Tutorial 3.4.3
Tutorial 3.4.3
Tutorial 3.4.3
LEARNING OBJECTIVE
LIST PENYAKIT
GANGGUAN REFRAKSI
Gangguan refraksi merupakan suatu kondisi dimana terdapat kelainan bentuk
bola mata yang mencegah cahaya jatuh tepat pada retina. Gangguan refraksi terbagi
menjadi beberapa jenis, yaitu myopia, hipermetropia, astigmatisme, dan presbiopia.
Myopia dan hipermetropia disebabkan oleh panjang bola mata yang tidak sesuai.
Astigmatisme disebabkan oleh gangguan permukaan kornea. Adanya gangguan
akomodasi yang umumnya disebabkan oleh faktor usia dapat menjadi penyebab
timbulnya presbiopia.
Suatu gangguan refraksi dapat dideteksi dengan adanya keluhan penurunan
tajam penglihatan secara perlahan yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan Snellen
Chart. Penatalaksanaan gangguan refraksi dilakukan dengan memperbaiki tajam
penglihatan dengan bantuan lensa, seperti penggunaan kacamata atau lensa kontak.
Pada beberapa keadaan dapat dilakukan tindakan operatif, seperti LASIK.
Myopia atau rabun jauh terjadi ketika cahaya yang masuk tidak jatuh tepat pada
retina melainkan di depan retina. Keadaan ini disebabkan karena ketidakseimbangan
antara daya refraksi dan axial length (AL), sehingga menyebabkan pasien dapat melihat
jelas jika melihat dekat tetapi merasa buram jika melihat jauh.
Secara umum, ada dua bentuk myopia yaitu myopia refraktif yang terjadi jika AL
normal tetapi daya refraksi meningkat, dan myopia aksial yang terjadi jika daya refraksi
normal tetapi Al memanjang.
Ada beberapa hal yang diduga berperan dalam patofisiologi myopia, yaitu :
Genetik : myopia yang > 6 Dioptri (D) diduga berkaitan dengan defek pada
kromosom 1-5,7,8,10-12, 14, 17-22. Sedangkan myopia < 6 D diduga berkaitan
dengan defek pada kromosom 7.
Akomodasi : kerja akomodasi yang intensif, seperti pada keadaan membaca atau
menulis, diduga menyebabkan spasme akomodatif, pemanjangan AL, dan deformasi
bentuk cahaya yang jatuh pada retina.
Retina perifer : studi yang ada menunjukkan bahwa retina perifer berperan dalam
pertumbuhan bola mata. Pada mata yang myopik, ditemukan terdapat tendensi
adanya refraksi perifer bergeser menjadi hipermetropi. Keadaan ini berhubungan
dengan pemanjangan AL, dimana bentuk bola mata menjadi elips.
Bentuk kornea : studi baru-baru ini menunjukkan bahwa tekanan oleh kelopak mata
pada aktivitas membaca atau bekerja di depan komputer dapat menyebabkan
aberasi kornea, yang diduga berperan dalam timbulnya myopia.
Perubahan anatomis : dalam pathogenesis myopia ditemukan bahwa kedalaman
kamar okuli anterior dan kedalaman bilik vitreous bertambah, sedangkan ketebalan
retina, koroid, dan sklera berkurang.
Hipermetropia
Astigmatisme terjadi karena berkas sinar yang jatuh pada retina tidak
difokuskan pada satu titik melainkan pada dua titik yang saling tegak lurus. Hal ini
disebabkan oleh deformasi pada media refraksi. Deformasi ini menyebabkan
berkurangnya radius kurvatur lensa dan peningkatan daya refraksi, sehingga terbentuk
dua titik fokus bayangan pada retina.
Bayi baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis, namun dalam
perkembangannya dapat terjadi keadaan astigmatism with the rule, artinya
kelengkungan kornea bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih
pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang horizontal.
Keadaan lain yang mungkin terjadi adalah astigmatism against the rule dimana
kelengkungan kornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan
kornea vertikal. Hal ini lebih sering ditemukan pada usia lanjut.
Presbiopia
Presbiopia disebabkan oleh karena gangguan akomodasi pada usia lanjut. Hal ini
terjadi akibat kelemahan otot akomodasi dan berkurangnya elastisitas lensa mata
akibat sklerosis lensa. Biasanya gangguan presbiopia ini terjadi pada pasien berusia
lebih dari 40 tahun.
Gangguan refraksi merupakan bagian dari kelompok mata tenang visus turun
perlahan. Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah adanya retinopati, glaukoma,
distrofi konus, atau adanya penyakit distrofi pada retina dan makula. Adanya riwayat
diabetes, hipertensi, dan glaukoma pada keluarga meningkatkan kemungkinan adanya
suatu kelainan retinopati atau komplikasi okular lainnya. Temuan pada pemeriksaan
fisik dengan Snellen chart, pemeriksaan lapang pandang, funduskopi, kampimetri, dan
pemeriksaan penunjang lain dapat membantu membedakan gangguan refraksi dari
penyakit lain.
Klasifikasi
Myopia, hipermetropia, dan astigmatisme dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa keadaan yang lebih spesifik.
Myopia
Menurut derajatnya myopia dapat dibagi menjadi :
Myopia ringan : myopia antara 1-3 dioptri
Myopia sedang : myopia antara 3-6 dioptri
Myopia berat : myopia lebih besar dari 6 dioptri
Menurut progresivitasnya myopia dapat dibagi menjadi :
Myopia stasioner : myopia yang menetap setelah dewasa
Myopia progresif : myopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
pertambahan panjang bola mata
Myopia maligna : myopia yang berjalan progresif, yang dapat menyebabkan ablasio
retina dan kebutaan
Hipermetropia
Menurut derajatnya hipermetropia dibagi menjadi :
Hipermetropia ringan : hipermetropia hingga ≤ 2 dioptri
Hipermetropia sedang : hipermetropia antara 2.25 – 5 dioptri
Hipermetropia berat : hipermetropia yang melebihi 5 dioptri
Secara klinis, hipermetropia dibagi menjadi :
Hipermetropia simpleks : tipe hipermetropia yang paling sering dijumpai, biasanya
disebabkan karena variasi biologis pada perkembangan bola mata, bisa bersifat
herediter.
Hipermetropia patologis : tipe hipermetropia yang disebabkan oleh berbagai
keadaan kongenital atau didapat sehingga menyebabkan kondisi patologis di luar
dari variasi normal perkembangan bola mata. Misalnya hipermetropia karena
subluksasi lensa, afakia, atau pseudofakia.
Hipermetropia fungsional : disebabkan oleh paralisis akomodasi, misalnya pada
pada pasien dengan paralisis nervus okulomotorius atau oftalmoplegia internal [2]
Astigmatisme
Astigmatisme dapat dibagi menjadi :
Astigmatisme reguler : astigmatisme yang memperlihatkan kekuatan pembiasan
bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke
meridian berikutnya
Astigmatisme ireguler : astigmatisme yang terjadi pada 2 meridian yang tidak saling
tegak lurus.
Tetes air mata buatan dapat diberikan pada pasien gangguan refraksi dengan
keluhan mata pedas atau mata lelah. Beberapa studi menunjukkan bahwa atropine tetes
bermanfaat dalam mencegah progresivitas myopia.
Pembedahan
Komplikasi
Gangguan refraksi merupakan bentuk gangguan mata yang berdampak pada
buruknya penglihatan dan memiliki implikasi yang serius pada keadaan sosioekonomi
jika tidak terkoreksi. Apabila kelainan refraktif tidak dikoreksi, hal ini akan
menimbulkan gangguan atau penurunan pada kualitas hidup bagi banyak orang.
Gangguan refraksi dapat menimbulkan penurunan penglihatan bahkan kebutaan. Pada
anak-anak, adanya gangguan refraktif yang tidak terkoreksi dapat mengganggu
kemampuan belajar anak pada masa sekolah.
Penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan myopia adalah terjadinya ablasio
retina dan strabismus. Strabismus yang terjadi biasanya juling ke dalam (esotropia)
akibat mata berkonvergensi terus menerus. Pada pasien dengan hipermetropia juga
dapat ditemukan adanya esotropia akibat mata terus-menerus berakomodasi
melakukan konvergensi.
Prognosis
Gangguan refraksi apabila segera didiagnosis dan ditatalaksana memiliki
prognosis yang baik. Gangguan refraksi yang progresif dan tidak terkoreksi dapat
menimbulkan kebutaan.
HIPERMETROPI
Klasifikasi
3 bentuk hipermetropi :
Epidemiologi
Pada kelompok usia 15 tahun atau kurang, dan kelompok usia ≥30 tahun,
prevalensi hipermetropi lebih tinggi pada wanita. Sebuah tinjauan sistematis dari
kesalahan refraksi mengungkapkan bahwa prevalensi hipermetropi adalah 4% (kurang
dari miopia) pada populasi dengan prevalensi lebih banyak pada anak laki-laki sekolah
daripada perempuan. Di Amerika Serikat, untuk kelompok usia ≥20 tahun,
hipermetropi adalah kesalahan refraksi yang paling jarang terjadi, sementara itu adalah
kesalahan refraksi yang paling umum dengan astigmatisme pada kelompok usia ≥60
tahun. Pada imigran Polandia di Chicago, sebuah penelitian menemukan bahwa
hipermetropi adalah kesalahan refraksi yang lebih umum secara keseluruhan dan pada
kelompok usia> 45 tahun.
Etiologi
Indeks hipermetropi : Hal ini disebabkan oleh perubahan indeks bias lensa kristal,
yang terjadi pada usia lanjut atau penderita diabetes. Indeks refraktori meningkat
secara bertahap dari pusat ke pinggiran.
Tidak ada faktor penyebab bulat yang diidentifikasi hingga saat ini. Meskipun
sporadis, beberapa faktor genetik telah diidentifikasi terkait dengan
hipermetropi. Selain faktor genetik dan lingkungan, beberapa kondisi yang didapat juga
bertanggung jawab, khususnya pada orang lanjut usia. Berikut ini adalah beberapa
kondisi teridentifikasi yang menyebabkan hipermetropi:
Hiperglikemia
Diabetes mellitus dan setelah kontrol hiperglikemia yang cepat pada diabetes
mellitus
Misi ruang angkasa yang berkepanjangan karena retina dan edema kepala saraf
optik
Sindrom Heimler
Sindrom Kenny
Patofisiologi
Pemendekan aksial bola mata atau penurunan potensi konvergen kornea atau
lensa kristal karena perataan adalah faktor penyebab umum untuk hipermetropi
simple. Tidak adanya lensa kristal bawaan (kongenital) atau didapat yang
mengakibatkan hilangnya kapasitas konvergen menyebabkan hipermetropi
patologis. Perubahan akibat pertambahan usia pada serabut lensa kortikal
menyebabkan perubahan indeks bias yang menyebabkan indeks
hipermetropi. Kelumpuhan akomodasi (oleh obat sikloplegik) dan hilangnya akomodasi
karena kelumpuhan saraf ketiga komplit atau oftalmoplegia internal menyebabkan
hipermetropi fungsional.
