk
bola mata yang mencegah cahaya jatuh tepat pada retina. Gangguan refraksi terbagi
menjadi beberapa jenis, yaitu myopia, hipermetropia, astigmatisme, dan presbiopia.
Myopia dan hipermetropia disebabkan oleh panjang bola mata yang tidak sesuai.
Astigmatisme disebabkan oleh gangguan permukaan kornea. Adanya gangguan
akomodasi yang umumnya disebabkan oleh faktor usia dapat menjadi penyebab
timbulnya presbiopia.
Suatu gangguan refraksi dapat dideteksi dengan adanya keluhan penurunan
tajam penglihatan secara perlahan yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan Snellen
Chart. Penatalaksanaan gangguan refraksi dilakukan dengan memperbaiki tajam
penglihatan dengan bantuan lensa, seperti penggunaan kacamata atau lensa kontak.
Pada beberapa keadaan dapat dilakukan tindakan operatif, seperti LASIK.

Epidemiologi Gangguan Refraksi


Epidemiologi gangguan refraksi dilaporkan sebagai penyebab utama gangguan
penglihatan, dan penyebab tertinggi kedua dari kebutaan di dunia.
Global
Penelitian yang dilakukan oleh Naidoo, et al memperlihatkan bahwa gangguan
refraksi yang tidak terkoreksi menyebabkan timbulnya gangguan penglihatan pada
lebih dari 100 juta orang dan kebutaan pada lebih dari 6 juta orang pada tahun 2010. 
Menurut WHO, prevalensi myopia pada anak berkisar antara 4,9% di Asia
Tenggara hingga 18,2% pada wilayah Pasifik Barat. Prevalensi rata-rata myopia pada
orang dewasa sekitar 26,5%, dengan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara (32,9%) dan
paling rendah di Amerika (16,2%). 
Prevalensi rata-rata hipermetropia pada anak adalah sebesar 4,6%, dengan
prevalensi paling rendah di Asia Tenggara (2,2%) dan paling tinggi di Amerika (14,3%).
Prevalensi rata-rata hipermetropia pada orang dewasa adalah sebesar 30,6% dengan
Afrika memiliki prevalensi hipermetropia tertinggi (38,6%) dan Eropa terendah
(23,1%).
Prevalensi rata-rata astigmatisme pada anak adalah sekitar 14,9% dan pada
dewasa sekitar 40,4%.
Indonesia

Gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia juga semakin lama terus


mengalami peningkatan dengan prevalensi mencapai 1,5%. Gangguan refraksi
merupakan penyebab utama ke-2 terjadinya gangguan penglihatan dengan prevalensi
9,5%. Angka gangguan refraksi berdasarkan laporan Riskesdas 2013 menunjukkan
prevalensi refraksi terkoreksi di Indonesia sebesar 4,6%.

Etiologi Gangguan Refraksi


Etiologi gangguan refraksi tergantung pada tipenya, misalnya myopia dan
hipermetropia kebanyakan disebabkan oleh kelainan axial length, presbiopia
disebabkan gangguan akomodasi degeneratif, dan astigmatisme disebabkan deformasi
media refraksi.
Faktor Risiko

Sebuah studi di India Selatan melaporkan bahwa prevalensi myopia,


hipermetropia, dan astigmatisme meningkat secara signifikan seiring bertambahnya
usia. Studi lainnya di Korea melaporkan bahwa risiko gangguan refraksi meningkat
sejalan dengan peningkatan tingkat pendidikan dan penurunan paparan sinar matahari.
Studi lain yang dilakukan pada anak-anak usia 6-12 tahun menunjukkan bahwa
risiko gangguan refraksi meningkat pada anak dengan riwayat keluarga menderita
gangguan refraksi dan berkaitan dengan lama waktu yang dihabiskan dalam aktivitas
jarak dekat seperti membaca atau bermain komputer.

Patofisiologi Gangguan Refraksi


Patofisiologi gangguan refraksi berbeda-beda tergantung pada jenisnya.
Gangguan refraksi dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu myopia, hipermetropia,
presbiopia, dan astigmatisme.
Secara umum refraksi dipengaruhi oleh 4 hal, yaitu keadaan kornea, lensa,
aqueous humor, dan vitreous humor. Cahaya yang masuk akan direfraksikan ke retina,
kemudian akan ditransmisikan sebagai impuls sepanjang nervus optikus ke korteks
serebri. Gangguan refraksi terjadi jika proses ini tidak mampu dilaksanakan secara
akurat.
Kebanyakan gangguan refraksi terjadi karena axial length (AL) yang berlebihan,
dan terkadang karena kurangnya daya refraksi kornea atau lensa.
Myopia

Myopia atau rabun jauh terjadi ketika cahaya yang masuk tidak jatuh tepat pada
retina melainkan di depan retina. Keadaan ini disebabkan karena ketidakseimbangan
antara daya refraksi dan axial length (AL), sehingga menyebabkan pasien dapat melihat
jelas jika melihat dekat tetapi merasa buram jika melihat jauh.
Secara umum, ada dua bentuk myopia yaitu myopia refraktif yang terjadi jika AL
normal tetapi daya refraksi meningkat, dan myopia aksial yang terjadi jika daya refraksi
normal tetapi Al memanjang.
Ada beberapa hal yang diduga berperan dalam patofisiologi myopia, yaitu :
 Genetik : myopia yang > 6 Dioptri (D) diduga berkaitan dengan defek pada
kromosom 1-5,7,8,10-12, 14, 17-22. Sedangkan myopia < 6 D diduga berkaitan
dengan defek pada kromosom 7.
 Akomodasi : kerja akomodasi yang intensif, seperti pada keadaan membaca atau
menulis, diduga menyebabkan spasme akomodatif, pemanjangan AL, dan deformasi
bentuk cahaya yang jatuh pada retina.
 Retina perifer : studi yang ada menunjukkan bahwa retina perifer berperan dalam
pertumbuhan bola mata. Pada mata yang myopik, ditemukan terdapat tendensi
adanya refraksi perifer bergeser menjadi hipermetropi. Keadaan ini berhubungan
dengan pemanjangan AL, dimana bentuk bola mata menjadi elips.
 Bentuk kornea : studi baru-baru ini menunjukkan bahwa tekanan oleh kelopak mata
pada aktivitas membaca atau bekerja di depan komputer dapat menyebabkan
aberasi kornea, yang diduga berperan dalam timbulnya myopia.
 Perubahan anatomis : dalam pathogenesis myopia ditemukan bahwa kedalaman
kamar okuli anterior dan kedalaman bilik vitreous bertambah, sedangkan ketebalan
retina, koroid, dan sklera berkurang.
Hipermetropia

Hipermetropia merupakan suatu gangguan refraksi akibat gangguan kekuatan


pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokus
terletak di belakang retina. Terdapat tiga bentuk hipermetropia, yaitu:
 Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial, akibat pendeknya bola mata atau
sumbu anteroposterior
 Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga
bayangan difokuskan di belakang retina
 Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada sistem optik
mata
Astigmatisme

Astigmatisme terjadi karena berkas sinar yang jatuh pada retina tidak
difokuskan pada satu titik melainkan pada dua titik yang saling tegak lurus. Hal ini
disebabkan oleh deformasi pada media refraksi. Deformasi ini menyebabkan
berkurangnya radius kurvatur lensa dan peningkatan daya refraksi, sehingga terbentuk
dua titik fokus bayangan pada retina.
Bayi baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis, namun dalam
perkembangannya dapat terjadi keadaan astigmatism with the rule, artinya
kelengkungan kornea bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih
pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang horizontal.
Keadaan lain yang mungkin terjadi adalah astigmatism against the rule dimana
kelengkungan kornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan
kornea vertikal. Hal ini lebih sering ditemukan pada usia lanjut.
Presbiopia

Presbiopia disebabkan oleh karena gangguan akomodasi pada usia lanjut. Hal ini
terjadi akibat kelemahan otot akomodasi dan berkurangnya elastisitas lensa mata
akibat sklerosis lensa. Biasanya gangguan presbiopia ini terjadi pada pasien berusia
lebih dari 40 tahun.

Diagnosis Gangguan Refraksi


Diagnosis gangguan refraksi ditegakkan jika pasien mengeluhkan penglihatan
buram, pemeriksaan tajam penglihatan didapatkan penurunan, dan koreksi dengan
lensa menghasilkan perbaikan tajam penglihatan.
Anamnesis

Pasien dengan gangguan refraksi biasanya datang dengan keluhan utama


penurunan tajam penglihatan dan sakit kepala tanpa mata merah.
Myopia
Pasien myopia akan mengeluhkan penglihatan buram pada saat melihat jauh,
namun akan menyatakan jelas bila melihat dekat. Selain itu, biasanya keluhan tambahan
yang timbul adalah nyeri kepala, dapat disertai dengan juling dan mengernyit agar
dapat melihat lebih jelas. Pasien juga dapat mengeluhkan rasa lelah pada mata ketika
berusaha melihat jauh.
Hipermetropia
Untuk hipermetropia, keluhan yang ditemukan adalah penglihatan dekat dan
jauh kabur, sakit kepala, silau, dan bisa juga terdapat penglihatan ganda. Pasien dengan
hipermetropia juga sering mengeluhkan rasa lelah pada mata karena terus menerus
berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak di belakang
makula.
Presbiopia
Pada penderita presbiopia, keluhan gangguan tajam penglihatan biasanya terjadi
pada usia 40 tahun. Pasien akan memberikan keluhan setelah membaca, yaitu berupa
mata lelah, berair, dan sering terasa pedas. Biasanya pasien akan memperlihatkan
kesulitan membaca dekat dan menjauhkan kertas yang dibaca.
Astigmatisme
Penderita astigmat biasanya akan mengeluhkan adanya penglihatan buram,
kabur, atau terdistorsi, baik saat melihat dekat maupun jauh. Terkadang pasien juga
mengeluhkan kesulitan melihat di malam hari, rasa tegang di mata, rasa seperti iritasi,
sakit kepala, dan kebiasaan menyipitkan mata.
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah dengan pemeriksaan tajam penglihatan


dengan Snellen Chart.
Untuk membedakan apakah keluhan penurunan penglihatan disebabkan oleh
kelainan refraksi atau tidak dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan pinhole.
Adanya perbaikan tajam penglihatan dengan menggunakan pinhole menandakan
adanya gangguan penglihatan akibat gangguan refraksi. Pinhole dapat mencegah
aberasi mata sehingga cahaya yang masuk menjadi lebih fokus.
Pada pasien myopia dapat dilakukan pemeriksaan funduskopi untuk melihat
gambaran miopik kresen, yaitu gambaran bulan sabit yang terlihat pada polus posterior
fundus mata myopia. Pada pasien dengan myopia tinggi juga akan terlihat kelainan pada
fundus okuli seperti adanya degenerasi makula dan retina pada bagian perifer.
Pada pemeriksaan fisik pasien hipermetropia sering didapatkan ambliopia. Bila
terdapat perbedaan kekuatan hipermetropia antara kedua mata, maka akan terjadi
ambliopia pada salah satu mata. Mata yang ambliopia sering bergulir ke arah temporal.
Pemeriksaan fisik tambahan diperlukan pada pasien astigmat adalah
pemeriksaan plasidoskopi. Pada pemeriksaan tersebut dapat memberikan gambaran
yang irregular. Plasidoskopi dapat memperlihatkan kelengkungan kornea dan adanya
astigmatisme kornea. Selain itu bisa juga dilakukan pemeriksaan dengan juring atau
kipas astigmat, yaitu pemeriksaan subjektif menilai ada atau tidaknya dan besarnya
gangguan refraksi astigmat.
Diagnosis Banding

Gangguan refraksi merupakan bagian dari kelompok mata tenang visus turun
perlahan. Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah adanya retinopati, glaukoma,
distrofi konus, atau adanya penyakit distrofi pada retina dan makula. Adanya riwayat
diabetes, hipertensi, dan glaukoma pada keluarga meningkatkan kemungkinan adanya
suatu kelainan retinopati atau komplikasi okular lainnya. Temuan pada pemeriksaan
fisik dengan Snellen chart, pemeriksaan lapang pandang, funduskopi, kampimetri, dan
pemeriksaan penunjang lain dapat membantu membedakan gangguan refraksi dari
penyakit lain. 
Klasifikasi
Myopia, hipermetropia, dan astigmatisme dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa keadaan yang lebih spesifik.
Myopia
Menurut derajatnya myopia dapat dibagi menjadi :
 Myopia ringan : myopia antara 1-3 dioptri
 Myopia sedang : myopia antara 3-6 dioptri
 Myopia berat : myopia lebih besar dari 6 dioptri
Menurut progresivitasnya myopia dapat dibagi menjadi :
 Myopia stasioner : myopia yang menetap setelah dewasa
 Myopia progresif : myopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
pertambahan panjang bola mata
 Myopia maligna : myopia yang berjalan progresif, yang dapat menyebabkan ablasio
retina dan kebutaan
Hipermetropia
Menurut derajatnya hipermetropia dibagi menjadi :
 Hipermetropia ringan : hipermetropia hingga ≤ 2 dioptri
 Hipermetropia sedang : hipermetropia antara 2.25 – 5 dioptri
 Hipermetropia berat : hipermetropia yang melebihi 5 dioptri
Secara klinis, hipermetropia dibagi menjadi :
 Hipermetropia simpleks : tipe hipermetropia yang paling sering dijumpai, biasanya
disebabkan karena variasi biologis pada perkembangan bola mata, bisa bersifat
herediter.
 Hipermetropia patologis : tipe hipermetropia yang disebabkan oleh berbagai
keadaan kongenital atau didapat sehingga menyebabkan kondisi patologis di luar
dari variasi normal perkembangan bola mata. Misalnya hipermetropia karena
subluksasi lensa, afakia, atau pseudofakia.
 Hipermetropia fungsional : disebabkan oleh paralisis akomodasi, misalnya pada
pada pasien dengan paralisis nervus okulomotorius atau oftalmoplegia internal [2]
Astigmatisme
Astigmatisme dapat dibagi menjadi :
 Astigmatisme reguler : astigmatisme yang memperlihatkan kekuatan pembiasan
bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke
meridian berikutnya
 Astigmatisme ireguler : astigmatisme yang terjadi pada 2 meridian yang tidak saling
tegak lurus.

Penatalaksanaan Gangguan Refraksi


Tujuan utama penatalaksanaan gangguan refraksi adalah untuk memperbaiki
tajam penglihatan, fungsi visual, dan kenyamanan penglihatan. Penatalaksanaan
dilakukan dengan memberikan kacamata atau lensa kontak, penatalaksanaan bedah
dapat diberikan pada situasi tertentu.
Kacamata dan Lensa Kontak
Pengobatan pasien dengan myopia adalah dengan memberikan kacamata sferis
negatif terkecil yang dapat memberikan ketajaman penglihatan maksimal.
Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia manifes
dimana tanpa siklopegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan
ketajaman penglihatan normal (6/6) atau diberikan lensa sferis positif terkuat yang
memberikan tajam penglihatan maksimal. Hal ini bertujuan agar mata tidak perlu
berakomodasi atau memberikan istirahat pada mata.
Pada pasien astigmatisme diberikan pengobatan dengan kacamata silindris.
Untuk pasien presbiopia, kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca dekat
dengan kekuatan tertentu yang sudah ditentukan, yaitu S+1.00 D untuk usia 40 tahun
dan bertambah +0.50 D setiap usia bertambah 5 tahun dengan kekuatan terbesar
S+3.00 D.
Selain menggunakan kacamata, pasien juga dapat menggunakan lensa kontak
untuk mengatasi gangguan refraksi. Lensa kontak dapat terbuat dari hidrogel halus atau
silikon yang langsung dipasangkan pada mata. Indikasi penggunaan lensa kontak adalah
pada pasien yang memiliki kelainan refraktif yang cukup tinggi, aniseikonia, atau pada
anisometropia simptomatik. Namun, pada pasien yang menggunakan lensa kontak,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan kornea setiap 1-2 tahun sekali. Pasien juga perlu
menjaga betul kebersihan penggunaan lensa kontak karena dapat menimbulkan
komplikasi apabila penggunaannya tidak benar, seperti keratitis atau erosi kornea.
Medikamentosa

Tetes air mata buatan dapat diberikan pada pasien gangguan refraksi dengan
keluhan mata pedas atau mata lelah. Beberapa studi menunjukkan bahwa atropine tetes
bermanfaat dalam mencegah progresivitas myopia.
Pembedahan

Pembedaan pada kasus gangguan refraksi merupakan suatu prosedur yang


elektif. Prosedur pembedahan dilakukan untuk merubah bentuk kornea. Jenis tindakan
bedah yang dapat dilakukan yaitu pembedaan keratorefraktif, keratoplasti refraktif,
atau pembedahan refraktif kornea.
Pembedahan refraktif biasanya dilakukan karena keinginan pasien agar tidak
tergantung pada kacamata atau lensa kontak. Salah satu pembedahan keratorefraktif
yang paling umum dilakukan adalah Laser Assisted In-situ Keratomileusis (LASIK) yang
biasanya diindikasikan untuk penderita myopia, hipermetropia, atau astigmat yang
sudah cukup berat. Kontraindikasi pembedahan ini adalah adanya refraksi yang tidak
stabil, abnormalitas kornea (keratokonus, keratitis interstitial atau neurotropik),
katarak yang signifikan, glaukoma yang tidak terkontrol, dan adanya penyakit eksternal
(blefaritis, sindroma mata kering, atau alergi).

Komplikasi
Gangguan refraksi merupakan bentuk gangguan mata yang berdampak pada
buruknya penglihatan dan memiliki implikasi yang serius pada keadaan sosioekonomi
jika tidak terkoreksi. Apabila kelainan refraktif tidak dikoreksi, hal ini akan
menimbulkan gangguan atau penurunan pada kualitas hidup bagi banyak orang.
Gangguan refraksi dapat menimbulkan penurunan penglihatan bahkan kebutaan. Pada
anak-anak, adanya gangguan refraktif yang tidak terkoreksi dapat mengganggu
kemampuan belajar anak pada masa sekolah.
Penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan myopia adalah terjadinya ablasio
retina dan strabismus. Strabismus yang terjadi biasanya juling ke dalam (esotropia)
akibat mata berkonvergensi terus menerus. Pada pasien dengan hipermetropia juga
dapat ditemukan adanya esotropia akibat mata terus-menerus berakomodasi
melakukan konvergensi.

Prognosis
Gangguan refraksi apabila segera didiagnosis dan ditatalaksana memiliki
prognosis yang baik. Gangguan refraksi yang progresif dan tidak terkoreksi dapat
menimbulkan kebutaan.

HIPERMETROPI

Hiperopia (hipermetropia, penglihatan jauh/farsighteness) adalah keadaan mata


yang tidak berakomodasi memfokuskan bayangan di belakang retina. Hipermetropi
merupakan gangguan kekuatan pembiasan sehingga titik fokusnya terletak dibelakang
retina.

Hipermetropi (rabun dekat) → keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata


dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di
belakang retina. Pada hipermetropi, sinar sejajar difokuskan di belakang makula lutea.

Klasifikasi

3 bentuk hipermetropi :

 Hipermetropi kongenital : karena bola mata pendek atau kecil

 Hipermetropi simpel : merupakan lanjutan dari hipermetropi anak yang tidak


berkurang pada perkembangannya, jarang >5 dioptri

 Hipermetropi didapat : didapat setelah bedah pengeluaran lensa pada katarak


(disebut afakia)

AR Augsburger, dalam bukunya, mengklasifikasikan hipermetropi menjadi tiga tahap


atau derajat, yang diikuti oleh konvensi hingga saat ini dan juga oleh American
Optometric Association (AOA). 

 Hipermetropi rendah yaitu +2.00 dioptri (D) atau kurang.

 Hipermetropi sedang yaitu + 2.25 hingga +5.00 D.


 Hipermetropi tinggi yaitu +5.00 D.

Hipermetropia dikenal dalam bentuk :

1. Hipermetropia manifes adalah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan


kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
Hipermetropia ini terdiri atas:

 Hipermetropia absolut → kelainan refraksi yang tidak dapat diatasi


dengan upaya akomodatif dan memerlukan kacamata positif untuk
melihat jauh.

o Ketika seorang pasien tidak dapat melihat 20/20 tanpa kacamata,


hipermetropi absolut dilambangkan dengan lensa plus terlemah
yang dengannya pasien dapat melihat 20/20.

 Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi


dengan akomodasi ataupun kacamata positif.

2. Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia diimbangi seluruhnya


dengan akomodasi (diukur dengan pemberian sikloplegia). Nilai hipermetropia
yang secara normal dikoreksi oleh tonus otot siliaris. → dengan penambahan
sikloplegik → tonus otot mata menghilang → saat koreksi visus diukur.

3. Hipermetropia total adalah hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah


diberikan sikloplegia.

Epidemiologi

Hipermetropi aksial, yang paling umum, biasanya muncul sejak lahir.  Prevalensi


hipermetropi sedang, yaitu, ≥ +2 diopter pada usia 6 dan 12 tahun, masing-masing
adalah 13,2% dan 5,0%, dan lebih banyak pada individu ras kulit putih dibandingkan
pada kelompok etnis lainnya.  Prevalensi hipermetropi ≥ + 4 diopter adalah 3,2% pada
mata yang lebih buruk, dengan kedua mata terlibat dalam 64,4% kasus dalam sebuah
penelitian.  Untuk peserta Amerika Serikat, ras non-Hispanik, dan kulit putih Hispanik
memiliki risiko hipermetropi yang secara signifikan lebih tinggi dalam kelompok usia 6
sampai 72 bulan.

Pada kelompok usia 15 tahun atau kurang, dan kelompok usia ≥30 tahun,
prevalensi hipermetropi lebih tinggi pada wanita.  Sebuah tinjauan sistematis dari
kesalahan refraksi mengungkapkan bahwa prevalensi hipermetropi adalah 4% (kurang
dari miopia) pada populasi dengan prevalensi lebih banyak pada anak laki-laki sekolah
daripada perempuan.   Di Amerika Serikat, untuk kelompok usia ≥20 tahun,
hipermetropi adalah kesalahan refraksi yang paling jarang terjadi, sementara itu adalah
kesalahan refraksi yang paling umum dengan astigmatisme pada kelompok usia ≥60
tahun.  Pada imigran Polandia di Chicago, sebuah penelitian menemukan bahwa
hipermetropi adalah kesalahan refraksi yang lebih umum secara keseluruhan dan pada
kelompok usia> 45 tahun. 

Pada kelompok usia 6 hingga 15 tahun di Kamerun, hipermetropi adalah


kelainan refraksi yang paling umum. Hipermetropi tidak terkait dengan katarak
subkapsular posterior tetapi terkait dengan insiden katarak nuklir dan kortikal.  Skor
kecerdasan kecerdasan pada pasien hiperopik lebih rendah dibandingkan dengan rabun
dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris. Prevalensi hipermetropi yang lebih
tinggi terlihat pada orang yang tinggal di daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah
perkotaan. Hipermetropi lebih umum terjadi pada keluarga dengan riwayat esotropia
akomodatif dan hipermetropi, dan 20% dari individu hiperopik pada masa bayi
mengembangkan strabismus.

Etiologi

Secara konvensional, hipermetropi secara etiologis diklasifikasikan menjadi:

Hipermetropi aksial (paling umum - hipermetropi sederhana): Hal ini disebabkan


pemendekan aksial anterior-posterior bola mata. Predisposisi genetik memainkan
peran penting. Edema retinal dapat menyebabkan pergeseran hiperopik. Penurunan 1
mm panjang aksial menyebabkan 3 dioptri hipermetropi. 

Hipermetropi kelengkungan : Ini karena kornea atau lensa mendatar atau


keduanya. Jari-jari kelengkungan bertambah 1 mm menyebabkan 6 dioptri
hipermetropi.

Indeks hipermetropi : Hal ini disebabkan oleh perubahan indeks bias lensa kristal,
yang terjadi pada usia lanjut atau penderita diabetes. Indeks refraktori meningkat
secara bertahap dari pusat ke pinggiran.

