Tingkat Bunga Dan Harga Sekuritas

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 25

“Tingkat Bunga dan Harga Sekuritas”

OLEH

Kelompok 9

Nama Kelompok :

Ni Luh Putu Mega Darmayanti 1832121307

Ni Luh Putri Junia Widyantari 1832121310

Ni Wayan Putri Findia Antika 1832121315

Ni Komang Tri Aprianti 1832121327

Vina Taniawati 1832121335

Kelas : C7

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Warmadewa

Tahun Ajaran 2019/2020


BAB II

PEMBAHASAN 

A. Kriteria Investasi

Kriteria investasi merupakan indeks-indeks untuk mencari suatu ukuran tentang baik
tidaknya atau layak tidaknya suatu proyek (usaha). Karena itu penentuan layak tidaknya suatu
usaha yang direncanakan akan dilaksanakan atau tidak ditentukan oleh kemungkinan keuntungan
finansial yang dapat diperoleh. Menilai kelayakan usaha adalah cara yang ditempuh untuk
menentukan layak (feasible) tidaknya suatu usaha dilaksanakan. Pada umumnya, apabila
penilaian kelayakan usaha dilakukan dengan benar dan hasilnya menunjukkan bahwa usaha yang
direncanakan itu layak untuk dilaksanakan, maka pelaksanaannya jarang mengalami kegagalan,
kecuali penilaian kelayakan usaha dilakukan dengan data yang tidak benar dan/atau karena adanya
faktor-faktor yang tidak dapat terkontrol, misalnya terjadi bencana alam.

Ada beberapa kriteria yang biasa digunakan untuk menentukan kelayakan usaha melalui
analisis manfaat finansial. Dari sekian banyak kriteria tersebut ada empat yang paling banyak
digunakan. Setiap kriteria/indeks menggunakan present value (nilai kini) yang telah di-discount
dari arus manfaat (penerimaan) dan biaya selama umur proyek. Ada banyak indeks kriteria
Investasi yang dapat digunakan. Namun tidak satupun dari berbagai kriteria tersebut disetujui
orang secara universal sebagai yang bermanfaat di dalam setiap keadaan. Setiap kriteria
mempunyai kebaikan serta kelemahan. Si penilai proyek harus memutuskan kriteria manakah
yang paling tepat digunakan sesuai dengan keadaannya.
Lima kriteria Investasi yang paling banyak digunakan adalah :

1.    Net Present Value (NPV) dari arus manfaat dan biaya.

2.    Internal Rate of Return (IRR)

3.    Net Benefit – Cost Ratio (Net B/C)

4.    Gros Benefit – Cost Ratio (Gros B/C)

5.    Profitability Ratio (PV/K)


Dari lima kriteri tersebut, ketiga kriteria pertama (NPV, IRR dan B/C) lebih dapat
dipertanggungjawabkan untuk penggunaan-penggunaan tertentu, sedangkan yang kedua
terakhir (Gros B/C dan PV/K) mendapat kritik dari segi teorinnya.

Setiap kriteri tersebut digunakan untuk menentukan diterima tidaknya (layak tidaknya) suatu
rencana proyek yang diusulkan dipandang dari aspek profitabilitas komersil.

a. Konsep Nilai Waktu dan Uang

      Untuk proyek jangka panjang, pembahasan konsep Nilai Waktu dan Uang merupakan hal yang
penting. Waktu sangat berharga bagi manusia pada umumnya dan bagi pemikir ekonomis
khususnya karena akhirnya masalah waktu tersebut mempunyai kaitan yang sangat erat dengan
uang. Peranan dan hubungan antara waktu dan uang ini menimbulkan pemikiran bahwa orang-
orang lebih menghargai uang yang dimiliki sekarang dari pada masa yang akan datang. Sebagai
contoh kalau ditawarkan kepada kita mana yang lebih suka, menerima uang Rp 1000,- saat ini
atau menerima Rp 1000,- nanti tahun depan. Tentu jawabannya lebih suka menerima Rp 1000
saat ini. Keputusan ini diambil tentunya karena walaupun nominal uang tersebut sama yaitu Rp
1000,- antara saat ini dan tahun depan, tetapi nilai riilnya (daya tukar) berbeda (berubah). Kalau
uang Rp 1000,- saat ini dapat membeli 2 kg beras, mungkin tahun depan hanya dapat membeli
1,5 kg beras engan kualitas yang sama.

      Penurunan nilai riil mata uang tersebut antara lain terutama disebabkan oleh inflasi. Semakin
tinggi tingkat inflasi semakin besar pula penurunan nilai mata uang. Contoh lain yang
berhubungan dengan masalah ini adalah kalau inflasi meningkat, maka umumnya bank-bank
harus memberikan suku bunga simpanan (misal deposito, tabungan) yang makin tinggi agar
masyarakat tetap bersedia menyimpan uangnya di bank. Apabila tingkat bunga simpanan lebih
rendah dari tingkat inflasi, maka tidak akan ada seorangpun yang bersedia menyimpan dananya
di bank.
      Apa peranan konsep tersebut dengan perencanaan/analisa proyek ?  Inti dari perencanaan adalah
menentukan apakah dan sampai berapa jauhkah proyek tersebut memberikan manfaat
(penerimaan) yang lebih besar daripada biayanya kepada pemiliknya.  Untuk menentukan ada
tidaknya dan tingkat dari manfaat bersih itu perlu kita bandingkan arus manfaat dari proyek-
proyek tersebut dengan arus biayanya.  Tetapi timbul pertanyaan bagaimanakah cara
membandingkan biaya yang harus dikeluarkan saat ini  (investasi) dengan manfaat (penerimaan)
yang akan diterima baru beberapa tahun kemudian ?

