Full Skripsi
Full Skripsi
Full Skripsi
TUGAS AKHIR A
Diajukan sebagai untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S-1) di Program
Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi
Bandung
Oleh:
Rakha Azmandika
12014059
TUGAS AKHIR A
Diajukan sebagai untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S-1) di Program Studi
Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
Rakha Azmandika
NIM 12014059
Menyetujui,
Pembimbing
ABSTRAK
Daerah penelitian berlokasi di Desa Talagasari dan sekitarnya, Kecamatan Serangpanjang,
Kabupaten Subang, Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak pada koordinat
geodetik 6°34'04.06" - 6°38'23.01" LS dan 107°35'10.37" - 107°38'59.46" BT. Luas daerah
penelitian adalah 56 km2. Daerah penelitian memiliki masalah airtanah secara kualitas dan
kuantitas. Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu pemetaan geologi yang bertujuan
untuk mengetahui tatanan geologi dan hidrogeologi daerah penelitian.
Berdasarkan klasifikasi BMB, geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi delapan
satuan geomorfologi, yaitu Satuan Denudasional Struktur Lipatan Banggalamulya, Satuan
Perbukitan Homoklin Talagasari, Satuan Punggungan Kipas Lahar Ponggang, Satuan
Punggungan Lahar Cintamekar, Satuan Dataran Aluvial Cigebang, Satuan Aliran Lava
Gunung Tangkuban Parahu, Satuan Kerucut Gunung Tangkuban Parahu, dan Satuan
Kaldera Sunda. Daerah penelitian memiliki pola aliran sungai dendritik, paralel, dan trellis,
dengan tahapan geomorfik dewasa.
Stratigrafi daerah penelitian terbagi menjadi tujuh satuan batuan tidak resmi berumur
Miosen Akhir – Resen. Satuan batuan pada daerah penelitian diendapkan pada lingkungan
neritik tengah – darat. Satuan batuan tersebut berturut-turut dari tua ke muda adalah Satuan
Batulempung, Satuan Batupasir-Batulempung, Satuan Batupasir-Konglomerat, Satuan
Andesit, Satuan Tuf Lapili, Satuan Breksi Volkanik, dan Satuan Endapan Aluvial.
Struktur Geologi yang berkembang di daerah penelitian yaitu Antiklin Jalupang dan Sesar
Menganan Cigebang. Struktur-struktur tersebut dibentuk oleh fase tektonik kompresi
berarah utara-selatan pada Plio-Pleistosen.
Akuifer di daerah penelitian terdapat pada Satuan Batupasir-Batulempung, Satuan
Batupasir-Konglomerat, Satuan Tuf Lapili, Satuan Breksi Volkanik, dan Satuan Endapan
Aluvial. Jenis akuifer di daerah penelitian adalah akuifer bebas dengan pola aliran umum
airtanah mengalir dari selatan ke utara. Dari sisi kuantitas, potensi airtanah daerah
penelitian sangat dikendalikan oleh jenis litologi. Masyarakat di daerah penelitian bagian
utara disarankan menampung air hujan untuk dapat digunakan pada musim kemarau.
Parameter kimia airtanah berupa pH memiliki nilai 5,5 – 8,1 dan parameter fisik airtanah
berupa TDS memiliki nilai 58 – 553 mg/L. Mengacu pada Persyaratan Kualitas Air Minum
Permenkes RI No. 492/Menkes/Per/IV/2010, 49,56% dari luas keseluruhan daerah
penelitian memiliki kualitas airtanah layak minum berdasarkan parameter pH dan TDS.
Diperlukan penelitian komposisi airtanah lebih lanjut untuk mengetahui kelayakan airtanah
sebagai air minum secara lebih rinci.
Kata kunci: Talagasari, Subang, Akuifer.
i
GEOLOGY AND HYDROGEOLOGY OF TALAGASARI AREA, SERANGPANJANG
DISTRICT, SUBANG REGENCY, WEST JAVA
By :
Rakha Azmandika
12014059
ABSTRACT
The research area is located in Talagasari Village, Serangpanjang District, Subang
Regency, West Java. Geographically, the research area is located at geodetic coordinates
of 6°34'04.06" - 6°38'23.01" LS and 107°35'10.37" - 107°38'59.46" BT. The area of the
research area is 56 km2. The research area has problems in groundwater quality and
quantity. The method used in this research is geological mapping which aims to determine
the geological and hydrogeological setting of the research area.
Based on the BMB classification, the geomorphology of the research area is devided into
eight geomorphological units, they are Banggalamulya Denudational Fold Structure Unit,
Talagasari Homoclinal Hills Unit, Ponggang Lahar Fan Ridge Unit, Cintamekar Lahar
Ridge Unit, Cigebang Alluvial Plain Unit, Mount Tangkuban Parahu Lava Unit, Mount
Tangkuban Parahu Cone Unit, and Sunda Caldera Unit. The research area has dendritic,
parallel, and trellis river flow patterns, considered as mature geomorphic stages.
The stratigraphy of the research area is divided into seven unofficial rock units, formed
during the Late Miocene – Recent. The rocks units were deposited in a middle neritic -
land environment. These rock units from old to young are Claystone Unit, Sandstone-
Claystone Unit, Sandstone-Conglomerate Unit, Andesite Unit, Lapilli Tuff Unit, Volcanic
Breccia Unit, and Alluvial Sediment Unit.
The geological structure that developed in the research area is the Jalupang Anticline and
Cigebang Right-lateral Fault. These structures were formed by the compression tectonic
phase with north-south trending during the Plio-Pleistocene.
Aquifers in the research area are in Sandstone-Claystone Unit, Sandstone-Conglomerate
Unit, Lapilli Tuff Unit, Volcanic Breccia Unit, and Alluvial Sediment Unit. The type of
aquifers in the research area is unconfined aquifer with a general flow pattern of
groundwater flowing from south to north. In terms of quantity, the potential of
groundwater in the research area is controlled by the type of lithology. People in the
northern research area are advised to collect rain water to be used during the dry season.
The pH as chemical parameters of groundwater measured at values of 5.5 - 8.1, while the
TDS as physical parameters of groundwater measured at values of 58 - 553 mg/L.
Referring to the Drinking Water Quality Requirements Republic of Indonesia Minister of
Health Regulation No. 492 / Menkes / Per / IV / 2010, 49.56% of the total area of the
research area has suitable groundwater for drinking based on pH and TDS parameters.
For more detail, further research on the composition of groundwater is needed to
determine the feasibility of groundwater as drinking water.
Keywords: Talagasari, Subang, Aquifer.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan skripsi sarjana ini dengan baik. Laporan tugas akhir berjudul
“Geologi dan Hidrogeologi Daerah Talagasari dan Sekitarnya, Kecamatan Serangpanjang,
Kabupaten Subang, Jawa Barat” ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Strata Satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian, Institut Teknologi Bandung dengan waktu penyusunan mulai Mei 2018 hingga
Februari 2019.
Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis mendapat banyak bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Keluarga penulis Papah Agus Setiagraha, Mamah Yane, Teteh Priyanka Faza, dan
keluarga besar penulis atas segala doa dan dukungan kepada penulis.
2. Dr. Dasapta Erwin Irawan, ST., MT. sebagai dosen pembimbing atas bimbingan,
arahan, dan saran yang diberikan selama pengerjaan tugas akhir ini.
3. Seluruh dosen pengajar dan staf Program Studi Teknik Geologi ITB.
4. Keluarga Bapak Asep dan warga Desa Banggalamulya atas tempat tinggal dan
bantuan yang diberikan kepada penulis selama pengambilan data di lapangan.
5. Puri, Eci, Yudhis, Bowo, Dillan, dan Ismar yang senantiasa membantu dan
menemani penulis selama penyusunan tugas akhir ini.
6. Teman-teman pasukan Teknik Geologi ITB 2014.
7. Semua pihak yang telah terlibat dalam pengerjaan tugas akhir ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pengerjaan skripsi ini. Untuk itu,
penulis terbuka dalam menerima kritik dan saran yang membangun. Penulis berharap
penelitian ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang
geologi dan hidrogeologi.