Diagnosis
Asimtomatik: Tonus otot siliaris yang melekat pada pasien dan upaya akomodatif
dapat mengatasi beberapa derajat hipermetropi tanpa menimbulkan kesulitan.
Gejala:
Deviasi mata (dicatat oleh orang tua) : Orang tua terkadang mencatat deviasi salah
satu atau kedua mata (simultan atau alternatif) pada anak-anak yang sangat
kecil dengan hipermetropi. Jenis yang paling umum adalah deviasi ke dalam
(esotropia).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan cahaya difus: Bola mata dan kornea mungkin tampak lebih kecil,
terutama pada hipermetropi tinggi dan pada kasus unilateral. Terkadang itu mungkin
mensimulasikan enophthalmos. Bilik anterior (sentral dan perifer) tampak dangkal, dan
sudut bilik anterior mungkin tampak sempit dengan pupil kecil. Gonioskopi
diindikasikan dalam semua kasus untuk mengesampingkan kemungkinan penutupan
sudut. Katarak kortikal juga dapat ditemukan pada orang tua atau individu muda
dengan diabetes.
Jika sumbu dan daya (setelah dikurangi) sama, maka itu dianggap sebagai daya
bias bola mata. Jika tidak sama, maka daya ekstra (dalam satu sumbu) dilambangkan
sebagai kekuatan astigmatik di sumbu lainnya.
Tatalaksana
Tujuan:
Mata isoametropik tanpa tropia harus diberikan kacamata jika hipermetropi paling
sedikit:
Kasus yang memiliki iso-Metropia hiperopik dengan esotropia perlu diberi resep
kacamata ketika refraksi minimum setidaknya:
Jadi, semua penyelidikan sangat penting sebelum segala jenis operasi kerato-refraksi.
Saat ini, prosedur ini telah disetujui untuk pengurangan sementara hipermetropi dari
+0,75 menjadi +2,50 dioptri dengan ≤ +/- 0,75 dioptri astigmatisme oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (USFDA). Pasien harus berusia minimal
40 tahun. Refraksi harus didokumentasikan agar stabil selama enam bulan sebelumnya
(perubahan ≤ 0,50D dalam komponen bola dan silinder dari refraksi nyata).
Diagnosis banding
Mikrofthalmos - Ukurannya lebih kecil dengan struktur mata yang abnormal dan
terkadang berhubungan dengan keterlibatan sistemik.
Papilledema
Hipoglikemia
Presbiopia
Klasifikasi
Prognosa
Persiapan pra operasi yang tepat dan intervensi tepat waktu membawa
prognosis yang baik.
Komplikasi
Ambliopia: Perampasan stimulus atau ambliopia anisometropik dapat terjadi
jika tidak ada koreksi tepat waktu. Koreksi refraksi yang tepat, latihan ortoptik
diperlukan untuk mengatasi ambliopia ini.
Presbiopia
Etiologi
Penurunan progresif dalam kapasitas akomodatif lensa adalah penyebab utama
presbiopia. Berbagai teori yang menggambarkan mekanisme yang terlibat dalam
presbiopia telah diajukan. Teori Helmholtz, Teori Schachar, dan teori Catenary dari
Coleman adalah yang paling banyak dibahas.
Teori Helmholtz: Sesuai dengan teori ini, kontraksi otot siliaris menghasilkan
relaksasi zonula dan peningkatan konveksitas kapsul lensa anterior.
Teori Schachar: Teori ini, berbeda dengan teori Helmholtz, mengatakan bahwa
kontraksi otot siliaris menghasilkan peningkatan ketegangan serabut zonular
ekuator dengan relaksasi serentak serabut zonular anterior dan
posterior. Konsep ini menghasilkan penuraman bagian tengah anterior lensa
dengan perataan pinggiran lensa.
Teori katener dari Coleman: Sesuai teori ini, dengan kontraksi otot siliaris,
terjadi gradien tekanan dari kompartemen vitreous ke kompartemen air, yang
mengakibatkan penuraman kapsul lensa anterior di tengah.
Untuk meringkas, semua teori ini menggambarkan kapsul lensa pusat anterior yang
curam selama akomodasi.
Epidemiologi
Onsetnya biasanya sekitar usia 40 tahun; ini adalah kelompok yang paling aktif
secara ekonomi. Di negara berkembang, mayoritas presbyop tidak mendapatkan
koreksi presbyopia, karena kurangnya kesadaran dan juga keterjangkauan yang
buruk. Bahkan di negara maju, jumlah presbyop yang tidak menggunakan kacamata
presbyopia jauh lebih tinggi. Dalam sebuah penelitian di Amerika Serikat, gangguan
penglihatan dekat presentasi (PNVI) tercatat pada 13,6% peserta, dan 25,9% peserta
memiliki gangguan penglihatan dekat fungsional (FNVI). Dalam studi lain, Survei
Kesehatan Mata Nasional Australia, PNVI ditemukan 21,6% di antara non-pribumi
Australia dan 34,7% di antara penduduk asli Australia.
Patofisiologi
Biasanya, nukleus lebih kaku daripada korteks pada lensa yang lebih tua,
sedangkan pada individu muda, korteks lebih kaku daripada nukleus. Namun, kekakuan
nukleus dan korteks sama antara 35 hingga 40 tahun; dan ini mungkin penyebab
timbulnya gejala presbiopik sekitar usia 40 tahun. Faktor penting lainnya yang
dikaitkan dengan presbiopia adalah perubahan relatif dalam bentuk lensa dengan
bertambahnya usia (peningkatan ketebalan lensa), sehingga gaya vektor yang diberikan
oleh zonula di ekuator menyebar ke wilayah yang lebih luas di sekitar ekuator. Ini
menghasilkan efek minimal pada bentuk lensa dengan kontraksi zonular dan relaksasi.
Diagnosis
Gejala lain termasuk keterlambatan fokus pada jarak dan jarak, menyipitkan
mata, mengantuk saat berada di dekat tempat kerja, dan kebutuhan cahaya terang
untuk membaca. Pekerja yang terlibat aktif dalam bisnis menjahit mengalami kesulitan
memasukkan benang ke dalam jarum.
Pemeriksaan penunjang
Dalam presbiopia, kami mencatat bahwa titik dekat akomodasi (NPA) surut di
luar jarak membaca biasanya. Menggunakan aturan Royal Air Force (RAF), NPA
dihitung dan karenanya amplitudo akomodasi. Amplitudo akomodasi menurun dengan
bertambahnya usia.
Perawatan / Manajemen
Opsi Non-bedah
1. Kacamata: Lensa penglihatan tunggal adalah pilihan yang relatif lebih murah. Pasien
dapat membaca dengan nyaman di dekat; Namun, seseorang membutuhkan kaca jarak
jauh yang terpisah jika ia juga memiliki kesalahan bias untuk jarak. Lensa bifokal sangat
membantu, terutama jika orang tersebut memiliki kelainan refraksi untuk jarak dan
presbiopia. Namun, lensa bifokal lebih mahal daripada lensa penglihatan
tunggal. Bifocal mengoreksi jarak dekat maupun jarak; namun, penglihatan menengah
tidak terpengaruh dan kabur. Untuk memperhitungkan masalah penglihatan kabur
pada jarak menengah, lensa progresif diperkenalkan. Lensa progresif dianggap yang
paling mahal dari semuanya. Namun, kualitas penglihatan lebih baik dengan lensa
progresif, dan durasi penggunaan kacamata meningkat dari 40% menjadi 60% selama
jam kerja. Baik kacamata bifokal dan progresif awalnya tidak dapat ditoleransi dengan
baik dan dapat menyebabkan mual dan pusing. Karena perubahan kualitas penglihatan
di persimpangan lensa, pasien mungkin mengalami kesulitan menilai kedalaman saat
berjalan. Namun, dengan penggunaan terus menerus, gejala hilang selama 2 sampai 3
minggu.
Fused bifocal: Kurva depresi pada kaca mahkota dilengkapi dengan tombol batu
api.
Keuntungan lensa Kryptok adalah transisi tidak terlihat dari luar, berbeda
dengan D-seg, di mana segmentasinya dibatasi dengan sangat baik. Begitu. itu secara
kosmetik lebih baik; namun, lompatan gambar dapat terjadi dengan semua desain ini.
Opsi Bedah
2. Prosedur skleral: Ada berbagai prosedur ekspansi skleral dengan anulus PMMA ke
dalam sklera yang menutupi otot siliaris, yang menjanjikan untuk mengoreksi
presbiopia. Implan scleral diusulkan untuk bekerja dengan menyebabkan ekspansi
skleral di atas otot siliaris, sehingga memulihkan kontraksi dan akomodasi otot
siliaris. Pemotongan radial scleral (posterior) di atas sklera juga dikatakan memiliki
tujuan yang sama, dengan mekanisme yang sama. Namun, datanya belum cukup dan
meyakinkan.
3. Monovision dengan implan intraokular: Pilihan ini bermanfaat bila pasien menderita
presbiopia dan ametropia dengan derajat yang lebih tinggi.
4. Lensa intraokuler phakic termasuk lensa ruang anterior (penopang sudut dan iris-
claw) dan lensa ruang posterior. Hari-hari ini tersedia lensa multifokal yang
mendukung sudut ruang anterior, yang tidak hanya mengoreksi jarak dekat tetapi juga
mengoreksi ametropia.
5. Ekstraksi lensa bening diikuti dengan implantasi IOL untuk koreksi presbiopia dan
ametropia telah populer. Astigmatisme rabun terencana setelah operasi katarak
memberikan beberapa akomodasi semu. Monovision dengan monofocal IOL adalah opsi
yang valid; namun, hasil visual lebih rendah daripada IOL multifokal. Lensa multifokal
trifokal memberikan ketajaman visual yang lebih baik pada jarak menengah
dibandingkan dengan lensa multifokal bifokal. Belakangan ini, lensa quadrifocal dan
lensa fokus dengan kedalaman diperpanjang juga telah dikembangkan. Namun,
kehilangan cahaya adalah masalah utama lensa multifokal.
Tersedia desain IOL asimetris yang mengklaim memiliki sensitivitas kontras yang sama
dengan lensa mono-focal. Di sini zona berbentuk sektor ditempatkan secara inferior,
yang berfungsi untuk koreksi dekat.
