Perjuangan Mempertahankan Keutuhan NKRI (Sejarah)

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Perjuangan mempertahankan keutuhan

NKRI (1948 - 1965)

KELOMPOK 2
1. Daffa Mahendra
2. Hilman Bayu
3. Mario Davyxavier
4. M. Adam
5. M.Teguh Prayogi
XII MIPA 4

SMA NEGERI 3 BEKASI


T.A 2017/2018

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 KATA PENGANTAR


Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha
penyayang kami panjatkan puji syukur atas kehadirannya yang telah
melimpahkan rahmat hidayah pada kami seingga kami dapat
menyelasaikan makalah tentang Perjuangan mempertahankan
keutuhan NKRI (1948 - 1965).
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih pada
teman teman sekelompok yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karna itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Perjuangan
mempertahankan keutuhan NKRI (1948 - 1965) dapat bermanfaat
maupun memberi inspirasi terhadap pembaca

Bekasi, 20 Agustus 2017

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Kelompok 1
Apa peran Jend. Sudirman pada Agresi Militer Belanda II?

Kelompok 3
Apa dampak dari lolosnya nasution dalam upaya penculikan?
Kelompok 4
Apa tindakan perlawanan dari Ahmad Yani melawan PK 1?

Kelompok 5
Apa latar belakang terjadinya penculikan perwira tinggi pada
peristiwa G 30-S/PKI?

Kelompok 6
Mengapa D.I Panjaitan menjadi sasaran operasi pembunuhan
G 30-S/PKI?

Kelompok 7
Mengapa sutoyo dianggap menjadi penghalag bagi PK1 dalam
mewujudkan impiannya menciptakan angkatan ke lima

Kelompok 8
Kapan oprasi penumpasan G 30-S/PKI dilakukan?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perjuangan mempertahankan keutuhan NKRI


(1948 - 1965).
A.Tokoh Pejuang Indonesia pada Tahun 1948-1965
Kemerdekaan Indonesia dicapai dengan perjuangan tanpa menyerah.kemerdekaan
Indonesia juga harus dipertahankan bersama.Setelah Negara Indonesia merdeka, bangsa harus
menghadapi invansi pasukan Sekutu dan serangan Belanda,juga terror dan ancaman dari bangsa
Indonesia sendiri,yaitu adanya pemberontakan.
Dan berikut ini adalah para pahlawan yang melindungi kedaulatan dan kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1948-1965
1.Panglima Besar Jendral Soedirman
Jenderal Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal 29
Januari 1950 pada umur 34 tahun adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi
Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia secara luas
terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda,
Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap
pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan
ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam
Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya
dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada
Islam.
Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan
kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan
Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun
1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada
tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang,
menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama
rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit,
Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-pemimpin
politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter
pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh
bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil
kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia
mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di
Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri,
Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus
melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit
TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih
satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah
tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman.
Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai
sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-
kilometer (62 mi) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari
Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya
diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10
Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
2.Jendral Besar Abdul Haris Nasution
Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3
Desember 1918 – meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun) adalah seorang
pahlawan nasional Indonesia[2] yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam
peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putrinya Ade Irma Suryani
Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean.
Nasution merupakan konseptor Dwifungsi ABRI yang disampaikan pada tahun 1958 yang
kemudian diadopsi selama pemerintahan Soeharto. Konsep dasar yang ditawarkan tersebut
merupakan jalan agar ABRI tidak harus berada di bawah kendali sipil, namun pada saat yang
sama, tidak boleh mendominasi sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.[3]
Bersama Soeharto dan Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal
Besar yang dianugerahkan pada tanggal 5 Oktober 1997, saat ulang tahun ABRI.
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, pasukan yang menyebut diri mereka Gerakan 30
September (G30S) mencoba untuk menculik tujuh perwira Angkatan Darat anti-komunis
termasuk Nasution.Letnan Arief yang memimpin pasukan untuk menangkap Nasution, dan
timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil militer berjalan menyusuri Jalan Teuku Umar
yang sepi pada pukul 4:00 pagi. Rumah Nasution di No 40, rumah sederhana dengan satu lantai.
Setelah Nasution ditangkap dan berhasil membebaskan dirinya dari g-30S/PKI
Nasution tiba di markas Kostrad sekitar pukul 6 sore, Soeharto mulai mengerahkan
pasukan Sarwo Edhie Wibowo untuk mengamankan Jakarta dari Gerakan 30 September. Di sana,
Nasution akhirnya menerima pertolongan pertama untuk pergelangan kakinya yang patah.
Setelah Jakarta aman, Martadinata datang ke markas Kostrad dengan salinan Keputusan Presiden
yang menunjuk Pranoto. Setelah melihat keputusan tersebut, Soeharto mengundang
Martadinata dan Nasution ke ruangan untuk membahas situasi.