iii
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK..............................................................................................................................i
ABSTRACT.............................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................vi
DAFTAR TABEL...............................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
I.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
I.2 Tujuan Penelitian.....................................................................................................2
I.3 Lokasi Daerah Penelitian.........................................................................................2
I.4 Batasan Masalah......................................................................................................3
I.5 Metode dan Tahapan Penelitian..............................................................................4
I.5.1 Tahap Persiapan...................................................................................................4
I.5.2 Tahap Pengambilan Data.....................................................................................4
I.5.3 Tahap Analisis dan Pengolahan Data..................................................................5
I.5.4 Tahap Penyusunan Laporan.................................................................................5
I.6 Diagram Alir Pelaksanaan Tugas Akhir..................................................................6
I.7 Sistematika Penulisan..............................................................................................6
BAB II GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL.................................................8
II.1 Geologi Regional.....................................................................................................8
II.1.1 Fisiografi dan Morfologi..................................................................................8
II.1.2 Stratigrafi........................................................................................................10
II.1.3 Struktur Geologi.............................................................................................13
II.2 Hidrogeologi Regional..........................................................................................15
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN...................................................................18
III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian...........................................................................18
III.1.1 Geomorfologi Umum Daerah Penelitian.......................................................18
III.1.2 Pola Aliran dan Tipe Genetik Sungai.............................................................20
III.1.3 Tahapan Geomorfik.......................................................................................21
III.1.4 Interpretasi Kelurusan....................................................................................23
v
III.1.5 Satuan Geomorfologi.....................................................................................23
III.2 Stratigrafi Daerah Penelitian.................................................................................30
III.2.1 Satuan Batulempung......................................................................................30
III.2.2 Satuan Batupasir-Batulempung......................................................................33
III.2.3 Satuan Batupasir-Konglomerat......................................................................35
III.2.4 Satuan Andesit...............................................................................................39
III.2.5 Satuan Tuf Lapili............................................................................................40
III.2.6 Satuan Breksi Volkanik..................................................................................42
III.2.7 Satuan Endapan Aluvial.................................................................................43
III.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian.......................................................................44
III.3.1 Antiklin Jalupang...........................................................................................44
III.3.2 Sesar Mengiri Cigebang.................................................................................45
III.4 Mekanisme Pembentukan Struktur Geologi..........................................................45
BAB IV SEJARAH GEOLOGI...........................................................................................47
BAB V HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN.......................................................48
V.1 Akuifer Daerah Penelitian.....................................................................................48
V.1.1 Akuifer pada Satuan Batupasir – Batulempung.............................................48
V.1.2 Akuifer pada Satuan Batupasir-Konglomerat................................................49
V.1.3 Akuifer pada Satuan Tuf Lapili......................................................................50
V.1.4 Akuifer pada Satuan Breksi Volkanik............................................................51
V.1.5 Akuifer pada Satuan Endapan Aluvial...........................................................52
V.2 Pola Aliran Airtanah..............................................................................................53
V.3 Kualitas Airtanah...................................................................................................54
BAB VI KESIMPULAN.....................................................................................................61
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................62
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1 Peta administrasi Jawa Barat dan lokasi daerah penelitian
(http://www.big.go.id/peta-provinsi diakses pada 16 Juni 2018)..........................................3
Gambar I.2 Diagram alir pelaksanaan penelitian...................................................................6
Gambar II.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)...........................................9
Gambar II.2 Penampang stratigrafi terpulihkan utara - selatan Jawa Barat (Martodjojo,
1984)....................................................................................................................................11
Gambar II.3 Pola struktur umum Jawa Barat (Pulunggono dan Martodjojo, 1994)............14
Gambar II.4 Peta Cekungan Air Tanah Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta
(http://new.pamsimas.org diakses tanggal 10 Juli 2018).....................................................15
Gambar II.5 Peta hidrogeologi regional daerah penelitian (Soetrisno, 1985)......................16
Gambar III.1 Peta kemiringan lereng van Zuidam (1965) daerah penelitian......................19
Gambar III.2 Citra SRTM yang memperlihatkan morfologi daerah penelitian
(http://earthexplorer.usgs.gov/ diakses tanggal 20 Maret 2018)..........................................20
Gambar III.3 Pola aliran dan genetik sungai di daerah penelitian.......................................21
Gambar III.4 (a) Lembah sungai “V” dan (b) lembah sungai “U” di daerah penelitian......22
Gambar III.5 Longosoran kecil di sisi Sungai Cikeruh........................................................22
Gambar III.6 (a) Kelurusan melalui citra SRTM (http://earthexplorer.usgs.gov/ diakses
tanggal 20 Maret 2018) dan (b) hasil analisis arah umum kelurusan daerah penelitian......23
Gambar III.7 Morfologi Satuan Dataran Denudasional Struktur Lipatan Banggalamulya. 24
Gambar III.8 Morfologi Satuan Perbukitan Homoklin Talagasari......................................25
Gambar III.9 Morfologi Satuan Kipas Lahar Ponggang (foto diambil menghadap selatan
dari desa Banggalamulya)....................................................................................................26
Gambar III.10 Morfologi Satuan Punggungan Lahar Cintamekar (foto diambil dari desa
Banggalamulya)...................................................................................................................27
Gambar III.11 Fragmen-fragmen batuan pada Satuan Dataran Aluvial Cigebang..............28
Gambar III.12 Morfologi Satuan Aliran Lava Tangkuban Parahu (http://www.wirasel.com/
diakses tanggal 20 Oktober 2018)........................................................................................28
Gambar III.13 Morfologi Satuan Kerucut Gunung Tangkuban Parahu
(https://www.dakatour.com/ diakses tanggal 20 Oktober 2018)..........................................29
Gambar III.14 Kawah Gunung Tangkuban Parahu di dalam Satuan Kaldera Sunda..........30
Gambar III.15 Singkapan batulempung bernodul batupasir dan batulempung....................31
Gambar III.16 Singkapan batulempung sisipan batupasir di sisi Sungai Cisadapan...........31
Gambar III.17 Diagram hubungan kecepatan arus air dengan ukuran butir Hjulström.......32
Gambar III.18 Singkapan perselingan batupasir-batulempung di Sungai Cikeruh..............33
Gambar III.19 Sekuen Bouma yang teramati di lapangan...................................................34
Gambar III.20 Kontak selaras Satuan Batupasir - Batulempung dengan Satuan
Batulempung........................................................................................................................35
Gambar III.21 Singkapan perselingan batupasir-konglomerat pada Satuan Batupasir-
Konglomerat.........................................................................................................................36
Gambar III.22 Gerusan konglomerat pada batupasir...........................................................37
Gambar III.23 Model endapan sedimen mekanisme arus butir (Boggs, 2001)...................37
vii
Gambar III.24 Kontak tegas Satuan Batupasit - Konglomerat dengan Satuan Batupasir -
Batulempung........................................................................................................................38
Gambar III.25 Singkapan Satuan Andesit di sisi Sungai Cikeruh.......................................39
Gambar III.26 Singkapan Satuan Tuf Lapili di Sungai Cilutung.........................................40
Gambar III.27 Model fasies pada gunungapi strato (Bogie dan Mackenzie, 1998 dalam
Bronto, 2006).......................................................................................................................41
Gambar III.28 Tekstur pemilahan buruk pada litologi tuf breksi........................................41
Gambar III.29 Singkapan Satuan Breksi Volkanik di Sungai Cibarubus............................42
Gambar III.30 Fragmen-fragmen penyusun Satuan Endapan Aluvial di Sungai Cikeruh...43
Gambar III.31 Klasifikasi lipatan Fleuty (1964)..................................................................44
Gambar III.32 Jejak sesar (a) slickenside, (b) shear fracture, dan (c) sesar minor..............45
Gambar III.33 Model pembentukan struktur geologi dengan tegasan pure shear oleh
Moody dan Hill (1956).........................................................................................................46
Gambar V.1 Ilustrasi skematik akuifer bebas dan terkekang (Todd, 1980).........................48
Gambar V.2 Rembesan airtanah pada batupasir..................................................................49
Gambar V.3 Sumur gali yang terdapat pada Satuan Batupasir – Konglomerat...................49
Gambar V.4 Salah satu dari beberapa model mata air (Bryan, 1919)..................................50
Gambar V.5 Sumur-sumur gali di daerah penelitian pada Satuan Tuf Lapili......................51
Gambar V.6 Mata air panas pada Satuan Breksi Volkanik..................................................52
Gambar V.7 Model sistem geotermal gunungapi strato dengan induk batuan andesitik
(Stimac dkk., 2015)..............................................................................................................52
Gambar V.8 Mata air pada Satuan Endapan Aluvial di sisi Sungai Cilamaya....................53
Gambar V.9 Rembesan airtanah di sisi Sungai Cikeruh......................................................54
Gambar V.10 Model hubungan muka airtanah dengan sungai secara influent dan effluent
(Meinzer, 1923)....................................................................................................................54
Gambar V.11 Peta sebaran pH pada daerah penelitian dengan kontur pH interval 0,1.......56
Gambar V.12 Peta sebaran TDS pada daerah penelitian dengan kontur interval TDS 20...57
Gambar V.13 Peta kelayakan air tanah pada daerah penelitian dengan parameter pH dan
TDS......................................................................................................................................58
viii
DAFTAR TABEL
Tabel V.1 Klasifikasi airtanah berdasarkan TDS (Freezy dan Cherry, 1979).....................55
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
BAB I
PENDAHULUAN
Pengetahuan akan sistem air tanah yang bekerja di daerah penelitian menjadi dasar untuk
mengetahui keterdapatan dan kualitas air tanah. Berbagai metoda eksplorasi hidrogeologi
di permukaan maupun bawah permukaan dapat dilakukan untuk mengetahui sistem air
tanah serta mengidentifikasi lapisan akuifernya. Salah satu metoda eksplorasi yang dapat
dilakukan yaitu pembuatan peta muka airtanah (MAT) beserta sistem dan kualitas air
tanahnya dengan objek yang diteliti yaitu sumber mata air dan air tanah pada sumur gali.
Eksplorasi hidrogeologi ini erat kaitannya dengan data-data geologi sehingga perlu
dilakukan pula suatu pemetaan geologi daerah penelitian.
1
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973) daerah penelitian yang
berada di Kabupaten Subang bagian tengah umumnya dibentuk oleh endapan sedimen
berumur Kuarter yang terbagi menjadi tiga satuan yaitu Formasi Subang Anggota
Batulempung (Msc), Formasi Kaliwangu (Pk), dan Formasi Tjitalang (Pt) yang menempati
bagian utara hingga tengah daerah penelitian. Sementara daerah selatan daerah penelitian
terdiri dari endapan gunung api Kuarter dengan ciri litologi yang dominan breksi volkanik
dan piroklastik yang terbagi menjadi Hasil Gunungapi Lebih Tua (Qob) dan Hasil
Gunungapi Muda Tak Teruraikan (Qyu) yang mana merupakan produk hasil dari Gunung
Tangkuban Perahu. Jenis litologi pada Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973)
tersebut menjadi dasar pembuatan Peta Hidrogeologi Lembar Cirebon (Soetrisno, 1985).
Berdasarkan keterdapatan dan produktivitas airtanahnya, Soetrisno (1985) membagi daerah
peneltian menjadi empat tipe yaitu Airtanah Langka, Produktifitas Rendah, Produktifitas
Sedang, dan Setempat Produktif. Munculnya variasi produktivitas air tanah tersebut
membuat Kabupaten Subang menarik untuk diteliti lebih lanjut.
2
Daerah penelitian dapat dicapai dengan menggunakan transportasi darat dan membutuhkan
waktu sekitar 105 menit. Perjalanan dimulai dari Kota Bandung melewati Kota Lembang
dan Ciater yang mana terhubung langsung menuju Jalan Cagak, Kabupaten Subang.
Kemudian, perjalanan menuju Kecamatan Serangpanjang dapat ditempuh selama 20 menit
dari Jalan Cagak. Sementara itu, untuk mencapai Kecamatan Dawuan dan Kecamatan
Kalijati yang mana merupakan area daerah penelitian bagian utara harus melewati Kota
Subang dan memerlukan waktu sekitar satu jam karena tidak baiknya akses penghubung
antar kecamatan di daerah penelitian.
Gambar I.1 Peta administrasi Jawa Barat dan lokasi daerah penelitian
(http://www.big.go.id/peta-provinsi diakses pada 16 Juni 2018)
3. Struktur geologi, meliputi rezim gaya dan arah tegasan utama yang bekerja, serta
struktur geologi yang terbentuk.