Diagnosis banding
Hipermetropia
Astigmatisme
Prognosa
Komplikasi
STRABISMUS
Strabismus adalah deviasi salah satu atau kedua bola mata dari posisi
normalnya, sehingga seseorang sulit untuk mengarahkan kedua bola mata secara
simultan saat hendak memfokuskan pandangan pada sebuah objek. Normalnya, kedua
mata memiliki kedudukan yang sama (orthophoria) dan bergerak secara simultan
sehingga bayangan objek (target visual) jatuh pada fovea. Strabismus dapat mengenai
satu mata (unilateral) maupun kedua mata (bilateral).
Epidemiologi Strabismus
Berdasarkan data epidemiologi, strabismus sering terjadi pada anak berusia di
bawah 6 tahun, dengan puncak awitan usia 3 tahun. Strabismus juga dapat terjadi pada
orang dewasa, dengan rerata usia 40-50 tahun.
Global
Prevalensi strabismus pada populasi umum adalah 0,3-7,6%, variasi ini
tergantung dari negara, etnis, dan kelompok usia. Pada anak berusia 4-10 tahun,
prevalensi global strabismus mencapai 2-4%. Pada orang dewasa berkisar antara 4-
5,6%. Pada lansia berkisar 0,68%.
Pada populasi anak-anak, esotropia merupakan bentuk yang lebih sering ditemukan.
Pada usia 55-75 tahun, eksotropia merupakan bentuk yang lebih sering ditemukan.[39]
Indonesia
Data mengenai epidemiologis strabismus di Indonesia masih sangat terbatas, namun
sudah ada beberapa penelitian yang meneliti mengenai strabismus di Indonesia. Salah
satunya adalah studi yang dilakukan di RSUP M. Djamil Padang pada bulan Januari
sampai dengan Desember 2017, dimana didapatkan 91 pasien dengan strabismus
horizontal.
Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yani et al. di RSUP
Sanglah, Bali ditemukan bahwa prevalensi strabismus pada pasien
dengan retinoblastoma (N=59 responden) mencapai 4%.
Etiologi Strabismus
Etiologi strabismus dibagi menjadi primer dan sekunder (didapat). Etiologi
strabismus primer kebanyakan bersifat idiopatik atau karena sindrom kongenital
tertentu. Sedangkan strabismus sekunder adalah strabismus yang didapat karena
kondisi medis lain, seperti kelumpuhan saraf kranial, trauma, space occupying
lesions (SOL), dan gangguan refraksi.
Strabismus pada orang dewasa juga dapat terjadi karena bawaan dari kecil
akibat strabismus yang bertahan akibat tidak diterapi maupun yang rekuren.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab trauma tersering pada strabismus
sekunder orang dewasa (85%).
Strabismus yang terjadi karena trauma, penyakit neurologis, stroke, atau SOL
intrakranial perlu ditangani secepatnya.
Tabel 1. Etiologi Strabismus
Strabismus Primer
1. Idiopatik
2. Anomali kongenital, seperti anomali kraniofasial
Strabismus Sekunder
1. Penuaan
2. Ambliopia
3. Kehilangan penglihatan (kebutaan)
4. Penyakit endokrin dan neurologis, seperti Graves disease, stroke, dan
kelumpuhan saraf kranial
5. Trauma
6. Space occupying lesions (SOL)
Cortical Visual Impairment (CVI)
Cortical Visual Impairment (CVI) adalah gangguan pada jaras visual atau korteks
oksipital untuk memproses penglihatan, sehingga interpretasi objek sulit dilakukan.
Pada keadaan ini, visual behavior normal sampai melebihi usia 6 bulan.
Seringkali CVI terjadi karena adanya gangguan perinatal pada korteks oksipital,
seperti hidrosefalus, trauma, kelainan kongenital, dan kejang. Strabismus terjadi pada
73% pasien dengan CVI.
Anomali Kraniofasial
Gangguan pertumbuhan dan pembentukan tulang tengkorak menyebabkan
terjadinya anomali kraniofasial pada anak. Strabismus terutama terjadi karena
gangguan yang melibatkan struktur orbita. Gangguan ini dapat mempengaruhi posisi
bola mata dan fungsi otot ekstraokular, dengan merubah posisi insersi otot atau
mengganggu persarafan otot ekstraokular.
Massa Rongga Orbita
Massa pada rongga orbita akan menyebabkan gangguan anatomi dan letak otot
ekstraokular karena ada desakan oleh massa. Massa dapat terbentuk karena adanya
neoplasma, lesi vaskular (seperti aneurisma), infeksi, atau inflamasi.
Trauma
Trauma baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan
perdarahan intraorbita maupun gangguan anatomi otot-otot ekstraokular. Trauma yang
dimaksud antara lain seperti trauma penetrasi, perdarahan pada sekitar otot
ekstraokular, serta fraktur tulang penyusun rongga orbita karena trauma tumpul.
Pertambahan usia
Faktor predisposisi untuk penyakit kardiovaskular, stroke, dan kelumpuhan saraf
kranial, misalnya gaya hidup, stress, kurangnya aktivitas fisik, dan penyakit kronis
seperti hipertensi
Gangguan refraksi seperti miopia
Penyakit autoimun
Tumor intrakranial
Patofisiologi Strabismus
Patofisiologi strabismus dipengaruhi oleh aspek-aspek anatomi (seperti otot
ekstraokular) dan fisiologis dari penglihatan. Strabismus terjadi ketika ada deviasi bola
mata dari posisi normalnya. Hal ini mengakibatkan seseorang sulit untuk mengarahkan
kedua bola mata secara simultan saat proses melihat.
Fovea merupakan lokasi di retina yang memiliki ketajaman visual paling tinggi
karena tingginya densitas fotoreseptor di titik ini. Secara fisiologis, sistem penglihatan
akan berusaha agar benda yang ingin difokuskan jatuh pada fovea atau dekat fovea (≤ 3
derajat dari fovea). Area di luar ini memiliki ketajaman visual yang lebih rendah.
Semakin jauh dari fovea, ketajaman visual akan menurun.
Saat melihat dekat, mata melakukan refleks akomodasi, yang terdiri dari gerakan
konvergen, konstriksi pupil, dan perubahan diameter anteroposterior lensa. Gerakan
konvergen sebagai bentuk akomodasi (accommodative convergence/AC) akan
memberikan tambahan kekuatan dioptri untuk melakukan akomodasi (A). Hubungan
keduanya dinyatakan dengan rasio AC/A, ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian
diagnosis.
Fusional Vergence
Komponen sensorik: hubungan kedua titik yang sama di retina kedua mata sampai
terjadinya proses fusi (penglihatan binokular)
Komponen motorik: gerakan vergence yang memastikan bayangan yang sama jatuh
pada titik yang sama di retina dan dipertahankan
Stereopsis: kemampuan persepsi binokular mengenai kedalaman dan bentuk 3
dimensi objek yang dilihat. Kemampuan ini tidak akan tercapai apabila proses fusi
tidak terjadi.
Gangguan persarafan, struktur, atau fungsi otot ekstraokular serta perkembangan
anatomi otot-otot ekstraokular menyebabkan terjadinya strabismus.
Faktor Mekanik
Faktor neuronal yang dimaksud meliputi otak, nukleus saraf kranial, serta saraf
kranial yang mengontrol otot-otot ekstraokular. Adanya lesi yang melibatkan area
tersebut akan menyebabkan gangguan persarafan otot-otot ekstraokular sehingga
kontraksi otot terganggu, termasuk gerakan akomodasi untuk melihat dekat
(konvergen) dan jauh (divergen).
Strabismus pada anak juga dapat terjadi apabila terdapat gangguan penglihatan
pada salah satu mata, misalnya katarak kongenital, sehingga mata akan
mengkompensasi penglihatan dengan menggerakan mata yang sehat secara involunter
ke tengah, sering menyebabkan esotropia.
Strabismus pada Orang Dewasa
Pada early onset strabismus (< 2 tahun), penglihatan binokular dan kemampuan
stereopsis belum terbentuk dengan baik, sehingga “seolah-olah” pasien hanya melihat
dengan satu mata karena pandangan dari mata yang deviasi akhirnya diabaikan.
Sementara itu, pada orang dewasa perkembangan normal dan persepsi visual sudah
matur, sehingga otak tidak dapat menghiraukan input visual dari mata yang deviasi,
maka keluhan diplopia lebih sering terjadi pada orang dewasa.
Strabismus pada orang dewasa dapat terjadi sebagai lanjutan dari strabismus
pada masa kanak-kanak yang tidak diobati atau berulang (60%), trauma, maupun
gangguan persarafan pada otot-otot ekstraokular yang menyebabkan kelumpuhan
ataupun spasme. Gangguan persarafan dapat terjadi pada sistem saraf perifer maupun
pusat.
Strabismus juga dapat terjadi seiring dengan proses penuaan, dimana terjadi
kelemahan otot karena denervasi ataupun atrofi otot. Keadaan ini juga mempengaruhi
posisi bola mata. Pada lansia dapat terjadi sagging eye syndrome (SES), yang disebabkan
karena involusi jaringan penyambung dan memberikan komplikasi strabismus
horizontal maupun vertikal.
Pseudostrabismus
Pseudostrabismus adalah kondisi dimana posisi mata adalah normal, namun
struktur wajah tertentu menyebabkan orang tersebut seolah-olah mengalami
strabismus, misalnya pada telecanthus atau mereka yang memiliki epicanthal folds yang
menghalangi sklera bagian nasal.
Pseudostrabismus sering terjadi pada bayi dan anak-anak. Beberapa studi
menyatakan bahwa sebanyak 9,6-19% pasien yang dinyatakan pseudostrabismus
menjadi strabismus di kemudian hari. Patofisiologi yang mendasari hal ini belum jelas.
Bisa jadi hal ini karena saat dilakukan pemeriksaan anak tersebut sebenarnya memang
mengalami strabismus tetapi dinyatakan pseudostrabismus.
Kemampuan untuk melakukan fiksasi pada objek tertentu dan mengikuti objek
pada gerakan horizontal didapatkan pada saat neonatus, kemudian gerakan vertikal
didapat pada saat berusia 2 bulan. Kemampuan tracking menjadi matur pada usia 1
tahun. Kemampuan untuk melakukan fusi gambar (penglihatan binokular) yang didapat
dari kedua mata terjadi pada bulan pertama kehidupan dan matur pada usia 5-6 tahun.
Perkembangan visual terjadi dengan sangat cepat pada tahun pertama
kehidupan, namun menjadi sempurna pada usia 5-6 tahun. Gerakan mata yang
terkoordinasi dan gerakan paralel kedua mata penting untuk mendapatkan penglihatan
binokular. Hingga usia 6 tahun, deviasi bola mata dapat terjadi sesekali karena proses
fusi belum matur.