Hyperopia posisi atau suatu bsence lensa (aphakia) atau kondisi patologis mata :


Kondisi ini terjadi karena malposisi atau tidak adanya lensa kristal (bawaan atau
diperoleh) atau lensa intraokuler karena penciptaan zona aphakic media bias. Aphakia
pasca-trauma atau pasca-operasi bukanlah penyebab hipermetropi yang jarang terjadi.

Beberapa patologi okular, misalnya nanophthalmos, microphthalmos, aniridia,


dapat menyebabkan hipermetropi. 

Tidak ada faktor penyebab bulat yang diidentifikasi hingga saat ini. Meskipun
sporadis, beberapa faktor genetik telah diidentifikasi terkait dengan
hipermetropi. Selain faktor genetik dan lingkungan, beberapa kondisi yang didapat juga
bertanggung jawab, khususnya pada orang lanjut usia.  Berikut ini adalah beberapa
kondisi teridentifikasi yang menyebabkan hipermetropi:

 Penghapusan mikro 16p11.2 

 Mutasi gen faktor regulasi mielin (MYRF) 


 Riwayat keluarga juling, dan riwayat ibu yang merokok selama kehamilan

 Katarak kortikal (indeks hipermetropi) 

 Aphakia (bawaan atau didapat) 

 Hiperglikemia 

 Diabetes mellitus dan setelah kontrol hiperglikemia yang cepat pada diabetes
mellitus 

 Misi ruang angkasa yang berkepanjangan karena retina dan edema kepala saraf
optik 

 Sindrom pachychoroid peripapillary (PPS) 

 Sindrom Heimler 

 Sindrom Kenny 

 Kehilangan akomodasi karena kelumpuhan saraf CN III lengkap atau


oftalmoplegia internal atau kelumpuhan oleh tetes sikloplegik, lorazepam
(hipermetropi fungsional)

 Setelah injeksi minyak silikon di mata phakic dan pseudophakic. Pada mata


aphakic, jumlah hyperopia berkurang, tetapi mata tetap hyperopic

 Sindrom Loeys-Dietz, sindrom Larsen. 

 Amaurosis bawaan Leber

 Retinoschisis terkait-X dan retinoschisis pikun

Patofisiologi

Pemendekan aksial bola mata atau penurunan potensi konvergen kornea atau
lensa kristal karena perataan adalah faktor penyebab umum untuk hipermetropi
simple. Tidak adanya lensa kristal bawaan (kongenital) atau didapat yang
mengakibatkan hilangnya kapasitas konvergen menyebabkan hipermetropi
patologis. Perubahan akibat pertambahan usia pada serabut lensa kortikal
menyebabkan perubahan indeks bias yang menyebabkan indeks
hipermetropi. Kelumpuhan akomodasi (oleh obat sikloplegik) dan hilangnya akomodasi
karena kelumpuhan saraf ketiga komplit atau oftalmoplegia internal menyebabkan
hipermetropi fungsional. 

Akomodasi merupakan faktor dinamis dalam mengontrol keadaan refraksi,


khususnya pada hipermetropi. Bergantung pada akomodasi, hipermetropi manifes
dapat dibagi menjadi:

 Hipermetropi absolut, yang tidak dapat diatasi dengan upaya akomodatif


o Ketika seorang pasien tidak dapat melihat 20/20 tanpa kacamata,
hipermetropi absolut dilambangkan dengan lensa plus terlemah yang
dengannya pasien dapat melihat 20/20.

 Hipermetropi fakultatif yang dapat diatasi dengan akomodasi

Hipermetropi manifes adalah jumlah dari hipermetropi absolut dan


fakultatif. Secara klinis, ini diukur dengan lensa plus (atau cembung) terkuat yang dapat
digunakan pasien untuk mempertahankan penglihatan maksimum (20/20).

Hipermetropi laten disebabkan oleh tonus otot siliaris yang melekat. Biasanya,


besarnya hipermetropi laten adalah 1D, tetapi lebih tinggi pada usia dini dan secara
bertahap menurun seiring bertambahnya usia. Agen sikloplegik seperti atropin
membuka kedok kondisi ini. Hipermetropi laten ini menyebabkan gejala asthenopik
tanpa redup penglihatan jauh. Cycloplegia adalah suatu keharusan untuk menimbulkan
jumlah hipermetropi laten pada anak-anak.    

 Hipermetropi total = Hipermetropi laten + hipermetropi nyata

 Hipermetropi nyata = Hipermetropi absolut + hipermetropi fakultatif

Diagnosis

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Bergantung pada usia presentasi dan derajat hipermetropi, presentasi klinis


bervariasi dari tanpa gejala hingga berbagai keluhan. Usia merupakan faktor penting
tidak hanya karena kemampuan berekspresi tetapi juga upaya akomodatif pasien.

Asimtomatik:  Tonus otot siliaris yang melekat pada pasien dan upaya akomodatif
dapat mengatasi beberapa derajat hipermetropi tanpa menimbulkan kesulitan.

Gejala:

Deviasi mata (dicatat oleh orang tua) :  Orang tua terkadang mencatat deviasi salah
satu atau kedua mata (simultan atau alternatif) pada anak-anak yang sangat
kecil dengan hipermetropi. Jenis yang paling umum adalah deviasi ke dalam
(esotropia).  

Asthenopia : Dengan upaya akomodatif total, hipermetropi pasien diperbaiki di


sini. Dalam kasus ini, asthenopia (yaitu, jumlah kelelahan mata yang bervariasi dengan
sakit kepala frontal / frontotemporal terlokalisasi) adalah gejala yang sangat umum
karena upaya akomodatif yang berkepanjangan. Terkadang mungkin terkait dengan
fotofobia dan penyiraman. Biasanya, asthenopia meningkat setelah aktivitas dekat
dalam waktu lama.

Penglihatan kabur:  Akan ada keremangan penglihatan jika hipermetropi yang ada


tidak diperbaiki dengan upaya akomodatif total. Dalam hipermetropi, infinity berfokus
di luar retina neurosensori. Jadi, objek yang lebih dekat fokus di belakang retina. Secara
karakteristik, penglihatan yang rusak mempengaruhi penglihatan dekat lebih dari
penglihatan jauh. Dengan demikian, objek tampak lebih buram saat mereka mendekat.
Keremangan ini mungkin (hipermetropi dalam jumlah kecil) atau mungkin tidak
(hipermetropi dalam jumlah besar atau setelah usia 40 tahun saat akomodasi hilang)
dikaitkan dengan asthenopia. Perbedaan yang signifikan pada hipermetropi yang tidak
dikoreksi dapat mempengaruhi mata yang lebih buruk untuk mengembangkan
ambliopia. Hipermetropi yang tidak terkoreksi pada kedua mata dapat menyebabkan
ambliopia ametropik secara bilateral.   

Pengaburan tiba-tiba dari penglihatan (intermiten) :  Karena upaya akomodatif


yang berkepanjangan (misalnya, selama membaca), mungkin ada episode kejang
akomodatif yang menyebabkan kaburnya penglihatan secara tiba-tiba, sering disebut
sebagai pseudomiopia. Ini biasanya ditemukan pada remaja dengan hipermetropi yang
tidak diperbaiki. 

Hordeolum atau Konjungtivitis Internal / Eksternal Rekuren: Mekanisme yang


tepat dari peradangan kelopak mata atau konjungtiva berulang tidak terungkap. Teori
yang diusulkan adalah seringnya menggosok mata dengan tangan yang tidak higienis,
yang menyebabkan episode peradangan berulang. Perawatan yang tepat untuk
peradangan berulang membantu untuk mendapatkan ketajaman visual yang paling baik
dikoreksi di masa depan dan sebaliknya. 

Sensasi Mata Juling: Akomodasi berkelanjutan dalam waktu lama terkadang terasa


seperti mata juling. Pasien mungkin mengeluh bahwa mata saling menjuling (karena
konvergensi) tanpa diplopia. Ketidaktahuan terhadap gejala ini pada kelompok usia
prasekolah dapat menyebabkan ambliopia di kemudian hari.

Presbiopia Prematur:  Seiring bertambahnya usia, penurunan yang jelas dari titik


dekat menjadi jelas. Itu terjadi lebih awal (lebih awal dari 40-an) di hyperope daripada
emmetrope. Kehilangan akomodasi progresif seiring bertambahnya usia lebih membuat
frustrasi pasien karena penglihatan dekat sudah terganggu lebih awal karena
hipermetropi.

Pemeriksaan penunjang

Evaluasi klinis yang menyeluruh tidak hanya membantu mendiagnosis


hipermetropi tetapi juga menunjukkan peristiwa terkait yang signifikan. 

Ketajaman Visual:  Tergantung pada usia saat presentasi, derajat akomodasi, dan


status lensa kristal dan segmen posterior. Pada anak-anak, penglihatan mungkin tidak
terpengaruh karena upaya akomodatif penuh untuk memfokuskan gambar pada retina.
Karena status mata biasanya tidak diperumit oleh penyakit katarak dan retina pada
anak-anak, penglihatan jauh dapat terpengaruh dengan hipermetropi tinggi, yang tidak
dapat diperbaiki dengan berbagai macam akomodasi. Mungkin ada penurunan
penglihatan yang parah jika ambliopia berkembang pada kasus hipermetropi tinggi
unilateral atau bilateral. Penglihatan dekat juga dapat berkurang pada anak-anak
dengan hipermetropi tinggi atau pada usia di mana akomodasi sebagian atau
seluruhnya hilang. Pergeseran hiperopik terkait usia dapat mempersulit penglihatan
dekat.

Pemeriksaan cahaya difus:  Bola mata dan kornea mungkin tampak lebih kecil,
terutama pada hipermetropi tinggi dan pada kasus unilateral. Terkadang itu mungkin
mensimulasikan enophthalmos. Bilik anterior (sentral dan perifer) tampak dangkal, dan
sudut bilik anterior mungkin tampak sempit dengan pupil kecil. Gonioskopi
diindikasikan dalam semua kasus untuk mengesampingkan kemungkinan penutupan
sudut. Katarak kortikal juga dapat ditemukan pada orang tua atau individu muda
dengan diabetes.

Fundoskopi:  Fundoskopi menunjukkan cakram optik kecil dengan cangkir yang sangat


kecil. Tepi diskus menjadi kabur dengan pembuluh darah yang terlalu padat, kadang-
kadang disebut sebagai "pseudopapillitis" atau "pseudo-papilledema" jika
bilateral. Mungkin ada lipatan koroid.  Sebuah peningkatan refleks retina disebut
sebagai "penampilan sutra ditembak" terlihat bersama dengan berjejalnya lapisan serat
saraf. 

Pemeriksaan Strabismus Laten / Manifes: Pada anak-anak dengan hipermetropi


yang tidak dikoreksi untuk jangka waktu yang lama, strabismus mungkin ada: laten (-
foria) atau nyata (-tropia). Gerakan ekstraokuler biasanya  penuh ke segala arah tatapan
mata. 

Memutuskan fusi dengan  uji Alternate Cover-Uncover  dengan occluder dan


meminta pasien untuk fokus pada sumber cahaya titik dapat mengungkapkan
strabismus laten, terutama pada anak-anak dan remaja. Pemindahan okluder secara
bergantian dan berurutan untuk menutupi kedua mata dilakukan. Adanya strabismus
laten dipastikan jika mata yang tertutup menyimpang, yang dicatat selama refixasi saat
dibuka.

Pada strabismus manifes, mata yang menyimpang mengambil fiksasi setelah


oklusi mata ortoforik. Strabismus manifes harus diperiksa dengan tes refleks kornea
Hirschberg (HCRT) dan dengan batang prisma untuk mencatat derajat deviasi. HCRT
menunjukkan perkiraan derajat deviasi, yaitu refleks cahaya kornea pada batas pupil
dan batas kornea masing-masing berhubungan dengan sekitar 15 derajat dan 45 derajat
deviasi. Prisma juga dapat berfungsi untuk menjaga apeks menuju deviasi dengan
membawa refleks cahaya kornea ke tengah dan mencatat deviasi pada prism-diopter. 

Retinoskopi / Refraksi:  Di era modern refraksi otomatis, retinoskopi memiliki arti


penting saat memeriksa anak kecil dan pasien yang terbaring di tempat tidur.
Merupakan praktik yang baik untuk mengevaluasi anak yang dicurigai memiliki
kelainan refraksi dengan retinoskopi sikloplegik  dari jarak 1 meter sebagai rutinitas.
Cycloplegia menghapuskan tonus otot siliaris dan akomodasi untuk mengungkapkan
status refraksi yang sebenarnya. Dengan retinoscope beruntun, di bawah cycloplegia,
berbagai lensa sferis bertenaga digunakan untuk mencapai titik netralisasi (iluminasi
penuh pada fundus tanpa gerakan) baik dalam sumbu horizontal maupun vertikal. 

Kesalahan refraksi yang ada (pada sumbu horizontal / vertikal) = Temuan


retinoskopik (pada kedua sumbu) - nilai jarak dalam meter (1 untuk 1 meter, 1,5
untuk 2/3 meter) - tunjangan tonus untuk obat sikloplegik tertentu (Untuk salep
atropin 1% itu adalah 1, siklopentolat turun 1% itu 0,75, dan untuk tetes
homatropin 2% itu adalah 0,5) 

Jika sumbu dan daya (setelah dikurangi) sama, maka itu dianggap sebagai daya
bias bola mata. Jika tidak sama, maka daya ekstra (dalam satu sumbu) dilambangkan
sebagai kekuatan astigmatik di sumbu lainnya.

Tatalaksana

Tujuan:

 Berikan rehabilitasi yang baik dengan koreksi refraksi yang tepat


 Pencegahan ambliopia
 Pencegahan perkembangan strabismus
 Pencegahan infeksi kelopak mata berulang dan konjungtivitis

1. Koreksi optik:  Lensa bikonveks (plus) direkomendasikan untuk menyatukan sinar


cahaya pada retina neurosensori. Prinsip dasar resep kacamata adalah:

 Jumlah hipermetropi total harus selalu ditimbulkan dengan retinoskopi


siklopigik, terutama pada anak-anak.
 Pasien dengan gejala dan anak kecil harus selalu dirawat dengan koreksi
refraksi yang tepat.
 Anak kecil harus diresepkan koreksi hiperopik penuh bertahap secara
bertahap selama usia sekolah. 
 Kekuatan plus maksimum yang diterima dengan visi yang jelas (20/20) harus
ditentukan.
 Peningkatan bertahap dalam koreksi hiperopik dari kekuatan yang diterima
dengan nyaman pada anak usia sekolah mungkin diperlukan karena koreksi
penuh dapat menghasilkan pengaburan pada jarak jauh. Agen sikloplegik
jangka pendek dapat meningkatkan penerimaan koreksi hiperopik.
 Konvergensi akomodatif harus ditangani dengan koreksi hiperopik
penuh. Ambliopia yang berkembang / berkembang harus menjalani evaluasi
menyeluruh, dan koreksi hiperopik penuh dengan terapi oklusi harus
diresepkan.
 Anak-anak hiperopik harus menjalani evaluasi ulang setiap 3 sampai 6 bulan.

American Academy of Ophthalmology (AAO)  telah memberikan pedoman tentang


kapan harus meresepkan kacamata di hyperopia pada anak-anak. 
Faktor dependen adalah

 Iso-Metropia (kesalahan bias serupa di kedua mata)


 Anisometropia (kesalahan refraksi antar mata yang tidak mirip)
 Ada / tidak adanya strabismus.

Mata isoametropik tanpa tropia harus diberikan kacamata jika hipermetropi paling
sedikit: 

 Usia di bawah 1 tahun: + 6D


 Usia 1 tahun sampai kurang dari 2 tahun: + 5D
 Usia 2 tahun sampai kurang dari 3 tahun: + 4.50D
 Usia 3 tahun sampai kurang dari 4 tahun: + 3.50D

Kasus yang memiliki iso-Metropia hiperopik dengan esotropia perlu diberi resep
kacamata ketika refraksi minimum setidaknya:

 Usia kurang dari 2 tahun: + 2D


 Usia 2 tahun sampai kurang dari 4 tahun: + 1.50D

Anisometropia hiperopik tanpa strabismus harus dikoreksi jika paling sedikit:

 Usia di bawah 1 tahun: + 2.50D


 Usia 1 tahun sampai kurang dari 2 tahun: + 2D
 Usia 2 tahun sampai kurang dari 4 tahun: + 1.50D

Kacamata dan lensa kontak dapat digunakan sebagai perangkat


rehabilitasi. Lensa kontak biasanya diresepkan pada kasus hipermetropi unilateral atau
perbedaan besar pada hipermetropi antar mata.

2. Perawatan bedah: Pembiasan stabil sebelum operasi (sikloplegik dan manifest)


harus setidaknya dalam tiga pemeriksaan berturut-turut dengan jarak satu
tahun. Konseling dan diskusi tentang kemungkinan hasil dan efek samping sangat
penting. Sebelum intervensi bedah, setiap pasien harus menjalani 

 Biomikroskopi slit-lamp: untuk mengesampingkan blepharoconjunctivitis


alergi dan sindrom mata kering
 Pengujian refraksi (cycloplegic dan manual) baik penglihatan jarak jauh
maupun dekat
 Ketebalan dan topografi kornea, analisis muka gelombang 
 Tekanan intraokular
 Estimasi ukuran pupil dalam kondisi gelap dan mesopik
 Fundoskopi

Jadi, semua penyelidikan sangat penting sebelum segala jenis operasi kerato-refraksi.

 Prosedur refraksi insisi;


o Keratotomi heksagonal: Sebelumnya  telah dilakukan untuk mengobati
hipermetropi derajat rendah hingga sedang. Sekarang sudah usang. 

o Prosedur bias lamelar: keratomileusis hiperopik dari Barraquer:


Prosedur  ini memiliki kepentingan sejarah dan dasar dari prosedur laser
in-situ keratomileusis (LASIK) modern.

 Prosedur refraksi berbasis laser: 

o Keratoplasti laser termal: Thallium-holmium-chromium (THC): laser


yttrium aluminium garnet (YAG) digunakan untuk membuat kontraksi
matriks kolagen dari stroma kornea di delapan area zona optik dengan
energi pulsa 159-199 mili-joule. Hal ini membuat penyempitan mekanis
yang mempertajam kornea. Ini juga dapat dilakukan dengan membuat 12
pasang titik koagulasi dengan laser Diode, yang juga merupakan prosedur
yang aman.  Laser dioda juga digunakan dalam kasus presbiopia
terkait. Ini adalah pilihan yang baik dalam kasus hipermetropi iatrogenik
setelah LASIK pada miopia dan keratektomi fotorefraktif pada
miopia.  Dibandingkan dengan LASIK, LASIK lambat dalam mencapai
refraksi yang stabil dengan sedikit kemungkinan untuk mengoreksi
astigmatisme. Koreksi berlebih mungkin terjadi pada periode pasca
operasi awal, tetapi tidak ada kejutan signifikan yang dicatat dalam tindak
lanjut jangka panjang.

Saat ini, prosedur ini telah disetujui untuk pengurangan sementara hipermetropi dari
+0,75 menjadi +2,50 dioptri dengan ≤ +/- 0,75 dioptri astigmatisme oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (USFDA). Pasien harus berusia minimal
40 tahun. Refraksi harus didokumentasikan agar stabil selama enam bulan sebelumnya
(perubahan ≤ 0,50D dalam komponen bola dan silinder dari refraksi nyata).

 Keratektomi fotorefraktif hiperopik (PRK):  Ini adalah prosedur panjang di


mana luka bakar besar dibuat dengan laser dimer (excimer) tereksitasi. Kornea
menjadi kering dan dehidrasi, dan penyembuhan epitel tertunda.  Kelayakan
adalah masalah signifikan lainnya. Setelah hasil awal yang menggembirakan,
regresi mungkin terjadi. Ini dapat dikombinasikan dengan keratektomi
fototerapi (PTK) untuk melawan pergeseran hiperopik. Ini telah menunjukkan
ketidakstabilan awal tetapi tidak ada perubahan signifikan dalam daya bias
setelahnya, dengan kabut perifer dan perubahan seperti Salzman tanpa
perubahan ektatis. Ini sama efektifnya dibandingkan dengan LASIK untuk
hipermetropi.  Ini adalah prosedur yang aman untuk memperbaiki hipermetropi
derajat ringan sampai sedang. Ini dapat memberikan hasil yang cukup baik
dalam pengobatan presbiopia.  USFDA menyetujui sistem laser excimer (dimer
tereksitasi) untuk prosedur ini.      
 Hyperopic LASIK: Seleksi pasien tergantung pada  s meja refraksi pra operasi,
ketebalan kornea, tekanan intraokular, ukuran pupil, funduskopi, dan topografi
kornea. Ini dapat memperbaiki hingga 6 dioptri hipermetropi. Prosedur ini
dilakukan dengan anestesi topikal, dan juga dapat dilakukan dengan miosis yang
diinduksi pilocarpine pada hari yang sama dengan cycloplegia.  Sebelum
pengangkatan flap oleh microkeratome, kornea dapat ditandai. Penandaan ini
mungkin memiliki risiko berkembangnya keratitis lamelar difus kimiawi yang
diinduksi spidol (DLK). Pembuatan flap dapat dilakukan dengan microkeratome
atau laser femtosecond (laser Femto). Laser Femto adalah laser infra merah
dengan panjang gelombang 1053 nm. Laser Femto memiliki prediktabilitas
ketebalan flap yang lebih baik dengan keuntungan dari aberasi orde tinggi pasca
operasi yang lebih sedikit, sensitivitas kontras yang lebih baik, waktu pemecahan
film air mata yang lebih lama.  Mesin berbeda yang disetujui USFDA untuk LASIK
dalam hipermetropi bekerja dengan sistem laser excimer. Manifest refaction
spherical equivalent (MRSE) dihitung mengikuti refraksi pasien sebelum operasi.
Sejumlah besar dari mereka juga digunakan untuk mengoreksi astigmatisme
terkait. Yang terpenting, hipermetropi dengan astigmatisme miopik juga
ditangani oleh beberapa sistem. Mesin LASIK yang berbeda dapat memperbaiki
rentang hyperopia yang berbeda. Beberapa mesin didedikasikan untuk mata
dengan kekuatan bola, kurang dari kekuatan silinder. Laser excimer Argon-
fluoride (193 nanometer) digunakan untuk mengikis lapisan kornea setelah flap
dinaikkan oleh microkeratome. Tekanan intraokular dinaikkan secara artifisial
untuk mempertahankan penahanan selama pengangkatan flap epitel. Setelah
ablasi, tutup epitel diubah posisinya.Ini aman dan juga efektif dalam semua
derajat hipermetropi, terutama pada hipermetropi tinggi. LASIK monofokal dan
varifokal: keduanya dapat digunakan dengan aman di presbiopia.  Renovasi
epitel diduga bertanggung jawab untuk menutupi keuntungan ekstra dari laser
varifocal.  Prediksi yang lebih baik dan regresi yang lebih rendah membuat
penggunaan Mitomycin C 0,02% (MMC) penting meskipun studi lanjutan jangka
panjang lebih lanjut diperlukan. Operasi yang dibantu laser femtosecond dengan
MMC 0,02% memberikan hasil refraksi yang lebih baik dan jumlah perawatan
ulang yang lebih sedikit.  Dibandingkan dengan prosedur pupil-centered, vertex-
centered memberikan hasil visual yang lebih baik dalam kasus pupil yang
terdesentralisasi secara temporer, meskipun dalam kasus lain, itu
setara. Penambalan pasca operasi atau kaca gelap, bersama dengan antibiotik
spektrum luas topikal diresepkan. 

Kontraindikasi meliputi penyakit mata atau kornea kronis, penyakit sistemik,


pembiasan tidak stabil, mata kering, intoleransi lensa kontak, sindrom nyeri kronis,
kehamilan, dan menyusui. 

Komplikasi LASIK termasuk regresi refraksi, mata kering pasca operasi,


lingkaran cahaya saat mengemudi di malam hari, dan sensasi kornea berkurang. Dalam
kasus hipermetropi tinggi dan orang-orang dengan astigmatisme terkait, penyimpangan
bola, koma, dan trefoil meningkat secara signifikan.   Flap striae, ingrowth epitel
terutama dalam prosedur peningkatan, infeksi ( Pseudomonas , Mycobacterium
chelonae ) keratitis, keratitis non infeksius (difus lamellar), dan cairan interface tidak
jarang. DLK diobati dengan steroid topikal intensif dengan hasil yang sukses.  Sensasi
kornea yang berkurang dapat diobati dengan tetes siklosporin (0,05%) selama 3 bulan.  

