KMK 514 2015 PPK Faskes Primer1 PDF
KMK 514 2015 PPK Faskes Primer1 PDF
KMK 514 2015 PPK Faskes Primer1 PDF
NOMOR HK.02.02/MENKES/514/2015
TENTANG
PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER DI FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
MEMUTUSKAN:
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Terwujudnya kondisi kesehatan masyarakat yang baik adalah tugas
dan tanggung jawab dari negara sebagai bentuk amanah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam
pelaksanaannya negara berkewajiban menjaga mutu pelayanan
kesehatan terhadap masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat
ditentukan oleh fasilitas kesehatan serta tenaga kesehatan yang
berkualitas. Untuk mewujudkan tenaga kesehatan yang berkualitas,
negara sangat membutuhkan peran organisasi profesi tenaga
kesehatan yang memiliki peran menjaga kompetensi anggotanya.
Bagi tenaga kesehatan dokter, Ikatan Dokter Indonesia yang mendapat
amanah untuk menyusun standar profesi bagi seluruh anggotanya,
dimulai dari standar etik (Kode Etik Kedokteran Indonesia – KODEKI),
standar kompetensi yang merupakan standar minimal yang harus
dikuasasi oleh setiap dokter ketika selesai menempuh pendidikan
kedokteran, kemudian disusul oleh Standar Pelayanan Kedokteran
yang harus dikuasai ketika berada di lokasi pelayanannya, terdiri atas
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur
Operasional.
Standar Pelayanan Kedokteran merupakan implementasi dalam
praktek yang mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia
(SKDI) yang telah diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
-6-
Dalam rangka penjaminan mutu pelayanan, dokter wajib mengikuti
kegiatan Pendidikan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)
dalam naungan IDI.
Tingkat kemampuan dokter dalam pengelolaan penyakit di dalam SKDI
dikelompokan menjadi 4 tingkatan, yakni : tingkat kemampuan 1,
tingkat kemampuan 2, tingkat kemampuan 3A, tingkat kemampuan
3B, dan tingkat kemampuan 4Aserta tingkat kemampuan 4B.
Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik
penyakit, dan mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan
informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut, selanjutnya
menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan dokter
juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit
tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan
penatalaksanaan awal, dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat
darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat
demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan
rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali
dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan
penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara m mandiri dan tuntas.
-7-
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip
dan/atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)
Pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, dari 736
daftar penyakit terdapat 144 penyakit yang harus dikuasai penuh oleh
para lulusan karena diharapkan dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama dapat mendiagnosis dan melakukan
penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Selain itu terdapat 275
keterampilan klinik yang juga harus dikuasai oleh lulusan program
studi dokter. Selain 144 dari 726 penyakit, terdapat 261 penyakit yang
harus dikuasai lulusan untuk dapat mendiagnosisnya sebelum
kemudian merujuknya, baik merujuk dalam keadaaan gawat darurat
maupun bukan gawat darurat.
Kondisi saat ini, kasus rujukan ke pelayanan kesehatan sekunder
untuk kasus-kasus yang seharusnya dapat dituntaskan di fasilitas
pelayanan tingkat pertama masih cukup tinggi. Berbagai faktor yang
mempengaruhi diantaranya kompetensi dokter, pembiayaan, dan
sarana prasarana yang belum mendukung. Perlu diketahui pula bahwa
sebagian besar penyakit dengan kasus terbanyak di Indonesia
berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2010 termasuk dalam kriteria 4A.
Dengan menekankan pada tingkat kemampuan 4, maka dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat melaksanakan
diagnosis dan menatalaksana penyakit dengan tuntas. Namun bila
pada pasien telah terjadi komplikasi, adanya penyakit kronis lain yang
sulit dan pasien dengan daya tahan tubuh menurun, yang seluruhnya
membutuhkan penanganan lebih lanjut, maka dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama secara cepat dan tepat harus
membuat pertimbangan dan memutuskan dilakukannya rujukan.
Melihat kondisi ini, diperlukan adanya panduan bagi dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama yang merupakan bagian dari
standar pelayanan kedokteran. Panduan ini selanjutnya menjadi
acuan bagi seluruh dokter di fasilitas pelayanan tingkat pertama
dalam menerapkan pelayanan yang bermutu bagi masyarakat.
Panduan ini diharapkan dapat membantu dokter untuk dapat
meningkatkan mutu pelayanan sekaligus menurunkan angka rujukan
dengan cara:
1. Memberi pelayanan sesuai bukti sahih terkini yang cocok dengan
kondisi pasien, keluarga dan masyarakatnya
-8-
2. Menyediakan fasilitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan standar
pelayanan
3. Meningkatkan mawas diri untuk mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan profesional sesuai dengan kebutuhan pasien dan
lingkungan
4. Mempertajam kemampuan sebagai gatekeeper pelayanan
kedokteran dengan menapis penyakit dalam tahap dini untuk dapat
melakukan penatalaksanaan secara cepat dan tepat sebagaimana
mestinya layanan tingkat pertama
Panduan Praktik Klinis (PPK) bagi Dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama ini memuat penatalaksanaan penyakit
untuk dilaksanakan oleh seluruh dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama. Penyusunan panduan ini berdasarkan
data klinis untuk kasus individu yang mengacu pada referensi terbaru
yang ditemukan tim penyusun, dan dapat berubah seiring kemajuan
pengetahuan ilmiah. Panduan ini tidak memuat seluruh teori tentang
penyakit, maka sangat disarankan setiap dokter untuk mempelajari
penyakit tersebut dengan menggunakan referensi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Kepatuhan terhadap panduan ini tidak menjamin kesembuhan dalam
setiap kasus, tetapi merupakan pemberian pelayanan kesehatan
dengan upaya terbaik. Setiap dokter bertanggung jawab terhadap
pengelolaan pasiennya, berdasarkan data klinis pasien, pilihan
diagnostik dan pengobatan yang tersedia. Dokter harus merujuk
pasien ke fasilitas pelayanan lain yang memiliki sarana prasarana yang
dibutuhkan, bila sarana prasarana yang dibutuhkan tidak tersedia,
meskipun penyakit yang ditangani masuk dalam kategori penyakit
dengan tingkat kemampuan dokter menangani dengan tuntas dan
mandiri (tingkat kemampuan 4). Penilaian terhadap ketepatan rujukan
harus dinilai kasus per kasus, dan tidak dapat didasarkan hanya pada
kode diagnosa penyakit. Walaupun tidak dicantumkan dalam panduan
ini, skrining terhadap risiko penyakit merupakan tugas dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
B. TUJUAN
Dengan menggunakan panduan ini diharapkan, dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat
1. mewujudkan pelayanan kedokteran yang sadar mutu sadar biaya
yang dibutuhkan oleh masyarakat.
2. memiliki pedoman baku minimum dengan mengutamakan upaya
maksimal sesuai kompetensi dan fasilitas yang ada
-9-
3. memiliki tolok ukur dalam melaksanakan jaminan mutu pelayanan
C. SASARAN
Sasaran buku Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama ini adalah seluruh dokter yang
memberikan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Fasilitas pelayanan kesehatan tidak terbatas pada fasilitas
milik pemerintah, tetapi juga fasilitas pelayanan swasta.
D. RUANG LINGKUP
PPK ini meliputi pedoman penatalaksanaan terhadap penyakit yang
dijumpai di layanan tingkat pertama. Jenis penyakit mengacu pada
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Penyakit dalam Pedoman ini
adalah penyakit dengan tingkat kemampuan dokter 4A, 3B dan 3A
terpilih, dimana dokter diharapkan mampu mendiagnosis,
memberikan penatalaksanaan dan rujukan yang sesuai. Beberapa
penyakit yang merupakan kemampuan 2, dimasukkan dalam pedoman
ini dengan pertimbangan prevalensinya yang cukup tinggi di Indonesia.
Pemilihan penyakit pada PPK ini berdasarkan kriteria:
1. Penyakit yang prevalensinya cukup tinggi
2. Penyakit dengan risiko tinggi
3. Penyakit yang membutuhkan pembiayaan tinggi
A. KELOMPOK UMUM
Masalah Kesehatan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberkulosis.
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.Indonesia merupakan negara yang
termasuk sebagai 5 besar dari 22 negara di dunia dengan beban
TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat ini timbul
kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu TB Resisten
Obat (Multi Drug Resistance/ MDR).
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.
2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA)
ataukultur kuman dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-
sewaktu.
3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik.
Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-
bercak awan dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan
batas jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat
menyertai yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding
tipis), pleuritis (penebalan pleura), efusi pleura (sudut
kostrofrenikus tumpul).
Prinsip-prinsip terapi:
1. Obat AntiTuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk
kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari
penggunaan monoterapi.
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose
Combination (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.
3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban
tanggung jawab kesehatan masyarakat.
5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum
pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama.
6. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai,
diperlukan suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien
-16-
(patient centered approach) dan dilakukan dengan pengawasan
langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang
pengawas menelan obat.
7. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya.
Indikator penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala
yaitu pada akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.
8. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan
efek samping harus tercatat dan tersimpan.
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah rutin.
2. Radiologi
3. Uji Gen Xpert-Rif Mtb jika fasilitas tersedia
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi
sesuai dengan ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid,
prognosis menjadi kurang baik.
Kriteria hasil pengobatan:
1. Sembuh : pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang
(follow up), hasilnya negatif pada foto toraks AP dan
pada satu pemeriksaan sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap : pasien yang telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak ada hasil pemeriksaan apusan
dahak ulang pada foto toraks AP dan
pada satu pemeriksaan sebelumnya.
3. Meninggal : pasien yang meninggal dalam masa pengobatan
karena sebab apapun.
4. Putus berobat (default) : pasien yang tidak berobat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
5. Gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau
selama pengobatan.
-19-
6. Pindah (transfer out) : pasien yang dipindah ke unit pencatatan
dan pelaporan (register) lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
Referensi
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI.
Jakarta. 2011. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011. (Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi
DOTS untuk praktik dokter swasta (DPS). Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan DOkter Indonesia.
Jakarta. 2012. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2012)
4. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International
standards for tuberkulosis tare (ISTC), 3nd Ed. Tuberkulosis
Coalition for Technical Assistance. The Hague. 2014.
(Tuberculosis Coalition for Technical Assistance , 2014)
5. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al.
Mycobacterial disease: Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of
internal medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies.
2009: hal. 1006 - 1020. (Braunwald, et al., 2009)
Masalah Kesehatan
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru
di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan
kematian sekitar 140.000 orang per tahun. World Health
Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi
yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang
dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat
malaria dan AIDS. Pada wanita, kematian akibat TB lebih banyak
daripada kematian karena kehamilan, persalinan, dan nifas.
Jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit Pusat
Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998−2002) adalah 1086
penyandang TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0%
hingga 14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12−60 bulan
(42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.
-20-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun sudah
tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto toraks. Gejala
sistemik/umum TB pada anak:
1. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
2. Masalah Berat Badan (BB):
a. BB turun selama 2-3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang
jelas, ATAU
b. BB tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik ATAU
c. BB tidak naik dengan adekuat.
3. Demam lama (≥ 2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang
jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan
lain lain). Demam umumnya tidak tinggi (subfebris) dan dapat
disertai keringat malam.
4. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
5. Batuk lama atau persisten ≥ 3 minggu, batuk bersifat non-
remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama
semakin parah) dan penyebab batuk lain telah disingkirkan
6. Keringat malam dapat terjadi, namun keringat malam saja
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain
bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak
Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Tuberkulin
Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan
0,1 ml PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di
bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48−72 jam
setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi
yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa
dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai
dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur
dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan
dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali, hasilnya
-21-
dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai
negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya
indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula.
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥10
mm dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya.
2. Foto toraks
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Foto
toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP),
tetapi harus disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa
pembesaran KGB di daerah hilus biasanya lebih jelas. Secara
umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai
berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa
infiltrat
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Milier
d. Kalsifikasi dengan infiltrat
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Efusi pleura
h. Tuberkuloma
3. Mikrobiologis
Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya
mendapatkan spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya,
dilakukan pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 3 hari
berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik
langsung pada anak sebagian besar negatif, sedangkan hasil
biakan M. tuberculosis memerlukan waktu yang lama yaitu
sekitar 6−8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang
hasilnya diperoleh lebih cepat (1−3 minggu), yaitu pemeriksaan
Bactec, tetapi biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit.
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak Laporan BTA (+)
jelas keluarga, BTA
(-) atau BTA
tidak
jelas/tidak
tahu
Uji Tuberkulin (-) (+) (≥10mm,
(Mantoux) atau ≥5mm
pd keadaan
immunocomp
romised
Berat badan/ BB/TB < Klinis gizi
keadaan gizi 90% atau buruk atau
BB/U < 80% BB/TB <70%
atau BB/U <
60%
Demam yang > 2 minggu
tidak diketahui
penyebabnya
Batuk kronik ≥3 minggu
Pembesaran >1 cm,
kelenjar limfe Lebih dari 1
kolli, aksila, KGB,
inguinal tidak nyeri
Pembengka- Ada
kan tulang/ pembeng-
sendi panggul kakan
lutut, falang
Foto toraks Normal, Gambaran
kelainan sugestif TB
tidak
jelas
Skor Total
Beri OAT
2 bulan terapi
Keterangan:
1. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus dirujuk ke rumah
sakit
2. Anak dengan BB >33 kg, harus dirujuk ke rumah sakit.
3. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah.
4. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.
Sumber Penularan Dan Case Finding TB Anak
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari
sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB.
Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan
kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi
dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum
(pelacakan sentripetal).
Evaluasi Hasil Pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan
dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan
pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis,
yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya
ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan BB yang bermakna,
hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-
lain. Apabila respons pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan
berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada
pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,
hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam.
Kriteria Rujukan
1. Tidak ada perbaikan klinis dalam 2 bulan pengobatan.
2. Terjadi efek samping obat yang berat.
-25-
3. Putus obat yaitu bila berhenti menjalani pengobatan selama >2
minggu.
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah rutin.
2. Mantoux test (uji tuberkulin).
3. Radiologi.
Referensi
Rahajoe NN, Setyanto DB. Diganosis tuberculosis pada anak. Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi anak.
Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p. 170-87.
2. TB DENGAN HIV
TB:
No ICPC-2 : A70 Tuberkulosis
No ICD-10 : A15 Respiratory tuberkulosis, bacteriologiccaly and
histologically confirmed
HIV:
No. ICPC-2 : B90 HIV-infection/AIDS
No. ICD-10 : Z21 Asymptomatic human immunodeficiency virus
(HIV) infection status
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
TB meningkatkan progresivitas HIV karena penderita TB dan HIV
sering mempunyai kadar jumlah virus HIV yang tinggi.Pada keadaan
koinfeksi terjadi penurunan imunitas lebih cepat dan pertahanan
hidup lebih singkat walaupun pengobatan TB berhasil. Penderita
TB/HIV mempunyai kemungkinan hidup lebih singkat dibandingkan
penderita HIV yang tidak pernah kena TB. Obat antivirus HIV (ART)
menurunkan tingkat kematian pada pasien TB/HIV.
Diagnosis Banding
1. Kriptokokosis
2. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)
3. Aspergillosis
Komplikasi
1. Limfadenopati
2. Efusi pleura
3. Penyakit perikardial
4. TB Milier
5. Meningitis TB
Referensi
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta.
2011.
2. Panduan Tata laksana Tuberkuloasis ISTC dengan strategi DOTS
unutk Praktek Dokter Swasta (DPS), oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia Jakarta 2012.
-29-
3. MORBILI
Masalah Kesehatan
Morbili adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Measles.
Nama lain dari penyakit ini adalah rubeola atau campak. Morbili
merupakan penyakit yang sangat infeksius dan menular lewat udara
melalui aktivitas bernafas, batuk, atau bersin. Pada bayi dan balita,
morbili dapat menimbulkan komplikasi yang fatal, seperti pneumonia
dan ensefalitis.
Salah satu strategi menekan mortalitas dan morbiditas penyakit
morbili adalah dengan vaksinasi. Namun, berdasarkan data Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007, ternyata cakupan
imunisasi campak pada anak-anak usia di bawah 6 tahun di
Indonesia masih relatif lebih rendah(72,8%) dibandingkan negara-
negara lain di Asia Tenggara yang sudah mencapai 84%. Pada tahun
2010, Indonesia merupakan negara dengan tingkat insiden tertinggi
ketiga di Asia Tenggara. World Health Organization melaporkan
sebanyak 6300 kasus terkonfirmasi Morbili di Indonesia sepanjang
tahun 2013.
Dengan demikian, hingga kini, morbili masih menjadi masalah
kesehatan yang krusial di Indonesia. Peran dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama sangat penting dalam
mencegah, mendiagnosis, menatalaksana, dan menekan mortalitas
morbili.
Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya tidak diperlukan. Pada pemeriksaan sitologi dapat
ditemukan sel datia berinti banyak pada sekret. Pada kasus tertentu,
mungkin diperlukan pemeriksaan serologi IgM anti-Rubella untuk
mengkonfirmasi diagnosis.
Kriteria Rujukan
Perawatan di rumah sakit untuk campak dengan komplikasi
(superinfeksi bakteri, pneumonia, dehidrasi, croup, ensefalitis)
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk menegakkan diagnosis
morbili.
-32-
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik karena penyakit ini merupakan
penyakit self-limiting disease.
Referensi
1. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin, 5th Ed. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007.
(Djuanda, et al., 2007)
2. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M. Andrew’s Diseases of the
Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Saunders Elsevier. Canada.
2000. (James, et al., 2000)
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Pedoman
Pelayanan Medik. 2011. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin, 2011)
4. VARISELA
Masalah Kesehatan
Infeksi akut primer oleh virus Varicella zoster yang menyerang kulit
dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf,
terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Masa inkubasi 14-21 hari.
Penularan melalui udara (air-borne) dan kontak langsung.
Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis dengan menemukan sel
Tzanck yaitu sel datia berinti banyak.
Komplikasi
Pneumonia, ensefalitis, hepatitis, terutama terjadi pada pasien dengan
gangguan imun. Varisela pada kehamilan berisiko untuk
menyebabkan infeksi intrauterin pada janin, menyebabkan sindrom
varisela kongenital.
-34-
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Gesekan kulit perlu dihindari agar tidak mengakibatkan pecahnya
vesikel. Selain itu, dilakukan pemberian nutrisi TKTP, istirahat dan
mencegah kontak dengan orang lain.
2. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan indikasi. Aspirin dihindari
karena dapat menyebabkan Reye’s syndrome.
3. Losio kalamin dapat diberikan untuk mengurangi gatal.
4. Pengobatan antivirus oral, antara lain:
a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-anak 4 x 20 mg/kgBB
(dosis maksimal 800 mg), atau
b. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari.
Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan efektif diberikan pada
24 jam pertama setelah timbul lesi.
Peralatan
Lup
Prognosis
Prognosis pada pasien dengan imunokompeten adalah bonam,
sedangkan pada pasien dengan imunokompromais, prognosis menjadi
dubia ad bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
-35-
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
5. MALARIA
Masalah Kesehatan
Merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang
disebabkan oleh parasit Plasmodium yang menyerang eritrosit dan
ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah,
dengan gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.
Faktor Risiko
1. Riwayat menderita malaria sebelumnya.
2. Tinggal di daerah yang endemis malaria.
3. Pernah berkunjung 1-4 minggu di daerah endemik malaria.
4. Riwayat mendapat transfusi darah.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan hapusan darah tebal dan tipis ditemukan parasit
Plasmodium.
2. Rapid Diagnostic Test untuk malaria (RDT).
Klasifikasi
1. Malaria falsiparum, ditemukan Plasmodium falsiparum.
2. Malaria vivaks ditemukan Plasmodium vivax.
3. Malaria ovale, ditemukan Plasmodium ovale.
4. Malaria malariae, ditemukan Plasmodium malariae.
5. Malaria knowlesi, ditemukan Plasmodium knowlesi.
Diagnosis Banding
1. Demam Dengue
2. Demam Tifoid
3. Leptospirosis
4. Infeksi virus akut lainnya
-37-
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Pengobatan Malaria falsiparum
1. Lini pertama: dengan Fixed Dose Combination (FDC) yang terdiri
dari Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) tiap tablet
mengandung 40 mg Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin.
Untuk dewasa dengan Berat Badan (BB) sampai dengan 59 kg
diberikan DHP per oral 3 tablet satu kali per hari selama 3 hari
dan Primakuin 2 tablet sekali sehari satu kali pemberian,
sedangkan untuk BB > 60 kg diberikan 4 tablet DHP satu kali
sehari selama 3 hari dan Primaquin 3 tablet sekali sehari satu kali
pemberian. Dosis DHA = 2-4 mg/kgBB (dosis tunggal),
Piperakuin = 16-32 mg/kgBB (dosis tunggal), Primakuin =
0,75 mg/kgBB (dosis tunggal).
2. Lini kedua (pengobatan malaria falsiparum yang tidak respon
terhadap pengobatan DHP): Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin +
Primakuin. Dosis kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari),
Doksisiklin = 3,5 mg/kgBB per hari ( dewasa, 2x/hari selama7
hari) , 2,2 mg/kgBB/hari ( 8-14 tahun, 2x/hari selama 7 hari) ,
T etrasiklin = 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hari selama 7 hari).
Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale
1. Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP),
diberikan peroral satu kali per hari selama 3 hari, p r i m a k u i n =
0 , 2 5 mg/kgBB/hari (selama 14 hari).
2. Lini kedua (pengobatan malaria vivax yang tidak respon terhadap
pengobatan DHP): Kina + Primakuin. Dosis kina = 10
mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), Primakuin = 0,25
mg/kgBB (selama 14 hari).
3. Pengobatan malaria vivax yang relaps (kambuh):
a. Diberikan lagi regimen DHP yang sama tetapi dosis primakuin
ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.
b. Dugaan relaps pada malaria vivax adalah apabila pemberian
Primakiun dosis 0,25 mg/kgBB/hari sudah diminum selama
14 hari dan penderita sakit kembali dengan parasit positif
dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah
pengobatan.
Pengobatan Malaria malariae
Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3 hari dengan dosis sama
dengan pengobatan malaria lainnya dan dengan dosis sama dengan
pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan Primakuin.
-38-
Pengobatan infeksi campuran antara Malaria falsiparum dengan
Malaria vivax/ Malaria ovale dengan DHP
Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan DHP 1 kali per
hari selama 3 hari, serta DHP 1 kali per hari selama 3 hari serta
Primakuin dosis 0,25 mg/kgBB selama 14 hari.
Pengobatan malaria pada ibu hamil
1. Trimester pertama: Kina tablet 3 x 10mg/ kg BB + Klindamycin
10mg/kgBB selama 7 hari.
2. Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP tablet selama 3 hari.
3. Pencegahan/profilaksis digunakan Doksisiklin 1 kapsul 100
mg/hari diminum 2 hari sebelum pergi hingga 4 minggu setelah
keluar/pulang dari daerah endemis.
Pengobatan di atas diberikan berdasarkan berat badan penderita.
Komplikasi
1. Malaria serebral.
2. Anemia berat.
3. Gagal ginjal akut.
4. Edema paru atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).
5. Hipoglikemia.
6. Gagal sirkulasi atau syok.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat pencernaan dan atau
disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi
intravaskular.
8. Kejang berulang > 2 kali per 24 jam pendidngan pada hipertermia.
9. Asidemia (pH darah <7.25)atau asidosis (biknat plasma < 15
mmol/L).
10. Makroskopik hemoglobinuria karena infeksi malaria akut.
Konseling dan Edukasi
1. Pada kasus malaria berat disampaikan kepada keluarga mengenai
prognosis penyakitnya.
2. Pencegahan malaria dapat dilakukan dengan :
a. Menghindari gigitan nyamuk dengan kelambu atau repellen
b. Menghindari aktivitas di luar rumah pada malam hari
c. Mengobati pasien hingga sembuh misalnya dengan pengawasan
minum obat
Kriteria Rujukan
1. Malaria dengan komplikasi
2. Malaria berat, namun pasien harus terlebih dahulu diberi dosis
awal Artemisinin atau Artesunat per Intra Muskular atau Intra
Vena dengan dosis awal 3,2mg /kg BB.
-39-
Peralatan
Laboratorium sederhana untuk pembuatan apusan darah,
pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan mikroskopis.
Prognosis
Prognosis bergantung pada derajat beratnya malaria. Secara umum,
prognosisinya adalah dubia ad bonam. Penyakit ini dapat terjadi
kembali apabila daya tahan tubuh menurun.
Referensi
1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et
al.Harrisson’s: Principle of Internal Medicine. 17th Ed. New York:
McGraw-Hill Companies. 2009.
2. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Depkes RI.
Jakarta. 2008. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008)
6. LEPTOSPIROSIS
Masalah Kesehatan
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang menyerang manusia
disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans dan memiliki
manifestasi klinis yang luas. Spektrum klinis mulai dari infeksi yang
tidak jelas sampai fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan,
leptospirosis dapat muncul seperti influenza dengan sakit kepala dan
myalgia.Tikus adalah reservoir yang utama dan kejadian leptospirosis
lebih banyak ditemukan pada musim hujan.
Peralatan
Pemeriksaan darah dan urin rutin
-42-
Prognosis
Prognosis jika pasien tidak mengalami komplikasi umumnya adalah
dubia ad bonam.
Referensi
1. Zein, Umar. Leptospirosis. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III
edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
dalam FKUI. 2006. Hal 1823-5. (Sudoyo, et al., 2006)
2. Cunha, John P. Leptospirosis. 2007. Available at: (Cunha, 2007)
3. Dugdale, David C. Leptospirosis. 2004.Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001376.htm.
Accessed December 2009. (Dugdale, 2004)
7. FILARIASIS
Masalah Kesehatan
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis
nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak
mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun
laki-laki.
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global untuk mengeliminasi
filariasis pada tahun 2020 (The Global Goal of Elimination of
LymphaticFilariasis as a Public Health problem by The Year 2020).
Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan
DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi
yangendemis serta perawatan kasus klinis baik yang akut maupun
kronis untuk mencegah kecacatandan mengurangi penderitaannya.
Indonesia melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara
bertahap yang telah dimulai sejak tahun 2002 di 5 kabupaten.
Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun.
-43-
Penyakit kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu:
Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular di
Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari
genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat
berperan sebagai vektor penular penyakit kaki gajah.
Pemeriksaan Penunjang
1. Identifikasi mikrofilaria dari sediaan darah. Cacing filaria dapat
ditemukan dengan pengambilan darah tebal atau tipis pada waktu
malam hari antara jam 10 malam sampai jam 2 pagi yang dipulas
dengan pewarnaan Giemsa atau Wright. Mikrofilaria juga dapat
ditemukan pada cairan hidrokel atau cairan tubuh lain (sangat
jarang).
2. Pemeriksaan darah tepi terdapat leukositosis dengan eosinofilia
sampai 10-30% dengan pemeriksaan sediaan darah jari yang
diambil mulai pukul 20.00 waktu setempat.
3. Bila sangat diperlukan dapat dilakukan Diethylcarbamazine
provocative test.
-46-
Diagnosis Banding
1. Infeksi bakteri, tromboflebitis atau trauma dapat mengacaukan
adenolimfadenitis filariasis akut
2. Tuberkulosis, lepra, sarkoidosis dan penyakit sistemik
granulomatous lainnya.
Komplikasi
Pembesaran organ (kaki, tangan, skrotum atau bagian tubuh lainnya)
akibat obstruksi saluran limfe.
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan mikrofilaria.
Prognosis
Prognosis pada umumnya tidak mengancam jiwa. Quo ad fungsionam
adalah dubia ad bonam, sedangkan quo ad sanationam adalah malam.
Prognosis penyakit ini tergantung dari:
1. Jumlahcacing dewasa dan mikrofilaria dalam tubuh pasien.
2. Potensi cacing untuk berkembang biak.
3. Kesempatan untuk infeksi ulang.
4. Aktivitas RES.
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila
pasien pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian obat serta
pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama dengan
edema pada tungkai, prognosis lebih buruk.
Referensi
1. Behrman, R.E. Jenson, H.B. Kliegman, R.M. Lymphatic Filariasis
(Brugria Malayi, Brugria timori, Wuchereria Bancrofti) in Nelson
Textbook of Pediatric.18thEd.2007: 1502-1503. (Behrman, et al.,
2007)
-49-
2. Rudolph Colin, D. Rudolph, A.M. Parasitic Disease in Rudolphs
Pediatrics Textbook of Pediatric. 21stEd. 2007: 1106-1108.
(Rudolph, et al., 2007)
3. Soedarmo Sumarmo S.P.Garna, H. Sri Rezeki, S.H.Hindra Irawan
S. FilariasisdalamBuku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Ed-. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta, 2010: 400-407. (Sumarmo, et al.,
2010)
Masalah Kesehatan
Tali pusat biasanya lepas pada hari ke-7 setelah lahir dan luka baru
sembuh pada hari ke-15. Infeksi pada tali pusat atau jaringan kulit di
sekitar perlu dikenali secara dini dalam rangka mencegah sepsis.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
infeksi pada umbilikus.
Prognosis
Prognosis jika pasien tidak mengalami komplikasi umumnya dubia ad
bonam.
Referensi
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2003. Infeksi Tali Pusat dalam
Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2003)
2. Peadiatrics Clerkship University. The University of Chicago.
-52-
9. KANDIDIASIS MULUT
Masalah Kesehatan
Infeksi Candida albicans ini menyerang kulit, mukosa maupun organ
dalam, sedangkan pada bayi dapat terinfeksi melalui vagina saat
dilahirkan, atau karena dot yang tidak steril
Diagnosis Banding
Peradangan mukosa mulut yang disebabkan oleh bakteri atau virus.
Komplikasi
Diare karena kandidiasis saluran cerna.
-53-
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Memperbaiki status gizi dan menjaga kebersihan oral
2. Kontrol penyakit predisposisinya
3. Gentian violet 1% (dibuat segar/baru) atau larutan nistatin
100.000 – 200.000 IU/ml yang dioleskan 2 – 3 kali sehari selama 3
hari
Rencana Tindak Lanjut
1. Dilakukan skrining pada keluarga dan perbaikan lingkungan
keluarga untuk menjaga tetap bersih dan kering.
2. Pasien kontrol kembali apabila dalam 3 hari tidak ada perbaikan
dengan obat anti jamur.
Kriteria Rujukan
Bila kandidiasis merupakan akibat dari penyakit lainnya, seperti HIV.
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
Prognosis
Prognosis pada pasien dengan imunokompeten umumnya bonam.
Referensi
Pengobatan dasar di Puskesmas. 2007. Jakarta. Kementerian
Kesehatan RI. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007)
10. LEPRA
Masalah Kesehatan
Lepra adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Penularan
kemungkinan terjadi melalui saluran pernapasan atas dan kontak
kulit pasien lebih dari 1 bulan terus menerus. Masa inkubasi rata-rata
2,5 tahun, namun dapat juga bertahun-tahun.
-54-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Bercak kulit berwarna merah atau putih berbentuk plakat, terutama
di wajah dan telinga. Bercak kurang/mati rasa, tidak gatal. Lepuh
pada kulit tidak dirasakan nyeri. Kelainan kulit tidak sembuh dengan
pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi.
Faktor Risiko
1. Sosial ekonomi rendah
2. Kontak lama dengan pasien, seperti anggota keluarga yang
didiagnosis dengan lepra
3. Imunokompromais
4. Tinggal di daerah endemik lepra
Tanda utama
Tanda
utama
Bercak 1 – 5 Bercak >
Saraf 1 5
BTA (-) Saraf > 1
BTA (+)
Ada Tidak Ragu Rujuk
ada
PB MB
Diagnosis Banding
Bercak eritema
1. Psoriasis
2. Tinea circinata
3. Dermatitis seboroik
Bercak putih
1. Vitiligo
2. Pitiriasis versikolor
3. Pitiriasis alba
Nodul
1. Neurofibromatosis
2. Sarkoma Kaposi
3. Veruka vulgaris
Komplikasi
1. Arthritis.
2. Sepsis.
-58-
3. Amiloid sekunder.
4. Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada
perjalanan yang sangat kronis. Reaksi ini merupakan reaksi
hipersensitivitas seluler (tipe 1/reversal) atau hipersentitivitas
humoral (tipe 2/eritema nodosum leprosum/ENL).
1. Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta Hanya pada kusta tipe MB
tipe PB maupun MB
2. Waktu Biasanya segera setelah Biasanya setelah
timbulnya pengobatan mendapat pengobatan
yang lama, umumnya
lebih dari 6 bulan
3. Keadaan umum Umumnya baik, demam Ringan sampai berat
ringan (sub-febris) atau disertai kelemahan umum
tanpa demam dan demam tinggi
4. Peradangan di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodus kemerahan,
kulit lebih meradang (merah), lunak dan nyeri tekan.
bengkak, berkilat, hangat. Biasanya pada lengan dan
Kadang-kadang hanya pada tungkai. Nodus dapat
sebagian lesi. Dapat timbul pecah.
bercak baru
5. Saraf Sering terjadi, umumnya Dapat terjadi
berupa nyeri saraf dan atau
gangguan fungsi saraf.
Silent neuritis (+)
6. Udem pada (+) (-)
ekstrimitas
7. Peradangan Anastesi kornea dan Iritis, iridosiklitis,
pada mata lagoftalmos karena galucoma, katarak, dll
keterlibatan N. V dan N. VII
8. Peradangan Hampir tidak ada Terjadi pada testis, sendi,
pada organ lain ginjal, kelenjar getah
bening, dll
Prognosis
Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun dubia ad malam
pada fungsi ekstremitas, karena dapat terjadi mutilasi, demikian pula
untuk kejadian berulangnya.
Referensi
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2012. Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit
Kusta. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. (Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan , 2012)
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. (Djuanda, et al., 2007)
Masalah Kesehatan
Keracunan makanan merupakan suatu kondisi gangguan pencernaan
yang disebabkan oleh konsumsi makanan atau air yang
terkontaminasi dengan zat patogen dan atau bahan kimia, misalnya
Norovirus, Salmonella, Clostridium perfringens, Campylobacter, dan
Staphylococcus aureus.
Faktor Risiko
1. Riwayat makan/minum di tempat yang tidak higienis
2. Konsumsi daging/unggas yang kurang matang dapat dicurigai
untuk Salmonella spp, Campylobacter spp, toksin Shiga E coli, dan
Clostridium perfringens.
3. Konsumsi makanan laut mentah dapat dicurigai untuk Norwalk-
like virus, Vibrio spp, atau hepatitis A.
Peralatan
1. Cairan rehidrasi (NaCl 0,9%, RL, oralit )
2. Infus set
3. Antibiotik bila diperlukan
Prognosis
Prognosis umumnya bila pasien tidak mengalami komplikasi adalah
bonam.
Referensi
1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI.
2. Panduan Puskesmas untuk keracunan makanan. Depkes: Jakarta.
2007. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007)
-66-
12. ALERGI MAKANAN
Masalah Kesehatan
Makanan dapat menimbulkan beraneka ragam gejala yang
ditimbulkan reaksi imun terhadap alergen asal makanan. Reaksi
tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi atau non alergi. Reaksi
alergi makanan terjadi bila alergen makanan menembus sawar gastro
intestinal yang memacu reaksi IgE. Gejala dapat timbul dalam
beberapa menit sampai beberapa jam, dapat terbatas pada satu atau
beberapa organ, kulit, saluran napas dan cerna, lokal dan sistemik.
Alergen makanan yang sering menimbulkan alergi pada anak adalah
susu,telur, kacang tanah, soya, terigu, dan ikan laut. Sedangkan yang
sering menimbulkan alergi pada orang dewasa adalah kacang tanah,
ikan laut, udang, kepiting, kerang, dan telur.
Alergi makanan tidak berlangsung seumur hidup terutama pada anak.
Gejala dapat hilang, namun dapat kambuh pada keadaan tertentu
seperti infeksi virus, nutrisi yang tidak seimbang atau cedera
muskulus gastrointestinal.
Peralatan : -
Prognosis
Umumnya prognosis adalah dubia ad bonam bila medikamentosa
disertai dengan perubahan gaya hidup.
-68-
Referensi
1. Sichere, S.H. Sampson, H.A. Food Allergy. J Allergy Clin Immunol.
2010; 125: 116-25. (Sichere & Sampson, 2010)
2. Prawirohartono, E.P. Makanan Sebagai Penyebab Alergi dalam
Alergi Makanan.Ed. Djuffrie. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas
Press. 2001. (Prawirohartono, 2001)
3. Davies, R.J. Seri Kesehatan Bimbingan Dokter pada Alergi. Jakarta:
Dian Rakyat. 2003. (Davies, 2003)
13. SYOK
Masalah Kesehatan
Syok merupakan salah satu sindroma kegawatan yang
memerlukanpenanganan intensif dan agresif. Syok adalah suatu
sindroma multifaktorial yang menuju hipoperfusi jaringan lokal atau
sistemis dan mengakibatkan hipoksia sel dan disfungsimultipel organ.
Kegagalan perfusi jaringan dan hantaran nutrisi dan oksigen sistemik
yang tidak adekuat tak mampu memenuhi kebutuhan metabolisme
sel. Karakteristik kondisi ini, yaitu: 1) ketergantungan suplai oksigen,
2) kekurangan oksigen, 3) Asidosis jaringan sehingga terjadi
metabolisme anaerob dan berakhir dengan kegagalan fungsi organ
vital dan kematian.
Syok diklasifikasikan berdasarkan etiologi, penyebab dan karakteristik
pola hemodinamik yang ditimbulkan, yaitu:
1. Syok Hipovolemik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen
disebabkan oleh hilangnya sirkulasi volume intravaskuler sebesar
>20-25% sebagai akibat dari perdarahan akut, dehidrasi,
kehilangan cairan pada ruang ketiga atau akibat sekunder dilatasi
arteri dan vena.
2. Syok Kardiogenik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen
disebabkan oleh adanya kerusakan primer fungsi atau kapasitas
pompa jantung untuk mencukupi volume jantung semenit,
berkaitan dengan terganggunya preload, afterload, kontraktilitas,
frekuensi ataupun ritme jantung. Penyebab terbanyak adalah
infark miokard akut, keracunan obat, infeksi/inflamasi, gangguan
mekanik.
-69-
3. Syok Distributif yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen
disebabkan oleh menurunnya tonus vaskuler mengakibatkan
vasodilatasi arterial, penumpukan vena dan redistribusi aliran
darah. Penyebab dari kondisi tersebut terutama komponen
vasoaktif pada syok anafilaksis; bakteria dan toksinnya pada
septik syok sebagai mediator dari SIRS; hilangnya tonus vaskuler
pada syok neurogenik.
4. Syok Obstruktif yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen
berkaitan dengan terganggunya mekanisme aliran balik darah oleh
karena meningkatnya tekanan intratorakal atau terganggunya
aliran keluar arterial jantung (emboli pulmoner, emboli udara,
diseksi aorta, hipertensi pulmoner, tamponade perikardial,
perikarditis konstriktif) ataupun keduanya oleh karena obstruksi
mekanis.
5. Syok Endokrin, disebabkan oleh hipotiroidisme, hipertiroidisme
dengan kolaps kardiak dan insufisiensi adrenal. Pengobatannya
dengan tunjangan kardiovaskular sambil mengobati penyebabnya.
Insufisiensi adrenal mungkin kontributor terjadinya syok pada
pasien sakit gawat. Pasien yang tidak respon pada pengobatan
harus tes untuk insufisiensi adrenal.
Peralatan
1. Infus set
2. Oksigen
3. NaCl 0,9%
4. Senter
5. EKG
Prognosis
Prognosis suatu syok amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan
pengelolaannya sehingga pada umumnya adalah dubia ad bonam.
Referensi
1. Karyadi, W. Update on Shock. Pertemuan Ilmiah Terpadu-1.
Surabaya: FK Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000. (Karyadi, et al.,
2000)
2. Rahardjo, E. Update on Shock. Pertemuan Ilmiah Terpadu-
1.Surabaya: FK Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000.
3. Suryohudoyo, P. Update on Shock, Pertemuan Ilmiah Terpadu-1.
Surabaya: FK Universitas Airlangga. 6-7 Mei 2000.
-74-
14. REAKSI ANAFILAKTIK
Masalah Kesehatan
Anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas generalisata atau sistemik
yang beronset cepat, serius, dan mengancam. Jika reaksi tersebut
cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut sebagai syok
anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan
tepat. Untuk itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam
pengelolaan syok anafilaktik.
Insidens syok anafilaktik 40–60% adalah akibat gigitan serangga, 20–
40% akibat zat kontras radiografi, dan 10–20%akibat pemberian obat
penisilin. Data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya
syok anafilaktik masih sangat kurang. Anafilaksis yang fatal hanya
kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat pertahun.
Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian
antibiotik seperti penisilin dan bahan zat radiologis. Penisilin
merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi
anafilaksis.
Diagnosis Banding
1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis
a. Serangan asma akut
b. Sinkop
c. Gangguan cemas / serangan panik
d. Urtikaria akut generalisata
e. Aspirasi benda asing
f. Kelainan kardiovaskuler akut (infark miokard, emboli paru)
g. Kelainan neurologis akut (kejang, stroke)
2. Sindrom flush
a. Perimenopause
b. Sindrom karsinoid
c. Epilepsi otonomik
d. Karsinoma tiroid meduler
3. Sindrom pasca-prandial
a. Scombroidosis, yaitu keracunan histamin dari ikan, misalnya
tuna, yang disimpan pada suhu tinggi.
b. Sindrom alergi makanan berpolen, umumnya buah atau sayur
yang mengandung protein tanaman yang
c. bereaksi silang dengan alergen di udara
d. Monosodium glutamat atau Chinese restaurant syndrome
e. Sulfit
f. Keracunan makanan
4. Syok jenis lain
a. Hipovolemik
b. Kardiogenik
c. Distributif
-77-
d. Septik
5. Kelainan non-organik
a. Disfungsi pita suara
b. hiperventilasi
c. Episode psikosomatis
6. Peningkatan histamin endogen
a. Mastositosis / kelainan klonal sel mast
b. Leukemia basofilik
7. Lainnya
a. Angioedema non-alergik, misal: angioedema herediter tipe I, II,
atau III, angioedema terkait ACE-inhibitor)
b. Systemic capillary leak syndrome
c. Red man syndrome akibat vancomycin
d. Respon paradoksikal pada feokromositoma
Komplikasi
1. Koma
2. Kematian
Peralatan
1. Infus set
2. Oksigen
3. Adrenalin ampul, aminofilin ampul, difenhidramin vial,
deksametason ampul
4. NaCl 0,9%
Prognosis
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan
diagnosa dan pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad
bonam.
Referensi
1. Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al.Anaphylactic Reactions. In:Text Book of
Critical care. Eds: Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, R.William,
C.Shoemaker. 4th Ed.Philadelpia: WB Saunders Company. 2000: p.
246-56.
2. Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and acute allergic reactions.
In:International edition Emergency Medicine.Eds:Tintinalli. Kellen.
Stapczynski. 5thEd. New York: McGrraw-Hill. 2000: p. 242-6.
3. Rehatta, M.N.Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan dalam
Update on Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran
Universitas Airlangga Surabaya. 2000.
Masalah Kesehatan
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi salah satu
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Tingkat insiden penyakit
DBD Indonesia merupakan yang tertinggi diantara negara-negara Asia
Tenggara. Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan mencatat
-80-
terdapat 103.649 penderita dengan angka kematian mencapai 754
orang. Keterlibatan dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama sangat dibutuhkan untuk menekan tingkat kejadian maupun
mortalitas DBD.
Komplikasi
Dengue Shock Syndrome (DSS), ensefalopati, gagal ginjal, gagal hati
PERBAIKAN
PERBAIKAN TIDAK MEMBAIK
PERBAIKAN
Prognosis
Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia ad bonam, karena
hal ini tergantung dari derajat beratnya penyakit.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman
Tatalaksana Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
2. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam Berdarah Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7.
3. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever: diagnosis, treatment, prevention
and control. 2nd Edition. Geneva. 1997
4. Tim Adaptasi Indonesia, 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit: Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama
di Kabupaten / Kota. 1 ed. Jakarta: World Health Organization
Country Office for Indonesia.
5. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Pedoman Diagnosis dan tata laksana infeksi virus dengue pada
anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2014.
Masalah Kesehatan
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah cukup ke jaringan perifer. Anemia
merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di
-89-
seluruh dunia. Diperkirakan >30% penduduk dunia menderita anemia
dan sebagian besar di daerah tropis. Oleh karena itu anemia seringkali
tidak mendapat perhatian oleh para dokter di klinik.
Peralatan
Pemeriksaan laboratorium sederhana (darah rutin, urin rutin, feses
rutin).
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam karena sangat tergantung pada
penyakit yang mendasarinya. Bila penyakit yang mendasarinya
teratasi, dengan nutrisi yang baik anemia defisiensi besi dapat teratasi.
Referensi
1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et
al.Harrisson’s: Principle of Internal Medicine. 17th Ed. New York:
McGraw-Hill Companies. 2009. (Braunwald, et al., 2009)
2. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. Eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo,
et al., 2006)
3. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 632-36.
(Sudoyo, et al., 2006)
-92-
2. HIV/AIDS TANPA KOMPLIKASI
Masalah Kesehatan
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia
dan banyak negara di dunia serta menyebabkan krisis multidimensi.
Berdasarkan hasil estimasi Departemen Kesehatan tahun 2006
diperkirakan terdapat 169.000-216.000 orang dengan HIV dan AIDS di
Indonesia. Program bersama UNAIDS dan WHO memperkirakan
sekitar 4,9 juta orang hidup dengan HIV di Asia.
Stadium 1 Asimptomatik
Diagnosis Banding
Penyakit gangguan sistem imun
Nucleoside RTI
Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari
40 mg setiap 12 jam
Stavudine (d4T)
(30 mg setiap 12 jam bila BB <60 kg)
Zidovudine (ZDV atau AZT) 300 mg setiap 12 jam
Nucleotide RTI
300 mg sekali sehari, (Catatan: interaksi obat
Tenofovir (TDF)
dengan ddI perlu mengurangi dosis ddI)
Non-nucleoside RTIs
Efavirenz (EFV) 600 mg sekali sehari
Protease inhibitors
ART kombinasi
AZT -3TC (Duviral ®) Diberikan 2x sehari dengan interval 12 jam
Peralatan
Layanan VCT
Prognosis
Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan
pengobatan. Terapi hingga saat ini adalah untuk memperpanjang masa
hidup, belum merupakan terapi definitif, sehingga prognosis pada
umumnya dubia ad malam.
Referensi
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman Nasional Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
-99-
2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 1825-30.
(Sudoyo, et al., 2006)
Masalah Kesehatan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) telah menjadi salah satu penyakit
reumatik utama di dunia dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi LES di
berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000
dan terutama menyerang wanita usia reproduktif yaitu 15-40 tahun.
Rasio wanita dibandingkan pria berkisar antara (5,5-9):1.
Berdasarkan penelitian di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta antara
tahun 1988-1990 insidensi rata-rata adalah 37,7 per 10.000
perawatan.
Diagnosis Banding
1. Mixed connective tissue disease
2. Sindrom vaskulitis
Komplikasi
1. Anemia hemolitik
2. Trombosis
3. Lupus serebral
4. Nefritis lupus
5. Infeksi sekunder
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan DPL, urinalisis, dan fungsi ginjal
2. Radiologi: X-ray Thoraks
Prognosis
Prognosis pasien LES sangat bervariasi bergantung pada keterlibatan
organnya. Sekitar 25% pasien dapat mengalami remisi selama
beberapa tahun, tetapi hal ini jarang menetap. Prognosis buruk (50%
-104-
mortalitas dalam 10 tahun) terutama berkaitan dengan keterlibatan
ginjal. Penyebab utama mortalitas umumnya gagal ginjal, infeksi, serta
tromboemboli.
Referensi
1. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A
(ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen IPD
FKUI. Jakarta. 2008. hlm 127-128. (Rani, et al., 2008)
2. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus
Sistemik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Pusat Penerbitan
Departemen IPD FKUI. Jakarta. 2006. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei T, Cheung CK (ed). Oxford
handbook of clinical medicine. 7th edition. Oxford University Press.
Oxford. 2008. hlm 540-541. (Longmore, et al., 2008)
4. Fauci AS (ed). Harrison’s Manual of Medicine. 17th edition. McGraw
Hill Medical. USA. 2009. hlm 885-886. (Braunwald, et al., 2009)
5. Petri M, et al. derivation and validation of the Systemic Lupus
International Collborating Clinics classification criteria for systemic
lupus eritematosus. Arthritis and Rheumatism. 2012
Aug;64(8):2677-86. (Petri, et al., 2012)
4. LIMFADENITIS
Masalah Kesehatan
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapa kelenjar
getah bening. Limfadenitis bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai
organisme, yaitu bakteri, virus, protozoa, riketsia atau jamur. Secara
khusus, infeksi menyebar ke kelenjar getah bening dari infeksi kulit,
telinga, hidung atau mata.
Bakteri Streptokokus, Stafilokokus, dan Tuberkulosis adalah
penyebab paling umum dari Limfadenitis, meskipun virus, protozoa,
riketsia, jamur juga dapat menginfeksi kelenjar getah bening.
-105-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan:
- Pembengkakan kelenjar getah bening
- Demam
- Kehilangan nafsu makan
- Keringat berlebihan,
- Nadi cepat
- Kelemahan
- Nyeri tenggorok dan batuk bila disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan bagian atas.
- Nyeri sendi bila disebabkan oleh penyakit kolagen atau penyakit
serum (serum sickness)
Faktor Risiko:
- Riwayat penyakit seperti tonsilitis yang disebabkan oleh bakteri
streptokokus, infeksi gigi dan gusi yang disebabkan oleh bakteri
anaerob.
- Riwayat perjalanan dan pekerjaan ke daerah endemis penyakit
tertentu, misalnya perjalanan ke daerah-daerah Afrika dapat
menunjukkan penyebab limfadenitis adalah penyakit
Tripanosomiasis. Sedangkan pada orang yang bekerja di hutan
Limfadenitis dapat terkena Tularemia.
- Paparan terhadap infeksi/kontak sebelumnya kepada orang
dengan infeksi saluran nafas atas, faringitis oleh Streptococcus,
atau Tuberkulosis turut membantu mengarahkan penyebab
limfadenopati.
Komplikasi
1. Pembentukan abses
2. Selulitis (infeksi kulit)
3. Sepsis (septikemia atau keracunan darah)
4. Fistula (terlihat dalam limfadenitis yang disebabkan oleh TBC)
-107-
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pencegahan dengan menjaga kesehatan dan kebersihan badan
bisa membantu mencegah terjadinya berbagai infeksi.
2. Untuk membantu mengurangi rasa sakit, kelenjar getah bening
yang terkena bisa dikompres hangat.
3. Tata laksana pembesaran KGB leher didasarkan kepada
penyebabnya.
- Penyebab oleh virus dapat sembuh sendiri dan tidak
membutuhkan pengobatan apa pun selain dari observasi.
- Pengobatan pada infeksi KGB oleh bakteri (limfadenitis) adalah
antibiotik oral 10 hari dengan pemantauan dalam 2 hari
pertama flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali sehari. Bila ada
reaksi alergi terhadap antibiotik golongan penisilin dapat
diberikan cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500 mg) tiga
kali sehari atau eritromisin 15 mg/kg (sampai 500 mg) tiga kali
sehari.
- Bila penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis maka
diberikan obat anti tuberculosis.
- Biasanya jika infeksi telah diobati, kelenjar akan mengecil
secara perlahan dan rasa sakit akan hilang. Kadang-kadang
kelenjar yang membesar tetap keras dan tidak lagi terasa lunak
pada perabaan.
Konseling dan Edukasi
1. Keluarga turut menjaga kesehatan dan kebersihan sehingga
mencegah terjadinya berbagai infeksi dan penularan.
2. Keluarga turut mendukung dengan memotivasi pasien dalam
pengobatan.
Rencana follow up:
Pasien kontrol untuk mengevaluasi KGB dan terapi yang diberikan.
Kriteria rujukan
1. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dirujuk untuk
mencari penyebabnya (indikasi untuk dilaksanakan biopsi
kelenjar getah bening).
2. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang
mengarahkan kepada keganasan, KGB yang menetap atau
bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau diagnosis
belum dapat ditegakkan.
-108-
Peralatan
1. Alat ukur untuk mengukur beasarnya kelenjar getah bening
2. Mikroskop
3. Reagen BTA dan Gram
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam.
Referensi
Price, A. Sylvia. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2006.
C. DIGESTIVE
Masalah Kesehatan
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)
Stomatitis aftosa rekurens (SAR) merupakan penyakit mukosa mulut
tersering dan memiliki prevalensi sekitar 10 – 25% pada populasi.
Sebagianbesar kasus bersifat ringan, self-limiting, dan seringkali
diabaikan oleh pasien. Namun, SAR juga dapat merupakan gejala dari
penyakit-penyakit sistemik, seperti penyakit Crohn, penyakit Coeliac,
malabsorbsi, anemia defisiensi besi atau asam folat, defisiensi vitamin
B12, atau HIV. Oleh karenanya, peran dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama dalam mendiagnosis dan menatalaksana
SAR sangat penting.
Stomatitis Herpes
Stomatitis herpes merupakan inflamasi pada mukosa mulut akibat
infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 (HSV 1). Penyakit ini cukup sering
ditemukan pada praktik layanan tingkat pertama sehari-hari.
Beberapa diantaranya merupakan manifestasi dari kelainan
imunodefisiensi yang berat, misalnya HIV. Amat penting bagi para
-109-
dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk dapat
mendiagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat dalam kasus
stomatitis herpes.
Pemeriksaan fisik
1. Tanda anemia (warna kulit, mukosa konjungtiva)
2. Pemeriksaan abdomen (distensi, hipertimpani, nyeri tekan)
3. Tanda dehidrasi akibat diare berulang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Darah perifer lengkap
2. MCV, MCH, dan MCHC
Stomatitis Herpes
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:
-111-
1. Lesi berupa vesikel, berbentuk seperti kubah, berbatas tegas,
berukuran 2 – 3 mm, biasanya multipel, dan beberapa lesi dapat
bergabung satu sama lain.
2. Lokasi lesi dapat di bibir (herpes labialis) sisi luar dan dalam,
lidah, gingiva, palatum, atau bukal.
3. Mukosa sekitar lesi edematosa dan hiperemis.
4. Demam
5. Pembesaran kelenjar limfe servikal
6. Tanda-tanda penyakit imunodefisiensi yang mendasari
Pemeriksaan penunjang
Tidak mutlak dantidak rutin dilakukan.
Peralatan
1. Kaca mulut
2. Lampu senter
Prognosis
Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)
1. Ad vitam : Bonam
-114-
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Dubia
Stomatitis Herpes
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Dubia
Referensi
1. Cawson, R. & Odell, E., 2002. Diseases of the Oral Mucosa: Non-
Infective Stomatitis. In Cawson’s Essentials of Oral Pathology and
Oral Medicine. Spain: Elsevier Science Limited, pp. 192–195.
(Cawson & Odell, 2002)
2. Scully, C., 1999. Mucosal Disorders. In Handbook of Oral Disease:
Diagnosis and Management. London: Martin Dunitz Limited, pp.
73–82. (Scully, 1999)
3. Woo, SB & Sonis, S., 1996. Recurrent Aphtous Ulcers: A Review of
Diagnosis and Treatment. Journal of The American Dental
Association, 127, pp.1202–1213. (Woo & Sonis, 1996)
4. Woo, Sook Bin & Greenberg, M., 2008. Ulcerative, Vesicular, and
Bullous Lesions. In M. Greenberg, M. Glick, & J. A. Ship, eds.
Burket’s Oral Medicine. Ontario: BC Decker, p. 41. (Woo &
Greenberg, 2008)
2. REFLUKSGASTROESOFAGEAL
Masalah Kesehatan
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah mekanisme refluks
melalui sfingter esofagus.
Gejala alarm
Umur > 40 th Tanpa gejala alarm
Terapi empirik
Tes PPI
Peralatan
Kuesioner GERD
Prognosis
Prognosis umumnya bonam tetapi sangat tergantung dari kondisi
pasien saat datang dan pengobatannya.
Referensi
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal (Gastroesofageal Reflux Disease/GERD) Indonesia.
2004.
3. GASTRITIS
Masalah Kesehatan
Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan
submukosa lambung sebagai mekanisme proteksi mukosa apabila
terdapat akumulasi bakteri atau bahan iritan lain. Proses inflamasi
dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.
-118-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar
pada perut bagian atas. Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti
dengan makan, mual, muntah dan kembung.
Faktor Risiko
1. Pola makan yang tidak baik: waktu makan terlambat, jenis
makanan pedas, porsi makan yang besar
2. Sering minum kopi dan teh
3. Infeksi bakteri atau parasit
4. Pengunaan obat analgetik dan steroid
5. Usia lanjut
6. Alkoholisme
7. Stress
8. Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks empedu, penyakit
autoimun, HIV/AIDS, Chron disease
Peralatan : -
-120-
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang,
komplikasi, dan pengobatannya. Umumnya prognosis gastritis adalah
bonam, namun dapat terjadi berulang bila pola hidup tidak berubah.
Referensi
Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. (Sudoyo, et
al., 2006)
4. INTOLERANSI MAKANAN
Masalah Kesehatan
Intoleransi makanan adalah gejala-gejala yang terjadi akibat reaksi
tubuh terhadap makanan tertentu. Intoleransi bukan merupakan
alergi makanan. Hal ini terjadi akibatkekurangan enzim yang
diperlukan untuk mencerna makanan tertentu. Intoleransi terhadap
laktosa gula susu, penyedap Monosodium Glutamat (MSG), atau
terhadap antihistamin yang ditemukan di keju lama, anggur, bir, dan
daging olahan. Gejala intoleransi makanan kadang-kadang mirip
dengan gejala yang ditemukan pada alergi makanan.
Hasil Anamnesis
Gejala-gejala yang mungkin terjadi adalah tenggorokan terasa gatal,
nyeri perut, perut kembung, diare, mual, muntah, atau dapat disertai
kram perut.
Faktor predisposisi
Makanan yang sering menyebabkan intoleransi, seperti:
1. Terigu dan gandum lainnya yang mengandung gluten
2. Protein susu sapi
3. Hasil olahan jagung
4. MSG
-121-
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri tekan abdomen, bising
usus meningkat dan mungkin terdapat tanda-tanda dehidrasi.
Pemeriksaan Penunjang : -
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding
Pankreatitis, Penyakit Chrons pada illeum terminalis, Sprue Celiac,
Penyakit whipple, Amiloidosis, Defisiensi laktase, Sindrom Zollinger-
Ellison, Gangguan paska gasterektomi, reseksi usus halus atau kolon
Komplikasi
Dehidrasi
Peralatan
Laboratorium rutin
-122-
Prognosis
Pada umumnya, prognosis tidak mengancam jiwa, namun fungsionam
dan sanasionamnya adalah dubia ad bonam karena tergantung pada
paparan terhadap makanan penyebab.
Referensi
Syam, Ari Fachrial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke
4. Jakarta: FK UI. 2006. Hal 312-3. (Sudoyo, et al., 2006)
5. MALABSORBSI MAKANAN
Masalah Kesehatan
Komplikasi
Dehidrasi
-124-
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis penyakit dalam untuk mencari
penyebab malabsorbsi kemudian ditatalaksana sesuai penyebabnya.
1. Tatalaksana tergantung dari penyebab malabsorbsi
2. Pembatasan nutrisi tertentu
3. Suplemen vitamin dan mineral
4. Suplemen enzim pencernaan
5. Tata laksana farmakologi: Antibiotik diberikan jika malabsorbsi
disebakan oleh overgrowth bakteri enterotoksigenik: E. colli, K.
Pneumoniae dan Enterrobacter cloacae.
Rencana Tindak Lanjut
Perlu dipantau keberhasilan diet atau terapi yang diberikan kepada
pasien.
Konseling dan Edukasi
Memberi edukasi ke keluarga untuk ikut membantu dalam hal
pembatasan nutrisi tertentu pada pasien dan mengamati keadaaan
pasien selama pengobatan.
Kriteria Rujukan
Perlu dilakukan konsultasi ke spesialis penyakit dalam untuk mencari
penyebab malabsorbsi kemudian ditatalaksana sesuai penyebabnya.
Peralatan
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah perifer lengkap.
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang,
komplikasi, dan pengobatannya. Pada umumnya, prognosis tidak
mengancam jiwa, namun fungsionam dan sanationamnya adalah
dubia ad bonam.
Referensi
Syam, Ari Fachrial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke
4. Jakarta: FK UI. 2006. hal 312-3. (Sudoyo, et al., 2006)
-125-
6. DEMAM TIFOID
Masalah Kesehatan
Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat perkotaan maupun di
pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi
dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Di Indonesia bersifat
endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah
kasus di rumah sakit besar di Indonesia, tersangka demam tifoid
menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan
rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan angka kematian
antara 0.6–5% (KMK, 2006). Selain tingkat insiden yang tinggi,
demam tifoid terkait dengan berbagai aspek permasalahan lain,
misalnya: akurasi diagnosis, resistensi antibiotik dan masih
rendahnya cakupan vaksinasi demam tifoid.
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah perifer lengkap beserta hitung jenis leukosis
Dapat menunjukkan: leukopenia / leukositosis / jumlah leukosit
normal, limfositosis relatif, monositosis, trombositopenia (biasanya
ringan), anemia.
2. Serologi
a. IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex-TF)®
• Hanya dapat mendeteksi antibody IgM Salmonella typhi
• Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
-127-
b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®)
1) Dapat mendeteksi IgM dan IgG Salmonella typhi
2) Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
c. Tes Widal tidak direkomendasi
• Dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari.
• Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin O minimal
1/320 atau terdapat kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada
pemeriksaan ulang dengan interval 5 – 7 hari.
• Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering terjadi oleh
karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,
enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan
malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen
komersial yang bervariasi dan standaridisasi kurang baik.
Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak direkomendasi
jika hanya dari 1 kali pemeriksaan serum akut karena
terjadinya positif palsu tinggi yang dapat mengakibatkan
over-diagnosis dan over-treatment.
3. Kultur Salmonella typhi (gold standard)
Dapat dilakukan pada spesimen:
a. Darah : Pada minggu pertama sampai akhir
minggu ke-2 sakit, saat demam tinggi
b. Feses : Pada minggu kedua sakit
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk
mendeteksi carriertyphoid
4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, misalnya:
SGOT/SGPT, kadar lipase dan amilase
Peralatan
Poliklinik set dan peralatan laboratorium untuk melakukan
pemeriksaan darah rutin dan serologi.
Prognosis
Prognosis adalah bonam, namun adsanationam dubia ad bonam,
karena penyakit dapat terjadi berulang.
Referensi
1. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006
tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, t.thn.)
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
(Sudoyo, et al., 2006)
3. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of
pediatric infectious diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders;
2004. (Feigin, et al., 2004)
4. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of
pediatric infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill &
Livingstone; 2003. (Long, et al., 2003)
5. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of
children. 11th ed. Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et al.,
2004)
6. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making
strategies. WB Saunders: Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al.,
2002)
7. CDC. Typhoid fever. 2005.
www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/typhoidfever_g.htm
(Center for Disease and Control, 2005)
-133-
8. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the
management of typhoid fever. MJAFI. 2003;59:130-5. (Kalra, et al.,
2003)
9. Tam FCH, King TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL.
The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies but also
soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical
Microbiology. 2008;57:316-23. (Tam, et al., 2008)
10. Beig FK, Ahmadz F, Ekram M, Shukla I. Typhidot M and Diazo test
vis-à-vis blood culture and Widal test in the early diagnosis of
typhoid fever in children in a resource poor setting. Braz J Infect
Dis. 2010;14:589-93. (Beig, et al., 2010)
11. Summaries of infectious diseases. Dalam: Red Book Online 2009.
Section 3.
http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/3.
117 (Anon., 2009)
Masalah Kesehatan
Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa lambung dan usus
halus yang ditandai dengan diare dengan frekuensi 3 kali atau lebih
dalam waktu 24 jam. Apabila diare > 30 hari disebut kronis. WHO
(World Health Organization) mendefinisikan diare akut sebagai diare
yang biasanya berlangsung selama 3 – 7 hari tetapi dapat pula
berlangsung sampai 14 hari. Diare persisten adalah episode diare
yang diperkirakan penyebabnya adalah infeksi dan mulainya sebagai
diare akut tetapi berakhir lebih dari 14 hari, serta kondisi ini
menyebabkan malnutrisi dan berisiko tinggi menyebabkan kematian
Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak-anak karena daya tahan
tubuh yang belum optimal. Diare merupakan salah satu penyebab
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada anak di bawah
umur lima tahun di seluruh dunia, yaitu mencapai 1 milyar kesakitan
dan 3 juta kematian per tahun. Penyebab gastroenteritis antara lain
infeksi, malabsorbsi, keracunan atau alergi makanan dan psikologis
penderita.
-134-
Infeksi yang menyebabkan GE akibat Entamoeba histolytica disebut
disentri, bila disebabkan oleh Giardia lamblia disebut giardiasis,
sedangkan bila disebabkan oleh Vibrio cholera disebut kolera.
Faktor Risiko
1. Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang.
2. Riwayat intoleransi laktosa, riwayat alergi obat.
-135-
3. Infeksi HIV atau infeksi menular seksual.
Metode Pierce
Dehidrasi ringan= 5% x Berat badan (kg)
Dehidrasi sedang= 8% x Berat badan (kg)
Dehidrasi berat= 10% x Berat badan (kg)
Peralatan
Infus set, cairan intravena, peralatan laboratorium untuk
pemeriksaan darah rutin, feses dan WIDAL
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang,
ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya, sehingga umumnya
prognosis adalah dubia ad bonam. Bila kondisi saat datang dengan
dehidrasi berat, prognosis dapat menjadi dubia ad malam.
Referensi
1. Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman pemberantasan
penyakit diare. Jakarta: Ditjen PPM dan PL. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2009)
2. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Panduan sosialisasi tatalaksana
diare pada balita. Jakarta: Ditjen PP dan PL (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
3. Simadibrata, M. D. Diare akut. In: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B.
Alwi, I. Simadibrata, M.D. Setiati, S. Eds. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 5th Ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2009: p. 548-556.
4. Makmun, D. Simadibrata, M.D. Abdullah, M. Syam, A.F. Fauzi, A.
Konsensus Penatalaksanaan Diare Akut pada Dewasa di Indonesia.
Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 2009.
-144-
5. Setiawan, B. Diare akut karena Infeksi. In: Sudoyo, A.W.
Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 4thEd. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1794-1798.
6. Sansonetti, P. Bergounioux, J. Shigellosis. In: Kasper. Braunwald.
Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Vol II. 17thEd.
McGraw-Hill. 2009: p. 962-964. (Braunwald, et al., 2009)
7. Reed, S.L. Amoebiasis dan Infection with Free Living Amoebas. In:
Kasper. Braunwald. Fauci. et al. Harrison’s Principles of Internal
Medicine.Vol I. 17thEd. McGraw-Hill. 2009: p. 1275-1280.
Masalah Kesehatan
Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali
menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang
lain.
Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri disentri basiler yang
disebabkan oleh shigellosis dan amoeba (disentri amoeba).
9. PERDARAHAN GASTROINTESTINAL
Kriteria Rujukan
Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang terus menerus
Rujuk ke pelayanan kesehatan sekunder untuk diagnosis definitif
bila tidak dapat ditegakkan di fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan darah lengkap dan faeces
darah samar
2. Sarung tangan
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang,
ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya.
Referensi
1. Abdullah. Murdani, Sudoyo. Aru, W. dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Dep.
IPD. FKUI.2007. (Sudoyo, et al., 2006)
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004.Hal 234.
(Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM, 2004)
-154-
10. HEMOROID GRADE 1-2
Masalah Kesehatan
Hemoroid adalah pelebaran vena-vena didalam pleksus hemoroidalis.
Diagnosis Banding
Kondiloma Akuminata, Proktitis, Rektal prolaps
Komplikasi
Anemia
Peralatan
Sarung tangan
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam
-157-
Referensi
1. Thornton, Scott. Giebel, John. Hemorrhoids. Emedicine. Medscape.
Update 12 September 2012. (Thornton & Giebel, 2012)
2. Chong, PS & Bartolo, D.C.C. Hemorrhoids and Fissure in Ano.
Gastroenterology Clinics of North America. 2008.
11. HEPATITIS A
Masalah Kesehatan
Hepatitis A adalah infeksi akut di liver yang disebabkan oleh hepatitis
A virus (HAV), sebuah virus RNA yang disebarkan melalui rute fekal
oral. Lebih dari 75% orang dewasa simtomatik, sedangkan pada anak
<6 tahun 70% asimtomatik. Kurang dari 1% penderita hepatitis A
dewasa berkembang menjadi hepatitis A fulminan.
Peralatan
Laboratorium darah rutin, urin rutin dan pemeriksaan fungsi hati
Prognosis
Prognosis umumnya adalah bonam.
