Buku Metodologi Penelitian by W Gulo
Buku Metodologi Penelitian by W Gulo
Buku Metodologi Penelitian by W Gulo
Lampiran ………………………………………………………………………………….
Daftar Pustaka …………………………………………………………………… …….
KATA PENGANTAR
Orang belajar karena ingin mengetahui sesuatu. Keinginan untuk mengetahui itu
dilakukan dalam suatu proses yang sistematis, analitis, empiris, dan terkendali.
Proses yang demikian inilah yang dimaksud dengan Metodologi Penelitian
dalam buku ini.
Dalam dunia perguruan tinggi, penelitian merupakan fungsi penting yang
tidak bisa dipisahkan dari fungsi pengajaran dan pengabdian kepada
masyarakat. Ilmu pengetahuan tidak akan berkembang tanpa dukungan
penelitian. Pengalaman belajar yang diberikan kepada mahasiswa selama
beberapa tahun diperguruan tinggi tidak hanya mengkaji berbagai sumber
tertulis yang berkaitan dengan ilmu yang dipelajarinya, tetapi juga pengalaman
dalam bidang penelitian yang berhubungan dengan bidang kajiannya. Pada
akhir program studinya, mahasiswa mempresentasikan hasil penelitiannya
sendiri dibawah bimbingan seorang atau lebih dosen. Namun, penelitian itu
sendiri sering menjadi suatu tantangan yang sulit untuk diatasi. Tidak sedikit
mahasiswa yang gagal menyelesaikan studinya karena terbentur pada tugas
penelitian ini.
Buku ini disusun pertama-tama untuk membantu mahasiswa mengerjakan
tugas akhir mereka. Semula tulisan ini merupakan bahan kuliah Metodologi
Penelitian Pendidikan bagi mahasiswa FKIP Universitas Kristen Satya Wacana
sejak tahun 1979 sampai 1995 dengan bobot 4 sks, yang disusun dalam 10
modul. Salah satu syarat dalam kontrak perkuliahan ini adalah pada akhir
kuliah, mahasiswa menyerahkan sebuah makalah sebagai laporan hasil
penelitian sendiri setelah berlatih selama satu semester. Pengalaman satu
semester ini memungkinkan mahasiswa untuk menyelesaikan tugas
penelitiannya pada akhir program studi tanpa kesulitan yang berarti.
Metodologi Penelitian yang dikembangkan dalam buku ini lebih bersifat
kuantitatif sehingga bantuan dari analisis statistik sangat dibutuhkan.
Sehubungan dengan itu, kami telah menyediakan buku Dasar-Dasar Statistik
Sosial yang dapat dipergunakan untuk mendampingi buku ini terutama pada
bagian analisis hasil penelitian.
Bertitik tolak pada pemikiran bahwa penelitian merupakan sarana
pengembangan ilmu, maka buku ini pada bab I dan II diawali dengan
pembicaraan singkat tentang Hakikat Ilmu dan Penelitian, disusul dengan
Penelitian sebagai Proses Ilmiah. Bab III dan IV berbicara tentang
Konseptualisasi masalah, mulai dari merumuskan latar belakang masalahnya
sampai mengungkapkan tujuan serta hipotesis-hipotesis yang berhubungan
dengan itu. Bab V berbicara tentang Penarikan Sampel, dan bab VI tentang
Desaian Penelitian. Metode Pengumpulan Data dengan penyusunan instrumen
penelitian diuraikan di bab VII. Data-data yang telah dikumpulkan kemudian
dianalisis dalam dua tahap, yang diuraikan di bab VII tentang Analisisa
Pendahuluan atau analisis deskriftif, dan bab IX tentang Analisis Uji Hipotesis.
Bab X merupakan bab penutup yang membahas Penulisan Laporan Penelitian.
Tersusunnya semua bahan ini dalam satu buku tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak terutama teman-teman di FKIP Universitas Kristen Satya Wacana
sendiri, khususnya di Program Studi Ekonomi. Kami mengucapkan terima kasih
kepada Drs. Siliwoloe Djoeroemana, M. S. , yang telah memberikan dorongan
sejak awal kepada kami, dan kepada Drs. Kusyadi M. B. A. , Drs. Alex
Mirakaho, Drs. Harbangan Siagian, M. Ed. , Drs. Bambang Ismanto, Drs. Agus
Santoso, Drs. Cornelis Sutikno, dan Dra. Entri Sulastri G. , yang telah
memberikan masukan melalui diskusi-diskusi dan seminar-seminar di dalam
kampus. Pengalaman bersama mahasiswa FKIP khususnya Jurusan Ekonomi
(d/h PDU) telah memberikan banyak masukan dalam penulisan buku ini, dan
untuk itu kami mengucapkan terima kasih. Kepada staf Kantor Yayasan Badab
Koordinasi Lembaga Pendidikan Kristen di Indonesia (Bakor LPKI) yang telah
membantu kami untuk menyunting kembali tulisan ini, tak lupa juga kami
mengucapkan terima kasih.
Kami sendiri berpendapat bahwa lebih baik ada daripada tidak ada, dan
kalau ada, maka jadilah yang baik daripada yang jelek, dan seterusnya jadilah
yang paling baik daripada sekedar baik. Buku ini baru pada tahap pertama, yaitu
sudah ada. Kami yakin ada banyak kelemahan yang menyertai keadaan buku
ini, dan untuk itu perlu diberi kritik yang konstruktif supaya bisa jadi lebih baik
lagi.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada para pembaca dan
mereka yang menggunakan buku ini dalam berbagai tugas penelitian.
A. PENDAHULUAN
Ketika saya lulus SMA. Kepala Sekolah memberi nasehat demikian. “Barang siapa
yang merasa dirinya merasa dirinya pintas, itulah kebodohan, tetapi barang siapa
merasa dirinya bodoh, itulah kepintaran.” Nasihat ini kemudian saya pahami dalam
suatu pernyataan filsafat yang berbunyi :
Ada orang yang tahu di tahunya.
Ada orang yang tahu di tidak tahunya.
Ada orang yang tidak tahu di tahunya.
Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya.
Sedikit yang kita ketahui dari alam alam semesta ini. Paulus dalam kitab Roma
mengatakan, “ alangkah dalamnya hikmah Allah tidak terselidiki oleh manusia.”
Mengetahui bahwa masih banyak yang belum diketahui menimbulkan keinginan untuk
mengetahuinya. Pengetahuan yang diperoleh dari proses mengetahui itu akan
mengembangkan kemampuan kita dalam berinteraksi dengan dunia sekitar kita. Proses
mengetahui ini berjalan terus sepanjang hayat, sejak bayi sampai akhir hayat.
Masalah pengetahuan ini berkisar pada tiga hal, yaitu apa pengetahuan,
bangaimana mengetahui, dan untuk apa pengetahuan itu. Masalah – masalah yang
berhubungan dengan pertanyaan yang pertama (apa pengetahuan) disebut ontologis,
sedangkan masalah – masalah yang berhubungan dengan pertanyaan kedua
(bagaimana mengetahui) termasuk dalam epistemologis, dan masalah – masalah yang
berhubungan dengan pertanyan ketiga (untuk apa pengetahuan) termasuk dalam
aksiologis.1 Ketiga al ini tidak bisa lepas dari bagaimana mengetahui dan untuk apa
pengetahuan itu, dan sebaliknya.
Pengetahuan itu pada hakikatnya meliputi semua yang diketahui oleh seseorang
tentang obyek tertentu. Seseorang tentang obyek tertentu. Seseorang mengetahui apa
yang dimaksud dengan dosa, mengetahui apa yang baik dan buruk, mengetahui cara
memainkan apa gitar, mengetahui mengapa tanaman menjadi subur jika diberi pupuk,
dan sebagainya. Seorang nelayan yang tinggal di pinggir pantai mengetahui bahwa
pasang naik setiap bulan purnama, dan pasang surut setiap bulan mati. Ia memperoleh
pengetahuan ini dari pengalamannya. Pengetahuan seperti ini oleh M. Hatta disebut
pengetahuan pengalaman.2 Tetapi, ia tidak mengetahui mengapa pasang naik pada
bulan purnam dan surut pada bulan mati. Dengan kata lain, ia tidak mempunyai
pengetahuan (kmowledge) tentang ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan
yang menerangkan pengetahuan pengalaman ini. Pengetahuan ini mencakup baik
knowledge maupun science, seni, dan teknologi.
Masalah pengetahuan bukan hanya mengetahui, tetapi mengetahui yang benar.
Banyak dari pengalaman pengetahuan itu kita peroleh dari orang lain. Kalau kita
bertanya kepada seseorang di mana jalan ke rumah si A, dan ia memberi tahu kita,
maka kita bisa percaya informasi yang diberikannya itu kita adalah informasi yang
benar atau salah. Dengan kata lain, seberapa jauh kita menerimanya sebagai suatu
kebenaran. Kebenaran adalah suayu pernyataan tanpa keraguan.
Pada dasarnya ada dua cara yang dipergunakan oleh manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah manusia dengan mendasarkan diri
pada rasio, dan yang kedua mendasarkan diri pada pengalaman. Kaum rasionalis
mengembanghkan faham rasionalisme, sedangkan yang kedua mengembangkan
faham empirisme. Sesuatu yang bebar menurutr idealisme didapatkan oleh manusia
dengan cara memikirkannya. Ide bagi kaum rasionalisme itu bersifat apriori yang
mendahului pengalaman.
Bagi kaum empiris, pengetauan manusia tidak didapatkan melalui penalaran
rasional yang abstrak, tetapi melalui pengalaman konkret. Dengan mengamati gejala –
gejala alam dan gejala-gejala sosial, manusia dapat menemukan pengetahuan yang
megikuti metode induktif, dapat dissun pengetahuan yang berlaku secara umum.
Selain dari rasio dan pengalaman, pengetahuan yang benar dapat pula diperoleh
melalui intuisi ata wahyu. Namun intusisi ini bersifat personal dan tidak bisa diramalkan,
sehingga tidak dapat dipergunkan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara
teratur. Masalah pengetahuan tidak hanya mendapatkan pengetahuan, tetapi
mendapatkan pengetahuan yang benar. Kriteria kebenran itu sendiri tidak mutlak,
berbeda – beda menurut waktu, tempat, dan orang. Ketika Galileo Galilei menyatakan
pada abad ke – 12 bahwa bumi ini bulat dan berputar mengelilingi matahari, para
penguasa menganggapnya sebagai ajaran sesat yang harus cepat – cepat dihilangkan
agar tidak menyesatkan masyarakat. Tetapi, beberapa abad kemudian, orang yang
mengatakan bahwa bumi ini tidak bulat dan tidak mengelilingi matahari dianggap
sebagai orang yang paling bodoh. Contoh ini menunjukkan bahwa kebenaran itu
bersifat tentative.
Pernyataan tentang apa yang dianggap sebagai suatu kebenatan itu dilakukan
melalui suatu proses penalaran. Proses ini bertitik tolak pada postulat – postulat
tertentu tentang ap yang diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian. Penaran
silogisme, misal, bertitik tolak pada suatu premis mayor dan suatu premis minor.
Premis mayor adalah suatu pernyataan yang berlaku umum dengan kebenaran yang
tidak perlu dibuktikan. Contohnya :
Pernyataan “Suharto mati” adalah benar, jika kita dapat membuktikan bahwa
suharto adalah manusia dan bahwa manusi mati adalah benar.
Kecuali postulat sologisme, dikenal pula postulat – postulat lain sperti postulat
keajengan, postulat sebab akibat. Matahari terbit di sebelah timur adalah postulat
keajengan karena kita meyaksikan bahwa di sepanjang hidup kita matahari selalu terbit
disebelah timur.
2. Proposisi
proposisi adalah pernyataan tentang hubungan antara dua konsep atau lebih. Jika
harga suatu barang naik, maka permintaan berkurang. Harga dan permintaan adalah
dua konsep yang dihubungakan dengan jika … maka … Pernyataan ini adalah
proposisi, atau dalam ilmu ekonomi disebut hukum ekonomi. Hubungan di antara kedua
konsep itu bermacam–macam, ada hubungan kausal (sebab akibat), ada hubungan
korelasional (positif dan negatif), ada hubungan fungsional.
Proposisi merupakan bahan untuk membentuk teori, dan membutuhkan konsep
sebagai bahan bakunya. Suatu proposisi mempunyai makna teoritis jika ia dibentuk
dari konsep-konsep kunci suatu disiplin ilmu pengetahuan. Setiap disiplin ilmu memiliki
konsep kunci. Di dalam ilmu pendidikan misalnya, kita mengenal konsep-konsep:
belajar, minat, stimulus, motivasi, dan sebagainya. Dalam ilmu ekonomi kita mengenal
konsep-konsep: kebutuhan, produksi, komsumsi, distribusi, investasi, dan sebagainya.
3. Konsep
konsep merupakan bahan baku ilmu pengetahuan. Dari konsep dibentuk proposisi, dan
proposisi itu membentuk teori, Nan lin merumuskan konsep sebagai :
konsep adalah istilah atau simbol yang membentuk pada suatu pengertian tertentu.
Rambu-rambu lalu lintas adalah simbol, dan simbol itu menunjuk pada suatu pengertian
tertentu yang perlu dipahami dan dipatuhi sebagai suatu peraturan. “Sekolah adalah
istilah ini mengingatkan kita pada sesuatu yang konkret seperti gedung, guru, murid,
pelajaran, dan sebagainya. “Wawewo” juga sebuah istilah, tetapi istilah ini tidak
mengandung makna, tidak menunjuk pada suatu pengertian, karena itu ia bukan
konsep.
Konsep adalah sesuatu yang abstrak tetapi menunjuk pada sesuatu yang konkret.
Abtraksi suatu konsep itu bertingkat-tingkat, ada yang abtraksinya sangat tinggi, ada
yang rendah. Misalnya, “minat” adalah suatu konsep yang sukar dicarikan hal-hal
konkret sebagai penunjuknya, tetapi “kursi” adalah konsep yang sangat mudah
dihubungkan dengan hal-hal yang konkret. Konsep-konsep yang dimiliki oleh ilmu
pengetahuan mempunyai sifat abtraksi yang sangat tinggi. Konsep seperti ini oleh
kerlinger construct7 atau konsep nominal/
Construct atau konsep nominal adalah konsep yang bersifat umum, yang
pengertiannya tidak terikat pada waktu dan tempat. Arti dari konsep seperti itu dapat
ditemukan dalam buku teks, kamus, atau eksiklopedia. Tetapi, ada juga konsep yang
pengertiannya dibatasi dalam suatu populasi tertentu di suatu tempat tertentu, misalnya
“motivasi belajar mahasiswa di Indonesia.” Motivasi adalah konsep yang bersifat
umum, tetapi motivasi belajar mahasiswa di Indonesia adalah konsep yang hanya
berlaku pada populasi mahasiswa di Indonesia. Kerlinger menamakan motivasi itu
denan construct, sedangkan motivasi belajar mahasiswa dinamakan konsep.
Hubungan anatara konsep, proposisi, dan teori ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Proposisi
Konsep
Gambar 1.1
? ! ? !
Gambar 1.2
Jadi, hakikat metodologi penelitian tidak terletak pada apa yang kita ketahui (atau
pengetahuan), tetapi pada bagaimana kita mengetahui, walaupun pengetahuan dan
cara mengetahui adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kalau kepada Anda
ditanyakan bagaimana bentuk planet bumi kita ini, tentu Anda menjawab bahwa bumi
ini bentuknya bulat. Itu adalah pengetahuan Anda tentang bumi. Tetapi, kalau ditanya
bagaimana Anda mengetahu bahwa bumi ini bulat, maka masalahnya menjadi lain. Ini
adalah masalah metodologi. Cara menegtahui inilah yang menjadi pokok pembicaraan
dalam metodologi penelitian.
Berbicara tentang bagaimana kita mengetahui sesuatu yang dianggap benar.
Babbie menyatakan bahwa:
Part of what you know could be called your agreement reality: things you concide to
be real because you’ve been told they are real. Another part is what could be called
experiential reality: the things you know as a function of your direct experience. The
first is a product of what people have told you, the second a product of your own
experience.9
Tanpa mengabaikan cara-cara lain, perhatian kita terpusat pada metode ilmiah ini,
yang sering dikacaukan dengan apa yang disebut metode akal sehat. Oleh karena itu,
perlu dijelaskan dahulu perbedaan metode ilmiah dengan metode akal sehat.
E. Tipe Penelitian
Seperti telah disebutkan sebelumnya, penelitian bertitik tolak pada pertanyaan, bukan
pernyataan. Jawaban dari suatu pertanyaan akan dipertanyakan lagi sehingga kita
sampai pada pertanyaan yang paling mendasar. Pertanyaan dasar tersebut
menentukan tipe penelitian yang hendak dilaksanakan. Ada 3 pertanyaan dasar yang
menentukan tipe penelitian secara empiris, yaitu (1) apa, (2) bagaimana, dan (3)
mengapa.
1. Penelitian Eksploratif
Tipe penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan dasar yang pertama, yaitu apa.
Pertanyaan ini ingin mengetahui suatu gejala atau peristiwa dengan melakukan
penjajakan terhadap gejala tersebut. Penjajakan ini dilakukan tidak secara sistematis,
dalam arti tidak didasarkan pada hipotesis, dan tidak ditarik sampel. Penjajakan dapat
dilakukan dengan metode “bola salju”, yaitu dengan bertanya kepada satu orang
kemudian diteruskan kepada orang lain, dan kalau belum puas diteruskan lagi kepada
orang lain lagi, sampai diperoleh informasi yang lebih lengkap tentang masalah yang
diteliti.
Sebagai contoh, jika kita pada suatu waktu melihat ada banyak orang berkumpul di
suatu tempat, dan karena gejala itu tidak biasa terjadi, maka timbul keinginan kita untuk
mengetahuinya. Oleh karena itu, kita mendekati kerumunan orang banyak itu dan
bertanya kepada seseorang yang ada disitu. Kalau informasi yang diperoleh dari orang
tersebut kurang memuaskan atau kurang dapat dipercaya, maka kita melanjutkan
pertanyaan sehingga informasi itu menjadi lengkap. Dari informasi-informasi itu
akhirnya diketahui bahwa peristiwa itu adalah tabrakan kendaraan bermotor.
2. Penelitian Deskriptif
Tipe penelitian ini berdasarkan pada pertanyaan dasar yang kedua, yaitu bagaimana.
Kita tidak puas bila hanya mengetahui apa masalahnya secara eksploratif, tetapi ingin
mengetahui juga bagaimana peristiwa tersebut terjadi. Dari contoh di atas, dapat kita
mengetahui lagi bagaimana tabrakan itu terjadi. Dengan demikian, temuan-temuan dari
penelitian deskriptif lebih luas dan lebih terperinci daripada penelitian eksploratif.