 Keratomileusis subepitel laser hiperopik (LASEK):  Di sini, dengan bantuan


etil alkohol 20% selama 60 detik, epitel kornea dilonggarkan dan dipisahkan.
Kemudian ablasi stroma dilakukan oleh laser excimer. Kadang-kadang ditambah
dengan 0,02% mitomisin c setelah ablasi kornea. Mungkin berguna bagi anak-
anak untuk memperbaiki hipermetropi dengan atau tanpa ambliopia
(penggunaan di luar label). Meskipun status refraksi pasca operasi, sensitivitas
kontras, data topografi menunjukkan hasil yang lebih baik di lasek bersama
dengan komplikasi seperti aberasi, ektasia, komplikasi terkait flap kurang dari
LASIK, tetapi lebih banyak nyeri pasca operasi, pemulihan lambat tetap sedikit
belakang dari PRK dan Epiploic LASIK. 

 LASIK Epiploic Hiperopik (EPI-LASIK):  Mirip dengan LASEK, tetapi di sini


epikeratome digunakan untuk mengangkat tutup epitel, bukan alkohol. Jadi,
toksisitas terkait alkohol dinegasikan.  

 Hyperopic customized-LASIK (C-LASIK):  Ini adalah prosedur ablasi yang


dipandu topografi atau gelombang untuk mengoreksi astigmatisme dan
penyimpangan terkait, dengan prosedur yang dipandu muka gelombang
memiliki sensitivitas kontras yang lebih baik dan lebih sedikit silau. Kualitas
penglihatan meningkat dibandingkan dengan prosedur lain, tetapi ketajaman
penglihatan Snellen, status refraksi tetap sebanding. 

 Prosedur refraksi lainnya:

o Keratoplasti konduktif (CK): USFDA menyetujui ini untuk pengobatan


hipermetropi ringan-sedang dengan astigmatisme minimal untuk
sementara waktu. Setelah dua tahun, disetujui untuk presbiopia dengan
titik akhir -1,00 hingga -2,00 dioptri untuk mata nondominan. Ini adalah
prosedur berbasis energi frekuensi radio untuk membuat penyusutan
kolagen stroma. Ini meningkatkan kekuatan konvergen kornea. Ini adalah
pilihan bedah yang sangat baik untuk hipermetropi dan presbiopia.
Keratoplasti dengan diameter 90-um dan panjang 450-um digunakan
untuk menghasilkan ablasi. Jumlah variabel ablasi selama 0,6 detik
masing-masing di zona melingkar 6 mm, 7 mm, dan 8 mm di kornea
dilakukan tergantung pada kesalahan bias. Ini adalah prosedur invasif
minimal dan aman tetapi tidak efektif pada hipermetropi tinggi. Erosi
kornea berulang, iritis ringan, luka bakar iris, kehilangan sel endotel  dan
jarang cedera kornea parsial atau ketebalan penuh dapat terjadi. Status
refraksi yang stabil dan dapat diprediksi dapat dicapai pada hipermetropi
rendah hingga sedang. 

o Ekstraksi lentikula sayatan kecil (SMILE): Ini adalah kemajuan terbaru


dalam manajemen hipermetropi. Ini pertama kali dilakukan di mata
donor di mana ekstraksi lentikula cekung dilakukan, dan gelembung
udara celah cekung interlamellar dicatat. Ini adalah prosedur yang aman
untuk hipermetropi, bahkan dalam derajat yang lebih tinggi. Hal ini
sebanding dengan LASIK untuk hipermetropi dalam efektivitas dan
keamanan dengan induksi penyimpangan bola yang serupa. Komplikasi
intraoperatif seperti pembentukan gelembung buram, kehilangan isap
terutama terkait dengan kurangnya pengalaman ahli bedah. Keratitis
pasca operasi, ektasia, mata kering tidak jarang terjadi setelah SMILE. 

 Prosedur Intraokular: Lensa intraokular Phakic , di mana lensa intraokular


baru ditanamkan di anterior lensa kristal, adalah pilihan yang baik. Karena
sempitnya ruang intraokular pada hipermetropi, blok pupil, pupil oval, dan
pembentukan katarak tidak jarang terjadi. Pertukaran lensa bias  adalah
pilihan lain untuk tingkat tinggi hyperopia atau di mana prosedur kornea
kontraindikasi dan terkait dengan kasus katarak. Operasi intraokular memiliki
komplikasinya sendiri misalnya, dekompensasi kornea, ablasi retina
rhegmatogenous, hyphema, dan uveitis. 

 Penatalaksanaan sudut tertutup terkait hipermetropi:  Hipermetropi


merupakan salah satu faktor risiko penyakit sudut tertutup.  Pasien dengan
gejala atau dugaan sudut tertutup atau pasien dengan riwayat keluarga positif
harus menjalani tonometri, gonioskopi, perimetri bersama dengan modalitas
diagnostik yang lebih baru seperti Anterior Segment Optical Coherence
Tomography (AS-OCT), Ultrasound Biomicroscopy, dan OCT scan optik. saraf /
lapisan serabut saraf retinal.   Laser perifer iridotomi (LPI) adalah prosedur yang
aman di setiap tahap penyakit sudut tertutup. Operasi katarak atau ekstraksi
lensa bening juga merupakan prosedur yang sangat efektif dan menunjukkan
keunggulan dalam sebuah penelitian dibandingkan LPI.

Diagnosis banding

Diagnosis banding hipermetropi meliputi:

 Nanophthalmos - Secara struktural normal, tetapi ukuran mata lebih kecil. 

 Mikrofthalmos - Ukurannya lebih kecil dengan struktur mata yang abnormal dan
terkadang berhubungan dengan keterlibatan sistemik. 

 Mikrofthalmos posterior: Mikroftalmos hanya melibatkan segmen


posterior. Dimensi segmen anterior normal.

 Kornea mikro, enophthalmos


 Ptosis parsial yang menyerupai bola mata kecil 

 Papilledema

 Edema retina atau peningkatan retina serosa atau eksudatif

 Tumor orbital menyebabkan perpindahan bagian posterior bola mata ke


anterior

 Hipoglikemia

 Presbiopia

Klasifikasi

AR Augsburger, dalam bukunya, mengklasifikasikan hipermetropi menjadi tiga tahap


atau derajat, yang diikuti oleh konvensi hingga saat ini dan juga oleh American
Optometric Association (AOA). 

 Hipermetropi rendah yaitu +2.00 dioptri (D) atau kurang.

 Hipermetropi sedang yaitu + 2.25 hingga +5.00 D.

 Hipermetropi tinggi yaitu +5.00 D.

Prognosa

Faktor prognostik yang baik:

 Prognosis hipermetropi baik jika diagnosis dan pengobatan dini dimulai. Ini


sangat penting dalam kelompok usia prasekolah. Refraksi sikloplegik, diikuti
oleh refraksi pasca-sikloplegik, adalah wajib untuk mereka. Pada dugaan
ambliopia, penanganan ambliopia yang tepat memberikan prognosis yang
baik. Jika tidak dilakukan lebih awal, dapat menyebabkan ambliopia dan
penurunan penglihatan permanen. 

 Persiapan pra operasi yang tepat dan intervensi tepat waktu membawa
prognosis yang baik. 

Faktor prognostik buruk:

 Terkait kelainan mata lainnya 

 Intervensi bedah dalam kasus refraksi yang tidak stabil 

 Sindrom sistemik yang ada bersamaan 

 Riwayat keluarga juling dan ambliopia

Komplikasi
 Ambliopia:  Perampasan stimulus atau ambliopia anisometropik dapat terjadi
jika tidak ada koreksi tepat waktu. Koreksi refraksi yang tepat, latihan ortoptik
diperlukan untuk mengatasi ambliopia ini.   

 Juling: Strabismus konvergen tidak jarang terjadi pada anak-anak yang sedang


berkembang dengan hipermetropi yang tidak diperbaiki. Mata yang menyipit
menjadi lebih kehilangan stimulus secara bertahap.

 Penyakit sudut tertutup:  Hipermetropi adalah kondisi predisposisi untuk


mengembangkan penyakit sudut tertutup. 

 Neuropati optik iskemik anterior (AION):  Hipermetropi adalah faktor risiko


pengembangan AION (non-arteritik). 

 Oklusi vena retina:  Meskipun beberapa penelitian menyangkal hubungannya


dengan hipermetropi, oklusi vena retina cabang mungkin lebih mungkin
dikaitkan dengan hipermetropi daripada oklusi vena sentral. 

 Degenerasi makula terkait usia (ARMD): ARMD dapat dikaitkan dengan


hipermetropi.

 Korioretinopati serosa sentral (CSCR):  Mata hiperopik mungkin lebih rentan


untuk mengembangkan CSCR. 

 Sindrom efusi uveal: Mikrofthalmos  posterior dengan hipermetropi


merupakan predisposisi mata untuk mengembangkan efusi uveal. 

 Nanophthalmos / posterior microphthalmos:  Serous retinal detachment,


pre-retinal fold dengan kista makula, lipatan makula, dan penebalan fovea dan
epitel pigmen retinal adalah gambaran umum dari nanophthalmos atau
mikrofthalmos posterior retinal.

Presbiopia

Di antara berbagai penyebab gangguan penglihatan dekat, presbiopia adalah


penyebab penting dan paling umum pada orang dewasa yang lebih tua. Dalam sebuah
penelitian untuk populasi dari wilayah Amazon Brazil, presbiopia menyumbang 71,8%,
katarak dan pterigium menyumbang 16,5 dan 2,5% dari total kasus gangguan
penglihatan untuk kasus terdekat. Ini berlaku untuk seluruh populasi secara
global. Presbiopia adalah masalah global yang terus meningkat yang mempengaruhi
lebih dari satu miliar di seluruh dunia. Peningkatan jumlah populasi yang menua telah
mendorong para profesional perawatan kesehatan untuk menemukan cara untuk
menangani situasi dengan berbagai cara non-bedah dan bedah secara efektif. Artikel
saat ini membahas cara koreksi presbiopia bedah dan non-bedah ini.

Etiologi
Penurunan progresif dalam kapasitas akomodatif lensa adalah penyebab utama
presbiopia. Berbagai teori yang menggambarkan mekanisme yang terlibat dalam
presbiopia telah diajukan. Teori Helmholtz, Teori Schachar, dan teori Catenary dari
Coleman adalah yang paling banyak dibahas. 

 Teori Helmholtz: Sesuai dengan teori ini, kontraksi otot siliaris menghasilkan
relaksasi zonula dan peningkatan konveksitas kapsul lensa anterior.

 Teori Schachar: Teori ini, berbeda dengan teori Helmholtz, mengatakan bahwa
kontraksi otot siliaris menghasilkan peningkatan ketegangan serabut zonular
ekuator dengan relaksasi serentak serabut zonular anterior dan
posterior. Konsep ini menghasilkan penuraman bagian tengah anterior lensa
dengan perataan pinggiran lensa. 

 Teori katener dari Coleman: Sesuai teori ini, dengan kontraksi otot siliaris,
terjadi gradien tekanan dari kompartemen vitreous ke kompartemen air, yang
mengakibatkan penuraman kapsul lensa anterior di tengah. 

 Teori lain termasuk teori Tscherning dan teori Baikoff. 

Untuk meringkas, semua teori ini menggambarkan kapsul lensa pusat anterior yang
curam selama akomodasi. 

Epidemiologi

Onsetnya biasanya sekitar usia 40 tahun; ini adalah kelompok yang paling aktif
secara ekonomi. Di negara berkembang, mayoritas presbyop tidak mendapatkan
koreksi presbyopia, karena kurangnya kesadaran dan juga keterjangkauan yang
buruk. Bahkan di negara maju, jumlah presbyop yang tidak menggunakan kacamata
presbyopia jauh lebih tinggi. Dalam sebuah penelitian di Amerika Serikat, gangguan
penglihatan dekat presentasi (PNVI) tercatat pada 13,6% peserta, dan 25,9% peserta
memiliki gangguan penglihatan dekat fungsional (FNVI).   Dalam studi lain, Survei
Kesehatan Mata Nasional Australia, PNVI ditemukan 21,6% di antara non-pribumi
Australia dan 34,7% di antara penduduk asli Australia. 

Patofisiologi

Ada berbagai penjelasan tentang patofisiologi presbiopia. Di antara semua


konsep, peningkatan kekakuan lensa kristal adalah yang paling populer dan diterima
secara luas. Presbiopia adalah suatu kondisi fisiologis dimana terjadi penurunan
fungsional yang progresif pada kapasitas akomodatif lensa kristal. Secara klinis, ini
bermanifestasi sebagai kesulitan progresif dalam membaca pada jarak membaca biasa.
Dalam studi in-vitro oleh Glasser dan Campbell, mereka menemukan tidak ada
perubahan dalam panjang fokus, dengan simulasi tegangan zonular dan relaksasi. 

Biasanya, nukleus lebih kaku daripada korteks pada lensa yang lebih tua,
sedangkan pada individu muda, korteks lebih kaku daripada nukleus. Namun, kekakuan
nukleus dan korteks sama antara 35 hingga 40 tahun; dan ini mungkin penyebab
timbulnya gejala presbiopik sekitar usia 40 tahun. Faktor penting lainnya yang
dikaitkan dengan presbiopia adalah perubahan relatif dalam bentuk lensa dengan
bertambahnya usia (peningkatan ketebalan lensa), sehingga gaya vektor yang diberikan
oleh zonula di ekuator menyebar ke wilayah yang lebih luas di sekitar ekuator. Ini
menghasilkan efek minimal pada bentuk lensa dengan kontraksi zonular dan relaksasi.

Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Pasien berusia sekitar 40 tahun datang dengan keluhan kesulitan membaca


cetakan yang lebih halus pada jarak membaca biasa. Biasanya, pasien melaporkan
peningkatan ketajaman visual dekat jika jarak membaca ditingkatkan sedikit di luar
jarak membaca biasanya. Pada permulaan gejala, penderita sering mengeluh sakit
kepala. Gejala asenopik muncul relatif lebih awal pada pasien dengan paparan waktu
layar lebih lama karena disfungsi akomodatif laten. 

Gejala lain termasuk keterlambatan fokus pada jarak dan jarak, menyipitkan
mata, mengantuk saat berada di dekat tempat kerja, dan kebutuhan cahaya terang
untuk membaca. Pekerja yang terlibat aktif dalam bisnis menjahit mengalami kesulitan
memasukkan benang ke dalam jarum. 

Pemeriksaan penunjang

Dalam presbiopia, kami mencatat bahwa titik dekat akomodasi (NPA) surut di
luar jarak membaca biasanya. Menggunakan aturan Royal Air Force (RAF), NPA
dihitung dan karenanya amplitudo akomodasi. Amplitudo akomodasi menurun dengan
bertambahnya usia. 

Evaluasi bersifat subjektif. Pasien diminta untuk menjaga target bacaan dekat


pada jarak membaca biasa, dan lensa ditambahkan. Nilai minimum lensa plus, yang
membuat penglihatan cukup jelas untuk membaca baris terakhir dari grafik pembacaan
pada jarak pembacaan biasa, dianggap sebagai kekuatan dioptrik yang harus
ditentukan. 

Perawatan / Manajemen

Opsi Non-bedah

1. Kacamata: Lensa penglihatan tunggal adalah pilihan yang relatif lebih murah. Pasien
dapat membaca dengan nyaman di dekat; Namun, seseorang membutuhkan kaca jarak
jauh yang terpisah jika ia juga memiliki kesalahan bias untuk jarak. Lensa bifokal sangat
membantu, terutama jika orang tersebut memiliki kelainan refraksi untuk jarak dan
presbiopia. Namun, lensa bifokal lebih mahal daripada lensa penglihatan
tunggal. Bifocal mengoreksi jarak dekat maupun jarak; namun, penglihatan menengah
tidak terpengaruh dan kabur. Untuk memperhitungkan masalah penglihatan kabur
pada jarak menengah, lensa progresif diperkenalkan. Lensa progresif dianggap yang
paling mahal dari semuanya. Namun, kualitas penglihatan lebih baik dengan lensa
progresif, dan durasi penggunaan kacamata meningkat dari 40% menjadi 60% selama
jam kerja.  Baik kacamata bifokal dan progresif awalnya tidak dapat ditoleransi dengan
baik dan dapat menyebabkan mual dan pusing. Karena perubahan kualitas penglihatan
di persimpangan lensa, pasien mungkin mengalami kesulitan menilai kedalaman saat
berjalan. Namun, dengan penggunaan terus menerus, gejala hilang selama 2 sampai 3
minggu. 

Lensa bifokal dapat diklasifikasikan berdasarkan mereknya sebagai:

 Fused bifocal: Kurva depresi pada kaca mahkota dilengkapi dengan tombol batu
api. 

 Bifokal padat: terbuat dari satu bahan

 Cemented bifocal: segmen direkatkan ke lensa penglihatan tunggal.

 Split bifocal: dua lensa terpisah disatukan dengan sebuah bingkai.

Berdasarkan desainnya, dapat diklasifikasikan sebagai:

 D-seg atau lensa bifokal atas lurus

 Lensa bifokal tersegmentasi bulat

 Lensa bifokal eksekutif

 Lensa Kryptok- di sini, segmen untuk koreksi penglihatan dekat berbentuk


bulat. 

Keuntungan lensa Kryptok adalah transisi tidak terlihat dari luar, berbeda
dengan D-seg, di mana segmentasinya dibatasi dengan sangat baik. Begitu. itu secara
kosmetik lebih baik; namun, lompatan gambar dapat terjadi dengan semua desain ini.

Lensa progresif memiliki gradien kekuatan untuk menambahkan dekat di zona


tengah. Bagian periferal lensa dapat menyebabkan distorsi.

2. Lensa kontak: Lensa kontak dapat membantu mengatasi presbiopia dengan 2


cara. Lensa kontak monofokal dapat mengoreksi satu mata untuk jarak dan mata
lainnya untuk jarak dekat. Selalu, mata dominan dikoreksi untuk jarak. Konsep ini
disebut 'monovision.' Keuntungan dengan monovision adalah kejernihan penglihatan
yang baik pada jarak yang jauh; namun, sensitivitas kontras dan stereopsis
berkurang.   Ada lensa kontak multifokal dengan desain bias konsentris yang tersedia
untuk mengoreksi penglihatan jarak, menengah, dan dekat. 

Opsi Bedah

1. Prosedur kornea: Monovision dengan koreksi bias laser sudah terkenal. Berbagai


profil ablasi kornea diusulkan untuk koreksi presbiopia. "Pulau curam tengah yang
terinduksi," "area curam yang terdekam," dan "zona penglihatan dekat di kornea perifer
tengah" adalah beberapa di antaranya.  Prosedur ini tampaknya efektif; namun, hal
tersebut mengakibatkan hilangnya kualitas penglihatan. Dalam studi lain, Optimal
global untuk kelengkungan dan asferisitas dan pulau curam tengah ditemukan lebih
menjanjikan koreksi presbiopia kornea (dibandingkan dengan prosedur anulus curam
terpusat / CSA, dan pulau curam decentered / DSI).  Namun, perawatan pulau terjal di
tengah sulit untuk dibalik.

Keratoplasti konduktif adalah prosedur lain di mana penyusutan kolagen kornea


di kornea perifer tengah menghasilkan peningkatan daya refraksi kornea dan dengan
demikian mengoreksi presbiopia. 

Inlay intracorneal yang terbuat dari polivinilidena fluorida tersedia untuk


koreksi presbiopia. Inlay ditempatkan intrastromal setelah mengangkat flap
kornea. Apertur pusat berukuran sekitar 1.6mm. Efek lubang-jarum ini menghasilkan
peningkatan kedalaman fokus dan karenanya digunakan untuk koreksi
presbiopia.  Implan ini dikenal sebagai inlay kornea aperture kecil Kamra. Ada implan
intracorneal lain yaitu mikrolens, yang juga dipasang intrastromal setelah membuat
kantong baik dengan laser Femto atau secara manual. 

2. Prosedur skleral: Ada berbagai prosedur ekspansi skleral dengan anulus PMMA ke
dalam sklera yang menutupi otot siliaris, yang menjanjikan untuk mengoreksi
presbiopia. Implan scleral diusulkan untuk bekerja dengan menyebabkan ekspansi
skleral di atas otot siliaris, sehingga memulihkan kontraksi dan akomodasi otot
siliaris. Pemotongan radial scleral (posterior) di atas sklera juga dikatakan memiliki
tujuan yang sama, dengan mekanisme yang sama. Namun, datanya belum cukup dan
meyakinkan. 

3. Monovision dengan implan intraokular: Pilihan ini bermanfaat bila pasien menderita
presbiopia dan ametropia dengan derajat yang lebih tinggi.

4. Lensa intraokuler phakic termasuk lensa ruang anterior (penopang sudut dan iris-
claw) dan lensa ruang posterior. Hari-hari ini tersedia lensa multifokal yang
mendukung sudut ruang anterior, yang tidak hanya mengoreksi jarak dekat tetapi juga
mengoreksi ametropia. 

5. Ekstraksi lensa bening diikuti dengan implantasi IOL untuk koreksi presbiopia dan
ametropia telah populer. Astigmatisme rabun terencana setelah operasi katarak
memberikan beberapa akomodasi semu. Monovision dengan monofocal IOL adalah opsi
yang valid; namun, hasil visual lebih rendah daripada IOL multifokal.  Lensa multifokal
trifokal memberikan ketajaman visual yang lebih baik pada jarak menengah
dibandingkan dengan lensa multifokal bifokal.  Belakangan ini, lensa quadrifocal dan
lensa fokus dengan kedalaman diperpanjang juga telah dikembangkan.  Namun,
kehilangan cahaya adalah masalah utama lensa multifokal.  
Tersedia desain IOL asimetris yang mengklaim memiliki sensitivitas kontras yang sama
dengan lensa mono-focal.  Di sini zona berbentuk sektor ditempatkan secara inferior,
yang berfungsi untuk koreksi dekat. 

Diagnosis banding

Penyakit yang mempengaruhi penglihatan dekat adalah:

 Penyakit makula / retina- Pada penyakit makula, penglihatan tidak membaik


dengan koreksi refraksi, dan tomografi koherensi optik retina dapat
mengungkapkan kelainan.

 Penyakit saraf optik

 Katarak subkapsular posterior - Tidak seperti presbiopia, penglihatan dekat


semakin memburuk dalam cahaya terang.

 Hipermetropia

 Astigmatisme

Prognosa

Presbiopia tidak bisa dihindari dan biasanya dimulai sekitar usia 40


tahun. Pasien dapat bekerja lebih baik dengan kacamata dan lensa kontak. Pilihan
bedah dengan penerimaan yang relatif baik juga telah dibahas.

Komplikasi

Hasil presbiopia yang tidak dikoreksi tidak hanya menyebabkan kesulitan


membaca di dekat tetapi juga menyebabkan kantuk dan sakit kepala. [14]  Dengan
koreksi presbiopia, gejala ini juga hilang.

STRABISMUS
Strabismus adalah deviasi salah satu atau kedua bola mata dari posisi
normalnya, sehingga seseorang sulit untuk mengarahkan kedua bola mata secara
simultan saat hendak memfokuskan pandangan pada sebuah objek. Normalnya, kedua
mata memiliki kedudukan yang sama (orthophoria) dan bergerak secara simultan
sehingga bayangan objek (target visual) jatuh pada fovea. Strabismus dapat mengenai
satu mata (unilateral) maupun kedua mata (bilateral).

Strabismus dibagi menjadi 2 tipe, yaitu concomitant dan incomitant.