      Kalau kita perhatikan kembali contoh dari kedua kasus inflasi, ternyata tingkat bungalah yang
memungkinkan kita untuk membandingkan arus biaya dan manfaat yang penyebarannya di
dalam waktu yang tidak merata.  Untuk setiap nilai tingkat bunga “i” dan setiap jangka tahun
selama bunga itu diasumsikan telah/akan didapat/dibayar, terdapat suatu discount factor yang
unik.  Discount factor  ini telah ada yang dibuat dalam tabel, antara lain yang diterbitkan oleh
Word Bank dengan judul Compounding and Discounting Table for Project Evaluation. 
Sehubungan dengan  itu, dalam hal ini akan dijelaskan dua pengertian penting melalui contoh-
contoh, yakni Compounding Intertest Factor dan Discounting Factor.
      Compounding Intertest disebut juga bunga majemuk atau bunga berbunga adalah bunga
yang menunjukkan bahwa bunga dari suatu pokok pinjaman akan dikenakan bunga lagi pada
periode berikutnya.         Contoh  jika  pokok  pinjaman Rp 100,- dengan  tingkat bunga 12 %/th,
maka sesudah satu tahun jumlah yang harus dikembalikan adalah

   Rp 100,- + 12 % x Rp 100,-
= Rp 100,- (1 + 12 %)
= Rp 112,-

Kalau pinjaman itu akan dikembalikannya setelah dua tahun, maka bunga yang        Rp 12,- akan
kena bunga lagi, sehingga jumlahnya menjadi:

    Rp 100,- (1 + 12 %) ( 1 + 12 %)
= Rp 100,- (1 + 12 %)²
= Rp 100,0 (1 + 0,12)²
= Rp 125,44

Seandainya jumlah semula (Rp 100,-) disebut P (Pressent amount), jumlah tahun selama uang
dipinjam disebut n, jumlah yang harus dikembalikan disebut                     F (Future amount)
dan tingkat bunga disebut i (interest), maka perhitunan di atas dapat ditulis dengan rumus:
                                                                            
F = P (1 + i ) n
          
(1 + i ) n disebut Compounding Factor,   yakni   suatu  bilangan yang lebih  besar dari satu (1,0)
yang dapat dipakai untuk mencari suatu jumlah yang akan datang (F) berdasarkan jumlah
sekarang (P) setelah diberi bunga berbunga pada setiap akhir tahun (n). 

Sedangkan dalam perencanaan/analisa proyek yang diketahui bukan P malainkan F (besarnya


nilai di masa yang akan datang).  Dengan demikian untuk mencari nilai P (Nilai Sekarang=
Pressent Value) rumusnya menjadi:
                                                
P =       F                  
                   
          (1 + i ) n

 P      =   F      1


                   (1 + i ) n
    1
(1 + i ) n     disebut Discount Factor (DF), yakni suatu bilangan yang kurang dari satu (1,0) yang
dapat digunakan untuk mencari nilai sekarang (P) dari nilai masa yang akan datang (F).  Dengan
demikian maka rumusnya menjadi:

P = F x DF
1)    Net Persent Value (NPV)
Net Present Value (NPV) atau nilai sekarang bersih adalah analisis manfaat finansial yang
digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan dilihat dari nilai sekarang
(present value) arus kas bersih yang akan diterima dibandingkan dengan nilai sekarang dari
jumlah investasi yang dikeluarkan. Arus kas bersih adalah laba bersih usaha ditambah
penyusutan, sedang jumlah investasi adalah jumlah total dana yang dikeluarkan untuk
membiayai pengadaan seluruh alat-alat produksi yang dibutuhkan dalam menjalankan suatu
usaha.     
                  
Untuk menghitung NPV dari suatu usaha diperlukan data tentang: (1) jumlah investasi yang
dikeluarkan, dan (2) arus kas bersih per tahun sesuai dengan umur ekonomis
Rumus dari NPV adalah:

              n                I                           n                   n

 ─    Σ        (1 +  i  )t      =    Σ  PVNCF    ─  Σ PVI                       

           t =                                      t = 1            t = 0

n             NCF       
Σ       (1 +  i  )t    
t  =1    

di mana:

NCF       =  Net Cash Flow/Arus Kas Bersih= (laba setelah pajak + 


                  penyusutan) dari tahun pertama sampai tahun ke n
I              =  Pengeluaran investasi dari tahun awal (0) sampai tahun ke n
n            =  Umur ekonomis dari proyek
i             =  Tingkat Diskonto (discount factor  “DF”) =  tingkat bunga     
                  /social opportunity cost of capital yang ditunjuk
                 Social Discount  Rate   (tingkat   bunga umum)
PVNCF =  Present Value dari NCF
PVI         =  Present Value dari Investasi    

Dalam analisis proyek,  NPV ≥ 0 dikatakan proyek layak untuk dilaksanakan dan NPV < 0
proyek tidak layak untuk dilaksanakan. Atau dengan kata lain, apabila nilai sekarang
penerimaan bersih dari masa yang akan datang lebih besar dari pada nilai sekarang
Investasi, maka proyek ini dikatakan menguntungkan, begitu pula sebaliknya.

2)    Internal Rate of Return


IRR adalah nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek sama dengan nol. Atau IRR
merupakan tingkat bunga yang menyebabkan nilai sekarang Investasi (Net Investment Present
Value) sama dengan nilai sekarang penerimaan bersih (Net Benefit Present Value) di masa
mendatang.