Referensi
1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral Hepatitis. In:
Braunwald, E. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine,
16thEd.New York: McGraw-Hill. 2004.
2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis delta virus. In: Disease
of Liver and Biliary System. Blackwell Publishing Company. 2002:
p.285-96. (Sherlock, 2002)
3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke
4. Jakarta: FK UI. 2006: Hal 429-33.
4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal 435-9.
5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004:Hal15-17.
12. HEPATITIS B
Masalah Kesehatan
Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk melalui darah
ataupun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi. Virus ini
tersebar luas di seluruh dunia dengan angka kejadian yang berbeda-
beda. Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi
berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga
-160-
termasuk dalam kelompok negara dengan endemisitas sedang sampai
tinggi.
Infeksi hepatitis B dapat berupa keadaan yang akut dengan gejala
yang berlangsung kurang dari 6 bulan. Apabila perjalanan penyakit
berlangsung lebih dari 6 bulan maka kita sebut sebagai hepatitis
kronik (5%). Hepatitis B kronik dapat berkembang menjadi sirosis
hepatis, 10% dari penderita sirosis hepatis akan berkembang
menjadihepatoma.
PenegakanDiagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding
Perlemakan hati, penyakit hati oleh karena obat atau toksin, hepatitis
autoimun, hepatitis alkoholik, obstruksi akut traktus biliaris
Komplikasi
Sirosis hepar, Hepatoma
Peralatan
Laboratorium darah rutin, urin rutin dan pemeriksaan fungsi hati
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang,
ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya. Pada umumnya,
prognosis pada hepatitis B adalah dubia, untuk fungtionam dan
sanationamdubia ad malam.
Referensi
1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral Hepatitis. In:
Braunwald, E. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th
Ed. McGraw-Hill. New York. 2004.
2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis delta virus. In: Disease
of Liver and Biliary System. Blackwell Publishing Company. 2002:
p.285-96.
3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke
4. Jakarta: FK UI. 2006: Hal 429-33.
4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:Hal 435-9.
5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17.
-163-
13. KOLESISTITIS
Masalah Kesehatan
Kolesistitis adalah reaksi inflamasi akut atau kronisdinding kandung
empedu. Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis
adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding
kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu
kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang
menyebabkan stasis cairan empedu.
Kolesistitis kronik
1. Gangguan pencernaan menahun
2. Serangan berulang namun tidak mencolok.
3. Mual, muntah dan tidak tahan makanan berlemak
4. Nyeri perut yang tidak jelas disertai dengan sendawa.
Faktor Risiko
1. Wanita
2. Usia >40 tahun
3. Sering mengkonsumsi makanan berlemak
4. Adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya.
-164-
Hasil Pemeriksaan dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Ikterik bila penyebab adanya batu di saluran empedu
ekstrahepatik
2. Teraba massa kandung empedu
3. Nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal, tanda Murphy
positif
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah menunjukkan adanya leukositosis
Peralatan
Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam, tergantung komplikasi dan
beratnya penyakit.
Referensi
1. Soewondo, P. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006: Hal 1900-2.
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004: Hal 240.
Masalah Kesehatan
Apendisitis akut adalah radang yang timbul secara mendadak pada
apendik, merupakan salahsatu kasus akut abdomen yang paling
sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera dapat menyebabkan
perforasi.
Penyebab:
-166-
1. Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan apendisitis
akut
2. Erosi mukosa usus karena parasit Entamoeba hystolitica dan
benda asing lainnya
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah epigastrium kemudian
menjalar ke Mc Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam)
penderita dapat menunjukkan letak nyeri karena bersifat somatik.
Gejala Klinis
1. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi nervus vagus.
2. Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam
sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul
saat permulaan.
3. Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan
vesika urinaria.
4. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita
mengalami diare, timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal
yang merangsang daerah rektum.
5. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu
antara 37,50C - 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah
terjadi perforasi.
6. Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri
somatik yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang
dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah
akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks retrosekal
akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal
akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks
retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena
iritasi pada arteri spermatika dan ureter.
Palpasi
Terdapat nyeri tekan McBurney
1. Adanya rebound tenderness (nyeri lepas tekan)
2. Adanya defans muscular
3. Rovsing sign positif
4. Psoas signpositif
5. Obturator Signpositif
Perkusi
Nyeri ketok (+)
Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena
peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Colok dubur
Nyeri tekan pada jam 9-12
Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
1. Nyeri seluruh abdomen
2. Pekak hati hilang
3. Bising usus hilang
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah perifer lengkap
-168-
a. Pada apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai
leukosit dan neutrofil akan meningkat.
b. Pada anak ditemuka lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan
pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran ke kiri
hampir 75%.
c. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya
sudah terjadi perforasi dan peritonitis.
d. Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi
dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri
abdomen.
e. Pengukuran kadar HCG bila dicurigai kehamilan ektopik
pada wanita usia subur.
2. Foto polos abdomen
a. Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak
banyak membantu..
b. Pada peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka
usus pada bagian kanan bawah akan kolaps.
c. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak
pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara.
d. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain.
e. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan
menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke
kanan.
f. Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak
akan tampak udara bebas di bawah diafragma.
g. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-
kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada
posisi berdiri/LLD (dekubitus), kalsifikasi bercak rim-like
(melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari
appendik.
Komplikasi
1. Perforasi apendiks
2. Peritonitis umum
3. Sepsis
Kriteria Rujukan
Pasien yang telah terdiagnosis harus dirujuk ke layanan sekunder
untuk dilakukan operasi cito.
Peralatan
Labotorium untuk pemeriksaan darah perifer lengkap
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam tetapi bergantung tatalaksana dan
kondisi pasien.
Referensi
1. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks,
Kolon, dan Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2.
EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.
-170-
2. Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. (Seymour, 2000).
15. PERITONITIS
Masalah Kesehatan
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum. Peritonitis dapat
disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan
penyulitnya misalnya perforasi apendisitis, perforasi tukak lambung,
perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh
karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.
Prognosis
Prognosis untuk peritonitis adalah dubia ad malam.
Referensi
1. Wim de jong. Sjamsuhidayat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.
Jakarta: EGC. 2011.
2. Schwartz. Shires. Spencer. Peritonitis dan Abses Intraabdomen
dalam Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC.
2000.
3. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I. Abdomen Akut, dalam
Radiologi Diagnostik. Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et al.,
1999)
4. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa abdominal dalam IlmuBedah.
Ed7.Alih bahasa dr. Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC. 2000.
(Shrock, 2000)
16. PAROTITIS
Masalah Kesehatan
Parotitis adalah peradangan pada kelenjar parotis. Parotitis dapat
disebabkan oleh infeksi virus, infeksi bakteri, atau kelainan
autoimun, dengan derajat kelainan yang bervariasi dari ringan hingga
berat. Salah satu infeksi virus pada kelenjar parotis, yaitu parotitis
mumps (gondongan) sering ditemui pada layanan tingkat pertama dan
berpotensi menimbulkan epidemi di komunitas. Dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat berperan menanggulangi
parotitis mumps dengan melakukan diagnosis dan tatalaksana yang
adekuat serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap
imunisasi, khususnya MMR.
-173-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Parotitis mumps
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
b. Bengkak berlangsung tiba-tiba
c. Rasa nyeri pada area yang bengkak
d. Onset akut, biasanya < 7 hari
e. Gejala konstitusional: malaise, anoreksia, demam
f. Biasanya bilateral, namun dapat pula unilateral
2. Parotitis bakterial akut
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
b. Bengkak berlangsung progresif
c. Onset akut, biasanya < 7 hari
d. Demam
e. Rasa nyeri saat mengunyah
3. Parotitis HIV
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
b. Tidak disertai rasa nyeri
c. Dapat pula bersifat asimtomatik
4. Parotitis tuberkulosis
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
b. Onset kronik
c. Tidak disertai rasa nyeri
d. Disertai gejala-gejala tuberkulosis lainnya
e. Parotitis autoimun (Sjogren syndrome)
f. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang
bawah
g. Onset kronik atau rekurens
h. Tidak disertai rasa nyeri
i. Dapat unilateral atau bilateral
j. Gejala-gejala Sjogren syndrome, misalnya mulut kering, mata
kering
k. Penyebab parotitis lain telah disingkirkan
Faktor Risiko
1. Anak berusia 2–12 tahun merupakan kelompok tersering
menderita parotitis mumps
-174-
2. Belum diimunisasi MMR
3. Pada kasus parotitis mumps, terdapat riwayat adanya penderita
yang sama sebelumnya di sekitar pasien
4. Kondisi imunodefisiensi
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Peralatan
1. Termometer
2. Kaca mulut
Referensi
Fox, P. C. & Ship, J. A., 2008. Salivary Gland Diseases. Dalam: M.
Greenberg, M. Glick & J. A. Ship, penyunt. Burket's Oral Medicine.
Hamilton: BC Decker Inc, pp. 191-222. (Fox & Ship, 2008)
Masalah Kesehatan
Askariasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infestasi
parasit Ascaris lumbricoides.
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak.
Frekuensinya antara 60-90%. Diperkirakan lebih dari 1 milyar orang
di dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides.
-177-
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, pucat, berat badan
menurun, mual, muntah.
Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing
dewasa dan migrasi larva.
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat larva berada
diparu. Pada orang yang rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding
alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk,
demam, dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang
menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindroma
Loeffler.
Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan, dan
sangat tergantung dari banyaknya cacing yang menginfeksi di usus.
Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan
seperti mual, nafsu makan berkurang, diare, atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi
sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Gejala klinis yang paling
menonjol adalah rasa tidak enak di perut, kolik akut pada daerah
epigastrium, gangguan selera makan, mencret. Ini biasanya terjadi
pada saat proses peradangan pada dinding usus. Pada anak kejadian
ini bisa diikuti demam. Komplikasi yang ditakuti (berbahaya) adalah
bila cacing dewasa menjalar ketempat lain (migrasi) dan menimbulkan
gejala akut. Pada keadaan infeksi yang berat, paling ditakuti bila
terjadi muntah cacing, yang akan dapat menimbulkan komplikasi
penyumbatan saluran nafas oleh cacing dewasa. Pada keadaan lain
dapat terjadi ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh massa
cacing, ataupun apendisitis sebagai akibat masuknya cacing ke dalam
lumen apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla Vateri ataupun
saluran empedu dan terkadang masuk ke jaringan hati.
Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing
menjadi dewasa di dalam usus halus, yang mana hasil metabolisme
cacing dapat menimbulkan fenomena sensitisasi seperti urtikaria,
asma bronkhial, konjungtivitis akut, fotofobia dan terkadang
hematuria. Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dengan
Ascaris lumbricoides, tetapi hal ini tidak menggambarkan beratnya
-178-
penyakit, tetapi lebih banyak menggambarkan proses sensitisasi dan
eosinofilia ini tidak patognomonis untuk infeksi Ascaris lumbricoides.
Faktor Risiko
1. Kebiasaan tidak mencuci tangan.
2. Kurangnya penggunaan jamban.
3. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk.
4. Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga dihinggapi lalat yang
membawa telur cacing
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini adalah dengan melakukan
pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja
memastikan diagnosis Askariasis.
Peralatan
Peralatan laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan
spesimen tinja.
-180-
Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah bonam, karena jarang menimbulkan
kondisi yang berat secara klinis.
Refensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
(Gandahusada, 2000)
2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed by staff and experts
from the cluster on Communicable Diseases (CDS) and Water,
Sanitation and Health unit (WSH), World Health Organization
(WHO).
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.
Masalah Kesehatan
Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
infestasi parasit Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Di
Indonesia infeksi oleh N. americanus lebih sering dijumpai
dibandingkan infeksi oleh A.duodenale. Hospes parasit ini adalah
manusia, cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis.
Diperkirakan sekitar 576 – 740 juta orang di dunia terinfeksi dengan
cacing tambang. Di Indonesia insiden tertinggi ditemukan terutama
didaerah pedesaan khususnya perkebunan. Seringkali golongan
pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah,
mendapat infeksi lebih dari 70%. Dari suatu penelitian diperoleh
bahwa separuh dari anak-anak yang telah terinfeksi sebelum usia 5
tahun, 90% terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas infeksi meningkat
sampai usia 6-7 tahun dan kemudian stabil.
-181-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Migrasi larva
1. Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik dapat terikut masuk
pada saat larva menembus kulit, menimbulkan rasa gatal pada
kulit (ground itch). Creeping eruption (cutaneous larva migrans),
umumnya disebabkan larva cacing tambang yang berasal dari
hewan seperti kucing ataupun anjing, tetapi kadang-kadang dapat
disebabkan oleh larva Necator americanus ataupun Ancylostoma
duodenale.
2. Sewaktu larva melewati paru, dapat terjadi pneumonitis, tetapi
tidak sesering oleh larva Ascaris lumbricoides.
Cacing dewasa
Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga bagian atas usus halus
dan melekat pada mukosa usus. Gejala klinis yang sering terjadi
tergantung pada berat ringannya infeksi; makin berat infeksi
manifestasi klinis yang terjadi semakin mencolok seperti :
1. Gangguan gastro-intestinal yaitu anoreksia, mual, muntah, diare,
penurunan berat badan, nyeri pada daerah sekitar duodenum,
jejunum dan ileum.
2. Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya dijumpai anemia
hipokromik mikrositik.
3. Pada anak, dijumpai adanya korelasi positif antara infeksi sedang
dan berat dengan tingkat kecerdasan anak.
Bila penyakit berlangsung kronis, akan timbul gejala anemia,
hipoalbuminemiadan edema. Hemoglobin kurang dari 5 g/dL
dihubungkan dengan gagal jantung dan kematian yang tiba-tiba.
Patogenesis anemia pada infeksi cacaing tambang tergantung pada 3
faktor yaitu:
1. Kandungan besi dalam makanan
2. Status cadangan besi dalam tubuh pasien
3. Intensitas dan lamanya infeksi
Faktor Risiko
1. Kurangnya penggunaan jamban keluarga
2. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk
3. Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah
4. Perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang.
-182-
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Gejala dan tanda klinis infestasi cacing tambang bergantung pada
jenis spesies cacing, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita.
Pemeriksaan Fisik
1. Konjungtiva pucat
2. Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila banyak larva yang
menembus kulit, disebut sebagai ground itch.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopik pada tinja segar ditemukan telur atau larva
atau cacing dewasa.
Kriteria Rujukan: -
Peralatan
1. Peralatan laboratorium mikroskopis sederhana untuk pemeriksaan
spesimen tinja.
2. Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin.
Prognosis
Penyakit ini umumnya memiliki prognosis bonam, jarang
menimbulkan kondisi klinis yang berat, kecuali terjadi perdarahan
dalam waktu yang lama sehingga terjadi anemia.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
(Gandahusada, 2000)
2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed by staff and experts
from the cluster on Communicable Diseases (CDS) and Water,
Sanitation and Health unit (WSH), World Health Organization
(WHO).
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.
-184-
19. SKISTOSOMIASIS
Masalah Kesehatan
Skistosoma adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang
disebabkan oleh cacing trematoda dari genus schistosoma (blood
fluke). Terdapat tiga spesies cacing trematoda utama yang menjadi
penyebab skistosomiasis yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma
haematobium dan Schistosoma mansoni. Spesies yang kurang dikenal
yaitu Schistosoma mekongi dan Schistosoma intercalatum. Di
Indonesia spesies yang paling sering ditemukan adalah Schistosoma
japonicum khususnya di daerah lembah Napu dan sekitar danau
Lindu di Sulawesi Tengah. Untuk menginfeksi manusia, Schistosoma
memerlukan keong sebagai intermediate host. Penularan Schistosoma
terjadi melalui serkaria yang berkembang dari host dan menembus
kulit pasien dalam air. Skistosomiasis terjadi karena reaksi
imunologis terhadap telur cacing yang terperangkap dalam jaringan.
Prevalensi Schistosomiasis di lembah Napu dan danau Lindu berkisar
17% hingga 37%.
Faktor Risiko:
Orang-orang yang tinggal atau datang berkunjung ke daerah endemik
di sekitar lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah dan mempunyai
kebiasaan terpajan dengan air, baik di sawah maupun danau di
wilayah tersebut.
Kriteria Rujukan
Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis (kronis) disertai
komplikasi.
-187-
Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan tinja dan
sedimen urin (pada S.haematobium).
Prognosis
Pada skistosomiasis akut, prognosis adalah dubia ad bonam,
sedangkan yang kronis, prognosis menjadi dubia ad malam.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Schistosomiasis. July
25, 2013. http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center
for Disease and Control, 2013)
3. World Health Organization. Schistosomiasis. July 25, 2013.
http://www.who.int/topics/shcistosomiasis/end (World Health
Organization, 2013)
4. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., Zinkernagel, R.M. 2005.
Schistosoma in Medical Microbiology. Germany. Thieme. Stutgart.
(Kayser, et al., 2005)
5. Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di
Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1. (Sudomo &
Pretty, 2007)
6. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.
20. TAENIASIS
Masalah Kesehatan
Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan oleh
cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata,
Taenia solium, dan Taenia asiatica) pada manusia.
-188-
Taenia saginata adalah cacing yang sering ditemukan di negara yang
penduduknya banyak makan daging sapi/kerbau. Infeksi lebih
mudah terjadi bila cara memasak daging setengah matang.
Taenia solium adalah cacing pita yang ditemukan di daging babi.
Penyakit ini ditemukan pada orang yang biasa memakan daging babi
khususnya yang diolah tidak matang. Ternak babi yang tidak
dipelihara kebersihannya, dapat berperan penting dalam penularan
cacing Taenia solium. Untuk T. solium terdapat komplikasi berbahaya
yakni sistiserkosis. Sistiserkosis adalah kista T.solium yang bisa
ditemukan di seluruh organ, namun yang paling berbahaya jika
terjadi di otak.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik dengan menemukan telur
dalam spesimen tinja segar.
2. Secara makroskopik dengan menemukan proglotid pada tinja.
3. Pemeriksaan laboratorium darah tepi: dapat ditemukan
eosinofilia, leukositosis, LED meningkat.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding:-
Komplikasi: Sistiserkosis
Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah dan
feses.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam kecuali jika terdapat komplikasi
berupa sistiserkosis yang dapat mengakibatkan kematian.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 424 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengendalian Kecacingan.
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.
21. STRONGILOIDIASIS
Masalah Kesehatan
Strongiloidiasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh
Strongyloides stercoralis, cacing yang biasanya hidup di kawasan
tropik dan subtropik. Sekitar 100 juta orang diperkirakan terkena
penyakit ini di seluruh dunia. Infeksi cacing ini bisa menjadi sangat
berat dan berbahaya pada mereka yang dengan status imun menurun
seperti pada pasien HIV/AIDS, transplantasi organ serta pada pasien
yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka panjang.
-191-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada infestasi ringan Strongyloides pada umumnya tidak
menimbulkan gejala khas.
Gejala klinis
1. Rasa gatal pada kulit
2. Pada infeksi sedang dapat menimbulkan gejala seperti ditusuk-
tusuk di daerah epigastrium dan tidak menjalar
3. Mual, muntah
4. Diare dan konstipasi saling bergantian
Faktor Risiko
1. Kurangnya penggunaan jamban.
2. Tanah yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung larva
Strongyloides stercoralis.
3. Penggunaan tinja sebagai pupuk.
4. Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik: menemukan larva
rabditiform dalam tinja segar, atau menemukan cacing dewasa
Strongyloides stercoralis.
2. Pemeriksaan laboratorium darah: dapat ditemukan eosinofilia
atau hipereosinofilia, walaupun pada banyak kasus jumlah sel
eosinofilia normal.
-192-
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan ditemukannya larva atau cacing dalam tinja.
Diagnosis Banding: -
Komplikasi: -
Kriteria Rujukan: -
Pasien strongyloidiasis dengan keadaan imunokompromais seperti
penderita AIDS
-193-
Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah dan
feses.
Prognosis
Pada umumnya prognosis penyakit ini adalah bonam, karena jarang
menimbulkan kondisi klinis yang berat.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga.
Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Ganesh S, Cruz RJ. Review Strongyloidiasis: a multifaceted
diseases. Gastroenetrology & hepatology 2011;7:194-6. (Ganesh &
Cruz, 2011)
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.
D. MATA
Masalah Kesehatan
Mata kering adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan
konjungtiva yang diakibatkan berkurangnya produksi komponen air
mata (musin, akueous, dan lipid). Mata kering merupakan salah satu
gangguan yang sering pada mata dengan insiden sekitar 10-30% dari
populasi dan terutama dialami oleh wanita berusia lebih dari 40
tahun. Penyebab lain adalah meningkatnya evaporasi air mata akibat
faktor lingkungan rumah, kantor atau akibat lagoftalmus.
-194-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan mata terasa gatal dan seperti berpasir.
Keluhan dapat disertai sensasi terbakar, merah, perih dan silau.
Pasien seringkali menyadari bahwa gejala terasa makin berat di akhir
hari (sore/malam).
Faktor Risiko
1. Usia > 40 tahun
2. Menopause
3. Penyakit sistemik, seperti: sindrom Sjogren, sklerosis sistemik
progresif, sarkoidosis, leukemia, limfoma, amiloidosis, dan
hemokromatosis
4. Penggunaan lensa kontak
5. Penggunaan komputer dalam waktu lama
Pemeriksaan Fisik
1. Visus normal
2. Terdapat foamy tears pada konjungtiva forniks
3. Penilaian produksi air mata dengan tes Schirmer menunjukkan
hasil <10 mm (nilai normal ≥20 mm).
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Tes Schirmer bila diperlukan
-195-
Komplikasi
1. Keratitis
2. Penipisan kornea
3. Infeksi sekunder oleh bakteri
4. Neovaskularisasi kornea
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
Pemberian air mata buatan, yaitu tetes mata karboksimetilselulosa
atau sodium hialuronat.
Kriteria Rujukan
Dilakukan rujukan ke spesialis mata jika keluhan tidak berkurang
setelah terapi atau timbul komplikasi.
Peralatan
1. Lup
2. Strip Schirmer (kertas saring Whatman No. 41)
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T. D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami. 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo &
Simanjuntak, 2006)
2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.Jakarta:Erlangga.
2005. (Brus, 2005)
-196-
3. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009. (Riordan & Whitcher, 2009)
4. Sastrawan, D. dkk. Standar Pelayanan Medis Mata.Palembang:
Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP M. Hoesin. 2007.
(Sastrawan, 2007)
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V.Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008. (Ilyas, 2008)
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I.Jakarta:
Widya Medika. 2000. (Vaughn, 2000)
7. Sumber Gambar:http://www.thevisioncareinstitute.co.uk/library/
2. BUTA SENJA
Masalah Kesehatan
Buta senja atau rabun senja, disebut juga nyctalopia atau
hemarolopia, adalah ketidakmampuan untuk melihat dengan baik
pada malam hari atau pada keadaan gelap. Kondisi ini lebih
merupakan tanda dari suatu kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi
akibat kelainan pada sel batang retina yang berperan pada
penglihatan gelap. Penyebab buta senja adalah defisiensi vitamin A
dan retinitis pigmentosa.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.
Peralatan
1. Lup
2. Oftalmoskop
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia Ad bonam
3. Ad sanasionam : Bonam
Referensi
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short
textbook. 2nd Ed. New York: Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et
al., 2007)
-198-
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami. 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.Jakarta: Erlangga.
2005.
4. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Ed.17.Jakarta: EGC. 2009.
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I.Jakarta:
Widya Medika. 2000.
3. HORDEOLUM
Masalah Kesehatan
Hordeolum adalah peradangan supuratif kelenjar kelopak mata.
Biasanya merupakan infeksi Staphylococcus pada kelenjar sebasea
kelopak. Dikenal dua bentuk hordeolum internum dan eksternum.
Hordeolum eksternum merupakan infeksi pada kelenjar Zeiss atau
Moll. Hordeolum internum merupakan infeksi kelenjar Meibom yang
terletak di dalam tarsus. Hordeolum mudah timbul pada individu
yang menderita blefaritis dan konjungtivitis menahun.
Komplikasi
1. Selulitis palpebra
2. Abses palpebra
Peralatan
Peralatan bedah minor
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC. 2009.
3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta:Balai
Penerbit FK UI. 2008.
4. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
-201-
4. KONJUNGTIVITIS
Konjungtivitis infeksi
No. ICPC-2 : F70 Conjunctivitis infectious
No. ICD-10 : H10.9 Conjunctivitis, unspecified
Konjungtivitis alergi
No. ICPC-2 : F71 Conjunctivitis allergic
No ICD-10 : H10.1 Acute atopic conjunctivitis
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Konjungtivitis adalah radang konjungtiva yang dapat disebabkan oleh
mikroorganisme (virus, bakteri), iritasi, atau reaksi alergi.
Konjungtivitis ditularkan melalui kontak langsung dengan sumber
infeksi. Penyakit ini dapat menyerang semua umur.
Pemeriksaan Fisik
1. Visus normal
2. Injeksi konjungtival
3. Dapat disertai edema kelopak, kemosis
4. Eksudasi; eksudat dapat serous, mukopurulen, atau purulen
tergantung penyebab
5. Pada konjungtiva tarsal dapat ditemukan folikel, papil atau papil
raksasa, flikten, membrane, atau pseudomembran.
-202-
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Klasifikasi Konjungtivitis
1. Konjungtivitis bakterial: Konjungtiva hiperemis, sekret purulen
atau mukopurulen dapat disertai membran atau pseudomembran
di konjungtiva tarsal. Curigai konjungtivitis gonore, terutama pada
bayi baru lahir, jika ditemukan konjungtivitis pada dua mata
dengan sekret purulen yang sangat banyak.
2. Konjungtivitis viral: Konjungtiva hiperemis, sekret umumnya
mukoserosa, dan pembesaran kelenjar preaurikular
3. Konjungtivitis alergi: Konjungtiva hiperemis, riwayat atopi atau
alergi, dan keluhan gatal.
Komplikasi
Keratokonjuntivitis
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
Pemberian obat mata topikal
-203-
1. Pada infeksi bakteri: Kloramfenikol tetes sebanyak 1 tetes 6 kali
sehari atau salep mata 3 kali sehari selama 3 hari.
2. Pada alergi: Flumetolon tetes mata dua kali sehari selama 2
minggu.
3. Pada konjungtivitis gonore: Kloramfenikol tetes mata 0,5-
1%sebanyak 1 tetes tiap jam dan suntikan pada bayi diberikan
50.000 U/kgBB tiap hari sampai tidak ditemukan kuman GO
pada sediaan apus selama 3 hari berturut-turut.
4. Pada konjungtivitis viral: Salep Acyclovir 3%, 5 kali sehari selama
10 hari.
Kriteria rujukan
1. Jika terjadi komplikasi pada kornea
2. Bila tidak ada respon perbaikan terhadap pengobatan yang
diberikan
Peralatan
1. Lup
2. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Gram
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
-204-
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. James,Brus.dkk.Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta.
2005
3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.
4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V.Jakarta:Balai
Penerbit FK UI. 2008.
5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I.Jakarta:Widya
Medika. 2000.
6. http://www.advancedvisioncare.co.uk/wpcontent/uploads/2013/
09/conjunctivitis0.jpg,
5. BLEFARITIS
Masalah Kesehatan
Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak mata (margo palpebra)
yang dapat disertai terbentuknya ulkus dan dapat melibatkan folikel
rambut.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
Kriteria Rujukan
Pasien dengan blefaritis perlu dirujuk ke layanan sekunder (dokter
spesialis mata) bila terdapat minimal satu dari kelainan di bawah ini:
1. Tajam penglihatan menurun
2. Nyeri sedang atau berat
3. Kemerahan yang berat atau kronis
4. Terdapat keterlibatan kornea
5. Episode rekuren
6. Tidak respon terhadap terapi
Peralatan
1. Senter
2. Lup
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.
3. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
4. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
-207-
6. PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA
Masalah Kesehatan
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat ruptur
pembuluh darah dibawah lapisan konjungtiva yaitu pembuluh darah
konjungtivalis atau episklera. Sebagian besar kasus perdarahan
subkonjungtiva merupakan kasus spontan atau idiopatik, dan hanya
sebagian kecil kasus yang terkait dengan trauma atau kelainan
sistemik. Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua
kelompok umur. Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi
unilateral (90%).
Faktor Risiko
1. Hipertensi atau arterosklerosis
2. Trauma tumpul atau tajam
3. Penggunaan obat, terutama pengencer darah
4. Manuver valsava, misalnya akibat batuk atau muntah
5. Anemia
6. Benda asing
7. Konjungtivitis
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
1. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-
2 minggu tanpa diobati.
2. Pengobatan penyakit yang mendasari bila ada.
Peralatan
1. Snellen chart
-209-
2. Oftalmoskop
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta.
2005.
3. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.
4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
5. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
Masalah Kesehatan
Benda asing di konjungtiva adalah benda yang dalam keadaan normal
tidak dijumpai di konjungtiva dandapat menyebabkan iritasi jaringan.
Pada umumnya kelainan ini bersifat ringan, namun pada beberapa
keadaan dapat berakibat serius terutama pada benda asing yang
bersifat asam atau basa dan bila timbul infeksi sekunder.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis banding
Konjungtivitis akut
Komplikasi
1. Ulkus kornea
2. Keratitis
Kriteria Rujukan
1. Bila terjadi penurunan visus
2. Bila benda asing tidak dapat dikeluarkan, misal: karena
keterbatasan fasilitas
Peralatan
1. Lup
2. Lidi kapas
3. Jarum suntik 23G
4. Tetes mata Tetrakain HCl 0,5%
5. Povidon Iodin
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
-212-
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
8. ASTIGMATISME
Masalah Kesehatan
Astigmatisme adalah keadaan di mana sinar sejajar tidak dibiaskan
pada satu titik fokus yang sama pada semua meridian. Hal ini
disebabkan oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak sama
pada berbagai meridian.
Diagnosis Banding
Kelainan refraksi lainnya.
-213-
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Penggunaan kacamata lensa silindris dengan koreksi yang sesuai.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Tidak diperlukan.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga bahwa astigmatisma merupakan gangguan
penglihatan yang dapat dikoreksi.
Kriteria Rujukan
Pasien perlu dirujuk ke layanan sekunder bila:
1. koreksi dengan kacamata tidak memperbaiki visus, atau
2. ukuran lensa tidak dapat ditentukan (misalnya astigmatisme
berat).
Peralatan
1. Snellen Chart
2. Satu set lensa coba (trial frame dan trial lenses)
3. Pinhole
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short
textbook. 2nd Ed. New York. Thieme Stuttgart. 2007.
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
3. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta.
2005.
4. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
-214-
9. HIPERMETROPIA
Masalah Kesehatan
Hipermetropia (rabun dekat) merupakan keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup kuat
dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Kelainan
ini menyebar merata di berbagai geografis, etnis, usia dan jenis
kelamin.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang menghasilkan tajam
penglihatan terbaik.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga jika penyakit ini harus dikoreksi dengan
bantuan kaca mata. Karena jika tidak, maka mata akan
berakomodasi terus menerus dan menyebabkan komplikasi.
Kriteria rujukan
Rujukan dilakukan jika timbul komplikasi.
Peralatan
1. Snellen chart
2. Satu set trial frame dan trial frame
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta:Balai
Penerbit FK UI. 2008.
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000
-216-
10. MIOPIA RINGAN
Masalah Kesehatan
Miopia ringan adalah kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang
masuk ke mata dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan
dibiaskan ke titik fokus di depan retina.
Kriteria rujukan
1. Kelainan refraksi yang progresif
2. Kelainan refraksi yang tidak maju dengan koreksi atau tidak
ditemukan ukuran lensa yang memberikan perbaikan visus
3. Kelainan yang tidak maju dengan pinhole.
Peralatan
1. Snellen char
2. Satu set lensa coba dan trial frame
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Grosvenor,T. Primary Care Optometry. 2nd Ed. New York: Fairchild
Publication. 1989. (Grosvenor, 1989)
3. Casser, L. Atlas of Primary Eyecare Procedures. 2ndEd. Stamfort
Connecticut: Appleton&Lange. 1997. (Casser, 1997)
4. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta:Balai
Penerbit FK UI. 2008. (Ilyas, 2008)
5. Soewono, W. Kuliah ilmu penyakit mata. RSUD Dr.Soetomo.
Surabaya. 1999. (Soewono, 1999)
6. RSUD Dr.Soetomo. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu
Penyakit Mata. 3rd Ed. 2006 (Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD
Dr. Soetomo, 2006)
7. Pan C-W, Ramamurthy D & Saw S-M. Worldwide prevalence and
risk factors for myopia. Ophthalmic Physiol Opt 2012, 32, 3–16.
(Pan, et al., 2012)
-218-
11. PRESBIOPIA
Masalah Kesehatan
Presbiopia adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan usia
dimana penglihatan kabur ketika melihat objek berjarak dekat.
Presbiopia merupakan proses degeneratif mata yang pada umumnya
dimulai sekitar usia 40 tahun. Kelainan ini terjadi karena lensa mata
mengalami kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk berubah
bentuk.
Faktor Risiko
Usia lanjut umumnya lebih dari 40 tahun.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
-219-
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Peralatan
1. Kartu Jaeger
2. Snellen Chart
3. Satu set lensa coba dan trial frame
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
-220-
Referensi
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short
textbook. 2nd Ed. New York. Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et
al., 2007)
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo &
Simanjuntak, 2006)
3. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta.
2005.
4. Riordan. Paul, E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009.
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
Masalah Kesehatan
Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang menyebabkan penurunan
tajam penglihatan (visus). Katarak paling sering berkaitan dengan
proses degenerasi lensa pada pasien usia di atas 40 tahun (katarak
senilis). Selain katarak senilis, katarak juga dapat terjadi akibat
komplikasi glaukoma, uveitis, trauma mata, serta kelainan sistemik
seperti diabetes mellitus, riwayat pemakaian obat steroid, dan lain-
lain. Katarak biasanya terjadi bilateral, namun dapat juga pada satu
mata (monokular).
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.
Kriteria Rujukan
1. Katarak matur
2. Jika pasien telah mengalami gangguan penglihatan yang
signifikan
3. Jika timbul komplikasi
Peralatan
1. Senter
2. Snellen chart
3. Tonometri Schiotz
4. Oftalmoskop
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia ad bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
Referensi
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short
textbook. 2ndEd. New York: Thieme Stuttgart. 2007.
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed.Jakarta: CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga.
2005.
4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Ed17.Jakarta: EGC. 2009.
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
-223-
13. GLAUKOMA AKUT
Masalah Kesehatan
Glaukoma akut adalah glaukoma yang diakibatkan peninggian
tekanan intraokular yang mendadak. Glaukoma akut dapat bersifat
primer atau sekunder. Glaukoma primer timbul dengan sendirinya
pada orang yang mempunyai bakat bawaan glaukoma, sedangkan
glaukoma sekundertimbul sebagai penyulit penyakit mata lain
ataupun sistemik. Umumnya penderita glaukoma telah berusia lanjut,
terutama bagi yang memiliki risiko. Bila tekanan intraokular yang
mendadak tinggi ini tidak diobati segera akan mengakibatkan
kehilangan penglihatan sampai kebutaan yang permanen.
Faktor Risiko
Bilik mata depan yang dangkal
Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Peralatan
1. Snellen chart
2. Tonometri Schiotz
3. Oftalmoskopi
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia ad malam
3. Ad sanationam : Dubia ad malam
Referensi
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short
textbook. 2ndEd. New York: Thieme Stuttgart. 2007.
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed.Jakarta: CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga.
2005.
4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Ed17.Jakarta: EGC. 2009.
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G.Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
7. Sumber Gambar http://www.studyblue.com
-226-
14. GLAUKOMA KRONIS
Masalah Kesehatan
Glaukoma adalah kelompok penyakit mata yang umumnya ditandai
kerusakan saraf optik dan kehilangan lapang pandang yang bersifat
progresif serta berhubungan dengan berbagai faktor risiko terutama
tekanan intraokular (TIO) yang tinggi. Glaukoma merupakan
penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia setelah katarak.
Kebutaan karena glaukoma tidak bisa disembuhkan, tetapi pada
kebanyakan kasus glaukoma dapat dikendalikan. Umumnya
penderita glaukoma telah berusia lanjut, terutama bagi yang memiliki
risiko. Hampir separuh penderita glaukoma tidak menyadari bahwa
mereka menderita penyakit tersebut.
Faktor Risiko
1. Usia 40 tahun atau lebih
2. Ada anggota keluarga menderita glaukoma
-227-
3. Penderita miopia, penyakit kardiovaskular, hipertensi, hipotensi,
vasospasme, diabetes mellitus, dan migrain
4. Pada glaukoma sekunder, dapat ditemukan riwayat pemakaian
obat steroid secara rutin, atau riwayat trauma pada mata.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Kriteria Rujukan
Pada glaukoma kronik, rujukan dilakukan segera setelah penegakan
diagnosis.
Peralatan
1. Snellen chart
2. Tonometer Schiotz
3. Oftalmoskop
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia ad malam
3. Ad sanationam : Dubia ad malam
Referensi
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short
textbook. 2ndEd. New York: Thieme Stuttgart. 2007.
-229-
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis
Perdami, 1th Ed.Jakarta: CV Ondo. 2006.
3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Erlangga.
2005.
4. Riordan, P.E, Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Ed17.Jakarta: EGC. 2009.
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata, Ed III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
7. Sumber Gambar:http://www.onmedica.com/
15. TRIKIASIS
Masalah Kesehatan
Trikiasis adalah kondisi di mana bulu mata tumbuh mengarah ke
dalam, yaitu ke arah permukaan bola mata, sehingga dapat
menggores kornea atau konjungtiva dan menyebabkan berbagai
komplikasi, seperti nyeri, erosi, infeksi, dan ulkus kornea. Data
mengenai tingkat prevalensi penyakit ini di Indonesia tidak ada.
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama harus
memiliki kompetensi menangani kasus trikiasis karena pasien-pasien
yang mengalami tanda maupun komplikasi dari trikiasis sangat
mungkin mencari pertolongan di layanan tingkat pertama terlebih
dahulu.
Kriteria Rujukan
1. Bila tatalaksana di atas tidak membantu pasien, dapat dilakukan
rujukan ke layanan sekunder
2. Bila telah terjadi penurunan visus
3. Bila telah terjadi kerusakan kornea
4. Bila pasien menghendaki tatalaksana langsung di layanan
sekunder
Peralatan
1. Lampu senter
2. Snellen Chart
3. Pinset untuk epilasi
4. Lup
5. Dapat pula disediakan kertas fluoresein dan larutan NaCl 0.9%
untuk ter fluoresein
6. Lampu biru (bisa berasal lampu biru pada oftalmoskop)
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Malam
Referensi
1. Carter, S.R., 1998. Eyelid Disorders: Diagnosis and Management.
American Family Physician, 57(11), pp.2695–702. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9636333.Ilyas, S., 2005.
2. Ilmu Penyakit Mata 3rd ed., Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
-232-
16. EPISKLERITIS
Masalah Kesehatan
Episkleritis merupakan reaksi radang pada episklera, yaitu jaringan
ikat vaskular yang terletak di antara konjungtiva dan permukaan
sklera. Penyakit ini termasuk dalam kelompok “mata merah dengan
penglihatan normal”. Tidak ada data yang spesifik mengenai tingkat
insiden episkleritis di Indonesia. Episkleritis umumnya terjadi pada
usia 20-50 tahun dan membaik dalam beberapa hari sampai beberapa
minggu. Umumnya, episkleritis bersifat ringan, namun dapat pula
merupakan tanda adanya penyakit sistemik, seperti tuberkulosis,
reumatoid artritis, dan systemic lupus erythematosus (SLE).
(a) (b)
Peralatan
1. Snellen chart
2. Lampu senter
3. Kapas bersih
4. Tetes mata vasokontriktor: Fenil Efrin 2,5%
-235-
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
Referensi
1. Galor, A. & Jeng, B.H., 2008. Red Eye for the Internist: When to
Treat, When to Refer. Cleveland Clinic Journal of Medicine, 75(2),
pp.137–44. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18290357. (Galor & Jeng,
2008)
2. Ilyas, S., 2005. Ilmu Penyakit Mata 3rd ed., Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
3. Sims, J., 2012. Scleritis: Presentations, Disease Associations and
Management. Postgraduate Medical Journal, 88(1046), pp.713–8.
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22977282
[Accessed May 27, 2014]. (Sims, 2012)
4. Watson, P., Hayreh, S. & Awdry, P., 1968. Episcleritis and Scleritis
I. British Journal Ophthalmology, 52, pp.278–279. (Watson, et al.,
1968)
5. Sumber Gambar : http://www.studyblue.com
Masalah Kesehatan
Trauma kimia mata adalah salah satu kasus kedaruratan mata,
umumnya terjadi karena masuknya zat-zat kimia ke jaringan mata
dan adneksa di sekitarnya. Keadaan ini memerlukan penanganan
cepat dan segera oleh karena dapat mengakibatkan kerusakan berat
pada jaringan mata dan menyebabkan kebutaan. Zat kimia penyebab
dapat bersifat asam atau basa. Trauma basa terjadi dua kali lebih
sering dibandingkan trauma asam dan umumnya menyebabkan
kerusakan yang lebih berat pada mata. Selain itu, beratnya
-236-
kerusakan akibat trauma kimia juga ditentukan oleh besarnya area
yang terkena zat kimia serta lamanya pajanan.
Peralatan
1. Lup
2. Senter
3. Lidi kapas
4. Kertas lakmus (jika memungkinkan)
5. Cairan fisiologis untuk irigasi
-238-
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia
Referensi
1. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2008.
2. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and
emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008.
(Ehlers & Shah, 2008)
Masalah Kesehatan
Laserasi kelopak adalah terpotongnya jaringan pada kelopak mata.
Penyebab laserasi kelopak dapat berupa sayatan benda tajam, trauma
tumpul (kecelakaan lalu lintas atau olahraga), maupun gigitan hewan.
Laserasi pada kelopak perlu ditangani segera agar fungsi dan
kosmetik kelopak dapat dipertahankan.
Peralatan
1. Lup
2. Senter
3. Lidi kapas
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : dubia
3. Ad sanationam : dubia
Referensi
1. Karesh JW. The evaluation and management of eyelid trauma.
Dalam : Duane’s Clinical Ophthalmology, Volume 5. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2006. (Karesh, 2006)
2. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and
emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008.
19. HIFEMA
Masalah Kesehatan
Hifema adalah terdapatnya akumulasi darah pada bilik mata depan.
Hifema dapat terjadi akibat trauma atau terjadi spontan. Hifema
dapat disertai dengan abrasi kornea, iritis, midriasis, atau gangguan
struktur lain pada mata akibat trauma penyebabnya. Hifema spontan
jarang ditemui. Hifema spontan dapat menjadi penanda terdapatnya
rubeosis iridis, gangguan koagulasi, penyakit herpes, masalah pada
lensa intraokular (IOL), retinoblastoma, serta leukemia.
-241-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Nyeri pada mata
2. Penglihatan terganggu (bila darah menutupi aksis visual)
3. Fotofobia/silau
Faktor Risiko
1. Hifema akibat trauma sering ditemui pada laki-laki usia muda
2. Hifema spontan disebabkan oleh neovaskularisasi iris (seperti
pada pasien diabetes dan oklusi vena retina), koagulopati, dan
pemakaian antikoagulan
Peralatan
1. Snellen chart
2. Lup
3. Senter
4. Tonometer Schiotz
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000
-243-
2. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and
emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008.
Masalah Kesehatan
Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati yang mengenai
prekapiler retina, kapiler dan venula, sehingga menyebabkan oklusi
mikrovaskuler dan kebocoran vaskuler, akibat kadar gula darah yang
tinggi dan lama. Retinopati diabetik dapat menyebabkan penurunan
visus dan kebutaan, terutama akibat komplikasi seperti edema
makula, perdarahan vitreus, ablasio retina traksional dan glaukoma
neovaskular.
Retinopati diabetik adalah penyebab kebutaan ke 5 terbesar secara
global (WHO, 2007). Setidaknya terdapat 171 juta penduduk dunia
yang menyandang diabetes melitus, yang akan meningkat menjadi
dua kali lipat pada tahun 2030 menjadi 366 million. Setelah 15
tahun, sekitar 2% penyandang diabetes dapat menjadi buta, dan
sekitar 10% mengalami gangguan penglihatan berat. Setelah 20
tahun, retinopati diabetik dapat ditemukan pada 75% lebih
penyandang diabetes.
Terdapat dua tahap retinopati diabetik yaitu non-proliferative diabetic
retinopathy (NPDR) dan proliferative diabetic retinopathy (PDR).
Peralatan
1. Snellen chart
2. Oftalmoskop
3. Tropikamid 1% tetes mata untuk melebarkan pupil
Prognosis
1. Ad vitam : Dubia ad bonam
2. Ad functionam : Dubia ad malam
3. Ad sanationam : Dubia ad malam
Referensi
1. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta:
Widya Medika. 2000.
2. World Health Organization. Global initiative for the elimination of
avoidable blindness. Action Plan 2006–2011 (World Health
Organization, 2012)
3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and
emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008.
-246-
E. TELINGA
1. OTITIS EKSTERNA
Masalah Kesehatan
Otitis eksternaadalah radang pada liang telinga luar. Penyakit ini
banyak ditemukan di layanan kesehatan tingkat pertama sehingga
dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama harus
memiliki kemampuan mendiagnosis dan menatalaksana secara
komprehensif.
Klasifikasi otitis eksterna (OE):
1. OE akut
a. OE akut difus
b. OE akut sirkumskripta, yaitu infeksi folikel rambut yang
menimbulkan furunkel di liang telinga luar.
2. OE kronik
3. OE ekzematoid, yang merupakan manifestasi dari kelainan
dermatologis, seperti dermatitis atopik, psoriasis, atau SLE.
4. OE nekrotikans
Peralatan
1. Lampu kepala
2. Corong telinga
3. Aplikator kapas
4. Otoskop
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku
Ajar, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. (Hafil, et al.,
2007)
2. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler, Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Jakarta: EGC. 1997. (Adam & Boies, 1997)
-249-
3. Sander, R. Otitis Externa: A Practical Guide to Treatment and
Prevention. Am Fam Physician. 2001. Mar 1; 63(5):927-937.
(Sander, 2001)
4. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003. (Lee, 2003)
Masalah Kesehatan
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sebagian atau seluruh
mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel
mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu.
3. Tes penala
Dapat ditemukan tuli konduktif, yaitu: tes Rinne (-) dan tes Schwabach
memendek pada telinga yang sakit, tes Weber terjadi lateralisasi ke
telinga yang sakit.
Pemeriksaan Penunjang
Audiometri nada murni, bila fasilitas tersedia
Kriteria Rujukan
1. Jika terdapat indikasi miringotomi.
2. Bila terjadi komplikasi dari otitis media akut.
Peralatan
1. Lampu kepala
2. Corong telinga
3. Otoskop
4. Aplikator kapas
5. Garputala
6. Suction
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
-253-
2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-
8. McGraw-Hill. 2003.
4. Revai, Krystal et al. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis
Complicating Upper Respiratory Tract Infection: The Effect of Age.
PEDIATRICS Vol. 119 No. 6 June 2007, pp. e1408-e1412.2007.
(Reyai, 2007)
Masalah Kesehatan
Survei Nasional Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran (1993-
1996) di 8 provinsi Indonesia menunjukkan angka morbiditas THT
sebesar 38,6%. Otitis media supuratif kronik merupakan penyebab
utama gangguan pendengaran yang didapat pada anak-anak terutama
pada negara berkembang. Pada tahun 1990, sekitar 28.000
kematiandi seluruh dunia disebabkan oleh komplikasi otitis media.
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah peradangan kronik
telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat
keluarnya sekret dari telinga lebih dari 2 bulan, baik terus menerus
maupun hilang timbul. Terdapat dua tipe OMSK, yaitu OMSK tipe
aman (tanpa kolesteatoma) dan tipe bahaya (dengan kolesteatoma).
Prognosis
1. Ad Vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Acuin J. Chronic suppurative otitis media: Burden of Illness and
Management Options. WHO Library Cataloguing in publication
data. 2004. (J, 2004)
2. Verhoeff M, Van der Veen EL, Rovers MM, Sanders EAM, Schilder
AGM. Chronic suppurative otitis media: A review. International
Journal of Pediatric Otorhinolaryngology (2006) 70, 1-12.
(Verhoeff, et al., 2006)
3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala
Leher. FKUI. 2001
Masalah Kesehatan
Meatus akustikus eksternus (MAE) merupakan salah satu bagian
tubuh yang sering dimasuki benda asing, yang dapat berupa:
-257-
1. Benda asing reaktif, misal: batere, potongan besi. Benda asing
reaktif berbahaya karena dapat bereaksi dengan epitel MAE dan
menyebabkan edema serta obstruksi hingga menimbulkan infeksi
sekunder. Ekstraksi harus segera dilakukan.
2. Benda asing non-reaktif (inert). Benda asing ini tidak bereaksi
dengan epitel dan tetap ada di dalam MAE tanpa menimbulkan
gejala hingga terjadi infeksi.
3. Benda asing serangga, yang dapat menyebabkan iritasi dan nyeri
akibat pergerakannya.
Peralatan
1. Lampu kepala
2. Otoskop
3. Pengait serumen
4. Aplikator kapas
5. Forceps aligator
6. Spuit 20 cc yang telah disambung dengan selang wing needle
7. Suction
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
-259-
Referensi
1. Bernius M, Perlin D. Pediatric Ear, Nose, Throat Emergencies.
Pediatric Clinics of North America 53 (2006) 195-214. (Bernius &
Perlin, 2006)
2. Heim SW, Maughan KL. Foreign Bodies in The Ear, Nose and
Throat. American Family Physician. 2007 Oct 15:76(8):1185-1189.
(Heim & Maughan, 2007)
3. Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in the nose and ear: a review
of technique for removal in the emergency department. Emergency
Medicine Journal.2000;17:91-94. (Davies & Benger, 2000)
4. Sosialisman, Hafil AF, Helmi. Kelainan Telinga Luar. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan THT KL. FKUI. Jakarta.
5. SERUMEN PROP
Masalah Kesehatan
Serumen adalah sekret kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel
kulit yang terlepas, dan partikel debu yang terdapat pada bagian
kartilaginosa liang telinga. Bila serumen ini berlebihan maka dapat
membentuk gumpalan yang menumpuk di liang telinga, dikenal
dengan serumen prop.
Peralatan
1. Lampu kepala
2. Spekulum telinga
3. Otoskop
4. Serumen hook (pengait serumen)
5. Aplikator kapas
6. Kapas
7. Cairan irigasi telinga
8. Forsep aligator
9. Suction
10. Pinset bayonet
11. Wadah ginjal (nierbekken)
12. Irigator telinga (spuit 20 - 50 cc + cateter wing needle)
13. Alkohol 70%
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler,.Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
-262-
F. KARDIOVASKULER
Masalah Kesehatan
Angina pektoris stabil merupakan tanda klinis pertama pada sekitar
50% pasien yang mengalami penyakit jantung koroner. Angina
pektoris dilaporkan terjadi dengan rata-rata kejadian 1,5% tergantung
pada jenis kelamin, umur, dan faktor risiko. Data dari studi
Framingham pada tahun 1970 menunjukkan prevalensi sekitar 1,5%
untuk wanita dan 4,3% untuk pria berusia 50 – 59 tahun.
Peralatan
1. Elektrokardiografi (EKG)
2. Radiologi (X ray thoraks)
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonamjika dilakukan tatalaksana dini
dan tepat.
Referensi
1. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 13 Volume 3. Jakarta: EGC. 2000. (Isselbacher, 2000)
2. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The Heart Manual of
Cardiology.12th Ed. McGraw-Hill. 2009. (O'Rouke, et al., 2009)
3. Priori, S. G., Blanc, J. J., (France), Budaj., A., Camm, J., Dean, V.,
Deckers, J., Dickstein. K., Lekakis, J., McGregor. K., Metra. M.,
Morais. J., Osterspey. A., Tamargo, J., Zamorano, J. L., Guidelines
on the management of stable angina pectoris, 2006, European Heart
Journal doi:10.1093/eurheartj/ehl002 ESC Committee for Practice
Guidelines (CPG). (Priori, et al., 2006)
4. Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi IV. Jakarta: FKUI.2007.c (Sudoyo, et al., 2006)
2. INFARK MIOKARD
Masalah Kesehatan
Infark miokard (IM) adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot
jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kritis antara suplai
oksigen dan kebutuhan miokardium. Umumnya disebabkan ruptur
-268-
plak dan trombus dalam pembuluh darah koroner dan
mengakibatkan kekurangan suplai darah ke miokardium.
Peralatan
1. Tabung oksigen
2. Masker oksigen
3. Elektrokardiografi
Prognosis
Prognosis umumnya dubia, tergantung pada pada tatalaksana dini
dan tepat.
Referensi
1. Panduan Pelayanan Medik, PAPDI, 2009 (Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI RSCM, 2004)
2. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 13 Volume 3. Jakarta: EGC.2000 (Isselbacher, 2000)
3. O’Rouke., Walsh., Fuster. Hurst’s The Heart Manual of
Cardiology.12th Ed.McGrawHill.2009. (Isselbacher, 2000)
4. Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi IV. Jakarta: FKUI.2007. (Sudoyo, et al., 2006)
-271-
3. TAKIKARDIA
Masalah Kesehatan
Takikardi adalah suatu kondisi dimana denyut jantung istirahat
seseorang secara abnormal lebih dari 100 kali per menit. Sedangkan
supraventikular takikardi (SVT) adalah takikardi yang berasal dari
sumber di atas ventrikel (atrium atau AV junction), dengan ciri
gelombang QRS sempit (< 0,12ms) dan frekuensi lebih dari 150 kali
per menit.
Ventrikular Takikardi (VT) adalah takikardi yang berasal dari
ventrikel, dengan ciri gelombang QRS lebar (> 0,12ms) dan frekuensi
biasanya lebih dari 150 kali per menit. VT ini bisa menimbulkan
gangguan hemodinamik yang memerlukan tindakan resusitasi.
Peralatan
1. EKG
2. Bag valve mask
Prognosis
Prognosis dalam kondisi ini umumnya dubia, tergantung dari
penatalaksanaan selanjutnya.
Referensi
Panduan Pelayanan Medik, PAPDI, 2009
-274-
4. GAGAL JANTUNG AKUT DAN KRONIK
Masalah Kesehatan
Gagal jantung (akut dan kronik) merupakan masalah kesehatan yang
menyebabkan penurunan kualitas hidup, tingginya rehospitalisasi
karena kekambuhan yang tinggi dan peningkatan angka kematian.
Prevalensi kasus gagal jantung di komunitas meningkat seiring
dengan meningkatnya usia yaitu berkisar 0,7% (40-45 tahun), 1,3%
(55-64 tahun), dan 8,4% (75 tahun ke atas). Lebih dari 40% pasien
kasus gagal jantung memiliki fraksi ejeksi lebih dari 50%. Pada usia
40 tahun, risiko terjadinya gagal jantung sekitar 21% untuk lelaki dan
20,3% pada perempuan.
Peralatan
1. EKG
2. Radiologi (X ray thoraks)
3. Laboratorium untuk pemeriksaan darah perifer lengkap
Prognosis
Tergantung dari berat ringannya penyakit, komorbid dan respon
pengobatan.
Referensi
1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI. 2009.
2. Usatine, R.P. The Color Atlas Of Family Medicine. 2009. (Usatine,
et al., 2008)
3. Rakel, R.E. Rakel, D.P.Textbook Of Family Medicine.2011. (RE &
Rakel, 2011)
-278-
5. CARDIORESPIRATORY ARREST
Masalah Kesehatan
Cardiorespiratory Arrest (CRA) adalah kondisi kegawatdaruratan
karena berhentinya aktivitas jantung paru secara mendadak yang
mengakibatkan kegagalan sistem sirkulasi. Hal ini disebabkan oleh
malfungsi mekanik jantung paru atau elektrik jantung. Kondisi yang
mendadak dan berat ini mengakibatkan kerusakan organ.
Henti jantung adalah konsekuensi dari aktivitas otot jantung yang
tidak terkoordinasi. Dengan EKG, ditunjukkan dalam bentuk
Ventricular Fibrillation (VF). Satu menit dalam keadaan persisten VF,
aliran darah koroner menurun hingga tidak ada sama sekali. Dalam 4
menit, aliran darah katoris tidak ada sehingga menimbulkan
kerusakan neurologi secara permanen.
Jenis henti jantung
1. Pulseless Electrical Activity (PEA)
2. Takikardia Ventrikel
3. Fibrilasi Ventrikel
4. Asistole
Peralatan
1. Elektrokardiografi (EKG)
2. Tabung oksigen
3. Bag valve mask
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad malam, tergantung pada waktu
dilakukannya penanganan medis.
Referensi
1. Bigatello, L.M. et al. Adult and Pediatric Rescucitation in Critical
Care Handbook of the Massachusetts General Hospital. 4Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p: 255-279.
(Bigatello, 2006)
2. O’Rouke. Walsh. Fuster. Hurst’s The Heart Manual of
Cardiology.12th Ed.McGraw Hill. 2009.
3. Sudoyo, W. Aaru, B.S. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: FKUI. 2007.
6. HIPERTENSI ESENSIAL
Masalah Kesehatan
Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang tidak diketahui
penyababnya. Hipertensi menjadi masalah karena meningkatnya
prevalensi, masih banyak pasien yang belum mendapat pengobatan,
maupun yang telah mendapat terapi tetapi target tekanan darah
belum tercapai serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang
dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
-281-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Mulai dari tidak bergejala sampai dengan bergejala. Keluhan
hipertensi antara lain:
1. Sakit atau nyeri kepala
2. Gelisah
3. Jantung berdebar-debar
4. Pusing
5. Leher kaku
6. Penglihatan kabur
7. Rasa sakit di dada
Keluhan tidak spesifik antara lain tidak nyaman kepala, mudah lelah
dan impotensi.
Faktor Risiko
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Riwayat hipertensi dan penyakit kardiovaskular dalam keluarga.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
1. Riwayat pola makan (konsumsi garam berlebihan)
2. Konsumsi alkohol berlebihan
3. Aktivitas fisik kurang
4. Kebiasaan merokok
5. Obesitas
6. Dislipidemia
7. Diabetus Melitus
8. Psikososial dan stres
Diagnosis Banding
White collar hypertension, Nyeri akibat tekanan intraserebral,
Ensefalitis
Rerata penurunan
Modifikasi Rekomendasi TDS
Penurunan berat Jaga berat badan ideal 5 – 20 mmHg/ 10 kg
badan (BMI: 18,5 - 24,9 kg/m2)
Dietary Diet kaya buah, sayuran, 8 – 14 mmHg
Approaches to produk rendah lemak
Stop Hypertension dengan jumlah lemak total
(DASH) dan lemak jenuh yang
rendah
Pembatasan Kurangi hingga <100 mmol 2 – 8 mmHg
asupan natrium per hari (2.0 g natrium
atau 6.5 g natrium klorida
atau 1 sendok teh garam
perhari)
Aktivitas fisik Aktivitas fisik aerobik yang 4 – 9 mmHg
aerobic teratur (mis: jalan cepat) 30
menit sehari, hampir setiap
hari dalam seminggu
Stop alkohol 2 – 4 mmHg
-284-
KONDISI
MEMBURUK
Tanda syok
Dengan indikasi
khusus
Peralatan
1. Laboratorium untuk melakukan pemeriksaan urinalisis dan
glukosa
2. EKG
3. Radiologi (X ray thoraks)
Prognosis
Prognosis umumnya bonam apabila terkontrol.
Referensi
Direktorat Penyakit Tidak Menular. Buku Pedoman Pengendalian
Hipertensi. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013. (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
-287-
G. MUSKULOSKELETAL
1. FRAKTUR TERBUKA
Masalah Kesehatan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial.
Fraktur terbuka adalah suatu fraktur yang terdapathubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri
dan dapat menimbulkan komplikasi infeksi.
Prognosis
Prognosis quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam, tergantung
pada kecepatan dan ketepatan tindakan yang dilakukan.
Referensi
1. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture. E-medicine. Medscape.
Update 21 May. 2011. (Schaller & Calhoun, 2011)
2. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Terbuka.
Edisi 3. Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334.
(Chairuddin, 2007)
2. FRAKTUR TERTUTUP
MasalahKesehatan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial. Fraktur
tertutup adalah suatu fraktur yang tidak berhubungan dengan
lingkungan luar.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, namun quo ad fungsionam adalah dubia
ad bonam. Hal ini bergantung kepada kecepatan dan ketepatan
tindakan yang dilakukan.
Referensi
Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Tertutup. Edisi
3. Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2007. Hal:327-332.
3. POLIMIALGIA REUMATIK
Masalah Kesehatan
Poly Myalgia Rheumatica (PMR) adalah suatu sindrom klinis dengan
etiologi yang tidak diketahui yang mempengaruhi individu usia lanjut.
Hal ini ditandai dengan myalgia proksimal dari pinggul dan gelang
bahu dengan kekakuan pagi hari yang berlangsung selama lebih dari
1 jam.
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan satu set kriteria diagnostik berikut,
yaitu:
1. Usia onset 50 tahun atau lebih tua
2. Laju endap darah ≥ 40 mm / jam
3. Nyeri bertahan selama ≥ 1 bulan dan melibatkan 2 dari daerah
berikut: leher, bahu, dan korset panggul
4. Tidak adanya penyakit lain dapat menyebabkan gejala
muskuloskeletal
5. Kekakuan pagi berlangsung ≥ 1 jam
6. Respon cepat terhadap prednison (≤ 20 mg)
Diagnosis Banding
Amiloidosis, AA (Inflammatory), Depresi, Fibromialgia, Giant Cell
Arteritis, Hipotiroidism, Multipel mieloma, Osteoartritis, Sindroma
paraneoplastik, Artritis reumatoid.
Komplikasi : -
-294-
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Prednison dengan dosis 10-15 mg peroral setiap hari, biasanya
menghasilkan perbaikan klinis dalam beberapa hari.
2. ESR biasanya kembali ke normal selama pengobatan awal, tetapi
keputusan terapi berikutnya harus berdasarkan status ESR dan
klinis.
3. Terapi glukokortikoid dapat diturunkan secara bertahap dengan
dosis pemeliharaan 5-10 mg peroral setiap hari tetapi harus
dilanjutkan selama minimal 1 tahun untuk meminimalkan risiko
kambuh.
Konsultasi dan Edukasi
Edukasi keluarga bahwa penyakit ini mungkin menimbulkan
gangguan dalam aktivitas penderita, sehingga dukungan keluarga
sangatlah penting.
Kriteria Rujukan
Setelah ditegakkan dugaan diagnosis, pasien dirujuk ke pelayanan
kesehatan sekunder.
Peralatan
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah
Prognosis
Prognosis adalah dubia ad bonam, tergantung dari ada/tidaknya
komplikasi.
Referensi
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. 2009.
-295-
4. ARTRITIS REUMATOID
Masalah Kesehatan
Penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif
simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian,
seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya.
Catatan:
1. Kriteria tersebutditujukan untuk klasifikasi pasien baru.
Sebagai tambahan, pasien dengan penyakit erosif tipikal RA
dengan riwayat yang sesuai dengan kriteria 2010 ini harus
diklasifikasikan ke dalam RA. Pasien dengan penyakit lama,
termasuk yang tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan), yang
berdasarkan data retrospektif yang dimiliki memenuhi kriteria
2010 ini harus diklasifikasikan ke dalam RA.
2. Diagnosis banding bervariasi diantara pasien dengan manifestasi
yang berbeda, tetapi boleh memasukkan kondisi seperti SLE,
artritis psoriatic, dan gout. Jika diagnosis banding masih belum
jelas, hubungi ahli reumatologi.
3. Walaupun pasien dengan skor < 6 dari tidak diklasifikasikan ke
dalam RA, status mereka dapat dinilai ulang dan kriteria ini bisa
dipenuhi secara kumulatif seiring waktu.
4. Keterlibatan sendi merujuk pada sendi yang bengkak atau nyeri
pada pemeriksaan, yang dikonfirmasi oleh bukti pencitraan akan
adanya sinovitis. Sendi interfalang distal, sendi karpometakarpal I,
dan sendi metatarsofalangeal I tidak dimasukkan dalam
-299-
pemeriksaan. Kategori distribusi sendi diklasifikasikan
berdasarkan lokasi dan jumlah sendi yang terlibat, ditempatkan
ke dalam kategori tertinggi berdasarkan pola keterlibatan sendi.
5. Sendi-sendi besar merujuk pada bahu, siku, pinggul, lutut, dan
pergelangan kaki.
6. Sendi-sendi kecil merujuk pada sendi metakarpofalangeal, sendi
interfalang proksimal, sendi metatarsophalangeal II-V, sendi
interfalang ibujari, dan pergelangan tangan.
7. Dalam kategori ini, minimal 1 dari sendi yg terlibat harus sendi
kecil; sendi lainnya dapat berupa kombinasi dari sendi besar dan
sendi kecil tambahan, seperti sendi lainnya yang tidak terdaftar
secara spesifik dimanapun (misal temporomandibular,
akromioklavikular, sternoklavikular dan lain-lain).
8. Negatif merujuk pada nilai IU yg ≤ batas atas nilai normal (BAN)
laboratorium dan assay; positif rendah merujuk pada nilai IU
yang ≥ BAN tetapi ≤ 3x BAN laboratorium dan assay; positif tinggi
merujuk pada nilai IU yg > 3x BAN laboratorium dan assay. Ketika
RF hanya dapat dinilai sebagai positif atau negatif, hasil positif
harus dinilai sebagai positif rendah untuk RA. ACPA = anti-
citrullinated protein antibody.
9. Normal/tidak normal ditentukan oleh standar laboratorium
setempat. CRP (C-reactive protein); LED (Laju Endap Darah).
10. Durasi gejala merujuk pada laporan dari pasien mengenai durasi
gejala dan tanda sinovitis (misal nyeri, bengkak, dan nyeri pada
penekanan) dari sendi yang secara klinis terlibat pada saat
pemeriksaan, tanpa memandang status pengobatan.
Diagnosis Banding
Penyebab arthritis lainnya, Spondiloartropati seronegatif, Lupus
eritematosus istemik, Sindrom Sjogren
Komplikasi
1. Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnar)
2. Sindrom terowongan karpal (TCS)
3. Sindrom Felty (gabungan gejala RA, splenomegali, leukopenia, dan
ulkus pada tungkai; juga sering disertai limfadenopati dan
trombositopenia)
Peralatan
Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah.
Prognosis
Prognosis adalah dubia ad bonam, sangat tergantung dari perjalanan
penyakit dan penatalaksanaan selanjutnya.
Referensi
1. Lipsky, P.E. Rheumatoid Arthritis. In: Braunwald. Fauci. Hauser.
Eds. Harrison’s Principals of Internal Medicine. 17thEd. USA:
McGraw-Hill. 2008: p. 2083-92.
2. Daud, R. Artritis Reumatoid. Dalam: Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B.
Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006: p. 1184-91.
3. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Dalam. Jakarta:
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007
-301-
5. ARTRITIS, OSTEOARTRITIS
Masalah Kesehatan
Penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago
sendi. Pasien sering datang berobat pada saat sudah ada deformitas
sendi yang bersifat permanen.
Peralatan
Tidak terdapat peralatan khusus yang digunakan mendiagnosis
penyakit arthritis
-303-
Prognosis
Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa, namun fungsi sering
terganggu dan sering mengalami kekambuhan.
Referensi
Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s Principals of Internal
Medicine. 17thEd. USA: McGraw-Hill. 2008.
6. VULNUS
Masalah Kesehatan
Kulit merupakan bagian tubuh yang paling luar yang berguna
melindungi diri dari trauma luar serta masuknya benda asing.Apabila
kulit terkena trauma, maka dapat menyebabkan luka/vulnus.Luka
tersebut dapat merusak jaringan, sehingga terganggunya fungsi tubuh
serta dapat mengganggu aktifitas sehari-hari.
Keadaan terjadinya diskontinuitas jaringan, dapat ditimbulkan oleh
berbagai macam akibat yaitu trauma, meliputi luka robek (laserasi),
luka akibat gesekan (abrasi), luka akibat tarikan (avulsi), luka tembus
(penetrasi), gigitan, luka bakar, dan pembedahan.
Etiologi
Berdasarkan mekanisme trauma, terdiri dari :
Trauma tajam yang menimbulkan luka terbuka, misalnya :
1. Vulnus Punctum (Luka Tusuk)
Penyebab adalah benda runcing tajam atau sesuatu yang masuk
ke dalam kulit, merupakan luka terbuka dari luar tampak kecil
tapi didalam mungkin rusak berat, jika yang mengenai
abdomen/thorax disebut vulnus penetrosum(luka tembus).
2. Vulnus Scissum/Insivum (Luka Sayat)
-304-
Penyebab dari luka jenis ini adalah sayatan benda tajam atau
jarum merupakan luka terbuka akibat dari terapi untuk
dilakukan tindakan invasif, tepi luka tajam dan licin.