Strabismus concomitant adalah strabismus dengan sudut deviasi yang sama pada
seluruh arah gerakan bola mata dengan otot ekstraokular masih dapat bergerak
maksimal. Strabismus incomitant adalah strabismus dengan sudut deviasi berbeda pada
berbagai posisi lirikan disertai pergerakan otot ekstraokular yang terbatas. Pola deviasi
“A” dan “V” termasuk dalam strabismus incomitant
Arah deviasi pada strabismus dapat dibedakan menjadi horizontal, vertikal,
dan cyclodeviation. Deviasi horizontal terdiri dari esotropia (mengarah ke dalam) dan
eksotropia (keluar), sedangkan deviasi vertikal terdiri dari hipertropia (ke atas) dan
hipotropia (ke bawah). Cyclodeviation adalah rotasi pada aksis anteroposterior atau
rotatorik. Eksotropia dan esotropia adalah bentuk yang sering ditemukan pada
strabismus.
Pola deviasi “A” adalah bertambah jauhnya jarak kedua pupil (divergen) dengan
semakin ke bawah arah pandangan, seperti membentuk huruf A. Sebaliknya, pola
deviasi “V” adalah semakin jauhnya jarak kedua pupil dengan arah pandangan yang
semakin ke atas, seperti membentuk huruf “V”.

Strabismus terjadi karena adanya gangguan struktur atau sistem neuromuskular


yang mengontrol otot-otot ekstraokular untuk mempertahankan posisi bola mata dan
menggerakan kedua bola mata. Strabismus berdasarkan etiologinya dapat dibagi
menjadi primer dan sekunder. Strabismus primer biasanya idiopatik dan terjadi pada
bayi dan anak-anak. Strabismus sekunder merupakan strabismus yang terjadi karena
penyakit tertentu atau trauma.

Neonatus dapat menunjukkan gejala strabismus horizontal intermittent, namun


hal ini masih dapat dikatakan normal. Apabila bertahan sampai usia >3 bulan, maka
perlu dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut. Strabismus dapat menjadi salah satu
tanda patologis yang berbahaya, misalnya retinoblastoma atau keadaan patologis
intrakranial.
Penatalaksanaan strabismus bertujuan untuk mengembalikan penglihatan
binokular. Tata laksana yang dipilih meliputi pemakaian kacamata, terapi oklusi, dan
tindakan operatif. Penatalaksanaan pada strabismus juga harus meliputi etiologinya.

Komplikasi yang sering dan sangat ditakutkan pada strabismus adalah


ambliopia. Selain mengganggu tumbuh kembang anak, kondisi ini juga mengganggu
performa akademik dan masa depan anak. Strabismus dapat memberikan dampak yang
buruk pada psikososial dan sosioekonomi pasien apabila tidak mendapatkan tata
laksana yang optimal.

Epidemiologi Strabismus
Berdasarkan data epidemiologi, strabismus sering terjadi pada anak berusia di
bawah 6 tahun, dengan puncak awitan usia 3 tahun. Strabismus juga dapat terjadi pada
orang dewasa, dengan rerata usia 40-50 tahun.

Strabismus dapat menyebabkan gangguan perkembangan visual dengan


komplikasi tersering yang ditemukan adalah ambliopia. Selain itu, sebanyak 50-73%
dari seluruh kejadian kebutaan terjadi pada strabismus.
Pada anak, bentuk strabismus yang sering ditemukan adalah esotropia dengan
prevalensi 3-5 kali lebih banyak daripada eksotropia. Hal ini karena pembentukan
refleks akomodasi yang belum matur saat terjadinya strabismus dan kelumpuhan saraf
kranial VI yang sering ditemukan pada anak dengan tumor intrakranial dan anomali
kongenital.

Global
Prevalensi strabismus pada populasi umum adalah 0,3-7,6%, variasi ini
tergantung dari negara, etnis, dan kelompok usia. Pada anak berusia 4-10 tahun,
prevalensi global strabismus mencapai 2-4%. Pada orang dewasa berkisar antara 4-
5,6%. Pada lansia berkisar 0,68%.

Pada populasi anak-anak, esotropia merupakan bentuk yang lebih sering ditemukan.
Pada usia 55-75 tahun, eksotropia merupakan bentuk yang lebih sering ditemukan.[39]

Indonesia
Data mengenai epidemiologis strabismus di Indonesia masih sangat terbatas, namun
sudah ada beberapa penelitian yang meneliti mengenai strabismus di Indonesia. Salah
satunya adalah studi yang dilakukan di RSUP M. Djamil Padang pada bulan Januari
sampai dengan Desember 2017, dimana didapatkan 91 pasien dengan strabismus
horizontal.

Berdasarkan penelitian tersebut, anak berusia <10 tahun menempati proporsi


yang paling banyak (52,7%) dibandingkan usia 10-20 tahun (22,0%) dan >20 tahun
(25,3%). Laki-laki dan perempuan memiliki proporsi yang hampir sama. Jenis
strabismus yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini adalah eksotropia
(62,6%).

Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yani et al. di RSUP
Sanglah, Bali ditemukan bahwa prevalensi strabismus pada pasien
dengan retinoblastoma (N=59 responden) mencapai 4%.

Etiologi Strabismus
Etiologi strabismus dibagi menjadi primer dan sekunder (didapat). Etiologi
strabismus primer kebanyakan bersifat idiopatik atau karena sindrom kongenital
tertentu. Sedangkan strabismus sekunder adalah strabismus yang didapat karena
kondisi medis lain, seperti kelumpuhan saraf kranial, trauma, space occupying
lesions (SOL), dan gangguan refraksi.
Strabismus pada orang dewasa juga dapat terjadi karena bawaan dari kecil
akibat strabismus yang bertahan akibat tidak diterapi maupun yang rekuren.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab trauma tersering pada strabismus
sekunder orang dewasa (85%).
Strabismus yang terjadi karena trauma, penyakit neurologis, stroke, atau SOL
intrakranial perlu ditangani secepatnya.
Tabel 1. Etiologi Strabismus
Strabismus Primer
1. Idiopatik
2. Anomali kongenital, seperti anomali kraniofasial
Strabismus Sekunder
1. Penuaan
2. Ambliopia
3. Kehilangan penglihatan (kebutaan)
4. Penyakit endokrin dan neurologis, seperti Graves disease, stroke, dan
kelumpuhan saraf kranial
5. Trauma
6. Space occupying lesions (SOL)
Cortical Visual Impairment (CVI)
Cortical Visual Impairment (CVI) adalah gangguan pada jaras visual atau korteks
oksipital untuk memproses penglihatan, sehingga interpretasi objek sulit dilakukan.
Pada keadaan ini, visual behavior normal sampai melebihi usia 6 bulan.
Seringkali CVI terjadi karena adanya gangguan perinatal pada korteks oksipital,
seperti hidrosefalus, trauma, kelainan kongenital, dan kejang. Strabismus terjadi pada
73% pasien dengan CVI.

Anomali Kraniofasial
Gangguan pertumbuhan dan pembentukan tulang tengkorak menyebabkan
terjadinya anomali kraniofasial pada anak. Strabismus terutama terjadi karena
gangguan yang melibatkan struktur orbita. Gangguan ini dapat mempengaruhi posisi
bola mata dan fungsi otot ekstraokular, dengan merubah posisi insersi otot atau
mengganggu persarafan otot ekstraokular.
Massa Rongga Orbita
Massa pada rongga orbita akan menyebabkan gangguan anatomi dan letak otot
ekstraokular karena ada desakan oleh massa. Massa dapat terbentuk karena adanya
neoplasma, lesi vaskular (seperti aneurisma), infeksi, atau inflamasi.

Trauma
Trauma baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan
perdarahan intraorbita maupun gangguan anatomi otot-otot ekstraokular. Trauma yang
dimaksud antara lain seperti trauma penetrasi, perdarahan pada sekitar otot
ekstraokular, serta fraktur tulang penyusun rongga orbita karena trauma tumpul.

Proses Penuaan (Aging)


Penuaan memberikan perubahan pada accommodative convergence dan
adaptasi vergence. Seiring dengan bertambahnya usia, kemampuan sistem okulomotor
untuk menstabilisasi arah pandangan dan menjaga agar bayangan yang jatuh di retina
tetap stabil menurun.
Pada orang tua, terjadi sebuah keadaan yang disebut dengan eye sagging
syndrome (SES), yaitu degenerasi jaringan penyambung yang menyokong bola mata.
Pada SES, terjadi degenerasi pada otot rektus dimana terjadi penipisan dan
pemanjangan otot rektus superior dan lateral. Hal ini bermanifestasi sebagai esotropia
yang lebih jelas pada saat melihat jauh dibandingkan dekat,
serta cyclovertical strabismus.
Thyroid Eye Disease (TED)
Thyroid Eye Disease (TED) merupakan manifestasi ekstratiroid yang tersering
pada Grave’s Disease (30-50%) dan dapat menyebabkan terjadinya proptosis unilateral
maupun bilateral. Manifestasi klinis TED antara lain adalah retraksi palpebra,
eksoftalmus, disfungsi saraf optik, restriksi otot ekstraokular, dan strabismus.
Faktor Risiko
Faktor risiko strabismus pada bayi dan anak-anak berbeda dengan dengan orang
dewasa. Pada bayi dan anak-anak, faktor risiko meliputi faktor prenatal dan kelahiran,
antara lain:

 Riwayat kehamilan, seperti penyulit dan riwayat merokok saat hamil


 Kelahiran prematur
 Riwayat keluarga dengan strabismus
 Sindrom dan kelainan kongenital tertentu, seperti Down Syndrome dan hidrosefalus
Faktor risiko strabismus pada orang dewasa meliputi:

 Pertambahan usia
 Faktor predisposisi untuk penyakit kardiovaskular, stroke, dan kelumpuhan saraf
kranial, misalnya gaya hidup, stress, kurangnya aktivitas fisik, dan penyakit kronis
seperti hipertensi
 Gangguan refraksi seperti miopia
 Penyakit autoimun
 Tumor intrakranial

Patofisiologi Strabismus
Patofisiologi strabismus dipengaruhi oleh aspek-aspek anatomi (seperti otot
ekstraokular) dan fisiologis dari penglihatan. Strabismus terjadi ketika ada deviasi bola
mata dari posisi normalnya. Hal ini mengakibatkan seseorang sulit untuk mengarahkan
kedua bola mata secara simultan saat proses melihat.

Anatomi dan Fisiologi Orbit, serta Pengaruhnya pada Patofisiologi Strabismus


Otot-otot ekstraokular terdiri dari otot rektus (superior, inferior, lateral, dan
medial) serta otot obliquus superior dan inferior. Otot-otot ekstraokular melekat pada
struktur fibrosa pada bola mata (Annulus of Zinn) dan dipersarafi oleh saraf kranial.
Rektus lateral dipersarafi saraf kranial VI, obliquus superior oleh saraf kranial IV, dan
sisanya oleh saraf kranial III. Otot-otot ekstraokular ini mendapatkan nutrisi dari arteri
oftalmika.
Sesuai dengan peran, fungsi, dan letaknya, rektus medial dan lateral
menggerakan bola mata secara horizontal, sedangkan rektus superior dan inferior
menggerakan bola mata secara vertikal. Gerakan ini terjadi karena adanya kontraksi
otot ekstraokular oleh stimulus saraf kranial pasangannya, otot yang berlawanan akan
relaksasi untuk membantu hal ini. Pergerakan dan persarafan yang sinergis menunjang
kesimetrisan gerakan dan posisi bola mata.

Fovea merupakan lokasi di retina yang memiliki ketajaman visual paling tinggi
karena tingginya densitas fotoreseptor di titik ini. Secara fisiologis, sistem penglihatan
akan berusaha agar benda yang ingin difokuskan jatuh pada fovea atau dekat fovea (≤ 3
derajat dari fovea). Area di luar ini memiliki ketajaman visual yang lebih rendah.
Semakin jauh dari fovea, ketajaman visual akan menurun.

Saat melihat dekat, mata melakukan refleks akomodasi, yang terdiri dari gerakan
konvergen, konstriksi pupil, dan perubahan diameter anteroposterior lensa. Gerakan
konvergen sebagai bentuk akomodasi (accommodative convergence/AC) akan
memberikan tambahan kekuatan dioptri untuk melakukan akomodasi (A). Hubungan
keduanya dinyatakan dengan rasio AC/A, ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian
diagnosis.
Fusional Vergence

Pergerakan bola mata (fusional vergence) menyebabkan sebuah objek yang


dilihat kedua mata dan mengalami proses fusi (disatukan) oleh otak menjadi sebuah
gambar (single vision) yang sama (penglihatan binokular). Penglihatan binokular ini
terbentuk pada saat anak berusia 2 tahun. Sebelum hal ini terjadi, ketajaman visual
berubah-ubah, sehingga anak rentan untuk mengalami ambliopia.
Fusional vergence dibedakan menjadi fusional
convergence dan divergence. Fusional convergence adalah gerakan mata ke arah dalam
dan fusional divergence adalah gerakan mata keluar, keduanya bertujuan agar bayangan
yang sama jatuh pada titik yang sama di retina (retinal correspondence), kemudian
resultan bayangan yang didapat disatukan oleh korteks oksipital menjadi penglihatan
binokular.
Proses fusi (penyatuan gambar dari kedua mata) bergantung dari komponen motorik,
sensorik dan stereopsis:

 Komponen sensorik: hubungan kedua titik yang sama di retina kedua mata sampai
terjadinya proses fusi (penglihatan binokular)
 Komponen motorik: gerakan vergence yang memastikan bayangan yang sama jatuh
pada titik yang sama di retina dan dipertahankan
 Stereopsis: kemampuan persepsi binokular mengenai kedalaman dan bentuk 3
dimensi objek yang dilihat. Kemampuan ini tidak akan tercapai apabila proses fusi
tidak terjadi.
Gangguan persarafan, struktur, atau fungsi otot ekstraokular serta perkembangan
anatomi otot-otot ekstraokular menyebabkan terjadinya strabismus.

Strabismus pada Anak


Kemampuan penglihatan binokular dan koordinasi pergerakan bola mata tidak
langsung timbul pada saat lahir, namun didapatkan melalui proses perkembangan dari
bayi sampai masa kanak-kanak. Proses ini mulai pada usia 3-6 bulan dan selesai pada
usia 5-6 tahun. Fase ini merupakan fase yang kritis karena merupakan periode
perkembangan otak yang pesat, dimana neuron sedang memiliki plastisitas yang tinggi.
Plastisitas akan berubah seiring dengan pertambahan usia dan berada pada puncaknya
pada usia 1 tahun. Perkembangan persepsi visual termasuk ketajaman, warna,
sensitivitas kontras, penglihatan binokular, dan persepsi 3 dimensi = terjadi pada
periode ini.

Strabismus pada proses perkembangan anak biasanya disebabkan karena


adanya gangguan pada otak, dan diperkirakan merupakan hasil gabungan dari faktor
mekanik (otot ekstraokular) dan neuronal.

Faktor Mekanik

Faktor mekanik yang dimaksud adalah remodelling otot-otot ekstraokular


sebagai bentuk adaptasi. Pada pasien strabismus, lama-kelamaan otot-otot ekstraokular
“terbiasa” pada posisi deviasi, sehingga otak mempersepsikan hal tersebut sebagai
posisi normal. Input visual dari mata yang deviasi ini biasanya akan diabaikan, hal ini
yang menyebabkan strabismus memiliki komplikasi ambliopia.
Faktor Neuronal

Faktor neuronal yang dimaksud meliputi otak, nukleus saraf kranial, serta saraf
kranial yang mengontrol otot-otot ekstraokular. Adanya lesi yang melibatkan area
tersebut akan menyebabkan gangguan persarafan otot-otot ekstraokular sehingga
kontraksi otot terganggu, termasuk gerakan akomodasi untuk melihat dekat
(konvergen) dan jauh (divergen).

Otot-otot ekstraokular juga memberikan impuls proprioseptif ke sistem saraf


pusat (cerebellum, korteks frontal dan parietal, batang otak, dan nukleus vestibularis)
mengenai perubahan posisi bola mata. Impuls ini juga berperan dalam kontrol posisi
bola mata dan maturasi penglihatan binokular selama periode perkembangan anak.
Gangguan pada impuls proprioseptif menyebabkan instabilitas fiksasi mata pada
nistagmus kongenital dan strabismus pada bayi.

Gangguan Mata Unilateral

Strabismus pada anak juga dapat terjadi apabila terdapat gangguan penglihatan
pada salah satu mata, misalnya katarak kongenital, sehingga mata akan
mengkompensasi penglihatan dengan menggerakan mata yang sehat secara involunter
ke tengah, sering menyebabkan esotropia.
Strabismus pada Orang Dewasa
Pada early onset strabismus (< 2 tahun), penglihatan binokular dan kemampuan
stereopsis belum terbentuk dengan baik, sehingga “seolah-olah” pasien hanya melihat
dengan satu mata karena pandangan dari mata yang deviasi akhirnya diabaikan.
Sementara itu, pada orang dewasa perkembangan normal dan persepsi visual sudah
matur, sehingga otak tidak dapat menghiraukan input visual dari mata yang deviasi,
maka keluhan diplopia lebih sering terjadi pada orang dewasa.
Strabismus pada orang dewasa dapat terjadi sebagai lanjutan dari strabismus
pada masa kanak-kanak yang tidak diobati atau berulang (60%), trauma, maupun
gangguan persarafan pada otot-otot ekstraokular yang menyebabkan kelumpuhan
ataupun spasme. Gangguan persarafan dapat terjadi pada sistem saraf perifer maupun
pusat.

Strabismus juga dapat terjadi seiring dengan proses penuaan, dimana terjadi
kelemahan otot karena denervasi ataupun atrofi otot. Keadaan ini juga mempengaruhi
posisi bola mata. Pada lansia dapat terjadi sagging eye syndrome (SES), yang disebabkan
karena involusi jaringan penyambung dan memberikan komplikasi strabismus
horizontal maupun vertikal.
Pseudostrabismus
Pseudostrabismus adalah kondisi dimana posisi mata adalah normal, namun
struktur wajah tertentu menyebabkan orang tersebut seolah-olah mengalami
strabismus, misalnya pada telecanthus atau mereka yang memiliki epicanthal folds yang
menghalangi sklera bagian nasal.
Pseudostrabismus sering terjadi pada bayi dan anak-anak. Beberapa studi
menyatakan bahwa sebanyak 9,6-19% pasien yang dinyatakan pseudostrabismus
menjadi strabismus di kemudian hari. Patofisiologi yang mendasari hal ini belum jelas.
Bisa jadi hal ini karena saat dilakukan pemeriksaan anak tersebut sebenarnya memang
mengalami strabismus tetapi dinyatakan pseudostrabismus.

Ocular Instability of Infancy


Posisi bola mata pada bayi sering tidak stabil. Hal ini dapat bertahan sampai usia
3 bulan dan biasanya deviasi tidak melebihi 15 derajat. Adanya deviasi melebihi 15
derajat atau bertahan sampai dengan usia > 3 bulan dapat dinyatakan abnormal.

Kemampuan untuk melakukan fiksasi pada objek tertentu dan mengikuti objek
pada gerakan horizontal didapatkan pada saat neonatus, kemudian gerakan vertikal
didapat pada saat berusia 2 bulan. Kemampuan tracking menjadi matur pada usia 1
tahun. Kemampuan untuk melakukan fusi gambar (penglihatan binokular) yang didapat
dari kedua mata terjadi pada bulan pertama kehidupan dan matur pada usia 5-6 tahun.
Perkembangan visual terjadi dengan sangat cepat pada tahun pertama
kehidupan, namun menjadi sempurna pada usia 5-6 tahun. Gerakan mata yang
terkoordinasi dan gerakan paralel kedua mata penting untuk mendapatkan penglihatan
binokular. Hingga usia 6 tahun, deviasi bola mata dapat terjadi sesekali karena proses
fusi belum matur.

Diagnosis Strabismus
Diagnosis strabismus dapat ditegakkan secara klinis. Strabismus dapat
diklasifikasikan menjadi deviasi manifes (-tropia) dan laten (-phoria). Strabismus
manifes memberikan gambaran klinis yang jelas pada saat kedua mata dibuka dan akan
bergerak secara involunter setelah mata yang sehat ditutup (cover test). Sementara itu,
pada strabismus laten, gambaran klinis tidak selalu terlihat, tetapi dapat terinduksi
dengan melakukan alternate cover test.
Eksotropia dan esotropia dapat terjadi secara intermiten. Istilah intermiten ini
didapatkan pada keadaan dimana sebenarnya pasien dapat mempertahankan posisi
bola mata tanpa deviasi, namun pada keadaan tertentu, seperti stress atau sakit, deviasi
bola mata dapat terlihat.

Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik strabismus, perlu diperhatikan tanda bahaya,
yaitu:

 Red reflex yang abnormal


 Keterbatasan gerakan abduksi
 Diplopia
 Nyeri kepala
 Nystagmus
 Kecenderungan kepala menoleh pada sisi tertentu
 Gangguan neurologis, seperti Cerebral Palsy
Anamnesis
Anamnesis pada strabismus perlu mencakup usia awitan, lokasi keluhan,
frekuensi dan arah deviasi, adanya diplopia, riwayat kehamilan ibu, riwayat kelahiran
serta tumbuh kembang anak, penggunaan kacamata, riwayat keluarga, serta riwayat
trauma dan keadaan patologis intrakranial.

Usia awitan penting untuk ditanyakan karena nantinya akan berhubungan


dengan penatalaksanaan dan prognosis. Seringkali strabismus baru disadari pada usia 3
tahun. Apabila strabismus yang terjadi adalah intermiten, maka perlu diketahui apakah
frekuensi dan gejala bergantung pada arah penglihatan.

Diplopia merupakan salah satu keluhan yang sering ditemukan pada strabismus,
terutama pada orang dewasa. Diplopia dapat horizontal maupun vertikal dan
memberikan petunjuk mengenai arah strabismus.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada strabismus diawali dengan inspeksi untuk melihat
adanya deviasi pada salah satu atau kedua mata, inspeksi refleks cahaya pada
kornea, red reflex dan papiledema, bentuk muka dismorfik, dan postur kepala yang
abnormal. Pemeriksaan visus juga penting dilakukan mengingat kemungkinan
komplikasi ambliopia atau penurunan ketajaman penglihatan pada mata yang
mengalami defek.
Pemeriksaan fisik juga dilakukan sambil melihat jenis strabismus,
apakah concomitant atau incomitant. Hal ini dilakukan dengan melihat pergerakan bola
mata ke berbagai arah pandangan. Strabismus incomitant merupakan salah satu tanda
yang tidak boleh dilewatkan karena sering disebabkan oleh kelemahan atau paralisis
otot-otot ekstraokular.
Pergerakan bola mata juga memberikan petunjuk mengenai adanya paralisis
maupun restriksi (trapping atau pemendekan otot) yang kemungkinan disebabkan
karena trauma okuli, inflamasi orbital, atau tumor orbita.
Kelumpuhan saraf kranial memerlukan pemeriksaan pencitraan kepala
secepatnya untuk mengeksklusi adanya keadaan patologis intrakranial, seperti massa
intrakranial dan aneurisma.

Pada anak, strabismus yang disertai dengan ambliopia dapat disebabkan


karena retinoblastoma atau katarak kongenital.
Hirschberg Test

Hirschberg test merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan


untuk screening strabismus karena cepat, mudah, dan tidak memakan biaya.
Pemeriksaan ini dapat melihat adanya deviasi serta arah deviasi dengan cepat. Dokter
hanya memerlukan penlight dan menempatkan diri 1 meter di depan pasien. Pasien
diminta melihat lurus ke depan atau ke kening pemeriksa dengan tinggi mata pemeriksa
dan pasien disesuaikan.
Hasil yang normal akan menunjukkan adanya pantulan cahaya (titik cahaya)
tepat di tengah kornea. Apabila pantulan cahaya tidak di tengah kornea, berarti posisi
bola mata tidak pada posisi normalnya. Setiap 1 mm defleksi dari tengah pupil,
ekuivalen dengan deviasi 15-20 derajat prisma dioptri (Δ).

Pemeriksaan Refleks Fundus

Pemeriksaan refleks fundus dilakukan menggunakan oftalmoskop, dimana


pemeriksa berdiri 0,5 meter di depan anak dengan memegang oftalmoskop pada angka
0 sambil melihat cahaya (refleks fundus) yang dipantulkan. Hasil yang normal adalah
warna jingga-kemerahan dengan ukuran dan bentuk yang sama pada kedua mata.