Dikatakan lebih luas karena kita meneliti tidak hanya masalahnya sendiri, tetapi juga
variabel-variabel lain yang berhubungan dengan masalah itu. Lebih terperinci karena
variabel-variabel lain yang berhubungan dengan masalah itu. Lebih terperinci karena
variabel-variabel tersebut diuraikan atas faktor-faktornya. Untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik, penelitian dilakukan dengan menarik sampel.
3. Penelitian Ekspanatif
Tipe penelitian ini bertitik tolak pada pertanyaan dasar mengapa. Kita tidak puas bila
hanya mengetahui yang terjadi dan bagaimana terjadinya, tetapi ingin juga mengetahui
mengapa peristiwa itu terjadi. Dengan kata lain, kita ingin menjelaskan terjadinya suatu
peristiwa. Sebagai contoh, kalau dari penelitian ekspolaratif kita mengetahui bahwa
masalahnya adalah krisis monoter, dana melalui penelitian deskriptif diketahui
bagaimana krisis moneter itu terjadi, maka penelitian eksplanatif menjelaskan mangapa
krisis monoter yang diperkirakan dapat memberi penjelasan terhadap masalah itu.
Variabel-variabel tersebut tidak terbatas apa variabel ekonomi, tetapi jga variabel
politik, hukum, sosiologi, dan sebagainya. Penelitian seperti ini didasarkan pada
hipotesis-hipotesis yang datanya dikumpulkan dengan metode sampling.
4. Penelitian Eksperiman
Ketiga tipe penelitian yang disebutkan di atas disebut juga expost fact research.
Disebut demikian karena peristiwa yang diteliti sudah terjadi sehingga data-datanya
dapat dilacak kembali melalui kuesioner atau dokumen-dokumen yang relevan. Tetapi,
ada juga penelitian di mana datanya belum pernah ada, sehingga harus diciptakan
terlebih dahulu. Penemuan-penemuan baru, seperti metode mengajar yang baru atau
bibit unggul suatu tanaman, memerlukan suatu pembuktian bahwa metode baru atau
bibit unggul itu memang lebih efektif. Misalnya pengajaran dengan menggunakan
studio visual (AVA) di suatu daerah terperinci, di mana metode itu belum pernah
digunakan sebelumnya. Untuk maksud tersebut kita melakukan pengajaran dengan
metide AVA itu kepada sekelompok murid di daerah tersebut. Dengan demikian kita
mendapatkan data tentang seberapa jauh kefektifan pengajaran dengan metode lain.
Kelompok murid yang dijadikan praktik metode AVA itu disebut kelompok
eksperimen. Untuk mengetahui apakah hasilnya lebih efektif, maka kepada kelompok
murid yang sama, atau kelompok murid sama, atau kelompok murid yang lain yang
hampir sama dengan metode yang biasa dipergunakan. Kelompok ini disebut kelompok
control. Hasil dari kelompok control menjadi perbandingandari kelompok eksperimen
untuk mengetahui apakah hasil kelompok eksperimen itu lebih efektif daripada hasil
kelompok control. Tipe penelitian seperti ini disebut penelitian eksperimen. Tipe
penelitian ini sangat berguna untuk mengembangkan inovasi-inovasi yang berguna
dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
G. Manfaat Penelitian
Pengertian penelitian Nan Lin (lihat bagian E : pengertian Penelitian Ilmiah
mangandung 2 manfaat penelitian, yaitu (1) manfaat teoritis dan (2) manfaat prakttis.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian yang bertitik tolak dari meragukan suatu teori tertentu disebut penelitian
verifikastif. Keraguan terhadap terhadap suatu teori yang bersangkutan tidak bisa lagi
menjelaskan peristiwa-peristiwa aktual yang dihadapi. Pengujian terhadap teori
tersebut dilakukan melalui penelitian empiris, dan hasilnya bisa menolak, atau
mengukuhkan, atau merivisi yang bersangkutan.
Demikianlah teori berkembang terus melalui penelitian, dan dengan demikian ilmu
pengetahuan berkembang terus tanpa batas. Itulah sebabnya penelitian ditempatkan
sebagai darma kedua pada tridarma perguruan tinggi sebagai lembaga yang mengelola
ilmu pengetahuan.
2. Manfaat Teoritis
Pada sisi lain, penelitian bermanfaat pula untuk memecahkan masalah-masalah
praktis. Mengubah lahan kering menjadi lahan yang subur, mengubah cara kerja lebih
efisien. Dan mengubah kurikulum supaya cara kerja lebih efisien, dan mengubah
kurikulum supaya lebih berdaya guna bagi pembangunan sumber daya manusia
merupakan contoh-contoh permasalahan yang dapat dibantu pemecahannya melalui
penelitian ilmiah. Hampir semua lembaga yang ada di masyarakat, baik lembaga
pemerintahan maupun lembaga swasta, menyadari manfaat ini dengan menepatkan
penelitian dan pengembangan sebagai bagian integral dalam organisasi mereka.
Kedua manfaat penelitian tersebut merupakan syarat-syarat dilakukannya suatu
penelitian sebagaimana dinyatakan dalam rancangan (desain) penelitian.
Catatan
1. Suriasumantri, Jujun S. 1985. Filsafat ilmu: Sebuah pengantar Populer. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan, hlm. 35
2. M, Hatta. 1960. Pengantar ke dalam Ilmu Pengetahuan. Jakarta PT.
Pembangunan, hlm.5.
3. Nan Lin. 1976. Foundations of Social Research. New York McGraw – Hill Book
Company, hlm. 17.
4. Kerlinger, Fred N. 1973. Foundations of Behavioral research. New york: Holt
Rinehart and Winston, hlm 9.
5. Hadi, Sutrisno. 1978. Metodologi research, Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, hlm 14.
6. Nan Lin, op cit., hlm.19.
Kerlinger, loc cit.
7. Suriasumatri, op cit., hlm.50.
8. Babbie, Earl. 1992. The Practice of Social Research. Belmont Wadsworth
Publishing Company, hlm .9.
9. Ibid, hlm .7.
10. Nazir, Moh. 1995. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kerlinger, op cit., hlm. 3.
11. Nan Lin, op cit., hlm.5.
12. Lerlinger, op cit., hlm.11
Lembar Kerja
1. Jelaskan perbedaan suatu antologi, epistemology, dan aksiologi dalam filsafat
ilmu pengetahun.
2. Apa yang dimaksud dengan teori? Jelaskan ketiga jenis fungsinya.
3. Apa perbedaan antara teori, proposisi, dan konsep ?
4. Jelaskan paling sedikit 5 cara untuk memperoleh pengetahuan.
5. Sebutkan paling sedikit 4 perbedaan antara metode ilmiah dan metode akal
sehat dalam memperoleh pengetahuan yang benar.
6. Jelaskan hakikat penelitian ilmiah.
7. Jelaskan perbedaan pengertian penelitian menurut Nan Lin dan menurut
Kerlinger.
8. Jelaskan perbedaan antara expost fact research dan penelitian eksperimen.
9. Jelaskan dua macam manfaat penenlitian.
Bab II
Penelitian sebagai Proses Ilmiah
Menurut Babbie, ilmu pengetahuan itu berdiri di atas dua pilar (lihat gambar 2.1)
Logika Empiris
deduksi
induksi
Gambar 2.1
Pilar yang pertama adalah logika atau rasionalitas, dan pilar yang kedua adalah
pengamatan empiris. Karena ditopang oleh kedua pilar tersebut, maka ciri ilmu
pengetahuan adalah logic-empirical. Hubungan di antara kedua pilar tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut. Apabila kita berhadapan dengan teori ilmu pengetahuan,
maka pikiran kita berantisipasi pada kenyataan-kenyataan empiris di lapangan.
Misalnya, jika kita mempelajari pengangguran tersembunyi (salah satu bentuk
pengangguran dan untuk pengangguran yang dikemukakan oleh Duesenberry), maka
teori tersebut membawa pikiran kita kepada petani-petani dipedesaan yang pernah kita
kenal. Pikiran kita tidak berhenti pada definisi, atau pada kalimat-kalimat yang ada
dalam buku teks. Kenaikan produksi beras yang mereka hasilkan tidak proporsional
dengan kenaikan jumlah petani dilingkungan itu, sehingga produk per-kapita bahkan
menurun. Dengan kata lain, cara berfikir kita tidak verbal, tetapi praktis – deduktif.
Sebaliknya, apabila kita berhadapan dengan peristiwa-peristiwa factual dalam dunia
empiris, maka pikiran kita tidak berhenti pada masalah-masala praktis, tetapi terarah
pada teori-teori yang pernah kta pelajari. Cara berfikir kita dala teoritis – induktif. Hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan timbal balik antara teori dan peristiwa-peristiwa
empiris. Teori dengan cara berfikir deduktif mengarakan pada kenyataan empiris, dan
kenyataan empiris dengan cara berfikir induktif mengarahkan kita pada teori.
Hubungan timbal balik antara teori dan praktek, antara berfikir deduksi dan induksi,
tidak boleh terputus, tetapi harus selalu dikembangkan. Itulah sebabnya perkuliahan di
perguruan tinggi sebagai lembaga pengelola ilmu selalu berhubungan dengan
penelitian (teaching-research).
1. Konseptualisasi Masalah
Sesuai dengan ciri ilmu yang demikian, maka proses penelitian ilmiah diawali dengan
merumuskan pertanyaan penelitian atau apa yang disebut konseptualisasi masalah.
Ada dua hal yang berhubungan dengan ini, yaitu masalah (substansi) yang
dipertanyakan, dan pertanyaan dasar serta cara menjawab pertanyaan itu (metodologi).
Konseptualisasi masalah ini menentukan tahap-tahap berikutnya. Jika terjadi kekeliruan
pada tahap ini, maka seluruh tahap berikutnya akan mengalami kekeliruan. Oleh
karena itu, tahap ini harus dilakukan dengan teliti.
4. Penarikan Sampel
Supaya data yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis itu dapat dikumpulkan, maka
harus jelas dimana data tersebut dikumpulkan dan strategi apa yang digunakan untuk
mengumpulkannya. Tahap ini disebut rumusan populasi dan sampel penelitian. Hasil
dari proses penarikan sample ini adalah suatu daftar responden sebagai sample dari
populasi penelitian.
5. Konstruksi Instrumen
Selanjutnya perlu ditetapkan bagaimana mengumpulkan data dari sample yang
ditetapkan itu. Hal ini berhubungan dengan metode pengumpulan data dan alat-alat
(instrumen) yang digunakan untuk mengumpulkannya. Tahap ini disebut pengumpulan
data dan konstruksi instrumen. Istrumen penelitiannya disusun sesuai dengan metode
yang digunakan untuk mengumpulkan data, seperti pedoman wawancara, daftar
kuesioner, pedoman pengamatan, dan sebagainya.
6. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dalam rangka pembuktian hipotesis. Untuk itu perlu
ditentukan metode pengumpulan data yang sesuai dengan setiap variabel, supaya
diperoleh informasi yang valid dan dapat dipercaya. Pengumpulan data dilakukan
terhadap responden yang menjadi sampel penelitian.
7. Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan itu masih berupa data mentah, sehingga perlu diolah
supaya dapat dianalisis. Pengolahan ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu editing
(penyuntingan), coding (pemberian kode), dan menyusunnya dalam master sheet (tabel
induk).
8. Analisis Pendahuluan
Untuk menguji hipotesis, data yang telah diolah itu akan dianalisis dengan cara-cara
tertentu. Analisis data penelitian itu sendiri dilakukan dalam dua tahap, yaitu analisis
pendahuluan dan analisis lanjut. Analisis pendahuluan bersifat deskriptif dan terbatas
pada data sampel. Maksud dari analisis ini adalah untuk mendeskripsikan setiap
variabel pada sampel penelitian, dan untuk menentukan alat analisis yang akan dipakai
pada analisis selanjutnya.
9. Analisis Lanjut
Analisis selanjutnya setelah analisis pendahuluan adalah analisis inferensial yang
diarahkan pada pengujian hipotesis. Alat-alat analisis yang dipakai untuk ini
disesuaikan dengan hipotesis oprasional yang telah dirumuskan sebelumnya. Kalau
hipotesis yang diuji hanya mencakup satu variable maka dipergunakan Uni Variate
Analisys. Kalau hipotesis mencakup dua variable, maka dipergunakan Bivariate
Analisys. Dan kalau mencakup lebih dari dua variable, maka dipergunakan Multivariate
Analisys.
10. Interprestasi
Hasil analisis ini kemudian diinterprestasikan melalui proses pembahasan. Tahap ini
disebut analisis dan interpretase hasil penelitian. Tahap terakhir adalah melaporkan
hasil penelitian itu ddalam bentuk tertulis.
Proses penelitian seperti ini disusun seperti pada Gambar 2.2 Dalam gambar itu
tampak ada 10 tahap, yaitu: (1) konseptualisasi masalah, (2) tujuan dan hipotesis, (3)
kerangka dasar penelitian, (4) penarikan sampel atau sampling, (5) konstruksi
instrumen, (6) pengumpulan data, (7) pengolahan data, (8) analisis pendahuluan, (9)
analaisis lanjut, dan (10) interpretasi.
Tahap-Tahap dalam Proses Penelitian
Konseptualisasi masalah
1
Pengumpulan Data
6
Gambar 2.2
Kesepuluh tahap itu dapat digolongkan dalam dua tingkat, yaitu tingkat pertama
dari tahap (1) samapai (6) sampai (1) di sebelah kiri. Tingkat pertama berjalan dalam
proses deduksi yang bercirikan diferensiasi. Disebut deduksi karena proses deduksi
yang bercirikan diferensiasi. Disebut deduksi karena proses itu berjalan dari teori-teori
dan konsep-konsep yang sangat abstrak menuju pada evidensi-evidensi empiris yang
sangat konkret, suatu proses untuk mendaratkan konsep yang abstrak di dalam dunia
empiris yang konkret. Proses ini mempunyai ciri diferensiasi.
Dikatakan demikian karena satu konsep yang akan ditelitti membutuhkan banyak
data, sehingga prosesnya berjalan dari satu ke banyak. Misalnya istilah “komunikasi”
hanya terdiri atas satu kata. Tetapi, untuk menemukannya di dalam dunia nyata tidak
dapat dibayangkan berapa banyak data yang diperlukan untuk itu: data tentang jenis
komunikasi yang ada, keefektifan komunikasi pada setiap jenis komunnikasi yang ada,
jangkauan masing-masing jenis komunikasi, dan sebagainya. Peribahasa Cina Kuno
yang mngatakan “satu fakta, seribu gambar; satu gambar, seribu kata” dapat juga
diubah menjadi “satu kata, seribu data.”
Tingkat kedua di sebelah kiri, yang mulai dari tahap (6) sampai kembali lagi ke
tahap (1), berjalan dalam proses induksi yang bercirikan integrasi. Dikatakan induksi
karena proses itu di mulai dari kenyataan-kenyataan konkret dengan seperangkat data
sampai pada konsep-konsep yang abstrak melalui penyederhanaan. Ciri integrasi
tampak pada proses perangkuman data, dari banyak menjadi sederhana , menjadi
konsep yang bermakna.
C. Komponen Informasi dan Komponen Metodologi
Tahap-tahap yang ditempuh dalam proses di atas tidak membedakan tahap yang
bersifat hasil temuan dengan tahap yang bersifat cara atau proses menemukan.
Wallace membedakan kedua jenis sifat tersebut dalam dua macam komponen. Hasil
temuan itu disebut komponen informasi, dan cara menemukannya disebut komponen
metodologi. Dengan pembedaan seperti itu maka keseluruhan proses penelitian terdiri
atas 5 komponen informasi dan 6 komponen metodologi. Wallace selanjutnya
mengatakan :
Kalau kita mulai dengan mempermasaahkan suatu teori (1), maka dari itu teersebut
kita menurunkan hipotesis (2). Cara menurunkan hipotesis dari teori itu dilakukan
dengan deduksi logis (a). Selanjutnya, untuk membuktikan hipotesis dibutuhkan data
sebagai pengamatan (3). Informasi ini diperoleh dengan cara melakukan interpretasi
terhadap hipotesis, menyusun instrumen, menarik sampel, dan menetapkan
pengukuran variabel (b). Berdasarkan data hasil pengamatan (3) ini ingin diketahui
apakah hipotesis penelitian diterima atau ditolak (5), dan pihak lain ingin diperoleh
informasi berupa generalisasi empiris (4). Penerimaan atau penolkan hipotesis
berdasarkan data pengamatan itu dilakukan dengan analisis uji hipotesis (e), dan
generalisasi empiris diperoleh melaluui penyederhanaan data secara statisttik, antara
lain dengan tehnik estimasi parameter (c). Dari hasil uji hipotesis (5) kemudian
disimpulkan sejauh mana teori yang dipermasalahkan itu dapat diterima. Proses ini
dilakukan dengan cara inferensial atau induksi logis (f). Dipihak lain, dari generelisasi
empiris dibentuk konsep atau proposisi dengan cara pembentukan konsep, proposisi,
dan teori (d). Seluruh proses ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Teori
Pembentukan Deduksi
Konsep proposal Induksi Logis
logis
Generalisasi Terima/tolak
hipotesis
empirik hipotesis
Uji Operasionalisasi
Perangkuman hipotesis Pengukuran
Estimasi parameter instrumentasi
Pengamatan
Keterangan:
: Komponen informasi
: Komponen metodologis
Gambar 2.3
Proses dengan 11 komponen ini dapat pula diliat dalam dua bagian, masing-
masing dengan cara berbeda, yaitu :
Cara pertama : bagian kanan dan bagian kiri. Kedua bagian ini dipisahkan oleh
garis yang ditarik dari komponen teori *1) ke komponen pengamatan (3). Bagian kanan
ini terdiri atas teori - deduksi logis-interpretasi hipotesis, sampling skala pengukuran,
instrumen-pengamatan yang dapat juga disebut sebagai proses menerapkan teori.
Bagian sebelah kiri dimulai dari pengamatan – rangkuman – generalisasi empiris –
pembentukan teori-teori, yang disebut sebagai proses pembentukan teori.
Cara kedua : Bagian atas, dan bagian bawah . Kedua bagian ini dipisahkan oleh
garis mendatar yang ditarik dari komponen generelisasi empiris (4) ke komponen
hipotesis (2). Bagian atas disebut proses berteori dengan metode logika, dan bagian
bawah disebut proses melakukan penelitian empiris.