IRR biasanya sulit diselesaikan (dicari nilai i nya) secara langsung, karena harus ada dua NPV,
yakni NPV1 yang harus potitif dan  NPV2 yang harus negatif.  NPV1 adalah nilai NPV pada
tingkat discount rate “i” yang sesuai dengan tingkat discount rate yang berlaku saat rencana
usaha dibuat, sehingga menghitungnya lebih mudah.  Maka i-nya kita sebut sebagai i1 dan NPV-
nya kita sebuat sebagai NPV2. Sedangkan  NPV2 adalah nilai NPV pada tingkat discount rate “i”
yang harus dicari sampai ditemukan NPV-nya negatif.    Sehingga untuk menentukannya
biasanya didekati dengan coba-coba melalui prosedur sebagai berikut :
a.         Pilih discount  rate i yang dianggap   dekat dengan discount rate i yang berlaku (biasanya naik
satu tingkat discount rate), lalu dihitung NPV-nya. Jika NPV yang diperoleh positif berarti nilai
percobaan pemilihan i tadi belum benar. Jadi harus dipilih i  yang lebih tinggi sampai diperoleh
NPV negatif.  Jika sudah diperoleh NPV negatif,  maka kita sebut i-nya sebagai  i2 dan nilai NPV
nya sebagai NPV2
b.         Dengan telah diperolehnya dua nilai NPV yang positif dan negatif maka IRR dapat diselesaikan
dengan rumus
IRR   =   i 1 +  ( i 2 – i 1)          NPV1             

                                          NPV1 + NPV2


      
Di mana:
i 1  =  Tingkat diskonto (tingkat bunga) yang menghasilkan NPV positif   
i 2 =   Tingkat diskonto (tingkat bunga) yang menghasilkan NPV negatif               

Jika ternyata IRR dari suatu proyek sama dengan nilai i yang berlaku sebagai social discount
rate, maka nilai NPV dari proyek itu adalah sebesar nol. Jika IRR lebih kecil dari social
discount rate, berarti NPV lebih kecil dari nol. Oleh karena itu suatu nilai IRR yang lebih besar
dari / sama dengan (≥)  Social Discount Rate menyatakan tanda “Go” (layak) untuk suatu
proyek, sedangkan jika IRR lebih kecil dari Social Discount  Rate berarti proyek itu “No Go”
(tidak layak).

3)    Net Benefit – Cost Ratio (Net B/C)


Net B/C adalah suatu metoda untuk melihat berapa besar benefit yang dapat diperoleh dari setiap
penanaman satuan biaya.

Analisis net B/C merupakan perbandingan antara presen value dari arus kas
bersih dengan present value  investasi yang dikeluarkan. Net B/C sering juga
disebut sebagai profitability indeks.  Jadi, net B/C dihitung dengan rumus:
     
                             n
                               ∑ PVNCF
                             t = 1
      Net B/C =        
    n
                              ∑ PVI
                               t = 1
                                                                        
Jika perhitungan tadi memberikan hasil = 1, berarti NPV = 0. Dan jika hasilnya lebih dari satu,
berarti NPV > 1.  Dengan demikian jika Net B/C ≥ 1 berarti merupakan tanda ‘Go’ (layak) untuk
suatu proyek dan Net B/C < 1  berarti No Go (tidak layak).

         Contoh Aplikasi Penilaian Kelayakan Usaha


Untuk memahami bagaimana penilain kelayakan usaha diiakukan, cermati contoh berikut dengan
seksama. Bila perlu diskusikan dengan teman-teman dan minta bimbingan guru untuk
memahaminya.

Anggaplah A sedang merencanakan untuk menjalankan usaha angkutan kota. Untuk maksud
tersebut, A berusaha memperoleh informasi lebih mendalam mengenai usaha angkutan kota
tersebut. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dari beberapa pengusaha angkutan kota
diperoleh data sebagai berikut:
     1. Jumlah biaya investasi untuk satu kendaraan angkutan kota bekas siap pakai mencapai RP
39.850.000,00 dengan umur ekonomis seiama 5 tahun. Di samping itu berdasarkan pengalaman,
kendaraan setelah lima tahun masih memiliki nilai sisa dengan harga jual Rp 5.000.000,00.
2.  Biaya operasi dan pemeliharaan per tahun mencapai  Rp 4.620.000,00 dengan rinciannya per tahun
adalah,
a.   Gaji sopir Rp 1.800.000,00 .
b. Biaya ban Rp 2.340.000,00.
c.   Biaya aki Rp 80.000,00.
b    Biaya perawatan Rp 120.000,00
Selama 5 tahun jumlah biaya operasi dan perawatan diperkirakan tidak berubah.
3.  Penyusutan kendaraan dilakukan dengan menggunakan metode garis lurus. Jadi Penyusutan
kendaran per tahun = (harga beli aset - nilai sisa)/umur ekonomis = (39.850.000 - 5.000.000)/5 =
Rp 6.970.000,00.
4.  Setoran rata-rata per hari Rp 55.000,00 dan sebulan dihitung 26 hari. Dengan demikian, perkiraan
pendapatan per tahun adalah Rp 17.160.000,00.
5.  Sumber dana investasi seluruhnya dibiayai dari modal sendiri. Tingkat bunga kredit bank diketahui
misalnya sebesar 19% per tahun. Berdasarkan data tersebut, A ingin mengetahui apakah rencana
usaha angkutan kota tersebut layak atau tidak untuk dijalankan. Untuk maksud tersebut A
menghitung perkiraan rugi/laba, perkiraan arus kas, dan analisis manfaat finansial terhadap rencana
usaha angkutan kota tersebut.