Cover Test

Cover test dilakukan pada jarak dekat dan jauh dengan atau tanpa kacamata saat
pasien melakukan fiksasi pada target tertentu, misalnya tulisan atau boneka. Salah satu
mata akan ditutup dengan penutup selama beberapa detik dan mata yang dibuka akan
diobservasi. Pemeriksaan ini melihat adanya deviasi manifest (-tropia) pada mata, serta
arahnya.
Normalnya, dengan menutup mata secara bergantian, bola mata akan tetap
terfiksasi dan tidak bergerak (orthotropia). Pada mata yang eksotropia, penutupan
mata yang normal akan menyebabkan mata bergerak ke arah dalam untuk melakukan
fiksasi. Sebaliknya, pada mata yang esotropia, akan bergerak ke arah luar untuk
melakukan fiksasi. Tes ini dilakukan pada kedua mata.

Alternating Cover Test (ACT)

Alternating cover test (ACT) dilakukan untuk melihat adanya deviasi laten (-


phoria) maupun manifest (-tropia) dengan mengganggu terjadinya fiksasi. Pemeriksaan
ini dilakukan dengan menutup mata secara bergantian tanpa menunggu beberapa detik
sambil melihat pergerakan involunter bola mata. Pada pemeriksaan ini, mata yang
deviasi akan kehilangan kemampuan untuk melakukan fusi dan fiksasi.
Patch Test

Anak dengan strabismus dapat datang dengan posisi kepala yang abnormal,
seperti torticollis karena kecenderungan untuk memiringkan kepala ke satu sisi. Pada
keadaan ini, patch test dilakukan untuk mengetahui apakah torticollis yang terjadi
disebabkan oleh strabismus, bukan penyebab lain. Torticollis pada strabismus akan
membaik dengan melakukan patching pada salah satu mata.
Accommodation-Convergence Relationship (AC/A)

Accommodation-Convergence Relationship (AC/A) adalah hubungan antara


kemampuan mata untuk melakukan konvergen sebagai refleks akomodasi dan kekuatan
akomodasi yang muncul dengan dilakukannya gerakan konvergen. Besarnya sudut
konvergen diukur dengan menggunakan prisma dioptri.
Angka AC/A rasio menunjukkan penurunan deviasi okular pada saat dekat
dibandingkan dengan pada saat melihat jauh. Normalnya rasio AC/A adalah 3-5:1 yang
berarti untuk melakukan akomodasi pada jarak 1 meter, seseorang dengan jarak antar
pupil 60 mm akan melakukan konvergen sebanyak 6 derajat prisma dioptri.

Tentunya pada mata yang deviasi, kemampuan konvergen akan berbeda dengan
mata yang memiliki kedudukan yang sama. Pada eksotropia, jarak antar pupil lebih
jauh, sehingga nilai rasio AC/A lebih rendah. Pada esotropia, jarak antar pupil lebih
dekat, sehingga nilai rasio AC/A lebih tinggi.

Prism Cover Test

Prism cover test merupakan baku emas untuk menilai strabismus, namun agak
sulit dilakukan pada anak karena memerlukan kerjasama. Pemeriksaan ini juga
dilakukan postoperasi untuk melihat tolerable range pada pada koreksi yang berlebihan
atau kurang (over- atau undercorrection) untuk menghindari diplopia post-operatif. 
Besarnya deviasi pada strabismus dinilai dengan prisma dioptri. Besar deviasi adalah
nilai derajat prisma dioptri (Δ) yang diperlukan untuk menetralisir deviasi. Hasilnya
dibagi menjadi 3 kelas:
 Deviasi sudut kecil : ≤ 10 derajat prisma dioptri
 Deviasi sedang : 11-30 derajat prisma dioptri
 Deviasi sudut besar : >30 derajat prisma dioptri (untuk esotropia), >35 derajat
prisma dioptri (untuk eksotropia)
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada strabismus antara lain pseudostrabismus, diplopia monokular,
dan Convergence Insufficiency (CI).
Pseudostrabismus

Pseudostrabismus adalah keadaan struktur wajah tertentu yang menyebabkan


bola mata seolah deviasi. Pseudostrabismus sering ditemukan pada anak-anak,
terutama di Asia. Pseudostrabismus dapat dibedakan dengan strabismus melalui
pemeriksaan Hirschberg dimana corneal light reflex akan jatuh di tengah mata.
Diplopia Monokular

Diplopia monokular sering disebabkan oleh gangguan refraksi (seperti


astigmatisma), penyakit yang melibatkan kornea atau lensa, atau gangguan pada retina.
Pada diplopia monokular, gangguan terjadi pada bidang refraksi sehingga cahaya yang
datang jatuh pada fovea dan area ekstrafovea di mata yang sama. Hal ini akan
dipersepsi menjadi penglihatan ganda (diplopia).

Convergence Insufficiency (CI)

Convergence Insufficiency (CI) adalah keadaan dimana terlihatnya eksophoria


yang lebih jelas pada saat melihat dekat daripada melihat jauh. Keluhan pada CI
menyebabkan mata menjadi lebih tegang, sakit kepala, penglihatan kabur, diplopia dan
kesulitan konsentrasi. Keluhan ini biasanya dirasakan pada saat pasien membaca atau
melakukan kegiatan yang melibatkan penglihatan jarak dekat.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada strabismus terutama dilakukan untuk membantu
diagnosis pada pasien yang kurang kooperatif, seperti anak-anak. Pemeriksaan
penunjang pada strabismus juga dapat dilakukan untuk mengetahui etiologi, seperti
massa intrakranial atau stroke.

Pencitraan

Pencitraan dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara keseluruhan jaringan


periorbita termasuk otot ekstraokular. Selain itu, pencitraan juga dilakukan untuk
melihat adanya faktor risiko atau penyakit yang mendasari munculnya strabismus.

Pencitraan dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut :


 Kecurigaan adanya etiologi yang menyebabkan cranial neuropathy, yaitu iskemia,
inflamasi, infeksi, kompresi oleh massa, cranial neuropathy kongenital, dan
penyakit neuromuscular junction
 Strabismus incomitant, “A” atau “V”-pattern strabismus, atau manifestasi klinis
strabismus lainnya yang tidak biasa
 Usia >50 tahun dengan gejala kelumpuhan saraf kranial akut atau memiliki
faktor risiko kardiovaskular
 Kecurigaan kelumpuhan saraf kranial III
 Pencitraan tidak harus selalu dilakukan pada keadaan berikut :
 Riwayat strabismus yang sudah lama diketahui dan stabil
 Riwayat operasi mata yang diketahui dengan pasti sebagai penyebab strabismus
 Telah dilakukan pemeriksaan pencitraan sebelumnya
 Riwayat penyakit yang telah diketahui menyebabkan terjadinya strabismus pada
pasien, seperti Thyroid Eye Disease (TED) dan myasthenia gravis
 Sagging eye syndrome
Ultrasonografi Orbita:

Pemeriksaan ultrasonografi orbita membantu memvisualisasi kapsula Tenon


(neonatus), pembuluh darah, otot-otot ekstraokular, dan kavum vitreus. Pencitraan
dengan ultrasonografi orbita sebenarnya memang bukan merupakan standar baku
untuk melihat keadaan patologis intrakranial, namun alat ini merupakan salah satu alat
yang paling mudah diperoleh dan lebih murah.

Ultrasonografi lebih inferior daripada pemeriksaan CT scan maupun MRI.


Apabila tersedia, kemungkinan besar penggunaan ultrasonografi akan digantikan
dengan CT scan atau MRI, namun hal ini kembali lagi bergantung pada keputusan
klinisi.

MRI dan CT Scan:

Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT)


scan merupakan pemeriksaan yang disarankan dilakukan pada strabismus sesuai
indikasi. MRI merupakan pemeriksaan yang lebih dipilih karena memberikan gambaran
yang lebih baik untuk mengidentifikasi jaringan lunak.
Adanya atrofi maupun trauma dapat dilihat dengan jelas pada potongan sagital
(untuk rektus vertikal) dan aksial (untuk rektus horizontal). Pemeriksaan ini sangat
membantu dalam menentukan etiologi dan diagnosis. Apabila pasien tidak kooperatif,
dapat dipertimbangkan penggunaan sedasi.

Optical Coherence Tomography (OCT):


Optical Coherence Tomography (OCT) binokular dapat digunakan pada
strabismus untuk membantu menilai derajat deviasi baik secara vertikal maupun
horizontal. Selain itu, pemeriksaan ini juga membantu menentukan jarak antara lokasi
insersi otot dengan limbus. Pemeriksaan ini penting dilakukan sebelum operasi untuk
merencanakan strategi operasi.
OCT juga membantu melihat adanya lesi patologis pada segmen mata posterior,
seperti retinoblastoma, serta melihat gambaran retina, kavum vitreus, dan keadaan
pembuluh darah.

Pemeriksaan Lain

Pemeriksaan manual untuk menentukan arah dan derajat strabismus terkadang


dapat memberikan hasil yang bias, terutama pada pasien anak yang kurang kooperatif,
sehingga saat ini banyak alat diagnosis baru yang dapat digunakan untuk membantu
diagnosis.

Automated Vision Screening:

Automated Vision Screening adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk


meningkatkan akurasi pemeriksaan ketajaman penglihatan terutama pada anak usia 1-
5 tahun, dimana pada usia tersebut anak kurang kooperatif untuk melakukan
pemeriksaan ketajaman penglihatan dengan menggunakan Snellen Chart.
Pemeriksaan ini diperlukan pada strabismus terutama pada deviasi ≥8 Δ dari
posisi primer karena berisiko ambliopia. Selain untuk melakukan penilaian ketajaman
visual, pemeriksaan ini juga dapat membantu mendeteksi adanya strabismus
berdasarkan pengukuran arah pandangan penglihatan.
Automated Deviation Measurement:

Automated Deviation Measurement merupakan pemeriksaan dengan


menggunakan sistem, dimana pasien menggunakan kacamata wireless “di atas”
kacamata yang selama ini digunakan, kemudian sistem akan menutup mata pasien satu-
per satu secara bergantian seiring dengan berjalannya test.
Pemeriksaan melakukan cover test secara otomatis untuk menilai adanya tropia,
dan apabila ada, maka akan dilakukan pemeriksaan pada mata yang deviasi dan akan
ditentukan derajat deviasinya. Tahap kedua akan dilakukan automated ACT untuk
mengukur total dan arah deviasi. Besar deviasi dinilai dengan melakukan  pemeriksaan
menyerupai PACT namun tanpa menggunakan prisma.

Penatalaksanaan Strabismus
Tujuan utama penatalaksanaan strabismus adalah memperbaiki posisi kedua
mata, sehingga memperbaiki penglihatan binokular, stereopsis, dan mengembalikan
postur tubuh. Penatalaksanaan strabismus meliputi kacamata, prisma, operasi, olahraga
melatih otot mata, dan obat-obatan. Strabismus dengan ambliopia juga dapat diterapi
dengan eye patch pada mata yang sehat.
Penatalaksanaan strabismus pada anak sebaiknya dilakukan sebelum usia 7-8
tahun, karena dapat menjadi permanen apabila dilakukan setelahnya. Hal ini karena
terganggunya perkembangan visual pada anak < 7 tahun dengan strabismus. Gangguan
penglihatan dapat terjadi karena jaras persarafan dari mata ke otak tidak terstimulasi
dengan baik. Hal ini menyebabkan gangguan persepsi “kedalaman” atau aspek 3
dimensi benda (stereopsis).

Pada strabismus sekunder, penatalaksanaan strabismus dilakukan sesuai kondisi


yang mendasari.

Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis dan pembedahan merupakan tata laksana yang sering
digunakan pada strabismus. Pada neonatus, strabismus akan diobservasi sampai usia 3
bulan, apabila setelah usia 3 bulan strabismus masih ditemukan, maka disarankan
untuk merujuk pasien ke dokter spesialis mata.

Terapi nonfarmakologis yang digunakan pada strabismus antara lain adalah


penggunaan kacamata dan terapi oklusi untuk strabismus yang disertai dengan
ambliopia. Pasien diminta untuk tetap melakukan kontrol rutin untuk melihat respon
terapi dan perbaikan gejala klinis.

Kacamata

Kacamata digunakan untuk mengoptimalkan Best Corrected Visual Acuity (BCVA)


kedua mata, sehingga memperbaiki penglihatan binokular dan proses fusi oleh sistem
visual. Pada beberapa pasien, penatalaksanaan dengan memperbaiki visus sudah
membantu memperbaiki deviasi.
Konsep penatalaksanaan dengan kacamata ini adalah berdasarkan sistem
akomodasi dan vergence. Pada pasien esotropia, pemberian lensa dengan kekuatan
dioptri positif akan membantu merelaksasi sistem akomodasi dan vergence, sehingga
mengurangi sudut konvergen.
Eksotropia dapat dibantu dengan pemberian lensa dengan kekuatan dioptri
negatif sehingga menginduksi mata agar melakukan akomodasi konvergen. Lensa
prisma juga dapat digunakan untuk mengoreksi deviasi strabismus ke berbagai arah
deviasi. Kacamata prisma digunakan untuk mengubah sudut bias cahaya yang datang ke
retina agar bayangan jatuh tepat di titik yang sama pada kedua mata.

Terapi Oklusi

Terapi oklusi dilakukan dengan “menutup” (oklusi) mata yang sehat. Hasilnya
dievaluasi setelah 4 bulan dilakukan oklusi. Jika terjadi perbaikan (penurunan sudut
deviasi), maka oklusi dapat dilanjutkan dan dinilai kembali 4 bulan setelahnya. Apabila
dengan oklusi tidak ada perbaikan sampai 4 bulan, maka terapi dihentikan.
Terapi oklusi yang disarankan adalah oklusi paruh waktu secara alternatif
tergantung keadaan klinis pasien. Terapi oklusi ini diindikasikan pada mereka dengan
strabismus yang disertai dengan ambliopia, eksotropia intermittent pada anak < 2
tahun, atau pasien preoperatif karena dapat meningkatkan keberhasilan operasi.

Pembedahan
Tujuan utama dilakukan pembedahan pada strabismus adalah mengembalikan
penglihatan binokular dan memperbaiki kemampuan fusi dengan cara memperbaiki
posisi bola mata dan kemampuan motoriknya ke posisi awal atau mendekati posisi awal
tanpa membatasi pergerakan bola mata.

Indikasi

Indikasi pembedahan pada strabismus adalah:

 Esotropia >15 derajat prisma dioptri


 Eksotropia >20 derajat prisma dioptri
 Deviasi vertikal >8-10 derajat prisma dioptri
Pembedahan dilakukan dengan melakukan reseksi dan resesi otot ekstraokular.
Reseksi akan memperkuat otot ekstraokular, sedangkan otot yang diresesi akan
melemah. Klinisi akan memilih prosedur sesuai dengan keadaan klinis pasien

RisikoKomplikasi yang sering timbul setelah dilakukan pembedahan adalah


kemerahan dan nyeri pada mata. Pasien akan membutuhkan waktu beberapa minggu
untuk perbaikan. Anak dapat kembali ke sekolah setelah 2-3 hari.

Keberhasilan Operasi

Keberhasilan operasi pada strabismus dinilai dari posisi motorik mata,


perbaikan kemampuan sensorik, dan kombinasi keduanya. Pemeriksaan lapang
pandang, kebutuhan lensa prisma, atau manipulasi akomodasi dapat dilakukan setelah
operasi untuk melihat keberhasilannya.
Operasi strabismus dinyatakan sukses apabila deviasi post operasi berada <10
prisma dioptri dari posisi normal untuk deviasi horizontal, sedangkan untuk vertikal <4
prisma dioptri. Selain itu, pada strabismus yang didapat, perbaikan keluhan diplopia
juga dapat menjadi salah satu indikator kesuksesan terapi.

Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis pada strabismus tidak selalu bermanfaat, karena
bergantung pada kondisi yang berhubungan dengan munculnya strabismus. Terapi
farmakologis yang dapat dipertimbangkan adalah neurotoksin seperti injeksi Botulinum
Toxin A (BTA) intramuskular.
Botulinum Toxin A (BTA)
Botulinum toxin A (BTA) bekerja dengan menghambat pelepasan asetilkolin dari
serat saraf kolinergik tanpa menyebabkan kerusakan pada ujung serabut saraf
myotendon. Otot ekstraokular yang terlalu aktif menyebabkan deviasi bola mata ke
arah ipsilateral otot antagonis, BTA digunakan untuk melemahkan otot ini.
Kontraksi otot terjadi dengan adanya ikatan antara asetilkolin (Ach) dengan
reseptornya pada neuromuscular junction. Dengan injeksi BTA, maka pelepasan Ach tidak
terjadi, sehingga menghambat terjadinya kontraksi otot dan terjadilah paralisis.
Paralisis yang ditimbulkan dari pemberian BTA bersifat temporer, kurang lebih 3 bulan.
Pada saat ini, otot yang berlawanan dari otot yang diinjeksi BTA menjadi mampu untuk
menggerakkan bola mata lebih bebas, sehingga terjadi perbaikan posisi mata dari yang
awalnya deviasi.
Pemberian BTA perlahan-lahan merubah dan memperbaiki posisi bola mata.
Penggunaan BTA pada otot ekstraokular ini dapat menjadi pilihan alternatif pada
penatalaksanaan strabismus orang dewasa. Pada anak, hal ini belum menjadi pilihan
utama karena belum cukup bukti ilmiah yang mendukung.

Baru-baru ini, BTA juga digunakan pada strabismus dengan deviasi sudut besar
untuk meningkatkan perbaikan post operasi. Pada strabismus sudut besar, prosedur
resesi yang dilanjutkan dengan reseksi menjadi salah satu pendekatan terapi yang
digunakan, namun hal ini berisiko menyebabkan asimetrisitas karena restriksi
pergerakan bola mata dan penyempitan fisura palpebra. Injeksi BTA mengurangi
restriksi pergerakan bola mata, sehingga memaksimalkan koreksi.

Komplikasi
Strabismus memberikan dampak psikososial bagi anak maupun orang dewasa
yang mengalaminya, seperti rasa rendah diri, kurang diterima di kelompok bermain,
persepsi kurangnya kecerdasan, gangguan hubungan interpersonal, isolasi sosial, dan
kesulitan mendapatkan pekerjaan. Hal ini terutama terjadi pada strabismus yang
mudah disadari orang awam.

Studi menunjukkan bahwa pasien dengan deviasi >25 derajat prisma dioptri
lebih sering mengalami perasaan rendah diri dibandingkan mereka yang memiliki sudut
deviasi lebih rendah. Selain itu, bukti ilmiah juga menunjukkan bahwa sejak usia < 6
tahun anak yang strabismus seringkali mendapatkan sikap yang kurang baik dari
lingkungan sekitarnya.

Pada orang dewasa, strabismus terutama akan memberikan keluhan diplopia,


hal ini dapat mengganggu konsentrasi, persepsi kedalaman, kemampuan membaca,
serta menyebabkan stress dan kecemasan.

Ambliopia
Ambliopia adalah penurunan ketajaman visual pada salah satu atau kedua mata
karena adanya gangguan perkembangan penglihatan. Strabismus dengan deviasi ≥8
derajat prisma dioptri dari posisi primer berisiko untuk mengalami ambliopia.

Komplikasi Operasi

Komplikasi operasi pada strabismus diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yang terdiri


dari:

 Ringan: komplikasi yang bersifat self-limiting dan tidak menyebabkan


perubahan outcome operasi, seperti abrasi kornea
 Sedang: komplikasi yang memerlukan terapi tambahan yang tidak berhubungan
dengan strabismus, namun tidak mengganggu outcome operasi,
seperti skleritis anterior dan reaksi alergi terhadap polyglactin 910 sutures
 Berat: komplikasi yang berpotensi untuk menyebabkan gangguan visual outcome,
seperti perforasi orbita dengan atau tanpa vitreous loss
Strabismus dapat sembuh dengan sequelae, yang meliputi gangguan ketajaman
visual, gangguan persepsi kedalaman objek (3D) (stereopsis), ambliopia pada mata
yang deviasi, dan diplopia. Namun, prevalensi diplopia post operasi pada orang dewasa
adalah <1% dan tidak terjadi pada pasien yang tidak memiliki keluhan diplopia
preoperasi.
Apabila sudut strabismus terlalu besar, maka jaringan otot ekstraokular dan
jaringan sekitarnya akan menjadi kaku karena kontraktur, hal ini akan meningkatkan
risiko komplikasi operasi seperti waktu operasi yang lebih panjang, perforasi sklera,
dan keterbatasan pergerakan mata post operasi.

Infeksi post operasi dapat terjadi setelah operasi strabismus dengan insidens 1
per 1100 sampai dengan 1 per 1900 kasus. Infeksi post operasi muncul dalam
bentuk konjungtivitis, selulitis orbital atau preseptal, dan abses subkonjungtiva atau
subtenon. Gejala yang timbul antara lain kemerahan pada konjungtiva, sekret
mukopurulen, fotofobia, edema periorbita dan palpebra, nyeri tekan, nyeri dengan
pergerakan mata, demam, dan fatigue.
Peningkatan Tekanan Intraokular

Peningkatan tekanan intraokular biasanya terjadi akibat komplikasi dari


pemberian steroid topikal post operasi. Peningkatan tekanan intraokular ini biasanya
terjadi dalam 2 minggu pertama pemberian steroid dan tidak memberikan efek samping
jangka panjang. Peningkatan tekanan intraokular ini kembali normal setelah terapi
dihentikan dan dilakukan pengobatan glaukoma.

Prognosis
Prognosis strabismus pada anak dan orang dewasa biasanya bergantung dari
kontrol dan penatalaksanaan yang diberikan. Pada studi yang dilakukan oleh
Hemptinne et al., kontrol keseimbangan saat berjalan membaik setelah dilakukan
operasi strabismus pada anak yang onset strabismusnya kurang dari 1 tahun. Selain itu,
pada anak yang mengalami esotropia, 3 bulan setelah operasi strabismus kemampuan
motorik mengalami perbaikan yang signifikan.
Pada anak yang datang dengan torticollis, postur kepala biasanya akan kembali
dengan sendirinya setelah dilakukan koreksi strabismus atau dengan bantuan
fisioterapi. Apabila hal ini tidak terjadi setelah koreksi strabismus, maka harus
dilakukan penatalaksanaan untuk memperbaiki tortikolis dan mencegah terjadinya
asimetris pada wajah.
Suatu studi menemukan bahwa pasien dengan strabismus dengan sudut deviasi
yang besar dapat mengalami undercorrection (25-58% untuk eksotropia, 2-20% untuk
esotropia) dan overcorrection (5-60% untuk esotropia, 0-6,7% untuk eksotropia).[52]
Pada orang dewasa, tindakan operasi memiliki hasil luaran yang lebih baik daripada
intervensi kacamata maupun terapi oklusi, hal ini karena sistem fusi yang sudah matur.
Angka keberhasilan pada operasi strabismus untuk orang dewasa pada operasi pertama
mencapai 80% dan sisanya (20%) harus menjalankan operasi kedua untuk
memperbaiki posisi bola mata.

KATARAK
Katarak adalah opasitas pada lensa yang menyebabkan penurunan jumlah atau
pembiasan cahaya yang masuk melalui media refraksi sehingga menurunkan
kemampuan penglihatan. Degenerasi adalah penyebab katarak yang paling umum,
tetapi banyak faktor lain yang dapat terlibat, termasuk trauma, toksin, penyakit
sistemik (seperti diabetes), merokok, dan kelainan herediter yang bisa menyebabkan
katarak kongenital.
Katarak terkait usia adalah penyebab umum gangguan penglihatan. Prevalensi
katarak diduga berkisar 50% pada individu usia 65-74, meningkat menjadi sekitar 70%
bagi mereka yang berusia di atas 75 tahun.

Menurut WHO, katarak bertanggung jawab terhadap 51% kebutaan dunia yang
merepresentasikan sekitar 20 juta orang. Walaupun katarak dapat ditangani dengan
pembedahan, banyak negara yang masih memiliki keterbatasan untuk pasien dapat
mengakses pembedahan, sehingga katarak masih menjadi penyebab utama kebutaan di
dunia. Seiring dengan angka harapan hidup yang semakin tinggi di dunia, jumlah orang
dengan katarak diperkirakan akan terus bertambah.
Pasien katarak biasanya datang dengan keluhan penurunan visus akibat lapang
pandang yang berkabut atau berawan. Pada pemeriksaan ditemukan kekeruhan pada
lensa dengan shadow test positif. Penatalaksanaan katarak yang paling definitif adalah
dengan tindakan operatif. Sebuah studi melaporkan bahwa penundaan lebih dari 6
bulan menyebabkan peningkatan risiko kegagalan dari tindakan operatif.

