Tugas Sosiosastra Berjudul Keadilan Karya Putu Wijaya
Tugas Sosiosastra Berjudul Keadilan Karya Putu Wijaya
Tugas Sosiosastra Berjudul Keadilan Karya Putu Wijaya
NPM : 032115007
Sem/Kel: 7/A
Matkul : Sosiosastra
Keadilan
Ada suatu masa, ada saat banyak pedagang es pudeng dari Jawa berkeliaran di Bali.
Mereka memakai kostum yang menarik dengan topi-topi kerucut, gendongan es puter mereka
desainnya cantik. Gelas-gelas kaca atau plastik ala koktail bergantungan dengan pudeng
berwarna-warni. Kalau mereka lewat anak-anak selalu memburunya. Kadang-kadang tidak
untuk membeli, tetapi untuk mengerumuninya. Pak Amat termasuk salah satu di antara anak-
anak itu. Tanpa merasa malu, ia ikut berebutan untuk membeli es pudeng puter dan merasakan
suasana cerianya. Bu Amat sampai malu melihat kelakuan suaminya seperti itu.
Pada suatu hari yang terik, sementara anak-anak di alun-alun menaikkan layangannya,
tukang es pudeng itu lewat. Pak Sersan yang rumahnya di sudut alun-alun berteriak memanggil,
anaknya merengek-rengek minta es pudeng. Waktu tukang es pudeng itu menuju ke sana,
hampir semua anak-anak yang sedang main layangan menolehkan kepalanya. Yang punya duit
langsung lari sambil menggulung tali layangannya. Tak terkecuali Pak Amat. Waktu itu ia
sedang memper hatikan seorang juragan ayam sedang memandikan ayam-ayamnya. Amat
meraba kantongnya, lalu merasakan ada uang di dalamnya. Ia langsung ikut berlari ke rumah
Pak Sersan.
“Jangan ribut!” teriak Pak Sersan membentak anak-anak yang berdatangan itu,
“Ada orang sakit di dalam!”
“Sabar…sabar…,” kata tukang es pudeng,
“Satu per satu semuanya nanti dapat.”
“Aku dulu, aku dulu,” kata anak-anak sambil mengacungkan uangnya.
“Aku dulu,” teriak Pak Sersan marah, “pudengnya yang merah.”
Tukang pudeng agak panik, ia mengambil pudeng berwarna oren.
“Merah,” teriak Pak Sersan.
Tukang pudeng itu tambah gugup dan menyerahkan pudeng oren. Pak Sersan naik
pitam, ia menolak koktail berisi pudeng oren hingga jatuh. Anak-anak ketawa.
“Diam! Merah, kamu tahu nggak merah itu apa. Ini merah. Merah seperti matamu itu.”
Anak-anak tertawa lagi.
Tukang es meraih satu gelas koktail lagi, tetapi sekali lagi ia salah. Ternyata ia meraih
pudeng yang warna hijau. Pak Sersan berteriak sekali lagi, “Merah….” Lalu ia mengambil
koktail warna merah. Tukang es puter nampak ketakutan, ingin cepat-cepat menuangkan es
puter ke atas koktail itu. Pak Sersan langsung menyambarnya dan masuk ke dalam rumah.
Anak-anak kemudian menyerbu tukang es pudeng sambil mengacungkan uang minta diladeni
terlebih dahulu. Pak Amat pun tidak mau ketinggalan. Ia meraih salah satu koktail dan
mendorongkannya ke tukang es puter.
“Aku esnya dobel dong,” kata Pak Amat.
“Aku dulu, aku dulu,” teriak anak-anak menghalang-halangi Pak Amat.
Tukang es puter kewalahan, ia meraih belnya lalu membunyikannya keras-keras. Tapi,
akibatnya jelek sekali. Pintu rumah terkuak lebar. Pak Sersan muncul sambil mengacungkan
pistolnya.
“Diam kalian. Aku sudah bilang ada orang sakit di dalam.”
“Bukan saya, Pak, anak ini…,” kata tukang es pudeng.
“Tapi kamu gara-garanya!” teriak Pak Sersan tidak mau dibantah.
“Bukan saya, Pak!”
Tiba-tiba Pak Sersan meletuskan pistolnya. Semua mendadak terdiam. Anak-anak
ketakutan, tukang es pudeng pucat pasi. Pak Amat mencoba menetralisir keadaan sebelum
menjadi runyam. Lalu ia memberanikan diri berbicara.
“Pak Sersan, maaf itu salah saya. Anak-anak itu protes karena saya minta didahulukan.
Saya minta maaf, saya yang salah….”
Pak Sersan menggeleng dan menodongkan senjatanya ke tukang es itu.
“Tidak! Bangsat ini yang salah.
Kalau dia tidak bawa es pudengnya keluar masuk kampung kita, anak-anak tidak akan
punya kebiasaan beli es sampai sakit-sakit seperti anakku, yang walaupun sudah sakit masih
teriak-teriak minta es, kalau terdengar kelenengannya lewat. Dan, dia tahu sekali itu.
Minggat! Sebelum aku tembak kamu.
Aku sudah banyak bunuh Portugis di Timtim, nambah satu tidak apa! Minggat!”
Pak Sersan lalu menutup pintu dan menguncinya tanpa membayar es yang dibelinya.
Tukang es itu pucat pasi, mukanya tak berdarah.
Pak Amat menunggu beberapa lama, kemudian berbisik: “Baiknya Bapak pergi
sebelum Pak Sersan keluar lagi.”