Catatan
1. Babbie, Earl. 1992. The Practice of Social Research. Belmont : Wadsworth
Publishing Company, hlm. 27
2. Bandingkan dengan Nan Lin. 1976. Fondations of Social Research. New York:
McGraw-Hill Book Company, hlm.9
3. Wallace, Walter. 1979.:An Overview of Elements in the Scientific Process” dalam
Jhon Bynner dan Keith M. Striblyy (ed.), Social Recearch: Princeples and
Prosedures. New York: Longman in association with the Open University Press,
hlm.4
Bab III
Konseptualisasi Masalah Penelitian
A. Perumusan Masalah
Konseptualisasi adalah proses pembentukan konsep dengan bertitik tolak pada gejala-
gejala pengamatan. Proses ini berjalan secara induktif, dengan mengamati sejumlah
gejala secara individual, kemudian merumuskannya dalam bentuk konsep. Konsep
bersifat abstrak, sedangkan gejala bersifat konkret (lihat Gambar 3.1).
dunia abstrak
(konsep)
RUMAH
Dunia nyata
Gambar 3.1
Konsep berada dalam bidang logika (teoritis), sedangkan gejala berada dalam
dunia empiris (faktual). Memberikan konsep pada gejala itulah yang disebut
konseptualisasi. Konsep bersifat abstrak dan dibentuk dengan menggeneralisasikan
hal-hal yang khusus. Babbie mengatakannya sebagai the process through which we
specify precisely what we mean we use particular terms (proses dengan mana kita
memberi nama yang khusus secara tepat yang menggambarkan apa yang kita
maksudkan).
Proses ini diawali dengan mengungkapkan permasalahan penelitian, latar
belakangnya, perumusannya, dn signifikansinya. Masalah sebagai kesenjangan yang
ada di antara kenyataan dan harapan perlu dirumuskan secara ekspilisit. Masalah
tersebut dapat ditangkap dari keluhan-keluhan yang ada dalam lingkungan social yang
bersangkutan. Gejala-gejala khusus ini diungkap secara jelas, untuk kemudian
konsepnya dirumuskan secara operasional. Akhirnya, perlu juga diungkapkan mengapa
masalah itu penting untuk diteliti, baik dari segi akademis, suatu penelitian bisa
mengukuhkan teori yang ada, atau menyangkalnya, atau merevisinya. Sedangkan
kepentingan praktis berhubungan dengan penelitian itu dalam pengembangan program
atau pekerjaan tertentu.
Konseptualisai penelitian tidak hanya merumuskan masalah, tetapi juga
mengungkapkan cara-cara tentang bagaimana masalah tersebut akan teliti. Dengan
demikian terdapat dua masalah pokok yang akan dijelaskan dalam konseptualisasi
penelitian itu, yaitu penjelasan tentang operasional penelitiannya (aspek metodolgi).
Kedua aspek ini akan dibicarakan secara khusus dalam perencanaan penelitian
(reseach design).
Suatu masalah dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek empiris dan aspek logis
atau rasional. Suatu peristiwa bisa disebut sebagai masalah jika terdapat kesenjangan
antara apa yang ada dan apa yang seharusnya, antara kenyataan yang ada dan apa
yang diharapkan. Dilihat dari apa yang diharapkan itu, masalah dapat dikelompokkan
ke dalam 3 kategori, yaitu :
1. masalah filosofis;
2. masalah kebijakan, dan
3. masalah ilmiah
suatu masalah dikatakan filosofis jika gejala-gejala empirisnya tidak sesuai dengan
pandangan hidup yang ada dalam masyarakat. Gejala-gejala hubungan seks sebelum
nikah di kalangan remaja termasuk dalam kategori remaja itu tidak sesuai dengan
norma-norma etis dan norma-norma keagamaan yang dianut oleh masyarakat.
Masalah yang tegolong dalam masyarakat kebijakan adalah perilaku-perilaku atau
kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh si pembuat
kebijakan. Bantuna Inpres IDT yang tidak mencapai sasaran, kualitas pendidikan yang
tidak sesuai dengan tujuan pendidikan, adalah contoh-contoh yang termasuk dalam
kategori masalah.
Masalah yang tergolong dalam kategori masalah ilmiah adalah kenyataan-
kenyataan yang tidak sesuai dengan teori ilmu pengetahuan. Salah satu teori dalam
ilmu pendidikan yang dikenal dengan ”teori hukuman” mengatakan bahwa hukuman
ynag diberikan kepada anak akan mengubah perilakunya ke arah yang positif. Tetapi,
dalam kenyataannya, anak-anak yang diberi hukuman itu perilakunya justru semakin
mengarah pada hal-hal yang negatif, bahkan hukuman itu menanamkan dendan
kepada gurunya. Masalah seperti ini termasuk masalah ilmiah.
Masalah sosial menampakkan diri pada conflict issue yang dapat ditangkap dari
peristiwa-peristiwa yang ada dalam masyarakat. Isu-isu seperti itu dapat ditangkap
melalui pengamatan langsung, atau dari surat kabar atau media massa lainnya, atau
dari pokok-pokok pembicaraan yang berkembang dalam masyarakat. Pertanyaan-
pertanyaan yang kita ajukan membantu kita mengetahui pokok permasalahan dari isu
tersebut. Seperangkat gejala umum perlu dipelajari untuk bisa menemukan isu seperti
“demokrasi,” “kualitas sumber daya manusia,” “pengangguran di kalangan generasi
muda,” “kualitas pendidikan,” “relevansi pendidikan,” dan sebagainya.
Bertitik tolak dari isu tersebut kita beerusaha merumuskan masalah yang menjadi
focus penelitian kita. Perlu pula disadari bahwa dari suatu isu yang pragmatis itu dapat
ditarik berbagai masalah, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Di sinilah
pentingnya teori sebagai acuan kita dalam melihat masalah. Dari seperangkat proposisi
yang ada dalam teori tersebut kita memilih yang sesuai dengan isu dan yang cukup
menarik minat itu. Bagan pada Gambar 3.2 memperlihatkan bagaimana merumuskan
masalah dari isu yang ada dengan mempertemukan gejala-gejala faktual dengan teori.
TEORI ISU GEJALA
EMPIRIS
MASALAH
Gambar 3.2
Untuk merumuskan masalah dengan cara sperti itu, perlu diperhatikan dua
pertanyaan pokok yang membantu memperjelas masalah. Yang pertama adalah
pertanyaan tentang mengapa masalah itu penting. Untuk menjawab pertanyaan ini
perlu diungkapkan latar belakang permasalahannya. Sumber-sumber bacaan yang
relevan bisa membantu kita memperjelaskan latar belakangnya. Perlu dijajaki pula
berbagai penelitian yang pernah dilakukan menyangkut masalah tersebut. Dari
penjajakan ini kita mengungkapakan signifikansinya atau pentingnya penelitian yang
akan dilakukan.
Pertanyaan yang kedua adalah apa masalahnya. Untuk menjawab pertanyaan
kedua ini dilakukan penjajakan di sekitar lokasi penelitian, dan dari penjajakan ini kita
mengungkapkan gejala-gejala khusus dari setiap individu yang bermasalah. Dengan
metode induksi akhirnya kita merumuskan konsep yang merupakan fokus penelitian
kita. Selanjutnya, dengan konsep tersebut kita merumuskan masalah penelitian secara
ekspilist. Biasanya masalah itu dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya, tetapi ada juga
yang merumuskannya dalam kalimat deklaratif. Contoh-contoh perumusan masalah
dalam bentuk pertanyaan: (1) Mengapa mutu pendidikan di lembaga-lembaga
pendidikan semakin merosot? (2) Mengapa lulusan perguruan tinggi di Wilayah X sukar
mendapat pekerjaan? (3) Apa kesulitan guru muda dalam melaksanakan profesinya
sebagai guru di kelas?
B. Variabel
Sebelumnya telah disebutkan bahwa konseptualisasi adalah proses memberi konsep
pada gejala-gejala yang dipermasalahkan. Konsep yang bersifat abstrak, tetapi
menunjuk pada obyek-obyek tertentu yang konkret. Obyek yang konkret itu bersifat
individual, yang berbeda satu dengan yang lain. Jika kita mengamati orang-orang yang
kita jumpai, maka tidak ada dua orang yang sama persis dari antar mereka. Setiap
orang berbeda dengan yang lain. Mereka dapat dibedakan dengan nama masing-
masing. Ada yang bernama Emanuel, ada yang bernama Hasan, ada bernama Frank,
dan sebagainya. Jadi, “manusia” adalh konsep, dan konsep itu tidak hanya menunjuk
pada Emanuel, Hasan, dan Frank, tetapi juga pada orang lain yang mempunyai
kemiripan dengan mereka. Sifat dari obyek-obyek yang berbeda-beda adalah :
1. Mempunyai ciri umum yang sama, yang membuat mereka mirip satu sama lain,
sehingga semuanya dapat ditampung dalam satu definisi.
2. Setiap obyek berbeda, masing-masing mempunyai cirri tersendiri yang
membedakannya dengan obyek lain. Perbedaan-perbedaan itulah yang membuat
obyek-obyek itu bervariasi, karena itu disebut variabel.
3. Perbedaan-perbedaan pada setiap obyek terletak pada ukuran masing-masing,
baik ukuran yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. Karena ukuran
yang berbeda-beda itulah maka konsep itu disebut variabel, seperti yang dikatakan
oleh Karlinger, “variable is a property that takes on different valuea. … A variable is
a symbol numerals or values are assigned.” Misalnya, kerajinan belajar mahasiswa
dapat kita lihat pada banyaknya waktu yang dipakai oleh mahasiswa setiap
minggunya untuk mempelajari bidang studinya. Apabila tolak ukur ini ditetapkan
pada setiap mahasiswa, akan tampak keragaman dalam penggunaan waktu setiap
mahasiswa. Si A memeprgunakan 20 jam, si B mempergunakan 24 jam, si C
mempergunakan 28 jam, dan seterusnya. Karena itu, kerajinan belajar adalah
variabel. Contoh variabel yang lain adalah pekerjaan pokok penduduk di suatu
desa. Ada petani, ada eternak, ada buruh, bangunan, ada pedagang, dan
sebaginya. Karena ada berbagai macam pekerjaan, maka pekerjaan penduduk
adalah variabel.
Suatu konsep disebut variabel jika ia menampakkan variasi pada obyek-obyek yang
ditunjuknya. Jadi, konsep bukan variabel jika tidak tampak variasi pada obyek-obyek
itu. Misalnya, almamater mahasiswa UKSW bukanlah variabel, karena semua
mahasiswa mempunyai almamater yang sama, yaitu UKSW.
Di antara konsep yang abstrak dan obyek-obyek individual yang konkret terdapat
suatu penghubung yang menunjukkan obyek-obyek mana yang dapat dimasukkan ke
dalam konsep yang bersangkutan. Konsep “mahasiswa,” contohnya. Siapa saja yang
dapat di SMU termasuk dalam konsep ini, atau si B yang bekerja di sebuah kantor, si C
yang mengajar di sebuah SD? Kita membutuhkan suatu petunjuk untuk dapat
melakukan tugas tersebut. Misalnya, orang yang telah terdaftar untuk mengikuti
peljaran di suatu Perguruan Tunggi dapat diketahui dari kartu yang masih berlaku.
Dengan kartu mahasiswa itu dapat diketahui siapa yang disebut dengan mahasiswa.
Dalam hal ini kartu mahasiswa itu disebut indikator empiris terhadap konsep
mahasiswa.
Indikator empiris ini bersifat dapat diamati. Suatu indikator empiris belum tentu
dapat menunjukkan seluruh makna yang terkandung dalam konsep tertentu. Misalnya.
“sepeda” dengan indikaotornya adalah “kendaraan roda dua.” Tetapi, bukanlah ada
juga sepeda roda tiga, dan ada juga kendaraan roda dua juga yang bukan sepeda?
Jadi, indikator tersebut belum seluruhnya menangkap konsep “sepeda”. Oleh karena
itu, suatu konsep bisa memiliki lebih dari satu indikator empiris. Pada Gambar 3.3
konsep A hanya memiliki satu indikator, sedangkan konsep B memilki tiga indicator.
Konsep C memilki dua indikator, tetapi kedua indikator tersebut kurag valid karena
sebagian indikator tidak menunjuk pada mana konsep yang dikehendaki. Pada konsep
D terdapat dua indikator yang sama sekali tidak valid, yang tidak berhubungan dengan
makna yang dimaksud oleh konsep.
Hubungan antara konsep dan indicator iu disebut korelasi epistemic. Korelasi
epistemik bergerak dari 0 ke 1,00. Pada konsep D, korelasi itu adalah 0 (nol),
sedangkan pada konsep C korelasinya > 0 namun tidak signifikan. Pada konsep A dan
B korelasinya juga > 0 tetapi signifikan.
A B C D
Keterangan :
Konsep
Indikator empiris
Gambar 3.3
Dengan indikator empiris itu kita merumuskan variabel secra operasional. Definisi
operasional dirumuskan sedemikian rupa sehingga ia bisa berfungsi sebagai petunjuk
untuk menemukan data yang tepat dalam dunia empiris. Misalnya, kita melihat empat
buah bilangan, yaitu 2, 4, 6, dan 8. Sekarang kita rumuskan dalam satu istilah keempat
bilangan itu. Istilah apa yang bisa kita pergunakan untuk menerangkan seluruh
bilangan itu? Kalau disimpulkan bahwa keempat bilangan itu adalah bilangan genap
dengan definisi bilangan yang habis dibagi dua, maka apakah dengan definisi tersebut
dapat kita temukan kembali bilangan itu? Contoh lain: 4, 6, 10, 18, 20. Semua bilangan
ini adalah bilangan genap, jadi memenuhi definisi tadi. Tetapi, bilangan yang kita lihat
tadi bukanlah 4, 6, 10, 18, dan 20, melainkan 2, 4, 6, dan 8 adalah “bilangan kelipatan
dua di bawah 10.” Dengan definisi ini, maka tidak ada yang lain kecuali 2, 4, 6 dan 8.
Bukan 2, 4, 10, dan 12, karena ada bilangan yang tidak memenuhi definisi.
Definisi operasional suatu variabel tidak boleh dirumuskan dalam bentuk sinonim.
Kalau definisi variabel kerajinan belajar dirumuskan sebagai “kerajinan belajar adalah
ketekunan siswa untuk mempelajari bahan pelajara,” maka di sisni terdapat dua istilah
yang setara, yaitu kerajinan dan ketekunan. Seharusnya istilah ketekunan berfungsi
sebagai penjelas bagi kerajinan, karena itu seharusnya ia bukan konsep, tetapi
indikator. Namun, dalam definisi ini ketekunan adalah konsep, sama dengan kerajinan
yang juga adalah konsep. Jadi, ketekunan sinonim dengan kerajinan.
Istilah kerajinan harus diterangkan dengan indikator. Ciri dari indikator adalah
teramati dan terukur. Dengan menggunakan indikator tersebut, kita merumuskan
variabel kerajinan belajar sebagai berikut: “Kerajinan belajar mahasiswa adalah
banyaknya waktu yang diukur dalam jam per minggu yang dipergunakan oleh
mahasiswa untuk membaca bahan-bahan yang relevan dengan program studinya.” Di
sini kegiatan membaca adalah indikator, dan jumlah adalah pengukuran. Tampak
bahwa definisi operasional terhadap variabel atau konsep ini berbeda dengan definisi
yang kita temukan dalam buku teks atau dalam kamus. Definisi dalam buku-buku teks
atau kamus itu disebut perbedaan di antara bentuk definisi itu, perhatikan definisi dari
konsep-konsep berikut.
Konsep Definisi Nominal Definisi Operasional
Kenakalan Setiap orang yang berumur Setiap orang yang dijatuhi putusan oleh
Remaja antara 7 dan 16 sampai 18 pengadilan sebagai pelaku kenakalan
yang melanggar ketentuan, remaja.
peraturan, atau undang – Atau :
undang. Setiap orang yang berusia 7 sampai 18
tahun yang dalam daftar diri menyatakan
bahwa ia telah melakukan satu atau lebih
tindak yang tercantum dalam daftar itu.
Kepuasan Perasan – persaan positif Dengan lima dimensi kerja, supervise, gaji,
kerja seorang pekerja mengenai promosi, dan kawan sekerja, Smith
pekerjaannya. menyusun sekumplan pertanyaan untuk
setiap dari lima dimensi tersebut yang
dijawab dengan ya atau tidak.
C. Skala Pengkuran
Selain bisa diamati, sifat kedua dari indicator empiris adalah dapat diukur pada skala
tertentu. Pengukuran itu paling sedikit bertujuan untuk membedakan yang satu dengan
yang lain, misanya bahwa yang satu lebih besar atau lebih kecil daripada yang lain,
bahwa yang satu itu merah dan yang lain putih, bahwa yang satu itu 10 Kg dan yang
lain itu 8 Kg. Untuk malakukan tugas pengukuran dibutuhkan alat, dan pada alat itu
terdapat skala yang dapat diterapkan pada setiap obyek yang akan diukur. Alat ukur
dipakai untuk mangukur obyek haruslah konsisten sehingga hasilnya dapat dipercaya.
Kalau kita mengukur panjang suatu obyek tertentu dangan jengkal orang dewasa,
maka tidak konsisten jika untuk mengukur obyek lain dipergunakan jengkal anak-anak.
Selain itu, alat ukur yang dipakai haruslah valid, jangan misalnya mengukur panjang
dengan luter, atau mengukur panas dengan timbangan berat.
Dengan syarat-syarat sperti ini maka pengukuran adalah suatu proses pemberian
angka pada setiap obyek dalam skala tertentu. Mengukur suatu variabel dapat
dilakukan pada salah satu dari 4 skala pengukuran, yaitu (1) skala nominal, (2) skala
ordinal, (3) skala interval, (4) skala ratio (lihat Gambar 3.4)
Skala Pengukuran
NOMINAL
D
I
ORDINAL J
A
B
A
INTERVAL R
K
A
N
RATIO
Gambar 3.4
1. Skala Nominal
Skala nominal ini dapat diterapkan pada stiap variabel karena skala ini berfungsi untuk
membedakan. Setiap obyek pada variabel yang diukur adalah setara, namun berbeda
satu dengan yang lain. Status seks adalah suatu variabel yang apabila setiap obyek
maka ada dua macam jenis seks yang mempunyai derajat yang sama, yaitu laki-laki
dan perempuan. Membedakan antara laki-laki dan perempuan adalah skalanominal.
Tolok ukur yang dipakai untuk mengukurnya adalah indicator empiris dari variabel yang
bersangkutan. Variabel ini mempunyai dua kategori (atau kelas) yang sama derajatnya.