Hasilnya dipaparkan melalui Tabel 1 sampai Tabel 4 sebagai berikut:


TABEL 1 Perkiraan Rugi/Laba Usaha Angkutan Kota (dalam Rp 000)
No Keterangan Tahun

0 1 2 3 4 5

1 Pendapatan Usaha

Setoran - 17.160 17.160 17.160 17.160 17.160

Nilai sisa   5.000

2 Jumlah Pendapatan (Bt) - 17.160 17.160   17.160 17.160 22.160

3 a.  Biaya operasional dan - 4.620 4.620 4.620 4.620 4.620


perawatan
-
Biaya penyusutan
6.970 6.970     6.970 6.970 6.970

4 Jumlah Biaya (Ct) - 11.590 11.590 11.590 11.590 11.590

5 LABA KOTOR (2) – (4) - 5.570 5.570 5.570 5.570 10.570

6 Bunga Pinjaman - - - - - -

7 LABA SEBELUM PAJAK - 5.570 5.570 5.570 5.570 10.570

8 Pajak - - - - - -

9 LABA BERSIH - 5.570 5.570 5.570 5.570 10.570

10 ARUS KAS BERSIH (NCF) -   12.540 12.540 12.540 12.540 17.540


(9) + ( Penyusutan  (D) )

NCF = Net Cash Flow = (Bt – Ct) + D

TABEL 2.  Perkiraan Arus Kas Bersih Usaha Angkutan Kota


Tahun Investasi Arus Kas Bersih (NCF)

0 39.850.000,00 -

1 - 12.540.000

2 - 12.540.000

3 - 12.540.000

4 - 12.540.000

5 - 17.540.000

                     TABEL 3.  Perhitungan Net Present Value Usaha Angkutan Kota

Present Present
DF *)
Arus Kas Bersih
Tahun Investasi Value Value NCF
(NCF)
19%
Investasi (PVI) {PVNCF}

0  39.850.000 1 39.850.000 -

1 - 12.540.000 .8403 - 10.537.362


2 - 12.540.000 .7061 - 8.854.494

3 - 12.540.000 .5934 - 7.441.236

4 - 12.540.000 .4986 - 6.252.444

5 - 17.540.000 .4190 - 7.349.260

  Jumlah 39.850.000       40.437.796

Perhitungan  NPV =
       n                                n
                Σ  PVNCF    ─  Σ  PVI                       
                t = 1              t = 0

= 40.437.796 – 39.850.000
= 587.796 

Jadi pada tingkat bunga (DF) 19 %, usaha itu layak dilanjutkan atau Go
Artinya bahwa nilai sekarang penerimaan bersih dari masa yang akan datang lebih besar dari
pada nilai sekarang Investasi, atau sebesar Rp 587.796,-. 

Perhitungan Net B/C

                             n
                               ∑ PVNCF
                             t = 1
      Net B/C =        
    n
                              ∑ PVI
                               t = 1
=         40.437.796
            39.850.000
=      1,01
Net B/C = 1,01 mengandung arti, dari setiap Rp 1,- pengeluaran investasi sanggup menghasilkan
penerimaan kas bersih sebesar Rp 1,01,-

Perhitungan IRR
   TABEL 4 Perhitungan IRR Usaha Angkutan Kota

Ta
Arus Kas Tingkat Bunga 19% Tingkat  Bunga 21 %
hun

Bersih (NCF)
DF PVNCF DF PVNCF

1 12.540.000 .8403 10.537.362 .8264 10.363.056

2 12.540.000 .7061 8.854.494 .6830   8.564.820

3 12.540.000 .5934 7.441.236 .5644   7.077.576

4 12.540.000 .4986 6.252.444 .4665   5.849.910

5 17.540.000 .4190 7.349.260 .3855   6.761.670

Jumlah 40.437.796       38.617.032

PVI 39.850.000 - 39.850.000

NPV 587.796  - ─ 1.232.968

IRR   =   i 1 +  ( i 2 – i 1)             NPV1             


                                                 NPV1 + NPV2                                                                                            

                                                                       587.796
IRR =  19 % +  (21 % - 19 %) x                                 
                                                                  587.796 – ( - 1.232.968)

=  19 % + (2 % x 0,3228293178)
=  19 %  +  0,6456586356 %
=  19,65 %
=  19,65 % > 19 %

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis manfaat finansial, yaitu dengan menggunakan ukuran atau kriteria NPV,
net B/C dan IRR diperoleh hasil sebagai berikut:
(1) NPV > 0
(2) Net B/C atau indeks profitabilitas > 1
 (3) IRR > 19%
Karena itu dapat disimpulkan bahwa, rencana usaha angkutan kota layak untuk dilaksanakan.

B. Tingkat Bunga Pasar

Edward dan Khan (1985), mengatakan bahwa faktor penentu suku bunga tcrbagi alas 2 (dua)
faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendapatan nasional, jumlah uang
beredar, dan Ekspektasi Inflasi. Sedangkan faktor eksternalnya adalah penjumlahan suku bunga
luar negeri dan tingkat Ekspektasi perubahan nilai tukar valuta asing. Seperti halnya dalam setiap
analisis keseimbangan ekonomi, pembicaraan mengenai keseimbangan di pasar uang juga akan
melibatkan unsur utamanya, yaitu permintaan dan penawaran uang. Bila mekanisme pasar dapat
berjalan tanpa hambatan maka pada prinsipnya keseimbangan di pasar uang dapat terjadi, dan
merupakan wujud kekuatan tarik menarik antara permintaan dan penawaran uang.

Teori ini berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh ekonom Inggris John Maynard
Keyness, yang telah mengkritik teori ekonomi klasik tentang pengembangan teori tingkat suku
bunga. Menurut Keyness, teori klasik berlaku hanya untuk bunga jangka panjang. la
mengembangkan teori preferensi likuiditas ini untuk menjelaskan suku bunga untuk jangka
pendek. Tingkat suku bunga menurut Keyness adalah harga yang di keluarkan debitur untuk
mendorong seorang kreditur memindahkan sumber daya langka (uang) mereka, akan tetapi, uang
yang dikeluarkan debitur mempunyai kemungkinan adanya kerugian berupa risiko tidak
diterimanya tingkat bunga tertentu.Di dalam teori ini terdapat dua macam investasi yang
dikembangkan, yaitu uang dan obligasi. Uang merupakan kekayaan yang paling likuid karena
uang mempunyai kemampuan untuk membeli setiap saat. Sedangkan obligasi tidak dapat untuk
membeli sesuatu kecuali kalau diubah terlebih dahulu ke dalam bentuk uang tunai. Keyness
mengatakan bahwa, permintaan terhadap uang merupakan tindakan rasional, meningkatnya
permintaan uang akan menaikkan tingkat suku bunga.