Etiologi Katarak
Etiologi katarak yang paling sering ditemukan adalah proses degeneratif, namun
banyak faktor yang juga dapat menyebabkan katarak, seperti kelainan kongenital,
faktor metabolik, trauma, toksin, radiasi, dan gelombang elektromagnetik.
Degeneratif
Katarak senilis didefinisikan sebagai katarak yang terjadi pada usia > 50 tahun,
yang tidak berkorelasi dengan trauma mekanis, kimia, ataupun radiasi. Pemecahan
agregasi protein, kerusakan membran sel fiber, defisiensi glutation, kerusakan oksidatif,
peningkatan konsentrasi kalsium, dan migrasi sel epitel lensa yang abnormal adalah
mekanisme yang dapat menimbulkan katarak senilis.
Kongenital
Faktor genetik berperan penting dalam pembentukan katarak kongenital. Hal ini
dapat disebabkan karena terdapat anomali dari susunan kromosom. Sekitar sepertiga
katarak kongenital bersifat diturunkan (herediter). Katarak ini dapat terjadi dengan
atau tanpa mikropthalmia, aniridia, degenerasi retina, dan kelainan genetik multisistem
seperti sindrom Lowe atau neurofibromatosis.
Gen PITX3, dilaporkan berperan terhadap katarak kongenital pada disgenesis
mesenkim segmen anterior. Selain faktor genetik, faktor fetal-maternal juga dapat
berperan. Malnutrisi saat kehamilan atau awal kelahiran berhubungan dengan katarak
zonular non-familial. Infeksi maternal seperti rubella, toxoplasmosis,
dan cytomegalovirus juga berasosiasi dengan katarak kongenital.
Trauma
Katarak dapat terbentuk setelah trauma tumpul maupun trauma penetrasi pada
mata yang mengarah pada kerusakan fisik dan ketidakutuhan kapsul lensa. Ketika
kapsul lensa rusak, lensa bagian dalam bengkak oleh air dan berubah menjadi putih
karena denaturasi protein. Benturan pada lensa tanpa rupturnya kapsul dapat
menimbulkan katarak subkapsular dan umumnya berbentuk bintang.
Metabolik
Katarak ini terjadi karena kelainan endokrin dan biokimia. Katarak galaktosemik
dan diabetik adalah contoh paling umum dari katarak metabolik.
Galaktosemia terjadi karena defisiensi dari galactose-1 phosphate uridyl-transferase
(GPUT) dan defisiensi galaktokinase (GK). Pada katarak galaktosemik akan terlihat
opasitas sentral berbentuk tetesan minyak.
Pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, terjadi hiperglikemia yang
berasosiasi dengan glikasi protein non-enzimatik, stres osmotik, dan stres oksidatif
pada lensa.
Obat-obatan
Walaupun jarang terjadi, katarak juga dapat disebabkan oleh penggunaan obat-
obatan. Obat yang dapat memicu katarak misalnya kortikosteroid, klorpromazin,
amiodaron, metotreksat, dan thiazide.
Steroid adalah salah satu obat yang paling sering menyebabkan katarak.
Dilaporkan bahwa penggunaan steroid berkontribusi sebesar 4,7% dari total ekstraksi
katarak.

Patofisiologi Katarak
Patofisiologi katarak utamanya adalah terjadi perubahan pada kejernihan lensa
(opasitas lensa) sehingga jumlah cahaya yang masuk melalui media refraksi berkurang
dan sulit difokuskan ke retina. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti proses
degeneratif, trauma, ataupun kelainan kongenital.
Pada awalnya lensa bersifat transparan dan berfungsi memfokuskan cahaya ke
retina. Pada katarak, terdapat agregasi protein yang memecah cahaya yang masuk, serta
terjadi perubahan struktur protein yang menghasilkan diskolorasi kuning atau
kecoklatan. Faktor yang berkontribusi untuk terbentuknya katarak adalah stres
oksidatif dari reaksi radikal bebas, kerusakan dari sinar ultraviolet, dan malnutrisi.
Peran Lensa pada Katarak
Lensa terdiri dari protein yang disebut kristalin. Kemampuan optik protein lensa
ini bergantung pada struktur dan hidrasi lensa.
Kanal protein membran berfungsi mempertahankan keseimbangan osmotik dan
ionik lensa, sedangkan sitoskeleton mempertahankan bentuk lensa. Komponen kristalin
yang berikatan dengan gugus sulfhydryl (SH-) dihindarkan dari proses oksidasi oleh
glutation konsentrasi tinggi. Kedua hal ini memberikan stabilitas pada lensa sehingga
mampu menyerap energi radiasi jangka panjang tanpa mengubah kualitas optik lensa.
Pada katarak, terjadi disrupsi baik pada struktur maupun komposisi molekuler
lensa, sehingga transparansi lensa tidak dapat terjaga. Misalnya pada katarak
degeneratif, dimana terjadi akumulasi stres oksidatif seiring bertambahnya usia diduga
menyebabkan lensa menjadi lebih rentan terhadap proses oksidatif. Proses oksidasi ini
menyebabkan agregasi protein yang puncaknya akan merusak membran sel serabut.

Klasifikasi Katarak
Katarak dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya menjadi katarak
senilis/degeneratif, katarak kongenital, katarak traumatik, katarak sekunder, dan
katarak yang diinduksi obat.
Katarak Senilis
Mekanisme pasti dari katarak senilis masih belum diketahui. Beberapa studi
menduga adanya keterkaitan antara faktor genetik dengan kerentanan seseorang
menderita katarak. Polimorfisme gen GSTM1 dan GSTT1 diduga berhubungan dengan
timbulnya katarak senilis.
Selain daripada itu, stres oksidatif juga diduga berperan dalam patofisiologi
katarak senilis. Stres oksidatif diduga menyebabkan agregasi protein yang merusak
membran sel serabut dan menimbulkan opasitas lensa.
Katarak Kongenital
Katarak kongenital merupakan suatu keadaan yang berpotensi menghambat
perkembangan visual anak dan dapat menyebabkan kebutaan permanen. [8] Defek
pada kromosom dapat menyebabkan terjadinya katarak karena gangguan saat proses
pembentukan lensa, contohnya pada sindrom Down, Edward, atau Patau.
Sebuah studi melaporkan bahwa katarak kongenital diturunkan berdasarkan
pola autosomal dominan yang dipengaruhi oleh infeksi virus Rubella. Selain daripada
itu, katarak kongenital juga dikaitkan dengan fever-related maternal
condition walaupun mekanisme pastinya belum diketahui.
Katarak Traumatik
Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh cedera pada lensa karena
benda asing atau trauma tumpul bola mata. Kebanyakan katarak traumatik dapat
dicegah. Dalam industri, keamanan yang terbaik adalah memakai kacamata pelindung
ketika bekerja. Gambaran umum katarak traumatik adalah ditemukan bentuk seperti
bintang di lensa posterior.
Katarak Sekunder dari penyakit intraokular
Katarak dapat berkembang sebagai efek langsung dari penyakit intraokular,
seperti pada uveitis rekuren berat. Katarak biasanya dimulai di daerah subkapsular
posterior dan akhirnya dapat melibatkan seluruh struktur lensa.
Penyakit intraokular yang umumnya terkait dengan perkembangan katarak
adalah uveitis kronis atau berulang, glaukoma, retinitis pigmentosa, dan ablasi retina.
Prognosis visualnya tidak sebagus katarak senilis.
Katarak yang Terkait Penyakit Sistemik
Katarak bilateral terjadi pada banyak gangguan sistemik termasuk diabetes
mellitus, hipokalsemia, distrofi miotonik, atopik dermatitis, galaktosemia, dan sindrom
Down. Katarak pungtata sering ditemukan sebagai komplikasi okular dari diabetes
mellitus.
Katarak yang Diinduksi Obat
Kortikosteroid yang diberikan dalam jangka waktu lama, baik secara sistemik
(oral atau inhalasi) atau dalam bentuk tetes, dapat menyebabkan kekeruhan lensa. Obat
lain yang berhubungan dengan katarak termasuk fenotiazin dan amiodaron.

Diagnosis Katarak
Diagnosis katarak dapat dibuat dengan mendeteksi penurunan visus yang tidak dapat
diperbaiki dengan koreksi refraksi dan pemeriksaan mata didapatkan opasitas pada
lensa.
Anamnesis
Penurunan tajam penglihatan adalah keluhan utama paling sering yang
dikemukakan pasien katarak. Pasien juga dapat mengeluhkan penglihatan yang
berawan atau berkabut. Dalam anamnesis pasien wajib ditanyakan faktor risiko yang
berhubungan dengan pembentukan katarak seperti:
 Usia >65 tahun
 Diabetes melitus
 Kondisi metabolik atau herediter tertentu (seperti penyakit wilson, galaktosemia,
distrofi miotonik, sindrom marfan)
 Penggunaan jangka panjang kortikosteroid
 Merokok
 Paparan jangka panjang sinar ultraviolet
 Riwayat trauma pada mata.
Presentasi klasik dari katarak meliputi penurunan tajam penglihatan secara
bertahap selama bertahun-tahun yang mungkin lambat terdeteksi oleh pasien.
Pasien dapat mengeluhkan pandangan terasa kabur atau silau saat terkena
lampu sorot. Hal ini disebabkan oleh pecahnya cahaya yang masuk melalui pupil oleh
lensa yang keruh.
Pasien dengan katarak sklerotik nukleus juga dapat melaporkan resep kacamata
yang tidak sesuai. Penebalan lensa membuat kekuatan refraksi meningkat sehingga
dapat menambah myopia pada pasien.
Pemeriksaan fisik
Pada pasien katarak, hal pertama yang dilakukan adalah menilai tajam
penglihatan menggunakan Snellen Chart. Untuk membedakan apakah penurunan tajam
penglihatan disebabkan oleh katarak atau gangguan refraksi, dapat dilakukan pinhole.
Jika saat digunakan pinhole tajam penglihatan membaik, maka kemungkinan penurunan
visus disebabkan oleh gangguan refraksi. Pada katarak yang cukup tebal, akan
didapatkan shadow test positif.
Tekanan bola mata juga harus diukur dengan tonometri, karena pada lensa
katarak bagian anteroposterior lensa lebih memanjang sehingga penekanan ke arah
anterior sering terjadi. Hal ini dapat meningkatkan tekanan bola mata.
Selain daripada itu, lakukan pemeriksaan menggunakan slit lamp untuk melihat
struktur, ketebalan, dan lokasi kekeruhan pada lensa, serta menyingkirkan adanya
diagnosis banding dengan mengeliminasi penyebab buram oleh kornea, iris atau bilik
anterior.
Pada anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dengan pemeriksaan slit-
lamp, observasi dan perbandingan reflex merah menggunakan oftalmoskop direk dapat
membantu menilai derajat keparahan katarak. Selain itu, pemeriksaan oftalmoskopi
direk maupun indirek dapat membantu mengevaluasi integritas dari polus posterior.
Kelainan pada nervus optikus dan retina dapat mempengaruhi prognosis pasien setelah
ekstraksi lensa.

Diagnosis banding
Diagnosis banding katarak meliputi:
Kelainan Refraksi
Dapat dibedakan dengan katarak dengan tanda tajam penglihatan meningkat
menjadi normal dengan koreksi kacamata. Tes menggunakan pinhole dapat membantu
membedakan penurunan visus akibat gangguan refraksi dengan gangguan lainnya.
Dry Eyes Syndrome
Dibedakan dengan katarak menggunakan setetes fluorescein dan menghitung
waktu pemecahan air mata yang mengukur tingkat stabilitas dari lapisan air mata
preokular dan kemungkinan xerophtalmia. Hasil dengan xerophtalmia cenderung tidak
normal (<7 detik).
Glaukoma
Pada glaukoma keluhan yang timbul adalah kehilangan lapang pandang perifer,
peningkatan tekanan intraokular, dan peningkatan cup and disc ratio pada
oftalmoskopi.
Edema Makula
Ditandai dengan penglihatan yang blur, didapatkan edema pada funduskopi.
Ablasio Retina
Pasien merasakan adanya kilatan cahaya dan banyak floaters berukuran kecil.
Pasien dapat merasa seperti ada "tirai" yang menutupi penglihatan.

Pemeriksaan penunjang
Diagnosis katarak umumnya dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang untuk katarak hanya diperlukan pada
kondisi tertentu yang berhubungan dengan penyakit sistemik yang menyertai atau
kelainan okular lain.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi penyakit sistemik yang
mungkin menyertai katarak, seperti diabetes.
Studi membuktikan bahwa trombositopenia meningkatkan resiko perdarahan
perioperatif sehingga perlu dideteksi dan ditangani sebelum tindakan operasi.
Oftalmoskopi Direk dan Indirek
Pemeriksaan oftalmoskopi dikerjakan untuk mengevaluasi kondisi retina untuk
mengeliminasi diagnosis banding dan menentukan prognosis pasca operasi. Adanya
kelainan retina yang menyertai katarak akan memperburuk prognosis terkait visus
pasien.
Retinometri
Pemeriksaan menggunakan retinometer Heine dilakukan sebelum operasi
katarak untuk memperkirakan atau memprediksi ketajaman penglihatan pasien pasca
tindakan operatif.
Biometri
Pemeriksaan biometri dilakukan untuk menentukan kekuatan Intraocular
lens (IOL) yang akan digunakan.

Penatalaksanaan Katarak
Penatalaksanaan katarak dilakukan berdasarkan tingkat keparahan katarak dan
terganggunya kualitas hidup pasien. Saat ini tatalaksana pembedahan masih menjadi
satu satunya tatalaksana kuratif dari katarak.
Terapi farmakologi
Hingga saat ini belum ditemukan obat-obatan yang terbukti mampu
memperlambat atau menghilangkan katarak. Beberapa agen yang diduga dapat
memperlambat pertumbuhan katarak adalah penurun sorbitol, aspirin, dan vitamin C,
namun belum ada bukti yang signifikan mengenai hal tersebut.
Pembedahan
Operasi katarak dari waktu ke waktu semakin berkembang, baik dalam hal
teknik operasi, bentuk dan panjang sayatan, arsitektur luka, dan jumlah jahitan. Hal ini
ditujukan agar tercapainya prosedur operasi yang aman dan juga memiliki efektivitas
yang tinggi. Parameter keberhasilannya adalah pemulihan yang cepat, efek samping dan
komplikasi yang minimal, serta tajam penglihatan setelah operasi optimal dan stabil,
sehingga kualitas hidup pasien dapat menjadi lebih baik.
Ekstraksi Katarak Ekstrakapsuler
Operasi katarak merupakan operasi yang paling banyak dilakukan di dunia.
Metode yang pada umumnya dipilih adalah metode yang menyisakan bagian posterior
dari kapsul lensa yang disebut juga dengan ekstraksi katarak ekstrakapsular.
Insisi dibuat pada limbus atau kornea perifer, pada arah superior atau temporal.
Dibuat celah di kapsul anterior (anterior capsulorhexis), kemudian nukleus dan korteks
lensa dikeluarkan. Lensa intraokular dimasukkan kedalam kantong kapsul yang
disokong oleh kapsul posterior.
Ekstraksi Katarak Intrakapsuler
Tidak seperti ekstraksi katarak ekstrakapsuler, operasi ini membuang lensa dan
kapsul secara keseluruhan tanpa meninggalkan kapsul posterior. Operasi ekstraksi
katarak intrakapsuler diindikasikan untuk katarak hipermatur, intumescent cataract,
katarak dengan dislokasi lensa akibat zonula yang tidak stabil, dan jika fasilitas
mikroskop operasi kurang memadai. Metode ini dahulu dilakukan sebelum teknik
katarak ekstrakapsuler semakin dikembangkan.
Adapun keuntungan yang dapat diperoleh dari metode ini yaitu prosedurnya
relatif mudah, menggunakan peralatan yang sederhana dan pemulihan visus dapat
dilakukan dengan menggunakan kacamata 10 Dioptri segera setelah operasi. Sedangkan
kekurangannya adalah irisan yang besar membuat penyembuhan menjadi lebih lama,
dapat menimbulkan komplikasi iris dan vitreous inkarserata, ablasio retina, serta
mencetuskan astigmatisma.

Fakoemulsifikasi
Fakoemulsifikasi adalah teknik operasi katarak ekstrakapsular dengan
mengemulsifikasikan lensa menggunakan gelombang ultrasonik 40.000 MHz. Teknik
fakoemulsifikasi banyak digunakan saat ini.
Teknik ini menggunakan vibrator ultrasonik untuk memecah nukleus yang keras
sehingga isi nukleus dan korteks dapat diaspirasi melalui insisi kecil berukuran 2,5 - 3,0
mm. Ukuran insisi yang sama juga cukup untuk memasukkan lensa intraokuler yang
dilipat. Jika lensa intraokuler rigid digunakan, insisi harus diperpanjang hingga 5 mm.
Small Incision Cataract Surgery (SICS)
SICS merupakan suatu teknik popular saat ini. Perbedaan yang nyata antara SICS
dan ekstraksi katarak ekstrakapsuler adalah irisan operasi sangat kecil
sehingga sering tidak membutuhkan jahitan pada luka insisi. SICS juga memungkinkan
operasi dilakukan hanya dengan anestesi lokal, penyembuhan relatif lebih cepat, dan
resiko astigmatisma lebih kecil.

Komplikasi
Jika katarak tidak ditangani dan dibiarkan untuk berprogresi, katarak dapat
menyebabkan kebutaan fungsional. Operasi katarak pada umumnya dapat
mengembalikan penglihatan seperti pada saat prekatarak jika tidak terdapat proses
penyakit posterior mata lainnya.
Operasi katarak pada orang dewasa memiliki tingkat komplikasi yang rendah,
yaitu berkisar 2-5%, dan dapat menyebabkan gangguan penglihatan permanen.
Komplikasi serius yang jarang ditemukan adalah perdarahan intraokular perioperatif
(<0,5%) dan infeksi intraokuler postoperatif (endophtalmitis, 0,1%). Komplikasi
lainnya meliputi ablasio retina, edema makula cystoid, glaukoma, edema kornea, dan
ptosis.

Prognosis
Prognosis untuk pasien katarak yang menjalani operasi pada umumnya cukup
baik. Pemeriksaan mata rutin dilakukan untuk mendeteksi perkembangan katarak pada
mata yang belum terkena. Banyak pasien yang menerima lensa monofokal memerlukan
koreksi untuk mendapat ketajaman penglihatan terbaik setelah dilakukannya operasi
Prognosis visus untuk pasien katarak anak-anak yang membutuhkan operasi
tidak sebaik pasien katarak senilis. Ambliopia dan anomali saraf optik atau retina
membatasi derajat penglihatan yang dapat dicapai dalam kelompok usia ini.
Prognosis untuk perbaikan ketajaman visual buruk pada operasi untuk katarak
kongenital unilateral dan baik untuk katarak kongenital bilateral yang tidak komplit dan
progresifitas yang lambat.

Ablatio Retina
Ablatio retina (retinal detachment) adalah kondisi terlepasnya lapisan epitel
pigmen retina (retinal pigment epithelium / RPE) dari lapisan neurosensori retina pada
sisi yang lebih dalam. Ablatio retina merupakan kegawatdaruratan dalam bidang
oftalmologi dan membutuhkan penatalaksanaan segera, yaitu kurang dari 24 jam.
Ablatio retina dapat dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan patofisiologinya, yakni
ablatio retina regmatogen, ablatio retina traksional, dan ablatio retina eksudatif. Gejala
yang dikeluhkan pasien ablatio retina adalah floaters, fotopsia, penurunan tajam
penglihatan dan penyempitan lapangan pandang (seperti tertutup tirai).
Diagnosis ablatio retina adalah berdasarkan anamnesis gejala klinis dan
pemeriksaan fisik. Pada anamnesis pemeriksa perlu menanyakan durasi keluhan mata
yang dialaminya, riwayat trauma mata, riwayat operasi mata, serta riwayat penyakit
mata dan penyakit sistemik lain yang diderita. Pemeriksaan fisik mata terutama
pemeriksaan tajam penglihatan, refleks pupil, tanda trauma, pemeriksaan lapangan
pandang, tekanan intraokular, pemeriksaan mata menggunakan slit-lamp, dan
funduskopi (terutama indirek).

Epidemiologi Ablatio Retina


Oleh :
Epidemiologi ablatio retina (retinal detachment) yang paling sering ditemukan
adalah tipe ablatio retina regmatogen, di mana insidensinya di dunia adalah 1 per
10.000 orang, per tahun. Sekitar 15% dari pasien ablatio retina unilateral akan
mengalami ablatio retina pada mata satunya di kemudian hari.
Global
Secara global insidensi ablatio retina regmatogen adalah 1 per 10.000 orang per
tahun. Ablatio retina lebih sering ditemukan pada kelompok usia 40-70 tahun. Ablatio
retina akibat penyebab trauma lebih sering ditemukan pada pasien usia 25-45 tahun.
Secara epidemiologi ablatio retina ditemukan sama banyak di perempuan maupun laki-
laki. Tidak ada kecenderungan ras tertentu yang mengalami ablatio retina. Ablatio
retina pada usia anak-anak hanya 0,5-8% dari keseluruhan kasus ablatio retina.

Indonesia
Tidak ada data epidemiologi nasional mengenai ablatio retina di Indonesia.
Sebuah penelitian di Rumah Sakit Mata Cicendo selama bulan Oktober 2015 – Maret
2016 ditemukan 77 kasus ablatio retina regmatogen, 55 pasien berjenis kelamin laki-
laki dan 22 pasien perempuan. Pasien terbanyak adalah kelompok usia 41-60 tahun
(51,95 %). Berdasarkan survey IAPB (International Agency for the Prevention of
Blindness) gangguan retina, seperti retinopati (0,13%) merupakan penyebab kebutaan
keempat di Indonesia.
Mortalitas
Ablatio retina tidak menyebabkan mortalitas secara langsung. Pada pasien-
pasien yang mengalami ablatio retina unilateral, sekitar 15% mengalami ablatio retina
mata sisi kontralateral di kemudian hari.

Etiologi Ablatio Retina


Oleh :
Etiologi ablatio retina (retinal detachment), sesuai patofisiologinya, bisa disebabkan
adanya robekan (break) retina, traksi retina akibat penyusutan vitreous, dan eksudasi
cairan dari pembuluh darah ke ruang subretina. Morfologi break retina, yang menjadi
etiologi ablatio retina regmatogen, dapat berupa giant retinal tears, dialisis
retina, holes / break retina multipel. Sedangkan traksi retina biasanya karena adanya
jaringan parut atau membran pada retina yang disebabkan uveitis atau neoplasma.
Ablatio retina eksudatif, dapat disebabkan hipertensi berat, vaskulitis, oklusi vena
sentral, atau papilledema.
Faktor Risiko
Faktor risiko ablatio retina, terutama ablatio retina regmatogen, adalah sebagai
berikut :

 Miopia aksial (40-50 %)


 Riwayat operasi katarak, terutama apabila terjadi ruptur kapsul posterior dan ada
sebagian vitreous yang keluar (30-40 %)
 Trauma okular (10-20 %)
 Kapsulotomi menggunakan laser YAG
 Degenerasi lattice pada retina, yaitu kelainan vitreoretina yang ditandai lesi fokal
retina asimtomatik
 Ablatio retina pada mata kontralateral
 Riwayat ablatio retina di keluarga
 Kelainan genetik seperti sindrom Marfan, sindrom Stickler
 Kelainan retina sebelumnya seperti koloboma koroid, retinoschisis, penyakit Coats,
retinoblastoma
 Riwayat infeksi pada retina
Sedangkan faktor risiko ablatio retina traksional adalah diabetik retinopati,
trauma mata, retinopati sickle cell, dan penyakit Eales. Dan faktor risiko ablatio retina
eksudatif adalah penyakit pada pembuluh darah, seperti hipertensi berat, vaskulitis,
dan oklusi vena sentral.