Untuk itu disediakan dua angka, yaitu angka 1 untuk laki-laki , dan angka 2 untuk
perempuan, atau sebaliknya 1 untuk perempuan dan 2 untuk laki-laki. Angka ini tidak
menunjukkan bahwa 2 lebih besar daripada 1, atau 1 lebih utama daripada 2, daripada
2. Angka 1 dan 2 hanyalah symbol untuk membedakan dua hal yang sama. Angka-
angka sperti itu kita temukan juga pada kamar-kamar dihotel. Ada kamar 102. dan ada
kamar 221, dan seterusnya. Contoh-contoh ini menjelaskan cirri-ciri dari skala nominal,
yaitu (1) bersifat deskriminatif (membedakan), (2) bersifat ekualitas dalam arti bahwa
kategori-kategori dalam variabel itu adalah sama, (3) simetris dalam arti bahwa angka 1
dapat ditukar dengan angka 2, dan (4) pengategoriannya bersifat tuntas. Yang terakhir
ini perlu dijelaskan sebagai berikut. Pertama, setiap obyek hanya bisa dimasukkan ke
dalam salah satu kategori (kelas) sehingga tidak ada overlapping. Untuk variabel status
seks tadi, maka seseorang hanya bisa masuk ke dalam salah satu kategori, laki-laki
atau perempuan. Tidak ada seorangpun yang masuk ke dalam kedua kategori itu.
Kedua, semua obyek harus bisa dimasukkan ke dalam salah satu kategori. Misalnya,
untuk variabel pekerjaan disediakan 4 kategori, yaitu (1) petani, (2) pedagang, (3)
buruh, dan (4) pengrajin. Kemudian kita menemukan ikan di laut, mengolah dan
menjual hasilnya sebagai sumber pendapatannya. Lalu, kita masukkan orang ini ke
kategori yang sama? Tidak ada kelas yang tersedia baginya. Oleh karena itu, perlu
ditambahkan satu kategori lagi, yaitu (5) nelayan.
2. Skala Ordinal
Seperti halnya skala nominal, skala nominal juga menunjukkan perbedaan antara
kategori yang satu dengan kategori lainnya. Namun, perbedaan itu bukan perbedaan
yang selatar, tetapi perbedaan jenjang atau singkat. Kalau variabelnya adalah “status
ekonomi,” maka kategori – kategorinya adalah: (1) kelas ekonomi lemah, diberi angka
1; (2) kelas ekonomi menengah, diberi angka 2; (3) kelas ekonomi tinggi, diberi angka
3. Angka 1, 2, dan 3 bukan membedakan hal yang sama, tetapi perbedaan jenjang.
Bahwa 1 = 2 = 3 adalah tidak benar. Selisih antara 3 dan 2 tidaks elalu sam dengan
selisih antara 2 dan 1. Oleh karena itu, bilangan-bilangan itu tidak bisa dijumlahkan
atau dikurangkan.
3. Skala Interval
Skala pengukuran ini menunjukkan pula perbedaan seperti pada skala nominal dan
skala ordinal. Perbedaannya adalah bahwa interval antara 1 dan 2, antara 2 dan 3, dan
seterusnya adalah sama. Misalnya, variabel “umur” yang dapat diukur dalam 1 tahun.
Kalau dalam obyek pengamatan kita ada yang berumur 21 tahun, ada yang 22 tahun,
ada yang 23 tahun, dan seterusnya, maka perbedaan antara 21 dan 22 itu sama
dengan perbedaan antara 22 dan 23. karena itu, terhadap bilangan-bilangan itu dapat
dilakukan pekerjaan penambahan atau pengurangan. Ciri lain dari skala ini adalah titik
nolnya bersifat arbitrer. Umur ayah dan umur anaknya diukur dari titik nol yang
berbeda, yaitu pada tahun kelahiran masing-masing. Karena sifatnya yang demikian ini
maka angka-angka ini tidak multiplier .
4. Skala Ratio
Skala ini sama dengan skala interval, kecuali bahwa titik nolnya bersifat mutlak. Berat
yang diukur dengan gram mempunyai titik nol yang sama di mana saja dan kapan saja.
Karena itu sifatnya multiplier.
Dilihat dari segi kehalusan pengukuran, skala ratio adalah yang paling tinggi, disusul
dengan skala interval, kemudian skala ordinal, dan yang terakhir skala nominal. Oleh
karena itu, skala ratio dapat diubah pada skala interval, skala interval dapat diubah
pada skala ordinal, dan skala ordinal dapat diubah pada skala nominal. Akan tetapi,
pada umumnya, skala nominal tidak bisa diubah pada skala ordinal, skala ordinal tidak
bisa diubah pada skala interval, dan skala interval tidak bisa diubah pada skala ratio.
Ciri-ciri Skala Pengukuran
Skala Operasi
Ciri Contoh
Pengukuran Matematis
Nominal Klasifikasi Simetri 1. Agama :
Pembedaan A=B Kristen,
Setara B=A Katolik, Islam,
Tuntas Hindu, Buddha
2. Nomor kamar
dikamar
Ordinal Klasifikasi Asimetri 1. Status sosial
Pembedaan A>B>C 2. Pendidikan
Berjenjang C<B<A
Interval C–B≠B-A
tidak sama
Tuntas
Interval Pembedaan N’ = cN = K Skor : 45, 75. 80
Interval sama C : koefisien
Titik nol : K : bilangan
Arbitrer konstan
Ratio Sama dengan N’ = cN Berat : 7 kg, 8 kg,
Interval + titik 10 kg
Nol mutlak
Catatan
1. Kerlinger, Fred N. 1973. Foundation of Behavioral Research. New York : Holt
Rinehart and Winston.
2. Bandingkan Yelon, Stephen L. et al . 1977. A Teachers World Psychology in
Classroom. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha, hlm. 294.
3. Price, James L. 1972. Handbook of Organizational Measurement. Toronto : D.
C. Heath and Company, hlm. 138.
Lembar Kerja
1. Apa yang dimaksud dengan masalah dalam penelitian?
2. Jelaskan tiga jenis masalah dalam bidang social.
3. Apa perbedaan antara konsep dan variabel?
4. Berikan dua buah contoh tentang definisi operasional suatu variabel.
5. Jelaskan fungsi indicator pada sebuah konsep.
6. Jelaskan perbedaan antara variabel depensen dan variabel indenpenden dengan
sebuah contoh.
7. Apa perbedaan pengukuran pada skala ordinal dengan skala nominal?
8. Apa perbedaan pengukuran pada skala interval dengan skala ratio?
9. Berikan sebuah contoh di mana sebuah variabel interval dijabarkan pada skala
ordinal dan skala nominal.
10. Klasifikasikan konsep – konsep berikut menurut disiplin ilmu:
a. Raja k. Penjara
b. Menteri l. Gunung
c. Investasi m. Perbankan
d. Rakyat n. Hakim
e. Masyarakat o. Pelanggaran
f. Urbanisasi p. Pedesaan
g. Harga q. Iklim
h. Lautan r. Valuta
i. Transmigrasi s. Angin
j. Perjanjian t. Pemilu
11. Lima orang anak remaja melakukan perbuatan – perbuatan berikut :
♦ A menggunakan narkotika selama 3 bulan terakhir.
♦ B suka mengumpulkan teman – temannya untuk berkelahi.
♦ C sering mengganggu orang yang lewat di jalan.
♦ D suka melempar rumah orang tidak disenanginya.
♦ E memaksa orang untuk memberi uang kepadanya dengan mengamen.
Apa konsep dari kelima perbuatan itu? Definisikan konsepnya.
12. Sebutkan variabel dan skala pengukurannya :
a. Banyak orang yang dating ke pesta itu dengan pakaian yang warna – warni.
Variabel :……………………………………..
Pengukuran :……………………………………..
b. Mahasiswa yang mendaftar di universitas itu dating dari berbagai suku dan
golongan.
Variabel :……………………………………..
Pengukuran :……………………………………..
c. Hasil tes pada UMPTN tahun ini meningkat secara berarti:
Variabel :……………………………………..
Pengukuran :……………………………………..
d. Gaji guru pada lembaga pendidikan swasta cukup memperihatikan.
Variabel :……………………………………..
Pengukuran :……………………………………..
e. Baik yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, maupun Buddha dan lain-
lainnya diperlakukan secara sama dalam demokrasi.
Variabel :……………………………………..
Pengukuran :……………………………………..
f. Bermacam-macam tingkat pendidikan penduduk yang ada di desa itu.
Variabel :……………………………………..
Pengukuran :……………………………………..
g. Ada yang berasal dari keturunan bangsawan, ada para gelandangan, ada pula
dari kelas menengah, semuanya tidak dibeda-bedakan dalam pelayanan
gereja.
Variabel :……………………………………..
Pengukuran :……………………………………..
h. Semua bayi yang lahir di rumah sakit itu mempunyai berat antara 2,8 – 4,2 Kg.
Variabel :……………………………………..
Pengukuran :……………………………………..
i. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju terhadap pandapat itu.
Variabel :……………………………………..
Pengukuran :……………………………………..
Bab IV
Hipotesis
A. Pengertian
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahi sesuatu yang ada pada tingkat tertentu
dipercaya sebagai sesuatu yang benar. Ia bertitik tolak dari pertanyaan yang disusun
dalam bentuk masalah penelitian. Untuk menjawab pertanyaan itu disusun suatu
jawaban semantara yang kemudian dibuktikan melalui penelitian empiris. Jawaban-
jawaban seperti itu banyak kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, jika
sepeda motor kita tidak mau hidup mesinnya, maka kita menduga mungkin businya
kotor, atau bahan bakarnya habis, atau ada yang tidak beres pada platinanya kotor.
Tetapi pernyataan ini masih bersifat dugaan. Atas dasar dugaan itu kita mulai
memeriksa businya, bensinnya, ada platinanya. Pada tahap ini kita mengumpulkan
data untuk menguji hipotesisi kita.
Hipotesis (hypo = sebelum =; thesis = pernyataan, pendapat) adalah suuatu
pernyataan yang pada waktu diungkapkan belum mengetahui kebenarannya, tetapi
memungkinkan untuk diuji dalam kenyataan empiris. Hipotesis memungkinkan kita
menghubungkan teori dengan pengamatan, “pernyataan tentang harapan peneliti
mengenai hubungan-hubungan antara variabel-variabel di dalam persoalan.” Sebagai
contoh dapat dimulai dengan sebuah pernyataan; apakah tamatan SMU yang dimiliki
nilai EBTA tinggi akan mampu menyelesaikan studi di perguruan tinggi dalam waktu
relative lebih cepat? Pertanyaan ini dapat kita ubah menjadi pertanyaan sebagai
berikut: ada hubungan positif antara nilai EBTA di SMU dan prestasi belajar mahasiswa
di perguruan tinggi. Kalimat yang terakhir ini adalah bentuk suatu hipotesis yang
menghubungkan dua variabel, yang nilai EBTA dan prestasi belajar. Dengan demikian
hipotesis ini mengarahkan arah pada penelitian yang harus dilakukan oleh peneliti.
Fungsi hipotesis yang seperti ini menurut Ary Donald adalah :
1. Memberi penjelasan tentang gejala-gejala serta memudahkan perluasan
pengetahuan dalam suatu bidang.
2. Mengemukakan pertanyaan tentang hubungan dua konsep yang secra
langsung dapat diuji dalam penelitian.
3. Memberi arah pada penelitian.
4. Memberi kerangka pada penyususnan kesimpulan penelitian.
Supaya fungsi-fungsi tersebut dapat berjalan secara efektif, maka ada faktor-faktor
yang perlu diperhatikan pada penyusunan hipotesis (lihat Gambar 4.1):
1. Hipotesis disusun dalam kalimat deklaratif. Kalimat itu bersifat positif dan tidak
normative. Istilah-istilah seperti seharusnya atau sebaiknya tidak terdapat dalam
kalimat hipotesis. Contoh : Anak-anak harus hormat kepada orang tua. Kalimat ini
bukan hipotesis. Lain halnya jika dikatakan demikian. Kepatuhan anak-anak kepada
orang tua mereka makin menurun.
2. Variabel (variabel-variabel) yang dinyatakan dalam hipotesis adalah variabel yang
operasional, dalam arti diamati dan diukur.
3. Hipotesisi menunjukkan hubungan tertentu di antara variabel-variabel.
Syarat Penyusunan Hipotesis
Bentuk :
Kalimat deklaratif
postif
Hipotesis Sifat :
operasional
Susunan :
Menyatakan
hubungan
Gambar 4.1
B. Menyusun Hipotesis
Hipotesis dapat disusun dengan dua pendekatan, yang pertama secara deduktif ditarik
dari teori. Suatu teori terdiri atas proposisi-proposisi, sedangkan proposisi menunjukkan
hubungan antara dua konsep. Proposisi ini merupakan postulat-postulat yang dari
padanya disusun hipotesis. Penyusunan hipotesis secara induktif bertolak dari
pengamatan empiris.
Pada model Wallace tentang proses penelitian ilmiah dalam Bab II “Penelitian
Sebagai Proses Ilmiah” telah dijelaskan penjabaran hipotesis dari teori dengan metode
deduksi logis. Teori terdiri atas seperangkat proposisi, sedangkan proposisi
menunjukkan hubungan diantara dua konsep. Misalnya. Teori A terdiri atas proposisi-
proposisi X – Y, Y – Z, dan X – Z. Dari ketga konsep proposisi itu dipilih proposisi yang
diminati dan relevan dengan peristiwa pengamatan, misalnya proposisi X – Y. Bertitik
tolak dari proposisi itu diturunkan hipotesis secra deduksi. Konsep-konsep yang
terdapat dalam proposisi diturunkan dalam pengamatan menjadi variabel-variabel
sebagaimana ditunjukkan pada skema dan contoh di Gambar 4.2.
X Y
Proposisi Teori
Pengatamatan X X Hipotesis
Gambar 4.2
Contoh ;
3. Postulat Determinisme
Suatu kejadian tidak terjadi secara kebetulan, tetapi ada penyebabnya. Sebuah
benda jatuh ke bawah kalau dilepaskan dari suatu ketinggian karena ia ditarik oleh
gravitasi bumi. Gunung meletus bukanlah suatu kebetulan, tetapi merupakan akibat
dari suatu proses geologis yang bekerja di dalam bumi. Demikian juga kecelakaan
lalu lintas di jalan raya tidak terjadi secara kebetulan, tetapi ada penyebabnya. Ada
postulat sebab akibat yang menyatakan bahwa suatu peristiwa terjadi karena
sesuatu atau beberapa sebab. Postulat ini dipakai untuk menyusun suatu hipotesis
untuk menerangkan peristiwa tertentu.
C. Kerangka Hipotesa
Jumlah variabel yang tercakup dalam suatu hipotesis dan bentuk hubungan di
antara variabel-variabel itu sangat menentukan dalam menentukan alat uji
hipotesis. Hipotesis yang hanya terdiri atas satu variabel akan diuji dengan
univariate analysis. Contoh-contoh hipotesis seperti itu adalah :
1. Persepsi remaja terhadap kepemimpinan yang demokratis cukup tinggi.
2. Prestasi studi mahasiswa di tahun pertama cukup rendah.
X1
X2 Y
X3
Hipotesis dengan analisis bivariate didasarkan pada asumsi cateris paribus, yaitu
asumsi y kecuali variabel yang bersangkutan. Karena itu tidak dilihat hubungan di
antara x1 – x2 – x3. Kalau ketiga variabel itu secara bersama – sama dilihat sebagai
variabel variabel – variabel yang menjelaskan y, maka hipotesis itu mencakup lebih dari
dua variabel dan akan diuji melalui multivariate analysis. Hubungan itu secara
matematis dapat ditulis y = F (x1 – x2 – x3). Pola hubungan itu berbeda – beda. Pada
gambar 4.4 diperlihatkan dua macam pola hubungan, yaitu A dan B.
X1
X1
X2 Y X1 X1
X3 X1
Gambar 4.4
D. Model Relasi
Hubungan variabel dengan variabel dalam suatu hipotesis mempunyai model yang
berbeda-beda. Pengertian hubungan di sini tidak sama dengan pengertian hubungan
dalam pembicaraan sehari-hari. Hubungan di sini diartikan sebagai relasi, yaitu
himpunan dengan elemen yang terdiri pasangan urut. Himpunan yang demikian di
bentuk dari dua himpunan yang berbeda. Misalkan himpunan yang satu adalah A yang
terdiri atas nama-nama mahasiswa: Joseph (Y), Maria (M), Ruben (R), Emanuel (E),
dan Agape (A). Himpunan yang lain adalah B, yang terdiri atas elemen – elemen nilai:
8, 7, 5, 6, dan 7. Dari kedua himpunan ini disusun himpunan baru sebagai hasil relasi
dari A ® B. Himpunan ini kita namakan C dimana terdiri dari pasangan elemen A dan B.
Pasangan itu disebut pasangan urut karena yang pertama selalu diambil dari elemen A
dan yang kedua selalu diambil dari B. Pasangan-pasangan itu ditentukan oleg definisi
relasi. Misalnya, A mempunyai nilai tes ekonomi pada B. Dengan definisi itu A
dipasangkan dengan B menurut anak panah seperti pada gambar 4.5.
A R B
Y 8
M 7
R 5
E 6
A 7
Gambar 4.5
Ketiga model ini akan berkembang lagi menjadi 10 jika dihubungkan dengan skala
pengukuran sebagai berikut :
Skala
Model
Pengukuran
Variabel
Kontingensi Asosiatif Fungsional
Nominal v
Ordinal v v
Interval v v v
Ratio v v v
1. Model KontingensiI
Hubungan dengan model kontingensi dinyatakan dalam bentuk tabel silang. Misalnya
hubungan di antara variabel “agama” dan variabel “partai politik” pada pemilu 1997. kita
ingin mengetahui hubungan antara agama dan politik pada 500 orang pemilih pada
tahun 1997 di daerah tertentu. Hubungan tersebut tampak pada tabel hipotesis berikut :
Partai Agama Jumlah
Politik Islam Kristen Katolik Hindhu Buddha
PPP 89 3 3 4 1 100
GOLKAR 291 30 20 6 3 350
PDI 45 2 2 0 1 50
Variabel “Partai Politik” dengan ketiga kategorinya adalah variabel nominal, dan
variabel “Agama” dengan kelima kategorinya juga nominal. Dengan menyilangkan
kedua variabel, maka didapat 3 x 5 = 15 kontingen dalam hubungan itu. Isi masing-
masing kontingen dapat juga dibuat dalam bentuk persentase atau proporsi. Model
kontingensi ini mempunyai bentuk umum : b x k (baris x kolom). Tabel 3 x 2 misalnya
adalah tabel yang terdiri atas 3 baris dan 2 kolom.
2. Model Asosiatif
Model ini terdapat di antara dua variabel yang sama-sama ordinal, atau sama-sama
interval, atau sama-sama ratio, atau salah satu adalah ordinal atau interval. Variabel-
variabel itu mempunyai pola monoton linear. Artinya, perubahan dari variabel yang
bersangkutan bergerak naik terus tanpa turun kembali, atau sebaliknya turun terus
tanpa naik kembali.
