Referat Spondilitis TB

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

SPONDILITIS TUBERKULOSA

Disusun oleh:
AKHMAD
030.11.013

Pembimbing :
dr.Hj. Ratna Gina R Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN


ILMU RADIOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KERAWANG

PERIODE 1 FEBUARI 2016 – 5 MARET 2016

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


JAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Referat berjudul

SPONDILITIS TUBERKULOSA

Disusun oleh:

Akhmad

030.11.013

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:

dr.Hj. Ratna Gina R Sp.Rad

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Radiologi

Di Rumah Sakit Umum Daerah Kerawang

Periode 1 Febuari 2016 – 5 Maret 2016

Jakarta, Febuari 2016

dr.Hj. Ratna Gina R Sp.Rad

ii
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................. i
Lembar Pengesahan ......................................................................................... ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
Daftar Gambar.................................................................................................. iv

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2


2.1 Anatomi........................................................................................... 2
2.2 Definisi ............................................................................................ 6
2.3 Etiologi ............................................................................................ 7
2.4 Epidemiologi ................................................................................... 7
2.5 Patogenesis Penyakit ....................................................................... 7
2.6 Manifestasi Klinis ........................................................................... 11
2.7 Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 15
2.8 Penatalaksanaan .............................................................................. 20
2.9 Komplikasi ...................................................................................... 25
2.10 Prognosis ......................................................................................... 26

BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 29

iii
DAFTAR GAMBAR

2.1 Anatomi Vertebra ..................................................................................... 2


2.2 Cervical spine (Atlas & Axis) .................................................................. 3
2.3 Anatomy of thoracic vertebra .................................................................. 4
2.4 Anatomy of lumbal vertebra .................................................................... 5
2.5 Anatomy of sacrum and coccyx ............................................................... 5
2.6 Bentuk Spondilitis Tuberkulosa. .............................................................. 9
2.7 Penyempitan celah sendi disertai Gibus pada foto vertebra (Lateral) ..... 17
2.8 Penyempitan celah sendi disertai Gibus pada foto vertebra (Lateral) ..... 17
2.9 Mielografi pada penderita spondylitis tuberkulosa .................................. 18
2.10 X-ray menunjukkan spondilitis TB .......................................................... 18
2.11 Spondilitis Tuberkulosa tipe paradiskal pada foto MRI .......................... 19
2.12 Spondilitis Tuberkulosa tipe anterior pada foto MRI .............................. 20
2.13 Spondilitis Tuberkulosa tipe sentral pada foto MRI ................................ 20

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan


nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan
suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta
kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini.1

Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779
yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan
kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil
tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga
etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas. 1

Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang


dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5
tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini
mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena
dibandingkan anak-anak. 1

Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang


sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus-kasus tertentu diperlukan
tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik
sebelum ataupun setelah penderita menjalani tindakan operatif. 1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Anatomi dan Fisiologi Vertebra

Gambar 2.1 Anatomi Vertebra.2


Vertebra adalah tulang yang membentuk punggung yang mudah
digerakkan. Terdapat 33 vertebra pada manusia, 7 ruas vertebra cervicalis, 12 ruas
vertebra thoracalis, 5 ruas vertebra lumbalis, 5 ruas vertebra sacralis yang
membentuk os sacrum, dan 4 ruas vertebra coccygealis yang membentuk os
coccygeus.3

Sebuah vertebra terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari
corpus vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Arcus
vertebrae dibentuk oleh dua “kaki” atau pediculus dan dua lamina, serta didukung
oleh penonjolan atau procesus yakni procesus articularis, procesus transversus, dan
procesus spinosus. Procesus tersebut membentuk lubang yang disebut foramen
vertebrale. Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan membentuk saluran
sebagai tempat medulla spinalis. Di antara dua vertebra dapat ditemui celah yang
2
disebut foramen intervertebrale. Dan di antara satu corpus vertebra dengan corpus
vertebra lainnya terdapat discus intervertebralis. 3

Gambar 2.2 Cervical spine (Atlas & Axis)

a. Vertebra Cervicalis. 3
Mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
 Corpus vertebra kecil, pendek, dan berbentuk segiempat.
 Foramen vertebra berbentuk segitiga dan besar.
 Processus transversus terletak di sebelah vertebra processus articularis.
 Pada processus transversus terdapat foramen costotransversarium, dilalui oleh
arteri dan vena vertebralis.
 Processus transversus mempunyai dua tonjolan, yaitu tuberculum anterius dan
tuberculum posterius yang dipisahkan oleh sulcus spinalis, dilalui oleh nervus
spinalis.
 Processus spinosus pendek dan bercabang dua.