Diagnosis Strabismus
Diagnosis strabismus dapat ditegakkan secara klinis. Strabismus dapat
diklasifikasikan menjadi deviasi manifes (-tropia) dan laten (-phoria). Strabismus
manifes memberikan gambaran klinis yang jelas pada saat kedua mata dibuka dan akan
bergerak secara involunter setelah mata yang sehat ditutup (cover test). Sementara itu,
pada strabismus laten, gambaran klinis tidak selalu terlihat, tetapi dapat terinduksi
dengan melakukan alternate cover test.
Eksotropia dan esotropia dapat terjadi secara intermiten. Istilah intermiten ini
didapatkan pada keadaan dimana sebenarnya pasien dapat mempertahankan posisi
bola mata tanpa deviasi, namun pada keadaan tertentu, seperti stress atau sakit, deviasi
bola mata dapat terlihat.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik strabismus, perlu diperhatikan tanda bahaya,
yaitu:
Diplopia merupakan salah satu keluhan yang sering ditemukan pada strabismus,
terutama pada orang dewasa. Diplopia dapat horizontal maupun vertikal dan
memberikan petunjuk mengenai arah strabismus.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada strabismus diawali dengan inspeksi untuk melihat
adanya deviasi pada salah satu atau kedua mata, inspeksi refleks cahaya pada
kornea, red reflex dan papiledema, bentuk muka dismorfik, dan postur kepala yang
abnormal. Pemeriksaan visus juga penting dilakukan mengingat kemungkinan
komplikasi ambliopia atau penurunan ketajaman penglihatan pada mata yang
mengalami defek.
Pemeriksaan fisik juga dilakukan sambil melihat jenis strabismus,
apakah concomitant atau incomitant. Hal ini dilakukan dengan melihat pergerakan bola
mata ke berbagai arah pandangan. Strabismus incomitant merupakan salah satu tanda
yang tidak boleh dilewatkan karena sering disebabkan oleh kelemahan atau paralisis
otot-otot ekstraokular.
Pergerakan bola mata juga memberikan petunjuk mengenai adanya paralisis
maupun restriksi (trapping atau pemendekan otot) yang kemungkinan disebabkan
karena trauma okuli, inflamasi orbital, atau tumor orbita.
Kelumpuhan saraf kranial memerlukan pemeriksaan pencitraan kepala
secepatnya untuk mengeksklusi adanya keadaan patologis intrakranial, seperti massa
intrakranial dan aneurisma.
Cover Test
Cover test dilakukan pada jarak dekat dan jauh dengan atau tanpa kacamata saat
pasien melakukan fiksasi pada target tertentu, misalnya tulisan atau boneka. Salah satu
mata akan ditutup dengan penutup selama beberapa detik dan mata yang dibuka akan
diobservasi. Pemeriksaan ini melihat adanya deviasi manifest (-tropia) pada mata, serta
arahnya.
Normalnya, dengan menutup mata secara bergantian, bola mata akan tetap
terfiksasi dan tidak bergerak (orthotropia). Pada mata yang eksotropia, penutupan
mata yang normal akan menyebabkan mata bergerak ke arah dalam untuk melakukan
fiksasi. Sebaliknya, pada mata yang esotropia, akan bergerak ke arah luar untuk
melakukan fiksasi. Tes ini dilakukan pada kedua mata.
Anak dengan strabismus dapat datang dengan posisi kepala yang abnormal,
seperti torticollis karena kecenderungan untuk memiringkan kepala ke satu sisi. Pada
keadaan ini, patch test dilakukan untuk mengetahui apakah torticollis yang terjadi
disebabkan oleh strabismus, bukan penyebab lain. Torticollis pada strabismus akan
membaik dengan melakukan patching pada salah satu mata.
Accommodation-Convergence Relationship (AC/A)
Tentunya pada mata yang deviasi, kemampuan konvergen akan berbeda dengan
mata yang memiliki kedudukan yang sama. Pada eksotropia, jarak antar pupil lebih
jauh, sehingga nilai rasio AC/A lebih rendah. Pada esotropia, jarak antar pupil lebih
dekat, sehingga nilai rasio AC/A lebih tinggi.
Prism cover test merupakan baku emas untuk menilai strabismus, namun agak
sulit dilakukan pada anak karena memerlukan kerjasama. Pemeriksaan ini juga
dilakukan postoperasi untuk melihat tolerable range pada pada koreksi yang berlebihan
atau kurang (over- atau undercorrection) untuk menghindari diplopia post-operatif.
Besarnya deviasi pada strabismus dinilai dengan prisma dioptri. Besar deviasi adalah
nilai derajat prisma dioptri (Δ) yang diperlukan untuk menetralisir deviasi. Hasilnya
dibagi menjadi 3 kelas:
Deviasi sudut kecil : ≤ 10 derajat prisma dioptri
Deviasi sedang : 11-30 derajat prisma dioptri
Deviasi sudut besar : >30 derajat prisma dioptri (untuk esotropia), >35 derajat
prisma dioptri (untuk eksotropia)
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada strabismus antara lain pseudostrabismus, diplopia monokular,
dan Convergence Insufficiency (CI).
Pseudostrabismus
Pencitraan
Pemeriksaan Lain
Penatalaksanaan Strabismus
Tujuan utama penatalaksanaan strabismus adalah memperbaiki posisi kedua
mata, sehingga memperbaiki penglihatan binokular, stereopsis, dan mengembalikan
postur tubuh. Penatalaksanaan strabismus meliputi kacamata, prisma, operasi, olahraga
melatih otot mata, dan obat-obatan. Strabismus dengan ambliopia juga dapat diterapi
dengan eye patch pada mata yang sehat.
Penatalaksanaan strabismus pada anak sebaiknya dilakukan sebelum usia 7-8
tahun, karena dapat menjadi permanen apabila dilakukan setelahnya. Hal ini karena
terganggunya perkembangan visual pada anak < 7 tahun dengan strabismus. Gangguan
penglihatan dapat terjadi karena jaras persarafan dari mata ke otak tidak terstimulasi
dengan baik. Hal ini menyebabkan gangguan persepsi “kedalaman” atau aspek 3
dimensi benda (stereopsis).
Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis dan pembedahan merupakan tata laksana yang sering
digunakan pada strabismus. Pada neonatus, strabismus akan diobservasi sampai usia 3
bulan, apabila setelah usia 3 bulan strabismus masih ditemukan, maka disarankan
untuk merujuk pasien ke dokter spesialis mata.
Kacamata
Terapi Oklusi
Terapi oklusi dilakukan dengan “menutup” (oklusi) mata yang sehat. Hasilnya
dievaluasi setelah 4 bulan dilakukan oklusi. Jika terjadi perbaikan (penurunan sudut
deviasi), maka oklusi dapat dilanjutkan dan dinilai kembali 4 bulan setelahnya. Apabila
dengan oklusi tidak ada perbaikan sampai 4 bulan, maka terapi dihentikan.
Terapi oklusi yang disarankan adalah oklusi paruh waktu secara alternatif
tergantung keadaan klinis pasien. Terapi oklusi ini diindikasikan pada mereka dengan
strabismus yang disertai dengan ambliopia, eksotropia intermittent pada anak < 2
tahun, atau pasien preoperatif karena dapat meningkatkan keberhasilan operasi.
Pembedahan
Tujuan utama dilakukan pembedahan pada strabismus adalah mengembalikan
penglihatan binokular dan memperbaiki kemampuan fusi dengan cara memperbaiki
posisi bola mata dan kemampuan motoriknya ke posisi awal atau mendekati posisi awal
tanpa membatasi pergerakan bola mata.
Indikasi
Keberhasilan Operasi
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis pada strabismus tidak selalu bermanfaat, karena
bergantung pada kondisi yang berhubungan dengan munculnya strabismus. Terapi
farmakologis yang dapat dipertimbangkan adalah neurotoksin seperti injeksi Botulinum
Toxin A (BTA) intramuskular.
Botulinum Toxin A (BTA)
Botulinum toxin A (BTA) bekerja dengan menghambat pelepasan asetilkolin dari
serat saraf kolinergik tanpa menyebabkan kerusakan pada ujung serabut saraf
myotendon. Otot ekstraokular yang terlalu aktif menyebabkan deviasi bola mata ke
arah ipsilateral otot antagonis, BTA digunakan untuk melemahkan otot ini.
Kontraksi otot terjadi dengan adanya ikatan antara asetilkolin (Ach) dengan
reseptornya pada neuromuscular junction. Dengan injeksi BTA, maka pelepasan Ach tidak
terjadi, sehingga menghambat terjadinya kontraksi otot dan terjadilah paralisis.
Paralisis yang ditimbulkan dari pemberian BTA bersifat temporer, kurang lebih 3 bulan.
Pada saat ini, otot yang berlawanan dari otot yang diinjeksi BTA menjadi mampu untuk
menggerakkan bola mata lebih bebas, sehingga terjadi perbaikan posisi mata dari yang
awalnya deviasi.
Pemberian BTA perlahan-lahan merubah dan memperbaiki posisi bola mata.
Penggunaan BTA pada otot ekstraokular ini dapat menjadi pilihan alternatif pada
penatalaksanaan strabismus orang dewasa. Pada anak, hal ini belum menjadi pilihan
utama karena belum cukup bukti ilmiah yang mendukung.
Baru-baru ini, BTA juga digunakan pada strabismus dengan deviasi sudut besar
untuk meningkatkan perbaikan post operasi. Pada strabismus sudut besar, prosedur
resesi yang dilanjutkan dengan reseksi menjadi salah satu pendekatan terapi yang
digunakan, namun hal ini berisiko menyebabkan asimetrisitas karena restriksi
pergerakan bola mata dan penyempitan fisura palpebra. Injeksi BTA mengurangi
restriksi pergerakan bola mata, sehingga memaksimalkan koreksi.
Komplikasi
Strabismus memberikan dampak psikososial bagi anak maupun orang dewasa
yang mengalaminya, seperti rasa rendah diri, kurang diterima di kelompok bermain,
persepsi kurangnya kecerdasan, gangguan hubungan interpersonal, isolasi sosial, dan
kesulitan mendapatkan pekerjaan. Hal ini terutama terjadi pada strabismus yang
mudah disadari orang awam.
Studi menunjukkan bahwa pasien dengan deviasi >25 derajat prisma dioptri
lebih sering mengalami perasaan rendah diri dibandingkan mereka yang memiliki sudut
deviasi lebih rendah. Selain itu, bukti ilmiah juga menunjukkan bahwa sejak usia < 6
tahun anak yang strabismus seringkali mendapatkan sikap yang kurang baik dari
lingkungan sekitarnya.