4. Studi khusus mengenai hidrogeologi, meliputi tipologi sistem akuifer, pola aliran
airtanah, dan kualitas airtanah di daerah penelitian.
3
I.5 Metode dan Tahapan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemetaan geologi dan hidrogeologi
daerah penelitian dengan melakukan pengambilan data langsung di lapangan. Tahapan
penelitian meliputi empat tahap yaitu tahap persiapan, tahap pengambilan data lapangan,
tahap analisis dan pengolahan data, dan tahap penyusunan laporan.
Survei awal merupakan peninjauan langsung ke lapangan yang bertujuan untuk melihat
kondisi umum daerah penelitian seperti lokasi singkapan batuan, kondisi singkapan batuan,
akses jalan menuju lokasi singkapan batuan, dan kondisi lingkungan daerah penelitian. Hal
ini diperlukan untuk membuat rencana lintasan serta mempersiapkan logistik dan
akomodasi yang diperlukan selama melaksanakan pemetaan di daerah penelian.
4
- Pengukuran struktur geologi, meliputi pengukuran kedudukan lapisan dan struktur
sekunder seperti rekahan yang terbentuk dan teramati.
- Pengambilan sample batuan, bertujuan untuk pengamatan lebih lanjut di
laboratorium guna mengidentifikasi batuan.
- Dokumentasi, meliputi catatan lapangan pada singkapan, mata air, dan sumur gali
beserta foto dan sketsanya.
Produk yang dihasilkan dari tahap ini berupa peta geomorfologi, peta lintasan, peta
geologi, peta hidrogeologi, penampang geologi, penampang stratigrafi, dan laporan ilmiah
tertulis mengenai studi geologi dan hidrogeologi di daerah penelitian.
5
I.6 Diagram Alir Pelaksanaan Tugas Akhir
Tahap dan mekanisme pelaksanaan penelitian sesuai dengan diagram alir pada Gambar I.2.
BAB I Bab ini merupakan pembahasan tentang latar belakang penelitian, tujuan
penelitian, lokasi penelitian, batasan masalah, metode dan tahapan penelitian,
diagram, diagram alir pelaksanaan tugas akhir, dan sistematika penulisan
laporan.
BAB II Bab ini merupakan pembahasan tentang geologi regional yang meliputi
fisiografi, stratigrafi, struktur geologi, dan hidrogeologi daerah penelitian
sebagai gambaran umum dan berdasarkan studi literatur.
BAB III Bab ini membahas data hasil pengamatan lapangan di daerah penelitian yang
meliputi pembagian satuan geomorfologi beserta tahapan geomorfiknya,
stratigrafi daerah penelitian berdasarkan pembagian satuan batuan, dan stuktur
geologi beserta mekanisme pembentukannya.
6
BAB IV Bab ini membahas tentang sejarah geologi daerah penelitian berdasarkan
interpretasi dari data-data lapangan hasil pengamatan dan analisisnya.
BAB V Bab ini membahas tentang identifikasi lapisan akuifer, pola aliran airtanah, dan
analisis kualitas airtanah daerah penelitian.
BAB VI Bab ini memuat kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan, analisis, dan
interpretasi data yang didapatkan dari studi literatur dan pemetaan lapangan.
7
BAB II
GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL
Gambar II.1 menggambarkan pembagian fisiografi daerah Jawa Barat oleh van Bemmelen
(1949). Berdasarkan pembagian fisiografi Jawa Barat tersebut, daerah penelitian berada
pada Zona Bogor bagian tengah dan sebelah selatan sebagian tertutupi oleh endapan
gunungapi kuarter.
9
II.1.2 Stratigrafi
Berdasarkan mayoritas ciri sedimennya pada Zaman Tersier, secara umum
Martodjojo (1984) membagi daerah Jawa Barat kedalam tiga mandala sedimentasi, yaitu:
- Mandala Paparan Kontinen
Mandala ini berada di utara Mandala Cekungan Bogor dan lokasnya sama dengan
Zona Dataran Pantai Jakarta pada pembagian zona fisiografi Jawa Barat oleh van
Bemmelen (1949). Mandala ini dicirikan oleh endapan paparan yang umumnya
terdiri dari batugamping, batulempung, dan batupasir kuarsa, serta lingkungan
pengendapan umumnya laut dangkal dengan ketebalan sedimen dapat mencapai
5000 m. Pada mandala ini pola transgresi dan regresi umumnya jelas terlihat.
- Mandala Cekungan Bogor
Mandala ini terletak di selatan Mandala Paparan Kontinen yang meliputi beberapa
Zona Fisiografi van Bemmelen (1949), yakni: Zona Bogor, Zona Bandung, dan
Zona Pegunungan Selatan. Ciri mandala ini berupa endapan aliran gravitasi, yang
umumnya berupa fragmen batuan beku dan batuan sedimen, seperti: andesit, basalt,
tuf, dan batugamping, dengan ketebalan diperkirakan lebih dari 7000 m.
- Mandala Banten
Mandala Banten terletak di timur dari Mandala Paparan Kontinen dan Mandala
Cekungan Bogor. Mandala ini tidak memiliki ciri yang begitu jelas karena
sedikitnya data yang diketahui. Pada umur Tersier Awal, mandala ini lebih
menyerupai Mandala Paparan Kontinen, sedangkan pada Tersier Akhir cirinya
sangat mendekati Mandala Cekungan Bogor.
10
Gambar II.4 Penampang stratigrafi terpulihkan utara - selatan Jawa Barat (Martodjojo,
1984)
Menurut Martodjojo (1984), formasi tertua yang menjadi dasar dari Mandala Cekungan
Bogor yaitu Formasi Ciletuh yang berumur Eosen Awal. Formasi ini diendapkan diatas
kompleks Mélange Ciletuh. Ciri litologi formasi ini berupa batulempung dan batupasir
kuarsa dengan sisipan breksi, kaya fragmen batuan metamorf dan batuan beku ultrabasa.
Bagian bawah dari formasi ini ditafsirkan sebagai endapan lereng atas dari suatu sistem
akresi, berubah secara berangsur menjadi ke menjadi endapan linkungan laut dangkal di
bagian atasnya. Pada Eosen Awal diendapkan pula Formasi Jatibarang dengan ciri batuan
beku, tufa, dan sisipan batugamping.
Pada umur Eosen Tengah sampai akhir diendapkan secara selaras Formasi Bayah diatas
Formasi Ciletuh yang memiliki ciri litologi batupasir kuarsa dan batulempung sisipan
batubara. Menurut Martodjojo (1984) diperkirakan lingkungan pengendapan formasi ini
yaitu darat sampai laut dangkal. Kemudian pada Oligosen Akhir diendapkan secara tidak
selaras Formasi Batuasih dengan ciri litologi batulempung, napal sisipan batupasir kuarsa.
Berdasarkan ciri batuannya, diperkirakan lingkungan pengandapan Formasi Batuasih
adalah lingkungan transisi.
Bersamaan dengan Formasi Batuasih, pada Oligosen Akhir sampai Miosen Awal
diendapkan Formasi Rajamandala secara tidak selaras diatas Formasi Bayah dan secara
11
lateral bagian bawah Formasi Rajamandala menjari dengan Formasi Batuasih (Martodjojo,
1984). Formasi Rajamandala memiliki ciri litologi berupa batugamping berlapis, dan di
beberapa tempat berkembang sebagai terumbu (Ps. Pabeasan dan Tjahyo Hadi, 1972 dalam
Martodjojo, 1984). Secara lateral jenis batugamping formasi ini banyak berubah.
Lingkungan pengendapan Formasih Rajamandala yaitu laut dangkal.
Pada Miosen Awal diendapakan Formasi Citarum dengan litologi batulempung napalan,
napal, batupasir, hingga batupasir konglomerat, dengan mekanisme pembentukannya yaitu
aliran gravitasi. Pada saat yang sama diendapkan pula Formasi Jampang yang terdiri dari
breksi dan tuf di selatan Formasi Citarum. Diinterpretasikan kedua formasi tersebut
merupakan satu sistem kipas laut dalam.
Pada Miosen Tengah diendapkan Formasi Saguling dengan litologi breksi secara selaras
diatas Formasi Citarum dengan mekanisme endapan turbidit. Pada Miosen Tengah juga
diendapkan Formasi Cibulakan dengan ciri litologi berupa napal, batulempung, dan
batulempung gampingan secara tidak selaras diatas Formasi Jatibarang.
Kemudian pada Miosen Tengah – Akhir Formasi Saguling ditutupi secara selaras oleh
batulempung dan greywacke anggota Formasi Bantargadung. Kemudian Formasi
Bantargadung ditutupi oleh breksi Formasi Cigadung dan breksi Formasi Cantayan di
utara. Kedua formasi tersebut kemudian ditutupi secara tidak selaran oleh endapan
gunungapi kuarter. Pada Miosen Akhir diendapkan pula batugamping Formasi Parigi
secara selaras diatas Formasi Cibulakan. Diatas Formasi Parigi diendapkan batulempung
dan napal menyerpih anggota Formasi Subang berumur Miosen Akhir yang kemudian
ditutupi oleh Formasi Kaliwangu berupa batulempung, batupasir, napal, dan sisipan
konglomerat berumur Pliosen Awal. Kemudian pada Pliosen Akhir – Pleistosen Awal
diendapkan Formasi Citalang diatas Formasi Kaliwangu berupa batupasir, konglomerat,
dan breksi yang berasal dari lidah Formasi Tambakan berumur Pleistosen Awal.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung oleh Silitonga (1973), daerah penelitian terdiri
dari enam satuan batuan dari tua ke muda yaitu:
- Formasi Subang (Msc)
Formasi Subang didominasi oleh litologi batulempung berlapis dengan setempat
12
ditemukan lapisan-lapisan batugamping dan napal. Menurut peta geologi lembar
Bandung oleh Silitonga (1973), formasi ini berumur Miosen Akhir dengan
ketebalan sekitar 2900 m (Tjia, 1963).
- Formasi Kaliwangu (Pk)
Formasi Kaliwangu terdiri dari litologi batupasir tufa, konglomerat, batulempung,
dan setempat ditemukan batupasir gampingan dan batugamping. Menurut peta
geologi lembar Bandung oleh Silitonga (1973), formasi ini berumur Miosen Akhir-
Pliosen dengan ketebalan sekitar 600 m.