Menurut Karl dan Fair (2001:635) suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu
pinjaman, dalam bentuk persentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang
diterima tiap tahun dibagi dengan jumlah pinjaman.
Pengertian suku bunga menurut Sunariyah (2004:80) adalah harga dari pinjaman. Suku bunga
dinyatakan sebagai persentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu ukuran harga
sumber daya yang digunakan oleh debitur yang harus dibayarkan kepada kreditur.

Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 471) suku bunga adalah harga yang dibayarkan
untuk satuan mata uang yang dipinjam pada periode waktu tertentu.
Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 99-100) suku bunga dapat dibedakan menjadi dua
yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil. Dimana suku bunga nominal adalah rasio antara
jumlah uang yang dibayarkan kembali dengan jumlah uang yang dipinjam. Sedang suku bunga
riil lebih menekankan pada rasio daya beli uang yang dibayarkan kembali terhadap daya beli
uang yang dipinjam. Suku bunga riil adalah selisih antara suku bunga nominal dengan laju
inflasi. Menurut Samuelson dan Nordhaus (1998) suku bunga adalah pembayaran yang
dilakukan atas penggunaan sejumlah uang.

            Menurut Prasetiantono (2000) mengenai suku bunga adalah : jika suku bunga tinggi,
otomatis orang akan lebih suka menyimpan dananya di bank karena ia dapat mengharapkan
pengembalian yang menguntungkan. Dan pada posisi ini, permintaan masyarakat untuk
memegang uang tunai menjadi lebih rendah karena mereka sibuk mengalokasikannya ke dalam
bentuk portfolio perbankan (deposito dan tabungan). Seiring dengan berkurangnya jumlah uang
beredar, gairah belanja pun menurun. Selanjutnya harga barang dan jasa umum akan cenderung
stagnan, atau tidak terjadi dorongan inflasi. Sebaliknya jika suku bunga rendah, masyarakat
cenderung tidak tertarik lagi untuk menyimpan uangnya di bank.

Beberapa aspek yang dapat menjelaskan fenomena tingginya suku bunga di Indonesia
adalah tingginya suku bunga terkait dengan kinerja sektor perbankan yang berfungsi sebagai
lembaga intermediasi (perantara), kebiasaan masyarakat untuk bergaul dan memanfaatkan
berbagai jasa bank secara relatif masih belum cukup tinggi, dan sulit untuk menurunkan suku
bunga perbankan bila laju inflasi selau tinggi ( Prasetiantono, 2000 : 99-101)

Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua kekuatan, yaitu : penawaran tabungan dan
permintaan investasi modal (terutama dari sektor bisnis). Tabungan adalah selisih antara
pendapatan dan konsumsi. Bunga pada dasarnya berperan sebagai pendorong utama agar
masyarakat bersedia menabung. Jumlah tabungan akan ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat
bunga. Semakin tinggi suku bunga, akan semakin tinggi pula minat masyarakat untuk menabung,
dan sebaliknya.Tinggi rendahnya penawaran dana investasi ditentukan oleh tinggi rendahnya
suku bunga tabungan masyarakat

C. Macam- Macam Bunga

a. Bunga flat

 Dalam setiap brosur penawaran kredit kendaraan atau kredit tanpa agunan (KTA), seringkali
terdapat tabel berisi besaran pinjaman, tenor kredit, dan besaran angsuran. Cek kolom angsuran
di mana tiap bulan tertera jumlah angsuran yang selalu sama sampai berakhirnya masa kredit.Itu
bisa menjadi indikasi kredit itu menerapkan suku bunga flat. Jenis bunga ini perhitungannya
paling mudah karena tiap bulan angsurannya sama, bunganya sama, cicilan pokoknya sama.
Dalam kredit dengan bunga flat, plafon kredit dan besaran bunga akan dihitung secara
proporsional sesuai dengan jangka waktu kredit.

Rumus perhitungannya

Bunga perbulan = (P x I x t)/jb

P = pokok pinjaman

I = suku bunga per tahun

t = jumlah tahun jangka waktu kredit

jb = jumlah bulan dalam jangka waktu kredit

Contoh kasus:

Pokok pinjaman : Rp 24.000.000

Bunga flat : 5 %/tahun

Jangka waktu kredit : 24 bulan

Penghitungan bunga : Rp (24.000.000 X 5% X 2) / 24 = Rp 100.000

Dengan begitu, mulai dari angsuran pertama sampai terakhir besarannya adalah Rp 1,1 juta.

b. Bunga efektif
Jenis bunga ini juga punya istilah sliding rate. Kredit yang mengaplikasikan bunga efektif ini
angsurannya dihitung berdasarkan sisa pokok utang. Alhasil, perhitungan porsi bunga dan pokok
dalam angsuran tiap bulan bakal berubah terus meski besaran angsuran per bulannya tetap sama.

Umumnya, sistem bunga efektif ini dikenakan pada kredit jangka panjang seperti KPR atau
kredit investasi. Mengapa demikian? Karena jenis bunga efektif ini lebih berguna untuk
pinjaman jangka panjang yang tak perlu buru-buru dilunasi di tengah jalan. Pasalnya, beban
bunga yang dibayarkan nilainya lebih kecil bila dibandingkan dengan bunga flat

Kok bisa? Ya itu tadi karena bunga dihitung berdasarkan sisa utang pokok yang belum dibayar
sehingga besaran bunga per bulan akan berubah berdasarkan nilai pokok yang terhutang. Besaran
bunga yang dibayar tiap bulan akan semakin menciut.