Ambliopia
Ambliopia adalah penurunan ketajaman visual pada salah satu atau kedua mata
karena adanya gangguan perkembangan penglihatan. Strabismus dengan deviasi ≥8
derajat prisma dioptri dari posisi primer berisiko untuk mengalami ambliopia.
Komplikasi Operasi
Infeksi post operasi dapat terjadi setelah operasi strabismus dengan insidens 1
per 1100 sampai dengan 1 per 1900 kasus. Infeksi post operasi muncul dalam
bentuk konjungtivitis, selulitis orbital atau preseptal, dan abses subkonjungtiva atau
subtenon. Gejala yang timbul antara lain kemerahan pada konjungtiva, sekret
mukopurulen, fotofobia, edema periorbita dan palpebra, nyeri tekan, nyeri dengan
pergerakan mata, demam, dan fatigue.
Peningkatan Tekanan Intraokular
Prognosis
Prognosis strabismus pada anak dan orang dewasa biasanya bergantung dari
kontrol dan penatalaksanaan yang diberikan. Pada studi yang dilakukan oleh
Hemptinne et al., kontrol keseimbangan saat berjalan membaik setelah dilakukan
operasi strabismus pada anak yang onset strabismusnya kurang dari 1 tahun. Selain itu,
pada anak yang mengalami esotropia, 3 bulan setelah operasi strabismus kemampuan
motorik mengalami perbaikan yang signifikan.
Pada anak yang datang dengan torticollis, postur kepala biasanya akan kembali
dengan sendirinya setelah dilakukan koreksi strabismus atau dengan bantuan
fisioterapi. Apabila hal ini tidak terjadi setelah koreksi strabismus, maka harus
dilakukan penatalaksanaan untuk memperbaiki tortikolis dan mencegah terjadinya
asimetris pada wajah.
Suatu studi menemukan bahwa pasien dengan strabismus dengan sudut deviasi
yang besar dapat mengalami undercorrection (25-58% untuk eksotropia, 2-20% untuk
esotropia) dan overcorrection (5-60% untuk esotropia, 0-6,7% untuk eksotropia).[52]
Pada orang dewasa, tindakan operasi memiliki hasil luaran yang lebih baik daripada
intervensi kacamata maupun terapi oklusi, hal ini karena sistem fusi yang sudah matur.
Angka keberhasilan pada operasi strabismus untuk orang dewasa pada operasi pertama
mencapai 80% dan sisanya (20%) harus menjalankan operasi kedua untuk
memperbaiki posisi bola mata.
KATARAK
Katarak adalah opasitas pada lensa yang menyebabkan penurunan jumlah atau
pembiasan cahaya yang masuk melalui media refraksi sehingga menurunkan
kemampuan penglihatan. Degenerasi adalah penyebab katarak yang paling umum,
tetapi banyak faktor lain yang dapat terlibat, termasuk trauma, toksin, penyakit
sistemik (seperti diabetes), merokok, dan kelainan herediter yang bisa menyebabkan
katarak kongenital.
Katarak terkait usia adalah penyebab umum gangguan penglihatan. Prevalensi
katarak diduga berkisar 50% pada individu usia 65-74, meningkat menjadi sekitar 70%
bagi mereka yang berusia di atas 75 tahun.
Menurut WHO, katarak bertanggung jawab terhadap 51% kebutaan dunia yang
merepresentasikan sekitar 20 juta orang. Walaupun katarak dapat ditangani dengan
pembedahan, banyak negara yang masih memiliki keterbatasan untuk pasien dapat
mengakses pembedahan, sehingga katarak masih menjadi penyebab utama kebutaan di
dunia. Seiring dengan angka harapan hidup yang semakin tinggi di dunia, jumlah orang
dengan katarak diperkirakan akan terus bertambah.
Pasien katarak biasanya datang dengan keluhan penurunan visus akibat lapang
pandang yang berkabut atau berawan. Pada pemeriksaan ditemukan kekeruhan pada
lensa dengan shadow test positif. Penatalaksanaan katarak yang paling definitif adalah
dengan tindakan operatif. Sebuah studi melaporkan bahwa penundaan lebih dari 6
bulan menyebabkan peningkatan risiko kegagalan dari tindakan operatif.
Etiologi Katarak
Etiologi katarak yang paling sering ditemukan adalah proses degeneratif, namun
banyak faktor yang juga dapat menyebabkan katarak, seperti kelainan kongenital,
faktor metabolik, trauma, toksin, radiasi, dan gelombang elektromagnetik.
Degeneratif
Katarak senilis didefinisikan sebagai katarak yang terjadi pada usia > 50 tahun,
yang tidak berkorelasi dengan trauma mekanis, kimia, ataupun radiasi. Pemecahan
agregasi protein, kerusakan membran sel fiber, defisiensi glutation, kerusakan oksidatif,
peningkatan konsentrasi kalsium, dan migrasi sel epitel lensa yang abnormal adalah
mekanisme yang dapat menimbulkan katarak senilis.
Kongenital
Faktor genetik berperan penting dalam pembentukan katarak kongenital. Hal ini
dapat disebabkan karena terdapat anomali dari susunan kromosom. Sekitar sepertiga
katarak kongenital bersifat diturunkan (herediter). Katarak ini dapat terjadi dengan
atau tanpa mikropthalmia, aniridia, degenerasi retina, dan kelainan genetik multisistem
seperti sindrom Lowe atau neurofibromatosis.
Gen PITX3, dilaporkan berperan terhadap katarak kongenital pada disgenesis
mesenkim segmen anterior. Selain faktor genetik, faktor fetal-maternal juga dapat
berperan. Malnutrisi saat kehamilan atau awal kelahiran berhubungan dengan katarak
zonular non-familial. Infeksi maternal seperti rubella, toxoplasmosis,
dan cytomegalovirus juga berasosiasi dengan katarak kongenital.
Trauma
Katarak dapat terbentuk setelah trauma tumpul maupun trauma penetrasi pada
mata yang mengarah pada kerusakan fisik dan ketidakutuhan kapsul lensa. Ketika
kapsul lensa rusak, lensa bagian dalam bengkak oleh air dan berubah menjadi putih
karena denaturasi protein. Benturan pada lensa tanpa rupturnya kapsul dapat
menimbulkan katarak subkapsular dan umumnya berbentuk bintang.
Metabolik
Katarak ini terjadi karena kelainan endokrin dan biokimia. Katarak galaktosemik
dan diabetik adalah contoh paling umum dari katarak metabolik.
Galaktosemia terjadi karena defisiensi dari galactose-1 phosphate uridyl-transferase
(GPUT) dan defisiensi galaktokinase (GK). Pada katarak galaktosemik akan terlihat
opasitas sentral berbentuk tetesan minyak.
Pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, terjadi hiperglikemia yang
berasosiasi dengan glikasi protein non-enzimatik, stres osmotik, dan stres oksidatif
pada lensa.
Obat-obatan
Walaupun jarang terjadi, katarak juga dapat disebabkan oleh penggunaan obat-
obatan. Obat yang dapat memicu katarak misalnya kortikosteroid, klorpromazin,
amiodaron, metotreksat, dan thiazide.
Steroid adalah salah satu obat yang paling sering menyebabkan katarak.
Dilaporkan bahwa penggunaan steroid berkontribusi sebesar 4,7% dari total ekstraksi
katarak.
Patofisiologi Katarak
Patofisiologi katarak utamanya adalah terjadi perubahan pada kejernihan lensa
(opasitas lensa) sehingga jumlah cahaya yang masuk melalui media refraksi berkurang
dan sulit difokuskan ke retina. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti proses
degeneratif, trauma, ataupun kelainan kongenital.
Pada awalnya lensa bersifat transparan dan berfungsi memfokuskan cahaya ke
retina. Pada katarak, terdapat agregasi protein yang memecah cahaya yang masuk, serta
terjadi perubahan struktur protein yang menghasilkan diskolorasi kuning atau
kecoklatan. Faktor yang berkontribusi untuk terbentuknya katarak adalah stres
oksidatif dari reaksi radikal bebas, kerusakan dari sinar ultraviolet, dan malnutrisi.
Peran Lensa pada Katarak
Lensa terdiri dari protein yang disebut kristalin. Kemampuan optik protein lensa
ini bergantung pada struktur dan hidrasi lensa.
Kanal protein membran berfungsi mempertahankan keseimbangan osmotik dan
ionik lensa, sedangkan sitoskeleton mempertahankan bentuk lensa. Komponen kristalin
yang berikatan dengan gugus sulfhydryl (SH-) dihindarkan dari proses oksidasi oleh
glutation konsentrasi tinggi. Kedua hal ini memberikan stabilitas pada lensa sehingga
mampu menyerap energi radiasi jangka panjang tanpa mengubah kualitas optik lensa.
Pada katarak, terjadi disrupsi baik pada struktur maupun komposisi molekuler
lensa, sehingga transparansi lensa tidak dapat terjaga. Misalnya pada katarak
degeneratif, dimana terjadi akumulasi stres oksidatif seiring bertambahnya usia diduga
menyebabkan lensa menjadi lebih rentan terhadap proses oksidatif. Proses oksidasi ini
menyebabkan agregasi protein yang puncaknya akan merusak membran sel serabut.
Klasifikasi Katarak
Katarak dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya menjadi katarak
senilis/degeneratif, katarak kongenital, katarak traumatik, katarak sekunder, dan
katarak yang diinduksi obat.
Katarak Senilis
Mekanisme pasti dari katarak senilis masih belum diketahui. Beberapa studi
menduga adanya keterkaitan antara faktor genetik dengan kerentanan seseorang
menderita katarak. Polimorfisme gen GSTM1 dan GSTT1 diduga berhubungan dengan
timbulnya katarak senilis.
Selain daripada itu, stres oksidatif juga diduga berperan dalam patofisiologi
katarak senilis. Stres oksidatif diduga menyebabkan agregasi protein yang merusak
membran sel serabut dan menimbulkan opasitas lensa.
Katarak Kongenital
Katarak kongenital merupakan suatu keadaan yang berpotensi menghambat
perkembangan visual anak dan dapat menyebabkan kebutaan permanen. [8] Defek
pada kromosom dapat menyebabkan terjadinya katarak karena gangguan saat proses
pembentukan lensa, contohnya pada sindrom Down, Edward, atau Patau.
Sebuah studi melaporkan bahwa katarak kongenital diturunkan berdasarkan
pola autosomal dominan yang dipengaruhi oleh infeksi virus Rubella. Selain daripada
itu, katarak kongenital juga dikaitkan dengan fever-related maternal
condition walaupun mekanisme pastinya belum diketahui.