- Formasi Tjitalang (Pt)
Formasi Tjitalang terdiri dari litologi napal tufaan, diselingi oleh batupasir tufaan
dan konglomerat (Silitonga, 1973). Formasi ini berumur Pliosen dengan ketebalan
lapisan 500 – 600 m.
- Batupasir Tufaan, Lempung, dan Konglomerat (Qos)
Batupasir Tufaan, Lempung, dan Konglomerat memiliki ciri litologi batupasir tufa,
kadang mengandung batuapung lempung, konglomerat, breksi, dan pasir halus, dan
berumur Kuarter (Silitonga, 1973).
- Batuan Hasil Gunungapi Lebih Tua (Qob)
Batuan Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan memiliki umur Kuarter dengan
ketebalan sekitar 600 m yang mana dicirikan dengan litologi breksi, lahar, dan
batupasir tufa berlapis dengan kemiringan landai (Silitonga, 1973). Berdasarkan
peta geologi gunungapi lembar Gunung Tangkuban Parahu oleh Soetoyo dan
Hadisantono (1992), pada formasi ini juga ditemukan basalt hasil dari Lava
Kandangsapi dan andesit porfiritik hasil dari endapan Lava Gunung Pra Sunda.
- Batuan Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan (Qyu)
Batuan Hasil Gunungapi Lebih Tua berumur Kuarter dengan penciri litologi berupa
pasir tufaan, lapili, breksi, lava, dan aglomerat yang berasal dari Gunung
Tangkubanparahu dan Gunung Tampomas (Silitonga, 1973). Batuan ini
membentuk kenampakan dataran-dataran kecil dan bukit-bukit rendah yang ditutupi
oleh tanah berwarna abu-abu kekuningan dan kemerah-merahan.
Menurut Pulunggono dan Martodjojo (1994), secara regional pola struktur yang
berkembang di Jawa Barat tebagi menjadi tiga pola struktur berdasarkan arah kelurusan
dominannya, yaitu:
- Pola Meratus berarah baratdaya-timurlaut, diwakili Sesar Cimadiri di Jawa Barat,
yang dapat diikuti ke timurlaut sampai batar timur Cekungan Zaitun dan Cekungan
Biliton.
- Pola Sunda berarah utara-selatan, diwakili sesar-sesar yang membatasi Cekungan
Asri, Cekungan Sunda, dan Cekungan Arjuna.
- Pola Jawa berarah barat-timur, diwakili sesar-sesar naik seperti Sesar Baribis, serta
sesar-sesar naik di dalam Zona Bogor pada zona fisiografi van Bemmelen (1949).
Berdasarkan sketsa pola struktur umum di Jawa Barat (Pulunggono dan Martodjojo,
1994) (Gambar II.3), pola struktur yang berkembang di daerah penelitian yaitu Pola
Sunda dan Pola Jawa. Pola Sunda yang ada di daerah penelitian diwakili oleh sesar
mengiri dengan jurus berarah utara-selatan, sementara Pola Jawa diwakili oleh antiklin
dengan sumbu antiklin berarah cenderung barat-timur.
Gambar II.5 Pola struktur umum Jawa Barat (Pulunggono dan Martodjojo, 1994)
14
II.2 Hidrogeologi Regional
Menurut UU no. 7 tahun 2004, cekungan air tanah (CAT) adalah suatu wilayah yang
dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses
pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Berdasarkan PP No. 43
Tahun 2008, kriteria CAT yaitu:
- mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol oleh kondisi geologis dan/atau
kondisi hidraulik air tanah;
- mempunyai daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dalam satu sistem
pembentukan air tanah; dan
- memiliki satu kesatuan sistem akuifer.
Berdasarkan survei Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas),
daerah penelitian merupakan daerah bukan cekungan air tanah atau cekungan air tanah
tidak potensial yang mana lokasinya berada diantara Cekungan Air Tanah Subang dan
Cekungan Air Tanah Ciater seperti ditunjukkan pada Gambar II.4.
Gambar II.6 Peta Cekungan Air Tanah Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta
(http://new.pamsimas.org diakses tanggal 10 Juli 2018)
Menurut Soetrisno (1985), akuifer di daerah penelitian terdiri dari produktivitas airtanah
sedang persebaran luas, akuifer setempat produktif, produktivitas airtanah rendah setempat
15
berarti, dan airtanah langka, dengan tipe aliran melalui celah dan ruang antar butir
(Gambar II.5).
Akuifer setempat produktif memiliki transmisivitas yang beragam, elevasi muka airtanah
umumnya dalam, dan debit pemunculan mata air umumnya kecil. Jenis akuifer ini
umumnya tidak dimanfaatkan karena elevasi yang dalam. Jenis akuifer ini dibentuk oleh
endapan volkanik tak teruraikan yang terdiri produk gunungapi yang sudah terkonsolidasi
16
maupun belum, dan memiliki permeabilitas yang rendah sampai sedang. Jenis akuifer ini
tersebar pada bagian tenggara daerah penelitian.
Akuifer produktivitas rendah setempat berarti memiliki transmisivitas rendah, elevasi
muka airtanah umumnya dalam namun masih dapat manfaatkan, dan debit pemunculan
mata air umumnya kecil. Pada daerah lembah dan zona pelapukan, elevasi air tanah
umumnya dangkal. Jenis akuifer ini dibentuk oleh batuan sedimen dan endapan volkanik
tua, dan memiliki permeabilitas yang sedang hingga tinggi. Jenis akuifer ini tersebar pada
bagian tenggara dan sebagian kecil di utara daerah penelitian.
Daerah airtanah langka yaitu daerah yang mana airtanahnya tidak dapat dieksploitasi atau
tidak ada air tanah yang cukup berarti untuk dieksploitasi. Daerah ini umumnya terdiri dari
litologi batulempung dan napal dengan permeabilitas rendah sampai sangat rendah. Jenis
akuifer ini menmpati sebagian besar daerah penelitian yang tersebar pada bagian tengah,
utara, timur, dan barat daerah penelitian.
17
BAB III
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Analisis awal geomorfologi dilakukan dengan melakukan analisis geomorfologi dari peta
topografi dan citra SRTM daerah penelitian. Analisis awal ini meliputi identifikasi bentuk
muka bumi, kemiringan lereng, pola aliran sungai, tipe genetik sungai, tahapan geomorfik,
dan interpretasi kelurusan. Kemudian analisis awal tersebut dilengkapi dengan data yang
diperoleh di lapangan. Pembagian satuan geomorfologi dalam penelitian tugas akhir ini
merujuk pada klasifikasi bentuk muka bumi oleh Brahmantyo dan Bandono (2006).
Dengan melakukan analisis geomorfologi diharapkan dapat membantu menginterpretasi
kondisi geologi di daerah penelitian.
18
menghasilkan peta geomorfologi yang digunakan untuk interpretasi jenis litologi dan
struktur yang berkembang di daerah penelitian.
Secara umum, daerah penelitian terdiri dari punggungan dan dataran dengan perbukitan
rendah, dengan elevasi 87 – 633 meter diatas permukaan laut. Perbedaan elevasi yang
sangat signifikan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan litologi. Elevasi terendah berada
pada Sungai Cibodas dan elevasi tertinggi berada pada punggungan desa Jambelaer yang
terletak di tenggara daerah penelitian. Menurut klasifikasi kemiringan lereng van Zuidam
(1965), daerah penelitian memiliki kemiringan lereng yang bervariasi dari datar (0°-2°)
hingga sangat terjal (35°-55°). Secara umum, bagian selatan dari daerah penelitian
memiliki kemiringan lereng yang lebih curam dibandingkan daerah penelitian bagian utara.
Gambar III.1 menunjukkan peta kemiringan lereng di daerah penelitian.
Gambar III.8 Peta kemiringan lereng van Zuidam (1965) daerah penelitian
Berdasarkan citra SRTM daerah penelitian (Gambar III.2), dapat teramati bahwa bagian
utara daerah penelitian umumnya terdiri dari dataran dengan perbukitan yang relatif
rendah, sementara di bagian selatan terdiri dari dataran tinggi yang dibentuk oleh
punggungan. Berdasarkan perbedaan karakteristik tersebut, daerah penelitian secara lebih
rinci dibagi kedalam satuan-satuan geomorfologi dalam bentuk peta geomorfologi
(Lampiran A-2 Peta Geomorfologi).
19
Gambar III.9 Citra SRTM yang memperlihatkan morfologi daerah penelitian
(http://earthexplorer.usgs.gov/ diakses tanggal 20 Maret 2018)
Berdasarkan hubungan jurus dan kemiringan lapisan dengan arah aliran sungai oleh
Thornbury (1969), daerah penelitian terdiri dari tiga jenis genetik sungai yaitu sungai
subsekuen, sungai obsekuen, dan sungai konsekuen (Gambar III.3). Sungai yang termasuk
20
kedalam sungai subsekuen diantaranya Sungai Cilaja, Sungai Cibalapulang, Sungai
Cibayawak, Sungai Cipatra, dan Sungai Cisadapan. Arah aliran sungai-sungai utama pada
daerah penelitian umumnya berlawanan dengan arah kemiringan lapisan sehingga
termasuk kedalam jenis sungai obsekuen. Sungai-sungai yang berjenis sungai obsekuen
diantaranya Sungai Cikeruh, Sungai Cicalung, Sungai Cituak, Sungai Cicalung, Sungai
Citangkil, dan Sungai Cijurey. Sungai konsekuen berada di utara daerah penelitian,
mengikuti arah kemiringan lapisan sayap antiklin ke dengan kemiringan ke arah utara.
Sungai yang termasuk kedalam sungai konsekuen yaitu Sungai Cibodas, Sungai Cijurey,
dan Sungai Cikeruh sebelah utara.
Gambar III.11 (a) Lembah sungai “V” dan (b) lembah sungai “U” di daerah penelitian
Dasar lembah sungai-sungai di daerah penelitian umumnya berjeram dan telah tertutupi
oleh sedimen, namun di beberapa hulu dan cabang sungai masih teramati singkapan batuan
menjadi dasar sungai dan belum tertutupi oleh sedimen. Pada tepi dalam lengkungan
sungai utama di daerah penelitian teramati telah terbentuknya point bar yang terdiri dari
material lepas fragmen batuan berukuran pasir hingga berangkal. Erosi yang terjadi di
daerah penelitian yaitu secara vertikal dan horizontal. Erosi vertikal ditunjukkan dengan
pembentukan lembah-lembah sungai berbentuk V seperti Sungai Cisadapan, Sungai
Cipatra, dan hulu Sungai Cikeruh. Sementara itu, terbentuknya longsoran-longsoran di tepi
sungai menandakan terjadinya erosi secara horizontal atau lateral yang mana
mengakibatkan lebar lembah semakin besar (Gambar III.5). Di beberapa sungai dijumpai
adanya rembesan air tanah pada dinding sungainya, sehingga dapat diketahui hubungan air
tanah dengan sungai yaitu effluent atau air tanah mengisi sungai.