Lalu dengan pasukan Sarwo Edhie, Jakarta dengan cepat berhasil diamankan. Soeharto kemudian
mengalihkan perhatiannya ke Halim dan mulai membuat persiapan untuk menyerang pangkalan
udara. Untuk membantunya, Nasution memerintahkan angkatan laut dan polisi untuk membantu
Soeharto dalam menumpas Gerakan 30 September. Untuk angkatan udara, Nasution
mengeluarkan perintah mengatakan bahwa mereka tidak akan dihukum atas pembangkangan jika
mereka menolak untuk mematuhi perintah Dhani. Pada pukul 06:00 tanggal 2 Oktober, Halim
berhasil diambil alih dan Gerakan 30 September secara resmi dikalahkan.
3.Jendral Besar Gatot Subroto
Jenderal TNI (Purn.) Gatot Soebroto (lahir di Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah, 10 Oktober
1907 – meninggal di Jakarta, 11 Juni 1962 pada umur 54 tahun) adalah tokoh perjuangan militer
Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan juga pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di
Ungaran, kabupaten Semarang.
Pada tahun 1948 terdapat Peristiwa Madiun atau Madiun Affairs yang melibatkan pihak
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia. Pemberontakan tersebut berada
di wilayah Madiun, Jawa Timur, yang kemudian berakhir diatasi dengan baik oleh TKR di bawah
pimpinan Gatot Subroto. Saat melawan PKI, Gatot Subroto melancarkan operasi militer agar
dapat memulihkan keamanan. Di sebelah barat, Gatot yang diangkat menjadi Gubernur Militer
Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi,
sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono,
yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan
Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.