Katarak Traumatik
Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh cedera pada lensa karena
benda asing atau trauma tumpul bola mata. Kebanyakan katarak traumatik dapat
dicegah. Dalam industri, keamanan yang terbaik adalah memakai kacamata pelindung
ketika bekerja. Gambaran umum katarak traumatik adalah ditemukan bentuk seperti
bintang di lensa posterior.
Katarak Sekunder dari penyakit intraokular
Katarak dapat berkembang sebagai efek langsung dari penyakit intraokular,
seperti pada uveitis rekuren berat. Katarak biasanya dimulai di daerah subkapsular
posterior dan akhirnya dapat melibatkan seluruh struktur lensa.
Penyakit intraokular yang umumnya terkait dengan perkembangan katarak
adalah uveitis kronis atau berulang, glaukoma, retinitis pigmentosa, dan ablasi retina.
Prognosis visualnya tidak sebagus katarak senilis.
Katarak yang Terkait Penyakit Sistemik
Katarak bilateral terjadi pada banyak gangguan sistemik termasuk diabetes
mellitus, hipokalsemia, distrofi miotonik, atopik dermatitis, galaktosemia, dan sindrom
Down. Katarak pungtata sering ditemukan sebagai komplikasi okular dari diabetes
mellitus.
Katarak yang Diinduksi Obat
Kortikosteroid yang diberikan dalam jangka waktu lama, baik secara sistemik
(oral atau inhalasi) atau dalam bentuk tetes, dapat menyebabkan kekeruhan lensa. Obat
lain yang berhubungan dengan katarak termasuk fenotiazin dan amiodaron.
Diagnosis Katarak
Diagnosis katarak dapat dibuat dengan mendeteksi penurunan visus yang tidak dapat
diperbaiki dengan koreksi refraksi dan pemeriksaan mata didapatkan opasitas pada
lensa.
Anamnesis
Penurunan tajam penglihatan adalah keluhan utama paling sering yang
dikemukakan pasien katarak. Pasien juga dapat mengeluhkan penglihatan yang
berawan atau berkabut. Dalam anamnesis pasien wajib ditanyakan faktor risiko yang
berhubungan dengan pembentukan katarak seperti:
Usia >65 tahun
Diabetes melitus
Kondisi metabolik atau herediter tertentu (seperti penyakit wilson, galaktosemia,
distrofi miotonik, sindrom marfan)
Penggunaan jangka panjang kortikosteroid
Merokok
Paparan jangka panjang sinar ultraviolet
Riwayat trauma pada mata.
Presentasi klasik dari katarak meliputi penurunan tajam penglihatan secara
bertahap selama bertahun-tahun yang mungkin lambat terdeteksi oleh pasien.
Pasien dapat mengeluhkan pandangan terasa kabur atau silau saat terkena
lampu sorot. Hal ini disebabkan oleh pecahnya cahaya yang masuk melalui pupil oleh
lensa yang keruh.
Pasien dengan katarak sklerotik nukleus juga dapat melaporkan resep kacamata
yang tidak sesuai. Penebalan lensa membuat kekuatan refraksi meningkat sehingga
dapat menambah myopia pada pasien.
Pemeriksaan fisik
Pada pasien katarak, hal pertama yang dilakukan adalah menilai tajam
penglihatan menggunakan Snellen Chart. Untuk membedakan apakah penurunan tajam
penglihatan disebabkan oleh katarak atau gangguan refraksi, dapat dilakukan pinhole.
Jika saat digunakan pinhole tajam penglihatan membaik, maka kemungkinan penurunan
visus disebabkan oleh gangguan refraksi. Pada katarak yang cukup tebal, akan
didapatkan shadow test positif.
Tekanan bola mata juga harus diukur dengan tonometri, karena pada lensa
katarak bagian anteroposterior lensa lebih memanjang sehingga penekanan ke arah
anterior sering terjadi. Hal ini dapat meningkatkan tekanan bola mata.
Selain daripada itu, lakukan pemeriksaan menggunakan slit lamp untuk melihat
struktur, ketebalan, dan lokasi kekeruhan pada lensa, serta menyingkirkan adanya
diagnosis banding dengan mengeliminasi penyebab buram oleh kornea, iris atau bilik
anterior.
Pada anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dengan pemeriksaan slit-
lamp, observasi dan perbandingan reflex merah menggunakan oftalmoskop direk dapat
membantu menilai derajat keparahan katarak. Selain itu, pemeriksaan oftalmoskopi
direk maupun indirek dapat membantu mengevaluasi integritas dari polus posterior.
Kelainan pada nervus optikus dan retina dapat mempengaruhi prognosis pasien setelah
ekstraksi lensa.
Diagnosis banding
Diagnosis banding katarak meliputi:
Kelainan Refraksi
Dapat dibedakan dengan katarak dengan tanda tajam penglihatan meningkat
menjadi normal dengan koreksi kacamata. Tes menggunakan pinhole dapat membantu
membedakan penurunan visus akibat gangguan refraksi dengan gangguan lainnya.
Dry Eyes Syndrome
Dibedakan dengan katarak menggunakan setetes fluorescein dan menghitung
waktu pemecahan air mata yang mengukur tingkat stabilitas dari lapisan air mata
preokular dan kemungkinan xerophtalmia. Hasil dengan xerophtalmia cenderung tidak
normal (<7 detik).
Glaukoma
Pada glaukoma keluhan yang timbul adalah kehilangan lapang pandang perifer,
peningkatan tekanan intraokular, dan peningkatan cup and disc ratio pada
oftalmoskopi.
Edema Makula
Ditandai dengan penglihatan yang blur, didapatkan edema pada funduskopi.
Ablasio Retina
Pasien merasakan adanya kilatan cahaya dan banyak floaters berukuran kecil.
Pasien dapat merasa seperti ada "tirai" yang menutupi penglihatan.
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis katarak umumnya dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang untuk katarak hanya diperlukan pada
kondisi tertentu yang berhubungan dengan penyakit sistemik yang menyertai atau
kelainan okular lain.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi penyakit sistemik yang
mungkin menyertai katarak, seperti diabetes.
Studi membuktikan bahwa trombositopenia meningkatkan resiko perdarahan
perioperatif sehingga perlu dideteksi dan ditangani sebelum tindakan operasi.
Oftalmoskopi Direk dan Indirek
Pemeriksaan oftalmoskopi dikerjakan untuk mengevaluasi kondisi retina untuk
mengeliminasi diagnosis banding dan menentukan prognosis pasca operasi. Adanya
kelainan retina yang menyertai katarak akan memperburuk prognosis terkait visus
pasien.
Retinometri
Pemeriksaan menggunakan retinometer Heine dilakukan sebelum operasi
katarak untuk memperkirakan atau memprediksi ketajaman penglihatan pasien pasca
tindakan operatif.
Biometri
Pemeriksaan biometri dilakukan untuk menentukan kekuatan Intraocular
lens (IOL) yang akan digunakan.
Penatalaksanaan Katarak
Penatalaksanaan katarak dilakukan berdasarkan tingkat keparahan katarak dan
terganggunya kualitas hidup pasien. Saat ini tatalaksana pembedahan masih menjadi
satu satunya tatalaksana kuratif dari katarak.
Terapi farmakologi
Hingga saat ini belum ditemukan obat-obatan yang terbukti mampu
memperlambat atau menghilangkan katarak. Beberapa agen yang diduga dapat
memperlambat pertumbuhan katarak adalah penurun sorbitol, aspirin, dan vitamin C,
namun belum ada bukti yang signifikan mengenai hal tersebut.
Pembedahan
Operasi katarak dari waktu ke waktu semakin berkembang, baik dalam hal
teknik operasi, bentuk dan panjang sayatan, arsitektur luka, dan jumlah jahitan. Hal ini
ditujukan agar tercapainya prosedur operasi yang aman dan juga memiliki efektivitas
yang tinggi. Parameter keberhasilannya adalah pemulihan yang cepat, efek samping dan
komplikasi yang minimal, serta tajam penglihatan setelah operasi optimal dan stabil,
sehingga kualitas hidup pasien dapat menjadi lebih baik.
Ekstraksi Katarak Ekstrakapsuler
Operasi katarak merupakan operasi yang paling banyak dilakukan di dunia.
Metode yang pada umumnya dipilih adalah metode yang menyisakan bagian posterior
dari kapsul lensa yang disebut juga dengan ekstraksi katarak ekstrakapsular.
Insisi dibuat pada limbus atau kornea perifer, pada arah superior atau temporal.
Dibuat celah di kapsul anterior (anterior capsulorhexis), kemudian nukleus dan korteks
lensa dikeluarkan. Lensa intraokular dimasukkan kedalam kantong kapsul yang
disokong oleh kapsul posterior.
Ekstraksi Katarak Intrakapsuler
Tidak seperti ekstraksi katarak ekstrakapsuler, operasi ini membuang lensa dan
kapsul secara keseluruhan tanpa meninggalkan kapsul posterior. Operasi ekstraksi
katarak intrakapsuler diindikasikan untuk katarak hipermatur, intumescent cataract,
katarak dengan dislokasi lensa akibat zonula yang tidak stabil, dan jika fasilitas
mikroskop operasi kurang memadai. Metode ini dahulu dilakukan sebelum teknik
katarak ekstrakapsuler semakin dikembangkan.
Adapun keuntungan yang dapat diperoleh dari metode ini yaitu prosedurnya
relatif mudah, menggunakan peralatan yang sederhana dan pemulihan visus dapat
dilakukan dengan menggunakan kacamata 10 Dioptri segera setelah operasi. Sedangkan
kekurangannya adalah irisan yang besar membuat penyembuhan menjadi lebih lama,
dapat menimbulkan komplikasi iris dan vitreous inkarserata, ablasio retina, serta
mencetuskan astigmatisma.
Fakoemulsifikasi
Fakoemulsifikasi adalah teknik operasi katarak ekstrakapsular dengan
mengemulsifikasikan lensa menggunakan gelombang ultrasonik 40.000 MHz. Teknik
fakoemulsifikasi banyak digunakan saat ini.
Teknik ini menggunakan vibrator ultrasonik untuk memecah nukleus yang keras
sehingga isi nukleus dan korteks dapat diaspirasi melalui insisi kecil berukuran 2,5 - 3,0
mm. Ukuran insisi yang sama juga cukup untuk memasukkan lensa intraokuler yang
dilipat. Jika lensa intraokuler rigid digunakan, insisi harus diperpanjang hingga 5 mm.
Small Incision Cataract Surgery (SICS)
SICS merupakan suatu teknik popular saat ini. Perbedaan yang nyata antara SICS
dan ekstraksi katarak ekstrakapsuler adalah irisan operasi sangat kecil
sehingga sering tidak membutuhkan jahitan pada luka insisi. SICS juga memungkinkan
operasi dilakukan hanya dengan anestesi lokal, penyembuhan relatif lebih cepat, dan
resiko astigmatisma lebih kecil.