3
Gambar 2.3 Anatomy of thoracic vertebra

b. Vertebra Thoracalis.3
Mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
 Corpus vertebra berukuran sedang, berbentuk seperti jantung, bagian anterior
lebih rendah daripada bagian posterior.
 Foramen vertebra bulat.
 Processus spinosus panjang dan runcing.
 Pada processus transversus dan pada corpus vertebra terdapat fovea costalis,
tempat perhubungan dengan costa.

c. Vertebra Lumbalis.3
Vertebra lumbalis bentuknya adalah yang terbesar, corpusnya sangat besar
dibandingkan dengan corpus vertebra yang lainnya dan berbentuk seperti ginjal
melintang, processus spinosusnya lebar dan berbentuk seperti kapak kecil,
processus tranversusnya panjang dan langsing, ruas ke lima membentuk sendi
dengan sakrum pada sendi lumbo sakral.

4
Gambar 2.4 Anatomy of lumbal vertebra

d. Vertebra Sacralis.3
Terdiri atas 5 ruas tulang yang saling melekat menjadi satu membentuk os sacrum.
Os sacrum berbentuk segitiga, dasarnya berada di sebelah cranial, disebut basis
ossis sacri, dan puncaknya berada di bagian caudal, disebut apex ossis sacri.

Gambar 2.5 Anatomy of sacrum and coccyx


e. Vertebra Coccygeus.3

5
Secara anatomis setiap ruas vertebra akan terdiri dari 2 bagian :
a) Bagian anterior 4
Bagian ini struktur utamanya adalah corpus vertebrae. Bagian ini fungsi
utamanya adalah untuk menyangga berat badan. Di antara dua corpus
vertebra yang berdekatan dihubungkan oleh struktur yang disebut diskus
intervertebralis yang bentuknya seperti cakram, konsistensinya kenyal
dan berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorber).

b) Bagian posterior 4
Bagian posterior dari ruas tulang belakang ini berfungsi untuk :
 Memungkinkan terjadinya pergerakan tulang belakang itu sendiri. Hal
ini dimungkinkan oleh karena di bagian ini terdapat dua persendian.
 Fungsi proteksi, oleh karena bagian ini bentuknya seperti cincin dari
tulang yang amat kuat dimana di dalam lubang di tengahnya terdapat
medulla spinalis.
 Fungsi stabilisasi. Fungsi ini didapat oleh kuatnya persendian di
bagian belakang yang diperkuat oleh adanya ligamen dan otot-otot
yang sangat kuat. Kedua struktur terakhir ini menghubungkan
vertebrae baik dari ruas ke ruas yang berdekatan maupun sepanjang
vertebrae mulai dari cervicalis sampai os coccigeus.

2.2 Definisi

Spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease adalah infeksi tuberkulosis (TB)


ekstrapulmonal yang mengenai satu atau lebih ruas tulang belakang. Spondilitis
tuberkulosis disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis.5

Spondilitis tuberkulosa (TB) adalah infeksi granulomatosis dan bersifat kronis


destruktif yang di sebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosa yang mengenai tulang
vertebra. Dikenal juga dengan istilah Vertebral Osteomyelitis.6

6
2.3 Etiologi
Infeksi secara spesifik disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa. Abses
pada vertebra yang terbentuk dapat merupakan fokus primer atau penyebaran
hematogen dari paru/organ lain.7

Spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga sebagai penyebabnya,


seperti Mycobacterium africanum (di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus,
ataupun non-tuberculous mycobacteria (penderita HIV).7

2.4 Epidemiologi

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya


berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia
serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan
sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang
berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih
menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau
maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30
tahun terakhir. 7

Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini


mengalami peningkatan pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang
dengan tahap lanjut infeksi HIV. Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa
peminum alkohol dan pengguna obat-obatan terlarang adalah kelompok beresiko
besar terkena penyakit ini. 7

2.5 Patogenesis penyakit

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen


atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke
tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang.
Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang.

7
Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan
genitourinarius. 7
Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari
fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari
fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbal yang
memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian
bawah vertebra di atasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus
Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra
yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit
ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20%
kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra. 7

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal tiga bentuk
spondilitis : 7
(1) Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada
orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus.
Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
(2) Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga
menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang
bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
(3) Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan
di bawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi
di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga
disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses

8
prevertebral di bawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya
perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
(4) Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk di dalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan
keterlibatan lengkung saraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus
transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral
posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak
diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2% - 10%.