Berdasarkan kriteria tersebut, mengacu pada klasifikasi tahapan geomorfik oleh Lobeck
(1931) dapat disimpulkan bahwa daerah penelitian secara umum memiliki tahapan
geomorfik dewasa.
22
III.1.4 Interpretasi Kelurusan
Penarikan kelurusan dilakukan pada punggungan, lembah, dan sungai dengan
menggunakan citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) dan peta topografi.
Penarikan kelurusan bertujuan untuk menganalisis pola umum kelurusan daerah penelitian
dan dapat menjadi indikasi keberadaan struktur geologi. Pada daerah penelitian dilakukan
penarikan terhadap 79 kelurusan yang teramati dan dianalisis dengan menggunakan
diagram roset sehingga menghasilkan pola umum berarah utara-selatan (Gambar III.6).
a b
23
III.1.1.1. Satuan Dataran Denudasional Struktur Lipatan Banggalamulya
Satuan ini menempati 18,55 km2 atau 33,2% dari luas daerah penelitian, berada di bagian
utara daerah penelitian, dan ditandai dengan simbol berwarna biru muda pada peta
geomorfologi (Lampiran A-2). Satuan ini memiliki ketinggian topografi antara 87 – 198
mdpl dengan kemiringan lereng antara 0° – 35° (0-70%). Berdasarkan klasifikasi oleh van
Zuidam (1985), satuan ini memiliki kemiringan lereng datar hingga curam.
Satuan ini menunjukkan morfologi berupa dataran dengan bukit-bukit rendah (Gambar
III.7). Pola aliran yang berkembang pada satuan ini yaitu pola aliran trellis dengan tipe
genetik sungai obsekuen, konsekuen, dan subsekuen. Proses geomorfik yang dominan pada
satuan ini yaitu erosi dan longsoran. Satuan ini termasuk ke dalam tahap geomorfik dewasa
yang dicirikan oleh lembah sungai utama berbentuk “U” dan lembah cabang-cabang sungai
berbentuk “V”, terbentuk longsoran-longsoran di sisi sungai utama yang mana
menandakan terjadi erosi secara horizontal, dan di beberapa tempat terbentuk point bar
pada sungai utamanya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, litologi penyusun satuan ini
yaitu didominasi oleh batulempung dan batupasir.
Satuan ini menunjukkan morfologi berupa punggungan dan perbukitan dengan kemiringan
cukup terjal ke arah utara yang ditunjukkan dengan pola kontur yang relatif rapat
24
renggang. Pola aliran yang berkembang pada satuan ini yaitu pola aliran dendritik dan
paralel dengan tipe genetik sungai obsekuen dan subsekuen. Proses geomorfik yang
dominan pada satuan ini yaitu erosi vertikal dan horizontal. Satuan ini termasuk ke dalam
tahap geomorfologi dewasa yang dicirikan oleh lembah sungai utama berbentuk “U” dan
lembah cabang-cabang sungai berbentuk “V”, terbentuk lereng-lereng lembah yang cukup
curam akibat pembentukan sungai-sungai muda, sungai-sungai muda memotong batuan yg
lebih tidak resisten, dan di beberapa tempat terbentuk point bar pada sungai utamanya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, litologi penyusun satuan ini yaitu didominasi oleh
perselingan batupasir-batulempung, batupasir, dan konglomerat. Gambar III.8
menunjukkan kenampakkan morfologi Satuan Perbukitan Homoklin Talagasari di
lapangan.
Satuan ini merupakan kaki Gunung Tangkuban Parahu dengan ciri morfologi berupa bukit
dan punggungan dengan lereng yang terjal di bagian utaranya (Gambar III.9). Pola aliran
yang berkembang pada satuan ini yaitu pola aliran dendritik dan paralel. Proses geomorfik
yang dominan pada satuan ini yaitu erosi secara vertikal. Satuan ini termasuk ke dalam
tahap geomorfologi muda yang dicirikan oleh lembah-lembah sungai berbentuk “V”
dengan lereng-lereng lembah yang cukup curam, dan sungai-sungai tidak bermeander.
25
Berdasarkan pengamatan di lapangan, litologi penyusun satuan ini yaitu tuf lapili dan
breksi piroklastik.
Gambar III.16 Morfologi Satuan Kipas Lahar Ponggang (foto diambil menghadap selatan
dari desa Banggalamulya)
Satuan ini menunjukkan morfologi berupa punggungan dengan lereng yang terjal ditandai
dengan kontur yang rapat. Pola aliran yang berkembang pada satuan ini yaitu pola aliran
dendritik dan paralel. Proses geomorfik yang dominan pada satuan ini yaitu erosi secara
vertikal. Satuan ini termasuk ke dalam tahap geomorfologi muda yang dicirikan oleh
lembah-lembah sungai berbentuk “V” dengan lereng lembah yang cukup curam, dan
sungai-sungai tidak bermeander. Berdasarkan pengamatan dilapangan, litologi penyusun
satuan ini yaitu breksi volkanik dan batulapili. Gambar III.10 menunjukkan morfologi
punggungan Satuan Punggungan Lahar Cintamekar.
26
Gambar III.17 Morfologi Satuan Punggungan Lahar Cintamekar (foto diambil dari desa
Banggalamulya)
Satuan ini menunjukkan morfologi berupa dataran yang memiliki kerapatan kontur yang
sangat renggang. Pola aliran yang berkembang pada satuan ini yaitu pola aliran dendritik.
Proses geomorfik yang dominan pada satuan ini yaitu erosi secara lateral yang ditandai
oleh longsoran-longsoran kecil ditepi sungai. Satuan ini termasuk ke dalam tahap
geomorfologi tua yang dicirikan oleh terdapatnya sungai bermeander dengan lembah
berbentuk “U” dan dasar lembar sungai yang telah tertutupi aluvial. Sungai-sungai yang
pada satuan ini bertipe genetik sungai obsekuen dan konsekuen. Berdasarkan pengamatan
di lapangan, satuan ini disusun oleh fragmen-fragmen batuan berukuran kerikil hingga
bongkah yamg terdiri dari fragmen batulempung, batupasir, konglomerat, dan batuan beku
volkanik (Gambar III.11).
27
Gambar III.18 Fragmen-fragmen batuan pada Satuan Dataran Aluvial Cigebang
28
III.1.1.7. Satuan Kerucut Gunungapi Tangkuban Parahu
Satuan ini mengelilingi kaldera Gunung Tangkuban Parahu dan ditandai dengan simbol
berwarna biru pada peta geomorfologi (Lampiran A-2). Satuan ini memiliki ketinggian
topografi antara 968 – 1826 mdpl. Satuan ini menunjukkan morfologi berupa kerucut
gunungapi (Gambar III.13) dan dicirikan pola kontur rapat secara radial mengelilingi
puncak Gunung Tangkuban Parahu pada peta kontur topografi. Sungai yang berkembang
pada satuan ini memiliki pola sungai radial. Satuan ini tersusun oleh material volkanik
Gunung Tangkuban Parahu.
29
Gambar III.21 Kawah Gunung Tangkuban Parahu di dalam Satuan Kaldera Sunda
Satuan Batulempung disusun oleh litologi batulempung masif dan batulempung sisipan
batupasir, setempat terdapat nodul batulempung, batupasir, dan batugamping. Litologi
30
batulempung pada satuan ini memiliki ciri-ciri berwarna abu-abu gelap hingga abu-abu
kecoklatan, ukuran butir lempung, porositas buruk, dan getas. Menurut analisis petrografi,
batulempung pada satuan ini adalah mudrock (Pettijohn, 1973). Batupasir hadir sebagai
sisipan pada batulempung dengan ciri-ciri berwarna putih kecoklatan, berukuran pasir
sangat halus-halus, membundar, terdiri dari fragmen litik andesit dan mineral plagioklas,
matriks detritus lempung, kemas tertutup, kompak, porositas sedang. Gambar III.15
merupakan singkapan batulempung di sisi Sungai Cikeruh.
Jurus umum lapisan berarah barat-timur dengan kemiringan ke arah utara dan selatan.
Terdapatnya dua arah orientasi kemiringan mengindikasikan terdapatnya struktur lipatan
yang berupa antiklin. Pengukuran kedudukan lapisan tersebut dilakukan pada batulempung
sisipan batupasir (Gambar III.16).
Gambar III.24 Diagram hubungan kecepatan arus air dengan ukuran butir Hjulström
Umur satuan ini diestimasi dengan menganalisis fosil formanifera planktonik yang teramati
pada sampel batulempung (Lampiran C). Pengamatan terhadap tiga sampel batulempung
menunjukkan terdapatnya fosil Globorotalia laguaensis, serta kemunculan Globigerina
bulloides dan Globorotalia acostaensis acostaensis. Berdasarkan pengamatan terhadap
sampel batulempung tersebut, menurut Blow (1969) diketahui Satuan Batulempung
memiliki umur Miosen Akhir (N16 – N17).
Ketebalan Satuan Batulempung tidak dapat diketahui secara pasti karena pada daerah
penelitian tidak tersingkap satuan batuan yang lebih tua di bawah satuan ini. Berdasarkan
rekonstruksi penampang geologi, satuan ini diperkirakan memiliki ketebalan >945 m. Oleh
karena tidak adanya satuan yang secara stratigrafi lebih tua tersingkap di daerah penelitian,
maka Satuan Batulempung merupakan satuan tertua yang terdapat di daerah penelitian.