Komplikasi
Jika katarak tidak ditangani dan dibiarkan untuk berprogresi, katarak dapat
menyebabkan kebutaan fungsional. Operasi katarak pada umumnya dapat
mengembalikan penglihatan seperti pada saat prekatarak jika tidak terdapat proses
penyakit posterior mata lainnya.
Operasi katarak pada orang dewasa memiliki tingkat komplikasi yang rendah,
yaitu berkisar 2-5%, dan dapat menyebabkan gangguan penglihatan permanen.
Komplikasi serius yang jarang ditemukan adalah perdarahan intraokular perioperatif
(<0,5%) dan infeksi intraokuler postoperatif (endophtalmitis, 0,1%). Komplikasi
lainnya meliputi ablasio retina, edema makula cystoid, glaukoma, edema kornea, dan
ptosis.
Prognosis
Prognosis untuk pasien katarak yang menjalani operasi pada umumnya cukup
baik. Pemeriksaan mata rutin dilakukan untuk mendeteksi perkembangan katarak pada
mata yang belum terkena. Banyak pasien yang menerima lensa monofokal memerlukan
koreksi untuk mendapat ketajaman penglihatan terbaik setelah dilakukannya operasi
Prognosis visus untuk pasien katarak anak-anak yang membutuhkan operasi
tidak sebaik pasien katarak senilis. Ambliopia dan anomali saraf optik atau retina
membatasi derajat penglihatan yang dapat dicapai dalam kelompok usia ini.
Prognosis untuk perbaikan ketajaman visual buruk pada operasi untuk katarak
kongenital unilateral dan baik untuk katarak kongenital bilateral yang tidak komplit dan
progresifitas yang lambat.
Ablatio Retina
Ablatio retina (retinal detachment) adalah kondisi terlepasnya lapisan epitel
pigmen retina (retinal pigment epithelium / RPE) dari lapisan neurosensori retina pada
sisi yang lebih dalam. Ablatio retina merupakan kegawatdaruratan dalam bidang
oftalmologi dan membutuhkan penatalaksanaan segera, yaitu kurang dari 24 jam.
Ablatio retina dapat dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan patofisiologinya, yakni
ablatio retina regmatogen, ablatio retina traksional, dan ablatio retina eksudatif. Gejala
yang dikeluhkan pasien ablatio retina adalah floaters, fotopsia, penurunan tajam
penglihatan dan penyempitan lapangan pandang (seperti tertutup tirai).
Diagnosis ablatio retina adalah berdasarkan anamnesis gejala klinis dan
pemeriksaan fisik. Pada anamnesis pemeriksa perlu menanyakan durasi keluhan mata
yang dialaminya, riwayat trauma mata, riwayat operasi mata, serta riwayat penyakit
mata dan penyakit sistemik lain yang diderita. Pemeriksaan fisik mata terutama
pemeriksaan tajam penglihatan, refleks pupil, tanda trauma, pemeriksaan lapangan
pandang, tekanan intraokular, pemeriksaan mata menggunakan slit-lamp, dan
funduskopi (terutama indirek).
Indonesia
Tidak ada data epidemiologi nasional mengenai ablatio retina di Indonesia.
Sebuah penelitian di Rumah Sakit Mata Cicendo selama bulan Oktober 2015 – Maret
2016 ditemukan 77 kasus ablatio retina regmatogen, 55 pasien berjenis kelamin laki-
laki dan 22 pasien perempuan. Pasien terbanyak adalah kelompok usia 41-60 tahun
(51,95 %). Berdasarkan survey IAPB (International Agency for the Prevention of
Blindness) gangguan retina, seperti retinopati (0,13%) merupakan penyebab kebutaan
keempat di Indonesia.
Mortalitas
Ablatio retina tidak menyebabkan mortalitas secara langsung. Pada pasien-
pasien yang mengalami ablatio retina unilateral, sekitar 15% mengalami ablatio retina
mata sisi kontralateral di kemudian hari.
Ablatio retina terjadi melalui 3 mekanisme, yang membedakan ablatio retina menjadi
tipe regmatogen, traksional, dan eksudatif.
Pemeriksaan tajam penglihatan jauh dan dekat, pada ablatio retina terjadi
penurunan tajam penglihatan yang tidak dapat dikoreksi
Pemeriksaan reaksi pupil, bila ditemukan pupil dilatasi permanen dapat
menandakan trauma mata, serta positif pupil Marcus-Gunn dapat menandakan
terlepasnya lapisan retina
Pemeriksaan tekanan intraokular, dimana mata yang mengalami ablatio retina
relatif lebih rendah 4-5 mmHg daripada mata sisi yang normal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan oleh dokter spesialis mata /
Ophthalmologist, seperti pemeriksaan oftalmoskopi indirek dan biomikroskopi slit
lamp, adalah untuk visualisasi letak lepasnya retina sehingga dapat melakukan
penatalaksanaan yang sesuai. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pencitraan dan
laboratorium bila dibutuhkan.
Pemeriksaan Oftalmoskopi Indirek dengan Dilatasi Pupil
Vitrektomi pars plana dilakukan dengan mengeluarkan vitreous dari dalam bola
mata untuk kemudian digantikan dengan gas atau silicone oil. Gas atau silicone oil yang
dimasukkan ke dalam ruang bekas vitreous tadi akan berfungsi sebagai tamponade
yang menekan lapisan retina dan memungkinkan terjadinya penempelan kembali.
Tamponade gas intraokular berupa SF6 (sulfur hexafluoride), C3F8
(perfluoropropane), CF4 (carbon tetrafluoride), C2F6 (hexafluoroethane), C410
(perfluorobutane) memiliki kemampuan ekspansi yang berbeda-beda. Gas-gas tersebut
akan diabsorpsi dan digantikan dengan cairan intraokular yang diproduksi. Pasien
dengan injeksi gas intraokular membutuhkan positioning kepala tertentu pasca
pembedahan agar gas mampu menekan daerah retina yang diinginkan. Tamponade
menggunakan silicone oil membutuhkan tindakan tambahan untuk mengeluarkannya
di kemudian hari. Waktu yang dibutuhkan untuk adhesi lapisan retina rata-rata adalah
7 hari. Pada suatu penelitian didapatkan angka kejadian proliferative retinopathy setelah
tamponade gas lebih tinggi.
Tindakan vitrektomi pars plana lebih dipilih dibandingkan scleral buckling pada
kasus break retina posterior, giant retinal breaks, macular hole, sklera yang tipis, PVR
grade C dan D, pasien dengan penggunaan alat drainase glaukoma, riwayat operasi
strabismus sebelumnya, dan kekeruhan media penglihatan sehingga tidak
memungkinkan visualisasi retina perifer. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah
pembentukan katarak yang lebih cepat, peningkatan tekanan intraokular,
dan break retina iatrogenik.
Dalam tindakan vitrektomi pars plana dapat dilakukan tindakan lain seperti
endofotokoagulasi untuk membantu menghentikan perdarahan pada retina,
menangani break retina posterior, dan mengatasi neovaskularisasi pada retina. Pada
kasus ablatio retina traksional, selain vitrektomi dan injeksi gas/ silicone oil, tindakan
lain seperti membrane peeling juga dilakukan.
Kombinasi Scleral Buckling dan Vitrektomi
Komplikasi
Komplikasi ablatio retina berupa penurunan tajam penglihatan hingga lambaian
tangan (1/300) atau persepsi cahaya (1/~). Komplikasi lain adalah hipotoni bola mata,
glaukoma pigmen, neovaskularisasi iris, uveitis, dan pembentukan katarak. Pada ablatio
retina regmatogen dapat terjadi proliferative vitreoretinopathy (PVR) yang
menyebabkan pembentukan membran periretinal dan traksi. Angka kejadian PVR
sebesar 5-10% kasus ablatio retina regmatogen dan sekitar 75% pasien mengalami re-
detachment kembali setelah tindakan pembedahan.
Prognosis
Prognosis tajam penglihatan pasien ablatio retina sangat sulit diprediksi.
Keberhasilan prosedur penempelan kembali retina (reattachment) berkisar antara 77-
87% di negara berkembang. Keberhasilan tindakan pembedahan bergantung pada tipe
ablatio retina, usia pasien, dan keahlian operator. Namun, keberhasilan penempelan
kembali retina tidak selalu sebanding dengan perbaikan tajam penglihatan. Di India
80% pasien yang menjalani pembedahan ablatio retina yang berhasil
(reattachment baik) mengalami perbaikan tajam penglihatan lebih baik dari 6/60.
Hanya 55-60% kasus ablatio retina dengan prosedur pembedahan yang berhasil yang
kemudian mendapatkan tajam penglihatan yang baik.
Ablatio retina yang tidak mengenai bagian makula umumnya memiliki prognosis
penglihatan yang lebih baik. Apabila penatalaksanaan pembedahan tidak dilakukan <1
minggu setelah ablatio retina (khususnya daerah makula), penurunan tajam
penglihatan umumnya menjadi permanen. Pada kasus yang jarang sekali, penutupan
spontan break retina dapat terjadi.
PERDARAHAN VITREUS
Perdarahan vitreus adalah penyakit mata di mana terjadi ekstravasasi darah ke
vitreus (badan kaca). Normalnya vitreus adalah bagian mata yang avaskuler yang
dibatasi oleh internal limiting membrane retina di bagian posterior dan lateral, epitel
nonpigmen badan siliar di bagian anterolateral, serta zonula dan kapsul posterior lensa
kristalin di bagian anterior.
Insidensi perdarahan vitreus adalah 7 kasus per 100.000 orang penduduk per
tahun. Kejadian perdarahan vitreus banyak ditemukan pada pasien
dengan retinopati diabetik proliferatif, break retina, oklusi vena retina, posterior vitreous
detachment, dan trauma okular. Beberapa penyebab perdarahan vitreus yang lebih
jarang adalah makroaneurisma arteri retina, neovaskularisasi koroidal, gangguan
koagulasi, tumor intraokular, sindrom Terson, dan penyakit sistemik lain.
Penelitian lain di tahun 2016 di Rumah Sakit Mata Cicendo menunjukkan dari
260 pasien yang dilakukan vitrektomi dengan diagnosis perdarahan vitreus, sebesar
49,6% etiologinya adalah retinopati diabetik proliferatif. Etiologi lain yang ditemukan
adalah degenerasi makula eksudatif (13,5%), oklusi vena retina (8,8%), ablatio retina
regmatogen (6,5%), trauma (3,4%), vaskulitis (3,1%), vitreoretinopati koroid polipoidal
idiopatik (1,2%), serta jatuhnya lensa intraokular ke posterior (1,2%).