Hubungan kedua variabel tersebut disebut juga hubungan konvariasional, artinya
berubah bersama. Jika variabel x berubah menjadi makin naik, maka variabel y juga
berubah makin naik atau makin turun. Jika kedua variabel berubah kearah yang sama,
maka hubungan itu disebut hubungan positif. Keduanya bisa sama-sama naik, artinya
jika x naik, bersamaan dengan itu y juga naik; atau keduanya sama-sama turun, jika x
turun, y juga turun. Hubungan itu dikatakan negative jika kedua variabel berubah pada
arah yang berlawanan. Jika x naik, y turun, atau sebaliknya, jika x turun, y naik (lihat
Gambar 4.6).
X
Y
Gambar 4.6
3. Hubungan Fungsional
Hubungan fungsional adalah hubungan antara suatu variabel ang berfungsi di dalam
variabel lain. Misalnya hubungan antara “obat” dan “penyakit.” Obat dikatakan
fungsional jika ia bisa menyembuhkan penyakit. Berbeda dengan hubungan asosiatif di
mana kedua variabel berdampingan satu dengan yang lain, pada hubungan fungsional
variabel yang satu (independent) berfungsi di dalam variabel yang lain (dependent),
sehingga variabel dependent itu mengalami perubahan. Misalnya hubungan antara
produktivitas kerja dan usia. Variabel usia mempunyai pola monoton linier, tetapi tidak
demikian halnya dengan produktivtas kerja. Katakanlah sampai usia 40 tahun,
produktivitas kerja tu naik, tetapi sesudah 40 tahun mulai menurun (lihat Gambar 4.7).
Model Hubungan
1. Hubungan Kontigensial
X X
Y X-1 X–2 X-3
y–1 x1y1 x2y1 x3y1
y–2 x1y2 x2y2 x3y2
y–3 x1y3 x2y3 x3y3
2. Hubungan Asosiatif
Y
Positif
Negative
3. Hubungan Fungsional
Produktivitas
Usia
Gambar 4.7
E. Hipotesis Nol
Pembuktian hipotesis dilakukan dengan mengumpulkan data yang relevan dengan
variabel-variabel yang bersangkutan. Proses pengujian hipotesis itu dapat disamakan
dengan pengadilan suatu perkarapidana. Di sana ada jaksa sebagai penuntut umum
yang membawa terdakwa ke depan hakim dengan bukti-bukti berupa data yang telah
dikumpulkannya. Data tersebut dikumpulkan dengan bertitik tolak pada hipotesis jaksa
inilah yang mirip dengan hipotesis yang disusun oleh peneliti, tetapi data tersebut harus
diuji oleh hakim. Untuk itu hakim harus bertolak dari sikap praduga tak bersalah.
Artinya, hakim tidak memihak kepada jaksa atau pun terdakwa. Sikap seperti ini juga
merupakan syarat bagi wasit dalam memimpin suatu pertandingan. Asas praduga tak
bersalah inilah yang dimaksud dengan hipotesis nol dalam penelitian ilmiah.
Hipotesis seperti ini kita temukan pula pada hubungan antara dua bilangan,
misalnya a dan b. Hubungan itu bisa a > b, dan a < b, atau a = b. Kalau hipotesis
menyatakan bahwa a > b, maka hipotesis nol adalah negasinya, dan pernyataan yang
mengatakan a > b (a lebih besar daripada b) adalah benar. Ini berarti a> b atau a = b.
Kalau hipotesisnya berbunyi a lebih besar atau nama dengan b, mka hiptesis nolnya
adalah a < b. Dengan demikian demikian jika a < b itu tidak benar, maka yang nol itu
ditolak, maka alternatifnya adalah hipotesis penelitian harus diterima.
Dengan demikan kita mempuntyai dua macam hipotesis. Yaitu hipotesis
operasional yang diharapkan oleh peneliti dan hipotesis nol. Hipotesis operasional
disebut juga hipotesis aternatif dari hipotesis nol. Dalam proses pengujian hipotesis,
yang akn diuji adalah hipotesis nol. Kalau hipotesis nol itu diterima, maka hipotesis
alternatif harus ditolak. Sebaliknya, jika hipotesis nol ditolak, maka hipotesis alternatif
harus diterima. Hipotesis nol diberi H0 dan hipotesis alternatif diberi H1.
Contoh :
Hipotesis 1 : Prestasi studi mahasiswa tahun pertama rendah.
Hipotesis 2 : Ada hubungan positif antara prestasi belajar dan motivasi belajar
dikalangan mahasiswa tahun pertama.
Hipotesis 3 : Ada hubungan antara prestasi belajar dan kebiasaan belajar
mahasiswa tahun pertama.
Hipotesis 1 : H0 : µx >2,00
H1 : µy>2,00
Hipotesis 2 : H0 : ρx.1.y = 0
H1 : ρx.1.y > 0
Hipotesis 3 : H0 : µa = µb = µe
H1 : µa ≠ µb ≠ µe
Hipotesis ini menyatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan belajar dengan
prestasi studi. Misalkan ada 3 kategori (macam) kebiasaan belajar di kalangan
mahasisw, yaitu a, b , dan c. Model hubungan di antara kedua variabel itu adalah
kontigensi. Prestasi belajar itu dinyatakan dengan ma, mb, dan mc. Kalau prestasi
belajar kumulatif rata-rata dari ketiga kebiasaab belajar itu berbeda, berarti perbedaan
itu disebabkan oleh perbedaan kebiasaan belajar. Tetapi, kalau ketiganya sama, berarti
perbedaan belajar itu tidak mempengaruhi prestasi studi mahasiswa (H0).
Catatan :
1. Ary, Donald. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, terjemahan Arief
Furchan dari judul asli Introduction to Research in Education. Surabaya: Penerbit
Usaha Nasional, hlm. 120.
2. Ibid, hlm. 121 – 122.
Lembar Kerja
e.
7. Susunlah hipotesis nol dan hipotesisi alternative pada pertanyaan nomor 6 di atas.
a. H0 :……..
H1 :……..
b. H0 :……..
H1 :……..
c. H0 :……..
H1 :……..
d. H0 :……..
H1 :……..
Bab V
Penarikan Sampel
Thoses units that we initially describe for the ultimate purpose of aggregating their
characteristicics in order to describe some larger group or explain some abstract
phenomenon. 1
Satuan analisis ini mengandung perilaku atau karekteristik yang diteliti. Misalkan kita
ingin meneliti pengaruh gizi terhadap anak balita. Anak balita secara individual
merupakan satuan analisis. Satuan analisis ini dibedakan dengan satuan pengamatan.
Satuan pengamatan adalah satuan tempat informasi diperoleh tentang satuan analisis.
Jika perilaku anak balita diketahui melalui ibunya, maka ibu tersebut merupakan satuan
pengamatan, sedangkan anak balita adalah satuan analisis. Dapat juga satuan analisis
sekaligus merupakan atuan pengamatan. Penelitian tentang motivasi belajar
mahasiswa misalnya, mahasiswa adalah satuan analisis, dan karena informasi tentang
motivasi belajar itu diketahui dari mahasiswa yang bersangkutan, maka mahasiswa
tersebut sekaligus menjadi satuan-satuan pengamatannya. Satuan analisisnya bisa
berupa individu atau lembaga. Penelitian tentang kesejahteraan keluarga misalnya,
satuan analisisnya adalah keluarga, yaitu suatu lembaga yang terdiri atas bapak, ibu,
dan anak-anaknya. Keseluruhan satuan analisis yang merupakan sasaran penelitian
disebut populasi.
Berdasarkan banyaknya satuan analisis dalam suatu populasi, maka populasi dapat
dibedakan atas populasi terbatas (definite population) dan populasi tidak terbatas
(indefinite population ). Secara teoretis, suatu populasi dikatakan terbatas jika jumlah
satuan analisis sebagai anggotanya dapat dihitung, maka perhitungan dapat berakhir.
Jika kita meneliti mutu pendidikan di SMU di Jawa Tengah pada tahun 1996, maka
setiap SMU di daerah Jawa Tengah merupakan satuan analisis dari penelitian itu.
Jumlahnya dapat dihitung, dan kalau dihitung, maka perhitungan dapat selesai. Lain
halnya jika penelitian itu dilakukan terhadap prestasi belajar mahasiswa Universitas
Kristen Satya Wacana. Satuan analisisnya adalah mahasiswa yang pernah, yang
sedang, dan yang akan belajar di universitas tersebut. Jumlah mahasiswa yang pernah
dan yang sedang belajar di universitas itu dapat dihitung, Tetapi jumlah mahasiswa
yang akan belajar tidak dapat dihitung. Kalaupun dapat dihitung, maka perhitungan
tidak dapat di selesaikan. Oleh karena itu, populasi seperti itu disebut populasi tidak
terbatas. Dalam praktik populasi yang sangat besar, sekalipun dapat dihitung dan
perhitungan dapat diselesaikan, namun sering diperlakukan sebagai populasi tidak
terbatas. Penelitian teradap anak balita di Indonesia misalnya, dianggap populasi tak
terbatas.
Sampel sering juga disebut sebagai “contoh,” yaitu himpunan bagian (subset) dari
suatu populasi (lihat Gambar 5.1). Sebagai bagian dari populasi, sample memberikan
gambaran yang benar tentang populasi. Pengambilan sampel dari suatu populasi
disebut penarikan sampel atau sampling. Populasi yang ditarik sampelnya pada waktu
merencanakan suatu penelitian di sebut target population, sedangkan populasi yang
diteliti pada waktu melakukan penelitian disebut sampling population. Daftar nama
satuan analisis pada sampling population ini sering disebut dengan sample frame.
Target population dan samping population dapat berbeda sebagai konsekuensi dari
perbedaan waktu antara perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Dalam jarak waktu
tersebut populasinya bisa berubah, bertambah atau berkurang karena berbagai sebab.
Oleh karena itu, jarak waktu antara perencanaan dan pelaksanaan jangan terlalu lama.
Target population
Sampling
population
Sampel
Satuan Analisis
Gambar 5.1
Masalah yang dihadapi dalam penarikan sampel adalah cara penarikan sampel dan
ukuran besar sample. Hal ini sangat tergantung pada sifat populasi, terutama pada
ketersebaran anggota dalam wilayah penelitian atau dalam kategori-kategori tertentu.
Atau, dengan kata lain tergantung pada variasi populasi. Oleh karena itu, sebelum
sample ditentukan, perlu digambarkan terlebih dahulu karekteristik populasi yang
diteliti, terutama untuk mengetahui sejauh mana keragaman atau variasi diantara
satuan-satuan analisis dalam populasi yang bersangkutan.
Random Sampling
Populasi Sampel
Gambar 5.2
1. Sistem lotre
a. Daftarkan setiap anggota populasi menurut nomor urut, mulai nomor satu sampai
habis. Jangan ada anggota yang terlewatkan atau yang didaftarkan lebih dari satu
kali.
b. Nomor setiap anggota ditulis di atas sepotong kertas kecil, kemudian digulung.
Dengan demikian terdapat sejumlah gulungan kertas yang sama dengan jumlah
populasi.
c. Seluruh kertas gulungan dikocok, kemudian ditarik satu per satu sebagai anggota
sampel sebanyak besar sampel yang dibutuhkan. Penarikan dapat dilakukan tanpa
yang didaftarkan nama-nama yang sesuai dengan nomor gulungan kertas yang
terambil. Dengan demikian kita sudah memiliki daftar ini disebut sampel frame.
2. Acak sistematis
Penarikan sampel dapat pula dilakukan dengan cara sistematis. Jika jumlah angngota
dalam populasi adalah N = 100, dan jika dari jumlah ini akan ditarik sampel sebanyak n
= 20, berarti setiap 5 anggota dari populasi diambil satu sampel. Keseratus nama dari
anggota populasi itu disusun dalam 20 daftar, masing-masing terdiri atas 5 satuan yang
diberi nomor 1-5. Dengan demikian, penarikan sampel, dilakukan sebagai berikut :
a. Daftarkan semua anggota dalam populasi dalam 20 daftar dengan nomor urut
seperti di atas.
b. Ambil 5 potong kertas kecil, di atasnya ditulis berturut-turut angka 1,2,3,4 dan 5.
Kelima potong kertas yang sudah mempunyai angka masing-masing itu kemudian
digulung, setelah itu di kocok, lalu ditarik satu di antaranya. Kalau yang tertarik
adalah angka 3, maka setiap nomor 3 pada 20 daftar itu terambil sebagai sampel
(liat contoh di bawah). Kalau anggota populasi tidak didaftar dalam 20 daftar, tetapi
satu daftar saja dengan nomor urut 001-1.00, maka yang terambil sebagai anggota
sample adalah setiap nomor dengan angka terakhir 3 dan 8, yaitu 3, 8,13,18,23,28
dan seterusnya.
Populasi Sampel
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 03 08
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 13 18
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 23 28
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 33 38
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 43 48
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 53 58
61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 63 68
71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 73 78
81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 84 88
91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 93 96
98 08 63 48 26
33 18 51 52 32
80 95 10 04 06
79 75 24 91 40
18 63 33 25 37
74 02 94 39 02
54 17 84 56 11
11 66 44 98 83
48 32 47 79 28
69 07 49 41 38
Kita mulai dari bilangan pertama kiri atas ( boleh mulai dari sembarang bilangan).
Kita ambil 3 bilangan berurutan ke kanan karena kita membutuhkan tiga digit. Dari
antara bilangan-bilangan itu ada yang memenuhhi syarat dan adapula tidak memenuhi
syarat sebagai anggota sampel, yaitu :
Stratifikasi Sampel
Populasi
Gambar 5.3
Dengan mengkalsifikasikan populasi itu dalam 3 lapis (strata) pada Gambar 5.3,
maka kita mendapatkan 3 strata yang masing-masing anggotanya lebih homogen. Baru
kemudian dilakukan penarikan sampel secara acak dari masing-masing strata itu.
Ketiga strata tersebut adala tiga macam daftar populasi (sample Frame) tempat sampel
ditarik secara acak.
Masalah selanjutnya adalah berapa banyak anggota sampel diambil dari setiap strata.
Kalau banyaknya anggota dalam populasi adalah N, dan dari jumlah itu ditarik sampel
sebesar n, maka n ini adalah jumlah anggota sampel yang ditarik dari ketiga strata.
Untuk itu perlu ditentukan berapa dari masing-masing strata (sample frame) tersebut
diambil secara random. Ada 3 cara yang dapat dijadikan pedoman untuk maksud ini,
yaitu secara proporsional, secara kuota, dan secara purposif.
Contoh :
Populasi :1.600 mahasiswa di universitas X yang terdiri dari 5 angkatan.
Angkatan I : 100
Angkatan II : 250
Angkatan III : 350
Angkatan IV : 400
Angkatan V : 600
Ditarik sampel sebanyak 400 orang atau ¼ (25%) dari populasi. Penarikan sampel
dilakukan sebagai berikut :
Jumlah 400
diambil n sampel dari 5 strata, maka dari masing-masing strata diambil n/5. Dengan
Jumlah 400
3. Pengambilan sampel random secara purposif berlapis
Pengambilan sample seperti ini sering dipakai pada strata yang (a) perbedaan anggota
stratanya cukup mencolok, dan (b) salah satu atau beberapa strata mempunyai sifat
yang dianggap penting. Misalnya kita meneliti masalah kriminalitas di sebuah kota. Dari
kantor polisi ditemukan data (populasi) tentang angka kriminal dalam salah tahun
terakhir sebagai berikut:
Jenis Kejahatan Jumlah Kasus
Pencurian 600
Penipuan 300
Perkosaan 80
Pembunuhan 20
Jumlah 1000
Kalau dari populasi ini ditarik sampel sebesar 200 atau 25% dengan cara
proporsional berlapis atau kuota, maka sampelnya tampak sebagai berikut :
Proporsional Kuota
Pencurian 150 50
Penipuan 75 50
Perkosaan 20 50
Pembunuhan 5 50
Akan tetapi, kasus pembunuhan tidak bisa disamakan dengan kasus pencurian,
dan kasus perkosaan tidak bisa disamakan dengan kasus pencurian atau penipuan.
Bobot dari masing-masing kejahatan itu tidak sama. Karena itu penarikan sampel
secara proporsional atau kuoto kurang tepat untuk dipergunakan di sini. Penarikan
sample dilakukan sebagai berikut :
Populasi Kuota
Pencurian 600 75
Penipuan 300 75
Perkosaan 80 80
Pembunuhan 20 20
Cluster Sampling
Populasi Sampel
A B
Gambar 5.4
Propinsi
Sampel
Gambar 5.5
Catatan
1. Babble, Earl. 1992. The Practice of Social Research. Belmont : Wadsworth
Publishing Company, hlm. 883.
Lembar Kerja
7. Kita tidak dapat membuat generalisasi dari penarikan sample secara probability
sampling dan nonprobability sampling. Penjelasannya sebagai berikut :
……………………………………………………………………………………………...
8. Dari suatu populasi beranggota 500 orang ditarik sample sebanyak 30 orang secara
acak sederhana. Tariklah sampel tersebut dengan menggunakan daftar bilangan
acak.
……………………………………………………………………………………………
10. Perbedaan anatara cluster sampling random dan stratified proportionate random
sampling dapat dijelaskan sebagai berikut :
……………………………………………………………………………………………
…………………..…………………………………………………………………
Bab VI
Desain Penelitian
Setelah mempelajari bab ini, Anda dapat menyusun sebuah desain peneltian tentang
topik yang diminati.
A. Pendahuluan
Kita sudah membahas hakikat ilmu dan penelitian (Bab I), penelitian sebagai proses
ilmiah (Bab II), Kenseptualisasi masalah penelitian (Bab III), hipotesis (Bab IV), dan
penarikan sampel (Bab V). Kelima bab tersebut memberi gambaran kepada kita
tentang hubungan antara ilmu, penelitian dan pemecahan masalah-masalah dalam
kehidupan sehari-hari, dan proses penelitian itu sendiri dimulai dari konseptualisasi
masalah, hipotesis, dan pengujian hipotesis melalui data empiris. Pekerjaan penelitian
dimulai dengan menyusun rancangan penelitin atau desain penelitian, kemudian
menarik sample, menyusun instrumen analisis dan penulisan laporan penelitian. Bab ini
akan membahas Desain Penelitian (lihat Gambar 6.1).
Proses Penelitian
DESAIAN PENELITIAN
PENYUSUN INSTRUMEN
PENARIKAN SAMPEL
UJI COBA
PENGUMPULAN DATA
ANALISIS DATA
PENULISAN LAPORAN
Gambar 6.1
Desain penelitian merupakan cetak biru yang menentukan pelaksanaan
selanjutnya. Penyusunan desain ini dilakukan setelah kita menetepkan topik (judul)
penelitian yang akan dilaksanakan.