32
III.2.2 Satuan Batupasir-Batulempung
Satuan ini menempati 23,4% luas daerah penelitian, tersebar di bagian tengah daerah
penelitian yang memanjang arah barat-timur, dan ditandai dengan warna kuning pada peta
geologi (Lampiran A-3). Penamaan satuan ini didasarkan pada perulangan antara litologi
batupasir dan batulempung sebagai litologi dominan penyusun satuan ini. Satuan ini
tersingkap baik di Sungai Cikeruh, Sungai Cihalang, Sungai Cibayawak, dan Sungai
Citangkil. Gambar III.18 merupakan singkapan perselingan batupasir-batulempung di
Sungai Cikeruh dengan kode stasiun RE-2 pada peta lintasan (Lampiran A-1).
Satuan ini tersusun oleh litologi batupasir sangat halus hingga kasar, batupasir tufan,
batupasir karbonatan, batupasir konglomeratan, batupasir sisipan konglomerat, dan
batulempung, dengan ketebalan masing-masing lapisan antara 6 cm – 2,4 meter. Litologi
batupasir pada satuan ini memiliki ciri-ciri berwarna putih kecoklatan hingga abu gelap,
ukuran butir pasir sangat halus-kasar, membundar tanggung - membundar, terpilah baik,
terdiri dari fragmen litik andesit dan basalt, mineral plagioklas, biotit, kalsit, glaukonit, dan
gelas volkanik, matriks lempung hingga pasir halus, kemas tertutup, kompak, porositas
baik. Hasil analisis petrografi menunjukkan batupasir pada satuan ini adalah litharenite dan
lithic arkose (Pettijohn, 1973). Struktur sedimen yang terdapat pada batupasir yaitu
parallel lamination, cross lamination, reverse gradding, dan termati adanya Sekuen
Bouma (Gambar III.19). Batulempung pada satuan ini berwarna abu-abu terang hingga
abu-abu kecoklatan, ukuran butir lempung, karbonatan, porositas buruk. Konglomerat yang
hadir sebagai sisipan memiliki ciri warna coklat gelap, ukuran butir butiran hingga kerikil,
33
membundar, terpilah sedang, terdiri dari fragmen litik andesit, basalt, kalsit, oksida besi,
matriks pasir sedang, grain supported, kemas terbuka, kompak, porositas buruk.
34
Umur satuan ini diestimasi dengan menganalisis fosil formanifera planktonik yang teramati
pada sampel batupasir dan batulempung (Lampiran C). Pengamatan terhadap sampel
batulempung dan batupasir halus menunjukkan terdapatnya kemunculan akhir Globigerina
nepenthes dan Globigerinoides obliquus, serta kemunculan awal Globigerinoides ruber
dan Globigerinoides conglobatus. Berdasarkan pengamatan tersebut, mengacu pada Blow
(1969), diketahui Satuan Batupasir-Batulempung memiliki umur Pliosen Awal (N18 –
N19).
Ketebalan satuan ini diketahui dengan rekonstruksi penampang pada peta geologi
(Lampiran A-3). Berdasarkan rekonstruksi penampang tersebut diperkirakan Satuan
Batupasir-Batulempung memiliki ketebalan ±960 m. Pengamatan langsung di lapangan
menunjukkan kontak selaras antara Satuan Batupasir-Batulempung dengan Satuan
Batulempung (Gambar III.20). Ditinjau analisis foraminifera, tidak adanya time gap antara
umur satuan ini dengan umur satuan dibawahnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa hubungan antara Satuan Batupasir-Batulempung dengan Satuan Batulempung yang
ada di bawahnya yaitu selaras.
35
litologi batupasir dan konglomerat sebagai penyusun utamanya. Satuan ini tersingkap baik
di Sungai Cikeruh, Sungai Cibayawak, dan Sungai Ciburial. Gambar III.21 merupakan
singkapan perselingan batupasir-konglomerat di Sungai Cibayawak dengan kode stasiun
RJ-2 pada peta lintasan (Lampiran A-1).
Satuan ini disusun oleh litologi batupasir halus hingga kasar, konglomerat, dan
batulempung. Ketebalan masing-masing litologi yang teramati di lapangan yaitu antara 15
cm – 2,5 m. Litologi batupasir pada satuan ini memiliki ciri-ciri berwarna coklat gelap,
abu-abu gelap, abu-abu kecoklatan, ukuran butir pasir sedang – kasar, membundar
tanggung - membundar, terpilah baik, terdiri dari fragmen litik, mineral plagioklas,
ortoklas, biotit, mineral opak, gelas volkanik, dan karbonan, matriks lanau hingga pasir
halus, kemas tertutup, kompak, porositas sedang – buruk. Hasil analisis petrografi
menunjukkan batupasir pada satuan ini adalah lithic arkose dan litharenite (Pettijohn,
1973). Struktur sedimen yang terdapat pada batupasir yaitu parallel lamination dan
reverse gradding. Konglomerat memiliki ciri warna abu-abu gelap, ukuran butir butiran
hingga bongkah, membundar, terpilah buruk, terdiri dari fragmen litik andesit, basalt,
oksida besi, kalsit, batupasir, matriks pasir sedang, grain supported, kemas terbuka,
kompak, porositas buruk. Batulempung pada satuan ini berwarna abu-abu, abu-abu
kehijauan, ukuran butir lempung, karbonan, porositas buruk.
36
Kedudukan lapisan pada satuan ini memiliki jurus umum berarah barat daya-timur laut dan
cenderung berubah menjadi barat-timur di sebelah timur daerah penelitian, dengan
kemiringan ke arah tenggara.
Gambar III.30 Model endapan sedimen mekanisme arus butir (Boggs, 2001)
37
Penentuan umur satuan ini tidak dapat dilakukan dengan menganalisis mikropaleontologi
karena tidak terdapatnya fosil foraminifera planktonik pada sampel yang diambil dari
satuan ini. Penentuan umur satuan dilakukan berdasarkan hukum superposisi dan mengacu
pada peneliti sebelumnya. Menurut Koenigswald (1933) dalam Martodjojo (1984), satuan
ini memiliki rentang umur N20 – N22, sehingga diperkirakan satuan ini berumur Pliosen
Tengah hingga Pliosen Akhir. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kontak lapisan batuan
antara satuan ini dengan satuan dibawahnya yaitu tegas (Gambar III.24). Oleh karena tidak
adanya time gap dengan satuan batuan dibawahnya dan kedudukan yang relatif sama,
maka hubungan stratigrafi satuan ini dengan satuan dibawahnya adalah selaras.
Gambar III.31 Kontak tegas Satuan Batupasit - Konglomerat dengan Satuan Batupasir -
Batulempung
Ketebalan satuan ini diketahui dengan rekonstruksi penampang pada peta geologi
(Lampiran A-3). Berdasarkan rekonstruksi penampang tersebut diperkirakan Satuan
Batupasir-Konglomerat memiliki ketebalan >1330 m. Pada pengamatan di lapangan
teramati bahwa kedudukan lapisan-lapisan pada satuan ini relatif sama dengan kedudukan
lapisan-lapisan satuan di bawahnya. Oleh karena tidak adanya time gap dengan satuan
batuan dibawahnya dan kedudukan lapisan batuan yang relatif sama, maka hubungan
stratigrafi Satuan Batupasir-Konglomerat dengan Satuan Batupasir-Batulempung
dibawahnya adalah selaras.
38
III.2.4 Satuan Andesit
Satuan ini menempati 0,5% luas daerah penelitian dan berada di bagian tengah daerah
penelitian, ditandai dengan warna merah pada peta geologi (Lampiran A-3). Penamaan
satuan ini didasarkan pada intrusi andesit. Satuan ini tersingkap baik di sisi Sungai Cikeruh
(Gambar III.25) dengan kode stasiun RD-8 pada peta lintasan (Lampiran A-1).
Kenampakan di lapangan menunjukkan instrusi andesit memotong batuan sedimen secara
diskordan sehingga penulis menginterpretasikan geometri intrusi andesit berupa korok.
Satuan ini disusun oleh litologi andesit masif yang memiliki ciri-ciri berwarna abu gelap
bintik-bintik putih, tekstur porfiritik, besar butir halus (<1 mm), inequigranular, fenokris
berupa mineral plagioklas, kompak. Hasil analisis petrografi menunjukkan andesit pada
satuan ini memiliki tekstur khusus intergrabular dan sieve, bentuk kristal idiomorfik-
hipidiomorfik, dan masadasar berupa mikrolit plagioklas dan mineral oksida besi.
Penentuan umur Satuan Andesit mengacu pada peneliti sebelumnya. Menurut van
Bemmelen (1949) terbentuk bukit-bukit intrusi andesit berumur Pliosen Akhir hingga
Pleistosen Awal di daerah Purwakarta yang mana berada di timur daerah penelitian,
sehingga penulis meginterpretasikan satuan ini terbentuk pada rentang waktu yang relatif
sama dengan pembentukkan intrusi andesit tersebut. Diperkirakan intrusi andesit ini
berasosiasi dengan aktivitas vulkanisme Gunung Pra-Sunda yang terjadi pada Pleistosen
Awal (Sunardi dan Kimura, 1998).
Berdasarkan ciri-ciri litologi, umur, dan lokasinya, satuan ini disetarakan dengan satuan
batuan Andesit (Silitonga, 1973).
39
III.2.5 Satuan Tuf Lapili
Satuan ini menempati 14,8% luas daerah penelitian dan tersebar di bagian selatan dan barat
daya daerah penelitian, ditandai dengan warna merah muda pada peta geologi (Lampiran
A-3). Penamaan satuan ini didasarkan pada litologi tuf lapili sebagai penyusun utamanya.
Satuan ini tersingkap baik di Sungai Cilutung, Sungai Ciledang, Sungai Cilamaya, dan
Gunung Leutik. Gambar III.26 merupakan singkapan batulapili di Sungai Cilutung dengan
kode stasiun RK-6 pada peta lintasan (Lampiran A-1).
Satuan ini disusun oleh litologi tuf lapili, tuf, dan tuf breksi. Litologi tuf lapili pada satuan
ini memiliki ciri-ciri berwarna putih kecoklatan, ukuran butir abu halus – lapili,
membundar tanggung-membundar, terpilah sedang-buruk, terdiri dari gelas volkanik,
mineral plagioklas, biotit, hornblende, mineral opak, matriks abu halus, kemas terbuka,
porositas baik-sedang. Hasil analisis petrografi menunjukkan tuf lapili pada satuan ini
adalah tuf lapili (Fisher, 1966). Tuf breksi memiliki ciri warna abu-abu keputihan bercak
abu-abu gelap dan merah gelap, agak lapuk, ukuran butir lapili hingga blok, menyudut
tanggung-menyudut, terpilah buruk, fragmen polimik terdiri dari batuan beku basalt dan
andesit pofiritik, matriks debu kasar, matrix supported, kemas terbuka, kompak, porositas
sedang. Tuf memiliki ciri warna putih, lapuk, ukuran butir debu halus – kasar, matriks
debu halus, getas, porositas buruk.