Gambar 2.6 Bentuk Spondilitis Tuberkulosa.

Perjalanan penyakit ini dibagi dalam 5 stadium yaitu : 1


a. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh
penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang
berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada
daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral
vertebra.

9
b. Stadium destruksi awal.
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus
vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini
berlangsung selama 3-6 minggu.

c. Stadium destruksi lanjut.


Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses , yang tejadi
2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk
sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk
tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan
korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

d. Stadium gangguan neurologis.


Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis
yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis
spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis
tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia, yaitu :
a. Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah
melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum
terjadi gangguan saraf sensoris.
b. Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita
masih dapat melakukan pekerjaannya.
c. Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang
membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.

10
d. Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat
terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena


tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung
sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada
penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada
jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis
yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia
terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan
gangguan vaskuler vertebra.

e. Stadium deformitas residual


Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya
stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena
kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.

2.6 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada


banyak faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan
berevolusi lambat.
Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti
bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua
tahun setelah infeksi tuberkulosa.
I. Anamnesa dan inspeksi : 7,8
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan
bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi

11
sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang
demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan
terlihat dengan jelas.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus
limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di thorakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian
thorakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa
nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri, pasien
akan menahan punggungnya menjadi kaku.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam
posisi dagu disanggah oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di
oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan
timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri
di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua
sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke
sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor
respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan
menyebabkan tetraparesis.
6. Infeksi di regio thorakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku.
Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi
panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara
tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku. Jika terdapat abses, maka abses
dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak

12
sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika abses ini berjalan ke bagian
belakang maka dapat menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.
7. Di regio lumbal : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien
tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya di atas paha. Adanya kontraktur otot
psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan
dislokasi.
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10 – 47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis
lebih banyak ditemukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul
paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon
dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang
bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai demam dan nyeri
akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang
ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.

II. Palpasi : 7,8


1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di
atasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan
abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa
iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot
sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di
sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran
lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang
terkena.

13
III. Perkusi 7,8
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosessus spinosus
vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.
Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang
dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut
ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan
tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada penelitian yang dilakukan Hodgson
di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien berusia kurang dari 10 tahun
(kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk
kejadian ini. 7

Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi tiga tipe: 7


1. Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut
Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan
dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).
2. Type II
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen
bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.

Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh


karena : 7
a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater
Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya
abses, material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau
dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan alat
gerak bawah dengan spastisitas yang bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme
otot involunter dan reflek withdrawal.

14
b. Invasi duramater oleh tuberkulosa
Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa.
Secara klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot
involunter dan reflek withdrawal. Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai
dengan luasnya kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat terjadi inkontinensia
urin dan feses, gangguan sensoris dan paraplegia.

3. Type III / yang berjalan kronis


Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat
membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural, fibrosis
meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis,
peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi
vaskuler (trombosis pembuluh darah yang mensuplai corda spinalis)

2.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium 9
1) Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis. Laju endap darah
meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.
2) Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD) positif. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika
tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter ≥ 10mm di sekitar
tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan.
3) Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium tuberculosis.
4) Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifat relative
5) Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial
akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak:

15
 Xantokrom
 Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
 Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut
responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik
 Kandungan protein meningkat.
 Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat
kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
 Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal
akan menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan
bertahap kandungan protein menggambarkan suatu blok spinal yang
mengancam dan sering diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid
akan mencegah timbulnya hal ini.

Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal


dapat mencapai 1-4g/100ml. Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel
merupakan tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman
pemeriksa dan tahap infeksi.

b. Radiologi 10
(1) Sinar Rontgen
Diperlukan pengambilan gambar dua arah ,antero-posterior (AP) dan
lateral (L). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior
korpus vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus
intervertebralis, menujukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan
jaringan lunak di sekitar vertebra menimbulkan bayangan fusiform.
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin parah. Korpus menjadi
kolaps dan terjadi fusi anterior yang menghasilkan angulasi yang khas
disebut gibbus. Bayangan opaque pada sisi lateral vertebra, memanjang
kearah distal, merupakan gambaran abses psoas pada torakal bawah dan
torakolumbal yang berbentuk fusiform.

16
Gambar 2.7 Tampak penyempitan celah sendi disertai Gibus pada foto
vertebra (Lateral)

Gambar 2.8 Tampak penyempitan celah sendi disertai Gibus pada foto
vertebra (Lateral)

17
Gambar 2.9 Mielografi pada penderita spondylitis tuberkulosa
(2) Mielografi
Melalui punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang
subdural. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya
penyempitan pada kanal spinalis dan atau tekanan terhadap medulla
spinalis.