Desain penelitian memaparkan apa, mengapa, dan bagaimana masalah
tersebut diteliti dengan menggunakan prinsip-prinsip metodologi yang telah dibicarakan
sebelumnya. Pada umumnya suatu penelitian mengandung dua aspek yang saling
berhubungan dan merupakan persyaratan untuk suatu penelitian yaitu :
1. Substansi Penelitian
Suatu penelitian menunjuk pada substansi tertentu yang akan diteliti. Masalah yang
akan diteliti harus jelaas substansinya. Pada penelitian ilmiah, substansi ini mengacu
kepada teori tertentu yang berada dalam lingkup suatu ilmu pengetahuan. Suatu
penelitian dikatakan memiliki signifikansi teoritis jika penelitian tersebut berfungsi
mengembangkan teori-teori dari ilmu pengetahuan yang menjadi substansinya. Selain
memiliki signifikasi teoretis, suatu penelitian juga harus memiliki signifikasi praktis.
Suatu penelitian memiliki signifikasi praktis jika penelitian tersebut mendukung
kepentingan-kepentingan praktis sehingga memberikan manfaat kepada masyarakat
terkait.
2. Metodologi Penelitian
Penelitian terhadap substansi tertentu itu harus memenuhi persyaratan metodologi
penelitian sebagai suatu proses yang sistematis, terkendalil, krirtis, dan analitis seperti
telah diuraikan sebelumnya.
Berkaitan dengan keda syarat tersebut, maka desain penelitian pada umumnya
dapat dibagi dalam dua pokok, yaitu konseptualisasi masalah dan operasionalisasi.
Kedua pokok tersebut dapat disusun dalam pokok-pokok sebagai berikut :
1. Latar Belakang Penelitian
2. Tujuan dan Hipotesis
3. Kerangka Dasar Penelitian
4. Penarikan Sampel
5. Metode Pengumpulan Data
6. Analisis Data.
Konseptualisasi
Masalah TUJUAN
Tujun
Hipotesis
KERANGKA HIPOTESIS
Definisi Operasional
Indikator Empiris
Pengukuran
Kerangka Hubungan
PENARIKAN SAMPEL
Satuan Analisis
Metodologi Populasi
Sampel
METODE PENGUMPULAN
DATA
ANALISIS DATA
Analisis Pendahuluan
Analisis Lanjut
Gambar 6. 2
B. Latar Belakang Penelitian
Bagian ini merupakan fondasi dari seluruh proses penelitian karena semua konsep
dasar dijelaskan di sini. Sering juga bagian ini diberi judul Pendahuluan. Karena
pentingnya bagian ini, maka paling sedikit ada tiga bagian yang perlu diungkapkan di
sini.
Yang pertama adalah dasar-dasar pemikiran tentang pentingnya masalah yang
akan diteliti. Hal ini diungkapkan dari dua pendekatan, yaitu secara teoritis dan empiris
seperti diuraikan dalam Bab III Konseptualisasi Masalah. Secara teoritis berarti kita
bertitik tolak dari suatu teori yang menarik minat kita, mempelajari berbagai penelitian
yang pernah dilakukan tentang itu dan beberapa sumber yang relevan. Kemudian kita
berusaha untuk melihat masalah itu kedalam kenyataan empiris, mengungkapkan
kesenjangan-kesenjangan yang ada dan usaha-usaha yang pernah dilakukan untuk
menanggulangginya. Bagian ini mengantar kita kedalam perumusan masalah dalam
bagian kedua.
Bagian terakhir dalam latar belakang adalah mengungkapkan pentingnya
(signifikansi) penelitian yang akan dilakukan. Telah disebutkan sebelumnya bahwa
suatu penelitian mempunyai dampak pada pengembangan, baik pengembangan ilmu
pengetahuan maupun pengembangan dalam salah satu pengembangan kehidupan
praktis sehari-hari. Sehubungan dengan itu perlu diungkapkan signifikansi teoritis dan
signifikansi praktis dari penelitian yang bersangkutan.
Jadi jelaslah bahwa hipotesis penelitian ini tidak lain dari jawaban tentative
terhadap pertanyaan penelitian.
X1 X1
X2 Y X2 Y
X3 X3
X1 X1
X2 Y Y
X2
X3 X3
Gambar 6.3
E. Penarikan Sampel
Bagian kedua yang perlu diungkapkan dalam desain penelitian ini adalah perencanaan
tentang bagaimana sampel ditarik . Untuk maksud ini terlebih dahulu perlu
digambarkan besar, batas-batas, dan ciri-ciri populasi penelitian. Apakah populasi
penelitian ini tersebar dalam wilayah luas, atau terbatas dalam wilayah setempat.
Besarnya populasi dinyatakan dalam jumlah anggota (satuan analisis) yang tercakup
dalam populasi itu (target population) Kemudian digambarkan juga sebarapa besar
variasi di antara anggota-anggota populasi. Setelah itu barulah ditentukan sebarapa
besar sampel yang akan ditarik, dan bagaimana cara menariknya.
Kalau kita kembali pada contoh di atas tentang “prestasi studi mahasiswa,” maka
populasi kita misalnya adalah mahasiswa perguruan tinggi X semester kelima
sebanyak 2.000 orang. Mahasiswa sebanyak ini bervariasi menurut fakultasnya
(misalnya ada 3 fakultas), dan dari jumlah ini akan ditarik sampel sebanyak 10% (200
orang). Sampel ditarik secara berlapis proporsional, sebagai berikut :
Keterangan : x : Utama
V : Pelengkap/kontrol
G. Analisis Data
Dalam rangka mencapai tujuan penelitian, data yang akan dikumpulkan perlu dianalisis.
Rancangan tentang analisis ini perlu diungkappkan balam bagian ini. Supaya lebih
sistematis, maka analisis ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama disebut
analisis pendahuluan, dan t ahap kedua analasis lanjut.
Analisis pendahuluan terbatas pada analisis deskriptif untuk setiap variabel pada
sampel. Tujuannya untuk mengetahui karakteristiik setiap variable pada sample, dan
menentukan alat analisis pada analisis selanjutnya. Alat-alat analisis yang dipakai
untuk ini adalah (1) tabel distribusi frekuensi sederhana, (2) diagram statistik, (3)
ukukran tendensi pusat, (4) dispersi yang menggambarkan variasi, dan (5) estimasi
parameter.
Analisis lanjut bertujuan untuk mengnuji hipotesis. Alat-alat analisis dipakai untuk ini
pertama-tama tergantung pada model hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.
Ada nalisis uji hipotesis multivariate. Masing-masing alat analisis terdiri atas sejumlah
alat analisis, tergantung pada pengukuran variabel-variabel yang bersangkutan (lihat
Bab IX : Analisis Uji Hipotesis) Contoh desain penelitian dapat dilihat pada Lampiran 6
di bagian buku ini.
Lembar Kerja
Susunlah sebuah desain penelitian tentang topik yang cukup menarik minat Anda. Sala
satu salinan desainnya dikirim kepada penyelenggara program ini untuk ditanggapi
dalam rangka peningkatan kompetensi Anda dalam bidang ini.
Bab VII
Metode Pengumpulan Data
Sampel
DATA
Pengamatan
Satuan
Gambar 7.1
Variabel-variabel yang diteliti terdapat pada unit analisis yang bersangkutan dalam
sampel penelitian. Data yang dikumpulkan dari setiap variabel yang bersangkutan.
Definisi operasional itu menunjuk pada dua hal yang penting dalam hubungannya
dengan pengumpulan data, yaitu indikator empiris dan pengukuran (lihat Gambar 7.2)
TUJUAN
HIPOTESIS
VARIABEL
INDIKATOR
DATA
Gambar 7. 2
Indikator empiris menunjuk pada apa yang diamati dari variabel yang bersangkutan,
dan pengukuran menunjuk pada kualitas yang diamati. Misalnya variabel “keefektifan
pengalaman belajar” mahasiswa yang dirumuskan sebagai “derajat penggunaan waktu
untuk belajar menurut beban belajar yang diambil oleh mahasiswa dalam satu
semester terakhir.” Indikatornya adalah waktu yang digunakan untuk mempelajari mata
kuliah yang merupakan beban belajar yang telah direncanakan oleh setiap mahasiswa
pada sampel. Istilah derajat menunjuk pada pengukuran, yaitu kualitas penggunaan
waktu. Jika beban studi yang direncanakan 18 sks, maka waktuyang dipergunakan
minimal 3 x 18 = 58 jam/minggu selama semester. Waktu ini dialokasi untuk 18 jam
kuliah/minggu, dan 36 jam kegiatan terstruktur dan mandiri. Tetapi, jika dari 54 jm ini
yang dignakan hanya 27 jam, maka derajat penggunaan adalah 27/54 x 100% = 50%.
Sehubungan dengan masalah pengukuran ini, harus disadari bahwa kita
mengadapi obyek yang berbeda-beda yang mengakibatkan adanya variasi dalam
pengukuran. Prof. Dr. Sutrisno Hadi, M.A, menyebutkan 5 sumber variasi pada
pengukuran, yaitu :
1. Perbedaan yang terdapat dalam obyek-obyek yang diukur ;
2. Perbedaan situasi pada saat pengukuran dilakukan ;
3. Perbedaan alat pengukuran yang digunakan ;
4. Perbedaan penyelenggaraan atau administrasinya
5. Perbedaan pembacaan dan atau penilaian hasil pengukurannya.1
I. Pengamatan ( Observasi)
Pengamatan observasi adalah metode pengumpulan data di mana peneliti atau
kolaboratornya mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama
penelitian.4 Penyaksian terhadap peritiwa-peristiwa itu bisa dengan melihat,
mendengarkan, merasakan, yang kemudian dicatat seobyektif mungkin. Peranan
pengamat dapat dibedakan berdasarkan hubungan partisipatifnya dengan kelompok
yang diamatinya, yaitu :
a. Partisipan penuh
Menyamankan diri dengan yang diteliti. Dengan demikian pengamat dapat
merasakan dan menghayati apa yang diamati oleh responden. Tidak jarang
seorang pengamat tinggal bersama kelompok masyarakat yang diamatinya dalam
waktu yang cukup lama sehingga ia dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang
bersangkutan.
b. Partisipan sebagai pengamat
Masing-masing pihak, baik pengamat mauupun yang diamati, menyadari
peranannya. Peneliti sebagai pengamat membatasi diri dalam berpartisipasi
sebagai pengamat, dan responden meyadari bahwa dirinya adalah objek
pengamatan. Oleh karena itu, pengamat membatasi aktivitasnya dalam kelompok
responden.
c. Pengamat sebagai partisipan.
Peneliti hanya berpartisipasi sepanjang yang dibutuhkan dalam penelitiannya.
d. Pengamat sempurna (complete abserver). Peneliti menjadi pengamat tanpa
partispasi dengan yang diamatinya. Ia mempunyai jarak dengan responden yang
diamatinya.
2. Survei
Nan Lin merumuskan pengertian survei sebagai berikukt :
The survei is data-collection method in which an instrumen is used to solicit
responses from a sample of respondents. 5
Survei adalah metode pengumpulan data dengan menggunakan instrmen untuk
meminta tanggapan dari responden tentang sampel. Ciri-cirinya adalah :
a. Dipakai pada sampel yang mewakili populasi, khususnya probabilistic sampling.
b. Tanggapan (respons) diadapatkan secara langsung dari responden
c. Karena biasanya survei dipakai pada sampel mewakili populasi, maka metode
itu lebih disukai jika ingin ditarik kesimpulan dari sampel. Penggunaan survei
melibatkan banyak responden, dan mencakup area yang lebih luas
dibandingkan dengan metode lainnya.
d. Survei dilaksanakan dalam situasi yang alamiah. Biasanya responden
dikunjungi di kantor atau dirumah untuk dimita informasi. Responden tidak perlu
direpotkan dengan keharusan untuk menghadiri acara tertentu.
Pada dasarnya survei terdiri dari : wawancara dan kuesioner. Wawancara biasanya
dilakukan dalam hubungan langsnung atau bentuk tatap muka antara pewawancara
dan responden, mengajukan pertanyaan, meminta tanggapan, dan melaporkan
tanggapan itu secara tertulis. Instrumennya disebut schedule. Bentuk yang paling
umumnya dari kuisioner tertulis yang dikirim langsung kepada responden. Didalamnya
terdapat pedoman untuk membimbing responden memberikan tanggapannya.
Instrumen disebut kuesioner.
Keuntungan dari kuesioner terutama pada kebakuan dan biayanya yang rendah,
sedangkan keuntungan wawancara terletak pada fleksibilitasnya dan tingkat
ketergantungan pada responden. Untuk menentukan tipe survei yang dipergunakan,
wawancara atau kuesioner, faktor ekonomi barangkali merupakan faktor yang
menentukan. Tetapi jika faktor ekonomi tidak dipertiimbangkan, pemilihan pada
umumnya tergantung pada :
a. Sifat respons
Jika diharapkan respons yang tinggi, misalnya 80%, wawancara lebih baik daripada
kuesioner. Jika kita ingin mengetahui aspirasi seseorang, maka di samping
pernyataan-pernyataannya secara variabel, dapat jugua diketahui dari ekspresinya
ketika bicara. Dengan demikian wawancara lebih baik daripada kueisioner. Di pihak
lain, jika tingkat respons lebih rendah daripada 65%, maka kuesioner lebih baik.
b. Kepekaan pertanyaan
Jika informasi yang diinginkan sanat berhubungan dengan fakta yang diketahui oleh
publik, seperti seks, dan kegiatan yang dianggap “normal” dalam masyarakat
tertentu, maka lebih baik kuesioner, karena responden tidak akan merasa ditekan.
3. Wawancara
wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden.
Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab dalam hubungan tatap muka,
sehingga gerak dan mimik responden merupakan bola media yang melengkapi kata-
kata secara verbal. Karena itu, wawancara tidak hanya menangkap pemahaman atau
ide, tetapi juga dapat menangkap perasaan, pengalaman, emosi, motif yang dimiliki
oleh responden yang bersangkutan. Di sinilah terletak keunggulan dari metode
wawancara. Menurut Mohammad Ali, keunggulan wawancara sebagai alat peneliti
adalah :6
2. Wawancara dapat dilaksanakan pada setiap individu tanpa dibatasi oleh faktor
usia maupuun kemampuan membaca.
3. Data yang diperoleh dapat langsung diketahui obyektivitasnya karena
dilaksanakan secara tatap muka.
4. Wawancara dapat dilaksanakan langsung kepada responden yang diduga
sebagai sumber data (dibandingkan dengan angket yang mempunyai
kemungkinan diisi oleh orang lain)
5. Wawancara dapat dilaksanakan dengan tujuan untuk memperbaiki hasil yang
diperoleh baik melalui observasi terhadap obyek manusia maupun bkan
manusia; juga hasil yang diperoleh melalui angket.
6. Pelaksanaan wawancara dapat lebih fleksibel dan dinamis karena dilaksanakan
dengan hubungan langsung, sehingga memungkinkan diberikannya penjelasan
kepada responden bila suatu pertanyaan kurang dapat dimengerti.
Wawancara dilihat dari bentuk pertanyaan dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu :
a. Wawaancara berstruktur
Pertanyaan-pertanyaan mengarahkan jawaban dalam pola pertanyaan yang
dikemukakan. Misalnya: “Bentuk tes apakah yang paling sering Anda lakukan dalam
mengadakan evaluasi?” Bentuk tes ada beberapa macam (objektivee test, essay
test, written test dan sebagainya), dan responden diarahkan pada salah satu dari
bentuk itu.
b. Wawancara tak berstruktur
Pertanyaan-pertanyaan dapat dijawab secara bebas oleh responden tanpa terikat
pada pola-pola tertentu. Misalnya : “Mengapa memilih guru sebagai profesi anda?”
Pertanyaan seperti ini tidak terikat pada struktur jawaban tertentu, dan karena itu
disebut pertanyaan bebas.
c. Campuran
Bentuk ini merupakan campuran antara wawancara berstruktur dan tak berstruktur.
Misalnya :”Dalam melaksanakan evaluasi tertulis, tes apakah sering Anda
pergunakan dan mengapa?”
Keunggulannya :
a. Angket dapat dipergunakan untuk mengumpulkan data dari sejumlah besar
responden yang menjadi sample
b. Dalam menjawab pertanyaan melalui angket, responden dapat lebih leluasa karena
tidak dipengaruhi oleh sikapp mental hubungan anatara peneliti dan responden.
c. Setiap jawaban dapat dipikirkan masak-masak terlebih dhulu, karena tidak terikat
oleh cepatnya waktu yang diberikan kepada responden untuk menjawab
pertanyaan sebagaimana dalam wawancara.
d. Data yang dikumpulkan dapat lebih muda dianalisis, karena pertanyaan yang
diajukan kepada setiap responden sama.
Kelemahannya :
1. Pemakaian angket terbatas pada pengumpulan pendapat atau fakta yang diketahui
respnden, yang tidak dapat diperoleh dengan jalan lain.
2. Sering terjadi angket di isi oleh orang lain (bukan responden yang sebenarnya),
karena dilakukan secara tidak langsung berhadapan muka antara peneliti dan
responden.
3. Angket diberikan terbatas kepada orang yang melek huruf.
5. Metode Dokumenter
Dokemen adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa pada waktu
yang lalu. Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) misalnya adalah dokumen politik
yang mencatat peristiwa pentibng yang terjadi pada 11 Maret 1966. Data Statistik
adalah dokumen yang mencatat berbagai perkembangan yang terjadi Indonesia dalam
kurun waktu tertentu. Jurnal dalam bidang keilmuan tertentuu termasuk dokumen
penting yang merupakan acuan bagi peneliti dalam memahami obyek penelitiannya.
Bahkan, literature-literatur yang relevan dimaksukkan pula dalam kategori dokumen
yang mendukung penelitian. Semua dokumen yang berhubungan dengan penelitian
yang bersangkutan perlu dicatat sebagai sumber informasi.
C. Instrumen Penelitian
Selanjutnya, untuk menggunakan cara yang telah ditentukan (pengamatan,
wawancara, kuesioner, dokumenter) dibutuhkan alat yang dipakai untuk
mengumpulkan data. Alat itulah yang kita sebut instrumen penelitian. Supaya instrumen
ini dapat berfungsi secara efektif, maka syarat validitas dan reliabilitas harus
diperhatikan sungguh-sungguh. Instrumen penelitian adalah pedoman tertulis tentang
wawancara, atau pengamatan, atau daftar pertanyaan, yang dipersiapkan untuk
mendapatkan Informasi dari responden. Instrumen itu disebut sebagai Pedoman
Pengahayatan atau Pedoman wawancara atau Kuesioner atau Pedoman Dokumenter,
sesuai dengan metode yang dipergunakan. Pada suatu proyek penelitian dapat
dipergunakan lebih dari satu metode pengumpulan data. Ini berarti ada satu atau
beberapa variabel yang diteliti melalui dua metode, misalnya kuesioner dan
pengamatan. Untuk itu perlu disusun dua instrumen. Kedua instrumen itu dibedakan
dengan formolir yang berbeda Formulir 01 untuk Pedoman Pengamatan dan Formulir
02 untuk Pedoman Wawancara.