3. Vulnus Schlopetorum (Luka Tembak)
Penyebabnya adalah tembakan, granat. Pada pinggiran luka
tampak kehitam-hitaman, bisa tidak teratur kadang ditemukan
corpus alienum.
4. Vulnus Morsum (Luka Gigitan)
Penyebab adalah gigitan binatang atau manusia, kemungkinan
infeksi besar bentuk luka tergantung dari bentuk gigi
5. Vulnus Perforatum (Luka Tembus)
Luka jenis ini merupakan luka tembus atau luka jebol. Penyebab
oleh karena panah, tombak atau proses infeksi yang meluas
hingga melewati selaput serosa/epithel organ jaringan.
6. Vulnus Amputatum (Luka Terpotong)
Luka potong, pancung dengan penyebab benda tajam ukuran
besar/berat, gergaji. Luka membentuk lingkaran sesuai dengan
organ yang dipotong. Perdarahan hebat, resiko infeksi tinggi,
terdapat gejala pathom limb.
Trauma tumpul yang menyebabkan luka tertutup (vulnus occlusum),
atau luka terbuka (vulnus apertum), misalnya :
1. Vulnus Laceratum (Laserasi/Robek)
Jenis luka ini disebabkan oleh karena benturan dengan benda
tumpul, dengan ciri luka tepi luka tidak rata dan perdarahan
sedikit luka dan meningkatkan resiko infeksi.
2. Vulnus Excoriasi (Luka Lecet)
Penyebab luka karena kecelakaan atau jatuh yang menyebabkan
lecet pada permukaan kulit merupakan luka terbuka tetapi yang
terkena hanya daerah kulit.
3. Vulnus Contussum (Luka Kontusio)
Penyebab: benturan benda yang keras. Luka ini merupakan luka
tertutup, akibat dari kerusakan pada soft tissue dan ruptur pada
pembuluh darah menyebabkan nyeri dan berdarah (hematoma)
bila kecil maka akan diserap oleh jaringan di sekitarnya jika organ
dalam terbentur dapat menyebabkan akibat yang serius.
Trauma termal, (Vulnus Combustion-Luka Bakar), yaitu kerusakan
kulit karena suhu yang ekstrim, misalnya air panas, api, sengatan
listrik, bahan kimia, radiasi atau suhu yang sangat dingin (frostbite).
-305-
Jaringan kulit rusak dengan berbagai derajat mulai dari lepuh (bula),
sampai karbonisasi (hangus). Terdapat sensasi nyeri dan atau
anesthesia.
Patofisiologi
Vulnus terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tubuh yang
bisa disebabkan oleh trauma mekanis dan perubahan suhu (luka
bakar). Vulnus yang terjadi dapat menimbulkan beberapa tanda dan
gejala seperti bengkak, krepitasi, shock, nyeri, dan deformitas atau
bisa juga menimbulkan kondisi yang lebih serius. Tanda dan gejala
yang timbul tergantung pada penyebab dan tipe vulnus.
Macam-macam Luka
Menurut tipenya luka dibedakan menjadi 4 tipe luka yaitu :
1. Luka bersih (Clean wound)
Luka bersih adalah luka karena tindakan operasi dengan tehnik
steril, misalnya pada daerah dinding perut, dan jaringan lain yang
letaknya lebih dalam (non contaminated deep tissue), misalnya
tiroid, kelenjar, pembuluh darah, otak, tulang.
2. Luka bersih-kontaminasi (Clean contaminated wound)
Merupakan luka yang terjadi karena benda tajam, bersih dan rapi,
lingkungan tidak steril atau operasi yang mengenai daerah usus
halus dan bronchial.
3. Luka kontaminasi (Contaminated wound)
Luka ini tidak rapi, terkontaminasi oleh lingkungan kotor, operasi
pada saluran terinfeksi (usus besar, rektum, infeksi bronkhial,
saluran kemih)
4. Luka infeksi (Infected wound)
Jenis luka ini diikuti oleh adanya infeksi, kerusakan jaringan,
serta kurangnya vaskularisasi pada jaringan luka.
Peralatan
Alat Bedah Minor : gunting jaringan, pinset anatomis, pinset sirurgis,
gunting benang, needle holder, klem arteri, scalpel blade & handle.
Prognosis
Tergantung dari luas, kedalaman dan penyebab dari trauma.
7. LIPOMA
Masalah Kesehatan
Lipoma adalah suatu tumor (benjolan) jinak yang berada di bawah
kulit yang terdiri dari lemak. Biasanya lipoma dijumpai pada usia
lanjut (40-60 tahun), namun juga dapat dijumpai pada anak-anak.
Lipoma kebanyakan berukuran kecil, namun dapat tumbuh hingga
mencapai lebih dari diameter 6 cm.
Hasil Anamnesis
Keluhan
Benjolan di kulit tanpa disertai nyeri.
Biasanya tanpa gejala apa-apa (asimptomatik). Hanya dikeluhkan
timbulnya benjolan yang membesar perlahan dalam waktu yang lama.
Bisa menimbulkan gejala nyeri jika tumbuh dengan menekan saraf.
Untuk tempat predileksi seperti di leher bisa menimbulkan keluhan
menelan dan sesak.
-308-
Faktor Risiko
1. Adiposisdolorosis
2. Riwayat keluarga dengan lipoma
3. Sindrom Gardner
4. Usia menengah dan usia lanjut
Penegakan Diagnostik
Diagnosis Klinis
Massa bergerak di bawah kulit, bulat, yang memiliki karakteristik
lembut, terlihat pucat. Ukuran diameter kurang dari 6 cm,
pertumbuhan sangat lama.
Diagnosis Banding
Epidermoid kista, Abses, Liposarkoma, Limfadenitis tuberkulosis
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang lain merupakan pemeriksaan rujukan,
seperti biopsi jarum halus.
Prognosis
Prognosis umumnya adalah bonam, namun ini tergantung dari letak
dan ukuran lipoma, serta ada/tidaknya komplikasi.
Referensi
1. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma in: Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005.
2. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds. Soft Tissue Tumor in:
Manual of Surgery. 8th Ed. New York:McGraw-Hill Company. 2006.
3. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials of Surgery. New York:
Lange Medical Book. 2005.
H. NEUROLOGI
1. TENSION HEADACHE
Masalah Kesehatan
Tension Headache atau Tension Type Headache (TTH) atau nyeri
kepala tipe tegang adalah bentuk sakit kepala yang paling sering
dijumpai dan sering dihubungkan dengan jangka waktu dan
peningkatan stres. Sebagian besar tergolong dalam kelompok yang
mempunyai perasaan kurang percaya diri, selalu ragu akan
kemampuan diri sendiri dan mudah menjadi gentar dan tegang. Pada
akhirnya, terjadi peningkatan tekanan jiwa dan penurunan tenaga.
Pada saat itulah terjadi gangguan dan ketidakpuasan yang
membangkitkan reaksi pada otot-otot kepala, leher, bahu, serta
vaskularisasi kepala sehingga timbul nyeri kepala.
Nyeri kepala ini lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
laki-laki dengan perbandingan 3:1. TTH dapat mengenai semua usia,
-310-
namun sebagian besar pasien adalah dewasa muda yang
berusiasekitar antara 20-40 tahun.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan nyeri yang tersebar secara difus dan
sifat nyerinya mulai dari ringan hingga sedang. Nyeri kepala tegang
otot biasanya berlangsung selama 30 menit hingga 1 minggu penuh.
Nyeri bisa dirasakan kadang-kadang atau terus menerus. Nyeri pada
awalnya dirasakan pasien pada leher bagian belakang kemudian
menjalar ke kepala bagian belakang selanjutnya menjalar ke bagian
depan. Selain itu, nyeri ini juga dapat menjalar ke bahu. Nyeri kepala
dirasakan seperti kepala berat, pegal, rasakencang pada daerah
bitemporal dan bioksipital, atau seperti diikat di sekeliling kepala.
Nyeri kepala tipe ini tidak berdenyut.
Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual ataupun muntah tetapi
anoreksia mungkin saja terjadi. Gejala lain yang juga dapat
ditemukan seperti insomnia (gangguan tidur yang sering
terbangunatau bangun dini hari), nafas pendek, konstipasi, berat
badan menurun, palpitasi dan gangguan haid.
Pada nyeri kepala tegang otot yang kronis biasanya merupakan
manifestasi konflik psikologis yang mendasarinya seperti kecemasan
dan depresi.
Faktor Risiko: -
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang normal. Anamnesis yang mendukung adalah adanya faktor
psikis yang melatarbelakangi dan karakteristik gejala nyeri kepala
(tipe, lokasi, frekuensi dan durasi nyeri) harus jelas.
Klasifikasi
Menurut lama berlangsungnya, nyeri kepala tegang otot ini dibagi
menjadi nyeri kepala episodik jika berlangsungnya kurang dari 15
hari dengan serangan yang terjadi kurang dari1 hari perbulan (12 hari
dalam 1 tahun). Apabila nyeri kepala tegang otot tersebut berlangsung
lebih dari 15 hari selama 6 bulan terakhir dikatakan nyeri kepala
tegang otot kronis.
Diagnosis Banding
1. Migren
2. Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster)
Komplikasi : -
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
1. Pembinaan hubunganempati awal yang hangat antara dokter dan
pasien merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk
keberhasilan pengobatan. Penjelasan dokter yang meyakinkan
pasien bahwa tidak ditemukan kelainan fisik dalam rongga kepala
atau otaknya dapat menghilangkan rasa takut akan adanya tumor
otak atau penyakit intrakranial lainnya.
2. Penilaian adanya kecemasan atau depresi harus segera dilakukan.
Sebagian pasien menerima bahwa kepalanya berkaitan dengan
penyakit depresinya dan bersedia ikut program pengobatan
sedangkan pasien lain berusaha menyangkalnya. Oleh sebab itu,
pengobatan harus ditujukan kepada penyakit yang mendasari
dengan obat anti cemas atau anti depresi serta modifikasi pola
hidup yang salah, disamping pengobatan nyeri kepalanya.
-312-
3. Saat nyeri timbul dapat diberikan beberapa obat untuk
menghentikan atau mengurangi sakit yang dirasakan saat
serangan muncul. Penghilang sakit yang sering digunakan adalah:
acetaminophen dan NSAID seperti Aspirin, Ibuprofen, Naproxen,
dan Ketoprofen. Pengobatan kombinasi antara acetaminophen
atau aspirin dengan kafein atau obat sedatif biasa digunakan
bersamaan. Cara ini lebih efektif untuk menghilangkan sakitnya,
tetapi jangan digunakan lebih dari 2 hari dalam seminggu dan
penggunaannya harus diawasi oleh dokter.
4. Pemberian obat-obatan antidepresi yaitu Amitriptilin.
*Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual menjadi ringan atau
hilang dalam 2 jam).
Konseling dan Edukasi
1. Keluarga ikut meyakinkan pasien bahwa tidak ditemukan kelainan
fisik dalam rongga kepala atau otaknya dapat menghilangkan rasa
takut akan adanya tumor otak atau penyakit intrakranial lainnya.
2. Keluarga ikut membantu mengurangi kecemasan atau depresi
pasien, serta menilai adanya kecemasan atau depresi pada pasien.
Kriteria Rujukan
1. Bila nyeri kepala tidak membaik maka dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis
saraf.
2. Bila depresi berat dengan kemungkinan bunuh diri maka pasien
harus dirujuk ke pelayanan sekunder yang memiliki dokter
spesialis jiwa.
Peralatan
Obat analgetik
-313-
Prognosis
Prognosis umumnya bonam karena dapat terkendali dengan
pengobatan pemeliharaan.
Referensi
1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain dalam
Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University Press.
Surabaya. 2006. (Sadeli, 2006)
2. Blanda, M. Headache, tension. Available from: www.emedicine.com.
2008. (Blanda, 2008)
3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3 Jilid kedua.
Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI. 2000.
(Mansjoer, 2000)
4. Millea, Paul J, MD. 2008. Tension Type Headache. Available from:
www.aafp.com. (Millea, 2008)
5. Tension headache. Feb 2009. Available from: www.mayoclinic.com.
2. MIGREN
Masalah Kesehatan
Migren adalah suatu istilah yang digunakan untuk nyeri kepala
primer dengan kualitas vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang
diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan depresi.
Serangan seringkali berulang dan cenderung tidak akan bertambah
parah setelah bertahun-tahun. Migren bila tidak diterapi akan
berlangsung antara 4-72 jam dan yang klasik terdiri atas 4 fase yaitu
fase prodromal (kurang lebih 25 % kasus), fase aura (kurang lebih
15% kasus), fase nyeri kepala dan fase postdromal.
Pada wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan
skala 2:1. Wanita hamil tidak luput dari serangan migren, pada
umumnya serangan muncul pada kehamilan trimester I.
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti faktor penyebab
migren, diduga sebagai gangguan neurobiologis, perubahan
-314-
sensitivitas sistem saraf dan avikasi sistem trigeminal-vaskular,
sehingga migren termasuk dalam nyeri kepala primer.
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan
pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
Kriteria Migren:
Nyeri kepala episodik dalam waktu 4-72 jam dengan gejala dua dari
nyeri kepala unilateral, berdenyut, bertambah berat dengan gerakan,
intensitas sedang sampai berat ditambah satu dari mual atau
muntah, fonofobia atau fotofobia.
Diagnosis Banding
Arteriovenous Malformations, Atypical Facial Pain, Cerebral Aneurysms,
Childhood Migraine Variants, Chronic Paroxysmal Hemicrania, Cluster-
type hedache (nyeri kepala kluster)
-316-
Komplikasi
1. Stroke iskemik dapat terjadi sebagai komplikasi yang jarang
namun sangat serius dari migren. Hal ini dipengaruhi oleh faktor
risiko seperti aura, jenis kelamin wanita, merokok, penggunaan
hormon estrogen.
2. Pada migren komplikata dapat menyebabkan hemiparesis.
Komplikasi
1. Obat-obat NSAID seperti Ibuprofen dan Aspirin dapat
menyebabkan efek samping seperti nyeri abdominal, perdarahan
dan ulkus, terutama jika digunakan dalam dosis besar dan jangka
waktu yang lama.
2. Penggunaan obat-obatan abortif lebih dari dua atau tiga kali
seminggu dengan jumlah yang besar, dapat menyebabkan
komplikasi serius yang dinamakan rebound.
Konseling dan Edukasi
1. Pasien dan keluarga dapat berusaha mengontrol serangan.
2. Keluarga menasehati pasien untuk beristirahat dan menghindari
pemicu, serta berolahraga secara teratur.
3. Keluarga menasehati pasien jika merokok untuk berhenti merokok
karena merokok dapat memicu sakit kepala atau membuat sakit
kepala menjadi lebih parah.
Kriteria Rujukan
Pasien perlu dirujuk jika migren terus berlanjut dan tidak hilang
dengan pengobatan analgesik non-spesifik. Pasien dirujuk ke layanan
sekunder (dokter spesialis saraf).
-319-
Peralatan
1. Alat pemeriksaan neurologis
2. Obat antimigren
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam, namun quo ad sanationam adalah
dubia karena sering terjadi berulang.
Referensi
1. Sadeli H. A. Penatalaksanaan Terkini Nyeri Kepala Migrain. Dalam
Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Airlangga University Press.
Surabaya.2006.
2. Purnomo H. Migrainous Vertigo. Dalam Kumpulan Makalah
Pertemuan Ilmiah Nasional II Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Airlangga University Press. Surabaya.2006. (Purnomo,
2006)
3. Migraine. Available at:
www.mayoclinic/disease&condition/topic/migraine.htm
3. VERTIGO
Masalah Kesehatan
Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau
lingkungan sekitarnya. Persepsi gerakan bisa berupa:
1. Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada
gangguan vestibular.
2. Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang, mengambang
yang timbul pada gangguan sistem proprioseptif atau sistem visual
Berdasarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo vestibular, yaitu:
1. Vertigo vestibular perifer.
Terjadi pada lesi di labirin dan nervus vestibularis
2. Vertigo vestibular sentral.
-320-
Timbul pada lesi di nukleus vestibularis batang otak, thalamus
sampai ke korteks serebri.
Vertigo merupakan suatu gejala dengan berbagai penyebabnya, antara
lain: akibat kecelakaan, stres, gangguan pada telinga bagian dalam,
obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan
lain-lain.
Secara spesifik, penyebab vertigo, adalah:
1. Vertigo vestibular
Vertigo perifer disebabkan oleh Benign Paroxismal Positional Vertigo
(BPPV), Meniere’s Disease, neuritis vestibularis, oklusi arteri
labirin, labirhinitis, obat ototoksik, autoimun, tumor nervus VIII,
microvaskular compression, fistel perilimfe.
Vertigo sentral disebabkan oleh migren, CVD, tumor, epilepsi,
demielinisasi, degenerasi.
2. Vertigo non vestibular
Disebabkan oleh polineuropati, mielopati, artrosis servikalis,
trauma leher, presinkop, hipotensi ortostatik, hiperventilasi,
tension headache, penyakit sistemik.
BPPV adalah gangguan klinis yang sering terjadi dengan karakteristik
serangan vertigo di perifer, berulang dan singkat, sering berkaitan
dengan perubahan posisi kepala dari tidur, melihat ke atas, kemudian
memutar kepala.
BPPV adalah penyebab vertigo dengan prevalensi 2,4% dalam
kehidupan seseorang. Studi yang dilakukan oleh Bharton 2011,
prevalensi akan meningkat setiap tahunnya berkaitan dengan
meningkatnya usia sebesar 7 kali atau seseorang yang berusia di atas
60 tahun dibandingkan dengan 18-39 tahun. BPPV lebih sering terjadi
pada wanita daripada laki-laki.
Penegakan diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik umum
dan neurologis.
Diagnosis Banding :
Seperti tabel di bawah ini, yaitu:
Keadaan
Gangguan otologi Gangguan neurologi
lain
Penyakit meniere Migraine associated Kecemasan
dizziness
Neuritis vestibularis Insufisiensi Gangguan
vertebrobasiler panik
Labirhinitis Penyakit Vertigo
demielinisasi servikogenik
Superior canal dehi- Lesi susunan saraf Efek
scence syndrome pusat samping
obat
Vertigo pasca Hipotensi
trauma postural
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
1. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan
metode BrandDaroff.
2. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur dengan kedua tungkai
tergantung, dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan
cepat ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik. Setelah itu
duduk kembali. Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat ke sisi
lain. Pertahankan selama 30 detik, lalu duduk kembali. Lakukan
latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing-masing
-325-
diulang 5 kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu
dengan latihan pagi dan sore hari.
3. Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita sering kali
merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut,
seringkali menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya
pengobatan bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapat
dihentikan setelah beberapa minggu. Beberapa golongan yang
sering digunakan:
a. Antihistamin (Dimenhidrinat atau Difenhidramin)
• Dimenhidrinat lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Obat
dapat diberi per oral atau parenteral (suntikan
intramuskular dan intravena), dengan dosis 25 mg – 50 mg
(1 tablet), 4 kali sehari.
• Difenhidramin HCl. Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam,
diberikan dengan dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali
sehari per oral.
• Senyawa Betahistin (suatu analog histamin):
- Betahistin Mesylate dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per
oral.
- Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali sehari.
Maksimum 6 tablet dibagi dalam beberapa dosis.
b. Kalsium Antagonis
Cinnarizine, mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular dan
dapat mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan
linier. Dosis biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75
mg sehari.
Terapi BPPV:
1. Komunikasi dan informasi:
2. Karena gejala yang timbul hebat, pasien menjadi cemas dan
khawatir akan adanya penyakit berat seperti stroke atau tumor
otak. Oleh karena itu, pasien perlu diberikan penjelasan bahwa
BPPV bukan sesuatu yang berbahaya dan prognosisnya baik serta
hilang spontan setelah beberapa waktu, namun kadang-kadang
dapat berlangsung lama dan dapat kambuh kembali.
3. Obat antivertigo seringkali tidak diperlukan namun apabila terjadi
dis-ekuilibrium pasca BPPV, pemberian betahistin akan berguna
untuk mempercepat kompensasi.
Terapi BPPV kanal posterior:
1. Manuver Epley
2. Prosedur Semont
-326-
3. Metode Brand Daroff
Rencana Tindak Lanjut
Vertigo pada pasien perlu pemantauan untuk mencari penyebabnya
kemudian dilakukan tatalaksana sesuai penyebab.
Konseling dan Edukasi
1. Keluarga turut mendukung dengan memotivasi pasien dalam
mencari penyebab vertigo dan mengobatinya sesuai penyebab.
2. Mendorong pasien untuk teratur melakukan latihan vestibular.
Kriteria Rujukan
1. Vertigo vestibular tipe sentral harus segera dirujuk.
2. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo vestibular setelah diterapi
farmakologik dan non farmakologik.
Peralatan
1. Palu refleks
2. Sphygmomanometer
3. Termometer
4. Garpu tala (penala)
5. Obat antihistamin
6. Obat antagonis kalsium
Prognosis
Pada BPPV, prognosis umumnya baik, namun BPPV sering terjadi
berulang.
Referensi
1. Kelompok Studi Vertigo. Pedoman Tatalaksana Vertigo.
Pehimpunan Dokter Spesialis Neurologi (Perdossi). 2012.
(Kelompok Studi Vertigo, 2012)
2. Sura, D.J. Newell, S. Vertigo-Diagnosis and management in primary
care. BJMP. 2010;3(4):a351. (Sura & Newell, 2010)
3. Lempert, T. Neuhauser, H. Epidemiology of vertigo, migraine and
vestibular migraine. Journal Neurology. 2009:25:333-338.
(Lempert & Neuhauser, 2009)
4. Labuguen, R.H. Initial Evaluation of Vertigo.Journal American
Family Physician. 2006.; Vol73(2). (Labuguen, 2006)
5. Mardjono, M. Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat. 2008. (Mardjono & Sidharta, 2008)
-327-
6. Turner, B. Lewis, N.E. Symposium Neurology:Systematic Approach
that Needed for establish of Vertigo. The Practitioner. 2010; 254
(1732) p. 19-23. (Turner & Lewis, 2010)
7. Chain, T.C. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient
with Dizziness and Vertigo. Illinois: Wolter Kluwer Lippincot.
William and Wilkins. 2009 (Chain, 2009)
4. TETANUS
Masalah Kesehatan
Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin. Penyakit ini ditandai dengan spasme tonik persisten,
disertai serangan yang jelas dan keras. Tetanospasmin adalah
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanospasmin
menghambat neurotransmiter GABA dan glisin, sehingga tidak terjadi
hambatan aktivitas refleks otot. Spasme otot dapat terjadi lokal
(disekitar infeksi), sefalik (mengenai otot-otot cranial), atau umum
atau generalisata (mengenai otot-otot kranial maupun anggota gerak
dan batang tubuh). Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher dan
rahang yang mengakibatkan penutupan rahang (trismus atau
lockjaw), serta melibatkan otot otot ekstremitas dan batang tubuh.
Di Amerika Serikat, sekitar 15% kasus tetanus adalah penyalahguna
obat yang menggunakan suntikan.
Peralatan
1. Sarana pemeriksaan neurologis
2. Oksigen
3. Infus set
4. Obat antikonvulsan
Prognosis
Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh,
namun apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh
dengan baik. Tetanus biasanya tidak terjadi berulang, kecuali
terinfeksi kembali oleh C. tetani.
Referensi
1. Kelompok studi Neuroinfeksi, Tetanus dalam Infeksi pada sistem
saraf. Perdossi. 2012. (Kelompok Studi Neuroinfeksi, 2012)
2. Ismanoe, Gatot. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
ke 4. Jakarta: FK UI. Hal 1799-1806. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Azhali, M.S. Garna, H. Aleh. Ch. Djatnika, S. Penyakit Infeksi dan
Tropis. Dalam: Garna, H. Melinda, H. Rahayuningsih, S.E.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.Ed3.
Bandung: FKUP/RSHS. 2005; 209-213. (Azhali, et al., 2005)
4. Rauscher, L.A. Tetanus. Dalam:Swash, M. Oxbury, J.Eds. Clinical
Neurology. Edinburg: Churchill Livingstone. 1991; 865-
871.(Rauscher, 1991)
5. Behrman, R.E.Kliegman, R.M.Jenson, H.B. Nelson Textbook of
Pediatrics. Vol 1. 17thEd. W.B. Saunders Company. 2004.
(Behrman, et al., 2004)
6. Poowo, S.S.S. Garna, H. Hadinegoro. Sri Rejeki, S.Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis. Ed 1. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. (Poowo, et al., t.thn.)
-334-
7. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus:
progress to date. Bull: WHO. 1994; 72: 155-157. (World Health
Organization, 1994)
8. Aminoff MJ, So YT. Effects of Toxins and Physical Agents on the
Nervous System. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in
Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th
ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1369-1370. (Aminoff & So, 2012)
5. RABIES
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
1. Stadium prodromal
Gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari.
2. Stadium sensoris
Penderita merasa nyeri, merasa panas disertai kesemutan pada
tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas, dan
reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensoris.
3. Stadium eksitasi
Tonus otot dan aktivitas simpatis menjadi meninggi dan gejala
hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Hal
-335-
yang sangat khas pada stadium ini adalah munculnya macam-
macam fobia seperti hidrofobia. Kontraksi otot faring dan otot
pernapasan dapat ditimbulkan oleh rangsangan sensoris misalnya
dengan meniupkan udara ke muka penderita. Pada stadium ini
dapat terjadi apneu, sianosis, konvulsan, dan takikardia. Tindak
tanduk penderita tidak rasional kadang maniakal disertai dengan
responsif. Gejala eksitasi terus berlangsung sampai penderita
meninggal.
4. Stadium paralisis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium
sebelumnya, namun kadang ditemukan pasien yang tidak
menunjukkan gejala eksitasi melainkan paresis otot yang terjadi
secara progresif karena gangguan pada medulla spinalis.
Pada umumnya rabies pada manusia mempunyai masa inkubasi 3-8
minggu. Gejala-gejala jarang timbul sebelum 2 minggu dan biasanya
timbul sesudah 12 minggu. Mengetahui port de entry virus tersebut
secepatnya pada tubuh pasien merupakan kunci untuk
meningkatkan pengobatan pasca gigitan (post exposure therapy). Pada
saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh bahkan
mungkin telah dilupakan. Tetapi pasien sekarang mengeluh tentang
perasaan (sensasi) yang lain ditempat bekas gigitan tersebut.
Perasaan itu dapat berupa rasa tertusuk, gatal-gatal, rasa terbakar
(panas), berdenyut dan sebagainya.
Anamnesis penderita terdapat riwayat tergigit, tercakar atau kontak
dengan anjing, kucing, atau binatang lainnya yang:
1. Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka)
2. Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit bukan dibunuh)
3. Tak dapat diobservasi setelah menggigit (dibunuh, lari, dan
sebagainya)
4. Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan, dan lain-
lain).
Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi antara 7 hari sampai
7 tahun. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan
besarnya luka gigitandan lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem
saraf pusat, derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka
gigitan). Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas
46-78 hari.
Faktor Risiko : -
-336-
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh
bahkan mungkin telah dilupakan.
2. Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal dan parestesia pada
luka bekas gigitan yang sudah sembuh (50%), mioedema (menetap
selama perjalanan penyakit).
3. Jika sudah terjadi disfungsi batang otak maka terdapat:
hiperventilasi, hipoksia, hipersalivasi, kejang, disfungsi saraf
otonom, sindroma abnormalitas ADH, paralitik/paralisis flaksid.
4. Pada stadium lanjut dapat berakibat koma dan kematian.
5. Tanda patognomonis
6. Encephalitis Rabies: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi
yang persisten, nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik
(inspiratoris spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan
aerofobia.
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium kurang bermakna.
Peralatan
1. Cairan desinfektan
2. Serum Anti Rabies
3. Vaksin Anti Rabies
Prognosis
Prognosis pada umumnya buruk, karena kematian dapat mencapai
100% apabila virus rabies mencapai SSP. Prognosis selalu fatal
karena sekali gejala rabies terlihat, hampir selalu kematian terjadi
dalam 2-3 hari sesudahnya, sebagai akibat gagal napas atau henti
jantung. Jika dilakukan perawatan awal setelah digigit anjing
pengidap rabies, seperti pencucian luka, pemberian VAR dan SAR,
maka angka survival mencapai 100%.
Referensi
1. Harijanto, Paul N dan Gunawan, Carta A. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FKUI. 2006. Hal 1736-9.
2. Dennis MD, Eugene B. MD.Infection Due to RNA viruses: Harrisons
Internal Medicine 16th edition. McGraw Hill. Medical Publishing
Division. 2005. (Braunwald, et al., 2009)
3. The Merk Manual of Medical information.Rabies, brain and spinal
cord disorders, infection of the brain and spinal cord.2006. p: 484-
486.
4. Jackson, A.C. Wunner, W.H.Rabies. Academic Press. 2002. p. 290.
(Jackson & Wunner, 2002)
-339-
5. Davis L.E. King, M.K. Schultz, J.LFundamentals of neurologic
disease. Demos Medical Publishing, LLc. 2005. p: 73. (Davis, et
al., 2005)
6. Reynes J-M, D.L. Buchy P, et al. A reliable diagnosis of human
rabies based on analysis of skin biopsy specimens.Clin Infect Dis
47 (11): 1410-1417. 2008. (Reynes and Buchy, 2008)
7. Diagnosis CDC Rabies. USA: Centers for Disease Control and
Prevention. 2007. Diunduh dari
http://www.cdc.gov/RABIES/diagnosis.html. Retrieved 2008-02-
12. (Centers for Disease Control and Prevention , 2007)
8. Kumar.Clark. Rhabdoviruses Rabies. Clinical Medicine. W.B
Saunders Company Ltd. 2006. Hal 57-58. (Kumar, 2006)
9. Ranjan. Remnando. Rabies, tropical infectious disease
epidemiology, investigation, diagnosis and management. 2002. Hal
291-297. (Beckham, et al., t.thn.)
10. Beckham JD, Solbrig MV, Tyler KL. Infection of the Nervous
System. Viral Encephalitis and Meningitis. In Darrof RB et al (Eds).
Bradley’s Neurology Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis
and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, pp. 1252-1253.
6. MALARIA SEREBRAL
Masalah Kesehatan
Malaria Serebral merupakan salah satu komplikasi infeksi dari
Plasmodium falciparum dan merupakan komplikasi berat yang paling
sering ditemukan serta penyebab kematian utama pada malaria.
Diperkirakan sekitar 1-3 juta orang meninggal diseluruh dunia setiap
tahunnya karena malaria serebral, terutama pada anak-anak.
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis malaria serebral ditegakkan dengan ditemukannya
Plasmodium falciparum bentuk aseksual pada pemeriksaan apusan
darah tepi pasien dengan penurunan kesadaran berat (koma),
walaupun semua gangguan kesadaran (GCS<15) harus dianggap dan
diterapi sebagai malaria berat. Gangguan kesadaran pada malaria
dapat pula disebabkan oleh demam yang tinggi, hipoglikemia, syok,
ensefalopati uremikum, ensefalopati hepatikum, sepsis. Semua
penderita dengan demam dan penurunan kesadaran seyogyanya
didiagnosis banding sebagai malaria serebral, khususnya jika
penderita tinggal atau pernah berkunjung ke daerah endemik malaria.
-341-
Diagnosis Banding:
Infeksi virus, bakteri, jamur (cryptococcal), protozoa (African
Trypanosomiasis), Meningoensefalitis, Abses serebral, Trauma kepala,
Stroke, intoksikasi, gangguan metabolik
Komplikasi:
Gagal ginjal akut, ikterus, asidosis metabolik, hipoglikemia,
hiperlaktemia, hipovolemia, edema paru, sindrom gagal nafas akut
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan apusan darah tebal
2. Laboratoriumuntuk pemeriksaan darah rutin dan gula darah
3. Termometer
4. Stetoskop
5. Tensi
6. Senter
7. Palu reflex
8. Funduskopi
Prognosis
1. Ad Vitam: Dubia ad Malam
2. AdFunctionam: Dubia et Malam
-342-
3. Ad Sanationam: Dubia
Referensi
Gunawan C, Malaria Serebral dan penanganannya dalam Malaria
dari Molekuler ke Klkinis EGC. Jakarta 2012. (Gunawan, 2012)
7. EPILEPSI
Masalah Kesehatan
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul
tanpa provokasi. Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan
epilepsi adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh aktivitas
listrik yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak.
Etiologi epilepsi:
1. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit
neurologis dan diperkirakan tidak mempunyai predisposisi genetik
dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini sindromaWest, sindroma Lennox-
Gastaut, dan epilepsi mioklonik.
3. Simptomatik: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP,
kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah
otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.
Tabel 8.8. Obat Anti Epilepsi (OAE) pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan epilepsi
Bangkitan
OAE Fokal Umum Tonik Lena Mioklonik
sekunder klonik
Phenytoin + + + - -
Carbamazepine + + + - -
Valproic acid + + + + +
Phenobarbital + + + 0 ?+
Gabapentin + + ?+ 0 ?-
Lamotrigine + + + + +
Topiramate + + + ? ?+
Zonisamide + + ?+ ?+ ?+
Levetiracetam + + ?+ ?+ ?+
Oxcarbazepine + + + - -
-346-
Tabel 8.9. Dosis Obat Anti Epilepsi (OAE)
Kriteria Rujukan
Setelah diagnosis epilepsi ditegakkan maka pasien segera dirujuk ke
pelayanan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf.
Peralatan
Tersedia Obat Anti Epilepsi
Konseling dan Edukasi
1. Penting untuk memberi informasi kepada keluarga bahwa penyakit
ini tidak menular
2. Kontrol pengobatan merupakan hal penting bagi penderita
3. Pendampingan terhadap pasien epilepsi utamanya anak-anak
perlu pendampingan sehingga lingkungan dapat menerima dengan
baik
4. Pasien epilepsi dapat beraktifitas dengan baik
Dilakukan untuk individu dan keluarga
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, tergantung klasifikasi epilepsi yang
dideritanya, sedangkan serangan epilepsi dapat berulang, tergantung
kontrol terapi dari pasien.
Referensi
Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi,
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok
Studi Epilepsi, 2012)
-351-
8. TRANSIENT ISCHEMIC ATTACK (TIA)
Masalah Kesehatan
TIA atau serangan iskemik otak sepintas (SOS) adalah penurunan
aliran darah yang berlangsung sepintas (tidak menetap atau tidak
permanen) ke area tertentu dari otak, sehingga mengakibatkan
disfungsi neurologis yang berlangsung singkat (kurang dari 24 jam).
Jika gejala nerologik menetap (irreversible), dan berlangsung lebih
lama (lebih dari 24 jam), maka dikategorikan sebagai stroke iskemik
(infark). Defisit neurologis yang berlangsung lebih lama dari 24 jam,
tapi tidak menetap (reversible,) dan dalam waktu kurang dari 2
minggu sembuh total tanpa gejala sisa, disebut reversible ischemic
neurological deficit (RIND).
Serangan TIA terjadi secara tiba-tiba (akut), dan biasanya berlangsung
singkat (beberapa menit), jarang sampai lebih dari 1-2 jam, diikuti
kesembuhan total tanpa gejala sisa. Pada pasien yang mengalami
serangan TIA lebih dari 3 jam, dengan pemeriksaan MRI, lebih dari
50% diantaranya ditemukan gambaran infark di otak.
Pasien yang pernah mengalami TIA, mempunyai risiko lebih besar
untuk terserang stroke iskemik (infark). Sekitar 15-26% pasien stroke,
pernah mengalami TIA sebelumnya. Sehingga TIA termasuk faktor
risiko stroke, dan disebut sebagai warning sign (tanda peringatan)
terjadinya stroke. Setelah TIA, antara 10-15% pasien mengalami
stroke iskemik dalam waktu 3 bulan, dan sebagian besar diantaranya
terjadi dalam waktu 48 jam setelah terjadinya TIA. Karena itu, TIA
maupun stroke iskemik, keduanya merupakan kedaruratan medik
yang mempunyai kesamaan mekanisme patogenesis, dan memerlukan
prevensi sekunder, evaluasi, dan penatalaksanaan yang hampir sama.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Secara umum, gejala neurologis yang diakibatkan oleh TIA tergantung
pada pembuluh darah otak yang mengalami gangguan, yaitu sistem
karotis atau vertebrobasilaris.
-352-
1. Disfungsi neurologis fokal yang sering ditemukan berupa:
a. Kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi wajah, lengan, dan
tungkai (hemiparesis, hemiplegi)
b. Gangguan sensorik pada salah satu sisi wajah, lengan, dan
tungkai (hemihipestesi, hemi-anesthesi)
c. Gangguan bicara (disartria)
d. Gangguan berbahasa (afasia)
e. Gejala neurologik lainnya:
• Jalan sempoyongan (ataksia)
• Rasa berputar (vertigo)
• Kesulitan menelan (disfagia)
• Melihat ganda (diplopia)
• Penyempitan lapang penglihatan (hemianopsia, kwadran-
anopsia)
2. Gangguan tersebut terjadi mendadak, dan biasanya berlangsung
dalam waktu yang singkat (beberapa menit), jarang sampai lebih
dari 1-2 jam, diikuti kesembuhan total tanpa gejala sisa.
3. Diperlukan anamnesis yang teliti tentang faktor risiko TIA/stroke
D iabetes 1
Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk ke RS untuk penanganan lebih lanjut.
Peralatan
Laboratorium: darah lengkap dan kimia darah
Pemeriksaan radiologi: foto toraks
Pasien membutuhkan CT scan atau MRI di layanan sekunder
Prognosis
Prognosis bonam bila faktor risiko dapat teratasi dan penanganan
cepat dilakukan. Pemberian obat antiplatelet dan antikoagulan dapat
mencegah berulangnya TIA dan serangan stroke iskemik.
Referensi
1. Fitzsimmons BFM. Cerebrovascular Disease: Ischemic Stroke. In
Brust JCM (Ed). Current Diagnosis and Treatment in Neurology.
McGraw Hill, New York, 2007:100-25. (Fitzsimmons, 2007)
2. Romano JG, Sacco RL. Prevention of Recurrent Ischemic Stroke. In
Goldstein LB (Ed). A Primer on Stroke Prevention and Treatment.
Wiley-Blackwell, Dallas, 2009: 85-99. (Romano & Sacco, 2009)
3. Biller J, Love BB, Schnek MJ. Vascular Diseases of the Nervous
System. Ischemic Cerebrovascular Disease. In Darrof RB et al
(Eds). Bradley’s Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of
-356-
Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia,
2012:1003-1053. (Biller, et al., 2012)
4. Furie K et al. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients
With Stroke or Transient Ischemic Attack : A Guideline for
Healthcare Professionals From the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke 2011; 42:227-
276 (Furie, 2011)
5. National Stroke Association. Transient Ischemic Attack (TIA).
www.stroke.org
9. STROKE
Masalah Kesehatan
Stroke adalah defisit neurologis fokal (atau global) yang terjadi
mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor
vaskuler. Secara global, saat ini stroke merupakan salah satu
penyebab kematian utama, dan penyebab utama kecacatan pada
orang dewasa. Dari laporan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007, stroke
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan:
Gejala awal serangan stroke terjadi mendadak (tiba-tiba), yang sering
dijumpai adalah
1. Kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi wajah, lengan, dan
tungkai (hemiparesis, hemiplegi)
2. Gangguan sensorik pada salah satu sisi wajah, lengan, dan
tungkai (hemihipestesi, hemianesthesi)
3. Gangguan bicara (disartria)
4. Gangguan berbahasa (afasia)
5. Gejala neurologik lainnya seperti jalan sempoyongan (ataksia),
rasa berputar (vertigo), kesulitan menelan (disfagia), melihat ganda
(diplopia), penyempitan lapang penglihatan (hemianopsia,
kwadran-anopsia)
-357-
Catatan:
Kebanyakan penderita stroke mengalami lebih dari satu macam gejala
diatas. Pada beberapa penderita dapat pula dijumpai nyeri kepala,
mual, muntah, penurunan kesadaran, dan kejang pada saat terjadi
serangan stroke.
Untukmemudahkan pengenalan gejala stroke bagi masyarakat awam,
digunakan istilah FAST (Facial movement, Arm Movement, Speech,
Time: acute onset). Maksudnya, bila seseorang mengalami kelemahan
otot wajah dan anggota gerak satu sisi, serta gangguan bicara, yang
terjadi mendadak, patut diduga mengalami serangan stroke. Keadaan
seperti itu memerlukan penanganan darurat agar tidak
mengakibatkan kematian dan kecacatan. Karena itu pasien harus
segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk
penanganan tindakan darurat bagi penderita stroke.
Seperti halnya TIA, pada stroke diperlukan anamnesis yang teliti
tentang faktor risiko TIA/stroke.
Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko yang dapat mempermudah terjadinya serangan
stroke, misalnya usia tua, jenis kelamin (laki-laki), berat badan lahir
rendah, faktor herediter (familial), ras (etnik), memang tidak bisa
dihindari atau diubah (non modifiable risk factors). Sedangkan faktor
risiko lainnya mungkin masih bisa dihindari, diobati atau diperbaiki
(modifiable risk factors).
-358-
Tabel 8.13 Faktor risiko stroke
Potentially modifiable, less
Non Modifiable Modifiable,well documented well-documented
• Umur • Hipertensi • Migren dengan aura
• Jenis • Merokok • Sindroma metabolik
kelamin • Diabetes • Alkohol
• Berat badan • Dislipidemia • Salah guna obat
lahir rendah • Fibrilasi Atrial • Gangguan nafas (sleep-
• Ras • Stenosis karotis asimtomatik disordered breathing)
• Riwayat • Penyakit sel sickle • Hiperhomosisteinemia
keluarga • Terapi hormon pasca • Hiperlipoprotein-a Lp(a)
stroke/TIA menopause • Hiperkoagulabilitas
• Kontrasepsi oral • Inflamasi dan infeksi
• Diet/nutrisi
• Inaktivitas fisik
• Obesitas
• Penyakit kardiovaskuler
(penyakit jantung koroner,
penyakit pembuluh darah tepi
Yes No
Loss of consciousness or syncope -1 0
Seizure -1 0
Asymetric facial weakness +1 0
Asymetric arm weakness +1 0
Asymetric leg weakness +1 0
Speech disturbances +1 0
Visual field defect +1 0
Total (-2 to +5)
Stroke is unlikely but non completely excluded if total score are < 0
Klasifikasi
Stroke dibedakan menjadi:
1. Stroke hemoragik biasanya disertai dengan sakit kepala hebat,
muntah, penurunan kesadaran, tekanan darah tinggi.
2. Stroke iskemik biasanya tidak disertai dengan sakit kepala hebat,
muntah, penurunan kesadaran dan tekanan darah tidak tinggi.
Diagnosis Banding
Membedakan stroke iskemik dan stroke hemoragik sangat penting
untuk penatalaksanaan pasien.
Komplikasi
Komplikasi stroke yang harus diwaspadai karena dapat
mengakibatkan kematian dan kecacatan adalah komplikasi medis,
antara lain komplikasi pada jantung, paru (pneumonia), perdarahan
saluran cerna, infeksi saluran kemih, dekubitus, trombosis vena
dalam, dan sepsis. Sedangkan komplikasi neurologis terutama adalah
edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang, serta
transformasi perdarahan pada infark.
Pada umumnya, angka kematian dan kecacatan semakin tinggi, jika
pasien datang terlambat (melewati therapeutic window) dan tidak
ditangani dengan cepat dan tepat di rumah sakit yang mempunyai
fasilitas pelayanan stroke akut.
-361-
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pertolongan pertama pada pasien stroke akut.
1. Menilai jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi
2. Menjaga jalan nafas agar tetap adekuat
3. Memberikan oksigen bila diperlukan
4. Memposisikan badan dan kepala lebih tinggi (head-and-trunk up)
20-30 derajat
5. Memantau irama jantung
6. Memasang cairan infus salin normal atau ringer laktat (500 ml/12
jam)
7. Mengukur kadar gula darah (finger stick)
8. Memberikan Dekstrose 50% 25 gram intravena (bila hipoglikemia
berat)
9. Menilai perkembangan gejala stroke selama perjalanan ke rumah
sakit layanan sekunder
10. Menenangkan penderita
Rencana Tindak Lanjut
1. Memodifikasi gaya hidup sehat
a. Memberi nasehat untuk tidak merokok atau menghindari
lingkungan perokok
b. Menghentikan atau mengurangi konsumsi alkohol
c. Mengurangi berat badan pada penderita stroke yang obes
d. Melakukan aktivitas fisik sedang pada pasien stroke iskemik
atau TIA. Intensitas sedang dapat didefinisikan sebagai
aktivitas fisik yang cukup berarti hingga berkeringat atau
meningkatkan denyut jantung 1-3 kali perminggu.
2. Mengontrol faktor risiko
a. Tekanan darah
b. Gula darah pada pasien DM
c. Kolesterol
d. Trigliserida
e. Jantung
3. Pada pasien stroke iskemik diberikan obat-obat antiplatelet:
asetosal, klopidogrel
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya agar tidak
terjadi kekambuhan atau serangan stroke ulang
2. Jika terjadi serangan stroke ulang, harus segera mendapat
pertolongan segera
3. Mengawasi agar pasien teratur minum obat.
-362-
4. Membantu pasien menghindari faktor risiko.
Peralatan
1. Alat pemeriksaan neurologis.
2. Senter
3. Infus set.
4. Oksigen.
Prognosis
Prognosis adalah dubia, tergantung luas dan letak lesi. Untuk stroke
hemoragik sebagian besar dubia ad malam. Penanganan yg lambat
berakibat angka kecacatan dan kematian tinggi.
Referensi
1. Misbach J dkk. Kelompok Studi Stroke. Guideline Stroke 2011.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI),
Jakarta, 2011. (Misbach, 2011)
2. Jauch EC et al. Guidelines for the Early Management of Patients
with Acute Ischemic Stroke. A Guideline for Healthcare
Professionals From the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke 2013; 44:870-947.(Jauch, 2013)
3. Morgenstern LB et al. Guidelines for the Management of
Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. Guideline for Healthcare
Professionals From the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke 2010;41:1-23. (Morgenstern, 2010)
4. Furie K et al. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients
With Stroke or Transient Ischemic Attack : A Guideline for
Healthcare Professionals From the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke 2011;42:227-276.
(Furie, 2011)
-364-
10. BELLS’ PALSY
Masalah Kesehatan
Bells’palsy adalah paralisis fasialis perifer idiopatik, yang merupakan
penyebab tersering dari paralisis fasialis perifer unilateral. Bells’
palsy muncul mendadak (akut), unilateral, berupa paralisis saraf
fasialis perifer, yang secara gradual dapat mengalami perbaikan pada
80-90% kasus. Bells’ palsy merupakan salah satu dari penyakit
neurologis tersering yang melibatkan saraf kranialis, dan penyebab
tersering (60-75%) dari kasus paralisis fasialis unilateral akut di
dunia. Bells’ palsy lebih sering ditemukan pada usia dewasa, orang
dengan DM, dan wanita hamil. Peningkatan kejadian berimplikasi
pada kemungkinan infeksi HSV type I dan reaktivasi herpes zoster
dari ganglia nervus fasialis. Penyebab Bells’ palsy tidak diketahui
(idiopatik), dan diduga penyakit ini merupakan bentuk polineuritis
dengan kemungkinan penyebabnya virus, inflamasi, auto imun dan
faktor iskemik.
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
umum dan neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum).
Bells’ palsy adalah diagnosis eksklusi.
Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan
dengan penyebab lain dari paralisis fasialis:
1. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral
2. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga,
dan penyakit cerebellopontin angle (CPA).
Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, kelumpuhan
motorik dan gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus
dipikirkan (misalnya: stroke, GBS, meningitis basilaris, tumor
Cerebello Pontine Angle).
Gejala tumor biasanya kronik progresif. Tumor CPA seringkali
didahului gangguan pendengaran (saraf VIII), diikuti gangguan saraf
VII, dan V, gangguan keseimbangan (serebelar). Pasien dengan
paralisis progresif saraf VII lebih lama dari 3 minggu harus dievaluasi
kemungkinan penyebab lain, misalnya neoplasma, penyakit
autoimun, dan sebagainya.
Klasifikasi
Sistem grading ini dikembangkan oleh House and Brackmann dgn
skala I sampai VI.
1. Grade I adalah fungsi fasial normal.
-368-
2. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a. Kelemahan ringan saat dilakukan inspeksi secara detil.
b. Sinkinesis ringan dapat terjadi.
c. Simetris normal saat istirahat.
d. Gerakan dahi sedikit sampai baik.
e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit
usaha.
f. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
a. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
b. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat
ditemukan.
c. Simetris normal saat istirahat.
d. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.
f. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.
4. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya
sebagai berikut:
a. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
b. Simetris normal saat istirahat.
c. Tidak terdapat gerakan dahi.
d. Mata tidak menutup sempurna.
e. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.
5. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai
berikut:
a. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.
b. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
c. Tidak terdapat gerakan pada dahi.
d. Mata menutup tidak sempurna.
e. Gerakan mulut hanya sedikit.
6. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:
a. Asimetris luas.
b. Tidak ada gerakan otot otot wajah.
Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade
III dan IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI
menunjukkan hasil yang buruk. Grade VI disebut dengan paralisis
fasialis komplit. Grade yang lain disebut sebagai inkomplit. Paralisis
fasialis inkomplit dinyatakan secara anatomis dan dapat disebut
dengan saraf intak secara fungsional. Grade ini seharusnya dicatat
pada rekam medik pasien saat pertama kali datang memeriksakan
diri.
-369-
Diagnosis Banding
Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding, yaitu:
1. Stroke vertebrabasilaris (hemiparesis alternans)
2. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine angle
3. Otitis media akut atau kronik
4. Sindroma Ramsay Hunt (adanya lesi vesicular pada telinga atau
bibir)
5. Amiloidosis
6. Aneurisma a. vertebralis, a. basilaris, atau a. Carotis
7. Sindroma autoimun
8. Botulismus
9. Karsinomatosis
10. Cholesteatoma telinga tengah
11. Malformasi congenital
12. Schwannoma n. Fasialis
13. Infeksi ganglion genikulatum
14. Penyebab lain, misalnya trauma kepala
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
Prognosis pasien Bells’ palsy umumnya baik. Karena penyebabnya
idiopatik, pengobatan Bell’s palsy masih kontroversi. Tujuan
pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf fasialis) dan
mencegah kerusakan saraf lebih lanjut.
Pengobatan dipertimbangkan untuk mulai diberikan pada pasien
dalam fase awal 1-4 hari onset.
Hal penting yang perlu diperhatikan:
1. Pengobatan inisial
a. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day
selama 6 hari, diikutipenurunan bertahap total selama 10 hari.
b. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk
pengobatan Bells’ palsy (American Academy Neurology/AAN,
2011).
c. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan
fungsi saraf kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN,
2012).
d. Apabila tidak ada gangguan gungsi ginjal, antiviral
(Asiklovir)dapat diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali
-370-
sehari selama 7-10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai,
dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari.
2. Lindungi mata
Perawatan mata: lubrikasi okular topikal dengan air mata artificial
(tetes air mata buatan) dapat mencegah corneal exposure. (lihat
bagian pembahasan dry eye)
3. Fisioterapi atau akupunktur dapat dilakukan setelah melewati
fase akut (+/- 2 minggu).
Rencana Tindak Lanjut
Pemeriksaan kembali fungsi nervus facialis untuk memantau
perbaikan setelah pengobatan.
Kriteria Rujukan
1. Bila dicurigai kelainan lain (lihat diagnosis banding)
2. Tidak menunjukkan perbaikan
3. Terjadi kekambuhan atau komplikasi
Peralatan
1. Stetoskop (loudness balance test) untuk mengetahui hiperakusis
2. Palu reflex
3. Tes pengecapan
4. Tes lakrimasi (tes Schirmer)
5. Kapas
6. Obat steroid
7. Obat antiviral
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kondisi terkendali dengan pengobatan
pemeliharaan. Kesembuhan terjadi dalam waktu 3 minggu pada 85%
pasien.
Dapat meninggalkan gejala sisa (sekuale) berupa kelemahan fasial
unilateral atau kontralateral, sinkinesis, spasme hemifasialis, dan
terkadang terjadi rekurensi, sehingga perlu evaluasi dan rujukan lebih
lanjut.
Referensi
1. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s
Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and
-371-
Management. 6thed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1754-1757.
(Rucker, 2012)
2. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy. In Brust JCM (Ed).
Current Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, New
York, 2007:286-288. (Gooch & Fatimi, 2007)
3. Taylor, D.C. Keegan, M. Bells’ Palsy Medication. Medscape.
4. Medscape: Empiric Therapy Regimens.
Masalah Kesehatan
Status epileptikus adalah bangkitan yang terjadi lebih dari 30 menit
atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitan-
bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran.
Status epileptikus merupakan keadaan kegawatdaruratan yang
memerlukan penanganan dan terapi segera guna menghentikan
bangkitan (dalam waktu 30 menit). Diagnosis pasti status epileptikus
bila pemberian benzodiazepin awal tidak efektif dalam menghentikan
bangkitan.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan kejang, keluarga pasien perlu ditanyakan
mengenai riwayat penyakit epilepsi dan pernah mendapatkan obat
antiepilepsi serta penghentian obat secara tiba-tiba.
Riwayat penyakit tidak menular sebelumnya juga perlu ditanyakan,
seperti Diabetes Melitus, stroke, dan hipertensi.
Riwayat gangguan imunitas misalnya HIV yang disertai infeksi
oportunistik dan data tentang bentuk dan pola kejang juga perlu
ditanyakan secara mendetil.
Faktor Risiko: -
-372-
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan dapat ditemukan adanya kejang atau gangguan
perilaku, penurunan kesadaran, sianosis, diikuti oleh takikardi dan
peningkatan tekanan darah, dan sering diikuti hiperpireksia.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: pemeriksaanguladarahsewaktu.
Peralatan
1. Oksigen
2. Kain kasa
3. Infus set
4. Spatel lidah
5. Alat pengukur gula darah sederhana
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk quo ad vitam dan
fungsionam, namun dubia ad malam untuk quo ad sanationam.
Referensi
1. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi,
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012. (Kelompok
Studi Epilepsi, 2012)
2. Darto Saharso. Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag/SMF
Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya.
-374-
3. Appleton, P.R. Choonara, I. Marland, T. Phillips, B. Scott, R.
Whitehouse, W. The treatment of convulsive status epilepticus in
children.; 83:415-19.Arch Dis Child. 2000.
4. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus 48:683-94.
Pediatric Clin North America. 2001
12. DELIRIUM
Masalah Kesehatan
Delirium adalah gangguan kesadaran yang ditandai dengan
berkurangnya kemampuan memfokuskan, mempertahankan dan
mengalihkan perhatian.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan penurunan kesadaran, ditandai dengan:
1. Berkurangnya atensi
2. Gangguan psikomotor
3. Gangguan emosi
4. Arus dan isi pikir yang kacau
5. Gangguan siklus bangun tidur
6. Gejala diatas terjadi dalam jangka waktu yang pendek dan
cenderung berfluktuasi dalam sehari
Hasil yang dapat diperoleh pada autoanamnesis, yaitu:
1. Pasien tidak mampu menjawab pertanyaan dokter sesuai dengan
apa yang diharapkan, ditanyakan.
2. Adanya perilaku yang tidak terkendali.
Alloanamnesis, yaitu adanya gangguan medik lain yang mendahului
terjadinya gejala delirium, misalnya gangguan medik umum, atau
penyalahgunaan zat.
Faktor Risiko
Adanya gangguan medik umum, seperti:
1. Penyakit SSP (trauma kepala, tumor, pendarahan, TIA)
-375-
2. Penyakit sistemik, seperti: infeksi, gangguan metabolik, penyakit
jantung, COPD, gangguan ginjal, gangguan hepar
3. Penyalahgunaan zat
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
Onset akut dan berfluktuasi
Gangguan perhatian/
konsentrasi (inattention)
SINDROM DELIRIUM
Penatalaksanaan
1. Kondisi pasien harus dijaga agar terhindar dari risiko kecelakaan
selama perawatan.
2. Apabila pasien telah memperoleh pengobatan, sebaiknya tidak
menambahkan obat pada terapi yang sedang dijalanin oleh pasien.
3. Bila belum mendapatkan pengobatan, pasien dapat diberikan obat
anti psikotik. Obat ini diberikan apabila ditemukan gejala psikosis
dan atau agitasi, yaitu: Haloperidol injeksi 2-5 mg IntraMuskular
(IM)/ IntraVena (IV). Injeksi dapat diulang setiap 30 menit, dengan
dosis maksimal 20 mg/hari.
Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi terhadap keluarga/ care giver agar mereka
dapat memahami tentang delirium dan terapinya.
-377-
Kriteria Rujukan
Bila gejala agitasi telah terkendali, pasien dapat segera dirujuk ke
fasilitas pelayanan rujukan sekunder untuk memperbaiki penyakit
utamanya.
Peralatan : -
Prognosis
Prognosis delirium dapat diprediksi berdasarkan dari penyakit yang
mendasarinya.
Referensi
1. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical
Manual for Mental Disorder. Text Revision 4th Ed. Washington DC:
APA. 2000.
2. CH Soejono. Sindrom Delirium (Acute Confusional State). Dalam:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Interna Publishing.
2009.
3. Inouye, S.K. van Dyck, C.H. Alessi, C.A. et al. Clarifying confusion:
the confusion Assessment method;113:941-8: a new method for
detection of delirium.Ann Intern Med. 1990
4. Josephson, S.A. Miller, B.L. Confusion and delirium. Dalam:
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Ed. New York:
McGraw-Hill. 2008.
5. Kane, R.L. Ouslander, J.G. Abrass, I.B. Resnick, B. Essentials of
Clinical Geriatrics. 6th Ed. McGraw-Hill Co. 2009.
6. Amir, N. Pamusu, D. dkk. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan
(PNPK) Jiwa/Pskiatri. Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). 2012.
7. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik: Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta. 2008.
8. DEPKES RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar di
Puskesmas. 2004.
9. Dinkes Provinsi Jabar. Pedoman Standar Pengelolaan Penyakit
berdasarkan kewenangan tingkat Pelayanan Kesehatan. 2012
-378-
13. KEJANG DEMAM
Masalah Kesehatan
Kejang Demam (KD) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal > 38o C) akibat dari suatu proses
ekstra kranial. Kejang berhubungan dengan demam, tetapi tidak
disebabkan infeksi intrakranial atau penyebab lain seperti trauma
kepala, gangguan kesimbangan elektrolit, hipoksia atau hipoglikemia.
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Klasifikasi kejang demam terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Kejang demam sederhana
a. Kejang umum tonik, klonik atau tonik-klonik.
b. Durasi < 15 menit
c. Kejang tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks
a. Kejang fokal atau fokal menjadi umum.
b. Durasi > 15 menit
c. Kejang berulang dalam 24 jam.
-380-
Diagnosis Banding
1. Meningitis
2. Epilepsi
3. Gangguan metabolik, seperti: gangguan elektrolit.
Komplikasi dan prognosis
Kejang demam suatu kondis yang jinak/benign, tidak menyebabkan
kematian. Sebagian besar akan menghilang pada usia 5-6 tahun.
Faktor risiko epilepsi di kemudian hari tergantung dari: (1) kejang
demam kompleks, (2) riwayat epilepsi dalam keluarga, (3) terdapat
defisit neurologis.
Peralatan
Tabung oksigen dan kelengkapannya, infus set, diazepam
rektal/intravena, lorazepam, fenitoin IV, fenobarbital IV, NaCl 0,9%.
Referensi
1. Esau, R. et al. 2006. British Columbia’s Children’s Hospital
Pediatric Drug Dosage Guidelines. 5th edition.Vancouver.
Department of Pharmacy Children’s and Women’s Health Centre of
British Columbia. (Esau, 2006)
2. Guidelines and protocol febrile seizures. September, 2010.
-383-
3. Lau, E. et al. 2007. Drug Handbook and Formulary 2007-2008.
Toronto. The Department of Pharmacy, The Hospital for Sick
Children. (Lau, 2008)
4. McEvoy, GK. et al. 2009. AHFS Drug Information 2009. Bethesda.
American Society of Health-System Pharmacists, Inc. (McEvoy,
2009)
5. Konsensus kejang demam. UKK Neurologi IDAI. 2006 (UKK
Neurologi IDAI, 2006)
Masalah Kesehatan
Secara global hampir 14% penyebab kematian neonatus adalah
tetanus neonatorum. Tetanus neonatorum bertanggung jawab
terhadap 50% kematian neonatus yang disebabkan oleh penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi. Tetanus neonatorum dapat
dicegah dengan imunisasi dan atau pelayanan persalinan dan pasca
persalinan yang bersih. Beberapa penelitian komunitas di awal tahun
1970 dan 1980 di Negara Amerika Latin dan beberapa Negara
berkembang menunjukkan kematian neonatal antara <5 sampai 60
kasus per 1000 kelahiran hidup. Di beberapa negara berkembang
kematian tetanus neonatorum merupakan 23-72% dari total
kematian neonatal.
5. Terapi suportif
a. Pemberian oksigen
b. Pembersihan jalan nafas
c. Keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori
6. Imunisasi
Diberikan imunisasi Tetanus Toksoid sesuai dengan jadwal
imunisasi diberikan pada saat penderita pulang.
Konseling dan Edukasi :
1. Pencegahan tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan menjaga
proses persalinan tetap aseptic termasuk pada saat pemotongan
tali pusat.
2. Imunisasi aktif wanita hamil dengan 2 dosis Tetanus Toksoid 0,5
ml dengan jarak penyuntikan 2 bulan dapat mencegah terjadinya
penyakit tetanus neonatroum.
Kriteria Rujukan : -
Peralatan :-
Prognosis
1. Ad Vitam : dubia
2. Ad Functionam : dubia
3. Ad Sanationam : dubia
Referensi
1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. 2004. Tetanus dalam Standar Pelayanan Medis Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD. Denpasar. (Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Universitas Udayana, 2004)
2. Wibowo, T. Tetanus Neonatorum dalam Buletin Jendela Data dan
Informasi. 2012. Volume 1. Jakarta. Kementrian Kesehatan RI.
(Wibowo, 2012)
-387-
I. PSIKIATRI
1. GANGGUAN SOMATOFORM
Masalah Kesehatan
Gangguan somatoform merupakan suatu kelompok kelainan
psikiatrik yang manifestasinya dapat berupa berbagai gejala fisik yang
dirasakan signifikan oleh pasien namun tidak ditemukan
penyebabnya secara medis. Tidak ada data yang pasti mengenai
prevalensi gangguan ini di Indonesia. Satu penelitian di Jakarta
mendapatkan prevalensi gangguan jiwa yang terdeteksi di Puskesmas
sebesar 31,8%. Pada penelitian ini, jenis gangguan yang tersering
adalah neurosis, yaitu sebesar 25,8%, dan di dalamnya termasuk
psikosomatik. Walaupun tidak ada kondisi medis yang serius, gejala-
gejala yang dirasakan oleh pasien dengan gangguan somatoform
sangat mengganggu dan berpotensi menimbulkan distres emosional.
Peran dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama pada
kasus gangguan somatoform sangat penting. Keberhasilan dokter
dalam mengeksklusi kelainan medis, mendiagnosis gangguan
somatoform dengan tepat, dan menatalaksana akan sangat
membantu meningkatkan kualitas hidup pasien, mengurangi rujukan
yang tidak perlu, dan menghindarkan pasien dari pemeriksaan medis
yang berlebihan atau merugikan.
Peralatan
Untuk keperluan skrining, dapat disediakan lembar PHQ-15 di ruang
praktik dokter. Selain itu, tidak ada peralatan khusus yang
diperlukan terkait diagnosis dan tatalaksana gangguan somatoform.
Referensi
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993. F45 Gangguan
Somatoform. In Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pp. 209–221.
2. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform and Dissociative Disorders:
Assessment and Treatment. Advances in Psychiatric Treatment,
3(1), pp.9–16. Available at:
http://apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/apt.3.1.9 [Accessed May
26, 2014].
3. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan Metode Dua Menit ( M2M )
dalam Menentukan Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan
Primer. Majalah Kedokteran Indonesia, 60(10), pp.448–453.
4. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007. Somatoform
Disorders. American Family Physician, 76, pp.1333–1338. Available
at: www.aafp.org/afp.
5. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ-15). Patient Health
Questionnaire (PHQ) Screeners. Available at:
http://www.phqscreeners.com/pdfs/04_PHQ-15/English.pdf
[Accessed May 24, 2014].
-393-
6. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting Somatoform Disorders in
Primary Care with the PHQ-15. Annals of Family Medicine, 7,
pp.232–238. Available at:
http://www.annfammed.org/content/7/3/232.full.pdf+html.
2. DEMENSIA
Masalah Kesehatan
Demensia merupakan sindrom akibat penyakit otak yang bersifat
kronik progresif, ditandai dengan kemunduran fungsi kognitif
multiple, termasuk dayaingat (memori), daya pikir, daya tangkap
(komprehensi), kemampuan belajar, orientasi, kalkulasi, visuospasial,
bahasa dan daya nilai. Gangguan kognitif biasanya diikuti dengan
deteriorasi dalam kontrolemosi, hubungan sosial dan motivasi.
Pada umumnya terjadi pada usia lanjut, ditemukan pada penyakit
Alzhaimer, penyakit serebrovaskular, dan kondisi lain yang secara
primer dan sekunder mempengaruhi otak.
Prognosis
Prognosis umumnya ad vitam adalah dubia ad bonam, sedangkan
fungsi adalah dubia ad malam. Ad sanationam adalah ad malam.
Referensi
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1993)
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012)
3. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental,
Neurological and Substance Use Disorders in Non-Specialized
Health Settings, 2010. (World Health Organization, 2010)
3. INSOMNIA
Masalah Kesehatan
Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam tidur, dapat berupa
kesulitan berulang untuk mencapai tidur, atau mempertahankan
tidur yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk. Pada kebanyakan
kasus, gangguan tidur adalah salah satu gejala dari gangguan
lainnya, baik mental (psikiatrik) atau fisik.
Secara umum lebih baik membuat diagnosis gangguan tidur yang
spesifik bersamaan dengan diagnosis lain yang relevan untuk
menjelaskan secara kuat psikopatologi dan atau patofisiologinya.
Peralatan
Tidak ada Peralatan khusus
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam
Referensi
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
-399-
3. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental,
Neurological and Substance Use Disorders in Non-Specialized
Health Settings, 2010.
MasalahKesehatan
Gangguan yang ditandai oleh adanya gejala-gejala anxietas
(kecemasan) dan depresi bersama-sama, dan masing-masing gejala
tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup beratuntuk dapat
ditegakannya suatu diagnosis tersendiri. Untuk gejala anxietas,
beberapa gejala autonomik harus ditemukan, walaupun tidak
terusmenerus, di samping rasa cemas atauk hawatir berlebihan.
Peralatan
Tidak ada peralatan khusus.
Prognosis
Pada umumnya prognosis gangguan ini adalah bonam.
Referensi
1. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and
Wilkins.
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis
Gangguan jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
3. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines
for mental disorders in primary care: ICD-10 chapter V, primary care
version. Seattle: Hogrefe & Huber Publishers. (World Health
Organization, t.thn.)
-403-
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/ Psikiatri, 2012
5. GANGGUAN PSIKOTIK
Masalah Kesehatan
Gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan atau hendaya berat
dalam menilai realita, berupa sindroma (kumpulan gejala), antara lain
dimanifestasikan dengan adanya halusinasi dan waham.
Peralatan
1. Alat restraint (fiksasi)
2. Alat transportasi untuk merujuk (bila tersedia).
Prognosis
Untuk ad Vitam adalahbonam, ad fungsionam adalah dubia, dan ad
sanationam adalah dubia.
Referensi
1. Kaplan and Sadock.Synopsis of psychiatry. 7thEd. William and
Wilkins.
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis
gangguan jiwa di Indonesia III. Ed 1. 1993.
3. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines
for mental disorders in primary care: ICD-10 chapter V, primary
care version. Seattle: Hogrefe & Huber Publishers.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri. 2012.
-408-
J. RESPIRASI
1. INFLUENZA
Masalah Kesehatan
Influenza, sering dikenal dengan flu adalah penyakit menular
disebabkan oleh virus RNA yaitu virus influenza A, B dan lebih jarang
C. Virus influenza terus mengalami perubahan, sehingga dalam
beberapa waktu akan mengakibatkan wabah (pandemik) yang parah.
Virus ini menyerang saluran napas atas dan paru-paru.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam.
Peralatan: -
Referensi
1. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L.et al.
Harrisson’s: Principle of Internal Medicine. 17thed. New York:
McGraw-Hill Companies. 2009. p: 1006 - 1020.
2. WHO. Pedoman Interim WHO. Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi Saluran Pernapasan Atas yang Cenderung Menjadi Epidemi
dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 2007.
-411-
2. FARINGITIS AKUT
Masalah Kesehatan
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan
oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-
lain.Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali
infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis setiap
tahunnya.