4.Jendral Besar Purn H.M Soeharto


Jenderal Besar TNI (Purn.) H. M. Soeharto, (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo,
Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada
umur 86 tahun) adalah Presiden kedua Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998,
menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk
dengan sebutan populer "The Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang
Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan
Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September
1965, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin
operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa
di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam
orang jenderal. Pada peristiwa itu Jenderal A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri
Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang
terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jenderal Soeharto,
meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam peristiwa yang
dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu
menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang
direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5
Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan
Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar
bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya.
Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima
Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan
ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada
Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Keputusan yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI)
sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga
terlibat G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan
sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-
Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran
pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai
pro-Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan
eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan
penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan
sistematis sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap
minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam penumpasan
komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa mereka telah menulis
daftar "operasi komunis" Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer
Indonesia. Been Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa:
"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin membunuh
banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk
itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel,
ahli Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada
yang peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja
tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan sumber
daya di militer.
Setelah dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia
segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia menerima Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yaitu Basuki
Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi Supersemar adalah memberikan kekuasaan kepada
Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi agar
mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta
kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Sehari kemudian, 12 Maret 1966,
Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai terlarang di
Indonesia.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa
MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal
bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No
XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto
kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui
Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai
terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
B.Pahlwan Revolusi pada pemerintahan G30-S/PKI Tahun 1948-1965
1.Jenderal Ahmad Yani
Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani lahir di Jawa Tengah, 19 Juni 1922 meninggal di
Lubang Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun. Adalah komandan Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat, dan dibunuh oleh anggota Gerakan 30 September. Ahmad Yani lahir di
Jenar Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 di keluarga Wongsoredjo, keluarga yang
bekerja di sebuah pabrik gula yang dijalankan oleh pemilik Belanda. Pada tahun 1927, Yani
pindah dengan keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya kini bekerja untuk General Belanda. Di
Batavia, Yani bekerja jalan melalui pendidikan dasar dan menengah. Pada tahun 1940, Yani
meninggalkan sekolah tinggi untuk menjalani wajib militer di tentara Hindia Belanda pemerintah
kolonial. Ia belajar topografi militer di Malang, Jawa Timur, tetapi pendidikan ini terganggu oleh
kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada saat yang sama, Yani dan keluarganya pindah
kembali ke Jawa Tengah.Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara yang disponsori Jepang
Peta (Pembela Tanah Air), dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah
menyelesaikan pelatihan ini, Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan peleton Peta dan
dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat untuk menerima pelatihan. Setelah selesai, ia dikirim kembali
ke Magelang sebagai instruktur.
2.Letnan Jenderal R. Suprapto
Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto lahir di Jawa Tengah, 20 Juni 1920. Meninggal
di Lubangbuaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun. Adalah seorang pahlawan nasional
Indonesia. Ia merupakan salah satu korban dalam G30SPKI dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta.Suprapto yang lahir di Purwokerto ini boleh dibilang hampir seusia
dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang
Panglima Besar. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS
(setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941. Sekitar tahun itu
pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia
Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie di
Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang sudah
keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia
berhasil melarikan diri. Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti
kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia
bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat. Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang
yang turut serta berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia
kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya
secara resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan
melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan
rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.
3.Letnan Jenderal M.T Haryono
Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono lahir di kota Surabaya Jawa
Timur, 20 Januari 1924. Meninggal di Lubang Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 41 tahun.
Adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang terbunuh pada persitiwa G30S PKI. Letjen
Anumerta M.T. Haryono sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar)
kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat
masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak
sampai tamat.Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera
bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu
sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya,
ia memperoleh pangkat Mayor.Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni
antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan
di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan
Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan
Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan
Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris
Delegasi Militer Indonesia.
4.Letnan Jenderal Siswondo Parman
Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman lahir di Wonosobo Jawa Tengah, 4
Agustus 1918. Meninggal di Lubang Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 47 tahun.
Siswondo Parman atau lebih dikenal dengan nama S. Parman adalah salah satu pahlawan revolusi
Indonesia dan tokoh militer Indonesia. Ia meninggal dibunuh pada persitiwa Gerakan 30
September dan mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta. Ia dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta.Parman merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan PKI. Dia
termasuk salah satu di antara para perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk
Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Penolakan serta posisinya sebagai pejabat
intelijen yang tahu banyak tentang PKI, membuatnya menjadi korban penculikan oleh Resimen
Tjakrabirawa yang dipimpin Serma Satar. Penculikannya diduga diatur oleh kakak kandungnya
sendiri, yaitu Ir. Sakirman yang merupakan petinggi di Politbiro CC PKI kala itu.
5.Mayor Jenderal Pandjaitan
Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Sumatera Utara, 19 Juni
1925. Meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun) adalah salah
satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan
terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang
dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti
latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia
bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian
menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi
Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi
Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda
melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda
ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat
menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya
dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.Setelah mengikuti kursus
Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat.
Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun
tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada
Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV
Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat
peristiwa G 30/S PKI terjadi. Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi
tersendiri atas keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat
Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam
peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of
the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan
persiapan melancarkan pemberontakan.
6.Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo
Mayor Jendral TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo lahir di Jawa Tengah, 28 Agustus
1922. Meninggal di Lubang Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun. adalah seorang
perwira tinggi TNI-AD yang diculik dan kemudian dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September
di Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Sutoyo bergabung ke
dalam bagian Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Hal
ini kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia. Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel
Gatot Soebroto, komandan Polisi Militer. Ia terus mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi
Militer, dan pada tahun 1954 ia menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi Militer. Dia memegang
posisi ini selama dua tahun sebelum diangkat menjadi asisten atase militer di kedutaan besar
Indonesia di London. Setelah pelatihan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung
dari tahun 1959 hingga 1960, ia diangkat menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat,
kemudian karena pengalaman hukumnya, pada tahun 1961 ia menjadi inspektur
kehakiman/jaksa militer utama.
Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, anggota Gerakan 30 September yang dipimpin
oleh Sersan Mayor Surono masuk ke dalam rumah Sutoyo di Jalan Sumenep, Menteng, Jakarta
Pusat. Mereka masuk melalui garasi di samping rumah. Mereka memaksa pembantu untuk
menyerahkan kunci, masuk ke rumah itu dan mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil oleh
Presiden Soekarno. Mereka kemudian membawanya ke markas mereka di Lubang Buaya. Di sana,
dia dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur yang tak terpakai. Seperti rekan-rekan
lainnya yang dibunuh, mayatnya ditemukan pada 4 Oktober dan dia dimakamkan pada hari
berikutnya. Dia secara anumerta dipromosikan menjadi Mayor Jenderal dan menjadi Pahlawan
Revolusi.
7.Kapten Pierre Tendean
Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean lahir 21 Februari 1939 – meninggal 1
Oktober 1965 pada umur 26 tahun. adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah
satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965. Mengawali karier militer dengan
menjadi intelijen dan kemudian ditunjuk sebagai ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution dengan
pangkat letnan satu, ia dipromosikan menjadi kapten anumerta setelah kematiannya. Tendean
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan bersama enam perwira korban G30S
lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965. Pierre
Andreas Tendean terlahir dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang berdarah
Minahasa, dan Cornet M.E, seorang wanita Indo yang berdarah Perancis, pada tanggal 21
Februari 1939 di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda. Pierre adalah anak kedua dari tiga
bersaudara; kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati. Tendean
mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di Semarang tempat
ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia sangat ingin menjadi tentara dan masuk akademi militer, namun
orang tuanya ingin ia menjadi seorang dokter seperti ayahnya atau seorang insinyur. Karena
tekadnya yang kuat, ia pun berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD)
di Bandung pada tahun 1958.Pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September
(G30S) mendatangi rumah Nasution dengan tujuan untuk menculiknya. Tendean yang sedang
tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution terbangun karena suara tembakan dan ribut-
ribut dan segera berlari ke bagian depan rumah. Ia ditangkap oleh gerombolan G30S yang
mengira dirinya sebagai Nasution karena kondisi rumah yang gelap. Nasution sendiri berhasil
melarikan diri dengan melompati pagar. Tendean lalu di bawa ke sebuah rumah di daerah Lubang
Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya. Ia ditembak mati dan mayatnya dibuang ke sebuah
sumur tua bersama enam jasad perwira lainnya.