Pada umumnya bentuk instrumen penelitian itu adalah sebagai berikut :
1. Halaman Judul
Pada halaman ini ditulis judul instrumen, misalnya Pedoman wawaancara pada
Penelitian X. Pada susut kanan atas diberikan nomor formulir dan nomor responden.
Kemungkinan kita menggunakan 3 bentukk instrumen, yaitu Formulir 01 : Pedoman
Wawancara, Formulir 02 : pedoman Pengamatan, Formulir 03 : Daftar Angket. Nama
responden yang memberikan informasi melalui instrumen, tetapi dicatat pada daftar
tersendiri yang tidak boleh dipublikasikan. Karena itu nomor responden merupakan
penngganti dari nama-nama mereka. Di bawah judul sering dicantumkan pula
tanggal pengisian instrumen tersebut (lihat contohnya pada Lampiran 7 di bagian
belakang buku ini).
2. Halaman Pengantar
Di sini dikemukakan maksud dan tujuan intrumen itu supaya tidak ada keraguan
responden dalam mengisi. Kemudian dijelaskan cara mengisi jawaban, kalau perlu
dengan contoh. Akhirnya kemukakan harapan-harapan Anda dan jangan lupa
ucapkan terima kasih kepada responden.
3. Halam Isi
Halaman-halaman ini terdiri dari butir-butir pertanyaan yang diperlukan untuk
memperoleh data yang relevan. Dimulai dari identitas respoonden, kemudian
variable-variabel yang sesuai dengan desain penelitian. Butir-butir pertanyaan itu
disusun dalam 3 kolom, yaitu :
a. Pertanyaan atau pernyataan (klau angket)
b. Jawaban ;
c. Kode (hanya diisi oleh peneliti)
Indikator Pengukuran
1. Kebosanan belajar ordinal: tingkat 1-5
2. Pengadaan Sumber ordinat: tingkat 1-5
3. Keterlibatan belajar ordinat: tingkat 1-5
Karena indikatornya ada tiga, maka disusun 3 butir peertanyaan sebagai berikut:
1. Kebosanan belajar
Setiap belajar sendiri di ruang belajar Anda selama dua jam, Anda merasakan
bahwa waktu tersebut:
a. Terlalu lama
b. Cukup lama
d. Agak cepat
e. Terlalu cepat
3. Keterlibatan belajar
Selama semester terakhir ini, kecuali mengikuti kuliah, Anda melakukan kegiatan
belajar rata-rata setiap hari sebanyak :
e. Di atas 10 jam/hari
Jika dari tiga pertanyaan itu, satu pertanyaan dijawab c dan dua pertanyaan
dijawab d, maka motivasi belajar diambil pada modus (yang terbanyak), yaitu d (agak
tinggi).
Dengan indikator tersebut responden tidak perlu membuat tafsiran sendiri untuk
jawaban yang diberikannya. Perhatikan contoh pertanyaan berikut ini :
Sejauh manakah Anda turut berpartisipasi dalam kegiatan sosial di desa ini?
a. Sangat tinggi
b. Agak tinggi
c. Biasa
d. Agak kurang
e. Kurang sekali.
Jawaban apapun yang dipili dari kelima pilihan tersebut, partisipasi dalam kegiatan
sosial itu tidak jelas. Partisipasi adalah konsep, dan bkan indikator dari sebuah konsep.
Konsep tidak bisa ditanyakan kepada responden karena dapat ditafsirkan secara
berbeda-beda oleh setiap responden. Seorang reponden bisa menafsirkannya sebagai
sumbangan uang untuk kepentingan sosial, yang lain menafsirkan sebagai kerja gotong
royong, yang lain menafsirkan sebagai keikutsertaan dalam pertemuan-pertemuan.
Demikian juga tentang pengukurannya, kapan dikatakan partisipasi itu tinggi, dan
kapan dikatakan kurang.
Dari a.1 sampai dengan a.3, tingkat-tingkat kesetujuan itu diberi jarak yang sama.
Demikian pula dari b.1 sampai dengan b.3. Tetapi, jarak a.3 ke a.4 tidak sama, tetapi
semakin besar. Antara a.3 ke a.4 jaraknya adalah dua kali jarak a.1 ke a.2 atau a.2 ke
a.3. Antara a.4 ke a.5 jaraknya tiga kali jarak a.1 ke a.2 atau a.2 ke a.3. Hal serupa
berupa pula pada jarak antara b.3 ke b.4 dan b.4 ke b.5. Artinya mulai tingkat a.3
loncatan menjadi lebih tinggi. Bayangkan seorang gelandangan menang lotre Rp. 10
juta dibandingkan dengan kalau ia mendapat hadiah tambahan Rp. 1.000,00 ke Rp.
2.000,00.
Dengan demikian skala setuju dari 1 sampai 8, dan skala tidak setuju dimulai
dari –1 sampai –8.
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Jika titik nol (0) dipindahkan ke-_8, maka titik nol semula menjadi 8 dan titik 1 menjadi 9
seperti tampak berikut ini :
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Jadi skala itu terentang antara sangat tidak setuju pada titik 0 dan sangat setuju
pada 16. Butir pertanyaannya pada instrumen dapat disusun seperti berikut ini :
Nyatakanlah kesetujuan Anda tentang free sex dengan memberi tanda tentang (V)
pada a jika setuju, b jika tidak setuju, dan c jika tidak punya pendapat. Kemudian jika
Anda setuju, maka centangkanlah angka +1 atau +2 atau +3 atau +4 atau +5 sesuai
dengan tingkat kesetujuan Anda; sebaliknya jika Anda tidak setuju, maka
centangkanlah angka –1 atau –2 atau –3 atau –4 atau –5 sesuai dengan tingkat ketidak
sertujuan.
Jawaban :
a
+1 +2 +3 +4 +5
b
c -1 -2 -3 -4 -5
Contoh :
Variabel: X3 : Indeks Prestasi Belajar Kumulatif
(IPK)
3 1 4 data variabel : 3
Master Sheet
3 1 4
Catatan
2. Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research. Jilid II. Yogyakarta. Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada hlm. 97.
3. Nan Lin. 1976. Fondation of Sosial Research. New York : McGraw-Hill Book
Company, hlm, 197
4. Hadi, op cit., hlm. 205.
5. Nan Lin, op cit., hlm. 220.
6. Ali, Mohamad. 1987. Penelitian Kependidikan: Prosedur & Strategi. Bandung:
Penerbit Angkasa, hlm.83
Lembar Kerja
1. Jelaskan Perbedaan antara informasi dan data. Berikan satu contohnya.
2. Apa tujuan dari pengumpulan data ?
3. Sebutkan dengan kata-kata Anda sendiri tahap-tahap pengumpulan data menurut
Nan Lin
4. Apa perbedaan antara satuan pengamatan dan satuan analisis?
5. Darimana diketahui data yang akan dikumpulkan? Jelaskan.
6. Jelaskan keunggulan dan kelemahan metode pengamatan.
7. Jelaskan perbedaan antara “partisipasi sebagai pengamat” dan “pengamat
sebagai partisipan.”
8. Jelaskan keunggulan dan kelemhan metode wawancara.
9. Jelaskan keunggulan dan kelemahan metode kuesioner.
10. Dalam keadaan yang bagaimana metode dokumenter itu lebih unggul ?
11. Jelaskan paling sedikit lima factor yang menjadi dasar pertimbangan untuk
memilih metode yang tepat pada penngumpulan data.
12. Jelaskan pengertian “Validitas” dan reliabililtas” dalam hubungannya dengan
instrumen penelitian.
13. Pada modul no. 43/L/MPI Anda telah megerjakan Lembar Kerja tentang desain
Penelitian. Untuk desain Penelitian yang telah Anda susun itu, sekarang lanjutkan
dengan menyusun Instrumen Penelitiannya.
Bab VIII
Analisis Pendahuluan
A. Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan melalui instrumen penelitian dimaksudkan untuk menguji
sejauh mana hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya dapat diterima. Dalam
hubungan ini data tersebut perlu dianalisis agar dapat dipergunakan untuk pengujian
hipotesis tersebut. Data yang masih ada dalam lembar-lembar instrumen itu masih
berupa data mentah, memerlukan pengolahan supaya dapat digunakan dalam proses
analisis selanjutnya. Analisis itu sendiri diproses dalam dua tahap, yaitu analisis
pendahuluan dan analisis uji hipotesis. Sebelum analisis pendahuluan, data mentah
perlu diolah terlebih dahulu supaya dapat dimasukkan dalam proses analisis. Seperti
bahan-bahan makanan yang akan dimasak, sebelum dimasak perlu dibersihkan
terlebih dahulu, dipotong-potong, sampai siap untuk dimasak. Demikian juga data yang
akan dianalisis perlu diolah terlebih dahulu.
Bahan-bahan yang menjadi obyek pada pengolahan data ini adalah lembar-lembar
instrumen yang sudah diisi oleh pengumpul data. Proses pengolahan ini dilakukan
dalam 3 tahap, yaitu :
1. editing,
2. coding, dan
3. master sheet
1. Editing (Penyuntingan)
Setiap lembar instrumen yang sudah diisi adalah dokumen tentang data setiap
responden pada sampel penelitian. Jumlah lembaran itu sama dengan jumlah satuan
analisis pada sampel. Oleh karena itu, dalam proses editing ini pertama-tama dihitung
jumlah semuan instrumen yang sudah terkumpul, yang seharusnya sama dengan
besarnya sampel. Jika jumlah responden pada sampel adalah n, dan jumlah instrumen
yang terkumpul adalah n’, maka selisih n – n’ adalah lembar instrumen yang belum
terisi atau belum dikembalikan, dan karena itu perlu diusahakan agar (n – n’) itu dapat
dikumpulkan.
Setelah itu setiap lembar instrumen yang sudah diisi diteliti apakah seluruh item
sudah diisi (dijawab) secara benar (valid). Lembar-lembar instrumen yang tidak diisi
lengkap atau ada ietm yang diisi tapi tidak valid, dipisahkan dari yang lainnya untuk
sedapat mungkin dibetulkan kembali dengan menghubungi responden yang
bersangkutan. Mungkin item-item yang tidak diisi atau tidak valid itu kurang dipahami
oleh responden yang bersangkutan, karena itu perlu dilacak kembali dengan metode
wawancara. Contoh-contoh jawaban yang tidak valid adalah :
Pertanyaan: Usia anda pada tahun 1999 ini adalah …... (dijawab : 150 tahun).
Jawaban ini disangsikan kebenarannya, karena tidak ada manusia zaman sekarang
yang mencapai usia setinggi itu.
Pertanyaan: Jika dalam melakukan pekerjaan sehari-hari ada pekerjaan yang tidak
selesai pada hari itu, maka yang anda lakukan adalah :
a. Menunda penyelesaiannya sampai besok
Jawaban ini tidak valid karena ada dua jawaban yang dipilih dan kedua jawaban itu
berlawanan satu dengan yang lain.
Proses editing berakhir jika sudah dipastikan bahwa semua lembar instrumen telah
terkumpul dan diisi secara valid.
Data untuk setiap variabel/indikator diberi kode angka dengan memperhatikan skala
pengukuran pada variabel yang bersangkutan. Karena itu angka-angka yang dipakai
sebagai kode perlu diberi penjelasan. Misalnya variabel “jenis kelamin” yang diukur
pada skala nominal menghasilkan data dengan dua kategori, yaitu pria dan wanita.
Untuk pria diberi kode dengan angka 1 dan wanita dengan angka 2. makna dari angka
itu berbeda jika diukur pada skala ordinal, misalnya variabel “pendidikan”. Data tentang
variabel pendidikan ini terdiri dari: tidak pernah sekolah, tamat SD, tamat SLTP, tamat
sekolah menengah, tamat perguruan tinggi. Data ini diberi kode:
a. Pria
b. Wanita
2. Indeks Prestasi komulatif anda pada semester terakhir diperguruan tinggi tempat
anda belajar adalah:
X1 3
1
data
keterangan kode perlu disusun dalam satu daftar tersendiri seperti berikut ini:
Daftar Kode
Variabel Data
Kolom
Nama Kode Kode Keterangan
1. Jenis X1 1 pria 3
Kelamin 2 wanita
dst.
3. Master Sheet (Tabel Induk)
Tahap terakhir dari pengolahan data ini adalah memasukan semua data kedalam table
induk atau master sheet. Table ini terdiri atas baris dan kolom. Jumlah baris sama
dengan banyaknya responden pada sampel penelitian. Jumlah kolom disesuaikan
dengan data disetiap variabel termasuk kolom untuk nomor responden. Jika banyaknya
responden ratusan orang, maka tiga kolom pertama adalah untuk responden. Kolom
selanjutnya disediakan untuk variabel-variabel (lihat pada contoh pada lampiran 8 di
bagian belakann buku ini). Jika anda mempunyai computer, maka sebaiknya master
sheet ini dimasukan ke komputer (entry data).
B. Analisis Deskriptif
Analisis pendahuluan bertujuan untuk mengetahui karakteristik setiap variabel pada
sampel penelitian melalui analisis statistika deskriptif. Dari hasil analisis ini pula dapat
dipastikan alat analisis yang akan dipakai pada analisis uji hipotesis nanti. Alat-alat
analisis yang dipakai pada analisis pendahuluan adalah:
Penggunaan keempat alat analisis ini tergantung pada jenis variabel. Variabel-
variabel itu dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu variabel nominal, variabel ordinal,
dan variabel interval/ratio. Dalam banyak hal, analisis untuk variabel nominal dan
variabel ordinal adalah sama karena data pada kedua variabel itu disebut juga data
kualitatif.
a. Distribusi Frekuensi
Tabel distribusi frekuensi untuk Variabel nominal adalah distribusi frekuensi
kategorik, karena variabel ini diklasifikasikan menurut kategori. Contohnya adalah
variabel jenis kelamin atau x4 pada Lampiran 8:
1. Pria 15
2. Wanita 20
Jumlah 35
Dari tabel tersebut tampak bahwa responden pada sampel cenderung menumpuk
pada kategori wanita.
b. Diagram Statistik
Hal ini diperjelas dengan diagram. Diagram yang sesuai untuk variabel nominal
adalah diagram batang seperti berikut ini:
20
pria
15
wanita
d. Ukuran Dispersi
Ukuran tendensi pusat itu selalu disertai dengan dispersi yang menunjukkan variasi
didalam kelompok sampel. Ambillah missal dua kelompok yang modusnya sama-
sama wanita. Kelompok A jumlah kelompok wanitanya 60% dan kelompok B
wanitanya 90%. Kedua kelompok ini sama-sama mempunyai modus, yaitu wanita.
Tetapi, keduanya mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan itu ditunjukkan
oleh ukuran dispersi. Pada variabel nominal, ukuran dispersinya Indeks Variabel
Komulatif (IVK) yang dapat dihitung dengan rumus: 1
∑ n i nj
IVK =
P(n/k)2
Contoh:
Warna balon pada suatu pesta
Warna Jumlah
Kuning 70
Merah muda 80
Jingga 100
Hijau 250
Jumlah 500
(70 x 80) + (70 x 100) + (70 x 250) + (80 x 100) + (80 x 250) + (100 x 250)
IVK = x 100
6(500/4)2
= 88,84
15 x 20
IVK = x 100
1(35/2)2
= 82
e. Estimasi Parameter
Modus adalah statistic karena merupakan salah satu ukuran pada sampel. Semua
ukuran itu dipakai pada populasi, maka namanya bukan statistic tetapi parameter.
Pada contoh diatas, 57% atau 0,57 dari anggota sampel adalah wanita. Di sini
statistiknya adalah proporsi (p), yaitu p = 0,57. tetapi, bahwa hal ini berlaku juga
pada populasi, tidak diketahui. Artinya, parameter itu tidak diketahui. Kalau
parameter itu ditulis b, maka b perlu perlu diestimasi berdasarkan statistik p.
Estimasi proporsi itu dihitung dengan rumus: 2
(p – z α/2;n-1’ σp) ≤ b ≤ (p + z α/2;n-1’ σp)
Kalau kita ambil tingkat konfidensi pada 0,95 (1 – α), maka harga z = 1,96 (dilihat
pada tabel luas kurva normal)3 seperti pada Lampiran 2 dibagian belakang buku ini.
σp untuk variabel jenis kelamin pada tabel diatas dihitung dengan rumus:
p(1 – p)
σp =
n
0,57 (1 – 0,57)
σp =
35
= 0,027
Interval estimasi:
Artinya: proporsi wanita pada populasi berada diantara 0,517 ke 0,623 pada tingkat
konfidensi 95%.
Pada variabel interval dan ratio, estimasi dilakukan terhadap mean (µ).
a. Distribusi Frekuensi
Distribusi frekuensi untuk variabel interval atau ratio adalah distribusi frekuensi
numerik atau distribusi frekuensi kontinu. Untuk lebih menjelaskan hal ini kita
bekerja dengan sebuah contoh, yaitu variabel x2 (Indeks Prestasi Studi Kumulatif)
pada Lampiran 8. Data pada tabel induk menunjukkan IP minimum 1,00 (No. 34)
dan tertinggi 3,60 (No. 02). Rentangan (Rg) adalah 3,60 – 1,00 = 2,60. Responden
yang berjumlah 35 orang akan kita klasifikasikan menjadi 5 kelas. Interval kelas (i)
adalah Rg/k = 2,60/5 = 0,52. Supaya ada sedikit kelonggaran, maka I dibulatkan
keatas menjadi 0,6. Dengan demikian distribusi frekuensi tampak sebagai berikut:
Distribusi Frekuensi IP Mahasiswa Sampel
IP Jumlah
1,00 – 1,59 1
1,60 – 2,19 8
2,20 – 2,79 18
2,80 – 3,39 7
3,40 – 3,99 1
Jumlah 35
b. Diagram Statistik
Diagram statistik yang paling tepat untuk melukiskan data ini adalah poligon.
18
Jumlah
8
7
1 1
IP
Dari tabel dan poligon tersebut tampak bahwa IP untuk mehasiswa sampel
cenderung menumpuk dikelas tengah, yaitu 2,20 – 2,80. Pola distribusinya simetris,
cenderung ke pola distribusi normal. Kecenderungan ini dipertajam dengan ukuran
tendensi sentral dan ukuran dispersi dibawah.