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Peralatan
1. Lampu kepala
2. Spatula lidah
3. Lidi kapas
-416-
Referensi
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Jakarta: EGC. 1997.(Adam dan Boies, 1997)
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.(Lee, 2003)
3. Rusmarjono. Soepardi, E.A.Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi
Adenoid dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, KepaladanLeher. Ed. ke-6.Jakarta:Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007(Hafil, et al., 2007)
3. LARINGITIS AKUT
Masalah Kesehatan
Laringitis adalah peradangan pada laring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakteri, atau jamur. Laringitis juga merupakan akibat dari
penggunaan suara yang berlebihan, pajanan terhadap polutan
eksogen, atau infeksi pada pita suara. Refluks gastroesofageal,
bronkitis, dan pneumonia juga dapat menyebabkan laringitis.
Laringitis pada anak sering diderita oleh anak usia 3 bulan hingga 3
tahun, dan biasanya disertai inflamasi pada trakea dan bronkus dan
disebut sebagai penyakit croup. Penyakit ini seringkali disebabkan
oleh virus, yaitu virus parainfluenza, adenovirus, virus influenza A
dan B, RSV, dan virus campak. Selain itu, M. pneumonia juga dapat
menyebabkan croup.
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Peralatan
1. Lampu kepala
2. Kaca laring
3. Kassa steril
4. Lampu spiritus
-421-
Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-
6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Hermani,B. Abdurrachman, H. Cahyono, A. Kelainan Laring dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Ed. ke-6.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
4. TONSILITIS AKUT
Masalah Kesehatan
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan jaringan
limfoid yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal
lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s
tonsil).Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak berusia 3 sampai
10 tahun.
Peralatan
1. Lampu kepala
2. Spatula lidah
3. Lidi kapas
4. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah lengkap
5. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan mikrobiologi dengan
pewarnaan Gram
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
-427-
Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-
6. Jakarta: EGC. 1997
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
3. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi
Adenoid dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
5. BRONKITIS AKUT
Masalah Kesehatan
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke
paru-paru). Radang dapat berupa hipersekresi mukus dan batuk
produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun
atau paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut pada pasien yang
diketahui tidak terdapat penyebab lain. Bronkitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: infeksi virus, infeksi bakteri,
rokok dan asap rokok, paparan terhadap iritasi, bahan-bahan yang
mengeluarkan polusi, penyakit gastrofaringeal refluk dan pekerja yang
terekspos dengan debu atau asap. Bronkitis akut dapat dijumpai pada
semua umur, namun paling sering didiagnosis pada anak-anak muda
dari 5 tahun, sedangkan bronkitis kronis lebih umum pada orang tua
dari 50 tahun.
Peralatan
Oksigen
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam.
Referensi
1. Carolin. Elizabeth, J.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2002.
2. Danusantoso. Halim.Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta:
EGC.1998.
3. Harrison: Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13.Volume
ketiga. Jakarta.2003.
4. Nastiti, N. Rahajoe.Supriyanto, B. Bronkitis Akut dalam Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama, cetakan kedua. 2010. Hal: 337.
5. Snell. Richard S. Anatomi Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006.
6. Soeparman. Waspadji, S.Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta:
Penerbit FKUI. 1998.
Masalah Kesehatan
Asma adalah penyakit heterogen, selalu dikarakteristikkan dengan
inflamasi kronis di saluran napas. Terdapat riwayat gejala respirasi
seperti mengi, sesak, rasa berat di dada dan batuk yang intensitasnya
berberda-beda berdasarkan variasi keterbatasan aliran udara
ekspirasi
-432-
Klasifikasi
Tabel 10.3 Klasifikasi asma bronkial
Gejala
Derajat Asma Gejala Faal Paru
Malam
I. Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
Gejala< 1x/minggu ≤ 2 kali VEP1≥ 80% nilai
sebulan prediksi
Tanpa gejala diluar APE ≥ 80% nilai terbaik
serangan
Serangan singkat Variabiliti APE < 20%
II. Persisten Mingguan APE > 80%
ringan Gejala> 1 >2 kali VEP1≥ 80% nilai
x/minggu, tetapi< sebulan prediksi
1 x/hari
Serangan dapat APE ≥ 80% nilai terbaik
mengganggu
aktivitas dan tidur Variabiliti APE 20% -
30%
III. Persisten Harian APE 60 – 80%
sedang Gejala setiap hari >1 VEP160 – 80%
x/seminggu nilaiprediksi
Serangan APE 60 – 80%
mengganggu nilaiterbaik
aktivitas dan tidur
-434-
Gejala
Derajat Asma Gejala Faal Paru
Malam
Membutuhkan Variabiliti APE > 30%
bronkodilator
setiap hari
IV. Kontinyu APE ≤ 60%
Persisten Gejala terus Sering VEP1≤ 60% nilai
berat menerus prediksi
Sering kambuh APE ≤ 60% nilai terbaik
Aktivitas fisik Variabiliti APE > 30%
terbatas
Peralatan
1. Asthma control test
2. Tabung oksigen
3. Kanul hidung
4. Masker sederhana
5. Nebulizer
6. Masker inhalasi
7. Peak flow meter
8. Spirometri
Prognosis
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam
Referensi
1. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.
2014.(Global Initiatives for Asthma, 2011)
2. Global strategy for asthma management and prevention. GINA.
2006.(Global Initiatives for Asthma, 2006)
-438-
3. Perhimpunan dokter paru Indonesia.Asma. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2004.(Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2004)
Masalah Kesehatan
Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada
malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta
terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau
keluarganya. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas
jalan napas terhadap berbagai rangsangan. Prevalens total asma di
dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak).
Asma Eksaserbasi
Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode perburukan gejala-gejala
asma secara progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas,
batuk, mengi, dada rasa tertekan, atau berbagai kombinasi gejala
tersebut. Pada umumnya, eksaserbasi disertai distres pernapasan.
Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF atau FEV1. Pengukuran
ini merupakan indikator yang lebih dapat dipercaya daripada
penilaian berdasarkan gejala. Sebaliknya, derajat gejala lebih sensitif
untuk menunjukkan awal terjadinya ekaserbasi karena memberatnya
gejala biasanya mendahului perburukan PEF. Derajat serangan asma
bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang mengancam jiwa,
perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit, jam, atau hari.
Serangan akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap faktor
pencetus (paling sering infeksi virus atau allergen atau kombinasi
keduanya), sedangkan serangan berupa perburukan yang bertahap
mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka panjang penyakit.
-441-
Parameter Ringan Sedang Berat
klinis, fungsi Tanpa ancaman Ancaman
paru, henti napas henti
laboratorium napas
Sesak Berjalan Berbicara Istirahat
(breathless) Bayi: Bayi : Bayi: tidak mau
menangis tangis pendek minum/makan
keras dan lemah
kesulitan
menyusu/makan
Posisi Bisa Lebih suka Duduk
berbaring duduk bertopang lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin Biasanya iritable Biasanya Kebingung
iritable irritable an
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Mengi Sedang. Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/
Sering sepanjang terdengar tanpa tidak
hanya ekspirasi ± stetoskop terdengar
pada akhir inspirasi sepanjang
ekspirasi ekspirasi dan
inspirasi
Penggunaan Biasanya Biasanya ya Ya Gerakan
otot bantu tidak paradox
respiratorik torako-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/
retraksi ditambah diatambah napas hilang
interkostal retraksi cuping hidung
suprasternal
Frekuensi Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea
napas
Obat pereda : β-agonis atau teofilin (hirupan atau oral) bila perlu
Asma episodik jarang
Tatalaksana awal
• nebulisasi B2agonis 1-2x, selang 20 menit
• nebulisasi kedua + antikolinergik jika serangan sedang/berat
• nebulisasi langsung dengan B2agonis+antikolinergik
Pencegahan
Pengendalian lingkungan, pemberian ASI eksklusif minimal 6 bulan,
penghindaran makanan berpotensi alergenik, pengurangan pajanan
terhadap tungau debu rumah dan rontokan bulu binatang, telah
terbukti mengurangi timbulnya alergi makanan dan khususnya
dermatitis atopik pada bayi.
Komplikasi
1. Pneumotoraks
2. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis
3. Atelektasis
4. Gagal napas
5. Bronkitis
6. Fraktur iga
Peralatan
1. Alat tiup APE
2. Pemeriksaan darah rutin
3. Radiologi (jika fasilitas tersedia)
4. Oksigen
Prognosis
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit dan ketepatan
penanganan.
Referensi
1. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit Koordinasi Kerja Pengurus
Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2001.
2. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi
anak. Edisi pertama. Indonesia IDAI. 2010.
-448-
3. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. National Institute of Health.
www.ginasthma.com/download.asp?intId=214 . 2006
Masalah Kesehatan
Asma akut berat (serangan asma atau asma eksaserbasi) adalah
episode peruburukan gejala yang progresif dari sesak, batuk, mengi,
atau rasa berat di dada, atau kombinasi gejala-gejala tersebut.
Terapi Awal
Oksigen untuk mencapai saturasi ≥ 0%
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat secara kontinyu dalam 1 jam
Glukokortikosteroid sistemik jika pasien tak ada respons segera atau sebelumnya
pasien telah mendapat glukokortikosteroid oral atau jika serangan hebat
Respon Baik
1. Lanjutkan agonis beta-2 inhalasi setiap
3–4 jam untuk 24 – 48 jam
Alternatif : Bronkodilator oral setiap 6 –
8 jam
2. Steroid inhalasi diteruskan dengan dosis RUJUK
tinggi (bila sedang menggunakan
steroid inhalasi) selama 2 minggu, kmd
kembali ke dosis sebelumnya
Aminofilin bolus
dilanjutkan drip
Oksigen
Kortikosteroid IV
Peralatan
1. Tabung oksigen
2. Kanul hidung
3. Sungkup sederhana
4. Sungkup inhalasi
5. Nebulizer
6. Peak flow meter
7. Pulse oxymeter
8. Analisis gas darah
9. Tensimeter
Prognosis
1. Ad vitam : Dubia ad bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
Referensi
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma. Pedoman diagnosis
dan penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. Jakarta. 2004
2. Global Initiative For Asthma. Global strategy for asthma
management and prevention. GINA. 2012.
-455-
8. PNEUMONIA ASPIRASI
Masalah Kesehatan
Pneumonia aspirasi (Aspiration pneumonia) adalah pneumonia yang
disebabkan oleh terbawanya bahan yang ada diorofaring pada saat
respirasi ke saluran napas bawah dan dapat menimbulkan kerusakan
parenkim paru. Secara spesifik, pneumonia aspirasi didefinisikan
dengan ditemukannya bukti radiografi berupa penambahan infiltrat
di paru pada pasien dengan faktor risiko aspirasi orofaring.
Peralatan
Tabung oksigen beserta nasal kanul atau masker
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam.
-457-
Referensi
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia. PDPI. Jakarta
2013.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2013)
2. Marik PE. Aspiration pneumonitis and aspiration pneumonia. N Eng
J Med. 2001;3:665-71.(Marik, 2001)
9. PNEUMONIA, BRONKOPNEUMONIA
Masalah Kesehatan
Pneumonia adalah peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli, sertamenimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. Sebagian besar disebabkan oleh
mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh
hal lain (aspirasi, radiasi dll). Pneumonia yang dimaksud di sini tidak
termasuk dengan pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta
anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian
besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan
nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita
di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama
pneumonia. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi
pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur
(4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3%
dan 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan
(2,4% dan 4,8%) berdasarkan RISKESDAS 2013.
Peralatan
1. Termometer
2. Tensimeter
3. Pulse oxymeter (jika fasilitas tersedia)
4. Pemeriksaan pewarnaan gram
5. Pemeriksaan darah rutin
6. Radiologi (jika fasilitas tersedia)
7. Oksigen
-466-
Prognosis
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit dan ketepatan
penanganan.
Referensi
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti.
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
2011.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC,
Dowell SE, etc. Infectious diseases society of America/American
thoracic society consensus guidelines on the management of
community-acquired pneumonia in adults. Clinical Infectious
Diseases 2007; 44:S27–72(Mandel, et al., 2007)
3. Said M. Pneumonia. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB,
editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p.
310-33. (Said, 2011)
10. PNEUMOTORAKS
Masalah Kesehatan
Pneumotoraks adalah kondisi dimana terdapat udara bebas dalam
rongga pleura. Insiden pneumotoraks sulit diketahui karena
episodenya banyak yang tidak diketahui. Umumnya pria lebih banyak
dari wanita.
Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu:
1. Pneumotoraks spontan primer adalah pneumotoraks yang terjadi
tanpa riwayat penyakit paru sebelumnya ataupun trauma, dan
dapat terjadi pada individu yang sehat. Terutama lebih sering pada
laki, tinggi dan kurus, dan perokok.
2. Pneumotoraks spontan sekunder adalah pneumotoraks yang
terjadi pada penderita yang memiliki riwayat penyakit paru
sebelumnya seperti PPOK, TB paru dan lain-lain.
-467-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Pneumotoraks dapat menimbulkan keluhan atau tidak. Keluhan
yang dapat timbul adalah sesak napas, yang dapat disertai nyeri
dada pada sisi yang sakit. Nyeri dada tajam, timbul secara tiba-
tiba, dan semakin nyeri jika menarik napas dalam atau terbatuk.
Keluhan timbul mendadak ketika tidak sedang aktivitas.
2. Faktor risiko, di antaranya:
a. Infeksi, misalnya: tuberkulosis, pneumonia
b. Trauma
c. Merokok
Peralatan
1. Infus set
2. Abbocath 14
3. Tabung oksigen
4. Kanul hidung
5. Sungkup sederhana
6. Lidocaine 2%
7. Spuit 3 cc, 5 cc, 10 cc, 20 cc, 50 cc
8. Three-way
9. Botol bervolume 500 cc
Prognosis
1. Ad vitam : Dubia
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia
-469-
Referensi
1. Astowo P. Pneumotoraks. Dalam: Pulmonologi intervensi dan gawat
darurat napas. Swidarmoko B, Susanto AD, editor. Jakarta: Dep.
Pulmonologi dan Ked. Respirasi. 2010: 54-71.(Astowo, 2010)
2. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of spontaneous
pneumothorax: British Thoracic Society pleural diseases guideline
2010. Thorax. 2010; 65:18-31.(MacDuff, et al., 2010)
Masalah Kesehatan
PPOK adalah penyakit paru kronik yang dapat dicegah dan diobati,
dikarakteristikkan dengan hambatan aliran udara yang persisten,
progresif dan berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi
kronis di paru terhadap partikel dan gas berbahaya. Eksaserbasi dan
komorbid berkontribusi terhadap keseluruhan keparahan tiap
individu. Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur
(10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi
Selatan masing-masing 6,7 persen. PPOK lebih tinggi pada laki-laki
dibanding perempuan dan lebih tinggi di perdesaan dibanding
perkotaan. Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat
dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan terbawah.
Gejala Keterangan
Sesak Progresif (sesak bertambah berat
seiring berjalannya waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Persisten (menetap sepanjang hari)
Pasien mengeluh, “Perlu usaha untuk
bernapas”
Berat, sukar bernapas, terengah-engah
Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak
berdahak
-472-
Gejala Keterangan
Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK
Riwayat terpajan faktor Asap rokok
risiko Debu
Bahan kimia di tempat kerja
Asap dapur
Riwayat keluarga
Peralatan
1. Spirometer
2. Peak flow meter
3. Pulse oxymeter
4. Tabung oksigen
5. Kanul hidung
6. Sungkup sederhana
7. Sungkup inhalasi
8. Nebulizer
9. Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin
-474-
Prognosis
1. Ad vitam : Dubia
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia
Referensi
1. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif
kronik. Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta. 2011.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Global strategy for the diagnosis, management and prevention of
chronic obstructive pulmonary disease. GOLD, Inc. 2013.(GLobal
Initiatives for COPD, 2013)
3. Global strategy for the diagnosis, management and prevention of
chronic obstructive pulmonary disease. GOLD, Inc. 2006.(Global
Initiatives for COPD, 2006)
PPOK Eksaserbasi
• Pemberian oksigen
• Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan
mengubah bentuk bronkodilator yang digunakan
dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebulizer
• Memberikan mukolitik & ekspektoran
• Memberikan steroid oral
• Memberikan antibiotik bila ada infeksi
• Memberikan diuretik bila cairan berlebih
12. EPISTAKSIS
Masalah Kesehatan
Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir keluar dari hidung yang
berasal dari rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan. Hampir 90%
epistaksis dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat
merupakan gejala yang sangat mengganggu. Faktor etiologi dapat
-476-
lokal atau sistemik. Sumber perdarahan harus dicari dan dikoreksi
untuk mengobati epistaksis secara efektif.
Klasifikasi
1. Epistaksis Anterior
Epistaksis anterior paling sering berasal dari pleksus Kiesselbach,
yang merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada
anak-anak. Selain itu juga dapat berasal dari arteri etmoidalis
anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat
dikendalikan dengan tindakan sederhana.
2. Epistaksis Posterior
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri
sfenopalatina atau arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior
sering terjadi pada orang dewasa yang menderita hipertensi,
arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan
biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Referensi
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Iskandar, M. Teknik Penatalaksanaan Epistaksis. In: Cermin Dunia
Kedokteran. No. 132. 2001. p. 43-4(Iskandar, 2001)
3. Mangunkusumo, E. Wardani, R.S.Epistaksisdalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke-6.
Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Masalah Kesehatan
Kasus benda asing di hidung sering ditemui oleh dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan Tingkat Pertama. Kasus ini paling sering dialami
-482-
oleh anak dan balita. Terdapat dua jenis benda asing, yaitu benda
hidup (organik) dan benda mati (anorganik). Contoh benda asing
organik, antara lain lintah, lalat, larva, sedangkan benda asing
anorganik, misalnya manik-manik, kertas, tisu, logam, baterai kecil,
kacang-kacangan, dan lain-lain.
Faktor Risiko
Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan masuknya benda
asing ke dalam rongga hidung:
1. Umur: biasanya anak ≤ 5 tahun
2. Adanya kegagalan mekanisme proteksi yang normal, misal:
keadaan tidur, kesadaran menurun, alkoholisme, epilepsi
3. Adanya masalah kejiwaan, emosi, dan gangguan psikiatrik
Pemeriksaan Penunjang:
Foto Rontgen kranium (Schedel) posisi AP dan lateral, bila diperlukan
dan fasilitas tersedia.
-483-
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding
Rinolit
Komplikasi
1. Obstruksi jalan napas akut akibat masuknya benda asing ke
saluran napas yang lebih distal (laring, trakea).
2. Pada benda asing organik berupa larva / ulat / lintah, dapat
terjadi destruksi mukosa dan kartilago hidung.
3. Benda asing baterai cepat merusak mukosa sehingga dapat masuk
ke dalam septum atau konka inferior dalam beberapa jam dan
menyebabkan perforasi septum.
4. Pada benda asing berupa lalat (miasis hidung), dapat terjadi invasi
ke intrakranium dan, walaupun jarang, dapat menyebabkan
meningitis yang fatal.
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Peralatan
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung
3. Pengait tumpul(blunt hook)
4. Pinset
5. Forsep aligator
6. Suction
7. Xylocaine 2% spray
8. Formulir informed consent
Referensi
1. Efiaty, A. Nurbaiti, I. Jenny, B. Ratna, D. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 6th Ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
2. Buku Modul Hidung: Benda Asing 1st ed. Jakarta: Kolegium Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.
2008. (Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008)
-485-
14. FURUNKEL PADA HIDUNG
Masalah Kesehatan
Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea atau folikel rambut
hidung yang melibatkan jaringan subkutan. Biasanya disebabkan
oleh Staphylococcus aureus. Penyakit ini memiliki insidensi yang
rendah. Belum terdapat data spesifik yang menunjukkan prevalensi
furunkel. Furunkel umumnya terjadi paling banyak pada anak-anak,
remaja sampai dewasa muda.
Masalah Kesehatan
Rinitis akut adalah peradangan pada mukosa hidung
yangberlangsung akut (<12 minggu). Hal ini dapat disebabkan oleh
infeksi virus, bakteri, ataupun iritan. Radang sering ditemukan
karena manifestasi dari rinitis simpleks (common cold), influenza,
penyakit eksantem (seperti morbili, variola, varisela, pertusis),
penyakit spesifik, serta sekunder dari iritasi lokal atau trauma.
Peralatan
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung
3. Suction
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
3. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Ed.
ke-6.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
-491-
16. RINITIS VASOMOTOR
Masalah Kesehatan
Rinitis vasomotor adalah salah satu bentuk rinitis kronik yang tidak
diketahui penyebabnya (idiopatik), tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin, dan obat topikal
hidung dekongestan). Rinitis non alergi dan mixed rhinitis lebih sering
dijumpai pada orang dewasa dibandingkan anak-anak, lebih sering
dijumpai pada wanita dan cenderung bersifat menetap.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
1. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan tergantung posisi
tidur pasien, memburuk pada pagi hari dan jika terpajan
lingkungan non-spesifik seperti perubahan suhu atau kelembaban
udara, asap rokok, bau menyengat.
2. Rinore yang bersifat serosa atau mukus, kadang-kadang
jumlahnya agak banyak.
3. Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan rinitis alergika.
4. Lebih sering terjadi pada wanita.
Faktor Predisposisi
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis
antara lain: Ergotamin, Klorpromazine, obat anti hipertensi, dan
obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin,
kelembaban udara yang tinggi, serta bau yang menyengat
(misalnya, parfum).
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa pubertas, pemakaian
kontrasepsi oral, dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang, dan stress.
-492-
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior:
1. Tampak gambaran konka inferior membesar (edema atau
hipertrofi), berwarna merah gelap atau merah tua atau pucat.
Untuk membedakan edema dengan hipertrofi konka, dokter dapat
memberikan larutan Epinefrin 1/10.000 melalui tampon hidung.
Pada edema, konka akan mengecil, sedangkan pada hipertrofi
tidak mengecil.
2. Terlihat adanya sekret serosa dan biasanya jumlahnya tidak
banyak. Akan tetapi pada golongan rinore tampak sekret serosa
yang jumlahnya sedikit lebih banyak dengan konka licin atau
berbenjol-benjol.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Pemeriksaan dilakukan bila diperlukan
dan fasilitas tersedia di layanan Tingkat Pertama, yaitu:
1. Kadar eosinofil pada darah tepi atau sekret hidung
2. Tes cukit kulit (skin prick test)
3. Kadar IgE spesifik
Referensi
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Irawati, N., Poerbonegoro, NL., Kasakeyan, E. Rhinitis Vasomotor
dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher. Ed ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
Masalah Kesehatan
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh
alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika
terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut
WHO ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001, rinitis
alergi adalah kelainan pada gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantai oleh Ig E.
Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering
terjadi terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi
laki-laki dan perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada
anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun,
sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun.
Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan
dengan usia sehingga pada usia tua rinitis alergi jarang ditemukan.
-495-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus encer dari hidung
(rinorea), bersin, hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung (trias
alergi). Bersin merupakan gejala khas, biasanya terjadi berulang,
terutama pada pagi hari. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap
patologik dan perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan
reaksi alergi fase cepat. Gejala lain berupa mata gatal dan banyak air
mata.
Faktor Risiko
1. Adanya riwayat atopi.
2. Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor
risiko untuk untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat timbul
gejala alergis.
3. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat
tidur, suhu yang tinggi.
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-
6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact
on Asthma Initiative).
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8.
McGraw-Hill. 2003.
4. Irawati, N. Kasakeyan, E. Rusmono, N.Rhinitis Alergi dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007
Masalah Kesehatan
Rinosinusitis adalah penyakit akibat peradangan pada mukosa sinus
paranasal dan rongga hidung. Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
Tingkat Pertama harus memiliki keterampilan yang memadai untuk
-499-
mendiagnosis, menatalaksana, dan mencegah berulangnya
rinosinusitis. Tatalaksana rinosinusitis yang efektif dari dokter di
fasilitas pelayanan kesehatan Tingkat Pertama dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien secara signifikan, menurunkan biaya
pengobatan, serta mengurangi durasi dan frekuensi absen kerja.
Diagnosis Banding
Berikut ini adalah diagnosis banding dari rinosinusitis akut dan
kronis:
Komplikasi
1. Kelainan orbita
Penyebaran infeksi ke orbita paling sering terjadi pada sinusitis
etmoid, frontal, dan maksila. Gejala dan tanda yang patut dicurigai
sebagai infeksi orbita adalah: edema periorbita, selulitis orbita,
dan nyeri berat pada mata. Kelainan dapat mengenai satu mata
atau menyebar ke kedua mata.
2. Kelainan intrakranial
Penyebaran infeksi ke intrakranial dapat menimbulkan meningitis,
abses ekstradural, dan trombosis sinus kavernosus. Gejala dan
tanda yang perlu dicurigai adalah: sakit kepala (tajam, progresif,
terlokalisasi), paresis nervus kranial, dan perubahan status mental
pada tahap lanjut.
3. Komplikasi lain, terutama pada rinosinusitis kronik, dapat berupa:
osteomielitis sinus maksila, abses subperiosteal, bronkitis kronik,
bronkiektasis.
-504-
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Rinosinusitis Akut (RSA)
Tujuan penatalaksanaan RSA adalah mengeradikasi infeksi,
mengurangi severitas dan durasi gejala, serta mencegah komplikasi.
Prinsip utama tatalaksana adalah memfasilitasi drainase sekret dari
sinus ke ostium di rongga hidung. Tatalaksana RSA dapat dilihat
dalam gambar Algoritma tatalaksana RSA.
Konseling dan Edukasi :
1. Pasien dan atau keluarga perlu mendapatkan penjelasan yang
adekuat mengenai penyakit yang dideritanya, termasuk faktor
risiko yang diduga mendasari.
2. Dokter bersama pasien dapat mendiskusikan hal-hal yang dapat
membantu mempercepat kesembuhan, misalnya:
a. Pada pasien perokok, sebaiknya merokok dihentikan. Dokter
dapat membantu pasien berhenti merokok dengan melakukan
konseling (dengan metode 5A) atau anjuran (metode
pengurangan, penundaan, atau cold turkey, sesuai preferensi
pasien).
b. Bila terdapat pajanan polutan sehari-hari, dokter dapat
membantu memberikan anjuran untuk meminimalkannya,
misalnya dengan pasien menggunakan masker atau ijin kerja
selama simtom masih ada.
c. Pasien dianjurkan untuk cukup beristirahat dan menjaga
hidrasi.
d. Pasien dianjurkan untuk membilas atau mencuci hidung secara
teratur dengan larutan garam isotonis (salin).
Rencana Tindak Lanjut
1. Pasien dengan RSA viral (common cold) dievaluasi kembali setelah
10 hari pengobatan. Bila tidak membaik, maka diagnosis menjadi
RSA pasca viral dan dokter menambahkan kortikosteroid (KS)
intranasal ke dalam rejimen terapi.
2. Pasien dengan RSA pasca viral dievaluasi kembali setelah 14 hari
pengobatan. Bila tidak ada perbaikan, dapat dipertimbangkan
rujukan ke spesialis THT.
3. Pasien dengan RSA bakterial dievaluasi kembali 48 jam setelah
pemberian antibiotik dan KS intranasal. Bila tidak ada perbaikan,
dapat dipertimbangkan rujukan ke spesialis THT.
-505-
Kriteria Rujukan
Pada kasus RSA, rujukan segera ke spesialis THT dilakukan bila:
1. Terdapat gejala dan tanda komplikasi, di antaranya: Edema /
eritema periorbital, perubahan posisi bola mata, Diplopia,
Oftalmoplegia, penurunan visus, sakit kepala yang berat,
pembengkakan area frontal, tanda-tanda iritasi meningeal,
kelainan neurologis fokal.
2. Bila tidak terjadi perbaikan pasca terapi adekuat setelah 10 hari
(RSA viral), 14 hari (RSA pasca viral), dan 48 jam (RSA bakterial).
Rinosinusitis Kronis
Strategi tatalaksana RSK meliputi identifikasi dan tatalaksana faktor
risiko serta pemberian KS intranasal atau oral dengan / tanpa
antibiotik. Tatalaksana RSK dapat dilihat pada Algoritma tatalaksana
RSK.
Konseling dan Edukasi
1. Dokter perlu menjelaskan mengenai faktor risiko yang mendasari
atau mencetuskan rinosinusitis kronik pada pasien beserta
alternatif tatalaksana untuk mengatasinya.
2. Pencegahan timbulnya rekurensi juga perlu didiskusikan antara
dokter dengan pasien.
Kriteria Rujukan
Rujukan ke spesialis THT dilakukan apabila:
1. Pasien imunodefisien
2. Terdapat dugaan infeksi jamur
3. Bila rinosinusitis terjadi ≥ 4 kali dalam 1 tahun
4. Bila pasien tidak mengalami perbaikan setelah pemberian terapi
awal yang adekuat setelah 4 minggu.
5. Bila ditemukan kelainan anatomis ataupun dugaan faktor risiko
yang memerlukan tatalaksana oleh spesialis THT, misalnya:
deviasi septum, polip nasal, atau tumor.
Sinusitis Dentogenik
1. Eradikasi fokus infeksi, misal: ekstraksi gigi
2. Irigasi sinus maksila
3. Antibiotik
Prognosis
Rinosinusitis Akut
1. Ad vitam : Bonam
-506-
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Rinosinusitis Kronis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia ad bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad bonam
Sinusitis Dentogenik
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Peralatan
1. Termometer
2. Spekulum hidung
3. Kaca rinoskop posterior
4. Kassa steril
5. Lampu kepala
6. Lampu Bunsen / spiritus dan korek api
7. Otoskop
8. Suction
9. Lampu baca x-ray
10. Formulir permintaan pemeriksaan radiologi
11. Formulir rujukan
Referensi
1. Fokkens, W et.al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis
and Nasal Polyps. Rhinol Suppl, 23, pp.1-298. Available at:
http://www.rhinologyjournal.com [Accessed June 24, 2014].
(Fokkens, 2012)
2. Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala –
Leher FKUI / RSCM. Panduan Pelayanan Medis Rinosinusitis.
3. Desrosiers, M et.al, 2011. Canadian Clinical Practice Guidelines for
Acute and Chronic Rhinosinusitis. Allergy, Asthma, & Clinical
Immunology, 71, pp.1-38. Available at:
http://www.aacijournal.com/content/7/1/2 [Accessed June 6,
2014]. (Desrosier et.al, 2011)
4. Hwang, PH & Getz, A, 2014. Acute Sinusitis and Rhinosinusitis in
Adults: Treatment. UpToDate Wolters Kluwer Health. Available at:
-507-
www.uptodate.com [Accessed June 6, 2014]. (Hwang & Getz,
2014)
5. Chow, AW et.al, 2012. IDSA Clinical Practice Guideline for Acute
Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults. Clinical Infectious
Diseases, pp.e1-e41. Available at: http://cid.oxfordjournals.org/
[Accessed June 6, 2014]. (Chow et.al, 2012)
6. Fagnan, LJ, 1998. Acute Sinusitis: A Cost-Effective Approach to
Diagnosis and Treatment. American Family Physician, 58(8),
pp.1795-1802. Available at:
http://www.aafp.org/afp/1998/1115/p1795.html [Accessed June
6, 2014]. (Fagnan, 1998)
K. KULIT
1. MILIARIA
Masalah Kesehatan
Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat yang ditandai
oleh adanya vesikel milier. Sinonim untuk penyakit ini adalah biang
keringat, keringat buntet, liken tropikus, prickle heat. Berdasarkan
survey yang dilakukan di Jepang didapatkan 5000 bayi baru lahir
menderita miliaria. Survey tersebut mengungkapkan bahwa miliaria
kristalina terjadi pada 4,5% nenonatus dengan usia rata-rata 1
minggu dan miliaria rubra terjadi pada 4% neonatus dengan usia
rata-rata 11-14 hari. Dari sebuah survey yang dilakukan di Iran
ditemukan insiden miliaria pada 1,3% bayi baru lahir. Miliaria
umumnya terjadi di daerah tropis dan banyak diderita pada mereka
yang baru saja pindah dari daerah yang beriklim sedang ke daerah
yang beriklim tropis.
3. Miliaria profunda
a. Merupakan kelanjutan miliaria rubra, berbentuk papul putih
keras berukuran 1-3 mm, mirip folikulitis, dapat disertai
pustul.
b. Predileksi pada badan dan ekstremitas.
-509-
4. Miliaria pustulosa
Berasal dari miliaria rubra, dimana vesikelnya berubah menjadi
pustul.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
miliaria.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, pasien dapat sembuh tanpa komplikasi.
-511-
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Levin, N.A. 2014. Dermatologic manifestation of miliaria. Medscape.
May 21, 2014. http://emedicine.medscape.com/article/1070840-
overview#a0199
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
2. VERUKA VULGARIS
Masalah Kesehatan
Veruka vulgaris merupakan hiperplasia epidermis yang disebabkan
oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe tertentu. Sinonim penyakit ini
adalah kutil atau common wart. Penularan melalui kontak langsung
dengan agen penyebab. Veruka ini sering dijumpai pada anak-anak
dan remaja.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
veruka vulgaris.
Prognosis
Pada 90% kasus sembuh spontan dalam 5 tahun sehingga prognosis
umumnya bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
-514-
3. HERPES ZOSTER
Masalah Kesehatan
Herpes Zoster adalah infeksi kulit dan mukosa yang disebabkan oleh
virus Varisela-zoster. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang
terjadi setelah infeksi primer. Herpes Zoster jarang terjadi pada anak-
anak dan dewasa muda, kecuali pada pasien muda dengan AIDS,
limfoma, keganasan, penyakit imunodefisiensi dan pada pasien yang
menerima transplantasi sumsum tulang atau ginjal. Penyakit ini
terjadi kurang dari 10% pada pasien yang berusia kurangdari 20
tahun dan hanya 5% terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 15
tahun.Insiden herpes zoster meningkat seiring dengan pertambahan
usia. Prevalensi penyakit ini pada pria dan wanita sama.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
Herpes Zoster.
Prognosis
Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya adalah bonam,
sedangkan pasien dengan imunokompromais, prognosis menjadi
dubia ad bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Janniger, C.K. Eastern, J.S., Hispenthal, D.R., Moon, J.E. 2014.
Herper zoster. Medscape. June 7, 2014.
http://emedicine.medscape.com/article/1132465-overview#a0156
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
4. HERPES SIMPLEKS
Masalah Kesehatan
Infeksi akut yang disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks tipe 1 atau
tipe 2, yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas
kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah mukokutan.
Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab. Infeksi
primer oleh Virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1 biasanya dimulai pada
-518-
usia anak-anak, sedangkan HSV tipe 2 biasanya terjadi pada dekade
II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.
Diperkiraan ada 536 juta orang yang berusia 15-49 tahun yang
terinfeksi HSV-2 di seluruh dunia pada tahun 2003 atau sekitar16%
dari populasi dunia pada rentang usia tersebut. Prevalensi penyakit
ini lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria dan umumnya
lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju.
Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding
1. Impetigo vesikobulosa.
2. Ulkus genitalis pada penyakit menular seksual.
Komplikasi
-520-
Dapat terjadi pada individu dengan gangguan imun, berupa:
1. Herpes simpleks ulserativa kronik.
2. Herpes simpleks mukokutaneus akut generalisata.
3. Infeksi sistemik pada hepar, paru, kelenjar adrenal, dan sistem
saraf pusat.
4. Pada ibu hamil, infeksi dapat menular pada janin, dan
menyebabkan neonatal herpes yang sangat berbahaya.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, namun quo ad sanationam adalah dubia
ad malam karena terdapat risiko berulangnya keluhan serupa.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Looker, K. J., Garnett, G. P. & Schmid, G. P. 2008. An Estimate Of
The Global Prevalence And Incidence Of Herpes Simplex Virus Type
2 Infection. World Health Organization. Bulletin Of The World Health
Organization, 86, 805-12, A. June 8, 2014.
http://search.proquest.com/docview/229661081/fulltextPDF?acc
ountid=17242
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
5. MOLUSKUM KONTAGIOSUM
Masalah Kesehatan
Moluskum kontagiosum adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
poks yang menginfeksi sel epidermal. Penyakit ini terutama
menyerang anak dan kadang-kadang juga orang dewasa. Pada orang
dewasa, penyakit ini digolongkan kedalam penyakit akibat hubungan
seksual. Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab.
-522-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Adanya kelainan kulit berupa papul miliar. Masa inkubasi
berlangsung satu sampai beberapa minggu.
Faktor Risiko
1. Terutama menyerang anak dan kadang-kadang juga orang dewasa.
2. Imunodefisiensi.
Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan, melakukan tindakan enukleasi pada papul untuk
menemukan badan moluskum.
Peralatan
1. Lup
2. Ekstraktor komedo, jarum suntik atau alat kuret kulit
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam karena penyakit ini merupakan
penyakit yang self-limiting.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
-524-
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
Masalah Kesehatan
Reaksi gigitan serangga (insect bite reaction) adalah reaksi
hipersensitivitas atau alergi pada kulit akibat gigitan (bukan terhadap
sengatan/stings) dan kontak dengan serangga. Gigitan hewan
serangga, misalnya oleh nyamuk, lalat, bugs, dan kutu, yang dapat
menimbulkan reaksi peradangan yang bersifat lokal sampai sistemik.
Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.
Peralatan
1. Alat resusitasi
2. Tabung dan masker oksigen
Prognosis
Prognosis umumnya bonam. Quo ad sanationam untuk reaksi tipe
cepat dan reaksi tidak biasa adalah dubia ad malam, sedangkan
reaksi tipe lambat adalah bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
-528-
7. SKABIES
Masalah Kesehatan
Skabies adalah penyakit yang disebabkan infestasi dan sensitisasi
kulit oleh tungau Sarcoptes scabiei dan produknya. Penyakit ini
berhubungan erat dengan higiene yang buruk. Prevalensi skabies
tinggi pada populasi yang padat. Dari hasil penelitian di Brazil,
prevalensi skabies dua kali lebih tinggi di daerah kumuh perkotaan
yang padat penduduk daripada di masyarakat nelayan dimana
mereka tinggal di tempat yang lebih luas.
Penularan dapat terjadi karena:
1. Kontak langsung kulit dengan kulit penderita skabies, seperti
menjabat tangan, hubungan seksual, atau tidur bersama.
2. Kontak tidak langsung (melalui benda), seperti penggunaan
perlengkapan tidur bersama dan saling meminjam pakaian,
handuk dan alat-alat pribadi lainnya, tidak memiliki alat-alat
pribadi sendiri sehingga harus berbagi dengan temannya.
Tungau hidup dalam epidermis, tahan terhadap air dan sabun dan
tetap hidup bahkan setelah mandi dengan air panas setiap.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit untuk menemukan
tungau.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, namun tatalaksana harus dilakukan juga
terhadap lingkungannya.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Heukelbach, J. & Feldmeier, H. 2006. Scabies. The Lancet, 367,
1767-74. June 8, 2014.
http://Search.Proquest.Com/Docview/199054155/Fulltextpdf/Afb
f4c2fd1bd4016pq/6?Accountid=17242
3. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
8. PEDIKULOSIS KAPITIS
Masalah Kesehatan
Pedikulosis kapitis adalah infeksi dan infestasi kulit kepala dan
rambut manusia yang disebabkan oleh kutu kepala Pediculus
humanus var capitis. Penyakit ini terutama menyerang anak-anak
usia muda dan cepat meluas dalam lingkungan hidup yang padat,
misalnya di asrama atau panti asuhan. Ditambah pula dalam kondisi
higiene yang tidak baik, misalnya jarang membersihkan rambut atau
rambut yang relatif susah dibersihkan (rambut yang sangat panjang
pada wanita).
-532-
Penularan melalui kontak langsung dengan agen penyebab, melalui:
1. Kontak fisik erat dengan kepala penderita, seperti tidur bersama.
2. Kontak melalui fomite yang terinfestasi, misalnya pemakaian
bersama aksesori kepala, sisir, dan bantal juga dapat
menyebabkan kutu menular.
Diagnosis Banding
Tinea kapitis, Impetigo krustosa (pioderma), Dermatitis seboroik
Komplikasi
Infeksi sekunder bila pedikulosis berlangsung kronis.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
pedikulosis kapitis.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
-535-
9. PEDIKULOSIS PUBIS
Masalah Kesehatan
Pedikulosis pubis adalah penyakit infeksi pada rambut di daerah
pubis dan sekitarnya yang disebabkan oleh Phthirus pubis. Penyakit
ini menyerang orang dewasa dan dapat digolongkan dalam penyakit
akibat hubungan seksual dan menular secara langsung. Infeksi juga
bisa terjadi pada anak-anak yang berasal dari orang tua mereka dan
terjadi di alis, atau bulu mata.
Prognosis
Bonam
Referensi
1. Cho B.S., Kim H.S., Pediculosis of The Pubis. Available from
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMicm0707428 (10
Juni 2014)
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Guenther L. Pediculosis. Available from http://e-
medicine.medscape.com (10 Juni 2014)
10. DERMATOFITOSIS
Masalah Kesehatan
Dermatofitosis adalah infeksi jamur dermatofita yang memiliki sifat
mencernakan keratin di jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku.
Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan agen penyebab.
Sumber penularan dapat berasal dari manusia (jamur antropofilik),
binatang (jamur zoofilik) atau dari tanah (jamur geofilik).
-538-
Klasifikasi dermatofitosis yang praktis adalah berdasarkan lokasi,
yaitu antara lain:
1. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.
2. Tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
3. Tinea kruris, pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan
perut bagian bawah.
4. Tinea pedis et manum, pada kaki dan tangan.
5. Tinea unguium, pada kuku jari tangan dan kaki.
6. Tinea korporis, pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5
tinea di atas. Bila terjadi di seluruh tubuh disebut dengan tinea
imbrikata.
Tinea pedis banyak didapatkan pada orang yang dalam kehdupan
sehari-hari banyak memakai sepatu tertutup disertai perawatan kaki
yang buruk dan para pekerja dengan kaki yang selalu atau sering
basah. Tinea kruris merupakan salah satu bentuk klinis yang sering
dilihat di Indonesia.
Komplikasi
Jarang ditemukan, dapat berupa infeksi bakterial sekunder.
-540-
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian handuk/pakaian secara
bersamaan harus dihindari.
2. Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan topikal, yaitu dengan:
antifungal topikal seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau
terbinafin yang diberikan hingga lesi hilang dan dilanjutkan 1-2
minggu kemudian untuk mencegah rekurensi.
3. Untuk penyakit yang tersebar luas atau resisten terhadap terapi
topikal, dilakukan pengobatan sistemik dengan:
a. Griseofulvin dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g per hari
untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g per hari untuk anak-
anak atau 10-25 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 2 dosis.
b. Golongan azol, seperti Ketokonazol: 200 mg/hari; Itrakonazol:
100 mg/hari atau Terbinafin: 250 mg/hari
Pengobatan diberikan selama 10-14 hari pada pagi hari setelah
makan.
Konseling dan Edukasi
Edukasi mengenai penyebab dan cara penularan penyakit. Edukasi
pasien dan keluarga juga untuk menjaga higiene tubuh, namun
penyakit ini bukan merupakan penyakit yang berbahaya.
Kriteria rujukan
Pasien dirujuk apabila:
1. Penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari setelah terapi.
2. Terdapat imunodefisiensi.
3. Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka.
Peralatan
1. Lup
2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
Prognosis
Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya bonam,
sedangkan pasien dengan imunokompromais, quo ad sanationamnya
menjadi dubia ad bonam.
-541-
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
Masalah Kesehatan
Tinea versikolor adalah penyakit infeksi pada superfisial kulit dan
berlangsung kronis yang disebabkan oleh jamur Malassezia furfur.
Prevalensi penyakit ini tinggi pada daerah tropis yang bersuhu hangat
dan lembab.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan lampu Wood menampakkan pendaran (fluoresensi)
kuning keemasan pada lesi yang bersisik.
2. Pemeriksaan mikroskopis sediaan kerokan skuama lesi dengan
KOH. Pemeriksaan ini akan tampak campuran hifa pendek dan
spora-spora bulat yang dapat berkelompok (spaghetti and meatball
appearance).
Peralatan
1. Lup
2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
-544-
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
12. PIODERMA
Masalah Kesehatan
Pioderma adalah infeksi kulit (epidermis, dermis dan subkutis) yang
disebabkan oleh bakteri gram positif dari golongan Stafilokokus dan
Streptokokus. Pioderma merupakan penyakit yang sering dijumpai. Di
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, insidennya menduduki peringkat ketiga, dan
berhubungan erat dengan keadaaan sosial ekonomi. Penularannya
melalui kontak langsung dengan agen penyebab.
-545-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang mengeluh adanya koreng atau luka di kulit
1. Awalnya berbentuk seperti bintil kecil yang gatal, dapat berisi
cairan atau nanah dengan dasar dan pinggiran sekitarnya
kemerahan. Keluhan ini dapat meluas menjadi bengkak disertai
dengan rasa nyeri.
2. Bintil kemudian pecah dan menjadi keropeng/koreng yang
mengering, keras dan sangat lengket.
Faktor risiko:
1. Higiene yang kurang baik
2. Defisiensi gizi
3. Imunodefisiensi (CD4 dan CD8 yang rendah)
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan dari apusan cairan sekret dari dasar lesi dengan
pewarnaan Gram
2. Pemeriksaan darah rutin kadang-kadang ditemukan leukositosis.
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan Gram
Prognosis
Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi, prognosis umumnya
bonam, bila dengan komplikasi, prognosis umumnya dubia ad bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
-549-
13. ERISIPELAS
Masalah Kesehatan
Erisipelas adalah penyakit infeksi bakteri akut, biasanya disebabkan
oleh Streptococcus, melibatkan dermis atas dengan tanda khas meluas
ke limfatik kutaneus superfisial. Erisipelas pada wajah kebanyakan
disebabkan oleh streptococcus grup A, sedangkan erisipelas pada
ekstremitas bawah kebanyakan disebabkan oleh streptococcus non
grup A. Di perkirakan 85% kasus erisipelas terjadi pada ekstremitas
bawah.
Erisipelas kebanyakan terjadi pada wanita, akan tetapi pada usia
muda lebih sering terjadi pada pria. Insidens tertinggi dilaporkan pada
pasien berusia 60 – 80 tahun khususnya pada pasien dengan
gangguan saluran limfatik.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah didapatkan leukositosis
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding:
Selulitis, Urtikaria
-551-
Komplikasi:
Ganggren, Edema kronis, terjadi scar, sepsis, demam Scarlet,
Pneumonia, Abses, Emboli, Meningitis
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin.
Prognosis
Dubia ad bonam
Referensi
1. DavisL.Erysipelas. Available from http://e-medicine.medscape.com
(10 Juni 2014)
2. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
3. Pereira de Godoy JM, et al. Epidemiological Data And Comorbidities
Of 428 Patients Hospitalized With Erysipelas. Angiology. Jul
2010;61(5):492-4
-552-
14. DERMATITIS SEBOROIK
Masalah Kesehatan
Dermatitis seboroik (DS) merupakan istilah yang digunakan untuk
segolongan kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi
(predileksi di tempat-tempat kelenjar sebum). Dermatitis seboroik
berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea.
Peralatan: -
-555-
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam, sembuh tanpa komplikasi.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
Masalah Kesehatan
Dermatitis Atopik (DA) adalah peradangan kulit berulang dan kronis
dengan disertai gatal. Pada umumnya terjadi selama masa bayi dan
anak-anak dan sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE
dalam serum serta riwayat atopi pada keluarga atau penderita.
Sinonim dari penyakit ini adalah eczema atopik, eczema
konstitusional, eczema fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo
Besnier.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan IgE serum (bila diperlukan dan dapat dilakukan di
fasilitas pelayanan Tingkat Pertama)
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit ini.
-561-
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam, dapat terkendali dengan
pengobatan pemeliharaan.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
Masalah Kesehatan
Dermatitis numularis adalah dermatitis berbentuk lesi mata uang
(koin) atau lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi berupa
papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah
(oozing/madidans). Penyakit ini pada orang dewasa lebih sering terjadi
pada pria daripada wanita. Usia puncak awitan pada kedua jenis
kelamin antara 55 dan 65 tahun, pada wanita usia puncak terjadi
juga pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa
ditemukan pada anak, bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum
satu tahun, umumnya kejadian meningkat seiring dengan
meningkatnya usia.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan, karena manifestasi klinis jelas dan klasik.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
dermatitis numularis.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam apabila kelainan ringan tanpa
penyulit, dapat sembuh tanpa komplikasi, namun bila kelainan berat
dan dengan penyulit prognosis menjadi dubia ad bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
Masalah Kesehatan
Liken simpleks kronik atau yang sering disebut juga dengan
neurodermatitis sirkumkripta adalah kelainan kulit berupa
peradangan kronis, sangat gatal berbentuk sirkumskrip dengan tanda
berupa kulit tebal dan menonjol menyerupai kulit batang kayu akibat
garukan dan gosokan yang berulang-ulang. Penyebab kelainan ini
belum diketahui. Prevalensi tertinggi penyakit ini pada orang yang
-565-
berusia 30-50 tahun dan lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam, namun quo ad sanationamnya
adalah dubia ad bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
Masalah Kesehatan
Dermatisis kontak alergik (DKA) adalah reaksi peradangan kulit
imunologik karena reaksi hipersensitivitas. Kerusakan kulit terjadi
didahului oleh proses sensitisasi berupa alergen (fase sensitisasi) yang
umumnya berlangsung 2-3 minggu. Bila terjadi pajanan ulang dengan
alergen yang sama atau serupa, periode hingga terjadinya gejala klinis
umumnya 24-48 jam (fase elisitasi). Alergen paling sering berupa
bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da. DKA
terjadi dipengaruhi oleh adanya sensitisasi alergen, derajat pajanan
dan luasnya penetrasi di kulit.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
dermatitis kontak alergi.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam, sedangkan quo ad sanationam
adalah dubia ad malam (bila sulit menghindari kontak dan dapat
menjadi kronis).
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
-571-
19. DERMATITIS KONTAK IRITAN
Masalah Kesehatan
Dermatisis kontak iritan (DKI) adalah reaksi peradangan kulit non-
imunologik. Kerusakan kulit terjadi secara langsung tanpa didahului
oleh proses sensitisasi. DKI dapat dialami oleh semua orang tanpa
memandang usia, jenis kelamin, dan ras. Penyebab munculnya
dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan
pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu
yang biasanya berhubungan dengan pekerjaan.
Klasifikasi
Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tertentu, DKI
dibagi menjadi:
1. DKI akut:
a. Bahan iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat (H2SO4) atau
asam klorida (HCl), termasuk luka bakar oleh bahan kimia.
b. Lesi berupa: eritema, edema, bula, kadang disertai nekrosis.
c. Tepi kelainan kulit berbatas tegas dan pada umumnya
asimetris.
2. DKI akut lambat:
a. Gejala klinis baru muncul sekitar 8-24 jam atau lebih setelah
kontak.
b. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI tipe ini diantaranya
adalah podofilin, antralin, tretionin, etilen oksida,
benzalkonium klorida, dan asam hidrofluorat.
c. Kadang-kadang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang
pada malam hari (dermatitis venenata), penderita baru merasa
pedih keesokan harinya, pada awalnya terlihat eritema, dan
pada sore harinya sudah menjadi vesikel atau bahkan
nekrosis.
-573-
3. DKI kumulatif/ DKI kronis:
a. Penyebabnya adalah kontak berulang-ulang dengan iritan
lemah (faktor fisis misalnya gesekan, trauma minor,
kelembaban rendah, panas atau dingin, faktor kimia seperti
deterjen, sabun, pelarut, tanah dan bahkan air).
b. Umumnya predileksi ditemukan di tanganterutama pada
pekerja.
c. Kelainan baru muncul setelah kontak dengan bahan iritan
berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun
kemudian sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan
faktor penting.
d. Kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit
tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus-menerus
dengan deterjen. Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau
nyeri karena kulit retak (fisur). Ada kalanya kelainan hanya
berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga
diabaikan oleh penderita.
4. Reaksi iritan:
a. Merupakan dermatitis subklinis pada seseorang yang terpajan
dengan pekerjaan basah, misalnya penata rambut dan pekerja
logam dalam beberapa bulan pertama, kelainan kulit
monomorfik (efloresensi tunggal) dapat berupa eritema,
skuama, vesikel, pustul, dan erosi.
b. Umumnya dapat sembuh sendiri, namun menimbulkan
penebalan kulit, dan kadang-kadang berlanjut menjadi DKI
kumulatif.
5. DKI traumatik:
a. Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau
laserasi.
b. Gejala seperti dermatitis numularis (lesi akut dan basah).
c. Penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu.
d. Lokasi predileksi paling sering terjadi di tangan.
6. DKI non eritematosa:
Merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai dengan perubahan
fungsi sawar stratum korneum, hanya ditandai oleh skuamasi
ringan tanpa disertai kelainan klinis lain.
7. DKI subyektif/ DKI sensori:
Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa seperti
tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah kontak dengan
bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.
-574-
Diagnosis Banding
Dermatitis kontak alergi
Komplikasi
Infeksi sekunder.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam. Pada kasus DKI akut dan bisa
menghindari kontak, prognosisnya adalah bonam (sembuh tanpa
komplikasi). Pada kasus kumulatif dan tidak bisa menghindari
kontak, prognosisnya adalah dubia.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
Masalah Kesehatan
Napkin eczema sering disebut juga dengan dermatitis popok atau
diaper rash adalah dermatitis di daerah genito-krural sesuai dengan
tempat kontak popok. Umumnya pada bayi pemakai popok dan juga
orang dewasa yang sakit dan memakai popok. Dermatitis ini
merupakan salah satu dermatitis kontak iritan akibat isi napkin
(popok).
-576-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan gatal dan bercak merah berbatas tegas
mengikuti bentuk popok yang berkontak, kadang-kadang basah dan
membentuk luka.
Faktor Risiko
1. Popok jarang diganti.
2. Kulit bayi yang kering sebelum dipasang popok.
3. Riwayat atopi diri dan keluarga.
4. Riwayat alergi terhadap bahan plastik dan kertas.
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH dan Gram
Prognosis
Prognosis umumnya bonam dan dapat sembuh tanpa komplikasi.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
Masalah Kesehatan
Dermatitis perioral adalah erupsi eritematosa persisten yang terdiri
dari papul kecil dan papulo-pustul yang berlokasi di sekitar mulut.
-579-
Dermatitis perioral dapat terjadi pada anak dan dewasa. Dalam
populasi dewasa, penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria. Namun, selama masa kanak-kanak persentase pasien
pria lebih besar. Pada anak-anak, penyakit ini memiliki
kecenderungan untuk meluas ke periorbita atau perinasal. Beberapa
agen penyebab terlibat dalam patogenesis penyakit ini diantaranya
penggunaan kosmetik dan glukokortikoid. Studi case control di
Australia memperlihatkan bahwa pemakaian kombinasi foundation,
pelembab dan krim malam meningkatkan risiko terjadinya dermatitis
perioral secara signifikan. Penggunaan kortikosteroid merupakan
penyebab utama penyakit ini pada anak-anak. Beberapa faktor
lainnya yang juga diidentifikasai diantaranya infeksi, faktor hormonal,
pemakaian pil kontrasepsi, kehamilan, fluoride dalam pasta gigi, dan
sensitasi merkuri dari tambalan amalgam. Demodex folliculorum
dianggapmemainkan peran penting dalam patogenesis dermatitis
perioral terutama pada anak dengan imunokompromais. Namun,
laporan terbaru menunjukkan bahwa density dari D.folliculorum
merupakan fenomena sekunder penyebab dermatitis perioral.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
dermatitis perioral.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam jika pasien menghentikan penggunaan
kosmetik atau kortikosteroid topikal.
Referensi
1. Caputo, R. & Barbareschi, M. 2007. Current And Future Treatment
Options For Perioral Dermatitis. Expert Review Of Dermatlogy, 2,
351-355. Available from
http://Search.Proquest.Com/Docview/912278300/Fulltextpdf/Dc
34942e98744010pq/5?Accountid=17242(7 Juni 2014)..
2. Green, B. D. O. & Morrell, D. S. M. D. 2007. Persistent Facial
Dermatitis: Pediatric Perioral Dermatitis. Pediatric Annals,
-582-
36,pp.796-8. Available from
http://search.proquest.com/docview/217556989/fulltextPDF?acc
ountid=17242 (7 Juni 2014).
3. Weber, K. & Thurmayr, R. 2005. Critical Appraisal Of Reports On
The Treatment Of Perioral Dermatitis. Dermatology, 210, 300-7.
Available from
http://search.proquest.com/docview/275129538/DC34942E9874
4010PQ/1?accountid=17242#(7 Juni 2014).
Masalah Kesehatan
Penyakit ini belum diketahui sebabnya, dimulai dengan sebuah lesi
inisial berbentuk eritema dan skuama halus (mother patch), kemudian
disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas,
yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit. Penyakit ini biasanya
sembuh dalam waktu 3-8 minggu. Pitiriasis rosea didapati pada
semua usia, terutama antara 15-40 tahun, dengan rasio pria dan
wanita sama besar.
Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis KOH dilakukan untuk
menyingkirkan Tinea Korporis.
Peralatan
Lup
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam karena penyakit sembuh spontan
dalam waktu 3-8 minggu.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
23. ERITRASMA
Masalah Kesehatan
Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneumyang
disebabkan oleh Corynebacterium minutissimum. Eritrasma terutama
terjadi pada orang dewasa, penderita diabetes, dan banyak ditemukan
di daerah tropis. Eritrasma dianggap tidak begitu menular karena
didapatkan bahwa pasangan suami istri tidak mendapatkan penyakit
tersebut secara bersama-sama. Secara global, insidens eritrasma
-585-
dilaporkan 4% dan lebih banyak ditemukan di daerah iklim tropis dan
subtropis. Selain itu insidensnya lebih banyak ditemukan pada ras
kulit hitam. Eritrasma terjadi baik pria maupun wanita, pada pria
lebih banyak ditemukan eritrasma pada daerah kruris, sedangkan
pada wanita di daerah interdigital. Berdasarkan usia, insidens
eritrasma bertambah seiring dengan pertambahan usia dengan pasien
termuda yang pernah ditemukan yaitu usia 1 tahun.
Peralatan
1. Lampu Wood
2. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan KOH dan pewarnaan
gram
-587-
Prognosis
Bonam
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Kibbi A.G.Erythrasma. Available from http://e-
medicine.medscape.com (10 Juni 2014)
3. Morales-Trujillo ML, Arenas R, Arroyo S. Interdigital Erythrasma:
Clinical, Epidemiologic, And Microbiologic Findings. Actas
Dermosifiliogr. Jul-Aug 2008;99(6):469-73
4. Sarkany I, Taplin D, Blank H. Incidence And Bacteriology Of
Erythrasma.Arch Dermatol. May 1962;85:578-82
24. SKROFULODERMA
Masalah Kesehatan
Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi infeksi tuberkulosis
akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah kulit seperti
limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk abses dingin dan
melibatkan kulit di atasnya, kemudian pecah dan membentuk sinus
di permukaan kulit.
Diagnosis Banding
Limfosarkoma, Limfoma maligna, Hidradenitis supurativa,
Limfogranuloma venerum
Komplikasi :-
-589-
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Sama dengan TB Paru
Pengobatan sistemik:
Sama dengan TB Paru
Peralatan
1. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan laju endap darah dan
pemeriksaan BTA
2. Tes tuberkulin
Prognosis
Bonam
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Kementerian Kesehatan RI. 2008. Diagnosis dan Tata Laksana TB
Pada Anak. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
3. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
-590-
25. HIDRADENITIS SUPURATIF
Masalah Kesehatan
Hidradenitis supuratif atau disebut juga akne inversa adalah
peradangan kronis dan supuratif pada kelenjar apokrin. Penyakit ini
terdapat pada usia pubertas sampai usia dewasa muda. Prevalensi
keseluruhan adalah sekitar 1%. Rasio wanita terhadap pria adalah
3:1. Dari beberapa penelitian epidemiologi diketahui bahwa sepertiga
pasien hidradenitis supuratif memiliki kerabat dengan hidradenitis.
Merokok dan obesitas merupakan faktor risiko untuk penyakit ini.
Penyakit ini juga sering didahului oleh trauma atau mikrotrauma,
misalnya banyak keringat, pemakaian deodorant atau rambut ketiak
digunting.
Beberapa bakteri telah diidentifikasi dalam kultur yang diambil dari
lesi hidradenitis supuratif, diantaranya adalah Streptococcusviridans,
Staphylococcus aureus, bakteri anaerob (Peptostreptococcus spesies,
Bacteroides melaninogenicus, dan Bacteroides corrodens),
Coryneformbacteria, dan batang Gram-negatif.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap
-592-
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaaan
fisik.
Diagnosis Banding
Furunkel, karbunkel, kista epidermoid atau kista dermoid, Erisipelas,
Granuloma inguinal, Lymphogranuloma venereum, Skrofuloderma
Komplikasi
1. Jaringan parut di lokasi lesi.
2. Inflamasi kronis pada genitofemoral dapat menyebabkan striktur
di anus, uretra atau rektum.
3. Fistula uretra.
4. Edema genital yang dapat menyebabkan gangguan fungsional.
5. Karsinoma sel skuamosa dapat berkembangpada pasien dengan
riwayat penyakit yang lama, namun jarang terjadi.
Peralatan
Bisturi
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, tingkat keparahan penyakit bervariasi
dari satu pasien dengan pasien lainnya.
Referensi
1. Alhusayen, R. & Shear, N. H. 2012. Pharmacologic Interventions
For Hidradenitis Suppurativa. American Journal Of Clinical
Dermatology, 13,pp 283-91. Available from
http://search.proquest.com/docview/1030722679/fulltextPDF/2D
2BD7905F304E87PQ/6?accountid=17242#(7 Juni 2014).
2. American Academy of Dermatology. Hidradenitis suppurativa.
Available from http://www.aad.org/dermatology-a-to-z/diseases-
and-treatments/e---h/hidradenitis-suppurativa(7 Juni 2014).
3. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Herrington, S. (2007). Hidradenitis suppurativa. In M. R. Dambro
(Ed.), Griffith’s 5 minute clinical consult.14th Ed. Philadelphia.
Lippincott Williams and Wilkins, pp. 570–572.
5. Jovanovic, M. 2014. Hidradenitis suppurativa. Medscape. June 7,
2014. http://emedicine.medscape.com/article/1073117-overview.
6. Sartorius, K., Emtestam, L., Lapins, J. & Johansson, O. 2010.
Cutaneous PGP 9.5 Distribution Patterns In Hidradenitis
Suppurativa. Archives of Dermatological Research, 302,pp. 461-8.
Available from:
7. http://search.proquest.com/docview/521176635?accountid=1724
2(7 Juni 2014)..
8. Shah, N. 2005. Hidradenitus suppurative: A treatment challenge.
American Family Physician, 72(8), pp. 1547-1552. Available from
9. http://www.aafp.org/afp/2005/1015/p1547.html#afp20051015p1
547-t2(7 Juni 2014).
-594-
26. AKNE VULGARIS RINGAN
Masalah Kesehatan
Akne vulgaris adalah penyakit peradangan kronis dari folikel
pilosebasea yang diinduksi dengan peningkatan produksi sebum,
perubahan pola keratinisasi, peradangan, dan kolonisasi dari bakteri
Propionibacterium acnes. Sinonim untuk penyakit ini adalah jerawat.
Umumnya insidens terjadi pada wanitausia 14-17 tahun, pria16-19
tahun lesi yang utama adalah komedo dan papul dan dapat dijumpai
pula lesi beradang. Pada anak wanita,akne vulgaris dapat terjadi pada
premenarke. Setelah masa remaja kelainan ini berangsur berkurang,
namun kadang-kadang menetap sampai dekade ketiga terutama pada
wanita. Ras oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang menderita akne
vulgaris dibandingkan dengan ras kaukasia (Eropa, Amerika).
Pemeriksaan Penunjang
Umumnya tidak diperlukan.
Penatalaksanaan (Plan)
Penatalaksanaan meliputi usaha untuk mencegah terjadinya erupsi
(preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi
(kuratif).
Pencegahan yang dapat dilakukan :
1. Menghindari terjadinya peningkatan jumlah lipid sebum dan
perubahan isi sebum dengan cara :
-597-
a. Diet rendah lemak dan karbohidrat. Meskipun hal ini
diperdebatkan efektivitasnya, namun bila pada anamnesis
menunjang, hal ini dapat dilakukan.
b. Melakukan perawatan kulit dengan membersihkan permukaan
kulit.
2. Menghindari terjadinya faktor pemicu terjadinya akne, misalnya :
a. Hidup teratur dan sehat, cukup istirahat, olahraga, sesuai
kondisi tubuh, hindari stress.
b. Penggunaan kosmetika secukupnya, baik banyaknya maupun
lamanya.
c. Menjauhi terpacunya kelenjar minyak, misalnya minuman
keras, makanan pedas, rokok, lingkungan yang tidak sehat
dan sebagainya.
d. Menghindari polusi debu, pemencetan lesi yang tidak lege artis,
yang dapat memperberat erupsi yang telah terjadi.
Pengobatan akne vulgaris ringan dapat dilakukan dengan
memberikan farmakoterapi seperti :
1. Topikal
Pengobatan topikal dilakukan untuk mencegah pembentukan
komedo, menekan peradangan dan mempercepat penyembuhan
lesi. Obat topikal terdiri dari :
a. Retinoid
Retinoidtopikal merupakan obat andalan untuk pengobatan
jerawat karena dapat menghilangkan komedo, mengurangi
pembentukan mikrokomedo, dan adanya efek antiinflamasi.
Kontraindikasi obat ini yaitu pada wanita hamil, dan wanita
usia subur harus menggunakan kontrasepsi yang efektif.
Kombinasi retinoid topikal dan antibiotik topikal (klindamisin)
atau benzoil peroksida lebih ampuh mengurangi jumlah
inflamasi dan lesi non-inflamasi dibandingkan dengan retinoid
monoterapi. Pasien yang memakai kombinasi terapi juga
menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang lebih cepat.
b. Bahan iritan yang dapat mengelupas kulit (peeling), misalnya
sulfur (4-8%), resorsinol (1-5%), asam salisilat (2-5%),
peroksida benzoil (2,5-10%), asam vitamin A (0,025-0,1%),
asam azelat (15-20%) atau asam alfa hidroksi (AHA) misalnya
asma glikolat (3-8%). Efek samping obat iritan dapat dikurangi
dengan cara pemakaian berhati-hati dimulai dengan
konsentrasi yang paling rendah.
c. Antibiotik topikal: oksitetrasiklin 1% atau klindamisin fosfat
1%.
-598-
d. Antiperadangan topikal: hidrokortison 1-2,5%.
2. Sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk menekan aktivitas jasad
renik disamping juga mengurangi reaksi radang, menekan
produksi sebum. Dapat diberikan antibakteri sistemik, misalnya
tetrasiklin 250 mg-1g/hari, eritromisin 4x250 mg/hari.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.
Konseling dan Edukasi
Dokter perlu memberikan informasi yang tepat pada pasien mengenai
penyebab penyakit, pencegahan, dan cara maupun lama pengobatan,
serta prognosis penyakitnya. Hal ini penting agar penderita tidak
mengharap berlebihan terhadap usaha penatalaksanaan yang
dilakukan.
Kriteria rujukan
Akne vulgaris sedang sampai berat.
Peralatan
Komedo ekstraktor (sendok Unna)
Prognosis
Prognosis umumnya bonam. akne vulgaris umumnya sembuh
sebelum mencapai usia 30-40 an.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Williams, H. C., Dellavalle, R. P. & Garner, S. 2012. Acne Vulgaris.
The Lancet, 379, pp. 361-72. Available from
http://search.proquest.com/docview/920097495/abstract?accoun
tid=17242#(7 Juni 2014).
3. Simonart, T. 2012. Newer Approaches To The Treatment Of Acne
Vulgaris. American Journal Of Clinical Dermatology, 13, pp. 357-64.
Available from
http://search.proquest.com/docview/1087529303/F21F34D0057
44CD7PQ/20?accountid=17242# (7 Juni 2014).
-599-
27. URTIKARIA
Masalah Kesehatan
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit akibat bermacam-macam
sebab. Sinonim penyakit ini adalah biduran, kaligata, hives, nettle
rash. Ditandai oleh edema setempat yang timbul mendadak dan
menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan,
meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Dapat
disertai dengan angioedema. Penyakit ini sering dijumpai pada semua
usia, orang dewasa lebih banyak terkena dibandingkan dengan usia
muda. Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan
dengan orang normal. Penisilin tercatat sebagai obat yang lebih sering
menimbulkan urtikaria.