Mengacu pada model fasies pada gunungapi strato oleh Bogie dan Mackenzie (1998)
dalam Bronto (2006) (Gambar III.27), berdasarkan lokasinya yang berada di kaki
gunungapi dan litologi penyusunnya, satuan ini diendapkan pada fasies proksimal hingga
40
medial. Ditinjau dari tekstur tuf breksi yang memiliki pemilahan buruk (Gambar III.28),
menurut karakteristik piroklastik berdasarkan mekanisme pembentukannya oleh McPhie
dkk. (1993), diperkirakan satuan ini diendapkan melalui mekanisme aliran piroklastik.
Gambar III.34 Model fasies pada gunungapi strato (Bogie dan Mackenzie, 1998 dalam
Bronto, 2006)
Penentuan umur dilakukan dengan mengacu pada kesebandingan satuan dengan peneliti
sebelumnya. Menurut Sunardi dan Kimura (1998), hasil aktivitas vulkanisme Gunung
Sunda pada Kala Pleistosen menghasilkan produk erupsi berupa batuan beku vulkanik
beserta piroklastik dengan fragmen berupa material juvenil dan litik andesit dan basaltik.
Berdasarkan persebaran dan kemiripan litologinya, diperkirakan Satuan Tuf Lapili
memiliki umur Pleistosen (Sunardi dan Kimura, 1998).
Ketebalan satuan ini diketahui dengan rekonstruksi penampang pada peta geologi
(Lampiran A-3). Berdasarkan rekonstruksi penampang tersebut diperkirakan Satuan Tuf
Lapili memiliki ketebalan ±200 m. Adanya time gap antara pembentukan satuan ini dengan
satuan batuan sedimen dibawahnya menunjukkan hubungan stratigrafi satuan ini dengan
satuan batuan dibawahnya yaitu tidak selaras.
41
Berdasarkan ciri-ciri litologinya, satuan ini disetarakan dengan Piroklastik Sunda (Sunardi
dan Kimura, 1998) dan Formasi Tambakan (Martodjojo, 1984).
Satuan ini disusun oleh litologi breksi volkanik dan batulapili. Breksi volkanik pada satuan
ini merupakan endapan lahar dengan ciri litologi berwarna abu-abu gelap, ukuran butir
butiran hingga bongkah, menyudut tanggung-menyudut, terpilah buruk-baik, fragmen
terdiri dari batuan beku andesit dan basalt, matriks berupa tuf kasar dan lempung, kompak,
porositas buruk. Pada Sungai Cibarubus tersingkap dengan baik breksi volkanik yang
memiliki tekstur grain supported hingga matrix supported. Litologi batulapili pada satuan
ini memiliki ciri-ciri berwarna putih kecoklatan, ukuran butir abu halus – lapili,
membundar tanggung-membundar, terpilah sedang-buruk, terdiri dari gelas volkanik,
mineral plagioklas, hornblende, mineral opak, matriks abu halus, kemas terbuka, porositas
sedang.
Mengacu pada model fasies pada gunungapi strato oleh Bogie dan Mackenzie (1998)
dalam Bronto (2006), Satuan Breksi Volkanik bersama dengan Satuan Tuf Lapili
merupakan endapan gunungapi fasies medial. Hal ini diidentifikasi berdasarkan lokasinya
42
yang berada di kaki gunungapi dan kemiripan jenis litologi penyusun satuan ini dengan
himpunan litologi penciri fasies medial endapan gunungapi strato.
Penentuan umur dilakukan dengan mengacu pada kesebandingan satuan dengan peneliti
sebelumnya. Menurut Martodjojo (1984), vulkanisme di Kompleks Pegunungan Sunda
menghasilkan produk berupa breksi lahar dengan komponen batuan beku, tuf pasiran, dan
lempung. Berdasarkan persebaran dan kemiripan litologinya, diperkirakan Satuan Breksi
Volkanik memiliki umur Pleistosen (Martodjojo, 1984).
Ketebalan satuan ini diketahui dengan rekonstruksi penampang pada peta geologi
(Lampiran A-3). Berdasarkan rekonstruksi penampang tersebut diperkirakan Satuan Breksi
Volkanik memiliki ketebalan ±225 m. Diperkiran satuan ini dengan Satuan Tuf Lapili
dibawahnya terbentuk pada waktu yang relatif bersamaan sehingga hubungan statigrafi
antara Satuan Breksi Volkanik dengan Satuan Tuf Lapili dibawahnya yaitu selaras.
43
Satuan ini merupakan satuan termuda di daerah penelitian yang berumur Holosen. Proses
sedimentasi yang masih berlangsung hingga saat ini dengan mekanisme pengendapan
sedimen fluvial yang diendapkan pada lingkungan darat. Satuan ini diendapkan secara
tidak selaras di atas satuan batuan yang telah terkompaksi di bawahnya. Berdasarkan
rekonstruksi penampang dan pengamatan terhadap persebaran endapan aluvial, Satuan
Endapan aluvial diperkirakan memiliki ketebalan kurang lebih 5 meter.
Gambar III.39 Jejak sesar (a) slickenside, (b) shear fracture, dan (c) sesar minor
Mekanisme pembentukan struktur geologi yang ada di daerah penelitian yaitu mekanisme
kompresi. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya pemendekan yang ditunjukkan dengan
terbentuknya antiklin berarah sumbu barat – timur. Tegasan utama yang mengontrol
pembentukan struktur di daerah penelitian diinterpretasikan berdasarkan model
pembentukan struktur geologi dengan tegasan pure shear oleh Moody dan Hill (1956)
(Gambar III.33). Mengacu pada model tersebut, antiklin berarah sumbu barat – timur dan
sesar menganan yang terbentuk di daerah penelitian merupakan implikasi dari tegasan
utama berarah utara – selatan. Menurut model tersebut, setiap komponen struktur geologi
45
yang terbentuk oleh tegasan utama sistem pure shear merupakan proses yang simultan,
sehingga diperkirakan antiklin dan sesar menganan yang ada di daerah penelitian terbentuk
pada waktu yang relatif bersamaan dan sesar menganan termasuk struktur orde kedua.
Gambar III.40 Model pembentukan struktur geologi dengan tegasan pure shear oleh
Moody dan Hill (1956)
46
BAB IV
SEJARAH GEOLOGI
Sejarah geologi daerah penelitian diawali oleh pengendapan Satuan Batulempung pada
Kala Miosen Akhir di lingkungan neritik tengah pada cekungan belakang busur
(Martodjojo, 1984). Setelah pengendapan Satuan Batulempung, pada Kala Pliosen Akhir
terjadi perubahan lingkungan pengendapan dari neritik tengah menjadi neritik dalam akibat
dari penurunan muka air laut. Pada lingkungan neritik dalam tersebut diendapkan Satuan
Batupasir – Batulempung dengan mekanisme turbidit. Daerah penelitian terus mengalami
penurunan muka air laut relatif sehingga lingkungan pengendapan berubah menjadi daerah
transisi hingga darat pada Kala Pliosen Tengah. Hal tersebut ditandai oleh pengendapan
Satuan Batupasir – Konglomerat dengan mekanisme arus butir dan terdapat fragmen-
fragmen karbonan pada litologi penyusun satuan ini. Perubahan lingkungan pengendapan
dari neritik tengah menjadi darat tersebut menunjukkan pola regresi.
Pada Kala Pliosen Akhir – Pleistosen Awal terjadi aktivitas tektonik dengan mekanisme
kompresi dengan arah gaya relatif utara – selatan yang diakibatkan dari subduksi antara
Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia di selatan Pulau Jawa. Aktivitas
tektonik tersebut menyebabkan terbentuknya Antiklin Jalupang berarah sumbu barat-timur
dan Sesar Menganan Cigebang. Setelah pembentukan antiklin dan sesar, terjadi intrusi
Satuan Andesit dengan geometri berupa korok, memotong satuan batuan yang telah
terbentuk sebelumnya secara diskordan.
Pada Kala Pleistosen Awal - Tengah terjadi erupsi Gunung Sunda yang menyebabkan
bagian selatan daerah penelitian tertutupi oleh batuan piroklastik dari Satuan Tuf Lapili
dengan mekanisme aliran piroklastik. Erupsi Gunung Sunda juga menyebabkan
terbentuknya lahar dengan fragmen berupa andesit, basalt, dan skoria, sehingga terbentuk
Satuan Breksi Volkanik.
Batuan-batuan dari satuan batuan yang telah terbentuk sebelumnya tererosi dan terjadi
proses pengendapan Satuan Endapan Aluvial di Sungai Cikeruh dan Sungai Cilamaya.
Proses pembentukan satuan termuda di daerah penelitian masih berlangsung sampai saat
ini dengan mekanisme pengendapan yaitu sedimen fluvial.
47
BAB V
HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN
Gambar V.41 Ilustrasi skematik akuifer bebas dan terkekang (Todd, 1980)
Geometri akuifer dan aliran air tanah perlu dipahami untuk mengetahui sistem
hidrogeologinya. Menurut Irawan dan Puradimaja (2013), daerah ini memiliki tipologi
sistem akuifer endapan gunungapi, sistem akuifer aluvial, dan sistem akuifer batuan
sedimen.
49
Gambar V.43 Sumur gali yang terdapat pada Satuan Batupasir – Konglomerat
V.1.3 Akuifer pada Satuan Tuf Lapili
Berikutnya ada akuifer endapan gunungapi, yang dibentuk oleh tuf lapili dan pelapukan
breksi tuf. Hadir sebagai akuifer bebas dengan jumlah sumur gali yang cukup banyak.
Sumur-sumur itu masih digunakan oleh warga. Estimasi dari sayatan tipis menghasilkan
porositas 8–15% (Lampiran B).