Retinopati Diabetik
Etiologi vaskular perdarahan vitreus tersering adalah retinopati diabetik
proliferatif (19,1-54,0%). Etiologi vaskular lainnya adalah oklusi retina atau vena
sentral atau cabang, retinopati proliferatif sel sabit, degenerasi makula eksudatif,
retinopati prematuritas, makroaneurisma, retinopati hipertensi, penyakit Coat,
dan congenital peripapillary arterial loops.
Vitreoretina
Etiologi vitreoretina antara lain break retina (27,0-37,3%), posterior vitreous
detachment, ablatio retina, dan komplikasi vitrektomi.
Tumor
Etiologi tumor yang dapat menimbulkan perdarahan vitreus adalah
retinoblastoma, melanoma koroid malignan, dan hemangioma kavernosa.
Trauma
Trauma berupa open atau closed globe injury dapat menimbulkan perdarahan vitreus.
Inflamasi
Proses inflamasi seperti vaskulitis, koroidopati infeksius, penyakit Behcet,
penyakit Eales, endoftalmitis, uveitis, dan retinitis sifilis dapat juga menyebabkan
perdarahan vitreus.
Kelainan Segmen Anterior
Kelainan dan manipulasi terhadap segmen anterior seperti trabekulektomi,
sindrom uveitis-glaukoma-hifema, nucleus drop, iridosiklitis Fuch, sindrom Swan dapat
menimbulkan perdarahan vitreus.
Gangguan Hematologi
Etiologi gangguan hematologi yang menyebabkan perdarahan vitreus
adalah leukemia, trombositopenia, hemofilia, dan penyakit von Willebrand.
Mekanisme Indirek
Mekanisme indirek yang dapat menimbulkan perdarahan vitreus misalnya
retinopati valsalva, shaken baby syndrome, sindrom Terson dan hipertensi intrakranial.
Faktor Risiko
Faktor risiko perdarahan vitreus adalah gangguan koagulasi sistemik dan miopia
berat. Studi terdahulu oleh ETDRS (Early Treatment Diabetic Retinopathy Study)
menunjukkan antikoagulan atau antiplatelet tidak meningkatkan risiko perdarahan
vitreus. Namun penelitian oleh Witmer et al, melaporkan bahwa pasien dengan posterior
vitreous detachment yang mengonsumsi aspirin, clopidogrel, atau warfarin lebih
mungkin menimbulkan perdarahan vitreus.
Penglihatan kabur seperti ada lapisan kemerahan (red hue vision) atau bayangan
yang menutupi
Penurunan tajam penglihatan yang berat apabila perdarahan vitreus pekat
Keluhan penglihatan kabur yang lebih buruk di pagi hari karena darah mengendap
di bagian makula saat berbaring terlentang di malam hari
Onset baru floaters
Tidak nyeri kecuali pada kasus trauma atau disertai komplikasi glaukoma akut
Hal lain yang perlu ditanyakan pada anamnesis adalah riwayat operasi
intraokular, riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, atau anemia sel sabit.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mata dari segmen anterior hingga posterior perlu dilakukan
untuk pasien yang dicurigai perdarahan vitreus. Pemeriksaan segmen anterior
menggunakan slit-lamp dapat menemukan sel darah merah di anterior vitreus,
neovaskularisasi pada iris (rubeosis iris), presipitat keratik atau cells di kamera okuli
anterior (KOA) yang berkaitan dengan proses inflamasi. Pemeriksaan refleks pupil
aferen yang positif perlu meningkatkan kecurigaan akan kelainan seperti ablatio retina,
oklusi vena retina, lesi makula, atau gangguan pada nervus optikus.
Pemeriksaan segmen posterior menggunakan oftalmoskopi dengan dilatasi pupil
dapat menemukan adanya darah pada vitreus di ruang anterohyaloid atau retrohyaloid.
Bila ditemukan posterior vitreous detachment, harus dilakukan indentasi sklera untuk
mencari ada tidaknya break atau ablatio retina. Perdarahan vitreus yang pekat (dense) di
satu mata membuat dokter sulit mengevaluasi bagian-bagian lain dari segmen posterior
dan hilangnya refleks merah fundus. Pemeriksaan mata sisi sebelahnya dapat
membantu menemukan etiologi perdarahan seperti retinopati diabetik, break retina,
vaskulitis, oklusi vena, vitreoretinopati eksudatif familial, retinoschisis, yang umumnya
dapat terjadi di kedua mata. Pada perdarahan vitreus lama, warna vitreus tampak
seperti warna khaki akibat proses lisis sel darah merah.
Hasil tajam penglihatan pasien bervariasi tergantung lokasi dan banyaknya
perdarahan pada vitreus. Pemeriksaan visus dengan koreksi refraksi terbaik perlu
dilakukan saat pemeriksaan pasien sebagai baseline saat follow up pasien nantinya.
Pemeriksaan tekanan intraokular, baik secara manual maupun dengan
tonometri, perlu dilakukan untuk pasien perdarahan vitreus. Hipotoni meningkatkan
kecurigaan adanya ablatio retina, open globe injury, atau kebocoran luka operasi.
Peningkatan tekanan intraokular berkaitan dengan glaukoma neovaskular dan tumor
intraokular. Pemeriksaan tekanan darah juga perlu dilakukan untuk pasien perdarahan
vitreus.
Diagnosis Banding
Perdarahan vitreus adalah diagnosis banding utama pasien yang datang dengan
keluhan penurunan tajam penglihatan mendadak tanpa rasa nyeri di mata. Diagnosis
banding penurunan tajam penglihatan mendadak tanpa rasa nyeri adalah ablatio retina,
oklusi arteri atau vena retina, atau neuropati optik. Diagnosis perdarahan vitreus dapat
dengan mudah ditemukan pada pemeriksaan funduskopi dengan dilatasi pupil.
Medikamentosa
Tidak ada medikamentosa topikal maupun sistemik yang terbukti efektif untuk
perdarahan vitreus. Medikamentosa disesuaikan dengan etiologi dan gejala klinis
sekunder yang ditemukan, misalnya peningkatan tekanan intraokular.
Laser Fotokoagulasi
Laser fotokoagulasi dapat dilakukan untuk kasus-kasus neovaskularisasi
proliferatif ketika bagian retina sudah dapat divisualisasi. Break retina yang tampak
pada pemeriksaan dapat diterapi dengan laser barrage. Perdarahan vitreus dari
neovaskular pada kasus retinopati diabetik proliferatif atau oklusi vena retina
membutuhkan terapi laser fotokoagulasi perifer untuk menghambat pertumbuhan
pembuluh darah baru yang rentan pecah dan menimbulkan perdarahan vitreus.
Cryotherapy
Anterior retinal cryotherapy (ARC) dapat digunakan sebagai penatalaksanaan
perdarahan vitreus baru. Cryotherapy merusak bagian sawar darah retina sehingga
dapat terjadi pembersihan darah dari vitreus. Terapi ini menimbulkan inflamasi lebih
hebat dibandingkan terapi laser fotokoagulasi, dapat memicu pembentukan fibrin
preretina, dan menyebabkan ablatio retina traksional. ARC sebaiknya dihindari pada
mata pasien yang sudah pernah menjalani terapi laser fotokoagulasi dan perdarahan
vitreus yang belum diketahui etiologinya.
Injeksi Anti-VEGF
Penatalaksanaan berupa injeksi anti-VEGF (anti-vascular endothelial growth factor)
intravitreal dilakukan pada pasien perdarahan vitreus akibat degenerasi makula
eksudatif dan retinopati diabetik proliferatif. Injeksi bevacizumab untuk kasus
perdarahan vitreus akibat retinopati diabetik proliferatif efektif mengurangi kebutuhan
vitrektomi dan meningkatkan keberhasilan laser fotokoagulasi panretinal. Namun,
injeksi anti-VEGF tersebut tidak mempengaruhi tajam penglihatan akhir pasien.
Pembedahan
Pembedahan perlu segera dilakukan pada perdarahan vitreus yang disertai
dengan ablatio retina. Vitrektomi pars plana diindikasikan untuk kondisi berikut:
Komplikasi
Komplikasi perdarahan vitreus adalah:
Prognosis
Perdarahan vitreus akibat break retina, posterior vitreous detachment, dan oklusi cabang
vena retina memiliki prognosis yang relatif baik dibandingkan perdarahan retina yang
terjadi akibat retinopati diabetik proliferatif dan degenerasi makula eksudatif.
Perdarahan vitreus nontraumatik pada anak-anak usia muda memiliki prognosis yang
lebih buruk karena tingginya insidensi ablatio retina dan tindakan enukleasi atau
eksenterasi akibat penyakit yang mendasarinya seperti retinoblastoma dan penyakit
herediter.
Tajam penglihatan pasien umumnya dapat kembali menjadi seperti sebelum
terjadi perdarahan vitreus apabila seluruh darah telah terserap dan aksis penglihatan
jernih. Pada penelitian Kim et al, karakteristik pasien perdarahan vitreus yang tajam
penglihatannya buruk pasca vitrektomi (etiologi preoperatif tidak diketahui) adalah
pasien dengan usia lanjut, tajam penglihatan preoperatif yang buruk di kedua mata, dan
degenerasi makula pada mata yang tidak dioperasi. Namun pada kasus perdarahan
vitreus lain misalnya sindrom Terson, tajam penglihatan awal saat pemeriksaan yang
buruk tidak selalu memberikan prognosis yang buruk, selama tidak ada trauma pada
jaras penglihatan.
Hasil penelitian AlHarkan et al menunjukkan untuk kasus perdarahan vitreus
anak-anak, tajam penglihatan awal saat pemeriksaan yang lebih baik sama dengan 6/60
merupakan faktor prognosis lebih baik. Tajam penglihatan kurang sama dengan 1/300
(lambaian tangan) berkaitan dengan prognosis penglihatan yang buruk. Perbaikan
tajam penglihatan pada anak-anak usia <8 tahun dengan perdarahan vitreus
dipengaruhi oleh faktor durasi perdarahan vitreus, deteksi dini dan penatalaksanaan
ambliopia, tingkat kejernihan aksis penglihatan, dan kepatuhan orang tua atau
pengasuh terhadap penatalaksanaan ambliopia untuk anak.
Vitrektomi yang dilakukan dalam durasi 90 hari pasca kejadian perdarahan
vitreus memberikan hasil akhir best corrected visual acuity (BCVA) yang lebih baik.
Perdarahan vitreus ulang dapat ditemukan pada 3 dari 10 pasien yang menjalani
vitrektomi. Perdarahan vitreus pasca vitrektomi dapat berasal dari residu darah atau
perdarahan baru yang terjadi 2-6 bulan kemudian.