Peralatan
1. Tabung dan masker oksigen
2. Alat resusitasi
3. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah, urin dan feses
rutin.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam dengan tetap menghindari faktor
pencetus.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
-604-
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
Masalah Kesehatan
Exanthematous Drug Eruption adalah salah satu bentuk reaksi alergi
ringan pada kulit yang terjadi akibat pemberian obat yang sifatnya
sistemik. Obat yang dimaksud adalah zat yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis, profilaksis, dan terapi. Bentuk reaksi alergi
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (alergi selular tipe lambat)
menurut Coomb and Gell. Nama lainnya adalah erupsi makulopapular
atau morbiliformis.
Tempat predileksi
Tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak.
Pemeriksaan Penunjang
Biasanya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
Exanthematous Drug Eruption.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak mengalami komplikasi
atau tidak memenuhi kriteria rujukan.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
-607-
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
Masalah Kesehatan
Fixed Drug Eruption (FDE) adalah salah satu jenis erupsi obat yang
sering dijumpai. Darinamanya dapat disimpulkan bahwa kelainan
akan terjadi berkali-kali pada tempat yang sama. Mempunyai tempat
predileksi dan lesi yang khas berbeda dengan Exanthematous Drug
Eruption. FDE merupakan reaksi alergi tipe 2 (sitotoksik).
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Pasien datang keluhan kemerahan atau luka pada sekitar mulut,
bibir, atau di alat kelamin, yang terasa panas. Keluhan timbul setelah
mengkonsumsi obat-obat yang sering menjadi penyebab seperti
Sulfonamid, Barbiturat, Trimetoprim, dan analgetik.
Anamnesis yang dilakukan harus mencakup riwayat penggunaan
obat-obatan atau jamu. Kelainan timbul secara akut atau dapat juga
beberapa hari setelah mengkonsumsi obat. Keluhan lain adalah rasa
gatal yang dapat disertai dengan demam yang subfebril.
Faktor Risiko
1. Riwayat konsumsi obat (jumlah, jenis, dosis, cara pemberian,
pengaruh pajanan sinar matahari, atau kontak obat pada kulit
terbuka)
2. Riwayat atopi diri dan keluarga
3. Alergi terhadap alergen lain
4. Riwayat alergi obat sebelumnya
-608-
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonis
Lesi khas:
1. Vesikel, bercak
2. Eritema
3. Lesi target berbentuk bulat lonjong atau numular
4. Kadang-kadang disertai erosi
5. Bercak hiperpigmentasi dengan kemerahan di tepinya, terutama
pada lesi berulang
Tempat predileksi:
1. Sekitar mulut
2. Daerah bibir
3. Daerah penis atau vulva
Pemeriksaan penunjang
Biasanya tidak diperlukan
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
Fixed Drug Eruption.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak mengalami komplikasi
atau tidak memenuhi kriteria rujukan.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
Masalah Kesehatan
Cutaneus Larva Migrans (Creeping Eruption) merupakan kelainan kulit
berupa peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul
dan progresif, yang disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang
berasal dari anjing dan kucing. Penularan melalui kontak langsung
dengan larva. Prevalensi Cutaneus Larva Migran di Indonesia yang
dilaporkan oleh sebuah penelitian pada tahun 2012 di Kulon Progo
adalah sekitar 15%.
-611-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien mengeluh gatal dan panas pada tempat infeksi. Pada awal
infeksi, lesi berbentuk papul yang kemudian diikuti dengan lesi
berbentuk linear atau berkelok-kelok yang terus menjalar memanjang.
Keluhan dirasakan muncul sekitar empat hari setelah terpajan.
Faktor Risiko
Orang yang berjalan tanpa alas kaki, atau sering berkontak dengan
tanah atau pasir.
Peralatan
Lup
Prognosis
Prognosis umumnya bonam. Penyakit ini bersifat self-limited, karena
sebagian besar larva mati dan lesi membaik dalam 2-8 minggu, jarang
hingga 2 tahun.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
4. Heryantoro, L. Soeyoko, Ahmad R.A. 2012. Risk factors of
hookworm related cutaneous larva migrans and definitive host
-613-
prevalence on a settlements area in kulon progo district, Indonesia.
Field Epidemiology Training. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.
Masalah Kesehatan
Luka bakar (burn injury) adalah kerusakan kulit yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia,
listrik dan radiasi.
Pemeriksaan Penunjang : -
Pemeriksaan darah lengkap : -
Menentukan luas luka bakar berdasarkan rumus “rule of nine”
Penatalaksanaan (Plan)
Penatalaksanaan
1. Luka bakar derajat 1 penyembuhan terjadi secara spontan tanpa
pengobatan khusus.
2. Penatalaksanaan luka bakar derajat II tergantung luas luka bakar.
Pada penanganan perbaikan sirkulasi pada luka bakar dikenal
beberapa formula, salah satunya yaitu Formula Baxter sebagai
berikut:
1. Hari Pertama:
Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas bakar per
24 jam
Anak : Ringer Laktat : Dextran = 17 : 3
2 cc x berat badan x % luas luka ditambah
kebutuhan faali.
Kebutuhan faali :
< 1 Tahun : berat badan x 100 cc
1-3 Tahun : berat badan x 75 cc
3-5 Tahun : berat badan x 50 cc
½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.
½ diberikan 16 jam berikutnya.
2. Hari kedua
Dewasa : ½ hari I;
Anak : diberi sesuai kebutuhan faali
-617-
Formula cairan resusitasi ini hanyalah perkiraan kebutuhan cairan,
berdasarkan perhitungan pada waktu terjadinya luka bakar, bukan
pada waktu dimulainya resusitasi. Pada kenyataannya, penghitungan
cairan harus tetap disesuaikan dengan respon penderita. Untuk itu
selalu perlu dilakukan pengawasan kondisi penderita seperti keadaan
umum, tanda vital, dan produksi urin dan lebih lanjut bisa dilakukan
pemasangan monitor EKG untuk memantau irama jantung sebagai
tanda awal terjadinya hipoksia, gangguan elektrolit dan keseimbangan
asam basa.
Pemberian antibiotik spektrum luas pada luka bakar sedang dan
berat.
Komplikasi
Jaringan parut
Konseling dan Edukasi
Pasien dan keluarga menjaga higiene dari luka dan untuk
mempercepat penyembuhan, jangan sering terkena air.
Kriteria Rujukan
Rujukan dilakukan pada luka bakar sedang dan berat
Peralatan
Infus set, peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah lengkap
Prognosis
Prognosis luka bakar derajat 1 umumnya bonam, namun derajat 2
dapat dubia ad bonam.
Referensi
1. Doherty, G.M. 2006. Current surgical diagnosis and & treatment.
United State of America. Lange Medical Publication.
2. Kartohatmodjo, S. Luka Bakar (Combustio).
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Ilmu%20Kedokte
ran%20Terintegrasi%20-%20PBL/Materi%20PBL%20IIa%202007-
2008/luka%20bakar%20akut%20text.pdf
3. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi ketiga. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
-618-
32. ULKUS PADA TUNGKAI
Masalah Kesehatan
Ulkus pada tungkai adalah penyakit arteri, vena, kapiler dan
pembuluh darah limfe yang dapat menyebabkan kelainan pada kulit.
Insiden penyakit ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Di
negara tropis, insidens ulkus kruris lebih kurang 2% dari populasi
dan didominasi oleh ulkus neurotropik dan ulkus varikosum. Wanita
lebih banyak terserang ulkus varikosum daripada pria, dengan
perbandingan 2:1, dengan usia rata-rata di atas 37 tahun untuk
prevalensi varises.
Trauma, higiene yang buruk, gizi buruk, gangguan pada pembuluh
darah dan kerusakan saraf perifer dianggap sebagai penyebab yang
paling sering. Kerusakan saraf perifer biasanya terjadi pada penderita
diabetes mellitus dan penderita kusta. Hipertensi juga dikaitkan
sebagai salah satu penyebab rusaknya pembuluh darah. Pembagian
ulkus kruris dibagi ke dalam empat golongan yaitu, ulkus tropikum,
ulkus varikosus, ulkus arterial dan ulkus neurotrofik.
Ulkus Trauma, higiene dan gizi serta Luka kecil terbentuk papula dan
Tropikum infeksi oleh kuman Bacillus menjadi vesikel. Vesikel pecah
fusiformis dan Borrelia vincentii. akan terbentuk ulkus kecil. Ulkus
akan meluas ke samping dan ke
dalam.
Ulkus Kelainan pembuluh seperti Ada edema, bengkak pada kaki
Varikosum trombosis atau kelainan katup yang meningkat saat berdiri. Kaki
vena yang berasal dari luar terasa gatal, pegal, rasa terbakar
pembuluh darah seperti tidak nyeri dan berdenyut. Ulkus
bendungan daerah proksimal yang terjadi akan mempunyai tepi
karena tumor di abdomen, yang tidak teratur. Dasar ulkus
kehamilan atau pekerjaan yang terdapat jaringan granulasi,
dilakukan berdiri. eksudat. Kulit sekitar akan
nampak merah kecoklatan.
Terdapat indurasi, mengkilat, dan
fibrotik pada kulit sekitar luka.
Ulkus Kelainan yang disebabkan Ulkus ini paling sering terdapat
Arteriosum ateroma. Dibagi menjadi pada posterior, medial atau
ekstramural, mural dan anterior. Dapat terjadi pada
intramural. tonjolan tulang. Bersifat
eritematosa, nyeri, bagian tengah
berwarna kebiruan yang akan
menjadi bula hemoragik. Ulkus
yang dalam, berbentuk plon
(punched out), tepi ulkus kotor.
Rasa nyeri akan bertambah jika
tungkai diangkat atau dalam
keadaan dingin. Denyut nadi pada
dorsum pedis akan melemah atau
sama sekali tidak ada.
Ulkus Terjadi karena tekanan atau Pada tempat yang paling kuat
Neurotrofik trauma pada kulit yang menerima tekanan yaitu di tumit
anestetik. dan metatarsal. Bersifat tunggal
atau multipel. Ulkus bulat, tidak
nyeri dan berisi jaringan nekrotik.
Dapat mencapai subkutis dan
membentuk sinus. Bisa mencapai
tulang dan menimbulkan infeksi
sekunder.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Urinalisa
-621-
3. Pemeriksaan kadar gula dan kolesterol
4. Biakan kuman
Diagnosa
Penatalaksanan Terapi
Sistemik Topikal
Ulkus Penisilin intramuskular selama 1 Salep salisil 2% dan kompres
Tropikum minggu sampai 10 hari, dosis sehari KMnO4
600.000 unit sampai 1,2 juta unit.
Tetrasiklin peroral dengan dosis
3x500 mg sehari dapat juga dipakai
sebagai pengganti penisilin.
Komplikasi
1. Hematom dan infeksi pada luka
2. Thromboembolisme (resiko muncul akibat dilakukan pembedahan)
3. Terjadi kelainan trofik dan oedem secara spontan
4. Resiko amputasi jika keadaan luka memburuk
Kriteria Rujukan
Respon terhadap perawatan ulkus tungkai akan berbeda. Hal ini
terkait lamanya ulkus, luas dari ulkus dan penyebab utama.
Prognosis
1. Ad vitam : Dubia
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Sudirman, U. 2002. Ulkus Kulit dalam Ulkus Kulit. Ilmu Penyakit
Kulit. Jakarta. Hipokrates.
3. Cunliff, T. Bourke, J. Brown Graham R. 2012. Dermatologi Dasar
Untuk Praktik Klinik. Jakarta. EGC.
Masalah Kesehatan
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai
kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum
-625-
yang bervariasi dari ringan hingga berat. SSJ merupakan bentuk
minor dari toxic epidermal necrolysis (TEN) dengan pengelupasan kulit
kurang dari 10% luas permukaan tubuh. SSJ menjadi salah satu
kegawatdaruratan karena dapat berpotensi fatal. Angka mortalitas
SSJ berkisar 1-5% dan lebih meningkat pada pasien usia lanjut.
Insiden sindrom ini semakin meningkat karena salah satu
penyebabnya adalah alergi obat dan sekarang obat-obatan cenderung
dapat diperoleh bebas.
Peralatan
Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah lengkap.
Prognosis
1. Bila penangan tepat dan segera maka prognosis cukup baik.
2. Prognosis malam bila terdapat purpura luas, leukopenia, dan
bronkopneumonia.
-628-
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Harr T, French LE. 2010, Toxic epidermal necrolysis and Stevens-
Johnson syndrome.Orphanet Journal of Rare Diseases, 5, 39.
3. French LE. 2006. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens Johnson
Syndrome: Our Current Understanding. Allergology International,
55, 9-16
1. OBESITAS
Masalah Kesehatan
Obesitas merupakan keadaan dimana seseorang memiliki kelebihan
lemak (body fat) sehingga orang tersebut memiliki risiko kesehatan.
Riskesdas 2013, prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada
tahun 2013 sebanyak 19,7% lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan
tahun 2010 (7,8%). Sedangkan pada perempuan di tahun 2013,
prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik
18,1 persen dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010
(15,5%). WHO, dalam data terbaru Mei 2014, obesitas merupakan
faktor risiko utama untuk penyakit tidak menular seperti penyakit
kardiovaskular (terutama penyakit jantung dan stroke), diabetes,
gangguan muskuloskeletal, beberapa jenis kanker (endometrium,
payudara, dan usus besar). Dari data tersebut, peningkatan
penduduk dengan obesitas, secara langsung akan meningkatkan
penyakit akibat kegemukan.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan risiko dan komplikasi, yaitu pemeriksaan kadar
gula darah, profil lipid, dan asam urat.
Klasifikasi IMT(kg/m2)
Diagnosis Banding:
1. Keadaan asites atau edema
2. Masa otot yang tinggi, misalnya pada olahragawan
Komplikasi
Diabetes Mellitus tipe 2, Hipertensi, penyakit kardiovakular, Sleep
apnoe, abnormalitas hormon reproduksi, Low back pain, perlemakan
hati
Obesitas dikelompokkan menjadi obesitas risiko tinggi bila disertai
dengan 3 atau lebih keadaan di bawah ini:
1. Hipertensi
2. Perokok
3. Kadar LDL tinggi
4. Kadar HDL rendah
5. Kadar gula darah puasa tidak stabil
-631-
6. Riwayat keluarga serangan jantung usia muda
7. Usia (laki-laki > 45 thn, atau perempuan > 55 thn).
Prognosis
Terdapat berbagai komplikasi yang menyertai obesitas. Risiko akan
meningkat seiring dengan tingginya kelebihan berat badan.
Referensi
1. Henthorn, T.K. Anesthetic Consideration in Morbidly Obese Patients.
[cite 2010 June 12] Available from:
http://cucrash.com/Handouts04/MorbObese Henthorn.pdf.
2. Sugondo, Sidartawan. Obesitas. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Ed. V. Jakarta. 2006. Hal. 1973-83.
3. Vidiawati,D. Penatalaksanaan Obesitas.Pedoman Praktik Klinik
untuk Dokter Keluarga. Ikatan Dokter Indonesia. HWS-IDI. 200.
(Trisna, 2008)
2. TIROTOKSIKOSIS
Masalah Kesehatan
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis akibat kelebihan hormon
tiroid yang beredar disirkulasi. Data Nasional dalam Riskesdas 2013,
hipertiroid di Indonesia, terdiagnosis dokter sebesar 0,4%. Prevalensi
hipertiroid tertinggi di DI Yogyakarta dan DKI Jakarta (masing-masing
0,7%), Jawa Timur (0,6%), dan Jawa Barat (0,5%).
Tiroktosikosis di bagi dalam 2 kategori, yaitu yang berhubungan
dengan hipertiroidisme dan yang tidak berhubungan.
-633-
Tirotoksikosis dapat berkembang menjadi krisis tiroid yang dapat
menyebabkan kematian. Tirotoksikosis yang fatal biasanya
disebabkan oleh autoimun Grave’s disease pada ibu hamil. Janin
yang dikandungnya dapat mengalami tirotoksikosis pula, dan
keadaaan hepertiroid pada janin dapat menyebabkan retardasi
pertumbuhanm kraniosinostosis, bahkan kematian janin.
Peralatan
EKG
Prognosis
Prognosis tergantung respon terapi, kondisi pasien serta ada tidaknya
komplikasi.
Referensi
1. Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
ke 4. Jakarta: FK UI. Hal 1961-5.2006.
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Hal 37-41.2004.
Masalah Kesehatan
Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut American Diabetes Association
(ADA) adalah kumulan gejala yang ditandai oleh hiperglikemia akibat
defek pada kerja insulin (resistensi insulin) dan sekresi insulin atau
kedua-duanya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
-636-
2013, terjadi peningkatan dari 1,1% (2007) menjadi 2,1% (2013).
Proporsi penduduk ≥15 tahun dengan diabetes mellitus (DM) adalah
6,9%.WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM tipe 2 di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes
Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta
pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi,
laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah
penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.
GDP ≥ 126
? 126 <126 TTGO
Atau ------- ------- GD 2 jam
GDS ≥ 200
?200 <200
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan gula darah, darah rutin, urin
rutin, ureum, kreatinin
2. Alat Pengukur berat dan tinggi badan anak serta dewasa
3. Monofilamen test
Prognosis
Prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini adalah
penyakit kronis, quo ad vitam umumnya adalah dubia ad bonam,
namun quo ad fungsionam dan sanationamnya adalah dubia ad
malam.
Referensi
1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
-643-
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.
(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006)
3. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia.
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus pada Layanan Primer, ed.2,
2012. (Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Indonesia FKUI,
2012)
Masalah Kesehatan
Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) merupakan
komplikasi akut pada DM tipe 2 berupa peningkatan kadar gula darah
yang sangat tinggi (>600 mg/dl-1200 mg/dl) dan ditemukan tanda-
tanda dehidrasi tanpa disertai gejala asidosis. HHNK biasanya terjadi
pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta
dengan asupan makanan yang kurang. Faktor pencetus serangan
antara lain: infeksi, ketidakpatuhan dalam pengobatan, DM tidak
terdiagnosis, dan penyakit penyerta lainnya.
Peralatan
Laboratorium untuk pemeriksaan glukosa darah
Prognosis
Prognosis biasanya buruk, sebenarnya kematian pasien bukan
disebabkan oleh sindrom hiperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit
yang mendasari atau menyertainya.
-646-
Referensi
1. Soewondo, Pradana. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. Hal 1900-2.
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17.
5. HIPOGLIKEMIA
Masalah Kesehatan
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah <60 mg/dl,
atau kadar glukosa darah <80 mg/dl dengan gejala klinis..
Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari penyandang diabetes
melitus dan geriatri.
Hipoglikemia dapat terjadi karena:
1. Kelebihan dosis obat, terutama insulin atau obat hipoglikemia oral
yaitu sulfonilurea.
2. Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun; gagal ginjal
kronik,dan paska persalinan.
3. Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan
tidak tepat.
4. Kegiatan jasmani berlebihan.
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan kadar glukosa darah.
2. Cairan Dekstrosa 40 % dan Dekstrosa 10 %
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik bila penanganan cepat dan tepat.
Referensi
1. Soemadji, Djoko Wahono. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi ke 4. Jakarta: FK UI.2006. Hal 1892-5.
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. 2004.Hal 18-20.
6. HIPERURISEMIA-GOUT ARTHRITIS
Masalah Kesehatan
Kondisi kadar asam urat dalam darah lebih dari 7,0 mg/dl pada pria
dan pada wanita 6 mg/dl. Hiperurisemia dapat terjadi akibat
meningkatnya produksi ataupun menurunnya pembuangan asam
urat, atau kombinasi dari keduanya.
Gout adalah radang sendi yang diakibatkan deposisi kristal
monosodium urat pada jaringan sekitar sendi.
-650-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Bengkak pada sendi
2. Nyeri sendi yang mendadak, biasanya timbul pada malam hari.
3. Bengkak disertai rasa panas dan kemerahan.
4. Demam, menggigil, dan nyeri badan.
Apabila serangan pertama, 90% kejadian hanya pada 1 sendi dan
keluhan dapat menghilang dalam 3-10 hari walau tanpa pengobatan.
Faktor Risiko
1. Usia dan jenis kelamin
2. Obesitas
3. Alkohol
4. Hipertensi
5. Gangguan fungsi ginjal
6. Penyakit-penyakit metabolik
7. Pola diet
8. Obat: aspirin dosis rendah, diuretik, obat-obat TBC
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan asam urat.
2. Radiologi
Prognosis
Quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad fuctionam dubia
Referensi
1. Braunwald, Fauci, Hauser, editor. Harrison’s Principals of Internal
Medicine. 17thed. USA: McGraw Hill, 2008.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
7. LIPIDEMIA
Masalah Kesehatan
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan maupun penurunanfraksi lipid dalam darah. Beberapa
kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol
total, kolesterol LDL, dan atau trigliserida, serta penurunan kolesterol
HDL. Dislipidemia merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis
sehingga dapat menyebabkan stroke, Penyakit Jantung Koroner (PJK),
Peripheral Arterial Disease (PAD), Sindroma Koroner Akut (SKA).
Kolesterol LDL
< 100 mg/Dl Optimal
100-129 mg/dL Mendekati optimal
130-159 mg/dL Borderline
160-189 mg/dL Tinggi
≥ 190 mg/dL Sangat tinggi
Kolesterol Total
< 200 mg/dL Diinginkan
200-239 mg/dL Borderline
≥ 240 mg/dL Tinggi
Kolesterol HDL
< 40 mg/dL Rendah
-654-
≥ 60 mg/dL Tinggi
Trigeliserida
< 150 mg/dL Optimal
150-199 mg/dL Borderline
200-499 mg/dL Tinggi
≥ 500 mg/dL Sangat tinggi
Diagnosis Banding : -
Komplikasi
Penyakit jantung koroner, stroke
Perokok sigaret
Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat obat antihipertensi)
- Dietdanolahraga
- Dipertimbangkanpemberian
- Gaya hidupsehat statin bila LDL > 130 mg/dl
- Periksaulangsetiap 6 – 12 tahun
Periksaulang 3 bulan
- Mulai statin
- Periksaulang 3 bulan
JumlahFaktorRisiko 0 – 1
Caridanobatipenyebabsekunder
- Gaya hidupsehat
- Periksaulangsetiap1 –2 tahun atau
3 – 5 tahunbilaKol – LDL Kol – LDL > 160 Mg/dl
< 130 mg/dl
Terapi diet
Periksaulang 3 bulan
Terapi diet
Periksaulang 3 bulan
Resin ↓ 15 – 30 % ↑ 3- 5 % -
Fibrat ↓ 5 – 25 % ↑ 10 - 20 % ↓ 20 – 50 %
Asam ↓ 5 – 25 % ↑ 15- 35 % ↓ 20 – 50 %
Nikot
inat
Ezetimibe ↓ 17 – 18 % ↑ 3- 4 % -
-660-
Tabel 12.7 Obat Hipolopidemik
Peralatan
Pemeriksaan kimia darah
Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang tepat maka dapat dicegah terjadinya
komplikasi akibat dislipidemia.
Referensi
1. Azwar, B. Dislipidemia sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung
Koroner. Medan: FK USU.2004. (Azwar, 2004)
2. Darey, Patrick. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005.
(Darey, 2005)
3. Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya
Baru.2007. (Ganiswarna, 2007)
4. Sudoyo, A. Setyohadi, B. Alwi, I. Setiati, S.Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: FKUI.2009.
5. PERKENI, Konsensus Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012
(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2012)
-662-
8. MALNUTRISI ENERGI PROTEIN (MEP)
Masalah Kesehatan
MEP adalah penyakit akibat kekurangan energi dan protein umumnya
disertai defisiensi nutrisi lain.
Klasifikasi dari MEP adalah :
1. Kwashiorkor
2. Marasmus
3. Marasmus Kwashiorkor
Kunjungan Rumah
• Tenaga kesehatan atau kader melakukan kunjungan rumah pada
anak gizi buruk rawat jalan, bila:
- Berat badan anak sampai pada minggu ketiga tidaknaik atau
turun dibandingkan dengan berat badanpada saat masuk
(kecuali anak dengan edema).
- Anak yang 2 kali berturut-turut tidak datang tanpa
pemberitahuan
• Kunjungan rumah bertujuan untuk menggali permasalahan yang
dihadapi keluarga termasuk kepatuhan mengonsumsi makanan
untuk pemulihan gizi dan memberikan nasihat sesuai dengan
masalah yang dihadapi.
• Dalam melakukan kunjungan, tenaga kesehatan membawa kartu
status, cheklist kunjungan rumah, formulir rujukan, makanan
untuk pemulihan gizi dan bahan penyuluhan.
• Hasil kunjungan dicatat pada checklist kunjungan dan kartu
status. Bagi anak yang harus dirujuk, tenaga kesehatan mengisi
formulir rujukan.
Konseling dan Edukasi
• Menyampaikan informasi kepada ibu/pengasuhtentang hasil
penilaian pertumbuhan anak.
• Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab kurang gizi.
• Memberi nasihat sesuai penyebab kurang gizi.
• Memberikan anjuran pemberian makan sesuai umur dan kondisi
anak dan cara menyiapkan makan formula, melaksanakan
anjuran makan dan memilih atau mengganti makanan.
Kriteria Rujukan
1. Bila terjadi komplikasi, seperti: sepsis, dehidrasi berat, anemia
berat, penurunan kesadaran
2. Bila terdapat penyakit komorbid, seperti: pneumonia berat
Peralatan
1. Alat pemeriksaan gula darah sederhana
2. Alat pengukur berat dan tinggi badan anak serta dewasa
3. Skala antropometri
-666-
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk ad vitam, sedangkan
untuk quo ad fungsionam dan sanationam umumnya dubia ad malam.
Referensi
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
2. Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Pedoman Pelayanan
Anak Gizi Buruk. Kemkes RI. Jakarta. 2011.
Masalah Kesehatan
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu masalah kesehatan akut
yang sering terjadi pada perempuan.Masalah infeksi saluran kemih
tersering adalah sistitis akut, sistitis kronik, dan uretritis.
Peralatan
Pemeriksaan laboratorium urinalisa
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kecuali bila higiene genital tetap
buruk, ISK dapat berulang atau menjadi kronis.
Referensi
1. Weiss, Barry.20 Common Problems In Primary Care.
-669-
2. Rakel, R.E. Rakel, D.P. Textbook Of Family Medicine. 2011
3. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI. 2009
4. Hooton TM. Uncomplicated urinary tract infection. N Engl J Med
2012;366:1028-37 (Hooton, 2012)
Masalah Kesehatan
Pielonefritis akut (PNA) tanpa komplikasi adalah peradangan
parenkim dan pelvis ginjal yang berlangsung akut. Tidak ditemukan
data yang akurat mengenai tingkat insidens PNA nonkomplikata di
Indonesia. Pielonefritis akut nonkomplikata jauh lebih jarang
dibandingkan sistitis (diperkirakan 1 kasus pielonefritis berbanding
28 kasus sistitis).
Peralatan
1. Pot urin
2. Urine dip-stick
3. Mikroskop
4. Object glass, cover glass
5. Pewarna Gram
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Achmad, I.A. et al., 2007. Guidelines Penatalaksanaan Infeksi
Saluran Kemih dan Genitalia Pria 2007 1st ed., Jakarta: Pengurus
Pusat Ikatan Ahli Urologi Indonesia. (Achmad, 2007)
2. Colgan, R. et al., 2011. International Clinical Practice Guidelines
for the Treatment of Acute Uncomplicated Cystitis and
Pyelonephritis in Women : A 2010 Update by the Infectious
Diseases Society of America and the European Society for
Microbiology and Infectious Diseases. Clinical Infectious Disease,
52, pp.103–120 (Colgan, 2011)
3. Stamm, W.E., 2008. Urinary Tract Infections, Pyelonephritis, and
Prostatitis. In A. s Fauci et al., eds. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. New York: McGraw-Hill, pp. 1820–1825. (Stamm, 2008)
3. FIMOSIS
Masalah Kesehatan
Fimosis adalah kondisi dimana preputium tidak dapat diretraksi
melewati glans penis. Fimosis dapat bersifat fisiologis ataupun
patalogis. Umumnya fimosis fisiologis terdapat pada bayi dan anak-
-674-
anak. Pada anak usia 3 tahun 90% preputium telah dapat diretraksi
tetapi pada sebagian anak preputium tetap lengket pada glans penis
sehingga ujung preputium mengalami penyempitan dan mengganggu
proses berkemih. Fimosis patologis terjadi akibat peradangan atau
cedera pada preputium yang menimbulkan parut kaku sehingga
menghalangi retraksi.
Peralatan
Set bedah minor
Prognosis
Prognosis bonam bila penanganan sesuai
Referensi
1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran Kemih dan Alat Kelamin
Lelaki. Buku Ajar Imu Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004.
-676-
2. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri K. Prepuce: Phimosis,
Paraphimosis, and Circumcision. The Scientific World Journal.
2011. 11, 289–301.
3. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in Childhood. BMJ
2013;346:f3678.
4. TekgülS, Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke P, Kocvara R, Nijman
R, Radmayr Chr, dan Stein R. Phimosis. Guideline of Paediatric
Urology. European Association of Urology. 2013. hlm 9-10
4. PARAFIMOSIS
Masalah Kesehatan
Parafimosis merupakan kegawatdaruratan karena dapat
mengakibatkan terjadinya ganggren yang diakibatkan preputium
penis yang diretraksi sampai di sulkus koronarius tidak dapat
dikembalikan pada kondisi semula dan timbul jeratan pada penis di
belakang sulkus koronarius.
Faktor Risiko
Penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction) pada laki-
laki yang belum disirkumsisi misalnya pada pemasangan kateter.
Peralatan
Set bedah minor
Prognosis
Prognosis bonam bila penanganan kegawatdaruratan segera
dilakukan.
Referensi
1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Saluran kemih dan alat kelamin
lelaki. Buku Ajar Imu Bedah.Ed.2. Jakarta: EGC,2004.
-678-
2. Hayashi Y, Kojima Y, Mizuno K, danKohri K. Prepuce: Phimosis,
Paraphimosis, and Circumcision. The Scientific World Journal.
2011. 11, 289–301.
3. Drake T, Rustom J, Davies M. Phimosis in Childhood. BMJ
2013;346:f3678.
4. TekgülS, Riedmiller H, Dogan H.S, Hoebeke P, Kocvara R, Nijman
R, RadmayrChr, dan Stein R. Phimosis. Guideline of Paediatric
Urology. European Association of Urology. 2013. hlm 9-10
N. KESEHATAN WANITA
1. KEHAMILAN NORMAL
Masalah Kesehatan
Masa kehamilan dimulai dari konsepsi sampai lahir. Lama kehamilan
normal 40 minggu dihitung dari hari pertama haid terahir (HPHT).
Untuk menghindari terjadinya komplikasi pada kehamilan dan
persalinan, maka setiap ibu hamil dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan secara rutin minimal 4 kali kunjungan selama masa
kehamilan.
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes kehamilan menunjukkan HCG (+)
2. Pemeriksaan darah: Golongan darah ABO dan Rhesus pada
trimester 1, Hb dilakukan pada trimester 1 dan 3, kecuali bila
tampak adanya tanda-tanda anemia berat.
3. Pemeriksaan lain: kadar glukosa darah dan protein urin sesuai
indikasi.
4. Pada ibu hamil dengan faktor risiko, dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan: BTA, TORCH (toxoplasma, rubella, cytomegalo virus,
-681-
herpes and others), sifilis, malaria danHIV dilakukan pada
trimester 1 terutama untuk daerah endemik untuk skrining faktor
risiko.
5. USG sesuai indikasi.
LILA √
Gejala anemia (pucat, nadi cepat) √ √ √
Edema √ √ √
Tanda bahaya lainnya (sesak, perdarahan, dll) √ √ √
Antara minggu ke 36 – 38
2. Memberikan nasihat dan petunjuk yang berkaitan dengan
kehamilan, persalinan, kala nifas dan laktasi.
3. Tanda-tanda bahaya yang perlu diwaspadai: sakit kepala lebih dari
biasa, perdarahan per vaginam, gangguan penglihatan,
pembengkakan pada wajah/tangan, nyeri abdomen (epigastrium),
mual dan muntah berlebihan, demam, janin tidak bergerak
sebanyak biasanya.
4. Pemberian makanan bayi, air susu ibu (ASI) eksklusif, dan inisiasi
menyusu dini (IMD).
5. Penyakit yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin
misalnya hipertensi, TBC, HIV, serta infeksi menular seksual
lainnya.
6. Perlunya menghentikan kebiasaan yang beresiko bagi kesehatan,
seperti merokok dan minum alkohol.
7. Program KB terutama penggunaan kontrasepsi pascasalin.
8. Minum cukup cairan.
9. Peningkatan konsumsi makanan hingga 300 kalori/hari dari menu
seimbang. Contoh: nasi tim dari 4 sendok makan beras, ½ pasang
hati ayam, 1 potong tahu, wortel parut, bayam, 1 sendok teh
minyak goreng, dan 400 ml air.
10. Latihan fisik normal tidak berlebihan, istirahat jika lelah.
11. Ajarkan metoda mudah untuk menghitung gerakan janin dalam 12
jam, misalnya dengan menggunakan karet gelang 10 buah pada
-684-
pagi hari pukul 08.00 yang dilepaskan satu per satu saat ada
gerakan janin. Bila pada pukul 20.00, karet gelang habis, maka
gerakan janin baik.
Medikamentosa
1. Memberikan zat besi dan asam folat (besi 60 mg/hari dan folat 250
mikogram 1-2 kali/hari), bila Hb<7,0 gr/dl dosis ditingkatkan
menjadi dua kali. Apabila dalam follow up selama 1 bulan tidak
ada perbaikan, dapatdipikirkan kemungkinan penyakit lain
(talasemia, infeksi cacing tambang, penyakit kronis TBC)
2. Memberikanimunisasi TT (Tetanus Toxoid) apabila pasien memiliki
risiko terjadinya tetanus pada proses melahirkan dan buku
catatan kehamilan.
Pada Ibu yang riwayat imunisasi tidak diketahui, pemberian
sesuai dengan tabel di berikut ini.
terpenuhi)
TT4 1 tahun setelah TT3
Peralatan
1. Alat ukur tinggi badan dan berat badan
2. Meteran
3. Laenec atau Doppler
4. Tempat tidur periksa
5. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan tes kehamilan, darah
rutin, urinalisa dan golongan darah
6. Buku catatan pemeriksaan
7. Buku pegangan ibu hamil
Kriteria Rujukan
Konsultasikan dan rujuk pada kunjungan trimester 1 atau 2 bila
ditemukan keadaan di bawah ini:
Tabel 14.6 Kriteria rujukan ibu hamil
Kondisi Tindakan
Diabetes melitus Rujuk untuk memperoleh
pelayanan sekunder
Penyakit jantung Konsultasikan dan rawat atas
pengawasan dokter ahli di tingkat
sekunder
Penyakit ginjal Konsultasikan dan rawat atas
pengawasan dokter ahli di tingkat
sekunder
-687-
Kondisi Tindakan
Epilepsi Nasehati untuk meneruskan
pengobatan
Pengguna narkoba, obat Rujuk untuk perawatan khusus
terlarang dan bahan adiksi
lainnya
Tanda anemia berat dan Hb <70 Naikkan dosis besi dan rujuk bila
g/l ibu hamil sesak nafas
Primigravida Nasehati untuk melahirkan di
tempat pelayanan kesehatan
Riwayat still birth/lahir mati Konsultasikan dan rawat atas
pengawasan dokter ahli di tingkat
sekunder
Riwayat (validated IUGR= intra Konsultasikan dan rawat atas
uterin growth retardation) pengawasan dokter ahli di tingkat
sekunder
Riwayat dirawat untuk eklampsia Konsultasikan dan rawat atas
atau preeklampsia pengawasan dokter ahli di tingkat
sekunder
Riwayat seksio sesaria Tekankan untuk melahirkan di
rumah sakit
Tekanan darah tinggi (>140/90 Rujuk untuk di evaluasi
mm Hg)
MUAC (lingkar perut bagian Rujuk untuk evaluasi
tengah) (pertimbangkan standar ukuran
yang sesuai untuk kondisi
setempat)
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI. 2013 (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013)
2. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo..
2010(Prawirohardjo, et al., 2010)
Masalah Kesehatan
Mual dan muntah yang terjadi pada awal kehamilan sampai umur
kehamilan 16 minggu. Mual dan muntah yang berlebihan, dapat
mengakibatkan dehidrasi, gangguan asam-basa dan elektrolit dan
ketosis keadaan ini disebut sebagai keadaan hiperemesis.Mual
-689-
biasanya terjadi pada pagi hari, tapi dapat pula timbul setiap saat dan
malam hari. Mual dan muntah ini terjadi pada 60-80% primigravida
dan 40-60% multigravida.Mual dan muntah mempengaruhi hingga >
50% kehamilan. Keluhan muntah kadang-kadang begitu hebat
dimana segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan
sehingga dapat mempengaruhi keadaan umum dan mengganggu
pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi dan terdapat
aseton dalam urin bahkan seperti gejala penyakit appendisitis, pielitis,
dan sebagainya.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
1. Mual dan muntah hebat
2. Ibu terlihat pucat
3. Kekurangan cairan
Gejala klinis
1. Muntah yang hebat
2. Mual dan sakit kepala terutama pada pagi hari (morning sickness)
3. Nafsu makan turun
4. Beratbadan turun
5. Nyeri epigastrium
6. Lemas
7. Rasa haus yang hebat
8. Gangguan kesadaran
Faktor Risiko
Belum diketahui secara pasti namun diperkirakan erat kaitannya
dengan faktor- faktor :
1. Peningkatan hormon – hormon kehamilan.
2. Adanya riwayat hiperemesis pada kehamilan sebelumnya.
3. Status nutrisi: pada wanita obesitas lebih jarang di rawat inap
karena hiperemesis.
4. Psikologis: adanya stress dan emosi.
Peralatan
1. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin
2. Laboratorium urinalisa
Prognosis
Prognosis umumnya bonam dan sangat memuaskan jika dilakukan
penanganan dengan baik. Namun jika tidak dilakukan penanganan
yang baik pada tingkat yang berat, kondisi ini dapat mengancam
nyawa ibu dan janin.
Ad vitam: Bonam; Ad functionam: Bonam; Ad sanationam: Bonam
-693-
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013(Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
2. World Health Organization, Kementerian Kesehatan, Perhimpunan
Obstetri Dan Ginekologi, Ikatan Bidan Indonesia. Pelayanan
Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar Dan Rujukan. Edisi I.
Jakarta 2013. Hal 82-3 (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
3. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Raschimhadhi, T. Wiknjosastro,
G.H, 2010. Ilmu Kebidanan. Ed 4. Cetakan ketiga. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010; Hal 814-818.
(Prawirohardjo, et al., 2010)
4. Wiknjosastro, H.Hiperemesis Gravidarum dalam Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2005: Hal 275-280. (Prawirohardjo,
et al., 2010)
5. Ronardy, D.H. Ed. Obstetri Williams. Ed 18. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2006:9, 996. (Ronardy, 2006)
Masalah Kesehatan
Anemia dalam kehamilan adalah kelainan pada ibu hamil dengan
kadar hemoglobin < 11g/dl pada trimester I dan III atau <10,5 g/dl
pada trimester II. Penyebab tersering anemia pada kehamilan adalah
defisiensi besi, perdarahan akut, dan defisiensi asam folat.
Peralatan
Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin
Prognosis
Prognosis umumnya adalah bonam, sembuh tanpa komplikasi
Referensi
KementerianKesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan
Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta
:KementerianKesehatan RI. 2013(Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
4. PRE-EKLAMPSIA
Masalah Kesehatan
Pre-eklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan di atas 20
minggu yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon
maternal terhadap adanya inflamasi spesifik dengan aktivasi endotel
dan koagulasi.
Tanda utama penyakit ini adanya hipertensi dan proteinuria. Pre-
eklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki
tingkat komplesitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya
-697-
karena pre-eklampsia berdampak pada ibu saat hamil dan
melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca-persalinan.
Peralatan
1. Doppler atau Laenec
2. Palu Patella
3. Obat-obat Antihipertensi
-702-
4. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin dan
urinalisa.
5. Larutan MgSO4 40%
6. Larutan Ca Glukonas
Prognosis
Prognosis pada umumnya dubia ad bonam baik bagi ibu maupun
janin.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO.Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI. 2013 (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013)
2. Report on the national high blood pressure education program
working group on high blood pressure in pregnancy. AJOG.2000:
Vol.183. (National High Blood Pressure Education Program
Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy, 2000)
3. Lana, K. Wagner, M.D. Diagnosis and management of pre-
eklampsia. The American Academy of Family Physicians. 2004 Dec
15; 70 (12): 2317-2324).(Lana & Wagner, 2004)
4. Cunningham, F.G. et.al. Hypertensive Disorder in Pregnancy.
Williams Obstetrics. 21st Ed. Prentice Hall International Inc.
Connecticut: Appleton and Lange. 2001; p. 653 -
694.(Cunningham, et al., 2001)
5. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta :PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo..
2010: Hal 550-554.(Prawirohardjo, et al., 2010)
6. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran: Diagnosis dan Tata Laksana Pre-eklampsia. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013. (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013)
-703-
5. EKLAMPSI
Masalah Kesehatan
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita pre-eklampsia,
yang disertai dengan kejang menyeluruh dan atau koma. Sama halnya
dengan pre-eklampsia, eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan
post partum. Eklampsia post partum umumnya hanya terjadi dalam
waktu 24 jam pertama setelah persalinan. 50-60% kejadian eklampsia
terjadi dalam keadaan hamil. 30-35% kejadian eklampsia terjadi pada
saat inpartu, dan sekitar 10% terjadi setelah persalinan.
Pada negara berkembang kejadian ini berkisar 0,3-0,7%. Di Indonesia
Pre eklampsia dan eklampsia penyebab kematian ibu berkisar 15-
25%, sedangkan 45-50% menjadi penyebab kematian bayi.
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
Perawatan dasar eklampsia yang utama adalah terapi supportif untuk
stabilisasi fungsi vital, dengan pemantauan terhadap Airway,
Breathing, Circulation (ABC).
-705-
Non Medikamentosa
Pengelolaan Kejang
1. Pemberian obat anti kejang.
2. Masukan sudap lidah ke dalam mulut penderita.
3. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi trendelenburg untuk
mengurangi risiko aspirasi.
4. Katerisasi urine untuk pengukuran cairan dan pemeriksaan
proteinuria.
5. Beberapa keluarga pasien membantu untuk menjaga pasien tidak
terjatuh dari tempat tidur saat kejang timbul
6. Beri O2 4 - 6 liter permenit.
Medikamentosa
1. MgSO4diberikan intravena dengan dosis awal 4 g (10ml MgSO4
40%, larutkan dalam 10 ml akuades) secara perlahan selama 20
menit, jika pemberian secara intravena sulit, dapat diberikan
secara IM dengan dosis 5mg masing bokong kanan dan kiri.
Adapun syarat pemberian MgSO4
a. tersedianya CaGlukonas10%
b. ada refleks patella,
c. jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam
d. frekuensi napas 12-16x/menit.
2. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 (15ml
MgSO4 40%, larutkan dalam 500 ml larutan Ringer Laktat/ Ringer
asetat) 28 tetes/ menit selama 6 jam dan diulang hingga 24 jam
setelah persalinan atau kejang berakhir.
3. Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya,
berikan dosis awal (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas
kesehatan sekunder .
4. Diazepam juga dapat dijadikan alternatif pilihan dengan dosis 10
mg IV selama 2 menit (perlahan), namun mengingat dosis yang
dibutuhkan sangat tinggi dan memberi dampak pada janin, maka
pemberian diazepam hanya dilakukan apabila tidak tersedia
MgSO4.
5. Stabilisasi selama proses perjalanan rujukan
a. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella.
b. Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak
didapatkan refleks tendon patella, danatau terdapat oliguria
(produksi urin <0,5 ml/kg BB/jam), segera hentikan
pemberian MgSO4.
-706-
6. Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml
larutan 10%) bolus dalam 10 menit.
Kriteria Rujukan
Eklampsia merupakan indikasi rujukan yang wajib di lakukan.
Peralatan
1. Oropharyngeal airway / Guedel
2. Kateter urin
3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan urin (menilai kadar
proteinuria).
4. Larutan MgSO4 40%
5. Ca Glukonas
6. Diazepam injeksi
7. Palu
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad malam baik untuk ibu maupun janin.
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010: Hal 550-554.(Prawirohardjo, et al., 2010)
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta:
KementerianKesehatan RI. 2013.(Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
-707-
6. ABORTUS
Tingkat Kemampuan
Abortus komplit 4A
Abortus inkomplit 3B
Abortus insipiens 3B
Masalah Kesehatan
Abortus ialah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup diluar kandungan,dan sebagai batasan digunakan
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat anak kurang dari 500
gram.
Jenis dan derajat abortus :
1. Abortus imminens adalah abortus tingkat permulaan, dimana terjadi
perdarahan pervaginam ostium uteri masih tertutup dan hasil
konsepsi masih baik dalam kandungan.
2. Abortus insipiens adalah abortus yang sedang mengancam dimana
serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi
hasil konsepsi masih dalam kavum uteri.
3. Abortus inkomplit adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari
kavum uteri masih ada yang tertinggal.
4. Abortus komplit adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari
kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu.
Nyeri Gejala
Diagnosis Perdarahan Uterus Serviks
Perut Khas
Abortus Sedikit Sedang Sesuai Tertutup Tidak ada
iminens usia epulsi
gestasi jaringan
konsepsi
Abortus Sedang- Sedang- Sesuai Terbuka Tidak ada
insipiens banyak hebat usia epulsi
kehamilan jaringan
konsepsi
Missed Tidak ada Tidak ada lebih kecil Tertutup Janin telah
abortion dari usia mati tapi
kehamilan tidak ada
epulsi
jaringan
konsepsi
Peralatan
1. Inspekulo
2. Laboratorium sederhana untuk pemeriksan tes kehamilan .
3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin.
4. USG
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.
Referensi
1. Saifuddin, A.B. Ilmu Kebidanan. Perdarahan pada kehamilan
muda. Ed 4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo.2009: p. 460-474.(Prawirohardjo, et al., 2010)
-714-
2. KementerianKesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
KementerianKesehatan RI. 2013(Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013)
3. Saifuddin, A.B. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2001; 146-147.(Saifuddin, 2011)
Masalah Kesehatan
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban
sebelum persalinan atau dimulainya tanda inpartu. Bila ketuban
pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut ketuban
pecah dini pada kehamilan prematur.
Dalam keadaan normal 8-10% perempuan hamil aterm akan
mengalami ketuban pecah dini. Ketuban pecah dini prematur terjadi
pada 1% kehamilan.
Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh
adanya faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari
vagina. Ketuban pecah dini prematur sering terjadi pada
polihidramnion, inkompeten serviks, dan solusio plasenta.
Peralatan
1. Inspekulo
2. Kertas lakmus (Nitrazin test)
3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin
Prognosis
Prognosis Ibu
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Prognosis Janin
1. Ad vitam : Dubia ad bonam
2. Ad functionam : Dubia ad bonam
3. Ad sanationam : Dubia ad Bonam
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010: Hal 677-680. (Prawirohardjo, et al., 2010)
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013 (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013)
-718-
8. PERSALINAN LAMA
Masalah Kesehatan
Persalinan lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 18-24
jam sejak dimulai dari tanda-tanda persalinan.
Etiologi:
1. Kepala janin yang besar / hidrosefalus
2. Kembar terkunci
3. Kembar siam
4. Disporsi fetopelvik
5. Malpresentasi dan malposisi
6. Deformitas panggul karena trauma atau polio
7. Tumor daerah panggul
8. Infeksi virus di perut atau uterus
9. Jaringan arut (dari sirkumsisi wanita)
Hasil Anamnesis(Subjective)
Pasien datang dalam kondisi fase persalinan Kala 1 atau Kala 2
dengan status: kelainan pembukaan serviks atau partus macet.
Faktor Risiko:
(“Po, Pa, Pa”atau gabungan 3 P )
1. Power : His tidak adekuat (his dengan frekuensi <3x/10
menit dan
Durasi setiap kontraksinya <40 detik)
2. Passenger : malpresentasi, malposisi, janin besar
3. Passage : panggul sempit, kelainan serviks atau vagina, tumor
jalan lahir
4. Gabungan : dari faktor-faktor di atas
Kriteria rujukan
Apabila tidak dapat ditangani di fasilitas pelayanan tingkat pertama
atau apabila level kompetensi SKDI dengan kriteria merujuk (<3B)
Prognosis
Prognosis untuk ad vitam adalah dubia ad bonam, namun ad
fungsionam dan sanationam adalah dubia ad malam.
Peralatan
1. Ruang berukuran minimal 15m2
2. Tempat tidur bersalin
3. Tiang infus
4. Lampu sorot dan lampu darurat
5. Oksigen dan maskernya
6. Perlengkapan persalinan
7. Alat resusitasi
-723-
8. Lemari dan troli darurat
9. Partograf
10. Dopler
11. Ambulans
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013 (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013)
2. WHO. Managing prolonged and obstructed labour. Education for
safe motherhood. 2ndEd. Department of making pregnancy safer.
Geneva: WHO. 2006.(World Health Organization, 2006)
3. Pedoman penyelenggaraan pelayanan obstetri neonatal emergensi
komprehensif (PONEK). 2008. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2008)
Masalah Kesehatan
Perdarahan post partum (PPP) adalah perdarahan yang masif yang
berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir, dan
jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian
ibu disamping perdarahan karena hamil ektopik dan abortus. Definisi
perdarahan post partum adalah perdarahan pasca persalinan yang
melebihi 500 ml setelah bayi lahir atau yang berpotensi mengganggu
hemodinamik ibu. Berdasarkan saat terjadinya, PPP dapat dibagi
menjadi PPP primer dan PPP sekunder. PPP primer adalah perdarahan
post partum yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan
dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan lahir, dan
sisa sebagian plasenta. Sementara PPP sekunder adalah perdarahan
pervaginam yang lebih banyak dari normal antara 24 jam hingga
12minggu setelah persalinan, biasanya disebabkan oleh sisa plasenta.
-724-
Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-
73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam dua
minggu setelah bayi lahir.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan dan gejala utama
1. Perdarahan setelah melahirkan
2. Lemah
3. Limbung
4. Berkeringatdingin
5. Menggigil
6. Pucat
Faktor Risiko
Perdarahan post partum merupakan komplikasi dari 5-8% kasus
persalinan pervaginam dan 6% dari kasus SC.
1. Faktor risiko prenatal:
a. Perdarahan sebelum persalinan
b. Solusio plasenta
c. Plasenta previa
d. Kehamilan ganda
e. Preeklampsia
f. Khorioamnionitis
g. Hidramnion
h. IUFD
i. Anemia (Hb< 5,8)
j. Multiparitas
k. Mioma dalam kehamilan
l. Gangguan faktor pembekuan dan
m. Riwayat perdarahan sebelumnya serta obesitas
2. Faktor risiko saat persalinan pervaginam:
a. Kala tiga yang memanjang
b. Episiotomi
c. Distosia
d. Laserasi jaringan lunak
e. Induksi atau augmentasi persalinan dengan oksitosin
f. Persalinan dengan bantuan alat (forseps atau vakum)
g. Sisa plasenta, dan bayi besar (>4000 gram)
3. Faktor risiko perdarahan setelah SC :
a. Insisi uterus klasik
b. Amnionitis
-725-
c. Preeklampsia
d. Persalinan abnormal
e. Anestesia umum
f. Partus preterm dan postterm
Penyebab dibedakan atas:
1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta
a. Hipotoni sampai atonia uteri
• Akibat anestesi
• Distensi berlebihan (gemeli,anak besar,hidramnion)
• Partus lama,partus kasep
• Partus presipitatus/partus terlalu cepat
• Persalinan karena induksi oksitosin
• Multiparitas
• Riwayat atonia sebelumnya
b. Sisa plasenta
• Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
• Plasenta susenturiata
• Plasenta akreata, inkreata, perkreata.
2. Perdarahan karena robekan
a. Episiotomi yang melebar
b. Robekan pada perinium, vagina dan serviks
c. Ruptura uteri
3. Gangguan koagulasi
a. Trombofilia
b. Sindrom HELLP
c. Pre-eklampsi
d. Solutio plasenta
e. Kematian janin dalam kandungan
f. Emboli air ketuban
Penyebab yang
No Gejala dan tanda
harus dipikirkan
1. • Perdarahan segera setelah anak lahir Atonia Uteri
• Uterus tidak berkontraksi dan lembek
2. • Perdarahan segera Robekan Jalan
• Darah segar yang mengalir segera setelah bayi Lahir
lahir
3 • Plasenta belum dilahirkan dalam 30 menit Retensio Plasenta
setelah kelahiran bayi
4. • Plasenta atau sebagian selaput (mengandung Sisa Plasenta
pembuluh darah) tidak lengkap
• Perdarahan dapat muncul 6-10 hari post partum
disertai subinvolusi uterus
5. • Perdarahan segera (Perdarahan intra abdominal Ruptura Uteri
dan dari atau pervaginam)
-727-
Penyebab yang
No Gejala dan tanda
harus dipikirkan
• Nyeri perut yang hebat
• Kontraksi yang hilang
6. • Fundus Uteri tidak teraba pada palpasi abdomen Inversio uteri
• Lumen vagina terisi massa
• Nyeri ringan atau berat
7. • Perdarahan tidak berhenti, encer, tidak terlihat Gangguan
gumpalan sederhana pembekuan darah
• Kegagalan terbentuknya gumpalan pada uji
pembentukan darah sederhana
• Terdapat faktor predisposisi : solusio placenta,
kematian janin dalam uterus, eklampsia, emboli
air ketuban
Inversio Uteri
Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder
Peralatan
1. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutindan
golongan darah.
2. Inspekulo
3. USG
4. Sarung tangan steril
5. Hecting set
6. Benang catgut
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam, tergantung dari jumlah
perdarahan dan kecepatan penatalaksanaan yang di lakukan.
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010: Hal 522-529. (Prawirohardjo, et al., 2010)
2. KementerianKesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013 (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013)
-733-
10. RUPTUR PERINEUM TINGKAT 1-2
Masalah Kesehatan
Ruptur perineum adalah suatu kondisi robeknya perineum yang
terjadi pada persalinan pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85%
wanita yang melahirkan pervaginam mengalami ruptur perineum
spontan, yang 60%- 70% di antaranya membutuhkan penjahitan
(Sleep dkk, 1984; McCandlish dkk,1998). Angka morbiditas meningkat
seiring dengan peningkatan derajat ruptur.
A C
B D
Sfingter ani yang intak (ditunjuk oleh tanda panah A) terlihat lebih
jelas pada pemeriksaan rectal touche (B); Robekan parsial
sepanjang sfingter ani eksterna (C); Robekan perineum derajat 3b
dengan sfingter ani yang intak (Internal anal sphincter/IAS).
Sfingter ani eksterna (External anal sphincter/EAS) dijepit oleh
forseps Allis. Perhatikan perbedaan warna IAS yang lebih pucat
dibandingkan EAS (D).
4. Derajat IV
Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan
mukosa rektum
Peralatan
1. Lampu
2. Kassa steril
3. Sarung tangan steril
4. Hecting set
5. Benang jahit catgut
6. Laboratorium sederhana pemeriksaan darah rutin dan golongan
darah.
Prognosis
Prognosis umumnya bonam.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013. (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013)
2. Priyatini T, Ocviyanti D, Kemal A. Ilmu Bedah Dasar Obstetri dan
Ginekologi. Bina Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014)
3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L. Hauth, J.C. Rouse,
D.J. Spong, C.Y. Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-Hill.
2009.(Cunningham, et al., 2009)
4. Wiknjosastro, H. Ilmu Bedah Kebidanan. Ed 1 Jakarta: Yayasan
Bina Sarwono Prawirohardjo. 2007: Hal 170-6 (Prawirohardjo, et
al., 2010).
-742-
11. MASTITIS
Masalah Kesehatan
Mastitis adalah peradangan payudara yang terjadi biasanya pada
masa nifas atau sampai 3 minggu setelah persalinan.
Kejadian mastitis berkisar 2-33% dari ibu menyusui dan lebih kurang
10% kasus mastitis akan berkembang menjadi abses (nanah), dengan
gejala yang makin berat.
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis klinis
Diagnosis klinis dapat di tegakkan dengan anamnesa dan
pemeriksaan fisik.
Berdasarkan tempatnya, mastitis dapat dibedakan menjadi 3 macam,
antara lain :
1. Mastitis yang menyebabkan abses dibawah areola mammae.
2. Mastitis ditengah payudara yang menyebabkan abses ditempat itu.
3. Mastitis pada jaringan dibawah dorsal kelenjar-kelenjar yang
menyebabkan abses antara payudara dan otot-otot dibawahnya.
Diagnosis Banding:-
Peralatan
1. Lampu
2. Kasa steril
3. Sarung tangan steril
4. Bisturi
Kriteria Rujukan
Jika terjadi komplikasi abses mammae dan sepsis.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam.
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010: Hal 380, 652-653(Prawirohardjo, et al., 2010)
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013.
-745-
12. INVERTED NIPPLE
Masalah Kesehatan
Terdapat beberapa bentuk puting susu. Pada beberapa kasus seorang
ibu merasa putingnya datar atau terlalu pendek akan menemui
kesulitan dalam menyusui bayi. Hal ini bisa berdampak bayi tidak
bisa menerima ASI dengan baik dan cukup.
Pada beberapa kasus, putting dapat muncul kembali bila di stimulasi,
namun pada kasus-kasus lainnya, retraksi ini menetap.
Komplikasi
Risiko yang sering muncul adalah ibu menjadi demam dan
pembengkakan pada payudara.
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010. 379
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013.
3. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku Bacaan Manajemen
Laktasi. Jakarta.
4. http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/manajemen-
laktasi.html. 2014
-748-
13. CRACKED NIPPLE
Masalah Kesehatan
Nyeri pada puting merupakan masalah yang sering ditemukan pada
ibu menyusui dan menjadi salah satu penyebab ibu memilih untuk
berhenti menyusui bayinya. Diperkirakan sekitar 80-90% ibu
menyusui mengalami nipple pain dan 26% di antaranya mengalami
lecet pada puting yang biasa disebut dengan nipple crack. Kerusakan
pada puting mungkin terjadi karena trauma pada puting akibat cara
menyusui yang salah.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam penegakan diagnosis.
Komplikasi
Risiko yang sering muncul adalah ibu menjadi demam dan
pembengkakan pada payudara.
Kriteria Rujukan
Rujukan diberikan jika terjadi kondisi yang mengakibatkan abses
payudara
-751-
Prognosis
Ad vitam: Bonam ; Ad functionam: Bonam; Ad sanationam: Bonam
Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro
Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat
cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010: Hal 379.
2. Utami, R. Yohmi, E. Buku Bedah ASI IDAI
O. PENYAKIT KELAMIN
Masalah Kesehatan
Vaginal discharge atau keluarnya duh tubuh dari vagina secara
fisiologis yang mengalami perubahan sesuai dengan siklus menstruasi
berupa cairan kental dan lengket pada seluruh siklus namun lebih
cair dan bening ketika terjadi ovulasi. Masih dalam batas normal bila
duh tubuh vagina lebih banyak terjadi pada saat stres, kehamilan
atau aktivitas seksual. Vaginal discharge bersifat patologis bila terjadi
perubahan-perubahan pada warna, konsistensi, volume, dan baunya.
Peralatan
1. Ginecology bed
2. Spekulum vagina
3. Lampu
4. Kertas lakmus
Prognosis
Prognosis pada umumnya dubia ad bonam.
Faktor-faktor yang menentukan prognosis, antara lain:
1. Prognosis lebih buruk apabila adanya gejala radang panggul
2. Prognosis lebih baik apabila mampu memelihara kebersihan diri
(hindari penggunaan antiseptik vagina yang malah membuat iritasi
dinding vagina)
Referensi
1. Faculty of Sexual and Reproductive Healthcare.2012. Clinical
Guidance 2012: Management of vaginal discharge in non-
genitourinary medicine settings. England: Clinical Effectiveness
Unit. Diunduh dari www.evidence.nhs.uk. (Faculty of Sexual and
Reproductive Healthcare, 2012)
2. World Health Organization. 2005.Sexually transmitted and other
reproductive tract infection. A guide to essential practice. WHO
Library Cataloguing in Publication Data. (World Health
Organization, 2005)
-756-
2. SIFILIS
Masalah Kesehatan
Sifilis adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Treponema
pallidum dan bersifat sistemik. Istilah lain penyakit ini adalah lues
veneria atau lues. Di Indonesia disebut dengan raja singa karena
keganasannya. Sifilis dapat menyerupai banyak penyakit dan memiliki
masa laten.
Peralatan :-
Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin.Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.Andrew’s Diseases of
the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011. Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
3. GONORE
Masalah Kesehatan
Gonore adalah semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae. Penyakit ini termasuk Penyakit Menular Seksual (PMS)
yang memiliki insidensi tinggi.Cara penularan gonore terutama
melalui genitor-genital, orogenital dan ano-genital, namun dapat pula
melalui alat mandi, termometer dan sebagainya (gonore genital dan
ekstragenital). Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah mukosa
vagina wanita sebelum pubertas.
-764-
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Keluhan utama berhubungan erat dengan infeksi pada organ genital
yang terkena.
Pada pria, keluhan tersering adalah kencing nanah. Gejala diawali
oleh rasa panas dan gatal di distal uretra, disusul dengan disuria,
polakisuria dan keluarnya nanah dari ujung uretra yang kadang
disertai darah.Selain itu, terdapat perasaan nyeri saat terjadi
ereksi.Gejala terjadi pada 2-7 hari setelah kontak seksual.
Apabila terjadi prostatitis, keluhan disertai perasaan tidak enak di
perineum dan suprapubis, malaise, demam, nyeri kencing hingga
hematuri, serta retensi urin, dan obstipasi.
Pada wanita, gejala subyektif jarang ditemukan dan hampir tidak
pernah didapati kelainan obyektif. Wanita umumnya datang setelah
terjadi komplikasi atau pada saat pemeriksaan antenatal atau
Keluarga Berencana (KB).
Keluhan yang sering menyebabkan wanita datang ke dokter adalah
keluarnya cairan hijau kekuningan dari vagina, disertai dengan
disuria, dan nyeri abdomen bawah.
Keluhan selain di daerah genital yaitu : rasa terbakar di daerah anus
(proktitis), mata merah pada neonatus dan dapat terjadi keluhan
sistemik (endokarditis, meningitis, dan sebagainya pada gonore
diseminata – 1% dari kasus gonore).
Faktor Risiko
1. Berganti-ganti pasangan seksual.
2. Homoseksual dan Pekerja Seks Komersial (PSK).
3. Wanita usia pra pubertas dan menopause lebih rentan terkena
gonore.
4. Bayi dengan ibu menderita gonore.
5. Hubungan seksual dengan penderita tanpa proteksi (kondom).
Peralatan
1. Senter
2. Lup
3. Sarung tangan
4. Alat pemeriksaan in spekulo
5. Kursi periksa genital
6. Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Gram
Prognosis
Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa, namun dapat
menimbulkan gangguan fungsi terutama bila terjadi
-767-
komplikasi.Apabila faktor risiko tidak dihindari, dapat terjadi kondisi
berulang.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin.Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000.Andrew’s Diseases of
the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
4. VAGINITIS
Masalah Kesehatan
Vaginitis adalah peradangan pada vagina yang ditandai dengan
adanya pruritus, keputihan, dispareunia, dan disuria. Penyebab
vaginitis:
1. Vaginosis bakterialis (bakteri Gardnerella Vaginalis adalah bakteri
anaerob yang bertanggung jawab atas terjadinya infeksi vagina
yang non-spesifik, insidennya terjadi sekitar 23,6%).
2. Trikomonas (kasusnya berkisar antara 5,1-20%).
3. Kandida (vaginal kandidiasis, merupakan penyebab tersering
peradangan pada vagina yang terjadi pada wanita hamil,
insidennya berkisar antara 15-42%).
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Bau adalah keluhan yang paling sering dijumpai.
Gejala klinis
1. Bau
2. Gatal (pruritus)
3. Keputihan
4. Dispareunia
-768-
5. Disuria
Faktor Risiko
1. Pemakai AKDR
2. Penggunaan handuk bersamaan
3. Imunosupresi
4. Diabetes melitus
5. Perubahan hormonal (misal : kehamilan)
6. Penggunaan terapi antibiotik spektrum luas
7. Obesitas.
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang.
Vaginitis harus dicari penyebabnya, dengan menilai perbedaan tanda
dan gejala dari masing-masing penyebab, dapat pula dengan menilai
secara mikroskopik cairan vagina.
-769-
Sindroma
Kriteria Normal Vaginosis Vaginosis Vulvovaginitis
diagnostik Bakterialis Trikomoniasis Kandida
pH Vagina 3,8-4,2 > 4,5 > 4,5 >4,5 (usually)
Diagnosis Banding
Vaginosis bakterialis, Vaginosis trikomonas, Vulvovaginitis kandida
Komplikasi: -
Peralatan
1. Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan cairan
vagina
2. Kertas lakmus
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam.
Referensi
1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of
Vaginitis In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy.
Universitary Clinic of Obstetrics and Gynecology “Bega”
Timisoara.p.157-159 (D, 2006)
2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R. 2011.Ilmu Kandungan. Edisi
ketiga. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
(Mochamad, et al., 2011)
-771-
5. VULVITIS
Masalah Kesehatan
Bagi setiap wanita selain masalah keputihan, adapun masalah sering
dihadapi adalah vaginitis dan vulvitis. Vulvitis adalah suatu
peradangan pada vulva (organ kelamin luar wanita),sedangkan
vulvovaginitis adalah peradangan pada vulva dan vagina. Gejala yang
paling sering ditemukan adalah keluarnya cairan abnormal dari
vagina, dikatakan abnormal jika jumlahnya sangat banyak serta
baunya menyengat atau disertai gatal-gatal dan nyeri.
Penyebab :
1. Alergi, khususnya sabun, kertas toilet berwarna, semprotan
vagina, deterjen, gelembung mandi, atau wewangian
2. Dermatitis jangka panjang, seborrhea atau eksim
3. Infeksi seperti infeksi pedikulosis, atau kudis jamur dan bakteri
Komplikasi
Infertilitas, Infeksi sekunder karena sering digaruk, Vulva distrofi
Peralatan
Lup
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam.
Referensi
1. Anastasia,D. 2006. Aspects Concerning Frequency And Ethiology Of
Vaginitis In Pregnant Women. In:The Two Last Terms Of Pregnancy.
Universitary Clinic of Obstetrics and Gynecology “Bega”
Timisoara.p.157-159
2. Mochamad, A. Ali, B. Prajitno, P.R. 2011.Ilmu Kandungan. Edisi
ketiga. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
-773-
Penjelasan 1 Alogaritma penatalaksanaan reaksi anafilaktik
simultan
OBSERVASI !
Ulangi Epinefrin 5 – 15 menit
kemudian bila belum ada perbaikan
MONITOR !
Nilai dan catat TANDA VITAL, STATUS MENTAL, dan OKSIGENASI setiap 5 – 15 menit sesuai kondisi
pasien.
Observasi 1 – 3 x 24 jam atau rujuk ke RS terdekat.
TERAPI TAMBAHAN
• Kortikosteroid untuk semua kasus berat, berulang, dan pasien dengan
asma
o Methyl prednisolone 125 – 250 mg IV
o Dexamethasone 20 mg IV
o Hydrocortisone 100 – 500 mg IV pelan
• Inhalasi short acting β2-agonist pada bronkospasme berat
• Vasopressor IV
• Antihistamin IV
• Bila keadaan stabil, dapat mulai diberikan kortikosteroid dan antihistamin
-774-
Penjelasan 2 Algoritma tatalaksana RSA
* KS = Kortikosteroid
** Tanda infeksi bakteri: sekret purulen, nyeri wajah berat, suhu > 38oC, peningkatan LED / CRP, double sickening
-775-
Penjelasan 3 Algoritma tatalaksana RSK
Rujuk segera !
• Edema / eritema periorbital
• Perubahan posisi bola mata
Evaluasi setelah 4 minggu • Diplopia
• Oftalmoplegia
• Penurunan visus
• Sefalgia frontal uni/bilateral hebat
• Pembengkakan area frontal
• Tanda meningitis
Perbaikan Perbaikan • Kelainan neurologis fokal
(+) (-)
Lanjutkan Rujuk ke
terapi SpTHT
-776-
Penjelasan 4.