8.AIP Karel Satsuit Tubun


Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun (lahir di Maluku Tenggara, 14
Oktober 1928 – meninggal di Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 36 tahun) adalah seorang
pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah seorang korban Gerakan 30 September pada
tahun 1965. Ia adalah pengawal dari J. Leimena.Karel Satsuit Tubun lahir di Tual, Maluku Tenggara
pada tanggal 14 Oktober 1928. Ketika telah dewasa ia memutuskan untuk masuk menjadi
anggota POLRI. Ia pun diterima, lalu mengikuti Pendidikan Polisi, setelah lulus, ia ditempatkan di
Kesatuan Brimob Ambon dengan Pangkat Agen Polisi Kelas Dua atau sekarang Bhayangkara Dua
Polisi. Ia pun ditarik ke Jakarta dan memiliki pangkat Agen Polisi Kelas Satu atau sekarang
Bhayangkara Satu Polisi. Ketika Bung Karno mengumandangkan Trikora yang isinya menuntut
pengembalian Irian Barat kepada Indonesia dari tangan Belanda. Seketika pula dilakukan Operasi
Militer, ia pun ikut serta dalam perjuangan itu. Setelah Irian barat berhasil dikembalikan, ia diberi
tugas untuk mengawal kediaman Wakil Perdana Menteri, Dr. J. Leimena di Jakarta. Berangsur-
angsur pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi. Karena mengganggap para pimpinan Angkatan
Darat sebagai penghalang utama cita-citanya. Maka PKI merencanakan untuk melakukan
penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah Perwira Angkatan Darat yang dianggap
menghalangi cita-citanya. Salah satu sasarannya adalah Jenderal A.H. Nasution yang bertetangga
dengan rumah Dr. J. Leimena. Gerakan itu pun dimulai, ketika itu ia kebagian tugas jaga pagi.
Maka, ia menyempatkan diri untuk tidur. Para penculik pun datang, pertama-tama mereka
menyekap para pengawal rumah Dr. J. Leimena. Karena mendengar suara gaduh maka K.S. Tubun
pun terbangun dengan membawa senjata ia mencoba menembak para gerombolan PKI tersebut.
Malang, gerombolan itu pun juga menembaknya. Karena tidak seimbang K.S. Tubun pun tewas
seketika setelah peluru penculik menembus tubuhnya.
9.Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo
Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo (lahir di Sragen, Jawa Tengah, 5 Februari 1923
– meninggal di Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 42 tahun) adalah salah satu pahlawan
nasional Indonesia. Katamso termasuk tokoh yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30
September. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.
10. Kolonel Sugiono
Kolonel Anumerta R. Sugiyono Mangunwiyoto (lahir di Gedaren, Sumbergiri, Ponjong,
Gunung Kidul, 12 Agustus 1926 – meninggal di Kentungan, Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada
umur 39 tahun) adalah seorang pahlawan Indonesia yang merupakan salah seorang korban
peristiwa Gerakan 30 September.Kol. Sugiyono menikah dengan Supriyati. Mereka memiliki anak
enam orang laki-laki; R. Erry Guthomo (l. 1954), R. Agung Pramuji (l. 1956), R. Haryo Guritno (l.
1958), R. Danny Nugroho (l. 1960), R. Budi Winoto (l. 1962), dan R. Ganis Priyono (l. 1963); serta
seorang anak perempuan, Rr. Sugiarti Takarina (l. 1965), yang lahir setelah ayahnya meninggal.
Nama Sugiarti Takarina diberikan oleh Presiden Sukarno.Ia dimakamkan di TMP Semaki,
Yogyakarta.

2.2 Jawaban pertanyaan tiap kelompok


Kelompok 1
Jendral Sudirman memimpin pasukan untuk melakukan perang
gerilnya secara intensif dan efektif. Sehingga kota jogja berhasil
dikuasai oleh Indonesia meski hanya beberapa jam.

Kelompok 3
Dampaknya adalah beliau membuka jalan bagi TNI untuk melakukan
pembersihan terhadap upaya kudeta yang dilakukan PKI.

Kelompok4
- menolak gagasan PKI kepada Soekarno tentang dibentuk angkatan
ke-5 RI yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai (saat itu
PKI pura pura pro terhadap pemerintah tentang pemberontakan
PRRT
- menolak Nasakomisasi ABRI PKI

Kelompok 5
G 30 - S/PKI adalah upaya kudeta terhadap pemerintahan yang telah
stabil oleh PKI karna beberapa perwira tinggi TNI yang dianggap
menghalangi kepentingan PKI

Kelompok 6
Karena beliau berhasil membongkar rahasia pengiriman senjata
dari RRT untuk PKI

Kelompok 7
- menolak gagasan PKI kepada Soekarno tentang dibentuk angkatan
ke-5 RI yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai (saat itu
PKI pura pura pro terhadap pemerintah tentang pemberontakan
PRRT
- menolak Nasakomisasi ABRI PKI

Kelompok 8
Sore hari tanggal 1 oktober 1965 pukul 19:15 WIB

BAB III
PENUTUP
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai Perjuangan
mempertahankan keutuhan NKRI (1948 - 1965), tentunya banyak
kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya
rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah
ini. Kami banyak berharap kepada para pembaca memberikan kritik
saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Anda mungkin juga menyukai