Patofisiologi Ablatio Retina


Patofisiologi ablatio retina (retinal detachment) adalah terjadinya pemisahan
antara lapisan neurosensori retina dengan lapisan terluarnya, yakni lapisan epitel
pigmen retina dan juga koroid.  Ruangan potensial terisi cairan pada kasus ablatio
retina ini disebut subretina.
Koroid adalah lapisan kaya pembuluh darah antara retina dan sklera, yang
bertanggung jawab memberikan asupan nutrisi dan oksigen ke lapisan retina outer
segment fotoreseptor. Terpisahnya lapisan neurosensori dengan lapisan epitel pigmen
menyebabkan sirkulasi nutrisi ke retina terganggu. Retina merupakan lapisan tipis yang
terdiri dari jaringan saraf (fotoreseptor) yang berperan penting dalam proses
penglihatan. Retina melapisi permukaan dalam 2/3 bagian posterior bola mata dan
berakhir secara sirkumferensial di bagian anterior  ora serata. Retina terdiri dari 10
lapisan, dengan lapisan terluar yakni lapisan epitel pigmen retina dan lapisan bagian
yang dalam terdiri dari lapisan-lapisan sel neurosensori. Lapisan epitel pigmen retina
melekat pada koroid.
Pada daerah makula yang tidak memiliki cabang pembuluh darah dari retina dan
tergantung sepenuhnya pada pembuluh darah koroid, ablatio yang terjadi akan
menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang drastis, dan dapat menyebabkan
kerusakan permanen pada fotoreseptor (sel batang dan kerucut). Sedangkan gangguan
metabolisme pada lapisan neurosensori selain makula, apabila berlangsung lama, juga
dapat menyebabkan kerusakan fotoreseptor yang permanen dan tidak bisa diperbaiki,
walaupun tindakan pembedahan sudah memperbaiki letak lapisan tersebut secara
anatomi.

Ablatio retina terjadi melalui 3 mekanisme, yang membedakan ablatio retina menjadi
tipe regmatogen, traksional, dan eksudatif.

Ablatio Retina Regmatogen


Pada ablatio retina regmatogen terjadi break (robekan) atau hole (lubang) pada
lapisan retina neurosensori. Akibatnya cairan dari vitreous masuk melalui robekan
tersebut dan mengumpul di ruang subretina, sehingga menyebabkan lapisan tersebut
terpisah dengan lapisan epitel pigmen retina. Ablatio retina rhegma ini paling banyak
ditemukan.
Ablatio Retina Traksional
Ablatio retina traksional terjadi karena suatu proses pembentukan membran
fibrosa pembuluh darah pada permukaan retina, atau pembentukan jaringan parut yang
menyebabkan penarikan retina ke arah vitreous.

Ablatio Retina Eksudatif / Serosa


Mekanisme terjadinya ablatio retina adalah akumulasi cairan akumulasi cairan di
ruangan subretina, cairan bisa berupa eksudat, serosa, ataupun darah/hemoragik),
sehingga terjadi pemisahan lapisan epitel pigmen retina dengan lapisan retina
neurosensori tanpa terjadi break di retina. Ablatio retina eksudatif dapat terjadi akibat
kelainan vaskulitis, hipertensi berat, oklusi vena sentral, uveitis, neoplasma, atau
idiopatik.

Diagnosis Ablatio Retina


Diagnosis ablatio retina (retinal detachment) adalah keluhan fotopsia dan floaters yang
mendadak, disertai penurunan tajam penglihatan, penyempitan lapangan pandang,
tanpa disertai rasa nyeri. Pada pemeriksaan khusus mata dilakukan pemeriksaan visus,
reaksi pupil, tekanan intraokular, lapang pandang, serta funduskopi direk. Sedangkan
pemeriksaan penunjang meliputi funduskopi indirek dengan dilatasi pupil, slit lamp,
serta pemeriksaan pencitraan orbita / ocular.
Anamnesis
Pada anamnesis pasien ablatio retina dapat diperoleh keluhan sensasi melihat
kilat atau lampu flash yang dikenal dengan fotopsia. Fotopsia timbul saat terjadi tarikan
(traksi) retina dan pemisahan retina dari vitreous posterior. Keluhan fotopsia umumnya
akan diikuti dengan keluhan melihat floaters (benda mengapung). Penurunan tajam
penglihatan bisa terjadi beberapa hari atau minggu kemudian setelah keluhan fotopsia
dan floaters. Penurunan tajam penglihatan tersebut yang umumnya membawa pasien
melakukan pemeriksaan ke dokter. Penurunan tajam penglihatan yang mendadak dan
signifikan terutama terjadi pada ablatio retina yang mengenai bagian makula. Pasien
sering mengeluhkan penglihatan seperti tertutup tirai yang bergerak, atau berawan
dengan bayangan yang menutupi sebagian lapangan pandang. Defek lapangan pandang
yang dialami pasien tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan letak ablatio
retina.
Pada anamnesis perlu ditanyakan durasi munculnya gejala, serta faktor risiko
kejadian ablatio retina, seperti trauma mata atau kepala, riwayat operasi mata
sebelumnya (ekstraksi katarak, evakuasi benda asing intraokular, dan operasi retina),
riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis, perdarahan
vitreus, glaukoma, retinopati diabetik). Riwayat keluarga dengan ablatio retina juga
perlu ditanyakan pada pasien.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien ablatio retina meliputi pemeriksaan mata eksternal secara
menyeluruh untuk mencari ada tidaknya tanda trauma di mata. Dilanjutkan
pemeriksaan khusus mata, yaitu :

 Pemeriksaan tajam penglihatan jauh dan dekat, pada ablatio retina terjadi
penurunan tajam penglihatan yang tidak dapat dikoreksi
 Pemeriksaan reaksi pupil, bila ditemukan pupil dilatasi permanen dapat
menandakan trauma mata, serta positif pupil Marcus-Gunn dapat menandakan
terlepasnya lapisan retina
 Pemeriksaan tekanan intraokular, dimana mata yang mengalami ablatio retina
relatif lebih rendah 4-5 mmHg daripada mata sisi yang normal

 Pemeriksaan lapang pandang konfrontasi, bidang visual yang menurun menunjukan


lokasi terlepasnya retina
 Pemeriksaan fundus menggunakan oftalmoskopi / funduskopi direk, biasanya hanya
dapat mendeteksi ablatio retina posterior yang luas, tetapi tidak cukup sensitive
untuk melihat ablatio kecil atau perifer. Pada ablatio retina terlihat refleks fundus
(red reflex) berkurang, sedangkan pada ablatio daerah makula, pasien tidak dapat
melihat cahaya langsung dari alat oftalmoskop
Diagnosis Banding
Posterior Vitreous Detachment
Posterior vitreous detachment (PVD) adalah kondisi terlepasnya korteks vitreous
dari  retina posterior dan diskus optik. Gejala klinis mirip ablatio retina,
yakni floaters dan fotopsia. Pada pemeriksaan oftalmoskopi didapatkan partikel-partikel
pada korteks vitreous yang membiaskan cahaya dan bergerak ketika bola mata
bergerak. Tanda patognomonik PVD adalah cincin gliotik pre-papiler (Weiss ring) pada
pemeriksaan segmen posterior. Pemeriksaan mata yang teliti dan berkala pada retina
perlu dilakukan untuk mengeksklusi ablatio retina, sebab PVD merupakan salah satu
faktor risiko untuk terjadinya ablatio retina di kemudian hari. Pemeriksaan ocular CT-
scan dan ultrasonografi mata  dapat membantu membedakan diagnosis.
Optic Neuritis

Optic neuritis dapat memberikan gejala fotopsia juga, seperti ablatio retina.


Umumnya optik neuritis disertai rasa nyeri retrobulbar dan gejala fotopsia yang
cenderung muncul saat bola mata bergerak. Dapat dibedakan dengan ablatio melalui
pemeriksaan oftalmoskopi dan juga ocular CT-scan.
Uveitis Posterior

Uveitis posterior juga dapat memberikan gejala floaters, fotopsia, dan penurunan


tajam penglihatan. Uveitis posterior dapat disertai rasa nyeri pada mata walaupun tidak
seberat uveitis anterior. Pemeriksaan laboratorium serologi berguna untuk mencari
penyakit-penyakit sistemik penyebab uveitis, misalnya sifilis, tuberkulosis, dan
toksoplasmosis. Pemeriksaan fundus fluorescein angiography (FFA) dan ultrasonografi B-
scan ocular dapat berguna untuk membedakan diagnosis uveitis posterior.
Perdarahan Vitreous

Perdarahan vitreous dapat memberikan keluhan penurunan tajam penglihatan


mendadak tanpa rasa nyeri dan munculnya floaters, seperti ablatio retina. Pemeriksaan
slit-lamp dan funduskopi dengan dilatasi pupil, dapat melihat adanya perdarahan di
vitreous yang membedakannya dengan ablatio retina.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan oleh dokter spesialis mata /
Ophthalmologist, seperti pemeriksaan oftalmoskopi indirek dan biomikroskopi slit
lamp, adalah untuk visualisasi letak lepasnya retina sehingga dapat melakukan
penatalaksanaan yang sesuai. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pencitraan dan
laboratorium bila dibutuhkan.
Pemeriksaan Oftalmoskopi Indirek dengan Dilatasi Pupil

Pemeriksaan oftalmoskopi indirek dengan dilatasi pupil adalah pemeriksaan


definitive ablatio retina, bahkan untuk kondisi robekan masih kecil dan berlokasi di
perifer. Tanda-tanda ablatio retina adalah daerah retina yang robek berwarna
keabuan/kabur dan bergelombang, disertai vaskuler koroid yang gelap dan berlipat-
lipat. Mendeteksi ablatio dangkal adalah dengan membandingkan daerah yang dicurigai
dengan daerah normal yang berdekatan. Setiap perubahan transparansi retina, atau
perbedaan garis berpigmen dengan tidak berpigmen, dapat menjadi batas robekan.

Pada kasus ablatio retina regmatogen terlihat break pada retina, dapat


berupa tear atau hole, yang terletak di sisi posterior, superior, inferior, maupun
anterior. Break retina lebih banyak bersifat asimtomatik, namun bisa juga menimbulkan
gejala onset mendadak fotopsia dan floaters.
Pemeriksaan Slit Lamp Biomikroskopi

Pemeriksaan menggunakan alat slit lamp mencari tanda-tanda pigmen atau debu


tembakau (tanda Shafer) pada vitreous. Tanda ini ditemukan pada 70% kasus robekan
retina tanpa penyakit atau pembedahan mata sebelumnya. Pemeriksaan slit
lamp dengan teknik indentasi sklera dan Goldmann triple-mirror dapat melihat robek
retina di perifer.
Pemeriksaan Pencitraan

Pemeriksaan CT-scan dan magnetic resonance imaging (MRI) hanya dilakukan


apabila ada kecurigaan ruptur bola mata, fraktur tulang orbita atau wajah, adanya
benda asing intraokular. Sedangkan pemeriksaan ultrasonografi B-scan ocular dapat
digunakan untuk membantu diagnosis ablatio retina apabila tidak dapat diperoleh
gambaran yang jelas dari funduskopi, akibat media penglihatan yang sangat keruh
(misalnya ada katarak matur).
Di unit gawat darurat, dokter jaga dapat melakukan USG okular atau Point-of-
Care Ultrasound (POCUS) untuk ablatio retina. Teknik ini bertujuan untuk penilaian
klinis ablatio retina relatif cepat. Pada mata normal, rongga vitreus terlihat sebagai
struktur hipoekoik melingkar dengan retina hiperekoik yang tidak dapat dibedakan dari
koroid yang mendasarinya. Sedangkan pada gambaran ablatio retina, sebagian dari
retina tidak lagi berdekatan dengan koroid, sehingga retina yang terlepas tampak
sebagai garis hiperekoik yang terlepas di anterior lapisan koroid. Di antara koroid yang
mendasari dan retina yang terlepas, pita hipoekoik humor vitreous yang bocor. Secara
khusus, POCUS pada ablatio retina diidentifikasi dengan adanya membran echogenik
yang cerah yang melekat ke cakram optik (posterior) dan ora serrata (anterior), tetapi
terpisah dari koroid.
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium darah seperti kadar gula darah, PT/APTT dapat


berguna untuk pasien persiapan operasi. Pemeriksaan laboratorium darah dan serologi
juga berguna pada kasus ablatio retina eksudatif atau traksional untuk menelusuri
penyakit sistemik yang menjadi penyebabnya.

Penatalaksanaan Ablatio Retina


Penatalaksanaan ablatio retina (retinal detachment) adalah kasus rujukan darurat
ke ophthalmologist subspesialis retina. Sebaiknya tindakan dapat dilakukan kurang dari
24 jam setelah diagnosis ablatio retina perifer yang belum mengenai makula, sedangkan
pada ablatio makula operasi dapat ditunda 1-2 minggu. Tata laksana ablatio retina
regmatogen dan traksional adalah melalui pembedahan, sedangkan penatalaksanaan
ablatio retina eksudatif difokuskan pada penyakit yang mendasarinya.
Persiapan Rujukan
Pasien yang dicurigai sebagai ablatio retina dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik harus dirujuk ke ophthalmologist subspesialis retina untuk mendapatkan
pemeriksaan lanjutan dalam 24 jam pertama. Edukasi pasien untuk tidak makan minum
sama sekali sebelum dilakukan pemeriksaan dengan dokter spesialis mata untuk
mempersiapkan kemungkinan dilakukan operasi retina segera. Bedrest dan batasi
pergerakan maupun aktivitas pasien yang dapat meningkatkan tekanan intraokular.
Pembedahan
Pasien ablatio retina dengan kondisi makula yang baik memerlukan tindakan
pembedahan segera dalam waktu 24 jam setelah diagnosis, untuk mencegah perluasan
ablatio ke daerah makula dan penurunan tajam penglihatan yang permanen. Bila ablatio
retina telah mengenai bagian makula, operasi dapat ditunda hingga 1-2 minggu. Ablatio
retina yang terlambat ditangani akan membentuk jaringan parut yang
disebut proliferative vitreoretinopathy (PVR), yang akan mempersulit penempelan
kembali retina pada tindakan pembedahan dan meningkatkan risiko re-
detachment pasca pembedahan.
Pembedahan pada kasus ablatio retina bertujuan untuk menemukan break retina
(ablatio retina regmatogen), menempelkan kembali lapisan retina ke koroid,
menutup break retina, serta mencegah terbentuknya kembali break di retina. Prosedur
pembedahan dapat dilakukan melalui pendekatan eksternal, yaitu menekan bagian
sklera menggunakan pengikat berbahan silikon (scleral buckling). Scleral buckling dapat
dilakukan untuk ablatio retina tanpa komplikasi dan apabila fasilitas untuk melakukan
tindakan lain tidak tersedia. Untuk ablatio retina dengan PVR, robekan retina yang luas,
koloboma koroid, dan trauma tembus bola mata, dikerjakan tindakan vitrektomi pars
plana. Terkadang pada beberapa kasus dapat dilakukan kombinasi.
Scleral Buckling

Scleral buckling merupakan penatalaksanaan ablatio retina dengan


memasangkan pengikat/ band silikon yang fleksibel permanen, mengelilingi bola mata
untuk melawan tekanan yang menyebabkan penarikan retina. Tindakan ini sering
dikombinasi dengan drainase cairan di ruang subretina sehingga memungkinkan
penempelan kembali lapisan retina yang terlepas. Pada tindakan ini pasien tidak
membutuhkan posisi tertentu pasca pembedahan (bila tidak dimasukkan gas
intraokular), juga tidak menimbulkan komplikasi katarak.
Scleral buckling ideal dilakukan untuk ablatio retina dengan break retina bagian
anterior, superior, atau inferior, serta pada kasus dialisis retina. Scleral buckling juga
lebih diminati untuk kasus ablatio retina anak-anak, sebab tindakan vitrektomi dapat
menimbulkan risiko komplikasi posterior vitreous detachment.
Kegagalan tindakan scleral buckling disebabkan karena tidak ditemukannya
lokasi break retina, kondisi retina fish mouthing, kekuatan atau posisi buckle yang tidak
adekuat, pembentukan break baru, dan terdapatnya PVR. Efek samping dan komplikasi
yang dapat terjadi pasca scleral buckling antara lain rasa nyeri, edema periorbita,
perdarahan subretina, inkarserasi vitreoretina, diplopia, perubahan refraksi, gangguan
posisi buckle, dan infeksi.
Vitrektomi Pars Plana

Vitrektomi pars plana dilakukan dengan mengeluarkan vitreous dari dalam bola
mata untuk kemudian digantikan dengan gas atau silicone oil. Gas atau silicone oil yang
dimasukkan ke dalam ruang bekas vitreous tadi akan berfungsi sebagai tamponade
yang menekan lapisan retina dan memungkinkan terjadinya penempelan kembali.
Tamponade gas intraokular berupa SF6 (sulfur hexafluoride), C3F8
(perfluoropropane), CF4 (carbon tetrafluoride), C2F6 (hexafluoroethane), C410
(perfluorobutane) memiliki kemampuan ekspansi yang berbeda-beda. Gas-gas tersebut
akan diabsorpsi dan digantikan dengan cairan intraokular yang diproduksi. Pasien
dengan injeksi gas intraokular membutuhkan positioning kepala tertentu pasca
pembedahan agar gas mampu menekan daerah retina yang diinginkan. Tamponade
menggunakan silicone oil  membutuhkan tindakan tambahan untuk mengeluarkannya
di kemudian hari. Waktu yang dibutuhkan untuk adhesi lapisan retina rata-rata adalah
7 hari. Pada suatu penelitian didapatkan angka kejadian proliferative retinopathy setelah
tamponade gas lebih tinggi.
Tindakan vitrektomi pars plana lebih dipilih dibandingkan scleral buckling pada
kasus break retina posterior, giant retinal breaks, macular hole, sklera yang tipis, PVR
grade C dan D, pasien dengan penggunaan alat drainase glaukoma, riwayat operasi
strabismus sebelumnya, dan kekeruhan media penglihatan sehingga tidak
memungkinkan visualisasi retina perifer. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah
pembentukan katarak yang lebih cepat, peningkatan tekanan intraokular,
dan break retina iatrogenik.
Dalam tindakan vitrektomi pars plana dapat dilakukan tindakan lain seperti
endofotokoagulasi untuk membantu menghentikan perdarahan pada retina,
menangani break retina posterior, dan mengatasi neovaskularisasi pada retina. Pada
kasus ablatio retina traksional, selain vitrektomi dan injeksi gas/ silicone oil, tindakan
lain seperti membrane peeling juga dilakukan.
Kombinasi Scleral Buckling dan Vitrektomi

Pada kasus tertentu, misalnya break di daerah inferior, tindakan vitrektomi dapat


dikombinasi dengan scleral buckling. Tidak ada konsensus mengenai terapi standar
untuk satu kasus ablatio retina, pertimbangan tindakan yang akan dilakukan biasanya
berdasarkan faktor-faktor seperti usia pasien, durasi ablatio retina, jumlah dan
lokasi break retina, ada tidaknya PVR, ketersediaan peralatan operasi, dan preferensi
operator.
Pneumatic Retinopexy
Pneumatic retinopexy merupakan tindakan pemasukan gas intraokular tanpa
drainase cairan yang diperuntukkan ablatio retina tanpa komplikasi. Pasien akan harus
berbaring dengan posisi kepala tertentu selama beberapa hari agar udara dapat
menekan ke arah retina yang mengalami terlepas. Angka reattachment melalui pneumatic
retinopexy mencapai 91% namun berkurang menjadi 80% apabila gas sudah
menghilang. Kejadian break baru mencapai 15% dan proliferative retinopathy sebesar 4%
pasca tindakan pneumatic retinopexy.

Komplikasi
Komplikasi ablatio retina berupa penurunan tajam penglihatan hingga lambaian
tangan (1/300) atau persepsi cahaya (1/~). Komplikasi lain adalah hipotoni bola mata,
glaukoma pigmen, neovaskularisasi iris, uveitis, dan pembentukan katarak. Pada ablatio
retina regmatogen dapat terjadi proliferative vitreoretinopathy (PVR) yang
menyebabkan pembentukan membran periretinal dan traksi. Angka kejadian PVR
sebesar 5-10% kasus ablatio retina regmatogen dan sekitar 75% pasien mengalami re-
detachment kembali setelah tindakan pembedahan.

Prognosis
Prognosis tajam penglihatan pasien ablatio retina sangat sulit diprediksi.
Keberhasilan prosedur penempelan kembali retina (reattachment) berkisar antara 77-
87% di negara berkembang. Keberhasilan tindakan pembedahan bergantung pada tipe
ablatio retina, usia pasien, dan keahlian operator. Namun, keberhasilan penempelan
kembali retina tidak selalu sebanding dengan perbaikan tajam penglihatan. Di India
80% pasien yang menjalani pembedahan ablatio retina yang berhasil
(reattachment baik) mengalami perbaikan tajam penglihatan lebih baik dari 6/60.
Hanya 55-60% kasus ablatio retina dengan prosedur pembedahan yang berhasil yang
kemudian mendapatkan tajam penglihatan yang baik.
Ablatio retina yang tidak mengenai bagian makula umumnya memiliki prognosis
penglihatan yang lebih baik. Apabila penatalaksanaan pembedahan tidak dilakukan <1
minggu setelah ablatio retina (khususnya daerah makula), penurunan tajam
penglihatan umumnya menjadi permanen. Pada kasus yang jarang sekali, penutupan
spontan break retina dapat terjadi.

PERDARAHAN VITREUS
Perdarahan vitreus adalah penyakit mata di mana terjadi ekstravasasi darah ke
vitreus (badan kaca). Normalnya vitreus adalah bagian mata yang avaskuler yang
dibatasi oleh internal limiting membrane retina di bagian posterior dan lateral, epitel
nonpigmen badan siliar di bagian anterolateral, serta zonula dan kapsul posterior lensa
kristalin di bagian anterior.
Insidensi perdarahan vitreus adalah 7 kasus per 100.000 orang penduduk per
tahun. Kejadian perdarahan vitreus banyak ditemukan pada pasien
dengan retinopati diabetik proliferatif, break retina, oklusi vena retina, posterior vitreous
detachment, dan trauma okular. Beberapa penyebab perdarahan vitreus yang lebih
jarang adalah makroaneurisma arteri retina, neovaskularisasi koroidal, gangguan
koagulasi, tumor intraokular, sindrom Terson, dan penyakit sistemik lain.

Perdarahan vitreus dapat terjadi tiba-tiba, ditandai dengan penglihatan kabur


mendadak dan tanpa rasa nyeri. Gangguan pada pemeriksaan visus bervariasi,
tergantung lokasi dan volume perdarahan. Diagnosis perdarahan vitreus dapat
ditemukan pada pemeriksaan funduskopi dengan dilatasi pupil. Etiologi perdarahan
vitreus dapat ditemukan saat pemeriksaan awal, setelah perdarahan terabsorpsi
sebagian, atau saat operasi vitrektomi.
Tata laksana perdarahan vitreus meliputi terapi konservatif, laser fotokoagulasi,
cryotherapy, injeksi anti-VEGF (anti-vascular endothelial growth factor), atau pembedahan
vitrektomi pars plana. Tajam penglihatan dapat mengalami perbaikan apabila darah di
vitreus telah terabsorpsi. Penurunan tajam penglihatan yang permanen disebabkan
oleh kelainan retina dan makula yang timbul akibat penyakit yang menjadi etiologi
perdarahan vitreus.

Epidemiologi Perdarahan Vitreus


Data epidemiologi menunjukkan bahwa perdarahan vitreus paling banyak
disebabkan oleh retinopati diabetik proliferatif, kemudian diikuti dengan break retina,
oklusi vena retina, dan posterior vitreous detachment.
Global
Secara global insidensi perdarahan vitreus pada populasi umum adalah 7 kasus
per 100.000 orang. Prevalensi perdarahan vitreus berbeda-beda di masing-masing
negara dan hampir mirip dengan prevalensi penyakit yang menjadi etiologinya.