Rangkuman pilihan terapi medikamentosa untuk kasus rinosinusitis
Dosis
Golongan Obat Penggunaan
Dewasa Anak
Irigasi Nasal Salin fisiologis - - Sebagai ajuvan
(NaCl 0,9%)
Antibiotik
Lini 1 Amoxicillin 3 x 500 mg / hari 25 – 50 Selama 7 – 10
mg/kgBB/hari, 3 hari
dosis per hari
TMP-SMX 2 x 160/800 mg / 8 – 20 mg Selama 7 – 10
hari TMP/kgBB/hari, 2 hari
dosis per hari
Eritromisin 4 x 500 mg / hari 50 – 100 Selama 7 – 10
mg/kgBB/hari, 4 hari
dosis per hari
Lini 2 Amoxicillin – 2 x 2000 mg / 25 – 50 Selama 7 – 10
Asam hari mg/kgBB/hari, 2 hari
Clavulanat dosis per hari
Ciprofloxacin 2 x 500 mg / hari • Usia < 1 tahun: Selama 7 – 10
belum ada data hari
efikasi dan
keamanan
• Usia ≥ 1 tahun:
10 – 20
mg/kgBB/hari, 2
dosis per hari
Levofloxacin 1 x 750 mg / hari Belum ada data Selama 7 – 10
efikasi dan hari
keamanan
Azithromycin 1 x 500 mg / hari 10 mg/kgBB/hari,
(untuk 3 hari) 1 dosis per hari,
atau untuk 3 hari
2000 mg dosis
tunggal
-778-
Penjelasan 5 COPD Assessment Test (CAT/Uji Penilaian PPOK)
Selama 4 minggu terakhir, sejauh mana anda terganggu oleh masalah-masalah ini?
a Sakit perut
b Sakit punggung
Untuk perempuan
d Kram saat menstruasi atau masalah
menstruasi lainnya
e Sakit kepala
f Sakit dada
g Pusing / pening
h Pingsan
i Jantung berdebar-debar
j Sesak napas
l Konstipasi, diare
o Gangguan tidur
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan hak
setiap warga negara yang harus dihadirkan oleh negara berdasarkan
amanah Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka mewujudkan
pelayanan kesehatan yang bermutu, selain sarana prasarana yang
memadai faktor sumber daya manusia kesehatan merupakan faktor
utama. Dalam upaya menghadirkan sumber daya kesehatan yang
bermutu, Pemerintah berkoordinasi dengan organisasi profesi. Bagi
dokter, organisasi profesi yang diakui adalah Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) yang di dalamnya terdapat sejumlah perhimpunan profesi
berdasarkan jenis spesialisasinya.
B. TUJUAN
Buku panduan keterampilan klinis bagi dokter bertujuan untuk
menjadi acuan dalam melakukan keterampilan klinis yang terstandar
sesuai kompetensi dokter, sehingga kualitas pelayanan kedokteran
yang diberikan dapat meningkat.
C. SASARAN
Sasaran buku Panduan Keterampilan Klinis bagi dokter adalah
seluruh dokter yang memberikan pelayanan kesehatan di tingkat
pertama. Fasilitas pelayanan kesehatan tidak terbatas pada fasilitas
pelayanan kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, namun
diterapkan juga pada fasilitas pelayanan kesehatan milik swasta.
D. RUANG LINGKUP
Dalam penerapan Panduan Keterampilan Klinis bagi dokter sebagai
bagian dari standar pelayanan, diharapkan peran serta aktif seluruh
pemangku kebijakan kesehatan untuk membina dan mengawasi
penerapan standar pelayanan yang baik guna mewujudkan mutu
pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Adapun pemangku kebijakan
kesehatan yang berperan dalam penerapan standar pelayanan ini
adalah:
1. Kementerian Kesehatan, sebagai regulator di sektor kesehatan.
Mengeluarkan kebijakan nasional dan peraturan terkait guna
mendukung penerapan pelayanan sesuai standar. Selain dari itu,
dengan upaya pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan dan
kualitas pelayanan, diharapkan standar ini dapat diterapkan di
seluruh Indonesia.
2. Ikatan Dokter Indonesia, sebagai satu-satunya organisasi profesi
dokter, termasuk di dalamnya peranan IDI Cabang dan IDI
Wilayah, serta perhimpunan dokter di pelayanan primer dan
spesialis terkait. Pembinaan dan pengawasan dalam aspek profesi
- 789 -
termasuk di dalamnya standar etik menjadi ujung tombak
penerapan standar yang terbaik.
3. Dinas Kesehatan Provinsi maupun Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, sebagai penanggungjawab urusan kesehatan
pada tingkat daerah.
4. Organisasi profesi kesehatan lainnya seperti Persatuan Dokter Gigi
Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI),
Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI),
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) serta
organisasi profesi kesehatan lainnya. Keberadaan tenaga
kesehatan lain sangat mendukung terwujudnya pelayanan
kesehatan terpadu.
A. UNIVERSAL PRECAUTION
Teknik Pemeriksaan
1. Basahkan kedua
telapak tangan setinggi
pertengahan lengan
dengan air mengalir,
kemudian ambil sabun.
Analisis Tindakan/Perhatian
1. Penggunaan sabun khusus cuci tangan baik berbentuk batang
maupun cair sangat disarankan untuk kebersihan tangan yang
maksimal.
2. Tujuh (7) langkah mencuci tangan di atas umumnya membutuhkan
waktu 15 – 20 menit. Mencuci tangan secara baik dan benar memakai
sabun penting untuk mencegah kuman dan bakteri berpindah dari
tangan ke tubuh anda.
3. Cuci tangan dilakukan untuk dekontaminasi tangan saat:
a. Sebelum kontak langsung dengan pasien.
- 793 -
b. Sebelum menggunakan sarung tangan steril.
c. Sebelum memasukkan alat invasif yang tidak membutuhkan
prosedur operasi.
d. Setelah kontak dengan kulit pasien yang intak.
e. Setelah kontak dengan cairan tubuh atau ekskresi, membran
mukosa, kulit yang tidak intak, dan pembalut luka.
f. Saat berpindah dari bagian tubuh yang terkontaminasi ke bagian
yang bersih saat merawat dan memeriksa pasien.
g. Setelah kontak dengan peralatan medis dan benda lainnya yang
berada disekitar pasien.
h. Setelah melepas sarung tangan.
i. Sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.
Referensi
1. World Health Organization. WHO guidelines on Hand hygiene in health
care. First Global Patient Safety Challenge Clean Care is Safer Care.
2009.
2. Boyce JM, Pittet D. Guideline for hand hygiene in health-care settings,
recommendations of the healthcare infection control practices advisory
committee and the HICPAC/SHEA/APIC/IDSA hand hygiene task
force. MMWR 2002:51(16):19-31.
3. 3M Health Care. Recommendations from the CDC Guideline for Hand
Hygiene in Healthcare Settings [Internet]. Available at:
http://www.cdc.gov/handhygiene/.
Tingkat Keterampilan: 4A
1. Definisi
Sterilisasi : tindakan untuk membuat suatu alat/bahan
menjadi bebas hama.
Asepsis : keadaan bebas hama/bakteri
Antisepsis : tindakan untuk membebas-hamakan suatu bahan,
alat ataupun ruangan terhadap bakteri/kuman
pathogen untuk mencegah sepsis.
2. Cara sterilisasi
a. Pemanasan, dilakukan tanpa tekanan dan dengan tekanan.
b. Kimiawi dengan menggunakan tablet formalin, gas etilen
oksida, larutan antiseptik.
c. Radiasi: menggunakan sinar X dan sinar ultraviolet.
3. Antiseptik: zat-zat yang dapat membunuh atau menghambat
pertumbuhan kuman.
a. Bersifat sporisial dan nonsporisidal.
b. Fungsi:
- 794 -
- Mensucihamakan kulit sebelum operasi untuk mencegah
infeksi
- Mencuci tangan sebelum operasi untuk mencegah infeksi
silang
- Mencuci luka, terutama pada luka kotor
- Sterilisasi alat bedah
- Mencegah infeksi pada perawatan luka
- Irigasi daerah-daerah terinfeksi
- Mengobati infeksi local
c. Antiseptik terbagi atas:
- Alkohol
- Halogen dan senyawanya: yodium, povidon yodium,
yodoform, klorheksidin
- Oksidansia: kalium permanganat, perhidrol
- Logam berat dan garamnya: merkuri klorida,
merkurokrom
- Asam: asam borat
- Turunan fenol: trinitrofenol, heksaklorofen
- Basa ammonium kuarterner: etakridin
Referensi
Siegel JD,et al. 2007 guideline for isolation precautions: preventing
transmission of infectious agents in healthcare settings [Internet].
Available from: http://
www.cdc.gov/ncidod/dhqp/pdf/isolation2007.pdf
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Mengetahui indikasi pemakaian alat pelindung diri untuk dokter dan
petugas kesehatan lainnya.
Indikasi Penggunaan
1. Masker:
a. Untuk melindungi petugas kesehatan dari kontak dengan
bahan infeksius dari pasien.
b. Ketika petugas kesehatan melakukan prosedur yang
membutuhkan teknik steril untuk melindungi pasien dari
pajanan agen infeksius yang dibawa mulut dan hidung
petugas kesehatan.
- 795 -
c. Pada pasien yang batuk untuk mencegah penyebaran sekret
infeksius ke orang lain.
2. Goggle, pelindung wajah:
a. Mencegah pajanan agen infeksius yang ditransmisikan
melalui droplet pernapasan.
b. Digunakan bersama masker dan sarung tangan.
3. Sarung tangan:
a. Antisipasi kontak langsung terhadap darah atau cairan tubuh
pada membrane mukosa, kulit yang tidak intak, dan bahan
infeksius lainnya.
b. Pada orang yang kontak langsung dengan pasien yang
terinfeksi oleh pathogen yang ditransmisikan melalui kontak
langsung.
4. Gown Isolasi:
Digunakan untuk melindungi lengan dan bagian tubuh yang
dapat terpapar dan mencegah kontaminasi darah, cairan tubuh,
dan bahan infeksius lainnya pada baju.
Referensi
Siegel JD,et al. 2007 guideline for isolation precautions: preventing
transmission of infectious agents in healthcare settings [Internet].
Available from: http://
www.cdc.gov/ncidod/dhqp/pdf/isolation2007.pdf
4. PROSES KONSULTASI
Kisi-kisi proses
1. Membangun sambung rasa dengan cara menyapa,
bersalaman, memperkenalkan diri
2. Mengkonfirmasi identitas pasien
3. Menjelaskan tujuan pertemuan serta memberitahukan
perannya
4. Memberikan penjelasan tentang beberapa alternatif (misalnya
jenis alat kontrasepsi dan pengobatan) yang dapat dipilih pasien
untuk menyelesaikan masalahnya. Memberikan penjelasan
yang terorganisir dengan baik.
5. Menjelaskan keuntungan dan kerugian dari masing-masing
alternatif tersebut secara objektif
6. Menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti,
tidak menggunakan jargon medik dan kalimat yang
membingungkan
7. Menjawab pertanyaan pasien dengan tepat
8. Mengecek kembali pemahaman pasien/keluarga tentang hal
yang dibicarakan dan menanggapi komunikasi non-verbal
pasien dengan tepat
9. Memberi kesempatan/waktu kepada pasien untuk bereaksi
terhadap ucapan petugas kesehatan (berdiam diri sejenak)
10. Mendorong pasien untuk menyampaikan reaksinya,
keprihatinannya serta perasaannya serta menyampaikan
penerimaannya terhadap keprihatinan, perasaan dan nilai-nilai
pasien.
11. Mendorong pasien untuk menentukan pilihannya dan
menyatakan dukungan terhadap keputusan pasien
(menyampaikan keprihatinan, pengertian, dan keinginan untuk
membantu)
12. Membuat perencanaan tindak lanjut bersama pasien
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Melaksanakan proses persetujuan tindakan medik dengan baik
Proses
1. Membangun sambung rasa dengan cara menyapa, bersalaman,
memperkenalkan diri kepada pasien dan pasangan/keluarganya.
2. Menjelaskan tujuan pertemuan
3. Menanyakan pada pasien dan pasangan/keluarganya mengenai
hal-hal yang telah diketahui mengenai masalah yang dialami
4. Memberikan penjelasan mengenai:
• Tujuan tindakan medis atau tata laksana yang diajukan.
- 801 -
• Risiko dan manfaat dari tindakan medis atau tata laksana
yang diajukan termasuk rencana tindak lanjut dan antisipasi
kemungkinan terjadinya hal-hal di luar estimasi.
• Alternatif pengobatan (harga pengobatan atau tindakan
tersebut, dibiayai oleh asuransi atau tidak, dll).
• Risiko dan manfaat dari tindakan medis atau tata laksana
alternatif yang diajukan.
• Risiko dan manfaat bila tidak menjalani atau menjalani
pengobatan atau tata laksana.
5. Penjelasan tersebut termasuk alasan mengapa akhirnya
diputuskan untuk tindakan medis tersebut termasuk
komplikasi yang mungkin timbul apabila tindakan tidak
dilakukan.
6. Memastikan bahwa pasien memahami penjelasan yang diberikan
dan menghargai keputusan yang dipilih pasien dan
pasangan/keluarganya.
7. Meminta tanda tangan pasien atau pasangan/keluarga sebagai
tanda persetujuan atau penolakan terhadap tindakan medis.
8. Mengucapkan terima kasih.
Referensi
1. Ali, M. Sidi. I. P. S. Komunikasi Efektif Dokter-Pasien. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia. 2006.
2. American Medical Association. 2013. http://www.ama-assn.org.
Diakses pada tanggal 30 Juli 2013.
- 802 -
C. GENERAL SURVEY
9. PENILAIAN KESADARAN
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan pemeriksaan: Melakukan penilaian kesadaran
Referensi
1. Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China.
2. Duijnhoven & Belle 2009, Skills in Medicine: The Pulmonary
Examination.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan pemeriksaan: Melakukan postur dan habitus
Teknik Pemeriksaan
1. Perhatikan gaya berjalan pasien saat memasuki ruang periksa
2. Nilai postur/habitus pasien (atletikus, piknikus, astenikus)
- 804 -
a. Spastic Hemiparesis
Postur ini berhubungan dengan lesi pada
traktus kortikospinal, seperti pada
stroke. Satu lengan tergantung kaku di
sisi tubuh dengan fleksi sendi siku,
pergelangan tangan dan interphalangs.
Tungkai lurus dengan plantar fleksi. Saat
berjalan pasien menyeret salah satu kaki
atau membuat gerakan kaku melingkar
saat berjalan maju (circumduction).
f. Parkinsonian Gait
Berhubungan dengan defek ganglia basal
pada penyakit parkinson. Postur
bungkuk, kepala dan leher ke depan,
pinggul dan lutut sedikit fleksi. Lengan
fleksi pada siku dan pergelangan tangan.
Pasien lambat dalam memulai langkah.
Langkah-langkah pendek dan menyeret.
Ayunan lengan berkurang dan kaku saat
berbalik.
Gambar 6. Parkinsonian Gait
g. Gait of Older Age
Merupakan proses penuaan. Kecepatan,
keseimbangan dan kelincahan menurun.
langkah pendek-pendek, tidak pasti,
bahkan menyeret. Tungkai mungkin
fleksi pada panggul dan lutut.
2. Postur/Habitus:
a. Astenikus
Bentuk tubuh yang tinggi, kurus, dada rata atau
cekung, angulus costae, dan otot – otot tak bertumbuh
dengan baik.
b. Atletikus
Bentuk tubuh olahragawan, kepala dan dagu yang terangkat
ke atas, dada penuh, perut rata, dan lengkung tulang
belakang dalam batas normal.
- 806 -
c. Piknikus
Bentuk tubuh yang cenderung bulat, dan penuh dengan
penimbunan jaringan lemak subkutan.
Referensi
1. Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China.
2. Duijnhoven & Belle 2009, Skills in Medicine: The Pulmonary
Examination.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan pemeriksaan: Melakukan penilaian status gizi pada anak
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada ibu pasien atau wali mengenai jenis dan
prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
2. Ukur panjang/tinggi badan anak dengan menggunakan
neonatal stadiometer/ meteran sesuai usia pasien.
Catatan:
1. Anak dalam kelompok ini berperawakan tubuh tinggi. Hal ini
masih tidak normal. Singkirkan kelainan hormonal sebagai
penyebab perawakan tinggi.
2. Anak dalam kelompok ini mungkin memiliki masalah
pertumbuhan tapi lebih baik jika diukur menggunakan
perbandingan berat badan terhadap panjang/ tinggi atau IMT
terhadap umur.
3. Titik plot yang berada di atas angka 1 menunjukkan berisiko
gizi lebih. Jika makin mengarah ke garis Z-skor 2 risiko gizi
lebih makin meningkat.
4. Mungkin untuk anak dengan perawakan pendek atau sangat
pendek memiliki gizi lebih.
5. Hal ini merujuk pada gizi sangat kurang dalam modul pelatihan
IMCI (Integrated Management of Childhood Illness in-service
training. WHO, Geneva, 1997).
1) Laki-laki
- 810 -
2) Perempuan
Referensi
World Health Organization.
Matondang cs, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Diagnosis Fisis pada
Anak. Ed 2. Jakarta: Sagung Seto, 2000; p32-34.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Tempatkan meteran pada dinding. Minta pasien berdiri tegak
dengan tumit menempel pada lantai dan pandangan lurus
kedepan.
3. Ukur tinggi badan pasien dan catat hasilnya.
4. Kemudian minta pasien berdiri di atas timbangan. Posisi pasien
berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan. Saat
melakukan pemeriksaan berat badan, pasien harus melepas
alas kaki, jaket, tas serta benda-benda lain yang dapat
mempengaruhi hasil timbangan.
5. Ukur berat badan pasien dan catat hasilnya.
6. Tentukan indeks masa tubuh (BMI) pasien dengan
menggunakan rumus:
Klasifikasi IMT
Berat badan kurang (underweight) <18,5
Normal 18,5-22,9
Berat badan lebih (overweight) ≥ 23,0
Berisiko 23,0-24,9
Obese I 25,0-29,9
Obese II > 30,0
Referensi
About BMI for adults 2013, dilihat 12 maret 2014,
<http://www.cdc.gov/healthyweight/assessing/bmi/adult_bmi/ind
ex.html>
D. TANDA VITAL
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
akan dilakukan.
3. Mempersilahkan pasien untuk istirahat paling tidak 5 menit
dalam posisi pemeriksaan (posisi duduk).
4. Pastikan ruang pemeriksaan tenang dan nyaman.
5. Lengan yang akan diperiksa harus bebas dari pakaian. Pastikan
pada lengan tersebut tidak terdapat cimino untuk dialisis, bekas
luka yang disebabkan putusnya arteri brachial sebelumnya
maupun limfaoedem.
6. Lakukan palpasi pada arteri brakhialis untuk memastikan
terabanya denyut.
7. Posisikan lengan pasien sedemikian rupa sehingga arteri
brakhialis sejajar dengan jantung. Apabila pasien dengan posisi
duduk maka letakkan lengan pada meja sedikit diatas pinggul.
8. Tentukan ukuran manset. Bila manset terlalu besar untuk
lengan pasien, seperti pada anak-anak, maka pembacaannya
akan lebih rendah dari tekanan sebenarnya. Bila manset terlalu
kecil, misalnya pada penggunaan manset standar pada pasein
obes, maka pembacaan tekanan akan lebih tinggi dibanding
tekanan sebenarnya.
9. Pasang manset dengan membalutkannya dengan kencang dan
lembut pada lengan atas. Batas bawah manset berada pada 2.5
cm di atas fossa antecubiti, dan balon manset harus berada di
tengah arteri brakialis.
- 820 -
10. Posisikan lengan pasien sedemikan rupa sehingga siku sedikit
fleksi.
11. Pompa manset hingga mengembang. Untuk menentukan
seberapa tinggi tekanan manset, pertama-tama perkirakan
tekanan sistolik dengan palpasi. Raba arteri radialis dengan
satu tangan, kembangkan manset secara cepat sampai dengan
pulsasi arteri radialis menghilang. Baca tekanan yang terbaca
pada manometer, lalu tambahkan 30 mmHg. Gunakan jumlah
ini sebagai target untuk mengembangkan manset sehingga
mengurangi ketidaknyamanan karena manset yang terlalu
kencang.
12. Kempiskan manset dan tunggu 15-30 detik.
13. Tempatkan membran stetoskop pada arteri brachialis.
14. Kembangkan manset secara cepat sampai dengan tekanan yang
telah ditentukan sebelumnya.
15. Kempiskan secara perlahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per
detik.
16. Dua bunyi pertama yang terdengar adalah tekanan sistolik
pasien.
17. Turunkan tekanan 10-20 mmHg.
18. Kemudian kempiskan manset secara cepat hingga nol.
19. Titik dimana bunyi terdengar menghilang merupakan tekanan
diastolik pasien.
20. Tunggu selama 2 menit, kemudian ulangi pemeriksaan untuk
mendapatkan nilai rata-rata.
- 821 -
mmHg
Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination
and history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins, 2009.
2. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical examination.
Ed 13. Edenburg: Elsevier. 2013.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Pasien dalam posisi terlentang
- 823 -
2. Dengan menggunakan telunjuk dan jari tengah, tekan arteri
radialis sampai dengan terdeteksi denyut maksimal. Yang perlu
dinilai adalah frekuensi, irama dan kuat angkat.
3. Apabila didapatkan frekuensi denyut dan irama normal, maka
hitung frekuensi selama 30 detik lalu kalikan 2. Jika frekuensi
denyut nadi sangat cepat atau sangat lambat, hitung selama 60
detik.
4. Untuk menilai irama, rasakan denyut radialis. Apabila
didapatkan irama ireguler, cek kembali irama dengan
menempelkan stetoskop pada apeks jantung.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Pasien paling baik dalam posisi berdiri dengan pemeriksa
berada berhadapan dengan pasien. Bila tidak bisa, pasien dapat
duduk di meja periksa atau dalam posisi berbaring. Posisi
pemeriksa paling baik berada di ujung kaki pasien.
2. Nilai:
a. Tipe pernapasan
b. Frekuensi napas
c. Dalamnya pernapasan
d. Regularitas
e. Rasio antara inspirasi dan ekspirasi
f. Adanya batuk atau bunyi napas tambahan
g. Adanya dipsnoe
3. Nilai juga adanya postur tubuh tertentu dan penggunaan otot
bantu napas.
4. Nilai adanya sianosis sentral dan/atau perifer.
Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and
history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins, 2009.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary
Examination. 2009.
3. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical examination.
Ed 13. Edenburg: Elsevier. 2013.
- 827 -
15. PEMERIKSAAN SUHU
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Mampu melakukan pengukuran suhu
2. Mampu menentukan letak-letak untuk mengukur suhu pada
bayi dan anak
Teknik Pemeriksaan
E. SISTEM SARAF
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Melakukan penilaian kaku kuduk
2. Melakukan pemeriksaan Lasegue
2. Melakukan pemeriksaan Kernig
3. Melakukan pemeriksaan Brudzinski I
4. Melakukan pemeriksaan Brudzinski II
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
3. Cuci tangan dahulu.
4. Pemeriksaan kaku kuduk.
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal
kepala.
b. Pemeriksa berdiri di sebelah kiri pasien.
c. Tangan kiri pemeriksa ditempatkan dibelakang kepala
pasien.
d. Tempatkan tangan kanan pemeriksa pada sternum pasien,
untuk memfiksasi tubuh pasien.
e. Dengan hati-hati, putar kepala pasien ke kanan dan kiri.
f. Selanjutnya, dengan hati-hati, fleksikan kepala pasien
sehingga dagu pasien menyentuh dada.
g. Nilai adakah nyeri atau tahanan pada leher saat
pemeriksaan ini dilakukan.
5. Pemeriksaan lasegue
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal
kepala dengan kedua tungkai diekstensikan (lurus).
b. Pemeriksa mengangkat salah satu kaki dengan fleksi pada
sendi panggul.
- 830 -
c. Nilai adanya tahanan atau rasa nyeri.
d. Lakukan pemeriksaan pada tungkai lainnya dan bandingkan
hasilnya.
6. Pemeriksaan kernig
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal
kepala dengan kedua tungkai diekstensikan (lurus).
b. Pemeriksa memfleksikan sendi panggul dan lutut sehingga
membentuk sudut 90 derajat.
c. Kemudian tungkai bawah diekstensikan.
d. Nilai adanya tahanan maupun rasa nyeri.
e. Lakukan pemeriksaan pada tungkai lainnya dan bandingkan
hasilnya.
7. Tanda Brudzinski I
a. Saat dilakukan prosedur pemeriksaan kaku kuduk, nilai
posisi kaki pasien.
b. Adakah fleksi pada kedua tungkai.
8. Tanda Brudzinski II
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal
kepala dengan kedua tungkai diekstensikan (lurus).
b. Tungkai difleksikan pada sendi panggul dan lutut.
c. Nilai tungkai lainnya, adakah fleksi yang terjadi.
d. Lakukan pemeriksaan pada tungkai lainnya dan bandingkan
hasilnya.
3. Pemeriksaan Kernig
Pada saat tungkai bawah diekstensikan, normalnya tungkai
dapat mencapai sudut 135 derajat dari tungkai atas sebelum
terdapat tahanan atau rasa sakit. Bila tahanan atau rasa sakit
ini timbul sebelum mencapai sudut tersebut, maka dikatakan
kernig positif. Lasegue positif dapat ditemukan pada rangsang
selaput otak, isialgia dan iritasi pleksus lumbosakral.
4. Tanda Brudzinski I
Pemeriksaan ini dikatakan positif bila terdapat fleksi pada salah
satu atau kedua tungkai. Perlu diketahui adanya kelumpuhan
pada tungkai sebelum pemeriksaan, karena tungkai yang
lumpuh tidak akan terjadi fleksi.
- 832 -
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination
and History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins,
China, 2009.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Neurology
Examination. 2009.
3. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta. Balai penerbit FKUI. 2008. p18-20.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan
dan prosedurnya.
3. Pastikan pasien tidak mengalami sistem penghidu (contoh pilek)
4. Memeriksa N.I: olfaktorius.
a. Minta pasien untuk menutup kedua matanya dan menutup
salah satu lubang hidung. Pemeriksaan dilakukan dari
lubang hidung sebelah kanan.
b. Dekatkan beberapa benda di bawah lubang hidung yang
terbuka, seperti kopi, teh, dan sabun.
c. Tanyakan kepada pasien apakah ia menghidu sesuatu, bila
ya, tanyakan jenisnya. Pemeriksa juga dapat memberikan
pilihan jawaban bila pasien merasa menhidu sesuatu
namun tidak dapat mengenalinya secara spontan, seperti,
“Apakah ini kopi, atau teh?”
d. Kemudian lakukan prosedur yang sama pada lubang hidung
yang lain.
5. Melakukan pemeriksaan pupil (N. II):
a. Pasien diminta berbaring.
b. Inspeksi kedua pupil dan catat ukuran dan bentuknya.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
d. Tempatkan tangan diantara kedua mata.
e. Minta pasien untuk memfiksasi pandangan ke depan. Sinari
salah satu mata dari arah tepi (pasien tidak boleh melihat
kearah sinar dan sumber cahaya harus cukup terang)
f. Catat reaksi pupil baik langsung maupun tidak langsung.
g. Lakukan prosedur yang sama pada mata yang lain.
6. Prosedur pemeriksaan lapang pandang (N. II):
a. Untuk pemeriksaan ini, pemeriksa dan pasien duduk
berhadapan dengan lutut pemeriksa hampir bersentuhan
dengan lutut pasien. Tinggi mata pemeriksa sama dengan
pasien.
b. Pemeriksaan dilakukan satu per satu (monokuler), dimulai
dengan mata kanan.
- 834 -
c. Pada saat memeriksa mata kanan, pasien diminta menutup
mata kiri dengan telapak tangan pasien, tidak ditekan.
Sedangkan pemeriksa menutup mata kanannya.
d. Tempatkan tangan pemeriksa yang bebas di bidang imajiner
antara lutut pasien dan pemeriksa. Jarak antara bidang
imajiner ini dengan mata pemeriksa sama dengan jaraj
bidang imajiner dengan mata pasien.
e. Pemeriksa dan pasien saling bertatapan, pasien diminta
untuk memfiksasi pandangannya kedepan. Kemudian
pemeriksa menggerakkan tangannya pada bidang imajiner
tersebut dari tepi ke tengah bidang. Saat melakukan ini,
pemeriksa dapat menggerakan jari-jarinya atau diam dan
minta pasien menyebutkannya. Tanyakan kepada pasien
apakah ia dapat melihat tangan pemeriksa atau tidak.
Lakukan pemeriksaan pada empat kuadran kuadran
(temoral atas, nasal bawah, nasal atas, temporal bawah).
f. Lakukan prosedur yang sama terhadap mata yang lain.
7. Pemeriksaan fundus mata (N. II):
a. Untuk memeriksa fundus, pupil harus cukup berdilatasi,
sehingga sebelum melakukan pemeriksaan pasien dapat
diberikan cairan midriatikum.
b. Cahaya pada ruang periksa diredupkan.
c. Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan.
d. Nyalakan oftalmoskop.
e. Atur lensa pada oftalmoskop (sesuaikan bila pemeriksa
memiliki kelainan refraksi). Atur dioptri funduskopi sesuai
dengan visus pasien, mata pemeriksa harus normal atau
menggunakan kacamata sesuai visus.
f. Atur jenis cahaya pada jenis lingkaran penuh.
g. Pasien diminta memfiksasi pandangan jauh melewati bahu
pemeriksa.
h. Saat memeriksa mata kanan pasien, pemeriksa meletakkan
oftalmoskop di depan mata kanannya, dipegang dengan
tangan kanan. Sedangkan tangan kiri pemeriksa memfiksasi
kepala pasien.
i. Amati ke dalam pupil dengan sudut aksis 0o untuk melihat
diskus optikus dan pembuluh darah retina. Nilai retina,
diskus optikus, cup-disc ratio dan pembuluh darah retina.
Kemudian arahkan 15o ke temporal untuk menilai daerah
sekitarnya.
j. Lakukan prosedur yang sama terhadap mata lainnya.
k. Pemeriksaan refleks cahaya dilakukan bersama dengan
pemeriksaan N III.
8. Pemeriksaan NIII (Occulomotorius):
Inspeksi kelopak mata
a. Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan
- 835 -
b. Amati kedua kelopak mata pasien, bandingkan kanan dan
kiri.
c. Amati bila pasien menengadahkan kepala atau mengangkat
alisnya untuk mempertahankan mata tetap terbuka.
d. Apabila pemeriksa mencurigai adanya ptosis pada mata
kanan, kiri atau kedua mata, minta pasien menutup
matanya beberapa menit kemudian buka mata pasien dan
nilai kembali.
9. Menilai posisi bola mata:
a. Inspeksi posisi kedua mata
b. Nilai bila mata pasien juling.
c. Tanyakan apakah pasien memiliki keluhan pandangan
ganda.
d. Apabila pemeriksa tidak yakin bila pasien memiliki
strabismus, sinari mata dari jarak 30 cm dengan letak tepat
di tengah antara kedua mata dan minta pasien melihat ke
sumber cahaya.
e. Lihat refleksi cahaya pada kedua mata pasien. Normalnya
refleksi cahaya berada tepat di tengah pupil.
10. Pemeriksaan reaksi konvergensi:
a. Persiapkan pasien dalam posisi berbaring.
b. Minta pasien untuk memfiksasi penglihatan pada jari anda
yang berjarak 1 m di depan wajah pasien. Tangan pemeriksa
yang lain dapat digunakan untuk mengangkat kelopak mata
atas pasien agar pupil lebih terlihat.
c. Sambil memperhatikan ukuran pupil pasien, pemeriksa
secara perlahan mendekatkan jarinya mendekati pasien ke
titik antara kedua alis pasien.
d. Minta pasien untuk mengikuti pergerakan tangan
pemeriksa.
e. Amati reaksi pupil selama pemeriksaan kovergensi ini.
11. Pemeriksaan pergerakan bola mata (NIII, IV, VI):
a. Persiapkan pasien dalam posisi berbaring.
b. Pemeriksa mengangkat telunjuknya didepan mata pasien
dan minta pasien untuk memfiksasi penglihatannya pada
ujung jari pemeriksa dan untuk mengikuti pergerakan
tangan pemeriksa.
c. Minta pasien untuk memfiksasi kepalanya sehingga hanya
bola matanya saja yang bergerak.
d. Pemeriksa menggerakkan tangannya ke kanan dan kiri, kiri
atas, kanan atas, kiri bawah dan kanan bawah serta atas
bawah melewati titik tengah (6 arah).
e. Pada saat melakukan pemeriksaan ini, sudut penglihatan
tidak boleh lebih dari 45o.
f. Tanyakan kepada pasien apakah ia merasakan adanya
penglihatan ganda pada saat mengikuti gerakan jari.
g. Bila ya, tanyakan di arah mana saja.
- 836 -
h. Kembali periksa arah dimana pasien merasakan adanya
penglihatan ganda, lalu tutup salah satu mata secara
bergantian.
i. Tanyakan pada mata sebelah mana pasien tidak dapat
melihat tangan pemeriksa.
12. Pemeriksaan refleks kornea (N. V):
a. Persiapkan pasien dalam posisi berbaring. Pemeriksa berada
di sisi pasien.
b. Angkat kelopak mata atas pasien, kemudian minta pasien
untuk melirik ke sisi berlawanan dari tempat peeriksa.
c. Sentuh sklera dengan ujung kapas dari sisi ke arah kornea
tanpa menyentuh bulu mata maupun konjungtiva.
d. Perhatikan adanya refleks mengedip dari pasien.
e. Lakukan pemeriksaan pada mata lainnya dan bandingkan
hasilnya.
f. Pemeriksaan N V juga digunakan untuk menilai lesi pada
herpes di V.1 V.2 dan V.3
13. Penilaian otot temporal dan masseter.
a. Minta pasien untuk mengatupkan rahangnya sekuat
mungkin.
b. Pemeriksa melakukan palpasi pada otot temporal dan
masseter pasien. Kemudian nilai kekuatan tonusnya.
14. Penilaian kesimetrisan wajah (N. VII):
a. Amati wajah pasien dan nilai kesimetrisannya sisi kanan
dan kiri. Adanya ketidaksimetrisan yang ringan pada saat
istirahat bersifat fisiologis.
b. Minta pasien untuk:
1) Mengangkat kedua alis
2) Menutup kedua mata dengan kuat
3) Menggembungkan pipi
4) Mencucu
5) Memperlihatkan gigi-giginya
c. Amati apakah pasien dapat melakukan seluruh gerakan
yang diminta dan nilai kesimetrisannya.
d. Amati seluruh mimik spontan pada pasien, seperti
tersenyum atau tertawa dan nilai kesimetrisannya.
Pemeriksaan simetris wajah. dibedakan atas dan bawah
untuk membedakan tipe sentral dan perifer.
e. Periksa pula refleks dan sensori khusus di lidah 2/3
anterior.
15. Penilaian sensasi wajah (N. V):
a. Persiapkan pasien dalam posisi duduk atau berbaring.
b. Pemeriksaan awal pasien dengan mata terbuka sehingga ia
dapat melihat stimulus apa yang akan ia identifikasi.
c. Sentuh pasien di daerah wajah dengan kapas di beberapa
tempat, bandingkan kanan dan kiri.
- 837 -
d. Kemudian dengan mata tertutup, tanyakan apakah pasien
merasakan stimuli sentuhan yang diberikan dan minta ia
mengidentifikasi letak stimuli. Bandingkan kanan dan kiri.
e. Perhatikan adanya penurunan fungsi sensoris yang ditandai
dengan adanya perbedaan sensasi stimuli pada pasien.
Walaupun pasien dapat menyebutkan seluruh letak stimuli
sehingga perlu ditanyakan apakah ia merasakan adanya
perbedaan sensasi dari setiap stimuli yang diberikan.
16. Penilaian indra pendengaran: lateralisasi, konduksi udara dan
tulang (N. VIII) lihat materi tentang INDERA: Tes
Pendengaran
17. Pemeriksaan nistagmus:
a. Persiapkan pasien dalam posisi duduk di hadapan
pemeriksa.
b. Minta pasien memfiksasi matanya pada jari anda yang
berjarak 75 cm di depan wajah pasien dan minta ia
mengikuti gerakan tangan anda tanpa menggerakkan
kepala.
c. Sundut pandang mata tidak lebih dari 45o. Nistagmus yang
terjadi pada sudut pandang yang lebih besar dapat bersifat
fisiologis.
d. Amati timbulnya nistagmus. Tentukan arah nistagnus,
lamanya, dan apakah terjadi pada fase cepat atau lambat.
e. Perlu disebutkan apakah kelainan bersifat sentral dan
perifer, vestibuler dan non vestibuler.
18. Inspeksi palatum:
a. Minta pasien untuk membuka mulutnya dan nilai posisi
arkus palatum
b. Minta pasien mengatakan “aa”.
c. Nilai apakah arkus palatum berkontaksi secara simetris.
19. Penilaian otot sternomastoid dan trapezius (N. XI):
Otot Sternocleidomastoideus:
a. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan letakkan tangan
kanan pada rahang bawah kanan pasien.
b. Minta pasien untuk mendorong tangan anda dengan
menggerakkan kepala ke sisi kanan.
c. Dengan cara ini, nilai kekuatan otot sternocleidomastoideus
kiri.
d. Lakukan prosedur ini terhadap rahang kiri untuk menilai
kekuatan otot sternocleidomastoideus kanan.
Otot Trapezius:
a. Pemeriksa berada di belakang pasien.
b. Minta pasien mengangkat kedua bahunya.
c. Tempatkan kedua tangan pemeriksa diatas behu pasien dan
coba untuk menurunkannya.
- 838 -
d. Nilai kekuatan otot trapezius dan bandingkan kanan dan
kiri.
20. Pemeriksaan lidah (N. XII):
a. Minta pasien untuk membuka mulutnya.
b. Nilai bentuk dan kedudukan lidah di dalam rongga mulut.
c. Nilai apakah lidah merapat kearah kanan atau kiri.
d. Minta pasien menekan pipi kanan dan kiri menggunakan
lidah sedangkan pemeriksa mendorong lidah pipi luar.
e. Nilai kekuatan lidah dan bandingkan kanan dan kiri.
f. Nilai ada tidaknya atrofi (lidah terlihat licin) dan fasikulasi
(gelombang pada otot-otot lidah).
g. Minta pasien menjulurkan lidah.
h. Nilai bentuk dan posisi lidah saat dijulurkan. Apakah lurus
ditengah, deviasi ke arah kanan atau kiri.
Gambaran funduskopi
normal
Warna kuning-orange
Pembuluh darah
sedikit pada disc
Batas disc tegas
Atrofi optic
Warna putih
Tidak terdapat
pembuluh darah pada
disc
Papiledema
Warna pink, hiperemis
Pembuluh darah disc
lebih terlihat dan
banyak
Disc sembab
Coupping pada
glaucoma
Cup membesar, warna
pucat
Gambar 19. Hasil funduskopi
Strabismus
konvergen (esotropia)
Strabismus divergen
(exotropia)
Paralisis N VI kiri
- 840 -
7. Reaksi konvergensi
Pada tes konvergensi normalnya pupil mengecil (miosis).
8. Refleks kornea
Pada pemeriksaan ini reaksi normal yang ditimbulkan adalah
refleks berkedip. Refleks ini menghilang ada kerusakan atau lesi
N V. Lesi pada n VII juga dapat menyebabkan gangguan pada
refleks ini.
9. Penilaian otot temporal dan masseter
Kelemahan atau hilangnya kontraksi otot temporal dan
masseter pada salah satu sisi dapat menunjukkan adanya lesi N
V. Adanya kelemahan bilateral disebabkan oleh gangguan
perifer atau sentral. Pada pasien yang tidak memiliki gigi, hasil
pemeriksaan ini mungkin sulit dinilai.
10. Kesimetrisan otot wajah
Lipatan nasolabial yang mendatar dan kelopak mata yang jatuh
kebawah menandakan adanya kelemahan fasial. Cedera perifer
n VII, seperti pada Bell’s palsy, mempengaruhi otot wajah atas
dan bawah sisi ipsilateral, sedangkan lesi sentral hanya
mempengaruhi otot wajah bagian bawah. Pada paralisis wajah
unilateal, sudut mulut sisi yang paralisis jatuh ke bawah saat
pasien tersenyum atau meringis.
11. Penilaian sensasi wajah
Penurunan atau kehilangan sensasi wajah unilateral
menunjukkan adanya lesi N V atau jalur interkoneksi sensoris
yang lebih tinggi.
12. Pemeriksaan nistagmus
Nistagmus dapat menunjukkan adanya gangguan vestibular
ataupun kelaianan sentral. Pada kelaianan nistagmus yang
perlu dinilai antara lain:
a. Arah komponen cepat dan komponen lambat
b. Gerakan nistagmus
- Vertikal
- Horizontal
- Rotatoar
c. Arah pandangan dimana nistagmus muncul
13. Inspeksi palatum
- 841 -
Palatum tidak dapat naik pada lesi bilateral dari nervus vagus.
Pada kelumpuhan unilateral, satu sisi palatum tidak dapat
terangkat dan bersama-sama uvula tertarik ke arah sisi yang
normal.
14. Penilaian otot sternomastoid dan trapezius
Kelemahan yang disertai atrofi dan fasikulasi menunjukkan
adanya gangguan saraf perifer. Saat m.trapezius mengalami
paralisis, bahu terkulai dan skapula terjatuh kebawah dan
lateral.
Pada pasien dengan posisi berbaring yang mengalami
kelemahan otot strenokleidomastoideus bilateral akan
mengalami kesulitan mengangkat kepalanya dari bantal.
15. Pemeriksaan lidah
Pada pasien dengan paralisis N XII, inspeksi saat di dalam
rongga mulut, dapat terlihat lidah terdorong ke sisi yang sakit
dan saat lidah dijulurkan, maka akan terdorong ke sisi yang
sehat. Interpretasi hasil perlu disebutkan apakah paralisis
terjadi sentral atau perifer.
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking
8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary
Examination. 2009.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Persiapkan alat yang dibutuhkan
2. Menilai Refleks tendon (bisep, trisep, pergelangan, patella,
tumit):
Tendon bisceps (posisi pasien duduk)
a. Apabila pemeriksa tidak kidal, pegang siku pasien dengan
tangan kiri.
b. Lengan bawah pasien harus rileks berada diatas lengan
bawah pemeriksa.
c. Jempol kiri pemeriksa harus berada diatas tendon biscep di
lipat siku pasien.
d. Ketuk jempol anda dengan palu refleks.
- 842 -
e. Nilai adanya kontraksi pada otot bisceps dan pergerakan
lengan bawah, bandingkan kanan dan kiri.
Tendon biceps (posisi pasien berbaring)
a. Fleksikan lengan dan letakkan lengan bawah di atas
abdomen.
b. Pastikan otot biscep dalam keadaan rileks dengan
menggerakkan siku secara pasif.
c. Tempatkan jempol atau telunjuk kiri pemeriksa pada tendon
bisceps di lipat siku pasien sebagai pemandu lokasi tendon
otot biceps.
d. Ketuk jari pemandu dengan palu refleks.
e. Nilai adanya fleksi lengan bawah dan kontraksi pada otot
bisceps, bandingkan kanan dan kiri.
Tendon triceps (posisi pasien duduk)
a. Fleksikan lengan bawah pasien secara pasif sehingga
sikunya membentuk sudut 90o. Pegang pergelangan tangan
pasien sehingga otot pasien benar-benar dalam keadan
rileks.
b. Letakkan jari telunjuk pada tendon triceps sebagai
pemandu.
c. Ketuk jari telunjuk dengan palu refleks, sekitar 3 cm diatas
olecranon.
d. Nilai adanya ekstensi lengan bawah dan kontraksi pada otot
triceps, bandingkan kanan dan kiri.
Tendon triceps (posisi pasien berbaring)
a. Lengan bawah pasien diposisikan diatas dadanya dalam
posisi rileks, dengan siku fleksi 90o.
b. Dengan menggunakan satu tangan, pemeriksa memegang
tangan atau pergelangan tangan pasien memfleksikannya
sedikit lebih dari 90o, dengan terlebih dahulu mengerakkan
siku pasien fleksi-ekstensi secara pasif.
e. Letakkan jari telunjuk pada tendon triceps sebagai
pemandu.
f. Ketuk jari telunjuk dengan palu refleks, sekitar 3 cm diatas
olecranon.
g. Ketuk tendon triceps dengan palu refleks, sekitar 3 cm
diatas olecranon.
h. Nilai adanya ekstensi lengan bawah dan kontraksi pada otot
triceps, bandingkan kanan dan kiri.
Pemeriksaan Refleks brachioradialis/ pergelangan tangan
(pasien posisi duduk)
a. Posisi awal memegang lengan pasien seperti saat melakukan
pemeriksaan refleks bisceps.
b. Kemudian ketuk di daerah 1 cm diatas prosesus radiostyloid
dengan palu refleks.
- 843 -
c. Nilai adanya fleksi lengan bawah dan kontraksi otot
brachioradialis, bandingkan kanan dan kiri.
Pemeriksaan Refleks brachioradialis/ pergelangan tangan
(pasien posisi berbaring)
a. Posisi awal memegang lengan pasien seperti saat melakukan
pemeriksaan refleks bisceps.
b. Pegang jari telunjuk pasien dengan satu tangan dan
gerakkan dengan bawah dan pergelangan tangan pasien
hingga otot rileks.
c. Kemudian ketuk di daerah 1 cm diatas prosesus radiostyloid
dengan palu refleks.
d. Nilai adanya fleksi lengan bawah dan kontraksi otot
brachioradialis, bandingkan kanan dan kiri.
KPR Patella (pasien posisi duduk)
a. Tungkai bawah pasien harus dalam keadaan menggantung
dan rileks.
b. Yakinkan otot quadriceps pasien dalam keadaan rileks.
c. Ketuk tendon quadriceps dengan palu refleks, diantara
patella dan tuberositas tibial.
d. Nilai adanya ekstensi tungkai bawah dan kontraksi otot
quadriceps, bandingkan kanan dan kiri.
Patella (pasien posisi berbaring)
a. Pemeriksa menempatkan tangannya pada salah satu lutut
pasien melewati bawah lutut yang akan diperiksa.
b. Yakinkan tangan pemeriksa yang bebas mengecek bahwa
otot quadriceps pasien dalam keadaan rileks.
c. Ketuk tendon quadriceps dengan palu refleks, diantara
patella dan tuberositas tibial.
d. Nilai adanya ekstensi tungkai bawah dan kontraksi otot
quadriceps, bandingkan kanan dan kiri.
Tendon Achilles (pasen posisi berbaring)
a. Letakkan kaki pasien dalam posisi menyilang, satu kaki
diatas kaki lainnya.
b. Pemeriksa memegang ujung kaki pasien dan menggerakkan
pergelangan kakinya fleksi-ekstensi hingga otot rileks.
c. Pemeriksa menekan kaki pasien sehingga kaki pasien sedikit
dorso fleksi.
d. Ketuk tendon Achilles dengan palu refleks.
e. Nilai adanya fleksi dorsum pedis atau ekstensi plantar pedis,
bandingkan kanan dan kiri.
3. Refleks abdominal
a. Pasien berbaring dalam keadaan rileks.
b. Goreskan ujung lancip palu refleks dengan arah dari tepi ke
umbilikus di enam regio abdomen (epigastrik, mesogastrik,
hipogastrik, kanan dan kiri)
- 844 -
c. Nilai adanya pergerakan umbilikus yang disebabkan oleh
adanya kontraksi otot abomen.
4. Refleks kremaster
a. Pasien berbaring diatas meja periksa
b. Goreskan ujung lanciip palu refleks didaerah paha dalam
dengan arah dari distal ke proksimal.
c. Nilai bila terlihat testis terangkat, bandingkan kanan dan
kiri.
5. Refleks anal
a. Pasien berbaring dengan posisi litotomi.
b. Dengan perlahan, goreskan ujung lancip palu refleks di
sekitar anus dengan gerakkan melingkar.
c. Nilai adanya kontraksi dari muskulus sfingter ani eksternal.
6. Snout refleks (refleks regresi)
a. Dengan perlahan ketukkan jari pemeriksa diantara hidung
dan mulut pasien.
b. Nilai respon mulut pasien berupa gerakan mencucu.
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking
8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination.
2009.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
3. Mencuci tangan.
4. Refleks Hoffman tromner
a. Minta pasien untuk melakukan hiperekstensi di pergelangan
tangannya, kemudian ujung jari tengah disentil (snapped)
b. Lihat gerakan jari lainnya, hasil positif adalah bila jari-jari
fleksi dan ibu jari adduksi
5. Kemudian, minta pasien berbaring di meja periksa dengan
kedua tungkai diluruskan.
6. Refleks babinski
a. Pemeriksa memegang pergelangan kaki untuk memfiksasi
kaki pasien.
b. Gunakan ujung tajam palu refleks untuk menggores telapak
kaki bagian lateral, mulai tumit menuju pangkal jempol
kaki.
c. Goresan dilakukan secara perlahan dan tidak sampai
mengakibatkan rasa nyeri.
d. Lakukan prosedur pemeriksaan ini pada kaki lainnya dan
bandingkan hasilnya.
- 846 -
7. Refleks Chaddock
Rangsangan diberikan dengan cara menggoreskan ujung
runcing palu refleks di bagian lateral maleolus.
8. Refleks Oppenheim
Rangsangan diberikan dengan mengurut dengan kuat tibia dan
otot tibialis anterior dari arah proksimal ke distal.
9. Refleks Gordon
Rangsangan diberikan dengan mencubit otot gastroknemius.
- 847 -
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination
and History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins,
China, 2009.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Neurology
Examination. 2009
3. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta. Balai penerbit FKUI. 2008. p46-47.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
Disusun berdasar dermatom, mulai dari C3 untuk rangsang nyeri,
raba halus dan suhu
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan
dan prosedurnya.
3. Penilaian sensasi nyeri:
a. Biarkan pasien merasakan perbedaan rangsangan saat
pemeriksa menekan ujung runcing tusuk gigi dan ujung
tumpul cotton bud pada area dimana pemeriksa yakin tidak
terdapat defisit sensorik.
b. Minta pasien menutup mata.
c. Kemudian lakukan prosedur ini di beberapa tempat dengan
menekankan ujung tajam tusuk gigi dan ujung tumpul
cotton bud secara bergantian dan acak. Tanyakan kepada
pasien setiap pemeriksa menekankan salah satu benda
diatas, apakah pasien merasakan tajam atau tumpul.
d. Apabila terdapat gangguan membedakan sensasi tajam dan
tumpul, gunakan istilah hipalgesia atau analgesia dan catat
bagian tubuh yang mengalami gangguan.
4. Penilaian sensasi suhu:
- 849 -
a. Pada pemeriksaan ini, siapkan dua buah tabung reaksi yang
berisi air dingin dan air panas.
b. Biarkan pasien merasakan perbedaan rangsangan suhu
yang diberikan pada area dimana pemeriksa yakin tidak
terdapat defisit sensorik.
c. Minta pasien menutup mata.
d. Sentuhkan rangsangan panas dan dingin di beberapa area
pada tubuh pasien, tanyakan apa yang pasien rasakan
setiap kali memberikan rangsangan.
e. Catat bagian tubuh mana saja yang mengalami gangguan
dalam membedakan rangsangan suhu.
5. Penilaian sesasi raba halus:
a. Untuk pemeriksaan ini, gunakan ujung cotton bud.
b. Minta pasien untuk menutup mata.
c. Selalu sentuh pasien dengan sentuhan ringan, jangan di
tekan.
d. Minta pasien mengatakan “ya” setiap kali pasien merasakan
kontak.
e. Minta pasien untuk menyebutkan bila pasien merasakan
sensasi yang berbeda saat disentuh.
f. Catat bagian tubuh mana saja yang mengalami gangguan
dalam membedakan rangsangan suhu.
6. Penilaian rasa posisi (propioseptif):
a. Minta pasien menutup mata.
b. Pegang jempol kaku pasien diantara jempol dan jari telunjuk
pemeriksa.
c. Pastikan bahwa pemeriksa tidak menyentuh jari pasien yang
lainnya.
d. Gerakkan jempol kaki pasien dan tanyakan bila pasien
merasakan gerakan tersebut dan menyebutkan arahnya.
e. Lakukan juga prosedur ini pada ekstremitas atas.
f. Lakukan pula pemeriksaan getar dan posisi dua tempat (two
point discrimination).
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking
8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination.
2009.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Menilai postur dan habitus (lihat materi tentang General
Survey).
2. Menilai adanya gerakan involunter.
3. Menilai tonus otot.
4. Menilai kekuatan otot.
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
4. Inspeksi:
a) Minta pasien berdiri dengan santai.
b) Nilai postur tubuh pasien dan kontur otot. Amati tanda-
tanda adanya hipertrofi maupun atrofi otot.
c) Nilai adanya gerakan involunter seperti tremor, fasikulasi
dan gerakan koreiform.
5. Penilaian tonus otot:
a) Persiapkan pasien dalam posisi berbaring, se-rileks
mungkin.
b) Pegang lengan pasien dengan menempatkan tangan
pemeriksa disekitar pergelangan tangan pasien (hanya di
sendi siku dan lutut;sendi-sendi besar). Siku dalam keadaan
menempel pada meja periksa.
c) Tempatkan jari-jari pemeriksa pada tendon biceps.
d) Fleksi dan ekstensikan sendi siku beberapa kali.
- 851 -
e) Nilai tonus otot-otot lengan atas pasien dan bandingkan
kanan dan kiri.
f) Nilai juga tonus otot-otot tungkai atas dengan fleksi dan
ekstensi secara pasif sendi panggul dan lutut.
6. Penilaian kekuatan otot:
a) Untuk menilai kekuatan otot, pasien harus
mengkontraksikan ototnya secara maksimal.
b) Coba untuk membuat tahanan terhadap otot yang diperiksa
dengan menggunakan tangan pemeriksa.
c) Saat menilai kekuatan otot pasien, coba untuk membuat
perbandingan dengan kekuatan pemeriksa.
d) Buat penilaian semi kuantitatif berdasarkan skala 0-5.
Ekstremitas atas
M. serratus anterior
a. Pasien berdiri dengan kedua tangan diregangkan dan
disandarkan pada dinding. Tinggi tangan yang menempel pada
dinding kurang lebih sejajar dengan bahu.
b. Minta pasien mendorong tembok. Nilai kekuatan ototnya,
bandingkan kanan dan kiri.
M. deltoideus
a. Minta pasien untuk mengekstensikan kedua lengannya ke arah
samping dan minta ia untuk mempertahankan posisi tersebut.
b. Pemeriksa mencoba menekan kedua lengan pasien ke bawah
dan nilai kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. biceps brachii
a. Minta pasien memfleksikan sendi sikunya dengan maksimal ke
arah bahu, dengan posisi supinasi lengan bawah.
b. Pemeriksa mencoba meluruskan lengan pasien dan nilai
kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. triceps brachii
a. Minta pasien mengekstensikan maksimal lengannya pada sendi
siku.
b. Pemeriksa mencoba menekuk lengan pasien pada sendi siku,
nilai kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
Muskulus-muskulus ekstensor pergelangan tangan
a. Minta pasien untuk mengekstensikan pergelangan tangannya
dengan pronasi lengan bawah.
b. Pemeriksa mencoba memfleksikan pergelangan tangan, nalai
kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
Muskulus-muskulus fleksor pergelangan tangan
- 852 -
a. Minta pasien meletakkan lengan bawahnya diatas meja pada
posisi supinasi dan fleksi pada sendi pergelangan tangan.
b. Pemeriksa mencoba mengekstensikan pergelangan tangan
pasien, nilai kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
Muskulus-muskulus fleksor jari
a. Minta pasien untuk menggenggam jari pemeriksa sekuatnya.
b. Pemeriksa mencoba melepaskan jari-jarinya dan nilai kekuatan
ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
Muskulus-muskulus ekstensor jari
a. Minta pasien meluruskan sendi-sendi jari tangannya.
b. Pemeriksa mencoba memfleksikan sendi-sendi jari pasien dan
nilai kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. opponens pollicis
a. Minta pasien untuk menautkan ujung jempol dan ujung
kelingkingnya sehingga membentuk lingkaran.
b. Pemeriksa mencoba melepaskan lingkaran tersebut dengan
jarinya, nilai kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
Muskulus-muskulus interoseus
a. Minta pasien untuk mengekstensikan seluruh jarinya dan
regangkan.
b. Pemeriksa melakukan hal yang sama dan menempatkan jari-
jarinya diantara jari-jari pasien.
c. Minta pasien untuk merapatkan jari-jarinya sekuatnya.
d. Nilai kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
Ekstremitas bawah
M. gluteus medius dan m. gluteus minimus
a. Minta pasien untuk berdiri tegak.
b. Amati apakah tubuh bagian atas pasien terlihat membungkuk.
c. Amati apakah pasien dapat mempertahankan pelvis pada posisi
sejajar garis horizontal.
M. iliopsoas
a. Minta pasien berbaring di meja periksa dengan posisi sendi
panggul fleksi maksimal.
b. Pemeriksa mencoba meluruskan sendi panggul pasien dan nilai
kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. quadricep
a. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien.
b. Tempatkan tangan kanan pemeriksa pada pergelangan kaki
kanan pasien yang sedang dalam posisi lurus, angkat sedikit
kaki pasien.
c. Letakkan tangan kiri pemeriksa dibawah kaki kanan pasien
tepat melewati bawah lutut dan pegang lutut kaki kiri pasien.
d. Tangan kanan pemeriksa mencoba untuk menekuk sendi lutut
kanan pasien dan nilai kekuatan ototnya.
- 853 -
e. Lakukan prosedur yang sama untuk kaki sebelah kiri dan
bandingkan kekuatannya.
M. femoral adductor
a. Pasien berbaring dengan posisi fleksi pada sendi panggul dan
lutut. Rapatkan kedua lutut.
b. Pemeriksa mencoba memisahkan kedua lutut pasien dan nilai
kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. hamstrings
a. Pasien berbaring dengan posisi fleksi pada sendi panggul dan
fleksi maksimal pada sendi lutut sehingga tumit pasien
menyentuh paha atas.
b. Pemeriksa mencoba mengekstensikan sendi lutut pasien dan
nilai kekuatannya, bandingkan kanan dan kiri.
M. tibialis anterior dan m. extensor digitorum
a. Pasien berbaring dengan posisi kedua tungkai ekstensi. Minta
pasien untuk menarik telapak kakinya ke arah kranial sehingga
fleksi pada sendi pergelangan kaki (dorso fleksi).
b. Pemeriksa mencoba mendorong kaki pasien menjauhi tubuh
dan nilai kekuatannya, bandingkan kanan dan kiri.
M. gastrocnemius
a. Pasien berbaring dengan posisi kedua tungkai ekstensi. Minta
pasien untuk meluruskan telapak kakinya seperti menginjak
rem (plantar fleksi).
b. Pemeriksa mencoba mendorong kaki pasien mendekati tubuh
dan nilai kekuatannya, bandingkan kanan dan kiri.
M. peroneal
a. Tangan pemeriksa diletakkan di sisi luar kaki pasien sejajar jari
kelingking.
b. Minta pasien mendorong tangan pemeriksa sekuatnya dan nilai
kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. extensor hallucis longus
a. Tangan pemeriksa diletakkan di sisi dalam kaki pasien sejajar
jempol.
b. Minta pasien mendorong tangan pemeriksa sekuatnya dan nilai
kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
M. flexor hallucis longus
a. Minta pasien untuk memfleksikan kedua jempol kakinya.
b. Pemeriksa mencoba meluruskan kedua jempol pasien dan nilai
kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.
c. Tick
Tics merupakan gerakan yang singkat, berulang, stereotip,
gerakan terkoordinasi yang terjadi pada interval yang tidak
teratur. Contohnya termasuk berulang mengedip, meringis,
dan mengangkat bahu bahu. Penyebab termasuk sindrom
dan obat-obatan seperti Tourette, fenotiazin dan amfetamin.
- 855 -
d. Chorea
Gerakan Choreiform merupakan gerakan yang singkat,
cepat, tidak teratur, dan tak terduga. Terjadi saat istirahat
atau mengganggu gerakan terkoordinasi normal. Tidak
seperti tics, chorea jarang berulang. Wajah, kepala, lengan
bawah, dan tangan sering terlibat. Penyebabnya termasuk
chorea Sydenham (dengan demam rematik) dan penyakit
Huntington.
e. Athetosis
Gerakan Athetoid lebih lambat dan lebih memutar dan
menggeliat dibandingkan gerakan choreiform, dan memiliki
amplitudo yang lebih besar. Paling sering melibatkan wajah
dan ekstremitas distal. Athetosis sering dikaitkan dengan
spastisitas. Penyebabnya antara lain cerebral palsy.
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking
8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination.
2009.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan
dan prosedurnya.
2. Inspeksi cara berjalan (gait):
a. Minta pasien untuk berjalan melintasi ruangan beberapa
kali.
b. Amati cara berjalan pasien, pola kontak kaki dengan lantai,
ayunan tangan dan lebar langkah.
- 857 -
3. Pemeriksaan tandem gait:
a. Minta pasien untuk berjalan dalam satu garis lurus dengan
cara ujung tumit menyentuh ujung jempol kaki
dibelakangnya. Bila dibutuhkan, berikan contoh kepada
pasien.
b. Amati cara berjalan pasien. Perhatikan bilamana pasien
terlihat kehilangan keseimbangan.
4. Tes Romberg dan Romberg dipertajam:
a. Minta pasien berdiri dengn kedua kaki dirapatkan.
b. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dengan posisi tangan
pemeriksa berada di sisi pasien tanpa menyentuhnya.
c. Minta pasien untuk merentangkan kedua tangannya ke
depan sejajar bahu dengan posisi supinasi.
d. Instruksikan kepada pasien untuk mempertahankan posisi
kedua tangannya.
e. Bila pasien tidak terjatuh saat dilakukan pemeriksaan
dengan mata terbuka, minta pasien untuk menutup kedua
matanya.
f. Amati bila pasien kehilangan keseimbangan atau terjatuh.
Nilai arah jatuh atau ayunan pasien.
5. Tes Telunjuk-Hidung:
a. Minta pasien menutup mata dan tentangkan tangan kanan
jauh ke samping.
b. Minta pasien menyentuh hidungnya dengan jari telunjuk
kanan, ulangi beberapa kali. Lakukan prodedur yang sama
terhadap tangan kiri.
c. Nilai tandatanda hipermetria atau kecenderungan tremor
saat pasien melakukan prosedur diatas.
d. Bila pemeriksa menemukan tanda hipermetria atau tremor,
minta pasien melakukan prosedur pemeriksaan dengan
mata terbuka.
e. Nilai apakah dengan mata terbuka pasien lebih mudah
melakukan prosedur pemeriksaan. Bandingkan kanan dan
kiri.
6. Tes Tumit-Lutut:
a. Minta pasien untuk menutup kedua matanya, kemudian
menempatkan tumit kanan di atas lutut kiri.
b. Minta pasien untuk menurunkan tumitnya menyusuri
tungkai bawah kaki kiri kebawah.
c. Lakukan rosedur bergantian dengan kaki kiri.
d. Nilai bila pasien menunjukkan tanda-tanda hipermetria atau
ataksia, yaitu bila tumit berkali-kali terjatuh dari jalurnya
pada tungkai bawah.
e. Bila pemeriksa menemukan tanda hipermetria atau ataksia,
minta pasien melakukan prosedur pemeriksaan dengan
mata terbuka.
f. Bandingkan kanan dan kiri.
- 858 -
7. Pemeriksaan Disdiadokokinesis:
a. Minta pasien melakukan gerakan tangan pronasi dan
supinasi. Tangan kanan dimulai dari pronasi, tangan kiri
dimulai dari supinasi, lakukan gerakan ini secepat mungkin.
b. Bila diperlukan pemeriksa boleh memberikan contoh
pemeriksaan terhadap pasien.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History
Taking 8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination.
2009.
- 859 -
23. PEMERIKSAAN FUNGSI LUHUR
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
Tes afasia:
Pemahaman Minta pasien untuk mengikuti
bahasa lisan perintah seperti:
“Tunjuk hidungmu”
Lalu meningkat ke tingkat yang
lebih sulit, seperti:
“Tunjuk matamu, kemudian
lututmu”
Repetisi Minta pasien untuk mengulang
(mengulang) frase atau kalimat yang
diucapkan pemeriksa dengan
tingkat kesulitan yang semakin
meningkat:
Buku,
Rumah sakit,
Ibu pergi belanja,
Akhirnya dia bisa pergi juga.
Menamai dan Minta pasien untuk
menemukan kata menyebutkan bagian tubuh,
atau menyebutkan benda yang
ada di kamar mandi.
Membaca Minta pasien untuk membaca
dengan kencang.
Menulis Minta pasien untuk menulis
sebuah kalimat
5. Penilaian konsentrasi
Penilaian konsentrasi dapat dilakukan dengan beberapa jenis
tes:
a. Deret angka:
Prosedur sama dengan pemeriksaan memori segera.
b. Serial 7:
• Minta pasien menghitung mundur dari 100.
• Katakan pada pasien untuk melompati deret yang
mengandung angka tujuh, seperti:
100,99,98,96,95,94,93,92,91,90,89,88,86..dan seterusnya.
c. Mengeja terbalik:
• Pemeriksa menyebutkan sebuah kata dan mengejanya dari
depan:
BUNGA : B-U-N-G-A
• Minta pasien untuk mengejanya secara terbalik.
3. Penilaian afasia:
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking
8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination.
2009.
- 864 -
24. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS LAINNYA: PATRICK DAN KONTRA
PATRICK
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Melakukan pemeriksaan Patrick dan kontra Patrick
Contra-patrick’s sign
Pemeriksaan ini merupakan kebalikan dari tindakan patrick’s sign.
Bila nyeri timbul pada pemeriksaan ini, maka hal ini menandakan
adanya kelainan pada sendi sakroiliaka.
Referensi
Buckup K. Clinical test for the musculoskeletal system:
examinations-signs-phenomena. 2nd ed. Stuttgart: Thieme; 2008.
F. PSIKIATRI
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Memperoleh informasi mengenai kondisi dan riwayat psikiatrik
pasien melalui wawancara langsung dengan pasien maupun
dengan keluarga atau orang-orang yang mengenalnya.
2. Mengidentifikasi psikopatologis mulai dari penampilan umum,
emosi-afek, pikiran ideasi dan motorik-perilaku.
Proses Wawancara
1. Sapa dan tanyakan nama pasien
2. Perkenalkan diri, jelaskan tujuan sesi, meminta persetujuan
pasien bila diperlukan
3. Tanyakan identitas pasien lainnya berupa alamat, umur, jenis
kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, bahasa,
suku bangsa dan agama. Perlu ditanyakan pula apakah pasien
datang sendiri, dibawa oleh anggota keluarga atau dikonsulkan
oleh sejawat.
- 866 -
4. Membina rapport dan menunjukan perilaku empatik melalui
memertahankan kontak, menilai emosi pasien, dan mendengar
aktif.
5. Tanyakan keluhan utama dan identifikasi masalah pasien
dengan kalimat terbuka. Ada pasien yang tidak merasakan ada
masalah atau mengaku tidak ada keluhan apapun, namun
keluhan datang dari keluarga atau orang yang mengenalnya
karena khawatir tentang perilaku pasien.
6. Ada pula pasien yang tidak berbicara, sehingga perlu dicatat
deskripsi kondisi pasien saat wawancara.
7. Apabila pasien kooperatif, dengarkan dengan penuh perhatian
apa yang dikatakan pasien tanpa memotong atau mengarahkan
jawaban pasien, setelah itu baru diatur dan dilengkapi
kronologi kejadian dengan pertanyaan-pertanyaan tertutup.
Umumnya prognosis lebih baik pada kelainan akut dan
dramatis, berhubungan erat dengan kejadian nyata daripada
kelainan yang perlahan-lahan atau awalnya tidak diketahui,
tidak berkaitan dengan kejadian di lingkungannya.
8. Gali riwayat penyakit pasien sekarang dilengkapi dengan
faktor presipitasi/pencetus; perkembangan gejala, termasuk
gejala yang tidak ada; perubahan perilaku yang terjadi dan
dampaknya bagi kehidupan pasien sekarang; keterkaitan gejala
psikologis dengan gejala fisik; dan latar belakang kepribadian.
9. Tanyakan kepada pasien mengenai kejadian yang pernah
dialaminya dari internal maupun eksternal dirinya, dan
bagaimana reaksi terhadapnya sehingga terdapat gambaran
keseluruhan karakter kehidupan dan kepribadian pasien serta
benih psikopatologi pasien. Riwayat gangguan sebelumnya ini
terdiri dari:
- Riwayat psikiatrik: episode gejala sebelumnya, faktor
presipitasi, derajat disfungsi, terapi, lama gangguan, dan
kepatuhan terhadap terapi.
- Riwayat gangguan medik: penyakit klinis, bedah, trauma,
neurologis, HIV, sifilis, dan psikosomatis.
- Riwayat penggunaan zat: zat stimulan, alkohol, morfin, dst.
10. Tanyakan riwayat hidup pasien mulai dari pre dan perinatal
hingga situasi kehidupannya saat ini. Hal yang penting
diketahui dari setiap episode kehidupannya yaitu:
- Prenatal dan perinatal: data yang penting antara lain adalah
apakah kehamilan direncanakan/diinginkan atau tidak,
bagaimana proses kehamilan, adakah cedera lahir,
bagaimana kondisi ibu saat melahirkan dan riwayat
penggunaan obat
- 867 -
- Masa kanak awal (0-3 tahun): bagaimana kualitas interaksi
ibu dan anak (termasuk toilet training), apakah ada masalah
pertumbuhan dan perkembangan anak, bagaimana sifat
masa kanak, bagaimana pola bermain anak dengan anak lain,
pola makan dan gangguan tingkah laku.