Lantaran besaran bunganya menciut, otomatis angsuran per bulan akan semakin turun dari waktu
ke waktu. Pendek kata, besaran angsuran kedua akan lebih kecil dari angsuran pertama. Begitu
pun saat bayar angsuran ketiga maka nilainya lebih kecil dari angsuran kedua.

Rumus perhitungannya:

Bunga = SP X i X (30/360)

SP = saldo pokok pinjaman bulan sebelumnya

i = suku bunga per tahun

30 = jumlah hari sebulan

360 = jumlah hari dalam setahun

Contoh kasus

Pokok pinjaman : Rp 24.000.000

Bunga : 10 %/tahun

Jangka waktu kredit : 24 bulan

Besaran bunga efektif bulan 1

= Rp 24.000.000,00 x 10% x (30 hari/360 hari)

= Rp 200.000,00

Angsuran pokok dan bunga bulan 1  = Rp 1.000.000,00 + 200.000,00 = Rp 1.200.000,00

Besaran bunga efektif bulan 2


= Rp 23.000.000,00 x 10% x (30 hari/360 hari)

= Rp 191.666,67

Angsuran pokok dan bunga bulan 2 = Rp 1.000.000,00 + 191.666,67 = Rp 1.191.666,67

Di situ terlihat angsuran keduanya nilainya Rp 1.191.666,67 yang lebih kecil dari angsuran
pertama sebesar Rp 1,2 juta.

c. Bunga anuitas

 Jenis bunga satu ini modifikasi dari bunga efektif dengan maksud mempermudah kreditur
membayar angsuran tiap bulan karena besarannya sama.Atau dengan kata lain, bunga anuitas ini
membuat angsuran bulanan yang dibayarkan selalu tetap tapi komposisi bunga dan pokok
angsuran berubah secara periodik. Angsuran pokok per bulannya bakal membesar tapi di saat
bersamaan besaran bunganya per bulan mengecil.Perhitungan bunga ini membuat porsi bunga di
masa awal pinjaman menjadi sangat besar tapi perlahan-lahan porsinya akan mengecil di masa
akhir kredit. Satu hal yang perlu diketahui, rumus perhitungannya sama dengan bunga efektif.

Rumus perhitungannya:

Bunga = SP X i X (30/360)

SP = saldo pokok pinjaman bulan sebelumnya

i = suku bunga per tahun

30 = jumlah hari sebulan

360 = jumlah hari dalam setahun

Contoh kasus

Pokok pinjaman : Rp 24.000.000

Bunga : 10 %/tahun

Jangka waktu kredit : 24 bulan

Besaran bunga anuitas angsuran 1

= Rp 24.000.000,00 x 10% x (30 hari/360 hari)

= Rp 200.000,00
Angsuran pokok dan bunga pada bulan 1 adalah

Rp 907.478,00 + 200.000,00 = Rp 1.107.478,00

Besaran bunga anuitas angsuran 2

= Rp 23.092.522,00 x 10% x (30/360)

= Rp 192.438,00

Angsuran pokok dan bunga pada bulan 2

Rp 915.040,00 + 192.438,00 = Rp 1.107.478,00

Dari situ bisa diperhatikan kalau angsuran yang mesti dibayarkan tiap bulan selalu sama, yakni
Rp 1.107.478. Kemudian perhatian di angsuran pokok dan bunganya pada angsuran pertama dan
kedua yang besarannya berbeda.

Ada dua jenis bunga berdasarkan sifat perhitungannya:

a. Bunga tetap (fixed)

Kredit yang menerapkan jenis bunga tetap (fixed) ini menandakan selama masa kredit maka
besaran bunga yang diterapkan tak akan berubah. Biasanya disebutkan dengan jelas dalam
perjanjian kredit di mana besarnya bunga yang harus dibayar selama jangka waktu tertentu selalu
sama.

Dengan demikian, bila saat perjanjian kredit yang disepakati bersama menyebutkan suku bunga
yang ditetapkan adalah 14%, maka sampai masa kredit berakhir besaran bunga yang dikenakan
selalu 14%.

Kelebihan dari pengenaan suku bunga ini adalah kalau suku bunga pasaran mengalami kenaikan.
Meski ada perubahan suku bunga pasar, tapi hal itu tak mempengaruhi besaran bunga kredit
yang sedang dijalani.

 Tapi ada kerugiannya di mana kalau suku bunga pasaran turun yang bahkan besarannya sampai
drastis. Kondisi ini membuat nasabah menderita kerugian karena suku bunga yang dibebankan
terbilang besar dari yang ada di pasaran.

Contoh cara menghitung suku bunga tetap dihitung dengan menggunakan sisa pokok pinjaman
(sliding rate)

Pokok pinjaman : Rp 24.000.000

Bunga : 14 %/tahun
Jangka waktu kredit : 24 bulan

Bulan 1

Bunga = 14% X Rp 24.000.000/12 X 1 = Rp 280.000

Pokok pinjaman = Rp 24.000.000/24 = Rp 1.000.000

Angsuran bulan 1 = Rp 1.000.000 + Rp 280.000 = Rp 1.280.000

Bulan 2

Sisa pokok pinjaman = Rp 24.000.000 – Rp 1.280.000 = Rp 22.270.000

Bunga = 14% X Rp 22.270.000/12 x 1 = Rp 259.816

Angsuran bulan 2 = Rp 1.000.000 + Rp 259.816 = Rp 1.259.816

Begitu terus sampai angsuran habis sesuai tenor kredit.

b. Bunga mengambang (floating)

  Jenis bunga ini berkebalikan dengan bunga tetap. Sesuai dengan istilahnya, mengambang
(floating), maka penerapan bunganya mengikuti dinamika naik turun suku bunga pasar.Bila suku
bunga di pasaran turun maka bunga kredit ikutan turun. Sebaliknya, bila suku bunga pasar naik
maka bunga kredit bakal mengikutinya. Sistem bunga ini seringkali diterapkan untuk kredit
pemilikan rumah (KPR), modal kerja, usaha, maupun kredit jangka panjang lainnya. Jamakkan
mendapat promo kredit rumah dari sebuah bank yang menawarkan penggunaan kombinasi dua
jenis bunga. Misalnya promosi suku bunga hanya 7% fixed dua tahun lalu tahun ketiga
berdasarkan suku bunga pasar.