Mata air pada Satuan Tuf Lapili dapat teramati di Gunung Leutik yang dimanfaatkan untuk
ditampung dan dialirkan ke Desa Cigebang sebagai sumber air utama masyarakat. Mata air
ini terdapat pada tanah hasil pelapukan batuan breksi tuf. Merujuk kepada klasifikasi jenis
mata air klasik oleh Bryan (1919), mata air yang ada di Gunung Leutik tersebut tergolong
kepada mata air depresi (depression) atau yang disebut Bryan sebagai mata air lembah
(valley spring) (Gambar V.4). Mata air muncul ke permukaan akibat terpotong topografi.
Air tanahnya dapat diamati melalui sumur gali (Gambar V.5).
50
Gambar V.44 Salah satu dari beberapa model mata air (Bryan, 1919)
Gambar V.45 Sumur-sumur gali di daerah penelitian pada Satuan Tuf Lapili
Pada satuan batuan ini ditemukan sumur gali dan manifestasi panas bumi pada elevasi
topografi 420 mdpl berupa mata air panas (Gambar V.6). Berdasarkan letak geografisnya,
51
manifestasi tersebut diperkirakan berasosiasi dengan sumber panas dari volkanisme
Gunung Tangkuban Parahu yang mana mata air panas tersebut berjarak sekitar 12 km dari
kawah Gunung Tangkuban Parahu. Mata air panas tersebut memiliki pH 6,2 dan TDS 553
mg/l dengan temperatur 39,8°C. Mengacu pada model sistem geotermal pada gunungapi
strato dengan induk batuan bersifat andesitik oleh Stimac dkk. (2015), diperkirakan mata
air panas yang muncul di daerah penelitian akibat dari perpotongan topografi dengan muka
air tanah (Gambar V.7). Muka air tanah disekitar gunungapi umumnya akan bergerak
menjauhi kerucut gunungapi secara lateral. Sehubungan dengan itu, menurut Bryan (1919),
mata air tersebut tergolong kepada mata air depresi.
52
Gambar V.47 Model sistem geotermal gunungapi strato dengan induk batuan andesitik
(Stimac dkk., 2015)
Gambar V.48 Mata air pada Satuan Endapan Aluvial di sisi Sungai Cilamaya
53
V.2 Pola Aliran Airtanah
Menurut hukum Darcy (1856), air akan mengalir dari potensi hidraulik (hydraulic head)
tinggi ke rendah, dan hydraulic head akan memiliki nilai yang sama dengan elevation head
(elevasi muka airtanah) pada muka airtanah (Darcy’s Law ,1856 dalam Freeze dan Cherry,
1979). Pada daerah penelitian ditemukan beberapa mata air berjenis depresi yang mana
ketinggian mata airnya mencerminkan ketinggian muka airtanah. Oleh karena itu, airtanah
mengalir dari muka airtanah tinggi menuju ke muka airtanah rendah, dan ketinggian muka
airtanah di daerah penelitian dapat diketahui berdasarkan kemunculan mata air dan
kedalaman air pada sumur gali.
Sistem akuifer di daerah penelitian memiliki satu sistem, yaitu sistem akuifer bebas.
Pembuatan peta muka airtanah pada sistem akuifer bebas di daerah penelitian di kontrol
oleh topografi dan kemiringan. Pembuatan garis ekipotensial atau kontur ketinggian muka
airtanah dilakukan dengan menghubungkan ketinggian muka airtanah pada satu lokasi
dengan lokasi lainnya. Aliran airtanah mengikuti asumsi aliran air laminar, akuifer bersifat
homogen, isotropik, dan berlakunya Hukum Darcy (Fetter, 2001). Oleh karena air selalu
mengalir ke titik dengan selisih elevasi terbesar, maka garis aliran airtanah akan tegak
lurus dengan garis ekipotensial, mengalir kearah yang lebih rendah.
Pola aliran di daerah penelitian dikontrol oleh kemiringan dan ketinggian topografi.
Ditinjau dari topografinya, bagian selatan daerah penelitian memiliki elevasi yang lebih
tinggi dari bagian utara sehingga aliran air tanah di daerah penelitian secara umum
bergerak dari selatan menuju ke utara seperti di tunjukkan pada peta muka airtanah
(Lampiran A-5).
54
Gambar V.49 Rembesan airtanah di sisi Sungai Cikeruh
Gambar V.50 Model hubungan muka airtanah dengan sungai secara influent dan effluent
(Meinzer, 1923)
Tabel V.1 Klasifikasi airtanah berdasarkan TDS (Freezy dan Cherry, 1979)
55
Berdasarkan data hasil pengukuran terhadap airtanah dari rembesan, sumur gali, dan mata
air di daerah penelitian, airtanah memiliki nilai pH berkisar antara 5,5 – 8,1 dan nilai TDS
58 – 553 mg/l (Lampiran E). Mengacu kepada klasifikasi airtanah berdasarkan TDS oleh
Freezy dan Cheery (1979), airtanah di daerah penelitian termasuk kedalam kartegori air
segar. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
492/Menkes/Per/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum, air yang layak untuk
dikonsumsi harus memiliki nilai pH 6,5 – 8,5 dan nilai TDS maksimal 500 mg/l. Mengacu
ada Permenkes tersebut, 49,56% dari luas keseluruhan daerah penelitian memiliki kualitas
airtanah yang layak minum berdasarkan parameter pH (Gambar V.11), sementara
berdasarkan parameter TDS yaitu 68,97% luas daerah penelitian memiliki kualitas airtanah
yang layak minum (Gambar V.12). Ditinjau dari parameter pH dan TDS-nya, maka luas
daerah yang memiliki kualitas airtanah layak minum yaitu 49,56%, sementara 19,54%
tidak layak minum, dan 30,9% merupakan akuitar dan akuifug (Gambar V.13).
56
Gambar V.51 Peta sebaran pH pada daerah penelitian dengan kontur pH interval 0,1
57
Gambar V.52 Peta sebaran TDS pada daerah penelitian dengan kontur interval TDS 20
58
Gambar V.53 Peta kelayakan air tanah pada daerah penelitian dengan parameter pH dan
TDS
59
Data hasil pengukuran di lapangan menunjukkan airtanah pada daerah penelitian bagian
utara hingga tengah umumnya memiliki pH mendekati netral, sedangkan daerah penelitian
bagian selatan umumnya memiliki airtanah dengan pH rendah atau sedikit asam. Di daerah
penelitian bagian selatan dijumpai sebuah mata air panas pada elevasi topografi 420 mdpl
dengan karakteristik pH 6,2, nilai TDS 553 mg/l, dan temperatur 39,8°C. Mata air panas
Batukapur yang berada pada elevasi topografi 339 mdpl berjarak 4,2 km arah timur laut
dari mata air panas di daerah penelitian memiliki karakteristik pH 7,3 dan temperatur 40°C
(Kartadinata dkk., 2004), sehingga diperkirakan mata air panas di daerah penelitian
memiliki jenis air yang relatif sama dengan mata air panas Batukapur. Jenis air pada mata
air panas di daerah penelitian diperkirakan berjenis air bikarbonat (Kartadinata dkk., 2004).
Sejalan dengan hal tersebut, mengacu pada model sistem geotermal gunungapi strato
dengan induk batuan andesitik oleh Stimac (2015), mata air panas dengan pH sedikit asam
pada daerah penelitian tersebut kaya akan ion bikarbonat (HCO 3-). Ion bikarbonat pada
airtanah merupakan hasil rekasi antara air (H2O) dengan gas karbon dioksida (CO2) yang
berasal dari udara maupun tanah. Gas karbondioksida juga dapat berasal dari proses
degassing magma pada sistem geotermal gunungapi (Stimac, 2015). Reaksi airtanah
dengan karbon dioksida menghasilkan asam karbonat (H2CO3) yang kemudian secara cepat
berdisosiasi membentuk ion bikarbonat (HCO3-) dan ion hidrogen (H+) (Brady, 2012).
Reaksi V.1 dan Reaksi V.2 mendeskripsikan persamaan reaksi antara airtanah dengan
karbon dioksida hingga terbentuk ion bikarbonat dan ion hidrogen.
60
Batupasir – Batulempung. Reaksi spontan mineral karbonat mengubah senyawa kalsium
karbonat (CaCO3) menjadi ion kalsium (Ca2+) dan ion karbonat (CO32-) (Reaksi V.3).
Ion karbonat kemudian bereaksi dengan airtanah (H 2O) membentuk bikarbonat (HCO3-)
dan ion hidroksida (OH-) (Reaksi V.4). Konsentrasi ion hidroksida yang terdapat dalam
airtanah tersebut membuat airtanah memiliki sifat yang basa.
61
BAB VI
KESIMPULAN
64
Pemerintah Indonesia. (2008): Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2008 Yang Mengatur
Tentang Air Tanah. Lembaran Negara RI Tahun 2008, No. 83. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Pemerintah Indonesia. (2004): Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Yang Mengatur
Tentang Sumber Daya Air. Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 32. Sekretariat
Negara. Jakarta.
Pettijohn, F.J. (1975): Sedimentary Rocks, Second Edition, Harper and Row, New York.
Robertson Research (1983): Benthonic Foraminifera Age Zonation and Environments of
Deposition, Lecture, 33.
Sigurdsson, H. dkk. (2015): Encyclopedia of Volcanoes, Second Edition, Academic Press,
London.
Silitonga, P.H. (1973): Peta Geologi Lembar Bandung, Djawa, Direktorat Geologi,
Bandung.
Soetrisno, S. (1985): Peta Hidrogeologi Indonesia Lembar Cirebon (Jawa), Direktorat
Geologi Tata Lingkungan, Bandung.
Sunardi, E. dan Kimura, J. (1998): Temporal chemical variation in late Cenozoic volcanic
rocks around Bandung Basin, West Java Indonesia. Journal Mineralogy, Petrology,
Economic Geology, Vol. 93, 103-128.
Surmayadi, M. dkk. (2011): Dinamika vulkanisme Gunungapi Tangkuban Parahu Jawa
Barat, Joint Convention Makasar 2011 The 26th HAGI and 40th IAGI Annual
Convention exhibition.
Thornbury, W.D. (1969): Principles of Geomorphology, John Willey & Son. Inc., USA.
Todd, D. Dk. (1980): Groundwater Hydrology, Second Edition, John Willey & Son. Inc.,
New York.
van Bemmelen, R.W. (1949): The Geology of Indonesia, Government Printing Office,
Nijhoff, The Hague.
van Zuidam, R.A. (1985): Guide to Geomorphic Aerial Potographic Interpretation and
Mapping, ITC, Enschede, Netherlands.
65