- Masa pertengahan (3-7 tahun): identifikasi gender,
hukuman, disiplin, masuk sekolah, pertemanan, perasaan
saat berpisah dengan ibu, pasif atau aktif, perilaku sosial,
intelektual dan seterusnya.
- Masa kanak akhir dan remaja: siapa tokoh idola, penilaian
kelompok sosial dan dirinya sendiri, minat terhadap aktivitas
sekolah dan luar sekolah, hubungan dengan teman, guru dan
orang tua, bagaimana pengetahuan dan sikapnya terhadap
seksualitas, dan seterusnya.
- Masa dewasa: bagaimana riwayat pekerjaan (jenis pekerjaan,
konflik dan sikap dalam bekerja, dan seterusnya), riwayat
perkawinan (lamanya, konflik, masalah, dan seterusnya),
agama (pendidikan, sikap dan penilaiannya terhadap agama),
riwayat militer (jika ada), aktivitas sosial (hubungan dengan
lingkungan dan sikap menghadapinya), situasi kehidupan
saat ini (kondisi keluarga, tetangga, sumber keuangan, biaya
perawatan, dan seterusnya), riwayat hukum (pernah atau
tidak melakukan pelanggaran hukum), riwayat psikoseksual
(pengetahuan dan sikap tentang seks), riwayat keluarga
(keturunan atau kejadian penyakit jiwa pada keluarga, dan
penyakit fisik serta sikap keluarga menghadapinya), dan
terakhir tanyakan pula mengenai mimpi, fantasi dan nilai-
nilai.
11. Amati respon dan komunikasi pasien secara verbal maupun
non-verbal (mis: bahasa tubuh, ucapan, ekspresi wajah) dan
sensitif terhadap perubahan respon pasien.
12. Klarifikasi pernyataan pasien bila kurang jelas atau meminta
penjelasan lebih lanjut (mis: ”bisa jelaskan apa yang dimaksud
dengan kepala terasa melayang?”).
13. Lakukan rangkuman beberapa kali pada akhir satu bagian
konsultasi untuk memastikan bahwa pengertian dokter sama
dengan pasien sebelum pindah ke bagian berikutnya; meminta
pasien mengoreksi bila ada interpretasi yang kurang tepat, atau
meminta pasien memberikan penjelasan lebih lanjut.
14. Lakukan proses membaca, mencatat atau menggunakan
komputer, namun diyakinkan untuk tidak mengganggu
jalannya sesi.
- 868 -
15. Lakukan pemeriksaan fisik dengan penjelaskan proses dan
meminta izin. Berikan perhatian khusus terhadap hal-hal
sensitif yang dapat membuat pasien merasa malu atau
menyakitkan pasien. Jelaskan alasan pertanyaan atau
pemeriksaan fisik yang mungkin dirasa tidak masuk akal.
16. Rangkum sesi secara singkat dan klarifikasi rencana
penatalaksanaan. Cek terakhir kali apakah pasien setuju dan
merasa nyaman dengan rencana yang telah disusun, tanyakan
apakah masih ada pertanyaan atau hal-hal lain yang masih
perlu didiskusikan. (Mis: ”ada pertanyaan lagi atau masih ada
hal yang ingin didiskusikan?”).
17. Lakukan wawancara terhadap keluarga atau kerabat dekat
untuk melengkapi dan mengkonfirmasi masalah pasien, serta
menginformasikan peran keluarga atau kerabat tersebut dalam
proses tata laksana pasien.
Referensi
1 Redayani L.S.P. 2013, Wawancara dan Pemeriksaan Fisik dalam
Buku Ajar Psikiatri , 2nd edn. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, hh. 47-54.
2 Sadock, B.J. & Sadock, V.A. 2007, Kaplan & Sadock’s Synopsis
of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th edn.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik pemeriksaan
1 Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2 Minta pasien duduk di kursi periksa.
3 Melakukan penilaian status mental.
Mood
1. Nilai suasana hati pasien selama wawancara dengan
mengeksplorasi persepsi pasien akan hal tersebut. Cari tahu
mengenai suasana hati pasien sehari-hari dan variasinya saat
terjadi suatu peristiwa.
2. Pemeriksa dapat menanyakan, “Bagaimana perasaan anda hari
ini?” atau, “Bagaimana perasaan anda mengenai hal tersebut?”.
3. Nilai bagaimana suasana hati pasien, seberapa sering pasien
merasakan perasaan itu, apakah suasana hati pasien sering
berubah-ubah, dan apakah suasana hati tersebut sesuai
dengan keadaan yang sedang dialami pasien.
4. Nilai juga dalam kasus depresi, adakah episode saat mood
pasien meningkat, yang menunjukkan adanya gejala bipolar.
5. Pada pasien yang dicurigai mengalami depresi, nilai
kedalamannya dan adakah risiko bunuh diri.
Fungsi kognitif
Lihat penilaian fungsi luhur
Mood:
Suasana hati meliputi kesedihan, melakolis, kepuasan, sukacita,
euforia, kegembiraan, kemarahan, kegelisahan, kekhawatiran dan
ketidakpedulian.
Episode Depresi
- 873 -
Minimal terdapat lima gejala dan termasuk salah satu dari dua
gejala teratas dibawah ini:
a. Mood depresi (mungkin suasana hati yang mudah marah pada
anak-anak dan remaja) hampir sepanjang hari dan hampir
setiap hari.
b. Berkurangnya minat dan kesenangan yang nyata pada hampir
seluruh aktivitas hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari.
c. Peningkatan atau penurunan berat badan yang berlebihan
(tanpa diet) atau peningkatan atau penurunan nafsu makan
hampir setiap hari
d. Sulit tidur atau tidur yang berlebihan hampir setiap hari.
e. Agitasi psikomotor atau retardasi terjadi hampir setiap hati.
f. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
g. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah hampir setiap hari.
h. Ketidakmampuan berpikir dan berkonsentrasi hampir setiap
hari
i. Pemikiran yang berulang-ulang tentang kematian atau bunuh
diri; atau adanya rencana atau upaya bunuh diri.
Gejala-gejala tersebut di atas menyebabkan penderitaan terhadap
pasien atau gangguan sosialisasi dan pekerjaan atau fungsi lainnya.
Pada kasus yang berat mungkin didapatkan delusi dan halusinasi.
Episode Campuran
Pada episode campuran, harus didapatkan kriteria baik episode
manik dan depresi minimal satu minggu.
Episode Manik
Suatu periode abnormal yang ditandai dengan mood meningkat
secara terus menerus atau mudah tersinggung yang berlangsung
minimal 1 minggu. Selama masa ini, pasien minimal memiliki 3 dari
7 gejala di bawah ini yang sangat menonjol.
a. Harga diri meningkat
b. Waktu tidur berkurang (merasa cukup beristirahat setelah 3
jam tidur)
c. Lebih banyak bicara dibanding biasanya atau selalu ingin bicara
d. Flight of idea (bicara meloncat-loncat dan tidak berhubungan)
atau racing thoughts (pikiran berkejaran).
e. Pikirannya mudah teralihkan.
f. Peningkatan aktivitas (baik sosial, pekerjaan, sekolah maupun
seksual) atau agitasi psikomotor.
g. Melakukan kegiatan menyenangkan dan berisiko (belanja
berlebihan, berbisnis yang jelas tidak menguntungkan)
Gangguan di atas cukup berat sehingga merugikan baik secara
sosial, dalam pekerjaan maupun hubungan. Pada keadaan yang
berat dapat terjadi halusinasi dan delusi.
- 874 -
Gangguan Distimik
Suatu kondisi kronis yang ditandai dengan gejala depresi yang
terjadi hampir sepanjang hari, lebih banyak hari daripada tidak,
selama minimal 2 tahun (pada anak-anak dan remaja minimal 1
tahun). Selama periode tersebut, interval bebas gejala tidak
bertahan lebih lama dari 2 bulan.
Episode Hipomanik
Mood dan gejala menyerupai episode matik, namun tidak terlalu
nyata. Tidak terdapat halusinasi dan delusi. Durasi minimum lebih
pendek yaitu 4 hari.
Episode Siklotimik
Beberapa periode gejala hipomanik dan depresi yang berlangsung
minimal 2 tahun (1 tahun pada anak dan remaja). Selama periode
tersebut, interval bebas gejala tidak bertahan lebih dari 2 bulan.
Lakukan wawancara terhadap keluarga atau kerabat dekat
untuk melengkapi dan mengkonfirmasi masalah pasien, serta
menginformasikan peran keluarga atau kerabat tersebut dalam
proses tata laksana pasien.
Pikiran dan persepsi:
a. Proses pikir
Beberapa gangguan dalam proses pikir:
1. Sirkumstansial
Ditandai dengan bicara yang berbelit-belit dan tidak
langsung mencapai pokok tujuan disebabkan detail yang
tidak diperlukan, meskipun komponen deskripsi
berhubungan dengan tujuan pembicaraan. Banyak orang
tanpa gangguan mental berbicara berbelit-belit seperti ini.
Dapat muncul pada orang yang obsesif.
2. Derailment (kehilangan hubungan)
Gangguan proses pikir yang ditandai dengan berbicara
bergeser dari satu hal ke hal lain yang tidak berhubungan
atau berhubungan jauh.
Terdapat pada skizofrenia, episode manik dan gangguan
psikotik lainnya.
3. Flight of ideas
Suatu keadaan yang ditandai aliran asosiasi sangat cepat
yang tampak dari perubahan isi pembicaraan dan pikiran
dari suatu topik ke topik lain. Di sini nampak suatu gagasan
belum selesai, disusul gagasan yang lain. Perubahan
biasanya berdasarkan kesamaan kata atau stimulus yang
mengalihkan, namun gagasan-gagasan tersebut tidak
menjadi suatu pembicaraan yang masuk akal. Biasanya
didapatkan pada episode manik.
- 875 -
4. Neologisme
Menciptakan kata-kata baru atau kata-kata yang
menyimpang dan memiliki makna baru dan aneh. Dapat
ditemukan pada skizofrenia, afasia dan gangguan psikotik
lainnya.
5. Inkoheren
Gangguan proses pikir dengan pembicaraan yang sebagian
besar tidak dapat dimengerti karena tidak logis, kurangnya
hubungan yang bermakna, adanya perubahan topik
mendadak, ataupun kesalahan penggunaan tata bahasa
atau kata. Flight of ideas yang berat dapat menyebabkan
inkoherensi. Biasanya ditemukan pada skizofrenia.
6. Blocking
Gangguan proses pikir yang ditandai dengan pembicaraan
yang tiba-tiba berhenti di tengah-tengah kalimat atau
sebelum suatu gagasan diselesaikan. Blocking dapat terjadi
pada skizofrenia, namun dapat terjadi pula pada orang
normal.
7. Konfabulasi
Ingatan palsu yang muncul saat meresposn pertanyaan,
untuk mengisi kekosongan memori. Biasanya ditemukan
pada pasien dengan amnesia.
8. Perseverasi
Pengulangan persisten kata-kata atau gagasan. Terjadi pada
skizofrenia, dan gangguan psikotik lainnya.
9. Ekolali
Pengulangan kata atau frase orang lain atau lawan bicara.
Dapat ditemukan pada episode manik dan skizofrenia
10. Clanging
Berbicara dan merangkai kata-kata yang tidak memiliki
hubungan satu sama lain dan diucapkan berdasarkan irama
atau rima verbal tertentu.
Biasanya ditemukan pada episode manik dan skizofrenia.
b. Isi pikir
Beberapa kelaianan isi pikir:
Kompulsi
Perilaku atau tindakan mental berulang dari seseorang yang
merasa terdorong untuk menghasilkan atau mencegah sesuatu
terjadi di kemudian hari, walaupun harapan efek tersebut tidak
realistik.
Obsesi
Gagasan, khayalan atau dorongan yang berulang, tidak
diinginkan dan mengganggu, yang tampaknya konyol, aneh
atau menakutkan.
Fobia
- 876 -
Ketakutan yang persisten dan irasional disertai oleh keinginan
kuat untuk menghindari stimulus tersebut.
Ansietas
Kekhawatiran, ketakutan, ketegangan atau kegelisahan yang
mungkin terfokus (fobia) atau tidak (ketakutan akan sesuatu
yang tidak jelas).
Feelings of Unreality
Suatu perasaan bahwa hal-hal dalam lingkungan tersebut aneh,
tidak nyata atau jauh.
Delusi
Keyakinan palsu, didasarkan kepada simpulan yang salah
tentang eksternal, tidak sejalan dengan intelegensi pasien dan
latar belakang kultural, yang tidak dapat dikorelasi dengan
suatu alasan.
Kompulsi, obsesi, fobia dan anxietas biasanya berhubungan
dengan gangguan neurotik. Sedangkan delusi, depersonalisasi
dan feelings of unreality sering berhubungan dengan gangguan
psikotik.
c. Persepsi
Berikut merupakan gangguan persepsi:
Ilusi
Kesalahan interpretasi dari stimulus eksternal yang nyata. Ilusi
dapat terjadi akibat reaksi berduka cita, pada keadaan delirium,
gangguan stres pasca trauma dan skizofrenia.
Depersonalisasi
Suatu perasaan saat seseorang merasa dirinya berbeda,
berubah atau tidak nyata, atau kehilangan identitas diri atau
merasa terlepas pikirannya dari tubuhnya.
Halusinasi
Persepsi sensori subjektif terhadap stimulus yang tidak nyata.
Pasien mungkin mengenali atau tidak bahwa pengalaman
tersebut tidak nyata. Dapat berupa halusinasi auditori
(pendengaran), visual (penglihatan), olfaktori (penghidu),
gustatori (pengecapan) atau somatik. Halusinasi dapat terjadi
pada keadaan delirium, demensia (jarang), gangguan stres
pasca trauma, skizofrenia, dan alkoholisme.
- 877 -
d. Tilikan (insight) dan kemampuan menilai realitas
(judgement)
Pasien dengan gangguan psikotik sering tidak menyadari
penyakitnya. Beberapa gangguan neurologis mungkin dapat
disertai oleh penyangkalan (denial). Kemampuan menilai realitas
dapat menurun atau buruk pada keadaan delirium, demensia,
retardasi mental, dan keadaan psikotik. Kemampuan menilai
realitas juga dapat dipengaruhi oleh keadaan anxietas,
gangguan mood, tingkat intelegensi, pendidikan, sosio-ekonomi,
dan nilai budaya.
Fungsi kognitif:
Lihat penilaian fungsi luhur
Referensi
1. Bickley, LS. & Szilagyi PG 2009, Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins. China, hh P 556-565, 595, 599.
2. Duijnhoven, Belle 2009. Skills in Medicine: The Psychiatric
Interview- The Mental Status Examination.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Membuat diagnosis multiaksial
Teknik Penggunaan
Diagnosis Multiaksial memiliki 5 aksis. Berikut ini merupakan
langkah-langkah membuat diagnosis multiaksial:
1. Aksis I: Diagnosis klinik
Berisi tentang gangguan klinis dan gangguan perkembangan
dan pembelajaran. Merupakan kriteria diagnosis yang
dikelompokkan berdasarkan gejala-gejala klinik yang telah
dibuktikan dalam pemeriksaan.
Gangguan yang dapat ditemukan pada aksis I antara lain:
a. Gangguan yang biasanya didiagnosis pada masa bayi, anak
dan remaja (kecuali retardasi mental, yang didiagnosis
pada aksis II)
b. Delirium, demensia, amnesia dan gangguan kognitif
lainnya
c. Gangguan mental organik
- 878 -
d. Gangguan akibat zat psikoaktif
e. Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya
f. Gangguan mood
g. Gangguan cemas menyeluruh
h. Gangguan somatoform
i. Gangguan factitious
j. Gangguan disosiatif
k. Gangguan makan
l. Gangguan tidur
m. Gangguan kontrol impuls yang tidak dapat diklasifikasikan
n. Gangguan penyesuaian
o. Kondisi lain yang dapat menjadi fokus perhatian klinis
2. Aksis II: Gangguan kepribadian dan retardasi mental
Merupakan ciri atau gangguan kepribadian yaitu pola perilaku
yang menetap (kebiasaan, sifat) yang tampak dalam persepsi
tentang diri dan lingkungan (yang akan ditampilkan dalam
pola interaksi dengan orang lain).
Kelainan yang dapat ditemukan pada aksis II atara lain:
a. F60 - F69. Gangguan Kepribadian dan Perilaku Masa
Dewasa
- F60.0. Gangguan Kepribadian Paranoid
- F60.1. Gangguan Kepribadian Skizoid
- F60.2 Gangguan Kepribadian Antisosial
- F60.3.31 Gangguan Kepribadian Ambang
- F60.4. Gangguan Kepribadian Histrionik
- F60.5. Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif
- F60.6. Gangguan Kepribadian Cemas Menghindar
- F60.7. Gangguan Kepribadian Dependen
- F60.8. Gangguan Kepribadian Pasif-Agresif
- F60.9. Gangguan Kepribadian Yang Tidak Ditentukan
(YTT)
- Gangguan Kepribadian Skizotipal
- Gangguan Kepribadian Narsisistik
b. F70 ‒ F79. Retardasi Mental
3. Aksis III: Penyakit Fisik
Penyakit atau kondisi fisik, khususnya yang perlu diperhatikan
pada tatalaksana atau menjadi penyebab munculnya gangguan
yang dituliskan pada aksis I.
Kelainan yang dapat ditemukan pada aksis III antara lain:
a. Penyakit infeksi dan parasit
b. Neoplasma
c. Penyakit endokrin, nutrisi, metabolik dan imunitas
d. Penyakit hematologi
e. Penyakit sistem saraf
f. Penyakit sistem sirkulasi
- 879 -
g. Penyakit sistem respirasi
h. Penyakit sistem pencernaan
i. Penyakit sistem kelamin dan saluran kemih
j. Komplikasi kehamilan, persalinan dan masa nifas
k. Penyakit kulit dan jaringan subkutan
l. Penyakit sistem muskuloskeletal dan jaringan ikat
m. Kelainan kongenital
n. Kondisi tertentu pada masa perinatal
o. Tanda, gejala dan penyakit tertentu
p. Cedera dan keracunan
Referensi
1. American Psychiatric Association 2000, Diagnostic criteria from
DSM-IV-TR. American Psychiatric Association. Washington DC.
2. Maslim, Rusdi 2001, Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan
Ringkas PPDGJ-III. PT Nuh Jaya. Jakarta.
- 881 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Referensi
1. Goldman HH. Review of general psychiatry. 5th ed. New York:
Lange, 2000.
2. Gelder MG, Lopez-Ibor JJ, Andreasen N (eds). New oxford
textbook of psychiatry.
3. Oxford: Oxford university press, 2012.
4. Kay J. Tasman A. Essential of psychiatry. West Sussex: John
Wiley&Sons ltd, 2006
5. Sorref S. Bipolar affective disorders [Internet]. [cited 2014 March
6]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/286342-
overview#aw2aab6b2b6aa
- 883 -
6. Harverson JL. Depression [Internet]. [cited 2014 March 6].
Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/286759-
overview#aw2aab6b2b6
Tingkat Keterampilan: 4A
Referensi
1. Goldman HH. Review of general psychiatry. 5th ed. New York:
Lange, 2000.
2. Gelder MG, Lopez-Ibor JJ, Andreasen N (eds). New oxford
textbook of psychiatry. Oxford: Oxford university press, 2012.
3. Kay J. Tasman A. Essential of psychiatry. West Sussex: John
Wiley&Sons ltd, 2006
- 884 -
G. SISTEM INDERA
INDERA PENGLIHATAN
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Mata pada Bayi
1. Jelaskan kepada orang tua pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
2. Bangunkan bayi, redupkan cahaya pada ruang periksa dan
pegang bayi pada posisi duduk, maka pemeriksa akan
mendapatkan mata bayi terbuka.
3. Pada saat bayi membuka matanya dan menatap pemeriksa,
pemeriksa dapat bergerak ke sisi kanan dan kiri sehingga
bayi memutar kepalanya sampai dengan 90o pada setiap
sisinya. Pemeriksa juga dapat menggunakan pen light atau
mainan yang tidak menimbulkan suara untuk menarik
perhatian bayi.
4. Deskripsi tajam penglihatan berupa refleks kedip (blink
refleks), menatap cahaya (fix the light), menatap dan
mengikuti arah cahaya (fix and follow the light).
Referensi
Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and
history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2009.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Kartu Snellen diletakkan sejajar mata pasien dengan jarak 5-6
m dari pasien sesuai kartu Snellen yang dipakai.
3. Tajam penglihatan diperiksa satu per satu (monokuler),
dimulai dari mata kanan.
4. Pada saat memeriksa maka kanan, pasien diminta menutup
mata kiri dengan telapak tangan pasien, tidak ditekan, atau
bisa dengan menggunakan eye occlude.
5. Pasien diminta untuk melihat objek pada kartu Snellen dari
yang terbesar hingga yang terkecil sesuai batas
kemampuannya.
6. Kesalahan jumlahnya tidak boleh sampai dengan setengah
jumlah huruf/gambar pada baris tersebut.
7. Bila jumlah kesalahannya setengah atau lebih, maka visusnya
menjadi visus baris diatasnya.
- 887 -
8. Bila pasien tidak dapat melihat huruf yang terbesar (dengan
visus 6/60) maka dilakukan dengan cara hitung jari/ finger
counting, yaitu menghitung jari pemeriksa pada jarak 1-6 m
dengan visus 1/60 sampai dengan 6/60.
9. Bila tidak dapat menghitung jari dari jarak 1 m, maka
dilakukan dengan cara hand movement, yaitu menentukan
arah gerakan tangan pemeriksa (atas-bawah, kanan-kiri) pada
jarak 60-100 cm. Visus 1/300 bila pasien bisa mengenali arah
pergerakan tangan.
10. Bila pasien tidak dapat melihat arah gerakan tangan,
dilakukan cara penyinaran dengan penlight pada mata pasien
(light perception). Pasien diminta menentukan arah datangnya
sinar (diperiksa dari 6 arah). Bila pasien dapat mengenali
adanya cahaya dan dapat mengetahui arah cahaya, tajam
penglihatan dideskripsikan sebagai 1/~ dengan proyeksi
cahaya baik (light perception with good light projection). Tetapi
bila pasien tidak dapat mengetahui arah cahaya deskripsi
menjadi light perception without light projection.
11. Pasien dinyatakan buta total (visus 0) bila tidak dapat
menentukan ada atau tidak ada sinar (no light perception).
Referensi
Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and
history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins,
2009.
- 888 -
32. PEMERIKSAAN LAPANG PANDANG
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik pemeriksaan
a. Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan dengan lutut
pemeriksa hampir bersentuhan dengan lutut pasien. Tinggi
mata pemeriksa sejajar dengan pasien.
b. Pemeriksaan dilakukan satu per satu (monokuler), dimulai
dengan mata kanan.
c. Pada saat memeriksa mata kanan, pasien diminta menutup
mata kiri dengan telapak tangan pasien, tidak ditekan atau
menggunakan penutup mata. Sedangkan pemeriksa menutup
mata kanannya dengan penutup mata (eye occlude/patching).
Begitupun sebaliknya untuk memeriksa mata kiri.
d. Tempatkan tangan pemeriksa yang bebas di bidang imajiner
antara lutut pasien dan pemeriksa (a b c d). Jarak antara
bidang imajiner ini dengan mata pemeriksa sama dengan jarak
bidang imajiner dengan mata pasien. Pada bidang ini lapang
pandang pemeriksa (p o’ q) dan pasien (p o q) saling bertumpuk.
e. Pemeriksa dan pasien saling bertatapan, pasien diminta untuk
memfiksasi pandangannya kedepan.
f. Pemeriksa menempatkan satu tangannya di bidang imajiner
tersebut pada kuadran temporal atas dan tangan lainnya pada
tengah kuadran bawah hidung. Kemudian pemeriksa
menggerakkan kedua tangannya tersebut dari tepi ke tengah
bidang lapang pandang. Saat melakukan ini, pemeriksa dapat
menggerakan jari-jarinya atau diam dan minta pasien
menyebutkannya. Tanyakan kepada pasien apakah ia dapat
melihat tangan pemeriksa atau tidak, bila tidak tanyakan
tangan mana yang tidak dapat dilihat oleh pasien.
g. Lakukan pemeriksaan pada empat kuadran (temporal atas,
temporal bawah, nasal bawah, nasal atas, temporal kanan dan
temporal kiri).
h. Lakukan prosedur yang sama terhadap mata yang lain.
- 889 -
1. Defek horizontal
Disebabkan oleh oklusi pada cabang
arteri retina sentral. Pada gambar
disamping terdapat oklusi cabang
superior arteri retina sentral.
2. Kebutaan unilateral
Disebabkan oleh lesi pada saraf optik
unilateral yang menyebabkan
kebutaan.
3. Hemianopsia Bitemporal
Disebabkan oleh lesi pada kiasma
optikum sehingga menyebabkan
kehilangan penglihatan pada sisi Gambar 32.
temporal kedua lapang pandang. Kelainan lapang
4. Hemianopsia Homonim Kiri pandang (1-6)
Disebabkan oleh lesi pada traktus
optikus di tempat yang sama pada
kedua mata. Hal ini menyebabkan
kehilangan penglihatan sisi yang sama
pada kedua mata.
5. Homonymous Left Superior
Quadrantic Defect
Disebabkan oleh lesi parsial pada
radiasio optikus yang menyebabkan
kehilangan penglihatan pada
seperempat bagian lapang pandang sisi
yang sama.
6. Hemianopsia himonim kiri juga dapat
disebabkan oleh terputusnya jaringan
pada radiasio optikus.
Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and
history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins, 2009.
2. The examination of the eyes and vision: examination of the
peripheral visual field (donders’ confrontation method). [cited
2014 March 18]. Available from http://www.skillsinmedicine-
demo.com/index.php?option=c
om_content&view=article&id=549:examination-of-the-peripheral-
visual-field&catid=53:the-visual-field&Itemid=625.
- 890 -
33. PEMERIKSAAN EKSTERNAL MATA
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Melakukan inspeksi:
1. kelopak mata
2. kelopak mata dengan eversi kelopak atas
3. bulu mata
4. konjungtiva, termasuk forniks
5. sklera
6. orifisium duktus lakrimalis
Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
4. Minta pasien untuk duduk di kursi periksa.
a. Inspeksi kelopak mata
Pemeriksa menilai kelopak mata pasien, apakah ada
kelainan pada kelopak mata.
b. Inspeksi kelopak mata dengan eversi kelopak mata.
- Pemeriksa meminta pasien untuk melirik ke bawah.
- Pemeriksa mengeversi kelopak mata atas dengan
bentuan cotton bud. Cotton bud diletakkan dikelopak
mata atas bagian luar (diatas tarsus superior) dan
pemeriksa mengeversi kelopak atas dengan jari.
- Nilai adakah kelainan pada kelopak mata atas bagian
dalam.
c. Inspeksi bulu mata
Pemeriksa menilai ada tidaknya bulu mata dan arah
tumbuhnya bulu mata.
d. Inspeksi konjungtiva, termasuk forniks
Pemeriksa menilai konjungtiva tarsalis dan bulbi. Nilai
adakah kelaianan pada konjungtiva.
e. Inspeksi sklera
Pemeriksa menilai sklera pasien. Nilai adakah kelainan pada
sklera.
f. Inspeksi orifisium duktus lakrimalis (pungtum lakrimalis)
Pemeriksa menilai orifisium duktus lakrimalis. Nilai adakah
sumbatan.
- 891 -
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Inspeksi kelopak mata
Berikut beberapa kelainan pada kelopak mata:
a. Edema palpebra, difus. Dapat ditemukan pada sindroma
nefrotik, penyakit jantung, anemia, dakrioadenitis dan
hipertiroid.
b. Benjolan berbatas tegas: hordeolum, kalazion, tumor.
c. Sikatriks dan jaringan parut pada kelopak.
d. Xantelasma: penimbunan deposit berwarna kekuningan
pada kelopak, terutama nasal atas dan bawah.
e. Ekimosis: kulit kelopak mata yang berubah warna akibat
ekstravasasi darah setelah trauma.
f. Posisi kelopak mata melipat kearah keluar: ektropion
(konjungtiva tarsal berhubungan langsung dengan dunia
luar).
g. Posisi kelopak mata melipat kearah ke dalam: entropion
(bulu mata menyentuh konjungtiva dan kornea).
h. Blefarospasme: kedipan kelopak mata yang keras dan hilang
saat tidur. Dapat terjadi pada erosi kornea, uveitis anterior
dan glaukoma akut.
i. Kelopak mata tidak dapat diangkat sehingga celah kelopak
mata menjadi lebih kecil (ptosis).
j. Pseudoptosis: kelopak mata sukar terangkat akibat beban
kelopak. Dapat terjadi pada enoftalmus, ptisis bulbi,
kalazion, tumor kelopak dan edema palpebra.
k. Kelopak mata tidak dapat tertutup sempurna (lagoftalmus)
akibat terbentuknya jaringan parut atau sikatrik yang
menarik kelopak, entropion, paralisis orbicularis atau
terdapatnya tumor retrobulbar.
l. Blefarofimosis: celah kelopak yang sempit dan kecil.
2. Inspeksi bulu mata
a. Trikhiasis: bulu mata tumbuh ke arah dalam sehingga dapat
merusak kornea akibat gesekan kornea dengan bulu mata.
Dapat disebabkan oleh blefaritis dan entropion.
b. Madarosis: rontoknya bulu mata.
3. Inspeksi konjungtiva, termasuk forniks
a. Sekret
b. Folikel: penimbunan cairan dan sel limfoid dibawah
konjungtiva tarsal superior.
c. Papil: timbunan sel radang subkonjungtiva yang berwarna
merah dengan pembuluh darah ditengahnya.
d. Giant papil: berbentuk poligonal dan tersusun berdekatan,
permukaan datar, terdapat pada konjungtivitis vernal,
keratitis limbus superior dan iatrogenik konjungtivitis.
e. Pseudomembran: membran yang bila diangkat tidak
berdarah. Dapat ditemukan pada pemfigoid okular dan
sindroma Steven Johnson.
f. Sikatrik atau jaringan ikat.
- 892 -
g. Simblefaron: melekatnya konjungtiva tarsal, bulbi dan
kornea. Dapat ditemukan pada trauma kimia, sindroma
Steven Johnson dan trauma mekanik.
h. Injeksi konjungtiva: melebarnya arteri konjungtiva posterior.
i. Injeksi siliar: melebarnya pembuluh perikorneal atau arteri
siliar anterior.
j. Injeksi episklera: melebarnya pembuluh darah episklera
atau siliar anterior.
k. Perdarahan subkonjungtiva.
l. Flikten: peradangan disertai neovaskularisasi disekitarnya.
m. Pinguekula: bercak degenerasi konjungtiva di daerah celah
kelopak yang berbentuk segitiga di bagian nasal dan
temporal kornea.
n. Pterigium: proses proliferasi dan vaskularisasi pada
konjungtiva yang berbentuk segitiga.
o. Pseudopterigium: masuknya pembuluh darah konjungtiva
ke dalam kornea.
4. Inspeksi orifisium duktus lakrimalis
Sumbatan duktus laksimalis
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination
and History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
China. 2009.
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
2009.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
4. Minta pasien duduk di kursi periksa.
5. Pemeriksa menggunakan lup kepala.
6. Nyalakan penlight dan arahkan cahaya ke mata pasien. Amati
media refraksi mulai dari kornea.
- 893 -
7. Amati kejernihan kornea dan nilai apabila ada kelaianan pada
kornea.
8. Periksa kedalaman kamera okuli anterior dengan memberikan
sinar secara mendatar dari arah temporal ke nasal menembus
mata sehingga perkiraan kasar kedalaman kamera okuli
anterior dapat dibuat dengan memperhatikan paparan sinar
apakah sampai di iris bagian nasal. Nilai juga apakah ada flare,
hifema maupun hipopion. Flare dapat dinilai dengan loop jika
merupakan derajat yang hebat
9. Periksa iris pasien. Nilai pola dan warnanya, apakah ada nodul
dan vaskularitas.
10. Periksa kejernihan lensa mata, apabila lensa mata terlihat
keruh, lakukan pemeriksaan shadow test. Dengan penlight,
cahaya diarahkan pada pupil dengan membentuk sudut 45o
terhadap iris. Nilai bayangan iris pada lensa.
Kelopak
Pupil
Sklera
Iris
Badan siliaris
Kornea
Vitreus
N. Optikus
Iris
Lensa
Sklera
Kornea
Kornea normal jernih dan tanpa kekeruhan atau kabut. Cincin
keputih-putihan pada perimeter kornea mungkin arkus senilis;
yang pada pasien diatas usia 40 tahun merupakan fenomena
penuaan normal sedangkan pada pasien dibawah 40 tahun
mungkin hiperkolesterolemia.
Cincin kuning-kehijauan yang abnormal dekat limbus di superior
dan inferior adalah cincin Keyser-Fleischer. Cincin ini sangat
spesifik dan merupakan tanda yang sangat sensitif dari penyakit
Wilson. Cincin Keyser-Fleischer merupakan penimbunan tembaga
pada kornea.
Iris
Iris mempunyai gambaran kripti normal, terlihat adanya lekukan
iris. Beberapa kelainan iris antara lain:
a. Atrofi adalah iris yang berwarna putih dan sukar bergerak
bersama pupil. Iris atrofi terdapat pada diabetes melitus, lansia,
iskemia iris dan glaukoma.
b. Normalnya pembuluh darah iris tidak dapat terlihat dengan
mata telanjang. Terlihatnya pembuluh darah iris (rubeosis)
akibat radang dalam iris. Rubeosis iridis terdapat pada penyakit
vaskular, oklusi arteri/vena retina sentral, diabetes melitus,
glaukoma kronik dan pasca uveitis.
c. Sinekia anterior adalah menempelnya iris dengan kornea
belakang.
- 895 -
d. Sinekia posterior adalah menempelnya iris degan bagian depan
lensa. Hal ini dapat terjadi pada uveitis.
Lensa
Pada uji bayangan iris (shadow test), bila didapatkan semakin
sedikit lensa keruh, maka semakin besar bayangan iris pada lensa.
Bila bayangan iris pada lensa terlihat besar dan letaknya jauh
terhadap pupil maka lensa belum keruh seluruhnya sehingga
shadow test (+). Hal ini terjadi pada katarak immatur. Apabila
bayangan iris pada lensa kecil dan dekat tepi pupil atau bahkan
tidak tampak bayangan iris maka lensa sudah keruh seluruhnya
sehingga shadow test (-). Hal ini terdapat pada katarak matur. Pada
katarak hipermatur, lensa sudah keruh seluruhnya, sehingga
bayangan iris pada lensa besar dan keadaan ini disebut
pseudopositif.
Referensi
Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
2009.
Tingkat keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Minta pasien untuk memfiksasi matanya pada satu titik. Untuk
pasien anak, gunakan objek berupa mainan yang berukuran
kecil atau penlight.
2. Tutup salah satu mata untuk 1-2 detik.
3. Dengan cepat buka penutup mata.
4. Perhatikan pergerakan mata yang yang sebelumnya ditutup.
Lihat adanya deviasi mata kembali ke posisi fiksasi objek.
5. Tutup mata yang lain dan ulangi prosedur pemeriksaan.
- 896 -
COVER
UNCOVER
Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and
history taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins, 2009.
2. Moses S. Cover Test [Internet]. 2014 Feb [cited 2014 March 19].
Available from:
http://www.fpnotebook.com/eye/exam/CvrTst.htm
Tingkat keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
3. Mencuci tangan.
4. Minta pasien berbaring di meja periksa. Posisi pemeriksa berada
di bagian kepala pasien.
5. Penderita diminta untuk melirik kebawah.
6. Pemeriksa menggunakan kedua jari telunjuknya untuk menilai
fluktuasi pada bola mata pasien dengan bagian tangan lain
bertumpu di sekitar mata Bandingkan kiri dan kanan
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China.
2009.
Tingkat keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
3. Mencuci tangan.
4. Minta pasien berbaring terlentang di meja periksa. Posisi
pemeriksa berada di bagian kepala pasien.
5. Mata pasien terlebih dulu ditetesi dengan larutan anestesi lokal.
- 898 -
6. Pastikan keadaan kornea intak tidak ada kelainan/infeksi yang
akan mengganggu pemeriksaan
7. Tonometer didesinfeksi dengan dicuci alkohol atau dibakar
dengan api spiritus.
8. Minta pasien untuk melihat lurus keatas tanpa berkedip.
9. Tonometer diletakkan dengan perlahan-lahan dan hati-hati
diatas kornea pasien.
10. Pemeriksa membaca angka yang ditunjuk oleh jarum tonometer.
Pemeriksaan diulang 2-3 kali untuk menjaga konsistensi
pemeriksaan.
11. Kemudian pemeriksa melihat pada tabel, dimana terdapat daftar
tekanan bola mata.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China.
2009.
Tingkat keterampilan: 4A
Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
3. Minta pasien duduk di kursi periksa.
4. Mnta pasien mengenali dan menyabutkan gambar atau angka
yang terdapat di dalam buku ishihara dalam waktu masing-
masing 10 detik pada setiap halaman.
5. Pemeriksa menilai kemampuan pasien mengenali gambar atau
angka dalam buku Ishihara.
6. Mata diperiksa satu persatu.
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination
and History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins,
China, 2009.
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
2009.
Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan
1. Aplikasi pemberian obat tetes mata
2. Aplikasi pemberian salep mata
Teknik Tindakan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Botol tetes mata atau tube salep mata harus sesuai suhu
ruangan karena tetes mata/salep mata yang dingin lebih tidak
nyaman.
3. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
- 900 -
4. Cuci tangan, lalu siapkan kapas pembersih muka yang dibasahi
dengan air matang hangat. Bersihkan mata dari dalam ke luar.
5. Minta pasien berbaring di meja periksa atau duduk di kursi
periksa.
6. Pemberian obat dalam posisi berbaring atau duduk dengan
kepala menengadah agar tetes mata /salep mata tepat ke arah
mata yang dituju. Jangan sampai mata terkena aplikator botol
tetes mata atau tutup salep mata.
7. Dengan satu tangan, tarik kelopak bawah mata secara lembut,
sehingga membentuk kantung. Arahkan ujung botol tetes
mata/tube salep mata ke kantung kelopak bawah mata kearah
forniks inferior dan teteskan/berikan salep sesuai aturan.
8. Hindari tip (ujung) botol tetes mata menyentuh bulu
mata/kelopak mata/bola mata. Posisi ujung botol tetes atau
salep mata pada saat menetesi mata anak ialah kurang lebih 2
cm diatas ‘kantung’ kelopak bawah mata.
9. Beri jeda sekitar 3-5 menit antara satu obat tetes mata ke obat
tetes mata atau salep mata yang lain. Apabila kombinasi tetes
mata dan salep mata, maka yang diberikan terlebih dahulu
ialah yang tetes mata.
10. Ketika sudah selesai memberikan tetes mata/salep mata, segera
tutup botol tetes mata/salep mata. Minta pasien memejamkan
kembali mata secara perlahan (seperti tidur) selama 1-2 menit
11. Cuci tangan setelah memberi tetes mata/ salep mata.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China.
2009.
Tingkat keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
1. Siapkan alat dan bahan.
- 901 -
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan dan informasikan bahwa prosedur ini akan
menyebabkan nyeri.
3. Mencuci tangan.
4. Minta pasien berbaring terlentang di meja periksa. Posisi
pemeriksa berada di bagian kepala pasien. Posisikan pasien
senyaman mungkin dengan penyangga di kepala pasien.
5. Minta perawat untuk memegang senter atau penlight.
6. Aplikasikan anastesi topikal pada mata yang akan dilakukan
tindakan.
7. Dengan menggunakan loupe, identifikasi bulu mata yang perlu
dicabut.
8. Untuk pencabutan bulu mata bagian bawah:
a. Minta pasien untuk melihat ke atas dan fiksasi
pandangannya. Minimalkan gerakan pasien.
b. Dengan jari telunjuk, tarik ke bawah kelopak mata bagian
bawah.
9. Untuk pencabutan bulu mata bagian atas:
a. Minta pasien untuk melihat ke bawah dan fiksasi
pandangannya. Minimalkan gerakan pasien.
b. Dengan ibu jari, dorong ke atas kelopak mata bagian atas.
10. Dengan pinset yang dipegang tangan yang lain, jepit bulu mata
yang akan dicabut kemudian tarik secara perlahan ke arah
depan.
11. Ulangi sampai seluruh bulu mata yang diinginkan tercabut.
12. Antara setiap epilasi, usap bulu mata dengan menggunakan
kassa.
13. Yakinkan pasien bahwa semua bulu mata sudah tercabut.
Sarankan pasien untuk tidak menggosok mata.
14. Cuci tangan setelah melakukan tindakan.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China.
2009.
Tingkat keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
1. Lakukan pemeriksaan fisik mata secara menyeluruh
2. Identifikasi benda asing konjungtiva, apakah dikonjungtiva
bulbi atau konjungtiva tarsalis, ukuran, jenis, kedalaman
penetrasi benda asing
3. Hanya lakukan pembersihan benda asing/debris konjungtiva
yang berada di permukaan bila benda asing berada di
konjungtiva bulbi
4. Teteskan anestesi topikan, eversikan kelopak, identifikasi benda
asing dengan loop,
5. Ambil/sapu benda asing dengan menggunakan cotton bud,
kearah yang menjauhi kornea
6. Bilas konjungtiva dengan menggunakan cairan fisiologis
7. Setelah benda asing terangkat, identifikasi lesi, jika terdapat
laserasi konjungtiva, berikan tetes mata antibiotika spektrum
luas
INDERA PENDENGARAN
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Melakukan inspeksi dan palpasi aurikula, posisi telinga dan
mastoid.
2. Melakukan pemeriksaan meatus auditorius eksternus (MAE)
dengan otoskop.
3. Melakukan pemeriksaan membran timpani dengan otoskop.
4. Menggunakan lampu kepala.
Alat pemeriksaan
1. Otoskop
2. Lampu kepala
3. Garpu tala 512 Hz
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Mencuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
3. Lakukan inspeksi dan palpasi aurikula:
a. Pasien dipersilahkan duduk di kursi periksa.
b. Pemeriksa duduk di samping pasien dengan posisi mata
pemeriksa setinggi telinga pasien yang akan diperiksa.
- 903 -
c. Pemeriksa menggunakan lampu kepala. Pemeriksaan telinga
dilakukan satu per satu, dimulai dari telinga kanan.
d. Arahkan lampu kepala ke arah telinga yang akan diperiksa.
e. Lakukan pemeriksaan dimulai dari preaurikula, aurikula
dan retroaurikula.
f. Pada preaurikula lakukan inspeksi adanya kelainan
kongenital, tanda-tanda inflamasi atau kelainan patologis
lain.
g. Lalu lakukan palpasi untuk menilai adakah nyeri tekan
tragus atau benjolan di depan tragus yang berhubungan
dengan kelainan kongenital.
h. Aurikula yang normal diliputi oleh kulit yang halus, tanpa
adanya kemerahan atau bengkak.
i. Bila didapatkan kelainan seperti diatas, pemeriksa
mempalpasi daerah kemerahan tersebut dengan punggung
jari tangan untuk menilai apakah area tersebut lebih hangat
dibandingkan dengan kulit sekitarnya.
j. Bila terdapat bengkak, maka pemeriksa menggunakan
jempol dan telunjuknya untuk menilai konsistensi dan batas
benjolan. Saat melakukan pemeriksaan ini, amati wajah
pasien untuk menilai adanya nyeri.
k. Bila didapatkan anting atau pearcing di aurikula atau MAE,
palpasi juga area tersebut.
l. Pemeriksa kemudian menginspeksi MAE. Normalnya bersih
atau mungkin didapatkan sedikit serumen berwarna kuning
kecoklatan di tepi MAE. Nilai pula adakah cairan atau pus
yang keluar dari MAE.
m. Pemeriksa kemudian menekan tragus dan tanyakan kepada
pasien apakah terdapat nyeri.
n. Pegang puncak aurikula pasien dengan jempol dan jari
telunjuk dan tarik ke arah postero superior agar pars
kartilago MAE dan pars oseus MAE berada dalam satu garis
lurus.
o. Nilai MAE. Normalnya terdapat sedikit rambut dan kadang
serumen kuning kecoklatan. Perhatikan bila ditemukan
pembengkakan, kemerahan, atau terdapat lapisan selain
serumen pada MAE.
p. Tidak seperti pada pasien dewasa, pada anak, daun telinga
ditarik ke arah anteroinferior untuk melihat MAE karena
adanya perbedaan anatomi.
- 904 -
Referensi
1. Bickley. Bate’s Guide to Physical Examination and History
Taking. 8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary
Examination. 2009.
3. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical examination.
13th ed. Edinburg: Elsevier, 2013.
Tingkat keterampilan : 4A
Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
- 909 -
4. Minta pasien duduk di kursi periksa.
Tes Suara:
a. Pemeriksaan dilakukan pada salah satu telinga secara
bergantian dimulai dari telinga kanan. Pasien diminta menutup
telinga kirinya dengan tangan.
b. Gesekkan jari-jari pemeriksa di depan telinga pasien yang tidak
ditutup dengan cepat dan lembut. Tanyakan apakah pasien
mendengar suara tangan pemeriksa. Bandingkan kanan dan
kiri.
c. Kemudian pemeriksa mengambil posisi di sisi pasien dengan
jarak 1 meter dari telinga pasien.
d. Pemeriksa mengucapkan kata-kata di depan telinga pasien yang
tidak ditutup, ketinggian mulut pemeriksa sejajar dengan
telinga pasien. Pastikan pasien tidak melihat gerakan bibir
pemeriksa. Pilih kata yang terdiri dari dua suku kata yang
dikenal pasien, seperti "bola" atau "meja" dan dapat diulang
sampai 3 atau 4 kali.
e. Jika perlu, tingkatkan intensitas suara pemeriksa menjadi
suara bisik, suara biasa, suara keras, berteriak dan berteriak di
depan aurikula (penilaian semi kuantitatif)
f. Minta pasien mengulang kata yang disebutkan pemeriksa. Nilai
apakah jawaban pasien benar.
g. Lakukan prosedur yang sama untuk telinga yang lain.
Pemeriksaan Rinne:
a. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian pangkal (column
handle).
b. Getarkan garpu tala (512 Hz) dan letakkan dasarnya di prosesus
mastoideus pasien.
c. Minta pasien memberi tanda (misal dengan mengangkat tangan)
bila ia sudah tidak lagi mendengar suara garpu tala.
d. Kemudian segera pindahkan garpu tala sehingga ujung garpu
tala berada di depan kanalis auditorius (tidak bersentuhan).
e. Tanyakan apakah pasien mendengar suara garpu tala.
f. Pemeriksa juga dapat memulai pemeriksaan ini dari lubang
telinga kemudian ke prosesus mastoideus.
g. Lakukan prosedur yang sama pada telinga lainnya.
h. Tes Rinne dikatakan abnormal bila konduksi tulang lebih baik
dari konduksi udara.
- 910 -
Pemeriksaan Webber:
a. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian pangkal (column
handle).
b. Getarkan garpu tala (512 Hz) dan letakkan di tengah kening
atau puncak kepala pasien dengan perlahan.
c. Minta pasien menyebutkan dimana ia lebih baik mendengar
suara (kanan atau kiri).
Pemeriksaan Swabach:
a. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian pangkal (column
handle).
b. Getarkan garpu tala (512 Hz) dan letakkan dasarnya pada
prosesus mastoideus pasien.
c. Minta pasien memberi tanda (misal dengan mengangkat tangan)
bila ia sudah tidak lagi mendengar suara garpu tala.
d. Pindahkan dasar garpu tala ke prosesus mastoideus pemeriksa.
Bila pemeriksa masih dapat mendengar suara, maka test
Swabach abnormal.
- 911 -
Analisis Hasil Pemeriksaan
Pemeriksaan Rinne:
1. Tujuan pemeriksaan ini adalah membandingkan konduksi
tulang dengan konduksi udara pada satu telinga. Normalnya,
gelombang suara (air conduction) lebih baik dihantarkan melalui
udara dibandingkan dengan tulang (bone conduction).
2. Bila pasien masih dapat mendengar suara garpu tala saat
pemeriksa memegangnya di depan telinga pasien atau terdengar
lebih keras dibandingkan dengan saat garpu tala ditempelkan di
tulang mastoid pasien, maka tes Rinne dikatakan positif (+). Hal
ini menandakan bahwa pendengaran pasien normal atau
mengindikasikan adanya tuli sensori neural.
3. Bila pasien mengatakan tidak dapat mendengar suara garpu
tala saat diletakkan di depan telinga, maka tes Rinne dikatakan
negatif (-). Hal ini menandakan pasien mengalami tuli konduktif.
Pemeriksaan Weber:
1. Tujuan pemeriksaan Weber adalah membandingkan hantaran
tulang (bone conduction) pada telinga kiri dan kanan.
2. Apabila pendengaran pasien baik, maka pada pemeriksaan ini
tidak ditemukan lateralisasi dimana pasien tidak dapat
menentukan di mana ia lebih baik mendengar suara (kanan
atau kiri).
3. Pada pasien dengan tuli sensorineural, maka pasien mendengar
lebih keras pada telinga yang sehat (lateralisasi ke telinga yang
sehat).
4. Pada pasien dengan tuli konduktif, maka pasien mendengar
lebih keras pada telinga yang mengalami kelainan (lateralisasi
ke telinga yang sakit).
Pemeriksaan Swabach:
Tujuan pemeriksaan ini adalah membandingkan hantaran udara
telinga pasien dengan telinga normal (telinga pemeriksa= normal).
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination
and History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins,
China, 2009. P 265 – 266.
2. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical examination.
13th ed. Edinburg: Elsevier, 2013.
- 912 -
Tingkat keterampilan: 4A
Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Menjelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan
yang dilakukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
4. Posisikan anak pada meja periksa atau kursi periksa.
Prenatal
Genetik herediter
Non genetik:
- Gangguan atau kelaianan pada masa kehamilan
- Kelainan struktur anatomis
- Kekurangan zat gizi seperti yodium
Perinatal
- Prematuritas
- BBLR (< 2500 gram)
- Hiperbilirubinemia berat
- Asfiksia (lahir tidak menangis)
Postnatal
- Infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis
- Infeksi otak (meningitis dan ensefalitis)
- Perdarahan telinga tengah
- Trauma temporal
- 914 -
Banyak anak dengan defisit pendengaran yang tidak terdiagnosa
sampai dengan usia 2 tahun. Tanda-tanda defisit pendengaran
pada anak antara lain keterlambatan bicara dan gangguan
perkembangan yang berhubungan dengan pendengaran.
Referensi
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Memperbaiki tekanan di telinga tengah.
2. Melakukan pemeriksaan valsava maneuver untuk melihat
patensi membran timpani dan tuba eustachius.
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Cuci tangan sebelum pemeriksaan.
3. Pasien diminta duduk diatas meja periksa.
4. Pemeriksa meminta pasien untuk menutup rapat mulut dan
lubang hidung dengan menjepitnya.
5. Dalam posisi ini, minta pasien meniup seperti sedang meniup
balon.
6. Dengan menggunakan otoskop, pemeriksa menilai membran
timpani.
- 915 -
Referensi
1. Taylor D. Valsalva maneuver, critical review. SPUMS J 1996; 26
(1):8-13.
2. Sullivan RF. Audiology forum: video otoscopy [Internet]. 2006
[cited 2014 March 18]. Available from:
http://www.rcsullivan.com/www/ears.htm
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Pengambilan serumen menggunakan kait atau kuret
2. Pengambilan benda asing di telinga
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Mencuci tangan.
3. Pasien diminta duduk diatas kursi periksa.
Ekstraksi Mekanik
a. Posisikan pasien senyaman mungkin.
b. Ulang kembali pemeriksaan telinga sambil menilai lokasi dan
kedalaman benda asing pada liang telinga dengan menggunakan
lampu kepala atau otoskop.
c. Bila benda asing terdapat pada telinga kanan, dengan tangan
kiri pemeriksa retraksikan daun telinga ke arah posterosuperior.
Dengan tangan kanan pemeriksa, masukkan forceps bayonet
atau alligator secara hati-hati.
d. Jepit benda asing kemudian dengan perlahan tarik forceps
keluar.
e. Bila menggunakan otoskop, buka lensa otoskop, dengan hati-
hati masukkan forceps bayonet atau alligator melalui lubang
otoskop.
f. Periksa kembali apakah benda asing sudah dibersihkan
seluruhnya, nilai adakah perforasi membran timpani atau
laserasi MAE.
Irigasi
a. Pertama-tama siapkan dan pasang abocath no.16 pada spuit 50
mL.
b. Hangatkan cairan irigasi (air atau normal saline) untuk
kenyamanan pasien.
c. Posisikan pasien senyaman mungkin dan lapisi bahu pasien
dengan handuk untuk menjaga pakaian pasien tetap kering.
d. Tempatkan emesis basin dibawah telinga yang akan diirigasi
untuk menampung cairan irigasi yang keluar.
e. Tempatkan abocath tip dengan hati-hati pada MAE.
Memasukkan tip terlalu dalam berisiko merusak membran
timpani.
f. Setelah tip ditempatkan pada posisinya, dengan perlahan
semprotkan cairan irigasi ke arah dinding posterior MAE
beberapa kali sampai benda asing tersebut keluar.
g. Selalu periksa kembali telinga setelah dilakukan tindakan untuk
memastikan benda asing sudah keluar sepenuhnya dan nilai
adanya komplikasi. Prosedur ini tidak boleh dilakukan pada
membran timpani yang perforasi.
Referensi
Kwong AO. Ear foreign body removal procedures [Internet]. 2012
March 23 [cited 2014 April 21]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/80507-overview#a15
- 918 -
INDERA PENGECAPAN
Tingkat keterampilan: 4A
Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
3. Pemeriksa mencuci tangan.
4. Minta pasien duduk di kursi periksa.
5. Pemeriksa meminta pasien untuk memberikan kode terhadap
masing-masing rasa, seperti 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa
asin, 3 untuk rasa pahit dan 4 untuk rasa asam.
6. Minta pasien untuk menutup kedua matanya dan menjulurkan
lidahnya.
7. Pemeriksa menyentuhkan beberapa bahan makanan satu per
satu pada lidah pasien pada beberapa tempat dengan
menggunakan cotton bud. Pasien tidak boleh menarik lidahnya
ke dalam mulut, karena jika hal ini dilakukan maka bubuk
akan tersebar ke bagian lainnya seperti sisi lidah lainnya atau
ke bagian belakang atau depan lidah yang dipersarafi oleh saraf
lain.
8. Minta pasien mengenali jenis bahan makanan tersebut dengan
mengangkat tangan menggunakan kode yang telah disepakati
sebelumnya.
9. Pasien boleh meminum air putih pada jeda pemeriksaan
sebelum mencoba bahan makanan lainnya.
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination
and History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins,
China, 2009. P:539.
2. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2008. p:59.
INDERA PENCIUMAN
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Melakukan inspeksi hidung dan bentuk hidung.
2. Melakukan pemeriksaan hidung dengan rhinoskopi anterior.
Teknik Pemeriksaan
2. Pada palpasi:
Bengkak atau nyeri pada palpasi di ujung hidung atau alae
menandakan infeksi lokal seperti furunkel.
3. Pada rhinoskopi anterior, dapat ditemukan:
a. Deviasi septum
b. Polip
c. Epistaksis
d. Kelainan warna mukosa
e. Tumor
f. Sekret
g. Benda asing
Referensi
1. Bickley LS. Bates Guide to Physical Examination and History
Taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
2009.
2. Swartz MH. Textbook of physical diagnosis. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier-Saunders, 2005.
Tingkat Keterampilan: 4A
Referensi
1. Bickley LS. Bates Guide to Physical Examination and History
Taking. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
2009.
2. Swartz MH. Textbook of physical diagnosis. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier-Saunders, 2005.
- 924 -
49. PENATALAKSANAAN PERDARAHAN HIDUNG
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Penanganan epistaksis anterior dengan penekanan langsung;
penggunaan kaustik dengan AgNO3; atau dengan tampon
anterior.
2. Penanganan epistaksis posterior dengan tampon posterior
(bellocq).
Epistaksis Posterior
1. Siapkan tampon Bellocq dan peralatan lainnya untuk
memasang tampon.
2. Tampon posterior dipasang dengan bantuan kateter karet yang
dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring,
lalu ditarik keluar dari mulut.
3. Pada ujung kateter, diikatkan 2 benang tampon Bellocq.
4. Tarik kateter kembali melalui hidung sampai benang keluar
5. Dengan bantuan jari telunjuk, tampon belloq didorong ke arah
nasofaring (choana) melewati palatum mole sehingga menekan
sumber perdarahan (plexus woodruf).
- 927 -
6. Jika masih ada perdarahan, tambahkan tampon anterior ke
dalam kavum nasi.
7. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah
gulungan kain kasa di depan nares anterior untuk memfiksasi
tampon.
8. Benang yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada
pipi pasien.
9. Minta pasien kontrol 2 hari untuk mencabut tampon anterior
dan kontrol hari ke 5 untuk mencabut tampon Bellocq.
Referensi
1. Bull TR. Color atlas of ENT diagnosis. 4th ed. Stuttgart: Thieme,
2003. Kucik CJ. Management of epistaxis. Am Fam Physician.
2005 Jan 15;71(2):305-311
2. Soepardi EA, et al (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala & leher. 6th ed. Jakarta:Penerbit
fakultas kedokteran universitas Indonesia, 2007.
3. Goralnick E. [Internet]. Anterior epistaxis nasal pack; 2012 [cited
2014 March 5]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/80526-
overview#showall
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Mencuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
3. Pertahankan suasana tenang di ruangan.
4. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien.
5. Persiapkan peralatan yang dibutuhkan.
6. Posisikan pasien pada sniffing position, baik terlentang ataupun
dengan sedikit elevasi kepala. Pasien yang tidak kooperatif
harus difiksasi. Minta bantuan untuk memfiksasi kepala.
7. Pemberian anastesia dan vasokonstriktor mukosa dengan
tampon adrenalin pada lubang hidung membantu pemeriksaan
dan pengambilan benda asing. Rendam kapas dengan
campuran lidocain 2% + epinefrin 1:10.000 atau pantocain.
8. Untuk benda asing yang dapat terlihat jelas, tidak berbentuk
bulat, dan tidak mudah hancur, gunakan instrument hemostat,
forseps alligator, atau forsep bayonet.
9. Untuk benda asing yang mudah dilihat namun sulit untuk
dipegang, gunakan hooked probes. Hook diletakkan dibelakang
benda asing dan diputar sehingga sudut hook terletak
dibelakang benda asing. Benda asing kemudian ditarik ke
depan.
10. Untuk benda asing kecil dan bulat yang sulit dipegang oleh
instrumen, dapat juga digunakan kateter balon. Gunakan
kateter foley atau kateter fogarty. Periksa balon kateter dan
oleskan jeli lidokain 2% pada kateter. Dengan posisi pasien
supine, masukkan kateter melewati benda asing dan
kembangkan balon dengan udara atau air (2 ml untuk anak
kecil dan 3 ml untuk anak yang berbadan besar). Setelah balon
dikembangkan, tarik kateter untuk mengeluarkan benda asing.
- 929 -
Hindari pengambilan benda yang bulat dengan forceps karena
dapat menyebabkan benda terdorong ke posterior.
Referensi
1. Bull TR. Color atlas of ENT diagnosis. 4th ed. Stuttgart: Thieme,
2003.
2. Soepardi EA, et al (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala & leher. 6th ed. Jakarta:Penerbit
fakultas kedokteran universitas Indonesia, 2007.
3. Fischer JI [internet]. Nasal foreign bodies; 2013 [cited 2014
March 5]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/763767-
overview#aw2aab6b9
4. Chmielik LP. Foreign bodies in the nose, throat, esophagus,
trachea, and bronchi in children. New Medicine. 2009:4:89-91.
- 930 -
H. SISTEM RESPIRASI
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Melakukan inspeksi, palpasi, auskultasi leher
2. Melakukan pemeriksaan tiroid
3. Melakukan pemeriksaan JVP dan A. carotis (lihat materi Sistem
Kardiovaskuler)
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
3. Inspeksi leher:
a. Pemeriksa berdiri di hadapan pasien.
b. Nilai kesimetrisan leher, adanya deciasi trakea, adanya
benjolan pada leher.
4. Palpasi leher:
a. Posisikan pasien dalam posisi duduk, pemeriksa berdiri
tepat di belakang pasien
b. Palpasi area:
• Daerah submandibular kanan dan kiri (di bawah
mandibula)
• Anterior dari m. Sternocleidomastoideus kanan dan kiri
• Posterior dari m. Sternocleidomastoideus kanan dan kiri
• Daerah supraclavicula kanan dan kiri
• Darah aksila kanan dan kiri
• Nilai adanya pembesaran kelenjar getah bening.
- 931 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
2. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
3. Lakukan inspeksi dada dan kenali kelainannya :
a. Pemeriksa menginspeksi dada pasien dari arah depan,
samping dan belakang.
b. Selalu nilai mulai dari kulit, subkutis, otot dan rangka. Pada
wanita, nilai juga payudara.
c. Nilai dari depan, samping dan belakang ekspansi dada saat
bernapas dan saat istirahat juga saat inspirasi maksimum.
d. Saat pemeriksaan nilai apakah ekspansi dada cukup dan
simetris.
e. Nilai juga adanya retraksi.
f. Pada pasien yang dicurigai ekspansi dadanya menurun,
dapat dilakukan pemeriksaan secara objektif dengan
mengukur lingkar dada saat pernapasan normal dan
inspirasi maksimal. Pada laki-laki, pita ukur berada diatas
puting, sedangkan pada wanita berada tepat diatas mamae.
4. Lakukan palpasi dada dan kenali kelainannya:
a. Untuk pemeriksaan palpasi dada, gunakan seluruh
permukaan telapak tangan. Tempatkan kedua tangan pada
kedua sisi dada dan periksa daerah-daerah dibawah ini saat
pernapasan biasa dan saat pernapasan dalam:
- Torakss anterior atas
- Turun kebawah ke daerah costo triangle
- Torakss lateral
- Dengan satu tangan pada sternum dan lainnya pada
tulang belakang
- Torakss posterior bawah
b. Nilai ekspansi dinding dada, kanan dan kiri serta
kesimetrisannya.
- 933 -
c. Saat melakukan palpasi, tanyakan kepada pasien adakah
area yang terasa nyeri saat pemeriksaan ini dilakukan.
d. Lakukan penilaian fremitus vokal dengan meminta pasien
menyebutkan “tujuh puluh tujuh” sedangkan tangan
pemeriksa merasakan getaran yang dihasilkan suara pasien.
e. Nilai getaran yang dirasakan pada tangan kanan dan kiri
apakah sama kuat.
1 2
3 4
Gambar 57. Palpasi dada
2. Deformitas toraks:
Dewasa normal:
Torakss pada dewasa
normal, ukuran diameter
lateral lebih besar dari
diameter anteroposterior.
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition.
Barrel Chest:
Diameter anteroposterior
melebar. Bentuk ini normal
pada payi, sering menyertai
penuaan normal serta pada
pasien PPOK.
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition.
menurunkan tekanan
intratoraksal saat inspirasi,
area yang terluka menjorok
kedalam, sedangkan saat
ekspirasi menonjol keluar.
Kyphoscoliosis:
Pada kelainan ini terdapat
abnormalitas kurva tulang
belakang dan rotasi
vertebrae yang mengubah
bentuk dada. Dapat terjadi
distorsi paru yang
menyebabkan sulitnya
menilai hasil pemeriksaan
paru.
3. Palpasi dada:
a. Ekspansi dada dapat diperiksa bukan hanya melalui
inspeksi, namun juga dengan palpasi. Dari pemeriksaan ini
pemeriksa dapat merasakan bila ekspansi dinding dada
kurang ataupun asimetris.
b. Pada pemeriksaan palpasi dada juga dapat diketahui
adanya nyeri tekan pada dinding dada seperti pada
kecurigaan terdapat fraktur iga.
c. Pada pemeriksaan fremitus vokal, normalnya getaran suara
dihantarkan ke seluruh dinding dada sehingga dirasakan
sama kanan dan kiri.
Kelainan Penyebab
Menurunnya ekspansi - Penyakit fibrotik kronis pada paru
dada atau terlambat pada atau pleura yang mengalami
salah satu sisi keterlambatan
- Efusi pleura
- Pneumonia lobaris
- Nyeri pleural yang berhubungan
dengan splinting
- Obstruksi bronkus unilateral
- 938 -
Vokal fremitus menurun - Obstruksi bronkus
- Efusi pleura
- PPOK
- Fibrosis pleura
- Pneumotorakss
- Infiltrasi tumor
- Atelektasis
- Dinding dada yang terlalu tebal
Vokal fremitus meningkat - Pneumonia
3. Perkusi dada
4. Auskultasi Dada
1) Karakter suara
Terdapat tiga tipe suara napas:
a. Vesikular atau suara napas normal
Terdengar pada orang normal (kecuali bayi dan balita) di
seluruh lapang paru. Suara napas ini terdengar sebagai
suara dengan frekuensi yang rendah, jernih, inspirasi
terdengar halus dan ekspirasi terdengar lebih halus lagi,
dengan rasio antara inspirasi dan ekspirasi 3:1.
b. Bronkial
Pada keadaan normal, pernapasan bronkial hanya dapat
didengar diatas trakhea dan bronkus utama. Suara
- 939 -
napas ini sangat kencang, frekuensinya tinggi, kuat,
suara inspirasi lebih terdengar dibanding ekspirasi,
dengan rasio inspirasi dan ekspirasi hampir sama (5:6).
Bila ditemukan di area lain selain diatas, maka
bermakna patologis. Contohnya pada pneumonia, edema
paru dan pulmonary hemorrhage.
c. Bronchovesikular
2) Intensitas
Intensitas suara napas dapat normal atau menurun (suara
napas menurun). hal ini dapat disebabkan oleh:
Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking
8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary
Examination. 2009.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien atau keluarga pasien jenis, prosedur
dan komplikasi tindakan yang akan dilakukan.
2. Persiapkan alat dan bahan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
4. Identifikasi toraks pasien dan status respirasi.
5. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan ventilasi sesuai
kebutuhan.
6. Identifikasi sela iga II, di linea midklavikula di sisi tension
pneumotorakss.
7. Gunakan sarung tangan steril.
8. Lakukan prosedur asepsis dan antisepsis.
9. Berikan anestesi lokal jika pasien sadar atau keadaan
mengijinkan.
10. Persiapkan Luer-Lok dan hubungkan dengan jarum kateter.
- 941 -
11. Insersi jarum kateter (panjang 3-6 cm) ke kulit secara langsung
tepat diatas iga kedalam sela iga dengan sudut 90o terhadap
permukaan kulit.
12. Tusuk sampai dengan lapisan pleura parietal.
13. Pindahkan Luer-Lok dari kateter dan dengar keluarnya udara
ketika jarum memasuki pleura parietal, menandakan tension
pneumothoraks telah diatasi.
14. Pindahkan jarum dan ganti Luer-Lok di ujung distal kateter.
Tinggalkan kateter plastik di tempatnya dan tutup dengan
plester atau kain kecil.
15. Siapkan chest tube, jika perlu.
Referensi
ATLS student course manual. 8th ed. Chicago: America College of
Surgeon. 2008. P126.
a. Terapi Oksigen
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
1. Jelaskan kepada pasien atau keluarga pasien jenis dan
prosedur tindakan yang akan dilakukan.
2. Persiapkan alat dan bahan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur tindakan.
4. Nilai status oksigenasi pasien.
5. Tentukan kebutuhan oksigen dan jenis alat suplementasi
oksigen yang dibutuhkan pasien
6. Pasang alat suplementasi oksigen ke sumber oksigen.
7. Atur aliran oksigen sesuai kebutuhan pasien.
8. Pasang alat suplementasi oksigen kepada pasien.
9. Pantau keefektifan pemberian oksigen.
Analisis Tindakan
Jenis alat suplementasi oksigen, kecepatan aliran dan
presentase oksigen yang dihantarkan
- 942 -
Tabel 11. Penggunaan alat suplementasi oksigen
Referensi
Karo-Karo S, Rahajoe AU, Sulistyo S, dkk. Buku panduan
kursus bantuan hidup jantung lanjut ACLS Indonesia. Ed 2012.
PERKI.2012.
b. Terapi Inhalasi
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
Analisis
1. Indikasi Klinis: mengurangi bronkospasme, inflamasi jalan
napas, mukokinesis, dan profilaksis bronkokonstriksi.
2. Kontraindikasi: riwayat hipersensitivitas atau reaksi alergi
terhadap obat-obatan.
3. Bunyi mendesis saat inhalasi dengan metered dose inhaler
mengindikasikan bahwa teknik yang digunakan tidak tepat.