(3) CT-Scan
Dapat memperlihatkan bagian-bagian vertebra secara rinci dan
melihat kalsifikasi jaringan lunak. Membantu mencari fokus yang lebih
kecil, menentukan lokasi biopsi dan menetukan luas kerusakan.

Gambar 2.10 X-ray menunjukkan spondilitis TB pada vertebra C6-C7 dan


abses retrofaringeal (kiri). MRI T1-weight menunjukkan destruksi corpus
vertebra C6-C7 disertai kompresi pada medula spinalis pada pasien yang
sama.

18
(4) MRI
Memiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak dan aman
digunakan. MRI juga memiliki kelebihan dalam mendiagnosa penyakit pada
masa dini atau lesi multipel dibandingkan CT dan pemeriksaan radiologik
konvensional. Gambaran lesi pada T1 weighted image adalah hypointense
sedangkan pada T2 weighted image adalah hiperintens. Lesi juga dapat
menjadi lebih jelas dengan injeksi Gadolinium DTPA intravena.

Pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkaran


inflamasi dibagian luar dan sekuester ditengah yang hipointens ; tetapi gambaran ini
mirip dengan infeksi piogenik dan neoplasma sehingga tidak spesifik untuk
spondilitis tuberkulosa.

Gambar 2.11 Spondilitis Tuberkulosa tipe paradiskal pada foto MRI

19
Gambar 2.12 Spondilitis Tuberkulosa tipe anterior pada foto MRI

Gambar 2.13 Spondilitis Tuberkulosa tipe sentral pada foto MRI

2.8 Penatalaksanaan

Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi
menjadi :7,11
A. Terapi Konservatif
1. Pemberian nutrisi yang bergizi.
2. Pemberian kemoterapi atau terapi antituberkulosa.

20
Pemberian kemoterapi antituberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada
seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat
antituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi
dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang
memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang belum
berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu pilihan yang
baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda pemberian
terapi.

Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu


pemantauan yang ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas
terhadap obat antituberkulosa memakan waktu lama (kurang lebih 6 – 8 minggu)
dan perlu biaya yang cukup besar sehingga situasi klinis membuat dilakukannya
terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang
adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik terhadap obat antituberkulosa juga
merupakan suatu bentuk penegakkan diagnostik.
Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi :
1) Resistensi primer
Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang
sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap
satu obat baik itu streptomycin (SM) ataupun isoniazid (INH). Jarang terjadi
resistensi terhadap rifampicin (RMP) atau ethambutol (EMB).

2) Resistensi sekunder
Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi yang
awalnya masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut.

The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk
tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi
ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 – 9 bulan.

21
Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau
terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama
6 – 12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang.
Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan
pasien. Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang
kontroversial. Terapi yang lama, 12 – 18 bulan, dapat menimbulkan
ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan
menyebabkan timbulnya relaps.
Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder. Obat
antituberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP),
pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).
Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin.

Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer :
a. Isoniazid (INH)
 Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler.
 Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
 Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
 Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
 Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien
berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara
relatif (bersifat reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).
 Relatif aman untuk kehamilan.
 Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari.

b. Rifampin (RMP)
 Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari
basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
 Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah
(seperti pada nekrosis perkejuan).

22
 Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam
bentuk sediaan oral dan intravena.
 Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
 Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus
gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent
peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH.
 Dosisnya : 10 mg/kg/hari atau 450 – 600 mg/hari.

c. Pyrazinamide (PZA)
 Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat
asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi
perkejuan.
 Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
 Efek samping :
1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang dipergunakan
dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan dalam
jangka pendek.
2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak.
Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
3. Atralgia, anoreksia, mual dan muntah, disuria, malaise, dan demam.
 Dosis : 15-30mg/kg/hari.

d. Ethambutol (EMB)
 Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler.
 Tidak berpenetrasi ke dalam menings yang normal.
 Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta
warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.
 Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
 Dosis : 15-25 mg/kg/hari.

23
e. Streptomycin (STM)
 Bersifat bakterisidal.
 Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga
dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
 Tidak berpenetrasi ke dalam menings yang normal.
 Efek samping : ototoksisitas (kerusakan saraf VIII), nausea dan vertigo
(terutama sering mengenai pasien lanjut usia).
 Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
 Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari.

Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan


pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.

3. Istirahat tirah baring (resting)

Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada
turning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian
kemoterapi.

Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila
tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi
radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu
membahayakan.
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang
belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase
aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi
kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung
3 – 4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda
klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa
nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan
meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju

24
endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak
dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra thorakal, thorakolumbal
dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah
lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket
atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama
immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita
diperbolehkan berobat jalan.
B. Terapi Operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja. Intervensi operasi banyak
bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan
menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien
biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3 – 6 minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3 – 4 minggu pemberian terapi
obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak
memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan
operasi secara langsung dan untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil
sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang
belakang yang terlibat.

2.9 Komplikasi
a) Pott’s paraplegia
 Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus
maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis.
Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara
dekompresi medula spinalis dan saraf.
 Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis
dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas
kanalis spinalis.
25
b) Ruptur abses paravertebra
 Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura
sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis
 Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas
membentuk psoas abses yang merupakan cold absces.

c) Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,
sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia “
prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis
oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :menigomyelitis, prognosa
buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi
paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan
paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.

2.10 Prognosis

Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia


dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta
terapi yang diberikan.7

a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan
ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan
patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).

b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen
medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
26
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara
signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau
kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. Semakin besar
sudut kifosis, semakin dini operasi koreksi harus dilakukan.

d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan
tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan
dilakukannya operasi dini.

e. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa

27
BAB III
KESIMPULAN

Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang jarang, namun memiliki


kondisi klinis yang serius yang dapat mengakibatkan deformitas berat dan komplikasi
neurologis. Di Negara barat, spondilitis tuberkulosa adalah masalah kesehatan yang
sebagian besar berhubungan dengan orang tua dan imigran, sedangkan di banyak
Negara berkembang, tuberkulosis masih merupakan sumber masalah klinis dan sosio-
ekonomi, di mana pasien dengan usia muda adalah yang paling banyak terkena.

Terlepas dari ketersediaan aktual alat diagnostik yang lebih efektif, deteksi
dini spondilitis tuberkulosa tetap sulit dan kecurigaan dengan index tinggi diperlukan
karena sifat kronik dan insidious dari penyakit ini serta manifestasi klinik yang
bervariasi. Pasien dengan nyeri punggung kronik dan gejala neurologis, dengan atau
tanpa infeksi tuberkulosis aktif atau riwayat sebelumnya, harus diinvestigasi untuk
menyingkirkan spondilitis tuberkulosa.

Meskipun spondilitis tuberkulosa secara esensial adalah kondisi medis yang


akan mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja, namun pembedahan
memiliki peran penting dalam mengurangi nyeri, mengkoreksi deformitas dan
gangguan neurologis, mengembalikan fungsi, dan diindikasikan untuk pasien
tertentu.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Hidalgo A. 2006. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari http://


www.emedicine.com/med/topic1902.htm Diakses tanggal 18 Febuari 2016.
2. Hilman, A. 2012. Tulang Belakang dan Spondilitis Tuberculosa. (Online).
(http://kangantonhilman.blogspot.com/2012/01/sekilas-tentang-tulang-
belakang-dan.html, diakses tanggal 18 Febuari 2016)
3. Buranda T, Djayalangkara H, Datu A, dkk. Anatomi Umum. FKUH; Makassar:
2008.
4. Munoz FM, Starke JR. 2004. Tuberculosis. Dalam: Berhman, RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-17.
Philadelphia: WB Saunders Company; h. 958-72.
5. Batra V. 2009. Tuberculosis. Didapat dari http://
www.emedicine.com/ped/topic2321.htm Diakses tanggal 18 Febuari 2016.
6. Bedah Saraf : Infeksi Susunan Saraf ( Modul Spondilitis Tuberkosa) Didapat
dari http://www.perspebsi.org/doc/info/regulation/39/SPONDILITIS_TB.pdf
Diakses tanggal 18 Febuari 2016.
7. Vitriana. 2002. Spondilitis Tuberkulosa. (Online). (http://www.google.com/
pustaka.unpad.ac.id.spondilitis_tuberkulosa.pdf, diakses tanggal 18 Febuari
2016)
8. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In :
Fundamentals of Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper
Saddle River, 2001: 132,151
9. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In :
http:/www.bonetumour org./book/APTEXT/intex.html. Book of orthopaedics
and traumatoloty.(Diakses pada tanggal 18 Febuari 2016)
10. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In :
Musculoskeletal Imaging : A Concise Multimodality Approach. New York :
Thieme, 2001 : 150, 334-36.
11. Moesbar, N. 2006. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Majalah
Kedokteran Nusantara 39(3) pp. 279-89

29

Anda mungkin juga menyukai