IP kumulatif rata-rata untuk 35 orang mahasiswa sampel diatas adalah 2,42 (diukur
pada skala 0,00 – 4,00).
d. Ukuran Dispersi
dispersi yang menunjukkan variasi pada variabel interval dapat diukur dengan
statistik (a) rentangan atau range (selisih maksimum dengan minimum), atau (b)
simpangan rata-rata, atau (c) standar deviasi. Yang paling tepat dari ketiga ukuran
itu adalah standar deviasi dengan notasi statistiknya s yang dihitung dengan rumus:
∑ (x1 – x)2
s =
n–1
= 0,49
Perhitungan ini dapat dilakukan secara manual, atau dengan scientific calculator,
atau dengan komputer dengan program excel, atau mikrostat atau SPSS.
Makin besar angka ini dibandingkan dengan nilai rata-rata, berarti makin kecil
variasi, atau keragaman, dan makin rendah berarti makin kecil variasi, simpangan
setiap data terhadap nilai rata-ratanya makin kecil. Ukuran variasi itu sendiri diukur
dengan statistic variance (v), yaitu v = s/x x 100%. Untuk data diatas, v = 0,42/2,42
x 100% = 17%. Makin besar v, makin tinggi variasi, dan sebaliknya
e. Estimasi Parameter
Parameter yang diestimasi pada variabel interval ini adalah nilai rata-rata pada
populasi atau µ (baca: myu). Alat yang dipakai untuk mengistemasi ini adalah
statistik x dari sampel yang bersangkutan sebagai estimatornya. Estimasi ini
dilakukan pada tingkat konfidensi (notasinya: 1 - α) yang kita pilih sendiri. Ada tiga
tingkat yang biasa dipilih, yaitu 0,99 atau 0,95 atau 0,90. Kita ambil yang sedang,
yaitu 0,95. Kalau angka ini dinyatakan dalam persen, maka tingkat konfidensi
adalah 95%.
Estimasi dilakukan dalam interval tertentu yang disebut interval konfidensi, antara
batas bawah dan batas atas. Dalam istilah sehari-hari disebut ±. Artinya ada batas
atasnya +, dan ada batas bawahnya –. Kalau dikatakan jumlahnya ± 5 km, berarti
boleh lebih dan boleh kurang dari 5 km. berapa lebihnya dan berapa kurangnya
perlu ditentukan. Kalau tidak ditentukan batas-batasnya, maka 15 km termasuk
dalam pengertian ± 5 km itu. Tetapi, kalau batas bawahnya ditentukan 4,5 km dan
batas atasnya 5,5 km, maka 4,7 km dan 5,3 km termasuk dalam interval ± 5 km itu.
Kalau statistik x = 2,42 sebagai estimator bagi parameter µ, maka parameter µ
adalah ± 2,42. Tetapi, masih perlu ditentukan batas bawah dan batas atas dari ± itu.
Interval antara batas bawah dan batas atas itulah yang disebut dengan interval
konfidensi. Kalau ditentukan tingkat konfidensi = 1 - α, maka interval konvidensi
dihitung dengan rumus: 4
Dengan rumus ini, perhitungan estimasi untuk parameter µ adalah sebagai berikut:
Kesimpulan
Alat-alat analisis deskiftif pada analisis pendhuluan tergantung pada jenis variabel
seperti tampak pada tabel di bawah.
Variabel
Analisis
Nominal Ordinal Interval/Ratio
Distribusi frekuensi Kategorik Kategorik Numerik
Diagram statistik bar chart bar chart, Poligon
histogram
Ukuran tendensi modus Modus, Mean ( x )
pusat median
Dispersi IVK IVK standar deviasi
Estimasi proporsi proporsi Mean (µ)
Catatan
1. Gulo, W. 1998. Dasar-dasar Statistika Sosial. Salatiga: Yayasan Bakor LPKI, hlm.
66.
2. Ibid., hlm. 179.
3. Tabel ini dapat ditemukan pada buku-buku statistik
4. Gulo, op cit., hlm. 176.
lembar Kerja
A. Pendahuluan
Analisis uji hipotesis bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh hipotesis penelitian
yang telah disusun semula dapat diterima berdasarkan data yang telah dikumpulkan
untuk maksud itu. Analisa uji hipotesis tidak menguji kebenaran hipotesis, tetapi
menguji dapat diterima atau ditolaknya hipotesis yang bersangkutan. Misalkan
ditemukan satu orang mahasiswa dikampus A yang mencuri sepeda motor mahasiswa.
Kemudian disusun suatu pernyataan yang menyatakan bahwa mahasiswa dikampus A
adalah pencuri. Tetapi kalau pernyataan ini ditolak, berarti ditolak bahwa ada
mahasiswa pencuri sepeda motor dikampus itu dalam bahasa penelitian dikatakan
bahwa satu orang mahasiswa mencuri dari antara sekian mahasiswa tidaklah
signifikan.
Alat analisis yang dipergunakan untuk uji hipotesis ini tergantung pada factor-faktor
berikut ini:
1. jumlah variabel dalam pernyataan hipotesis;
2. model hubungan antar variabel;
3. skala pengukuran variabel
1. Jumlah Variabel
Dilihat dari banyaknya variabel yang terlibat dalam satu hipotesis, uji hipotesis dapat
dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:
a. Univariate, jika hanya satu variabel dalam satu hipotesis.
Contoh: Prestasi belajar mahasiswa rendah.
b. Bivariate, jika terdapat dua variabel dalam satu hipotesis.
Contoh: ada hubungan positif antara prestasi belajar dan motivasi belajar
dikalangan mahasiswa.
c. Multivariate, jika terdapat tiga variabel dalam satu hipotesis.
Contoh: prestasi belajar mahasiswa dipengaruhi oleh motivasi belajar, kondisi social
ekonomi, dan lingkungan mahasiswa.
2. Model Hubungan
Keciali banyaknya variabel, analisis uji hipotesis juga tergantung pada model hubungan
diantara variabel dengan variabel. Nan Lin menyebutkan lima macam model hubungan
sebagai berikut:
a. Klasifikasi
Model ini menunjukkan hubungan antar kategori pada suatu variabel. Kalu hipotesis
berbunyi, “motivasi belajar mahasiswa rendah,” berarti motivasi belajar itu
mempunyai bebrapa kategori, ada yang sangat rendah, agak rendah, sedang, agak
tinggi, dan tinggi. Kategori rendah termasuk sangat rendah dan agak rendah.
b. Tipelogi
Model ini menunjukkan tipe atau taksonomi dari setiap kelompok dalam satu
variabel. Kompeteni misalnya dapat digolongkan dalm tiga tipe atau taksonom, yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiganya tidak bisa dipisahkan walaupun dapat
dibedakan.
c. Kontingensi
Model ini menghubungkan paling sedikit dua variabel, masing-masing dengan
beberapa kategori. Hubungan dinyatakan dalam tabel silang, dengan satu variabel
pada satu baris dan lainnya pada kolom. Hubungan antar “program studi” dan
“pekerjaan orang tua” mahasiswa dapat disusun dalam tabel kontingensi seperti
berikut:
Pendidikan 60 25 15 100
Tabel dari dua variabel ini, masing-masing dengan tiga kategori, disebut tabel
kontingensi 3 x 3. Terdapat 9 kontingen, dan kontingen menunjuk pada dua
variabel. Model ini sering dipakai untuk menguji ketergantungan diantara kedua
variabel itu.
d. Asosiasif
Model ini menunjukkan hubungan antara dua variabel yang masing-masing
monoton linier. Variabel yang monoton linier ini mempunyai gerak yang konstan,
yaitu naik terus atau turun terus. Contoh: usia. Usia naik terus dan tidak pernah
turun.
Y Y
X X
Kalau dua variabel yang mempunyai arah yang sama dihubungkan dalam model ini,
maka hubungannya dikatakan positif. Artinya, keduanya sama-sama naik atau
sama-sama turun. Sebaliknya, jikakeduanya berlawanan arah, yang satu naik dan
lainnya turun, maka hubungannya dikatakan negative. Hubungan ini dikatakan
asosiasif karena kedua variabel, y dan x, hadir bersama-sama. Dimana ada y, disitu
juga ada x. kehadiran bersama itu tidak selalu sama, ada kalanya y hadir tetapi x
tidak hadir. Dalam sejumlah kehadiran y, hanya beberapa x hadir. Hubungan ini
disebut juga kovariasional karena sama-sama bervariasi, sama-sama berubah. Jika
y berubah naik, maka x berubah naik (positif) atau berubah turun (negatif).
Hubungan asosiasif atau kovariasional ini bukan hubungan sebab akibat, tetapi
hanya menunjukkan perubahan bersama kedua variabel. Misalnya “kodok ngorek,
hujan turun.” Artinya, peristiwa kodok ngorek terjadi bersamaan dengan turunnya
hujan. Turunnya hujan bukan disebabkan oleh kodok ngorek atau sebaliknya.
Keeratan hubungan asosoasif ini dinyatakan dalam angka korelasi antara 0,0 ke1,0.
e. Fungsional
Hubungan fungsional menunjukkan bahwa salah satu variabel berfungsi untuk
membuat perubahan pada variabel lain. Hubungan antara kesehatan dan makanan,
antara usia dan produktivitas kerja, antara gizi makanan dan intelektual, adalah
contoh-contoh hobungan fungsional seperti itu. Pada umumnya analisis regresi
dipakai untuk hubungan seperti ini.
3. Skala Pengukuran
Skala pengukuran variabel menentukan pemilihan alat uji hipotesis. Misalkan kita
menguji hipotesis untuk satu variabel (univariate). Kalau variabel itu diukur pada skala
interval, maka parameter yang akan diuji adalah mean. Tetapi, kalau variabel itu diukur
pada skala nominal atau ordinal, maka parameter yang akan diuji adalah proporsi. Alat-
alat uji hipotesis yang dapat dipergunakan untuk dua variabel pada berbagai skala
pengukuran dapat dilihat pada tabel barikut.
Variabel y Variabel x
Bivariate
Universitas
(k > 2)
Pengukuran Statistik Dikitomi
Uji (k = 2) Interval/
Nominal Ordinal
ratio
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
µX = µ
σ
σx =
√n
d.f = n – m
n : besarnya sampel
m : banyaknya variabel
kalau banyaknya variabel hanya satu, dan besarnya sampel = 30, maka d.f adalah
30 – 1 = 29.
Selanjutnya prosedur pengujian hipotesis dengan statistik z dilakukan sebagai
berikut:
Hipotesis: H0 : µ = µ0
H1 : (1) µ ≠ µ0
(2) µ > µ0
(1) µ < µ0
H1 dapat dirumuskan dalam tiga bentuk seperti diatas sesuai dengan perumusan
hipotesis operasional pada rancangan penelitian yang bersangkutan. Apabila hipotesis
tidak cendrung kearah positif atau arah negatif, maka H1 dalam bentuk (1) adalah
bentuk yang sesuai. Tetapi jika hipotesis cenderung kearah positif, maka bentuk (2)
adalah bentuk H1 yang sesuai. Sebaliknya jika hipotesis cenderung kearah negative,
maka bentuk (3) adalah bentuk hipotesis yang sesuai.
α
H0
z
1,64 2,16
1,28 1,96
Gambar 9.2
d. Statistik Uji
Bergantung pada distribusi sampling. Untuk sampel besar, distribusi sampling-x
berbentuk distribusi normal, dan karena itu statistik ujinya adalah z. tetapi, untuk
sampel kecil, berbentuk distribusi-t, statistik ujinya adalah-t.
e. Kriteria
Kriteria penerimaan H0 ditentukan oleh derajat signifikan yang dapat dipilih oleh arbitrer.
Namun, secara konvensional derajat signifikan dipilih salah satu dari tiga tingkat:
α = 0,10
α = 0,05
α = 0,01
f. Perhitungan Statistik
Kalau satistik uji adalah z, maka perhitungan z dari data penelitian dilakukan sebagai
berikut:
x - µx
z=
σ√n
σ adalah simpangan baku populasi. Akan tetapi, biasanya populasi tidak diketahui,
karena itu harga ini diduga sama dengan s (simpangan baku sampel)
g. Kesimpulan
α/2 α/2
terima H0
z
-zα/2 +zα/2
+zhitung +zhitung
(tolak H0) (terima H0)
Gambar 9.3
H0 : µ = µ0
H1 : µ ≠ µ0
Apabila z < +zα/2 dan z > -zα/2’ maka H0 diterima, atau H1 ditolak. Sebaliknya, apabila
z > +zα/2 dan z < -zα/2’ maka H0 ditolak, atau H1 diterima.
Contoh:
Suatu pernyataan menyatakan bahwa pendapatan perkeluarga rata-rata diwilayah “X”
adalah Rp250.000,00/bulan. Untuk menguji apakah pernyataan itu dapat diterima,
dilakukan suatu penelitian diwilayah X dengan menarik sampel sebesar 500 keluarga.
Hasil analisis pendahuluan menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata keluarga pada
sampel adalah Rp257.000,00 dengan simpangan baku s = Rp85.000,00. karena
sampelnya cukup besar, maka uji hipotesis dilakukan dengan statistik uji z (distribusi
normal).
H0 : µ = 250.000
H1 : µ ≠ 250.000
Distribusi sampling:
Distribusi sampling x mempunyai bentuk distribusi normal, dimana µx = µ dan σx = σ√n.
Tingkat signifikan:
Diilih 3 tingkat, yaitu:
α = 0,10
α = 0,05
α = 0,01
Criteria penerimaan H0 :
H0 diterima jika: -zα/2 < z < +zα/2
Perhitungan statistik:
x-µ
z=
σx
x-µ
=
s √n
karena σ (simpangan baku populasi) tidak diketahui, maka harganya diduga sama
dengan σ (simpangan baku sampel), sehingga:
x-µ
z=
σx
257.500 – 250.000
=
85.000 √500
= 1,97
Kesimpulan:
1) Untuk α = 0,10 dengan uji dua sisi terlihat bahwa (lihat Tabel Luas Kurva Normal
pada Lampiran 2):
-z0,10/2 = +1,64
-z0,10/2 = -1,64
2) Untuk α = 0,05 dengan uji dua sisi terlihat bahwa (lihat Tabel Luas Kurva Normal)
-z 0,05/2 = +1,96 dan -z 0,05/2 = -1,96. Sedangkan harga z dari hasil perhitungan
statistik adalah 1,97 lebih besar daripada 1,96. pada gambar 9.5, z = 1,97 terletak
disebelah kanan z = 1,96, tidak terletak dalam daerah penerimaan H0.
H0
z
-1,64 +1,64 z
hitung = 1,97
Gambar 9.5
3) Untuk α = 0,01 dengan uji dua sisi terlihat bahwa -z 0,01/2 = 2,57 lebih besar dari
pada harga z hitung 1,97. Oleh karena itu, H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya, pada
tingkat signifikan α = 0,01, pendapatan rata-rata keluarga sebesar Rp250.000,00/
bulan tidak dapat diterima.
Untuk uji hipotesis satu sisi (sisi kanan) pada data diatas, hipotesis operasionalnya
barbunyi: “Pendapatan rata-rata keluarga lebih besar daripada Rp.250.000,00/bulan.”
Hipotesis nol menjadi:
H0 : µ = 250.000
H1 : µ > 250.000
Distribusi sampling:
Distribusi sampling x mempunyai bentuk Distribusi normal dimana µx = µ dan σx = σ√n.
Tingkat signifikan:
α = 0,05
Perhitungan statistik:
x-µ
z=
σx
x-µ
=
s √n
karena σ (simpangan baku populasi) tidak diketahui, maka harganya diduga sama
dengan σ (simpangan baku sampel), sehingga:
x-µ
z=
σx
257.500 – 250.000
=
85.000 √500
= 1,97
Kesimpulan:
1) Untuk α = 0,05 dengan uji satu sisi terlihat bahwa (lihat Tabel Luas Kurva Normal):
-z0,10/2 = +1,64
µ(x1- x2) = µ1 - µ
σ12 σ22
σ(x1- x2) = +
N1 N2
Dalam hal ini σ12 dan σ22, yaitu varians dari populasi masing-masing kategori, perlu
diketahui. Jika hal ini tidak diketahui (umumnya demikian), maka sebaliknya uji
hipotesis dilakukan dengan statistik t. Karena σ12 dan σ22 tidak diketahui, maka perlu
statistik penduga untuk σ(x1- x2)2. Statistik ini tergantung pada asumsi tentang σ1 dan σ2.
Untuk itu terdapat dua model, yaitu (1) statistik penduga yang didasarkan pada asumsi
bahwa σ1 = σ2 ’ dan (2) statistik penduga jika σ1 ≠ σ2’2.
Contoh:
Didaerah Kotamadya Salatiga terdapat sekelompok penduduk golongan ekonomi
lemah dengan mata pencarian pokok menjual bakso keliling kota. Diantara mereka ada
yang hanya bekerja sebagai penjual bakso keliling, dan ada pula yang mempunyai
pekerjaan lain disamping sebagai penjual bakso keliling. Untuk mengetahui apakah
perbedaan dalam kerangkapan dalam pekerjaan ini tampak pada perbedaan
pendapatan mereka sebagai penjual bakso, maka diambil sampel sebanyak 30 orang
penjual bakso keliling, diantaranya ada yang mempunyai pekerjaan lain disamping
sebagai penjual bakso. Penghasilan (dalam rupiah) mereka rata-rata perbulan menurut
penelitian tahun 1981 adalah sebagai berikut:
A n1 23 B n2 14
x1 5.098 x2 4.138
s1 720 s2 1.091
(sumber: Gideon Triwuyanto. 1981. Pendapatan Pedagang Bakso Keliling di Desa Kutowinangun,
salatiga. Skripsi Sarjana Muda FKIP/Ekonomi)
Pada contoh tersebut peneliti mempunyai kecenderungan bahwa mereka yang
tidak mempunyai pekerjaan sampingan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi (uji
hipotesis satu sisi). Pengujian hipotesisnya sebagai berikut:
H0 : µ1 - µ2 = 0
H1 : µ1 - α = 0,05 > 0
Asumsi:
Asumsi pendapatan diukur pada skala interval, dan variabel kerangkapan pekerjaan
diukur pada skala nominal.
σ1 = σ2 = σ
Statistik uji:
Karena harga s tidak diketahui dan sampel cukup kecil, maka distribusi sampling
x1 - x2 berbentuk distribusi-t.
Dengan demikian statistik uji adalah t.
Criteria:
Dipilih 3 tingkat signifikan, yaitu:
a) α = 0,10
H0 Diterima jika t ≤ t 0,10;n-2
b) α = 0,05
H0 Diterima jika t ≤ t 0,05;n-2
c) α = 0,01
H0 Diterima jika t ≤ t 0,01;n-2
Perhitungan statistik:
(x1 - x2) - 0
t =
σ (x1- x2)
σ12 σ22
σ(x1- x2) = +
N1 N2