Contoh kasus saja jika asumsi tingkat suku bunga sebagai berikut:

Suku bunga bulan 1-4 14%

Suku bunga bulan 5-8 16%

 Dengan menggunakan floating rate, pokok pinjaman tetap sama. Yang beda adalah perhitungan
suku bunganya sebagai berikut:

Pokok pinjaman : Rp 24.000.000

Jangka waktu kredit : 24 bulan

Bulan 1
Bunga = 14% X Rp 24.000.000/12 X 1 = Rp 280.000

Pokok pinjaman = Rp 24.000.000/24 = = Rp 1.000.000

Angsuran bulan 1 = Rp 1.000.000 + Rp 280.000 = Rp 1.280.000

Bulan 5

Bunga = 16% X Rp 24.000.000/12 X1 =  Rp 320.000

Angsuran bulan 5 = Rp 1.000.000 + Rp 320.000 = Rp 1.320.000

Begitu seterusnya di mana besaran angsuran tergantung dari naik turun suku bunga

D. Hubungan Harga Sekuritas dengan Tingkat Bunga

Suku bunga adalah alat yang digunakan oleh Bank Indonesia (BI) untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi yang stabil. Ketika BI melakukan perubahan suku bunga, hal ini akan
mempengaruhi kinerja perekonomian, termasuk kinerja pasar saham.

Pertimbangan
Saat seorang investor melakukan penelitian sebelum memutuskan membeli atau menjual
saham, dia harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk prospek pertumbuhan
perusahaan, kondisi pasar saat ini (termasuk suku bunga) dan bagaimana membeli atau menjual
saham cocok dengan rencana investasinya.

Penting untuk dicatat bahwa perubahan harga saham dapat terjadi karena semua faktor ini.

Suku Bunga dan Laba


Nilai saham tergantung pada harga per saham. Sebagai aturan umum, ketika pendapatan
perusahaan diperkirakan meningkat, harga saham akan naik. Peningkatan laba perusahaan
biasanya terjadi ketika ekonomi tumbuh, yang terjadi ketika suku bunga diturunkan. Sebaliknya,
ketika BI ingin meredam pertumbuhan ekonomi, mereka akan menaikkan suku bunga. Kenaikan
suku bunga akan menurunkan laba perusahaan dan menyebabkan harga saham jatuh.

Suku Bunga dan Investor

Investor dapat memilih untuk berinvestasi di saham atau obligasi, dengan pilihan
investasi umumnya didasarkan pada hasil yang diharapkan dari setiap investasi. Misalnya, BI
memutuskan menurunkan suku bunga. Ketika suku bunga diturunkan, obligasi diterbitkan
dengan tingkat bunga yang lebih rendah. Akibatnya, investor menyadari mereka bisa
mendapatkan lebih banyak uang dengan berinvestasi di saham, sehingga saham menjadi semakin
diburu. Ketika banyak orang memilih berinvestasi di saham, harga saham mulai naik.
Sebaliknya, ketika BI memutuskan menaikkan suku bunga, obligasi akan diterbitkan dengan
tingkat bunga yang lebih tinggi. Hal ini akan mendorong investor untuk membeli obligasi, dan
karena investor menjual saham mereka, harga saham akan jatuh.

Suku Bunga dan Konsumen

Ketika BI memutuskan menurunkan suku bunga, konsumen dirangsang untuk membeli


barang-barang seperti rumah dan mobil karena mereka dapat membiayai pembelian tersebut pada
tingkat bunga yang lebih rendah. Seiring belanja konsumen mulai meningkat, pendapatan
perusahaan juga akan meningkat. Karena investor melihat pendapatan perusahaan meningkat,
mereka mulai membeli saham di perusahaan sehingga menyebabkan harga saham naik.
Sebaliknya, jika suku bunga naik, konsumen menghemat uang mereka. Seiring belanja
konsumen yang rendah, laba usaha menjadi menurun. Investor yang melihat penurunan laba
usaha lantas menjual saham sehingga harga saham mulai jatuh.

Suku Bunga dan Bisnis

Ketika BI menurunkan suku bunga, kondisi ini mengurangi biaya investasi untuk bisnis.
Bisnis mulai memperluas usahanya dan berinvestasi dalam berbagai proyek karena dinilai akan
menguntungkan. Seiring bisnis yang mulai berkembang, investor membeli saham dengan
harapan mampu menjual dengan harga lebih tinggi di masa depan. Peningkatan pembelian saham
menyebabkan harga saham naik. Sebaliknya, jika BI memutuskan menaikkan suku bunga, bisnis
akan mengurangi investasi karena dianggap kurang menguntungkan akibat meningkatnya biaya
investasi. Seiring investor mengetahui penurunan investasi bisnis, mereka menganggap
perekonomian mulai menurun dan menjual saham mereka, yang menyebabkan harga saham
jatuh.