Penelitian oleh Wang et al melaporkan angka insidensi kasar perdarahan vitreus


pada populasi etnis Cina di Taiwan adalah 4,8 kasus per 10.000 penduduk per tahun.
Insidensi perdarahan vitreus jauh lebih tinggi di kelompok usia 40-59 tahun
dibandingkan pasien usia muda. Etiologi terbanyak perdarahan vitreus pada kelompok
usia tersebut adalah retinopati diabetik proliferatif (43,3%). Perdarahan vitreus lebih
banyak ditemukan pada laki-laki.
Etiologi perdarahan vitreus pada kelompok usia muda adalah trauma. Pada
sebuah penelitian retrospektif terhadap 230 anak-anak dengan perdarahan vitreus,
82,5% di antaranya disebabkan oleh trauma, baik open globe injury atau closed globe
injury.
Indonesia
Belum ada data epidemiologi nasional mengenai insidensi maupun prevalensi
perdarahan vitreus di Indonesia. Sebuah penelitian retrospektif di Rumah Sakit Mata
Cicendo Bandung menunjukkan dari 435 mata dengan diagnosis retinopati diabetik
proliferatif atau retinopati diabetik nonproliferatif berat yang mendapatkan terapi laser
fotokoagulasi panretina, 31,95% (139 mata) di antaranya ditemukan perdarahan
vitreus. Jumlah penderita diabetes terus bertambah di Indonesia, dan diduga akan
mencapai 30 juta orang pada 2030.

Penelitian lain di tahun 2016 di Rumah Sakit Mata Cicendo menunjukkan dari
260 pasien yang dilakukan vitrektomi dengan diagnosis perdarahan vitreus, sebesar
49,6% etiologinya adalah retinopati diabetik proliferatif. Etiologi lain yang ditemukan
adalah degenerasi makula eksudatif (13,5%), oklusi vena retina (8,8%), ablatio retina
regmatogen (6,5%), trauma (3,4%), vaskulitis (3,1%), vitreoretinopati koroid polipoidal
idiopatik (1,2%), serta jatuhnya lensa intraokular ke posterior (1,2%).

Etiologi Perdarahan Vitreus


Etiologi perdarahan vitreus dapat dibagi menjadi etiologi vaskular, vitreoretina, tumor,
trauma, inflamasi, kelainan segmen anterior, dan gangguan hematologi.

Retinopati Diabetik
Etiologi vaskular perdarahan vitreus tersering adalah retinopati diabetik
proliferatif (19,1-54,0%). Etiologi vaskular lainnya adalah oklusi retina atau vena
sentral atau cabang, retinopati proliferatif sel sabit, degenerasi makula eksudatif,
retinopati prematuritas, makroaneurisma, retinopati hipertensi, penyakit Coat,
dan congenital peripapillary arterial loops.
Vitreoretina
Etiologi vitreoretina antara lain break retina (27,0-37,3%), posterior vitreous
detachment, ablatio retina, dan komplikasi vitrektomi.
Tumor
Etiologi tumor yang dapat menimbulkan perdarahan vitreus adalah
retinoblastoma, melanoma koroid malignan, dan hemangioma kavernosa.

Trauma
Trauma berupa open atau closed globe injury dapat menimbulkan perdarahan vitreus.
Inflamasi
Proses inflamasi seperti vaskulitis, koroidopati infeksius, penyakit Behcet,
penyakit Eales, endoftalmitis, uveitis, dan retinitis sifilis dapat juga menyebabkan
perdarahan vitreus.
Kelainan Segmen Anterior
Kelainan dan manipulasi terhadap segmen anterior seperti trabekulektomi,
sindrom uveitis-glaukoma-hifema, nucleus drop, iridosiklitis Fuch, sindrom Swan dapat
menimbulkan perdarahan vitreus.
Gangguan Hematologi
Etiologi gangguan hematologi yang menyebabkan perdarahan vitreus
adalah leukemia, trombositopenia, hemofilia, dan penyakit von Willebrand.
Mekanisme Indirek
Mekanisme indirek yang dapat menimbulkan perdarahan vitreus misalnya
retinopati valsalva, shaken baby syndrome, sindrom Terson dan hipertensi intrakranial.
Faktor Risiko
Faktor risiko perdarahan vitreus adalah gangguan koagulasi sistemik dan miopia
berat. Studi terdahulu oleh ETDRS (Early Treatment Diabetic Retinopathy Study)
menunjukkan antikoagulan atau antiplatelet tidak meningkatkan risiko perdarahan
vitreus. Namun penelitian oleh Witmer et al, melaporkan bahwa pasien dengan posterior
vitreous detachment yang mengonsumsi aspirin, clopidogrel, atau warfarin lebih
mungkin menimbulkan perdarahan vitreus.

Patofisiologi Perdarahan Vitreus


Patofisiologi perdarahan vitreus berasal dari ruptur neovaskular retina yang
rapuh, ruptur pembuluh darah normal, atau breakthrough bleeding dari sumber
perdarahan lain di bola mata. Darah pada vitreus akan mengalami pembekuan dan
dapat menghilang dengan kecepatan 1% per hari. Sel darah di vitreus kemudian dapat
keluar melalui anyaman trabekular, mengalami hemolisis dan fagositosis, atau menetap
di vitreus. Sel darah merah di vitreus ini tidak menimbulkan respon inflamasi oleh sel
polimorfonuklear sebagaimana biasanya, sehingga meminimalkan kerusakan jaringan
okular serta memungkinkan aksis penglihatan kembali jernih.
Vitreus memiliki volume 4 ml dan membentuk 80% volume bola mata. Vitreus
terbentuk sebagian besar dari air (99%) dan sisanya adalah kolagen dan asam
hialuronat (1%). Vitreus melekat erat di 3 bagian, yakni di bagian anterior terhadap ora
serata, di bagian nervus optikus, dan pembuluh darah retina. Vitreus memiliki ruang-
ruang potensial yang mana perdarahan akan cenderung mengumpul di area tersebut.

Perdarahan vitreus dapat timbul melalui beberapa mekanisme berbeda seperti


dijelaskan selengkapnya di bawah ini.

Ruptur Neovaskular Retina


Mekanisme perdarahan vitreus yang cukup sering ditemukan adalah akibat
ruptur neovaskular retina. Kondisi iskemik retina menyebabkan pelepasan faktor-
faktor angiogenik vasoaktif seperti VEGF (vascular endothelial growth factor), bFGF (basic
fibroblast growth factors), dan IGF (insulin-like growth factor) yang memicu
neovaskularisasi. Pembuluh darah baru yang terbentuk ini mudah ruptur saat terjadi
tarikan pada vitreus atau kontraksi fibrovaskular. Ruptur spontan bahkan dapat terjadi
saat pergerakan bola mata biasa.
Etiologi perdarahan vitreus yang terkait mekanisme ini
contohnya retinopati diabetik proliferatif, oklusi vena retina, dan retinopati sel sabit
proliferatif.
Kelainan Pembuluh Darah Retina Noniskemik
Mekanisme perdarahan vitreus juga bisa berasal dari ruptur kelainan pembuluh
darah retina noniskemik, misalnya pada kasus makroaneurisma arteriole sekunder
akibat hipertensi sistemik. Kelainan pembuluh darah lain seperti congenital peripalliary
arterial loops dan angioma retina juga bisa menimbulkan perdarahan vitreus melalui
mekanisme ini.
Ruptur Pembuluh Darah Normal Retina
Perdarahan vitreus akibat ruptur pembuluh darah normal retina terjadi ketika
ada tarikan di area perlekatan vitreus misalnya pada kasus posterior vitreous
detachment, break retina, atau pada kasus trauma tumpul bola mata. Etiologi lain yang
menimbulkan perdarahan dengan mekanisme ini adalah sindrom Terson dan
retinoschisis. Perdarahan vitreus pada sindroma Terson timbul dari cabang vena retina
atau dari vena sentral retina.
Breakthrough Bleeding
Perdarahan vitreus juga bisa berasal dari breakthrough bleeding di bagian lain
seperti perdarahan subretina, iris, dan badan siliar. Etiologi yang masuk mekanisme ini
contohnya degenerasi makula eksudatif, melanoma koroid maligna, oklusi vena
retina, hifema akibat trauma okular, dan vaskulopati koroid polipoidal idiopatik.

Diagnosis Perdarahan Vitreus


Diagnosis perdarahan vitreus mudah ditemukan saat pemeriksaan funduskopi
dengan dilatasi pupil atau ultrasonografi okular. Namun, etiologi yang mendasari
perdarahan vitreus terkadang sulit ditemukan saat fase akut perdarahan.

Diagnosis etiologi perdarahan vitreus dapat ditemukan 32-79% pada


pemeriksaan awal. Sekitar 14% etiologi perdarahan vitreus baru terdiagnosis
saat follow up dan 4% lainnya terdiagnosis setelah 1 tahun kemudian. Diagnosis etiologi
perdarahan vitreus juga terkadang ditemukan saat vitrektomi dilakukan. Kesulitan
diagnosis etiologi saat pemeriksaan awal terjadi terutama pada perdarahan vitreus
yang banyak dan pekat (dense vitreous hemorrhage) yang menghalangi pemeriksaan
retina.
Anamnesis
Pada anamnesis pasien perdarahan vitreus didapatkan keluhan berikut:

 Penglihatan kabur seperti ada lapisan kemerahan (red hue vision) atau bayangan
yang menutupi
 Penurunan tajam penglihatan yang berat apabila perdarahan vitreus pekat
 Keluhan penglihatan kabur yang lebih buruk di pagi hari karena darah mengendap
di bagian makula saat berbaring terlentang di malam hari
 Onset baru floaters
 Tidak nyeri kecuali pada kasus trauma atau disertai komplikasi glaukoma akut
Hal lain yang perlu ditanyakan pada anamnesis adalah riwayat operasi
intraokular, riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, atau anemia sel sabit.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mata dari segmen anterior hingga posterior perlu dilakukan
untuk pasien yang dicurigai perdarahan vitreus. Pemeriksaan segmen anterior
menggunakan slit-lamp dapat menemukan sel darah merah di anterior vitreus,
neovaskularisasi pada iris (rubeosis iris), presipitat keratik atau cells di kamera okuli
anterior (KOA) yang berkaitan dengan proses inflamasi. Pemeriksaan refleks pupil
aferen yang positif perlu meningkatkan kecurigaan akan kelainan seperti ablatio retina,
oklusi vena retina, lesi makula, atau gangguan pada nervus optikus.
Pemeriksaan segmen posterior menggunakan oftalmoskopi dengan dilatasi pupil
dapat menemukan adanya darah pada vitreus di ruang anterohyaloid atau retrohyaloid.
Bila ditemukan posterior vitreous detachment, harus dilakukan indentasi sklera untuk
mencari ada tidaknya break atau ablatio retina. Perdarahan vitreus yang pekat (dense) di
satu mata membuat dokter sulit mengevaluasi bagian-bagian lain dari segmen posterior
dan hilangnya refleks merah fundus. Pemeriksaan mata sisi sebelahnya dapat
membantu menemukan etiologi perdarahan seperti retinopati diabetik, break retina,
vaskulitis, oklusi vena, vitreoretinopati eksudatif familial, retinoschisis, yang umumnya
dapat terjadi di kedua mata. Pada perdarahan vitreus lama, warna vitreus tampak
seperti warna khaki akibat proses lisis sel darah merah.
Hasil tajam penglihatan pasien bervariasi tergantung lokasi dan banyaknya
perdarahan pada vitreus. Pemeriksaan visus dengan koreksi refraksi terbaik perlu
dilakukan saat pemeriksaan pasien sebagai baseline saat follow up pasien nantinya.
Pemeriksaan tekanan intraokular, baik secara manual maupun dengan
tonometri, perlu dilakukan untuk pasien perdarahan vitreus. Hipotoni meningkatkan
kecurigaan adanya ablatio retina, open globe injury, atau kebocoran luka operasi.
Peningkatan tekanan intraokular berkaitan dengan glaukoma neovaskular dan tumor
intraokular. Pemeriksaan tekanan darah juga perlu dilakukan untuk pasien perdarahan
vitreus.
Diagnosis Banding
Perdarahan vitreus adalah diagnosis banding utama pasien yang datang dengan
keluhan penurunan tajam penglihatan mendadak tanpa rasa nyeri di mata. Diagnosis
banding penurunan tajam penglihatan mendadak tanpa rasa nyeri adalah ablatio retina,
oklusi arteri atau vena retina, atau neuropati optik. Diagnosis perdarahan vitreus dapat
dengan mudah ditemukan pada pemeriksaan funduskopi dengan dilatasi pupil.

Diagnosis Banding pada Bayi dan Anak

Dalam menentukan diagnosis banding etiologi perdarahan vitreus, dokter dapat


menggunakan usia pasien sebagai petunjuk akan diagnosis-diagnosis tertentu.
Perdarahan vitreus pada neonatus dan bayi dapat dicurigai akibat trauma persalinan
normal, retinopati prematuritas, atau shaken baby syndrome. Pada pasien anak, trauma
tumpul mata adalah etiologi tersering, sehingga pada anamnesis perlu ditanyakan ada
tidaknya riwayat trauma mata. Kemungkinan etiologi lain yang perlu dicurigai pada
anak-anak adalah retinoblastoma, leukemia, retinoschisis x-linked, dan gangguan
koagulasi.
Diagnosis Banding pada Dewasa

Pada pasien paruh baya retinopati diabetik proliferatif, oklusi vena


retina, posterior vitreous detachment, melanoma, vaskulopati koroid polipoidal idiopatik,
atau gangguan koagulasi perlu dicurigai saat diagnosis. Pada pasien lansia, etiologi yang
perlu dipikirkan saat menemukan perdarahan vitreus adalah degenerasi makula
eksudatif dengan choroidal neovascular membrane (CNVM).
Pemeriksaan Penunjang
Apabila perdarahan retina pekat (dense) dan menutupi visualisasi retina, maka
ultrasonografi B-scan adalah pemeriksaan penunjang yang bermanfaat untuk
mendeteksi kelainan pada retina seperti ablatio retina atau massa intraokular. Pada
ultrasonografi, area yang perlu diperhatikan adalah kavitas vitreus, persambungan
vitreoretina, dan lapisan retinokoroidal. Hasil ultrasonografi dapat memberikan
gambaran high spike yang signifikan pada perdarahan vitreus lama di bagian posterior
hyaloid yang mirip seperti gambaran ablatio retina, sehingga dokter perlu secara
langsung melakukan ultrasonografi dalam mode kinetik.
Pemeriksaan ultrasonografi diperlukan untuk mencari tahu ada tidaknya ablatio
retina di daerah makula karena dapat mempengaruhi rencana terapi dan
memperkirakan prognosis penglihatan pasien. Beberapa pasien membutuhkan
pemeriksaan ultrasonografi serial selang 7-10 hari untuk memastikan etiologi
perdarahan dan mengeksklusi break ataupun ablasio retina.
Pencitraan seperti CT-scan atau MRI bermanfaat untuk mengeksklusi diagnosis
perforasi bulbi, avulsi nervus optikus, tumor intraokular, benda asing intraokular, atau
materi lensa intraokular. Pemeriksaan penunjang laboratorium darah disesuaikan
dengan etiologi yang dicurigai, seperti diabetes mellitus, anemia sel sabit, leukemia,
trombositopenia, dan kelainan koagulasi lainnya.

Penatalaksanaan Perdarahan Vitreus


Penatalaksanaan perdarahan vitreus yang terpenting adalah menemukan dan
mengatasi etiologi perdarahan. Penatalaksanaan perdarahan vitreus meliputi observasi,
elevasi kepala, laser fotokoagulasi, cryotherapy, injeksi anti-VEGF (anti-vascular
endothelial growth factor), dan vitrektomi pars plana. Penatalaksanaan umumnya
berbeda-beda untuk setiap pasien, disesuaikan dengan etiologi perdarahan yang
ditemukan dan kondisi pasien termasuk usia, durasi penyakit hingga diagnosis, jumlah
perdarahan, tajam penglihatan saat pemeriksaan, tekanan intraokular, status lensa,
status retina, ada tidaknya posterior vitreous detachment, riwayat fotokoagulasi dan hasil
terapi sebelumnya.
Konservatif
Penatalaksanaan konservatif pasien perdarahan vitreus yakni dengan
melakukan observasi. Perdarahan vitreus baru umumnya dapat menghilang dalam
waktu beberapa minggu.

Pada pasien perdarahan vitreus tanpa ablatio retina, pasien diminta berbaring


dengan elevasi kepala 30-45 derajat (semi Fowler) agar darah mengendap di bagian
inferior karena pengaruh gravitasi. Pemasangan patch pada mata juga dapat dilakukan
untuk membatasi pergerakan bola mata. Pasien dianjurkan untuk menghentikan
sementara penggunaan obat-obat antikoagulan  seperti aspirin, clopidogrel,
dan warfarin. Perdarahan vitreus yang menetap lebih dari 2-3 bulan memerlukan terapi
invasif.

Apabila etiologi perdarahan belum diketahui, evaluasi kembali pasien setelah 2-


7 hari untuk pemeriksaan ulang mencari sumber perdarahan. Pasien perdarahan
vitreus rawat jalan perlu melakukan kontrol setiap 2-5 hari sekali untuk evaluasi
perdarahan dan status retina. Bila etiologi perdarahan sudah diketahui dan
retina attached, maka kontrol dapat dilakukan setiap 1-2 minggu hingga 3-4 minggu
sampai seluruh perdarahan vitreus terabsorpsi.
Rujukan
Apabila mencurigai perdarahan vitreus atau pada pemeriksaan ditemukan
perdarahan vitreus rujukan pasien ditujukan ke dokter spesialis mata bagian retina.

Medikamentosa
Tidak ada medikamentosa topikal maupun sistemik yang terbukti efektif untuk
perdarahan vitreus. Medikamentosa disesuaikan dengan etiologi dan gejala klinis
sekunder yang ditemukan, misalnya peningkatan tekanan intraokular.

Laser Fotokoagulasi
Laser fotokoagulasi dapat dilakukan untuk kasus-kasus neovaskularisasi
proliferatif ketika bagian retina sudah dapat divisualisasi. Break retina yang tampak
pada pemeriksaan dapat diterapi dengan laser barrage. Perdarahan vitreus dari
neovaskular pada kasus retinopati diabetik proliferatif atau oklusi vena retina
membutuhkan terapi laser fotokoagulasi perifer untuk menghambat pertumbuhan
pembuluh darah baru yang rentan pecah dan menimbulkan perdarahan vitreus.
Cryotherapy
Anterior retinal cryotherapy (ARC) dapat digunakan sebagai penatalaksanaan
perdarahan vitreus baru. Cryotherapy merusak bagian sawar darah retina sehingga
dapat terjadi pembersihan darah dari vitreus. Terapi ini menimbulkan inflamasi lebih
hebat dibandingkan terapi laser fotokoagulasi, dapat memicu pembentukan fibrin
preretina, dan menyebabkan ablatio retina traksional. ARC sebaiknya dihindari pada
mata pasien yang sudah pernah menjalani terapi laser fotokoagulasi dan perdarahan
vitreus yang belum diketahui etiologinya.
Injeksi Anti-VEGF
Penatalaksanaan berupa injeksi anti-VEGF (anti-vascular endothelial growth factor)
intravitreal dilakukan pada pasien perdarahan vitreus akibat degenerasi makula
eksudatif dan retinopati diabetik proliferatif. Injeksi bevacizumab untuk kasus
perdarahan vitreus akibat retinopati diabetik proliferatif efektif mengurangi kebutuhan
vitrektomi dan meningkatkan keberhasilan laser fotokoagulasi panretinal. Namun,
injeksi anti-VEGF tersebut tidak mempengaruhi tajam penglihatan akhir pasien.
Pembedahan
Pembedahan perlu segera dilakukan pada perdarahan vitreus yang disertai
dengan ablatio retina. Vitrektomi pars plana diindikasikan untuk kondisi berikut:

 Perdarahan vitreus yang menetap lebih dari 2-3 bulan


 Perdarahan vitreus akibat retinopati proliferatif yang tidak menghilang setelah 6-8
minggu setelah terapi laser
 Perdarahan vitreus dengan ablatio retina terutama giant retinal tears atau
akibat open globe injury
 Perdarahan vitreus akibat degenerasi makula dan vitreoretinopati koroid polipoidal
idiopatik
 Perdarahan vitreus yang menimbulkan rubeosis atau glaukoma ghost cell
Penelitian-penelitian terkini menunjukkan vitrektomi yang dilakukan lebih dini
mengurangi jumlah ablatio retina dan memberikan prognosis fungsi penglihatan lebih
baik. Penelitian oleh Hayashida et al, melaporkan bahwa vitrektomi yang dilakukan <2
minggu dari onset perdarahan vitreus memberikan hasil akhir tajam penglihatan yang
lebih baik secara signifikan. Terapi lebih agresif dengan melakukan vitrektomi secara
dini (early vitrectomy), dianjurkan pula untuk perdarahan vitreus pekat nontraumatik
dan nondiabetik. Terapi konservatif pada perdarahan vitreus yang pekat sering kali
berkaitan dengan risiko ablatio retina, glaukoma, dan vitreoretinopati yang meningkat.
Keuntungan vitrektomi dini pada perdarahan vitreus yang pekat adalah membersihkan
aksis penglihatan dan menurunkan ekspresi VEGF yang memicu neovaskularisasi.
Vitrektomi dini yang dikombinasi dengan injeksi anti-VEGF atau laser fotokoagulasi
dapat memperbaiki prognosis penglihatan pada pasien perdarahan vitreus pekat.

Komplikasi
Komplikasi perdarahan vitreus adalah:

 Hemosiderosis bulbi yang menyebabkan toksisitas fotoreseptor

 Glaukoma  ghost cell atau glaukoma hemolitik


 Floaters
 Perubahan refraksi menjadi miopia pada bayi

Prognosis
Perdarahan vitreus akibat break retina, posterior vitreous detachment, dan oklusi cabang
vena retina memiliki prognosis yang relatif baik dibandingkan perdarahan retina yang
terjadi akibat retinopati diabetik proliferatif dan degenerasi makula eksudatif.
Perdarahan vitreus nontraumatik pada anak-anak usia muda memiliki prognosis yang
lebih buruk karena tingginya insidensi ablatio retina dan tindakan enukleasi atau
eksenterasi akibat penyakit yang mendasarinya seperti retinoblastoma dan penyakit
herediter.
Tajam penglihatan pasien umumnya dapat kembali menjadi seperti sebelum
terjadi perdarahan vitreus apabila seluruh darah telah terserap dan aksis penglihatan
jernih. Pada penelitian Kim et al, karakteristik pasien perdarahan vitreus yang tajam
penglihatannya buruk pasca vitrektomi (etiologi preoperatif tidak diketahui) adalah
pasien dengan usia lanjut, tajam penglihatan preoperatif yang buruk di kedua mata, dan
degenerasi makula pada mata yang tidak dioperasi. Namun pada kasus perdarahan
vitreus lain misalnya sindrom Terson, tajam penglihatan awal saat pemeriksaan yang
buruk tidak selalu memberikan prognosis yang buruk, selama tidak ada trauma pada
jaras penglihatan.
Hasil penelitian AlHarkan et al menunjukkan untuk kasus perdarahan vitreus
anak-anak, tajam penglihatan awal saat pemeriksaan yang lebih baik sama dengan 6/60
merupakan faktor prognosis lebih baik. Tajam penglihatan kurang sama dengan 1/300
(lambaian tangan) berkaitan dengan prognosis penglihatan yang buruk. Perbaikan
tajam penglihatan pada anak-anak usia <8 tahun dengan perdarahan vitreus
dipengaruhi oleh faktor durasi perdarahan vitreus, deteksi dini dan penatalaksanaan
ambliopia, tingkat kejernihan aksis penglihatan, dan kepatuhan orang tua atau
pengasuh terhadap penatalaksanaan ambliopia untuk anak.
Vitrektomi yang dilakukan dalam durasi 90 hari pasca kejadian perdarahan
vitreus memberikan hasil akhir best corrected visual acuity (BCVA) yang lebih baik.
Perdarahan vitreus ulang dapat ditemukan pada 3 dari 10 pasien yang menjalani
vitrektomi. Perdarahan vitreus pasca vitrektomi dapat berasal dari residu darah atau
perdarahan baru yang terjadi 2-6 bulan kemudian.

Anda mungkin juga menyukai