Jika suatu perusahaan dianggap mengurangi pertumbuhannya atau kurang


menguntungkan, baik melalui beban utang yang lebih tinggi atau pendapatan yang lebih rendah,
jumlah perkiraan arus kas masa depan akan turun. Jika semuanya sama, ini akan menurunkan
harga saham perusahaan. Jika cukup banyak perusahaan mengalami penurunan dalam harga
saham mereka, seluruh pasar atau indeks utama yang disamakan banyak orang dengan pasar,
seperti IHSG akan turun. Dengan ekspektasi yang lebih rendah dalam pertumbuhan dan arus kas
masa depan perusahaan, investor tidak akan mendapatkan sebanyak pertumbuhan dari apresiasi
harga saham, membuat berinvestasi saham kurang diinginkan. Selain itu, berinvestasi dalam
saham dapat dipandang sebagai terlalu berisiko dibandingkan dengan investasi lainnya.

Apa Yang Terjadi Ketika Suku Bunga Turun?

Investor dan ekonom sama-sama memandang suku bunga yang lebih rendah sebagai
pemicu untuk pertumbuhan. Konsumen akan membelanjakan lebih banyak, dengan suku bunga
yang lebih rendah. Bisnis akan menikmati kemampuan untuk membiayai operasi, akuisisi, dan
ekspansi pada tingkat yang lebih murah, sehingga meningkatkan potensi pendapatan masa depan
mereka, yang, pada gilirannya, mengarah pada harga saham yang lebih tinggi. Perusahaan besar
dengan arus kas yang stabil dan neraca yang kuat mendapat manfaat dari pembiayaan utang yang
lebih murah.

Dampak Suku Bunga terhadap Saham

Naik atau turunnya suku bunga mempengaruhi psikologi investor, dan pasar. Ketika
Bank Sentral mengumumkan kenaikan, baik bisnis dan konsumen akan mengurangi pengeluaran
yang menyebabkan pendapatan turun dan harga saham turun. Di sisi lain, ketika diumumkan
penurunan suku bunga asumsinya adalah konsumen dan bisnis akan meningkatkan pengeluaran
dan investasi, menyebabkan harga saham naik.

E. Hubungan Antara Yield dengan Harga Sekuritas

Dalam obligasi dikenal teori hubungan antara harga dan suku bunga sebagai berikut “apabila
suku bunga naik maka harga obligasi akan turun dan sebaliknya apabila suku bunga turun,
maka harga obligasi akan naik.” Seiring dengan dinamika pasar, adanya aksi intervensi, dan
pengaruh dari asing yang tidak hanya melihat faktor domestik akan tetapi juga global, teori di
atas sudah mulai agak ketinggalan. Untuk menyikapi dinamika pasar seperti yang terjadi saat ini,
seharusnya teori obligasi diubah menjadi sebagai berikut:

“Apabila YIELD Obligasi DIEKSPEKTASIKAN akan NAIK, maka HARGA obligasi akan
TURUN, sebaliknya apabila YIELD obligasi DIEKSPEKTASIKAN akan TURUN, maka
HARGA obligasi akan NAIK”

Perubahan yield biasanya sejalan dengan perubahan tingkat suku bunga bank. Jika suku
bunga bank naik maka yield bond naik, dan sebaliknya. Dalam teorinya apabila yield obligasi
diekspektasikan akan naik, maka harga obligasi akan turun, sebaliknya apabila yield obligasi
diekspektasikan akan turun, maka harga obligasi akan naik.

Inflasi akan berpengaruh pada yield itu. Urutannya begini: pada saat inflasi naik maka
umumnya direspon dengan kenaikan suku bunga. Peningkatan suku bunga biasanya diikuti
kenaikan yield obligasi dan akhirnya harga obligasinya turun.

Sebagai gambaran, kita lihat harga salah satu obligasi acuan (benchmark) yaitu Surat Utang
Negara (SUN) tenor 10 tahun (FR59):

Data Bloomberg mencatat, pada 3 Maret 2017, yieldnya sebesar 7,47 persen pada harga 96,68.
Pada 6 Maret 2017, yieldnya berubah turun 0,02 persen menjadi 7,45 persen sebaliknya harganya
naik 0,11 persen menjadi 96,79.

Pada prakteknya, pasar sering potong kompas. Pada saat inflasi baru diekspektasikan
akan naik saja, pasar meyakini suku bunga akan naik dan dampaknya terhadap harga obligasi
sudah langsung terjadi. Padahal suku bunga sebenarnya belum merespon sedikit pun, sering
terjadi obligasi akan ditransaksikan pada yield yang lebih tinggi sehingga harga obligasi menjadi
turun. Perubahan suku bunga itu sendiri mungkin baru terjadi beberapa bulan kemudian dan bisa
saja ternyata berbeda dengan ekspektasi pasar. 

Biasanya negara dikatakan sedang atau akan krisis  diketahui dari besaran yield
obligasinya. Sebagai referensi, angka darurat untuk negara di Eropa adalah ketika yield obligasi
10 tahun melewati 7%. Ketika yield melewati angka tersebut, artinya biaya yang dibutuhkan bagi
suatu negara untuk memperoleh pinjaman baru adalah sebesar 7%. Angka ini dianggap sudah
terlalu tinggi oleh sebagian negara misalkan  Irlandia dan Portugal yang menurut data langsung
meminta bantuan kepada IMF kala mencapai angka tersebut.

Pergerakan yield obligasi AS juga mempengaruhi yield obligasi Indonesia.  Selisih


antara yield obligasi AS dengan yield obligasi Indonesia sekitar 500 basis poin. Kenaikan yield
akan menyebabkan penurunan harga obligasi dan akan menyebabkan penurunan pada harga
reksa dana pendapatan tetap dan campuran yang basisnya obligasi.
Dari uraian di atas dapat diberikan beberapa kesimpulan bahwa:

1. Perubahan yield bisa meramalkan perubahan suku bunga yang akan terjadi di masa
mendatang
2. Perubahan yield bisa menyebabkan kenaikan atau penurunan harga pada reksa dana
berbasis obligasi
3. Perubahan yield bisa mengetahui apakah suatu negara sedang dalam kondisi krisis atau
tidak

Anda mungkin juga menyukai