4. Jenis obat-obatan aerosol dan dosis yang tersedia:
Nebulizer
a. Agonis beta-2 adrenergik: formoterol fumarat 20 µg/2 mL;
salbutamol 0.083% dalam 1,2,dan 5 mg vial; armoterol
tartrate 15 µg; levalbuterol. Metaprotenrenol sulfat.
b. OAINS: cromolyn sodium 20 mg.
c. Kortikosteroid: budesonide 0.25, 0.5, dan 1 mg; fluticasone
0.5 mg/2ml dan 2 mg/2mL.
- 947 -
d. Mukolitik: larutan saline hipertonik.
e. Antikolinergik: ipratropium bromide 500/vial.
Referensi
1. Laube BL, et al. What the pulmonary specialist should know
about the new inhalation therapies. Eur Respir J 2011: 37(6);
1308-1331.
2. Global initiative for asthma. Instruction for inhaler and spacer
use [Internet]. 2014 [cited 2014 March 24]. Available from:
http://www.ginasthma.org/documents/11
3. North Carolina College of Emergency Physician’s. standards
procedure (skill) airway-nebulizer inhalation therapy
[internet]. 2005 [cited 2014 March 24]. Available from:
http://www.ncems.org/pdf/NCCEPStandardsProcedures
2009.pdf
4. London health sciences centre. Inhalation therapy
bronchodilator administration via wet nebulization aerosol.
Chest. 1997 Dec;112(6):1501-5.
I. SISTEM KARDIOVASKULAR
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
Inspeksi dada
1. Minta pasien berbaring dengan nyaman.
2. Lepaskan pakaian yang menghalangi dada.
3. Perhatikan bentuk dada dan pergerakan dada saat pasien
bernafas. Perhatikan jika terdapat deformitas atau keadaan
- 948 -
asimetris, retraksi interkostae dan suprasternal, dan kelemahan
pergerakan dinding dada saat bernafas.
Auskultasi jantung
a. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring.
b. Gunakan bagian diafragma dari stetoskop, dan letakan di garis
parasternal kanan ICS (intracostae space) 2 untuk menilai katup
aorta, parasternal kiri ICS 2 untuk menilai katup pulmoner,
parasternal kiri ICS 4 atau 5 untuk menilai katup trikuspid, dan
garis midklavikula kiri ICS 4 atau 5 untuk menilai apeks dan
katup mitral.
c. Selama auskultasi yang perlu dinilai: irama jantung, denyut
jantung, bunyi jantung satu, bunyi jantung dua, suara splitting,
bunyi jantung tambahan, murmur.
- 949 -
4. Auskultasi jantung
a. Murmur sistolik
Menjalar ke karotis, dapat terjadi pada stenosis/sklerosis
aorta
b. Murmur diatolik
Terdengar paling keras di tepi sternal kiri bawah, dapat
terjadi pada regurgiasi pulmonal, regurgitasi aorta
c. Murmur pansistolik
- 950 -
Paling keras di apeks, dapat terjadi pada regurgitasi mitral,
regurgitasi trikuspid
d. Murmur mid-diastolik
Paling keras di apeks, dapat terjadi pada stenosis mitral,
stenosis tricuspid
e. Intensitas murmur.
Grade Deskripsi
Grade Sangat lemah, hanya terdengar setelah pendengar benar-
1 benar memperhatikan; dapat terdengar tidak disemua posisi
Grade Lemah, namun segera terdengar setelah menempatkan
2 stetoskop di dada
Grade Cukup keras
3
Grade Keras, dengan thrill yang teraba
4
Grade Sangat keras, dengan thrill. Dapat terdengar dengan stetoskop
5 terletak sebagian di dada.
Grade Sangat keras, dengan thrill. Dapat terdengar dengan stetoskop
6 tidak ditempelkan di dada.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Ed. China: Lippincott Williams & Wilkins, 2009.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Pemeriksa berada di sebelah kanan pasien.
2. Penderita dalam posisi santai, kepala sedikit terangkat dengan
bantal, dan otot sternomastoideus dalm keadaan rileks.
3. Lepaskan pakaian yang sempit/menekan leher.
4. Naikkan ujung tempat tidur setinggi 30°, atau sesuaikan
sehingga pulsasi vena jugularis tampak jelas. Miringkan kepala
menghadap arah yang berlawanan dari arah yang akan
diperiksa.
5. Gunakan lampu senter dari arah miring untuk melihat
bayangan (shadow) vena jugularis. Identifikasi pulsasi vena
- 951 -
jugularis interna. Apabila tidak dapat menemukan pulsasi vena
jugularis interna dapat mencari pulsasi vena jugularis eksterna.
6. Tentukan titik tertinggi dimana pulsasi vena jugularis
interna/eksterna dapat dilihat.
7. Pakailah sudut sternum (manubrium) sebagai tempat untuk
mengukur tinggi pulsasi vena. Titik ini ±4-5 cm di atas pusat
dari atrium kanan.
8. Gunakan penggaris.
a. Penggaris ke-1 diletakkan secara tegak (vertikal), dimana
salah satu ujungnya menempel pada manubrium.
b. Penggaris ke-2 diletakkan mendatar (horizontal), dimana
ujung yang satu tepat di titik tertinggi pulsasi vena,
sementara ujung lainnya ditempelkan pada penggaris ke-1.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai denyut arteri karotis dan mendeteksi bruit di arteri
Alat dan Bahan: stetoskop
Teknik Pemeriksaan
1. Palpasi arteri karotis pada bagian ventral dari otot
sternikleidomastoideus kanan dan kiri
2. Palpasi dilakukan secara bergantian antara kanan dan kiri
3. Lakukan penilaian.
4. Dengarkan thrill dan bruit pada arteri karotis dengan
menggunakan stetoskop.
5. Letakkan stetoskop pada daerah arteri karotis, minta pasien
untuk menahan napasnya agar auskultasi terdengar jelas dan
tidak tersamarkan oleh bunyi napas.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai ada tidaknya vena varikosa
Alat dan Bahan: -
Teknik Pemeriksaan
1. Minta pasien untuk berbaring.
2. Elevasi tungkai 90⁰ untuk mengosongkan vena.
3. Oklusi vena savena magna pada paha bagian atas dengan
kompresi manual, menggunakan tekanan yang cukup untuk
menekan vena superficial namun tidak menekan vena dalam.
4. Minta pasien untuk berdiri dengan tetap mengoklusi vena.
5. Amati pengisian vena pada tungkai. Normalnya, vena superficial
terisi dari bawah dan memakan waktu sekitar 35 detik.
6. Setelah pasien berdiri selama 20 detik, lepaskan kompresi dan
lihat adanya tambahan pengisian vena.
Pelaporan
1. Negatif-negatif: hasil normal.
2. Kedua langkah abnormal: positif-positif.
3. Respons negative-positif dan positif-negatif juga dapat
ditemukan
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi, PG. Bates’ Guide to Physical Examination
and History Taking, 8th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2007.
2. Anonymous. Undervisningsmateriell [internet]. 2008 July [cited
2014 March 23]. Available from:
http://folk.uio.no/arnewes/undervisning/
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai sirkulasi perifer
Alat dan Bahan: -
Teknik Pemeriksaan
1. Pasien dalam posisi terlentang.
2. Amati pola pembuluh darah vena.
3. Amati warna kulit dan nail beds serta tekstur kulit.
4. Palpasi kedua sisi ekstrimitas pasien. Nilai suhu dan adanya
edema. (pemeriksaan edema lihat ke general survey).
5. Palpasi arteri-arteri ekstrimitas pasien.
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates’ Guide to Physical Examination
and History Taking, 10th ed. China: Lippincott Williams &
Wilkins, 2009; p 450-454
2. Rao VR. Clinical examination in cardiology. New Delhi: Elsevier,
2007.
- 958 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Mengetahui aktifitas elektrik jantung
Alat dan Bahan
1. Mesin EKG yang dapat merekam 12 lead
2. 10 lead EKG (4 lead kaki, 6 lead dada): harus terhubung dengan
mesin
3. Elektroda EKG
4. Pisau cukur
5. Alcohol
6. Water based gel
7. Alat tulis
Teknik Pemeriksaan
1. Memperkenalkan diri, konfirmasi identitas pasien, jelaskan
prosedur dan mendapatkan izin secara verbal.
2. Posisikan pasien pada posisi yang nyaman (duduk atau tidur)
dengan bagian atas badan, kaki dan badan terlihat.
3. Membersihkan lokasi yang akan dipasang elektroda dengan
mencukur rambut dan membersihkan kulit dengan alkohol
untuk mencegah hambatan hantaran gelembong elektrik.
4. Memberikan gel pada lokasi penempelan elektroda.
5. Masing-masing elektroda dipasang dengan menempelkan atau
penjepitan bantalan atau ujung elektroda pada kulit pasien.
Bantalan elektroda biasa diberi label dan berbeda dari segi
warna untuk mencegah kesalahan pemasangan.
6. Lokasi pemasangan elektroda ekstremitas secara umum:
- Tangan kanan: merah
- Tangan kiri: kuning
- Kaki kanan: hijau
- Kaki kiri: hitam
7. Lokasi pemasangan elektroda precordial
- V1 : ICS 4 tepat disebelah kanan sternum
- V2 : ICS 4 tepat di sebelah kiri sternum
- V3 : garis tengah antara V2 dan V4
- V4 : ICS 5 garis midklavikula sinistra
- V5 : garis aksilaris anterior sinistra, sejajar dengan V4
- V6 : garis midaksilaris, sejajar dengan V4
8. Setelah terpasang, nyalakan mesin EKG, mengoperasikan
sesuai prosedur tetap sesuai jenis mesin EKG (manual atau
otomatis).
9. Cek kalibrasi dan kecepatan kertas (1 mV harus digambarkan
dengan defleksi vertikal sekitar 10 mm dan kecepatan kertas 25
mm/detik atau setara dengan 5 kotak besar/detik).
10. Memastikan nama pasien, catat tanggal dan waktu pencatatan.
- 959 -
11. Setelah hasil didapatkan, lepaskan elektroda yang terpasang.
5. Gelombang P
Analisis adakah kelainan dari gelombang P. lihat pula
bentuknya apakah P mitral atau P pulmonal. Normalnya tinggi
tidak lebih dari 3 kotak kecil, lebar tidak lebih dari 3 kotak
kecil, positif kecuali di AVR, gelombang simetris.
6. PR interval
PR interval normal adalah 0,12-0,2 detik. Jika PR interval
memanjang curiga sebagai suatu block jantung.
7. Gelombang Q
Lebar gelombang Q normal kurang dari 0,04 detik, tinggi kurang
dari 0,1 detik. Keadaan patologis dapat dilihat dari panjang
gelombang Q >1/3 R, ada QS pattern dengan gelombang R tidak
ada. Adanya gelomang Q patologis ini menunjukkan adanya old
miocard infark.
8. QRS kompleks
Adanya kelainan kompleks QRS menunjukkan adanya kelainan
pada ventrikel (bisa suatu block saraf jantung atau kelainan
lainnya). Lebar jika aliran listrik berasal dari ventrikel atau
terjadi blok cabang berkas. Normal R/S = 1 di lead V3 dan V4.
Rotasi menurut arah jarum jam menunjukkan penyakit paru
kronik. Artinya gelombang QRS menjadi berbalik. Yang tadinya
- 961 -
harus positif di V5 dan V6 dan negative di V1 dan V2 maka
sekarang terjadi sebaliknya.
9. Segmen ST
Segmen ST normal di V1-V6 bisa naik 2 kotak kecil atau turun
0,05 kotak kecil. Patologis: elevasi (infark miokard akut atau
pericarditis), depresi (iskemia atau terjadi setelah pemakaian
digoksin).
10. Gelombang T
Gelombang T normal = gelombang P. Gelombang ini positif di
lead I, II, V3-V6 dan negatif di AVR.
Patologis:
- Runcing: hiperkalemia
- Tinggi lebih dari 2/3 R dan datar: hipokalemia
- Inversi: bisa normal (di lead III, AVR, V1, V2 dan V3 pada
orang kulit hitam) atau iskemia, infark, RVH dan LVH, emboli
paru, sindrom WPW, blok berkas cabang.
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates’ Guide to Physical Examination
and History Taking, 10th Ed. China: Lippincott Williams &
Wilkins, 2009.
2. Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified
approach. 7th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2005.
- 966 -
J. SISTEM GASTROHEPATOBILIER
Tingkat keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Minta pasien duduk dengan nyaman di kursi periksa.
2. Jelaskan kepada pasien prosedur dan tujuan pemeriksaan.
3. Lakukan cuci tangan dan gunakan sarung tangan.
4. Jika pasien menggunakan gigi palsu, minta pasien untuk
melepasnya terlebih dahulu.
5. Lakukan inspeksi pada bibir, perhatikan warna, kelembaban,
apakah simetris, terdapat deformitas, luka atau penebalan.
6. Lakukan inspeksi pada mukosa oral dan gusi dengan
pencahayaan yang cukup dan spatula lidah. Perhatikan warna,
ulserasi, bercak, dan nodul. Jika pada inspeksi ditemukan
adanya benjolan, perhatikan apakah benjolan tunggal atau
multipel, kemudianlakukan palpasi, perhatikan ukuran,
konsistensi, permukaan, mobilitas, batas dan nyeri tekan.
7. Lakukan inspeksi pada gigi, perhatikan apakah ada gigi yang
tanggal, warna gigi, disposisi, atau ada gigi yang patah.
Gunakan kaca mulut untuk melihat gigi belakang atau atas.
8. Minta pasien untuk menjulurkan lidah. Lakukan inspeksi pada
lidah, perhatikan warna dan tekstur lidah, apakah terdapat
nodul, ulserasi, atau lesi lainnya. Kemudian pegang lidah pasien
menggunakan tangan kanan, lakukan palpasi, perhatikan
apakah terdapat indurasi atau penebalan.
- 967 -
Gambar 88. Palpasi lidah pasien
Referensi
Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China, hh. 160-162.
Tingkat keterampilan: 4A
Jenis Keterampilan
1. Inspeksi abdomen
2. Auskultasi
3. Perkusi
4. Palpasi (dinding perut, kolon, hepar, lien, aorta, rigiditas dinding
perut, nyeri tekan, dan nyeri lepas tekan)
Teknik Pemeriksaan
Inspeksi abdomen
1. Minta atau posisikan pasien berbaring dengan rileks.
2. Minta pasien untuk membuka pakaian sehingga area mulai dari
prosesus sifoideus hingga simfisis pubis nampak.
3. Pemeriksa berada di sisi sebelah kanan pasien.
4. Lakukan identifikasi abdomen dalam 4 atau 9 regio seperti pada
gambar.
- 968 -
Auskultasi abdomen
1. Auskultasi abdomen dengan menggunakan stetoskop secara
sistematis dan menyeluruh dengan menilai suara peristaltik
usus. Identifikasi adanya bising usus yang patologis seperti
metallic sound.
2. Identifikasi pula bising arteri dan aorta, untuk mendapatkan
gambaran seperti pada penyempitan ataupun aneurisma aorta
abdominalis.
Perkusi Abdomen
1. Lakukan perkusi superfisial. Letakkan tangan kiri di atas
permukaan abdomen, jari tengah tangan kanan mengetuk
bagian dorsal dari ruas kedua jari tengah tangan kanan.
Lakukan perkusi secara sistematis pada setiap regio hingga
mencakup seluruh dinding abdomen. Nilai perubahan suara
dan nyeri ketok pada permukaan abdomen.
- 969 -
Palpasi Abdomen
1. Minta pasien berbaring dengan tungkai lurus. Lakukan palpasi
permukaan dengan menggunakan jari-jari tangan dengan
lembut, agar pasien tetap rileks. Palpasi dilakukan di seluruh
lapang abdomen untuk menilai apakah terdapat massa,
distensi, spasme otot abdomen, atau nyeri tekan.
Referensi
Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China, hh. 160-162.
Tingkat keterampilan: 4A
Teknik pemeriksaan
1. Posisikan pasien berbaring dengan nyaman, pemeriksa berdiri
di sisi kanan pasien.
2. Minta pasien untuk membuka pakaian sehingga area mulai dari
prosesus sifoideus hingga simfisis pubis dapat terlihat.
3. Untuk melakukan shifting dullness, lakukan perkusi dari daerah
medial (umbilikus) ke arah lateral kanan. Tentukan dan tandai
batas peralihan bunyi timpani ke redup. Kemudian minta
pasien untuk miring ke arah kontralateral, tunggu selama ±30
detik, lakukan perkusi kembali dari peralihan bunyi dari batas
yang telah kita tandai sebelumnya.
- 973 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Melakukan pemeriksaan fisik abdomen pada pasien yang diduga
menderita apendisitis
Teknik Tindakan
1. Minta pasien untuk menunjuk bagian yang terasa nyeri.
Kemudian minta pasien untuk batuk dan tentukan asal dan
penjalaran nyeri.
2. Cari daerah yang mengalami nyeri lokal.
3. Raba untuk menilai adanya rigiditas muscular
4. Lakukan pemeriksaan rektum (lihat Bagian Colok Dubur).
5. Periksa daerah yang mengalami nyeri lepas.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Ed. China: Lippincott Williams & Wilkins, 2009.
Tingkat keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Pasien dalam posisi berdiri dan pemeriksa duduk di depan
pasien dengan nyaman.
2. Bebaskan daerah inguinal dan genital untuk pemeriksaan.
3. Perhatikan apakah ada benjolan atau keadaan asimetris di
kedua area inguinal.
4. Untuk pemeriksaan hernia inguinal kanan, gunakan ujung jari
telunjuk kanan untuk mencari batas bawah sakus skrotalis,
kemudian telunjuk di dorong ke atas menuju kanalis inguinalis.
- 976 -
Referensi
Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China, hh. 160-162.
Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan
1. Dekompresi lambung atau drainase isi lambung
2. Akses makanan dan obat-obatan bagi pasien yang tidak dapat
makan peroral
3. Diagnostik
Teknik Keterampilan
1. Jelaskan jenis dan prosedur tindakan kepada pasien.
2. Siapkan alat dan bahan. Pilih ukuran tube yang sesuai untuk
pasien.
3. Periksa segel dan tanggal kadaluarsa alat yang akan digunakan.
4. Cuci tangan dan mengenakan sarung tangan.
5. Posisikan pasien pada berbaring dengan elevasi 30-45⁰. Lapisi
pakaian pasien dengan handuk. Letakkan basin emesis pada
pangkuan pasien.
6. Periksa ada tidaknya sumbatan pada hidung. Periksa kedua
lubang hidung untuk menentukan lubang yang paling besar
dan terbuka.
7. Ukur panjang insersi tube dengan memegang tube di atas tubuh
pasien, ujung distal diletakkan 6 cm di bawah prosesus
sifoideus; ujung proksimal direntangkan ke hidung; lingkarkan
bagian tengah pada cuping telinga pasien. Tandai panjang
ukuran tersebut dengan plester.
8. Olesi tube dengan lubricant gel
- 978 -
9. Masukkan NGT dari lubang hidung sambil meminta pasien
bernafas melalui mulut dan melakukan gerakan menelan. Bila
pasien tidak dapat menelan, berikan air untuk membantu
pasien menelan.
10. Jika pasien batuk atau menjadi gelisah atau ditemukan embun
pada tube, kemungkinan tube masuk ke trakhea, tarik tube
beberapa senti, putar sedikit dan mulai kembali proses di atas.
11. Lanjutkan mendorong tube hingga mencapai tanda plester. Jika
lambung penuh, akan keluar cairan, gunakan basin emesis
untuk menampung cairan.
12. Gunakan spuit 50 ml untuk menginjeksikan udara. Dengarkan
udara yang masuk ke lambung dengan menggunakan
stetoskop.
13. Fiksasi NGT pada hidung dengan menggunakan plester.
Referensi
Pfenninger JL, & Fowler GC 2011, Pfenninger and fowler’s
procedures for primary care. 3th edn. Elsevier, Philadelphia, hh.
1392-1399.
Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan
1. Membilas lambung dan mengeliminasi zat-zat yang tercerna
2. Mengosongkan lambung sebelum pemeriksaan endoskopi
Teknik Keterampilan
1. Jelaskan jenis dan prosedur tindakan.
2. Siapkan alat dan bahan.
3. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan.
4. Lakukan pemasangan Nasogastric tube.
5. Pasang spuit 50ml pada ujung NGT.
6. Mulai bilas lambung dengan memasukkan 250 ml irigan untuk
mengecek toleransi pasien dan mencegah muntah.
7. Urut abdomen di bagian lambung untuk membantu aliran
keluar irigan.
8. Ulangi siklus ini hingga cairan yang keluar tampak jernih.
- 979 -
9. Periksa tanda vital pasien, output urin dan tingkat kesadaran
setiap 15 menit.
10. Lepaskan NGT sesuai indikasi.
Referensi
Kowalak JP (ed) 2009, Lippincott’s nursing procedures. 6th edn.
Lippinkott’s Williams&Wilkins, Philadelphia.
Tingkat keterampilan: 4A
Jenis Keterampilan
1. Pemeriksaan colok dubur
2. Palpasi sakrum
3. Inspeksi sarung tangan pasca colok dubur
4. Persiapan pemeriksaan tinja
Tujuan
1. Mengetahui kelainan yang mungkin terjadi di bagian anus dan
rektum.
2. Mengetahui kelainan yang mungkin terjadi di prostat pada laki-
laki.
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien prosedur, tujuan pemeriksaan dan
ketidaknyamanan yang muncul akibat tindakan yang akan kita
lakukan
2. Minta pasien untuk melepaskan celana.
3. Minta pasien berbaring menghadap ke kiri, membelakangi
pemeriksa dengan tungkai ditekuk.
4. Lakukan inspeksi untuk melihat apakah terdapat benjolan,
luka, inflamasi, kemerahan, atau ekskoriasi di daerah sekitar
anus.
5. Gunakan sarung tangan, oleskan lubricating gel pada ujung jari
telunjung pemeriksa dan di sekitar anus pasien.
- 980 -
Referensi
Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China, hh. 160-162.
- 982 -
69. PROSEDUR KLISMA/ENEMA/HUKNAH (IRIGASI KOLON)
Tingkat keterampilan: 4A
Prosedur
1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien
2. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan tindakan. Gunakan sarung
tangan.
4. Minta pasien melepas pakaiannya dari pinggang ke bawah.
Posisikan pasien pada posisi Sims; minta pasien berbaring
miring kiri dan menekuk lutut kanan ke atas.
5. Buka tutup enema dan oleskan lubrikan di ujung enema.
6. Dengan satu tangan, pisahkan bokong untuk mengekspos
anus. Dengan tangan lain, pegang botol enema, dan secara
perlahan masukkan ujung enema ke dalam rektum. Pastikan
arah ujung enema mengarah ke umbilikus.
7. Masukkan isi enema secara perlahan.
8. Tarik ujung enema secara perlahan dan berikan kertas tisu
kepada pasien yangdigunakan untuk mengelap lubrikan dan
memberikan tekanan pada anus. Minta pasien untuk menahan
selama mungkin.
9. Tunggu 5-10 menit agar larutan enema bekerja.
10. Minta pasien ke toilet jika dibutuhkan; cek feses pasien setelah
pasien berhasil buang air besar.
Referensi
Keir L, Wise B, Krebs C, & Kelley-Arney C 2007, Medical assisting:
administrative and clinical competencies, 6th edn. Cengage
Learning, Stamford.
- 983 -
70. PERAWATAN KANTUNG KOLOSTOMI
Tingkat keterampilan: 4A
Prosedur
1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien.
2. Persiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan tindakan dan kenakan sarung
tangan.
4. Lepas kantung kolostomi yang lama secara perlahan untuk
mencegah iritasi kulit.
5. Buang kantung kolostomi yang lama ke tempat sampah limbah
medis.
6. Setelah semua perlatan dilepas, bersihkan daerah sekitar stoma
secara perlahan dengan handuk atau kertas tisu bersih. Buang
sampah medis ke tempatnya.
7. Amati kulit di sekitar stoma. Nilai adanya kemerahan, iritasi,
kulit yang terkelupas. Catat temuan pada rekam medis.
8. Cuci kulit di sekitar stoma dengan sabun. Bilas dan keringkan
secara perlahan.
9. Oleskan salep, lubrikan, atau krim pada kulit di sekitar stoma.
Oles secara tipis. Hindari penumpukan obat topikal di kulit.
10. Siapkan kantung kolostomi yang baru. Pastikan klem kolostomi
terpasang dengan baik.
11. Ketika memasang kantung baru, segel seluruh daerah untuk
mencegah kebocoran.
12. Amati warna, jumlah, konsistensi, dan frekuensi feses. Catat
temuan di rekam medis.
Referensi
Acello B 2005, Nursing assisting: essentials for long term care. 2nd
edn, Thomson, New York.
- 984 -
K. SISTEM GINJAL DAN SALURAN KEMIH
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Menilai ukuran dan kontur ginjal
2. Menilai apakah terdapat proses inflamasi pada ginjal
3. Menilai kemungkinan terdapat batu dan pielonefritis
4. Menilai tinggi kandung kemih di atas simfisis pubis
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien prosedur dan tujuan pemeriksaan.
2. Posisikan pasien berbaring dengan rileks.
3. Ekspos bagian abdomen dari daerah prosesus sipoideus sampai
dengan simpisis pubis.
4. Pemeriksa berdiri di sisi kanan pasien. Untuk melakukan
palpasi ginjal kiri, pemeriksa sebaiknya berdiri di sisi kiri
pasien.
5. Letakkan tangan kanan di bawah pinggang pasien tepat di
bawah kosta ke-12 dan jari-jari tangan menyentuh sisi bawah
sudut kostovertebra. Kemudian dorong ginjal ke arah anterior.
6. Tangan kiri diletakkan di kuadran kiri atas abdomen.
Referensi
Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China, h. 343.
- 986 -
72. PEMASANGAN KATETER URETRA
Tingkat Keterampilan: 4A
3. Handschoon steril
4. Kasa dan antiseptik (povidone iodine)
5. Doek bolong
6. Pelicin – jelly
7. Pinset steril
8. Klem
9. NaCl atau aqua steril
10. Spuit 10 CC
11. Urine bag
Teknik Tindakan
1. Lakukan informed consent kepada pasien karena tindakan ini
adalah tindakan invasif. Pasien perlu mengetahui bahwa
tindakan akan terasa nyeri dan terdapat risiko infeksi dan
komplikasi permanen.
2. Persiapkan alat dan bahan steril dalam bak steril (termasuk
mengeluarkan kateter dari bungkus pertamanya).
3. Lakukan tindakan aseptik antiseptik dengan:
- Mencuci tangan menggunakan antiseptik
- Menggunakan sarung tangan steril
- Melakukan desinfeksi meatus eksternus, seluruh penis,
skrotum dan perineum
- Melakukan pemasangan doek bolong
1. Keluarkan kateter dari bungkus keduanya.
- 987 -
2. Masukkan jelly ke dalam spuit tanpa jarum, semprotkan
ke uretra. Tutup meatus agar jelly tidak keluar.
3. Ambil kateter dengan memegang ujung kateter dengan
pinset, sedangkan pangkal kateter (bagian yang
bercabang) dibiarkan atau dikaitkan pada jari manis dan
kelingking.
4. Masukkan kateter secara perlahan.
Analisis/ Interpretasi
Indikasi pemasangan kateter, yaitu:
1. Untuk menegakkan diagnosis
- Mengambil contoh urin wanita untuk kultur.
- Mengukur residual urin pada pembesaran prostat.
- Memasukkan kontras seperti pada sistogram.
- Mengukur tekanan vesika urinaria pada sindroma
kompartemen abdomen
- 988 -
- Mengukur produksi urin pada penderita shock untuk
melihat perfusi ginjal
- Mengetahui perbaikan atau perburukan trauma ginjal
dengan melihat warna urin
2. Untuk terapi
- Mengeluarkan urin pada retensi urin
- Mengirigasi/bilas vesika setelah operasi vesika, tumor vesika
atau prostat
- Sebagai splint setelah operasi uretra pada hipospadia
- Untuk memasukkan obat ke vesika pada karsinoma vesika
Referensi
1. S. Vahr, H. Cobussen-Boekhorst et al. Catheterisation –
Urethral intermittent in adults – Dilatation, urethral intermittent
in adults. EAUN Good Practice in Health Care. 2013.
2. http://www.osceskills.com/e-learning/subjects/urethral-
catheterisation-male/
- 989 -
L. SISTEM REPRODUKSI
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Informed consent: Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan,
tujuan, dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
Informasikan bahwa pemeriksaan yang akan dilakukan tidak
menyebabkan nyeri namun pasien mungkin akan merasa tidak
nyaman.
2. Persiapkan alat dan bahan.
3. Minta pasien untuk mengosongkan kandung kencingnya
terlebih dahulu.
4. Minta pasien melepaskan celana dan berbaring di meja periksa
dengan posisi litotomi.
5. Nyalakan lampu dan diarahkan ke arah genitalia
6. Pemeriksa mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan.
7. Sentuh paha sebelah dalam terlebih dahulu, sebelum
menyentuh daerah genital ibu.
8. Perhatikan labia, klitoris dan perineum, apakah terdapat parut,
lesi, inflamasi atau retakan kulit.
9. Pisahkan labia majora dengan dua jari, memeriksa labia minora,
klitoris, mulut uretra dan mulut vagina
10. Palpasi labia minora. Apakah terdapat benjolan, cairan, ulkus
dan fistula. Rasakan apakah ada ketidakberaturan atau
benjolan dan apakah ada bagian yang terasa nyeri.
- 990 -
11. Periksa kelenjar Skene untuk melihat adanya keputihan dan
nyeri. Dengan telapak tangan menghadap ke atas masukkan jari
telunjuk ke dalam vagina lalu dengan lembut mendorong ke
atas mengenai uretra dan menekan kelenjar pada kedua sisi
kemudian langsung ke uretra
12. Periksa kelenjar Bartholin untuk melihat apakah ada cairan dan
nyeri. Memasukkan jari telunjuk ke dalam vagina di sisi bawah
mulut vagina dan meraba dasar masing-masing labia majora.
Dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari, mempalpasi
setiap sisi untuk mencari apakah ada benjolan atau nyeri.
13. Minta ibu untuk mengejan ketika menahan labia dalam posisi
terbuka. Periksa apakah terdapat benjolan pada dinding
anterior atau posterior vagina
Pemeriksaan In spekulo
1. Pasang spekulum cocor bebek dan sesuaikan sehingga seluruh
leher rahim dapat terlihat.
2. Spekulum cocor bebek difiksasi pada posisi terbuka sehingga
pandangan di leher rahim dapat terjaga selama pemeriksaan.
3. Bersihkan lendir dan getah vagina apabila menghalangi
pandangan ke leher rahim.
4. Periksa leher rahim apakah ada kecurigaan kanker leher rahim,
atau terdapat servisitis, ektopion, tumor, ovula Naboti atau
luka.
5. Lepaskan spekulum dan letakkan ke dalam wadah berisi
larutan klorin 0.5%
Pemeriksaan bimanual:
1. Pemeriksa dalam posisi berdiri.
2. Tangan kiri diletakkan di atas abdomen. Kemudian masukkan
jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan pemeriksa yang
sudah diberi gel lubrikan ke dalam vagina.
3. Nilai dinding vagina. Apakah teraba masa, atau ada infiltrasi
masa?
4. Nilai porsio: konsistensi, ukuran, besar, ektopi, adanya masa,
adanya nyeri goyang porsio.
5. Nilai korpus uteri: konsistensi, ukuran, posisi
(antefleksi/retrofleksi), adanya benjolan atau masa
6. Nilai adneksa: adanya nyeri tekan, masa/benjolan, tegang/kaku
(pada penyakit radang panggul/PRP, perdarahan
intraabdomen).
7. Nilai kavum Douglasi: menonjol atau tidak (adanya masa,
cairan).
8. Kemudian, keluarkan jari tangan pemeriksa secara perlahan.
9. Bersihkan kembali area vulva dengan kasa kering atau yang
diberi antiseptik.
10. Pemeriksaan colok dubur (rectal touché) dapat dilakukan pada
pasien anak atau wanita yang belum menikah.
- 991 -
11. Setelah selesai melakukan pemeriksaan, lepas sarung tangan di
dalam larutan klorin.
12. Minta pasien mengenakan kembali pakaian dalamnya dan
komunikasikan temuan klinis yang didapatkan saat
pemeriksaan.
13. Catat hasil pemeriksaan dalam rekam medis pasien dan jika
diperlukan lakukan pemeriksaan penunjang atau rujukan.
14. Beritahukan pasien apabila diperlukan kunjungan selanjutnya.
Referensi
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Pencegahan
Kanker Leher Rahim dan Kanker Payudara.Jakarta:Depkes RI. 2007
Tingkat Keterampilan: 4A
Jenis Keterampilan
1. Pemeriksaan obstetrik (penilaian serviks, dilatasi
serviks/pembukaan serviks, selaput ketuban, presentasi janin
dan penurunan kepala)
2. Menolong persalinan sesuai asuhan persalinan normal (APN)
3. Pemecahan selaput ketuban sesaat sebelum melahirkan
4. Anestesi lokal di perineum
5. Episiotomi
6. Postpartum: pemeriksaan tinggi fundus uteri, kelengkapan
plasenta
7. Memperkirakan / mengukur kehilangan darah sesudah
melahirkan
8. Menjahit luka episiotomi serta laserasi derajat 1 dan 2.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan jenis dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
2. Cuci tangan sebelum pemeriksaan.
3. Minta pasien berbaring di meja pemeriksa.
4. Lakukan palpasi untuk menilai fundus uteri.
5. Palpasi uterus, pastikan uterus berkontraksi dengan baik dan
tidak terjadi perdarahan per vaginam. Lakukan palpasi pada:
• 2-3 kali dalam 15 menit pertama pasca salin
• Setiap 15 menit pada 1 jam pertama pasca salin
• Setiap 20-30 menit pada jam kedua pasca salin
• Lakukan asuhan yang sesuai untuk menatalaksana atonia
uteri jika uterus tidak berkontraksi dengan baik
6. Evaluasi dan estimasi jumlah kehilangan darah
7. Periksa tekanan darah, nadi dan keadaan kandung kemih ibu
setiap 15 menit selama 1 jam pertama pasca salin dan setiap 30
menit selama jam kedua pasca salin.
8. Periksa temperatur ibu setiap jam selama dua jam pertama
pasca salin dan lakukan tindakan yang sesuai untuk temuan
tidak normal.
9. Tanyakan kepada ibu mengenai cairan nifas: jumlah, warna,
bau.
10. Deteksi dan mengobati kelainan payudara yang dapat
menghambat produksi ASI. Nilai adanya:
a. Puting yang terbenam
b. Puting lecet
c. Mastitis
11. Informasikan kelainan yang ditemukan kepada pasien dan cara
mengatasinya.
- 999 -
Analisis Hasil Pemeriksaan
Beberapa perubahan anatomis pasien post partum yang perlu
dinilai antara lain
1. Fundus uteri
Setelah melahirkan, setiap hari fundus uteri akan teraba
semakin mengecil sampai dengan kembali ke dalam rongga
pelvis.
2. Lochia
Lochia merupakan istilah untuk cairan yang keluar dari uterus
selama masa nifas. Jenis lochia:
a. Lochia rubra: berwarna merah karena mengandung darah
dan jaringan desidua. Berlangsung sesaat setelah proses
melahirkan dan berlanjut sampai dengan dua sampai tiga
hari post partum.
b. Lochia serosa: berwarna pink atau lebih pucat
dibandingkan lochia rubra. Lochia ini mengandung cairan
serosa, jaringan desidual, leukosit dan eritrosit. Merupakan
transisi dari lochia rubra ke lochia alba.
c. Lochia alba: berwarna krim putih dan mengandung leukosit
dan sel-sel desidual. Mulai pada hari ke sepuluh post
partum dan berlangsung sampai dengan dua sampai empat
minggu post partum.
- 1000 -
3. Payudara
Pasca persalinan aktifitas prolaktin meningkat dan
mempengaruhi kelenjar mamae untuk menghasilkan air susu,
sementara oksitosin menyebabkan kontraksi mammae yang
membantu pengeluaran air susu. Beberapa kelainan pada
payudara yang dapat menghambat prosuksi ASI antara lain:
a. Puting terbenam
Puting yang terbenam setelah kelahiran dapat dicoba ditarik
dengan menggunakan nipple puller beberapa saat sebelum
bayi disusui.
b. Puting lecet
Puting lecet biasanya terjadi karena perlekatan ibu-bayi
saat menyusui tidak benar. Periksa apakah perlekatan ibu-
bayi salah. Periksa juga kemungkinan infeksi Candida yang
ditandai dengan kulit merah, berkilat dan terasa sakit.
Pasien dapat terus menyusui apabila luka tidak begitu
sakit, bila sangat sakit ASI dapat diperah. Olesi puting
dengan ASI dan biarkan kering serta jangan mencuci
daerah puting dan areola dengan sabun.
c. Mastitis
Mastitis adalah peradangan payudara yang terjadi pada
masa nifas atau sampai dengan 3 minggu pasca-persalinan.
Disebabkan oleh sumbatan saluran susu dan pengeluaran
Asi yang kurang sempurna. Tindakan yang dapat dilakukan
adalah:
- Kompres hangat
- Masase pada payudara untuk merangsang pengeluaran
oksitosin agar ASI dapat menetes keluar.
- Pemberian antibiotika.
- Istirahat dan pemberian obat penghilang nyeri bila perlu.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013.
2. Varney H, Kriebs JM, Gegor CL. Varney’s midwifery. 4th ed.
USA: Jones and Bartlett Publishers. 2004. P1041-1043.
3. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu
Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Ed 4. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008. P379-380.
- 1001 -
76. PERAWATAN LUKA POST PARTUM
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
1. Bersihkan daerah vulva dari depan ke belakang setelah buang
air kecil atau besar dengan sabun dan air
2. Ganti pembalut dua kali sehari
3. Gunakan pakaian/kain yang kering. Segera ganti apabila basah.
4. Cuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah
membersihkan daerah kelamin
5. Hindari menyentuh daerah luka episiotomi atau laserasi.
6. Jika terdapat pus/cairan maka luka mengalami infeksi, buka
luka, drain, Angkat kulit nekrotik, jahitan subkutis dan lakukan
debridement. Lakukan jahitan situasi
7. Abses tanpa selulitis berarti infeksi bersifat superfisial, tidak
perlu antibiotik per oral. Jika abses dengan selulitis berikan
antibiotik peroral: Ampisilin 4 x 500 mg ditambah metronidazol
3 x 500 mg selama 5 hari.
8. Kompres luka dan ajarkan pasien
9. Jaga kebersihan ibu
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013.
2. Indarti J, Kayika, Ocviyanti D, Kemal A. Buku ajar Obstetri dan
Ginekologi. Keterampilan Klinis Dasar. Bina Pustaka. Jakarta.
2014.
- 1002 -
77. KOMPRESI BIMANUAL
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013.
2. Varney H, Kriebs JM, Gegor CL. Varney’s midwifery. 4th ed.
USA: Jones and Bartlett Publishers. 2004. P1273-1274.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Membantu stabilisasi pernapasan
2. Mengendalikan suhu tubuh bayi lebih baik dibandingkan
dengan inkubator
3. Menjaga kolonisasi kuman yang aman untuk bayi
4. Mencegah infeksi nosokomial
5. Kadar bilirubin bayi lebih cepat normal karena pengeluaran
mekonium lebih cepat sehingga dapa menurunkan insiden
ikterus bayi baru lahir
6. Kontak kulit ibu dengan kulit bayi membuat bayi lebih tenang
sehingga didapat pola tidur yang lebih baik
Referensi
Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013.
Tingkat Keterampilan: 4A
Konseling
1. Menyapa, memperkenalkan diri, memastikan privasi klien
2. Menanyakan informasi data klien
3. Menanyakan tujuan kunjungan dan menjawab pertanyaan.
4. Memberikan informasi umum tentang pencegahan kanker
dengan deteksi lebih dini
5. Memberikan informasi tentang pemeriksaan payudara akan
dilakukan dan menjelaskan bagaimana cara pemeriksaan
payudara dan temuan yang mungkin.
- 1005 -
Konseling pasca pemeriksaan payudara (jika pada payudara
ditemukan kelainan)
1. Memberitahukan hasil pemeriksaan payudara
2. Memberikan informasi mengenai pemeriksaan lanjutan yang
diperlukan untuk memastikan kelainan yang ditemukan di
rumah sakit rujukan.
3. Membuat dan memberikan surat rujukan.
Teknik Pemeriksaan
1. Pada saat melakukan pemeriksaan harus diingat untuk selalu
mengajarkan cara melakukan SADARI.
2. Lihat payudara dan perhatikan:
- Kedua payudara dan puting, nilai melihat apakah ada
perubahan dalam bentuk dan ukuran, bintik-bintik pada
kulit, kulit cekung, puting atau kulit berlipat, dan keluarnya
cairan dari puting.
- Kedua payudara dan ketiak, nilai apakah terdapat kista atau
massa yang menebal dan berisi cairan (tumor)
11. Gunakan ibu jari dan jari telunjuk untuk menekan puting
payudara. Perhatikan apakah keluar cairan bening, keruh atau
berdarah dari puting. Cairan keruh atau berdarah yang keluar
dari puting harus ditulis dalam catatan ibu.
- 1007 -
Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination
and History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
China. 2009. P 313.
2. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Pencegahan
Kanker Leher Rahim dan Kanker Payudara.Jakarta:Depkes RI.
2007
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Inspeksi penis, inspeksi skrotum,
2. Palpasi penis, testis, duktus spermatikus, epididimis
3. Transluminasi skrotum
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien tujuan dan prosedur pemeriksaan
2. Dokter ditemani oleh asisten dalam melakukan pemeriksaan
3. Kondisikan ruang pemeriksaan yang nyaman
4. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan
5. Bebaskan alat genital untuk pemeriksaan
Penis
1. Lakukan inspeksi pada penis, nilai kulit di sekitar penis apakah
terdapat ekskoriasi atau inflamasi.
2. Preputium
- 1010 -
3. Tarik preputium ke belakang atau minta pasien yang
melakukan, perhatikan apakah terdapat karsinoma, smegma,
atau kotoran di bawah lipatan kulit, dan gland, perhatikan
apakah terdapat ulserasi, skar, nodul, atau tanda-tanda
inflamasi.
4. Nilai posisi dari meatus uretra.
5. Tekan glans penis menggunakan ibu jari dan telunjuk, untuk
menilai apakah terdapat discharge. Jika terdapat discharge,
namun pasien mengeluhkan terdapat discharge, maka lakukan
pemijatan penis dari pangkal hingga glans untuk mengeluarkan
discharge. Sediakan tabung untuk kultur discharge.
Skrotum
1. Lakukan inspeksi, nilai kulit dan kontur dari skrotum. Angkat
skrotum untuk menilai permukaan posterior skrotum,
perhatikan apakah ada benjolan atau pelebaran pembuluh
darah vena.
2. Palpasi testis dan epididimitis menggunakan ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah. Nilai ukuran, bentuk, konsistensi, dan
perhatikan apakah terdapat nodul.
3. Palpasi korda spermatikus, menggunakan ibu jari jari-jari dari
belakang epididymis ke cincin inguinal superfisial. Perhatikan
apakah ada nodul atau pembengkakan.
4. Untuk menilai pembesaran skrotum di luar testis, dapat
dilakukan pemeriksaan transluminasi. Di dalam ruang
pemeriksaan yang gelap, arahkan sinar senter dari belakang
skrotum, jika terdapat cairan, maka akan tampak bayangan
merah dari transmisi sinar melewati cairan.
- 1011 -
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Jika preputium tidak dapat ditarik ke belakang, disebut fimosis,
dan jika setelah dapat ditarik tidak dapat dikembalikan, disebut
parafimosis.
2. Terdapatnya inflamasi pada gland, disebut balanitis, inflamasi
pada gland dan preputium, disebut balanopostitis.
3. Adanya ekskoriasi di sekitar pubis dan genital, dicurigai adanya
skabies.
4. Jika posisi meatus uretra berada di bagian ventral penis,
disebut hipospadi.
5. Terdapatnya secret berwarna kuning keruh dicurigai ke arah
urethritis gonokokus, secret bening dicurigai ke arah urethritis
non gonokokus, pemeriksaan pastinya menggunakan kultur.
6. Terdapatnya indurasi sepanjang permukaan ventral penis,
mengarah pada striktur uretera atau kemungkinan keganasan.
Adanya nyeri di daerah indurasi, kemungkinan terdapatnya
inflamasi periuretral akibat striktur uretra.
7. Adanya salah satu skrotum yang tidak berkembang, dicurigai
adanya kriptodisme.
8. Pembengkakan skrotum dapat terjadi pada hernia, hidrokel, dan
edema skrotum. nyeri dan bengkak dapat terjadi pada akut
epididymitis, akut orkhitis, torsio korda spermatikus, atau
adanya hernia strangulata.
9. Adanya nodul yang tidak nyeri pada skrotum, dicurigai ke arah
kanker testikular.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins, China,
2009.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
1. Lakukan pemeriksaan pada kista, untuk menemukan bagian
yang sangat lunak untuk dilakukan sayatan.
2. Jika tidak ditemukan, dilakukan pemberian antibiotik dan
pasien diminta untuk periksa kembali 1 minggu kemudian. Jika
ditemukan, dilakukan insisi abses bartholini:
- Siapkan alat dan bahan.
- Jelaskan kepada pasien jenis, prosedur tindakan, indikasi,
kontraindikasi dan komplikasi yang dapat terjadi.
- Cuci tangan dengan sabun.
- Persiapkan pasien. Pasien berbaring di meja periksa dengan
posisi dorsal litotomi.
- Buka dan pisahkan kedua labia dengan lebar.
- Lakukan aseptik dan antiseptik daerah kulit dan mukosa
vulva dan vagina.
- Lakukan anestesi infiltrasi di bawah mukosa labia minora
dengan lidokain 1% 2-3 ml.
- Pada abses yang besar, dapat dilakukan pungsi abses
sebelum dilakukan insisi untuk mengurangi tekanan yang
tinggi saat insisi.
- Buat insisi pada daerah vestibular melewati area fluktuasi.
- Gunakan blade no.11 untuk membuat insisi sepanjang 0,5-1
cm pada permukaan mukosa labia minora dimana terdapat
abses. Sedapat mungkin insisi berada pada daerah mukosa
di bagian dalam ring himen.
- Masukkan kateter ke dalam lubang insisi. Besar insisi harus
sedikit lebih besar dari besar kateter, sedangkan pada insisi
dan drainase standar, buat insisi yang lebih besar.
- Isi balon kateter dengan 3 cc air steril dan lepaskan jarum
dari dasar kateter. Pastikan pengisian balon tidak terlalu
berlebihan karena dapat menyebabkan tekanan yang tinggi
pada jaringan di sekitar kista dan rasa tidak nyaman pada
pasien setelah efek anastesi habis.
- Pertahankan kateter selama 3 minggu.
- 1013 -
- Informasikan kepada pasien bahwa setelah kateter dilepaskan
maka akan terbentuk lubang permanen pada tempat
pemasangan kateter.
Referensi
1. Shlamovitz GZ. Bartholin Abscess Drainage [Internet]. 2013 Dec
5th [cited 2014 April 14]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/80260-overview#a16
2. Tuggy M, Garcia J. Atlas of essential procedures. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2011. p97-100.
Tingkat Keterampilan: 4A
Referensi
Biran A, George A, Rusdianto E, Harni K. Buku panduan praktis
pelayanan kontrasepsi. Edisi 3. Jakarta: 2011.
- 1015 -
a. Injeksi Kontrasepsi
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Persiapkan alat dan bahan. Periksa tanggal kadaluarsa obat
suntik.
2. Jelaskan jenis dan prosedur tindakan yang akan dilakukan.
3. Minta pasien berbaring di meja periksa dengan posisi sesuai
kebutuhan.
4. Lakukan cuci tangan menggunakan sabun dan bilas dengan
air mengalir. Keringkan dengan handuk atau dianginkan.
5. Buka segel atau patahkan ampul obat.
6. Buka kemasan spuit disposable secara steril.
7. Gunakan sarung tangan.
8. Kencangkan jarum suntik pada spuitnya.
9. Masukkan obat kontrasepsi ke dalam spuit melalui penutup
karet atau lubang ampul dengan posisi dibalik.
10. Keluarkan udara yang ada di dalam spuit.
11. Lakukan desinfeksi lokasi penyuntikan dengan swab
alkohol.
12. Tentukan lokasi penyuntikan dengan menempatkan telapak
tangan pada trochanter mayor femur dan telunjuk pada
antero-superior spina iliaka pelvis.
13. Lebarkan jari tengah ke arah posterior sepanjang krista
iliaka.
14. Daerah ‘V’ yang terbentuk antara jari telunjuk dan jari
tengah merupakan lokasi penyuntikan.
15. Lakukan penyuntikan secara intra muscular dengan arah
tusukan 90o terhadap permukaan kulit.
16. Lakukan aspirasi untuk memeriksa ketepatan lokasi
penyuntikan.
17. Bila tidak ada darah yang keluar, suntikan obat kontrasepsi
hingga habis dan angkat jarum.
18. Tekan bekas lokasi penyuntikan dengan swab namun
jangan digosok.
- 1016 -
19. Buang sisa alat ke dalam tempat yang sudah ditentukan.
20. Cuci tangan setelah tindakan.
21. Komunikasikan kapan pasien harus kembali untuk
mendapatkan suntikan berikutnya.
Spina iliaka anterior superior (SIAS)
Lokasi injeksi
Krista iliaka
Referensi
Biran A, George A, Rusdianto E, Harni K. Buku panduan praktis
pelayanan kontrasepsi. Edisi 3. Jakarta: 2011.
Tingkat Keterampilan: 4A
Insersi IUD
1. Persiapkan alat dan bahan. Pastikan alat IUD tersegel
sempurna dan perhatikan tanggal kadaluarsa alat.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan
yang akan dilakukan. Informasikan bahwa pemeriksaan
yang akan dilakukan tidak menyebabkan nyeri namun
pasien mungkin akan merasa tidak nyaman.
3. Minta pasien melepaskan celana dan berbaring di meja
periksa dengan posisi litotomi.
4. Pemeriksa mencuci tangan dan menggunakan sarung
tangan.
5. Lakukan pemeriksaan bimanual untuk mengetahui posisi
uterus.
6. Lepas sarung tangan.
7. Buka pembungkus IUD sampai dengan setengahnya dan
lipat kebelakang.
8. Masukkan pendorong kedalam tabing inserter.
9. Letakkan kemasan IUD di atas permukaan yang datar, keras
dan bersih.
10. Dengan teknik steril, lipat IUD dan masukkan ke dalam
tabung inserter.
Retract
Stationary
Ekstraksi IUD
1. Persiapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan
yang akan dilakukan.
3. Minta pasien berbaring di meja periksa dengan posisi
litotomi.
4. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan.
5. Asepsis dan antisepsis daerah vulva dan sekitarnya.
6. Pasang spekulum.
7. Periksa apakah benang IUD terlihat di dalam vagina.
- 1019 -
8. Setelah benang terlihat, jepit benang dengan menggunakan
ring forceps.
9. Dengan perlahan tarik keluar IUD.
10. Setelah IUD keluar dari vagina, lepas spekulum.
Referensi
Biran A, George A, Rusdianto E, Harni K. Buku panduan praktis
pelayanan kontrasepsi. Edisi 3. Jakarta: 2011.
Tingkat Keterampilan: 4A
Konseling
1. Jaga pola makan sehat dan kebersihan makanan (food hygiene),
seperti menghindari makanan mentah atau setengah matang
- 1020 -
untuk mengurangi risiko listeriosis, infeksi salmonella dan
toxoplasmosis.
2. Suplementasi asam folat sebaiknya dimulai 3 bulan sebelum
konsepsi sampai usia kehamilan 12 minggu untuk mengurangi
risiko neural tube defects pada bayi dengan dosis 400
mikrogram per hari.
3. Jaga fungsi kardiovaskular dan muskular melalui latihan
jasmani seperti aerobik ringan, renang, jalan cepat, dan jogging.
4. Hindari obat-obatan yang dapat menembus sawar plasenta dan
memiliki efek teratogen terhadap janin.
5. Hindari pekerjaan yang meningkatkan risiko teratogenitas,
seperti buruh pabrik kimia (paparan zat kimia) dan pekerja di
bagian radiologi (paparan <5 rad tidak berhubungan dengan
peningkatan risiko anomali janin dan abortus).
Pemeriksaan
1. Pemeriksaan general: pemeriksaan tanda vital dan status
generalis.
2. Riwayat keluarga: kelainan bawaan, kongenital, riwayat
penyakit degeneratif pada keluarga.
3. Pemeriksaan urin: protein, glukosa, leukosit.
4. Pemeriksaan darah: skrining anemia, talasemia, kelainan sel
sabit, toksoplasmosis, sifilis (bila terdapat faktor risiko).
5. Pemeriksaan imunitas: hepatitis, rubella, dan varicella
(vaksinasi bila perlu)
6. Skrining HIV (bila ada faktor risiko).
7. Pemeriksaan gigi: kesehatan gigi dan gusi.
Referensi
Buku Ajar Obstetri dan Ginekologi Bab 1: Asuhan antenatal
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Persiapkan alat dan bahan.
- 1021 -
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
akan dilakukan.
3. Minta pasien berbaring di meja periksa.
4. Cuci tangan sebelum pemeriksaan.
Referensi
Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013.
- 1022 -
86. RESUSITASI BAYI BARU LAHIR
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik tindakan
1. Persiapkan alat dan bahan. Perlengkapan resusitasi harus
selalu tersedia dan siap digunakan pada setiap persalinan.
Penolong telah mencuci tangan dan mengenakan sarung tangan
DTT/ steril.
4. Tindakan Resusitasi
a. Sambil memotong tali pusat, beritahu ibu dan keluarga
bahwa bayi mengalami masalah sehingga perlu dilakukan
tindakan resusitasi, minta ibu dan keluarga memahami
upaya ini dan minta mereka ikut membantu mengawasi ibu.
b. Langkah awal resusitasi : Jaga bayi tetap hangat, atur posisi
bayi, isap lendir, keringkan dan rangsang taktil, reposisi.
- Posisikan kepala bayi pada posisi menghidu yaitu kepala
sedikit ekstensi dengan mengganjal bahu (gunakan
handuk/ kain yang telah disiapkan dengan ketebalan
sekitar 3 cm dan dapat disesuaikan).
- Bersihkan jalan napas dengan mengisap lendir di mulut
sedalam <5 cm dan kemudian hidung (jangan melewati
cuping hidung).
- Keringkan bayi (dengan sedikit tekanan) dan gosok muka/
dada/ perut/ punggung bayi sebagai rangsangan taktil
untuk merangsang pernapasan. Ganti kain yang basah
dengan kain yang bersih dan kering. Selimuti bayi dengan
kain kering, Bagian wajah dan dada terbuka.
- Reposisikan kepala bayi dan nilai kembali usaha napas.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan Tindakan:
1. Mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan sel
2. Memberikan gizi yang adekuat
3. Mencegah defisiensi, kelebihan dan/atau imbalans zat gizi
4. Mempercepat proses penyembuhan
Teknik Tindakan
1 Pemilihan bahan makanan harus memenuhi kecukupan gizi,
keseimbangan, cita rasa, daya cerna, daya terima masyarakat,
kuantitas dan kemampuan daya beli.
2 Pada pasien dengan DM, glukosa darah dipertahankan dalam
batas normal. Pasien dianjurkan mengganti makanan dengan
bahan makanan penukar nasi.
3 Komponen diet yang utama mempengaruhi glukosa darah
adalah karbohidrat.
4 Karbohidrat yang diberikan pada pasien dengan DM adalah
karbohidrat dengan indeks glikemik yang rendah.
• Makanan dengan indeks glikemik yang rendah (≤ 50)
melepaskan glukosa dalam peredaran darah secara perlahan
dan dalam waktu yang lama.
• Makanan dengan indeks glikemik yang tinggi (> 70)
melepaskan glukosa dalam peredaran darah dalam waktu
singkat.
5. Komposisi gizi dalam makanan harus seimbang meliputi
karbohidrat, protein, dan lemak, oleh karena presentase
konversi menjadi glukosa yang berbeda. (Karbohidrat 90-100%,
protein 58% dan lemak <10%).
- 1027 -
Tabel 14. Indeks glikemik makanan
Jenis Indeks
makanan glikemik
Glukosa 100
Madu 91
Beras merah 88
Corn flake 83
cereal
Roti putih 72
Gula meja 64
Pisang 61
Jagung 58
manis
Oatmeal 57
cookies
Ubi jalar 50
Jus jeruk 49
Makaroni 46
Es krim 38
Susu 34
Kacang 10
Analisis Tindakan/Perhatian
Untuk menu makanan standar sebaiknya memenuhi kriteria 3 B
(beragam, bergizi dan berimbang).
Tujuan untuk pemberian indeks glikemik rendah pada pasien DM:
1. Menurunkan kadar glukosa darah
2. Mencegah terjadinya hipoglikemia
3. Meningkatkan manajemen pengelolaan diet DM
Kebutuhan kalori
Laki-laki = 2600 kkal
Perempuan = 2100 kkal
- 1028 -
Referensi
Kolegium Gizi Klinik, 2014
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Tujuan jangka pendek
Mencapai target pengendalian glukosa darah dengan pemberian
injeksi insulin subkutan
2. Tujuan jangka panjang
Menghambat dan mencegah progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM.
Teknik Keterampilan
1. Persilakan pasien duduk.
2. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan kepada pasien.
3. Lakukan cuci tangan dan gunakan sarung tangan.
4. Lakukan pemberian insulin dengan injeksi subkutan (lihat
keterampilan injeksi subkutan).
Referensi
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan kepada pasien.
- 1029 -
2. Lakukan cuci tangan.
3. Minta pasien untuk duduk, pemeriksa berdiri tepat di belakang
pasien. Minta pasien sedikit menunduk untuk merilekskan otot-
otot sternokleidomastoideus
4. Lakukan palpasi menggunakan dua tangan pada leher pasien
dari arah belakang, dengan posisi jari telunjuk berada tepat di
bawah tulang krikoid
Referensi
Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edn, Lippincott Williams &
Wilkins, China, h. 166-167.
- 1030 -
90. KONSELING KASUS GANGGUAN METABOLISME DAN ENDOKRIN
Tingkat Keterampilan: 4A
Langkah konseling
Masukan
1. Terdiagnosis gangguan metabolik
2. Kemauan pasien
3. Tersedianya waktu konsultasi
4. Rekam medik
5. Ada konselor
6. Ada media konseling
7. Ada biaya konseling
Proses
1. Terlaksananya program konseling
2. Ada laporan kemajuan program diet
3. Ada tindak lanjut dari setiap laporan kemajuan
Keluaran
Gangguan metabolik terkendali, berdasarkan dengan hasil
laboratorium atau indikator klinis
Dampak
Terhindar dari komplikasi
Manfaat
1. Mengurangi risiko sakit
2. Pencegahan biaya berobat
Teknik Konseling
Lakukan teknik konseling (lihat materi Komunikasi) diawali dengan
pendahuluan, memberikan atmosfer yang aman dan rasa hormat,
serta memberikan nasihat secara proporsional.
- 1031 -
N. SISTEM HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins, China,
2009, p 481-483
- 1033 -
92. KONSELING ANEMIA DEFISIENSI BESI, THALASSEMIA DAN HIV
Tingkat Keterampilan: 4A
Langkah konseling
Proses
1. Melaksanakan metode 1. Melaksanakan metode konseling
konseling baku baku HIV
2. Ada program konseling 2. Ada program konseling HIV
anemi sesuai kausanya 3. Pasien mengikuti program
3. Pasien mengikuti program 4. Analisis kemajuan program
4. Analisis kemajuan 5. Edukasi psikologi pasien
program
Output
1. Terlaksananya program 1. Terlaksananya program konseling
konseling 2. Ada laporan kemajuan program
2. Ada laporan kemajuan 3. Ada tindak lanjut dari setiap laporan
program kemajuan
3. Ada tindak lanjut dari 4. Tercegahnya penurunan CD4 <200
setiap laporan kemajuan cell/m3
5. Terjadinya kemajuan peran diri
Dampak
Kadar hemoglobin normal 1. Terhindar dari infeksi oportunistik
2. Mampu bersosialisasi
Manfaat
1. Aktifitas keseharian 1. Tidak terjadi penularan HIV baru
normal 2. Lebih percaya diri untuk berinteraksi
2. Tumbuh kembang optimal dengan masyarakat
3. Proses reproduksi optimal 3. Kualitas hidup meningkat
4. Mengurangi resiko sakit 4. Usia harapan hidup meningkat
5. Mengurangi komplikasi
6. Angka kematian Ibu dan
Anak turun
7. Pencegahan biaya berobat
- 1034 -
Prinsip konseling pada anemia defisiensi besi adalah memberikan
pengertian kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan
penyakit dan tata laksananya, sehingga meningkatkan kesadaran
dan kepatuhan dalam berobat serta meningkatkan kualitas hidup
pasien untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi besi.
Referensi
Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2013
O. SISTEM MUSKULOSKELETAL
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Menilai bentuk tulang belakang.
2. Lakukan pemeriksaan tulang belakang, otot dan sendi yang
terkait.
3. Menemukan kelainan yang paling sering ditemukan pada
pemeriksaan tulang belakang.
Teknik Pemeriksaan
1. Mulai dengan inspeksi postur, termasuk posisi leher dan batang
tubuh saat pasien memasuki ruangan (lihat materi General
Survey bagian C. Menilai Postur dan Habitus)
2. Jelaskan kepada pasien pemeriksaan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
3. Cuci tangan 7 langkah
4. Minta pasien untuk berdiri dan membuka bajunya
5. Mulai pemeriksaan dari leher dengan meminta pasien
menggerakan lehernya ke bawah, ke atas, samping kiri dan
samping kanan, lihat apakah ada kekakuan gerak leher
6. Minta pasien untuk berdiri membelakangi pemeriksa dan mulai
pemeriksaan dengan inspeksi dari belakang:
- 1035 -
a. Lihat prosesus spinosus (biasanya paling terlihat di C7 dan
T1)
b. Otot-otot paravertebral di kedua sisi garis tengah
c. Kepala iliaka (yang menonjol)
d. Posterior superior tulang iliaka, biasanya ditandai dengan
adanya skin dimples
e. Servikal bentuk lordosis, toraksal bentuk kifosis, lumbal
bentuk lordosis dan sakrum kifosis (dilihat dari samping)
b. Kolumna spinalis
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China.
2009.
- 1039 -
94. PEMERIKSAAN EKSTREMITAS ATAS
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Melakukan pemeriksaan:
- bahu dan lengan atas
- siku dan lengan bawah
- pergelangan tangan dan tangan
Teknik Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan secara aktif dan pasif.
6. Manuver
- crossover test: palpasi dan bandingkan kedua sendi, cari
apakah ada nyeri atau bengkak. Aduksi lengan pasien
menyeberangi dada. Nilai sendi akromioklavikular. Hasil
positif bila didapatkan nyeri pada sendi terseb ut.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Melakukan pemeriksaan dan menemukan kelainan pada:
- panggul dan tungkai atas.
- sendi lutut dan tungkai bawah.
- pergelangan kaki dan kaki.
Teknik Pemeriksaan
0% 50% 100%
Waktu, persentase siklus
1
2
1 dan 2 = fase berjalan (stance)
3 4
3 dan 4 = fase mengayun (swing)
Durasi siklus
2. Pemeriksaan lutut
- Kelemahan quadrisep ditandai dengan tidak mampunya lutut
diekstensikan melawan tahanan.
- Bengkak di sekitar patela menandakan bursitis prepatelar.
Bengkak di sekitar tuberkulum tibial menandakan bursitis
infrapatelar atau bila lebih medial menandakan bursitis
anserine.
- Osteoartritis pada tulang rawan serta batas sendi terjadi jika
ada deformitas genu varum dan kekakuan selama kurang
dari 30 menit atau kurang. Krepitus mungkin ada.
- Robekan meniskus dengan nyeri setelah trauma sering terjadi
pada meniskus medial.
- Nyeri pada ligamentum kolateral medial setelah trauma,
kemungkinan adanya robekan ligamentum kolateral medial
dan sebaliknya.
- 1059 -
- Nyeri pada ligamentum kolateral lateral setelah trauma,
kemungkinan adanya robekan ligamentum kolateral lateral.
- Nyeri pada tendon atau ketidakmampuan untuk
meregangkan (ekstensi) lutut kemungkinan adanya robekan
parsial atau komplit dari tendon patela.
- Nyeri dan krepitus menandakan adanya kerusakan dari
permukaan bawah dari patela yang berartikulasi dengan
femur.
- Nyeri dengan tekanan dan pergerakan saat kontraksi
quadrisep (patellar grinding test positif) menandakan
chondromalasia atau degeneratif patela (sindrom
patelofemoral).
- Bengkak di atas dan sekitar patela menandakan penebalan
sinovial atau efusi di sendi lutut.
- Bengkak atau teraba panas di daerah lutut mengindikasikan
sinovitis atau efusi yang tidak nyeri dari osteoarthritis.
- Bursitis prepatelar (“housemaid knees”) akibat dari terlalu
sering berlutut; bursitis anserine akibat sering berlari.
- Deformitas valgus dan fibromialgia dapat berupa akibat
gangguan struktur sendi.
- Gelombang cairan atau tonjolan dari bagian medial antara
patela dan femur merupakan tanda positif bulge sign,
konsisten dengan adanya efusi.
- Ketika sendi lutut mengandung efusi yang besar, tekanan
dari suprapatela mengalirkan cairan ke ruang di sekitar
patela. Cairan yang dapat terpalpasi merupakan tanda positif
dari ballon sign. Cairan yang kembali ke suprapatelar
mengkonfirmasi adanya efusi.
- Cairan yang dapat dipalpasi saat kembali ke kantong
mengkonfirmasi lebih lanjut adanya efusi yang besar.
- Defek di tendon yang nyeri dan bengkak ditemukan pada
ruptur tendon achilles, Thompson test positif.
- Nyeri dan penebalan dari tendon Achilles di atas kalkaneus
menandakan tendinitis Achilles.
- Tidak adanya plantar fleksi mengindikasikan terdapat ruptur
tendon Achilles. Tanda-tanda lain seperti nyeri tiba-tiba yang
sangat berat, seperti terkena luka tembak, adanya ekimosis
dari betis sampai ke tumit dapat juga ditemukan.
- Pada osteoartritis terdapat krepitus pada fleksi dan ekstensi
sendi lutut.
- Bunyi klik pada sendi lutut pada pemeriksaan Mc Murray
test, rotasi eksternal dan ekstensi kaki menandakan
kemungkinan robeknya bagian posterior dari meniskus
medial. Robekan ini mungkin menggantikan jaringan
meniskal, menyebabkan ke”kunci”nya ekstensi penuh dari
lutut.
- Nyeri atau adanya gap di garis sendi medial menunjukkan
kelemahan ligamen dan adanya robekan parsial dari
- 1060 -
ligamentum kolateral medial. Kerusakan paling sering pada
bagian medial.
- Nyeri atau adanya gap di garis sendi lateral menunjukkan
kelemahan ligamen dan adanya robekan dari ligamentum
kolateral lateral.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China,
2009.
Tingkat Keterampilan: 4A
Referensi
Robroek, WCL, Beek, Van de G. Skills in Medicinie: Bandages and
Bandaging Techniques. Mediview: Maastricht University,
Netherlands, 2009, p 38.
- 1062 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
Bandages
1. Circular bandaging
- Putaran pertama, perban harus ditempel secara diagonal di
bagian tubuh yang akan diperban
- Putaran kedua harus direkatkan pada sudut yang tepat dan
bagian panjang ekstremitas
- Bagian diagonal dari perban yang tidak menempel harus
dilipat diantara lapisan pertama dan kedua dari perban
2. Spiral bandaging
- Memulai putaran dari bawah menuju keatas
- Setiap satu putaran harus menutupi 1/3 bagian perban
dibawahnya
- Putaran terakhir melipat bagian perban yang tidak menempel
ke perban di bawahnya
- Teknik ini lebih baik memakai perban elastik
3. Figure-of-eight bandage
- Ikuti putaran seperti lingkaran di dekat sendi, perban harus
menyebar ke atas dan ke bawah. Putaran tersebut harus
menyilang di tempat dimana sendi tersebut fleksi
- Bentuk perban seperti ini dapat juga dibuat dengan memulai
dari atas atau bawah lipatan sendi. Titik dimana perban
menyilang akan terletak di bagian sendi yang akan fleksi atau
esktensi, dimana bagian tersebut tidak tertutup perban
4. Recurrent bandaging
- Perban digulung secara berulang dari satu sisi ke sisi lainnya
di bagian tubuh yang tumpul, misal: jari tangan dan kaki
- Selanjutnya di fiksasi dengan teknik circular bandaging atau
spiral bandaging
5. Reverse spiral bandage
- Perban dilipat kembali ke belakang dengan sendirinya 180°
setiap putaran.
- Bentuk seperti V yang terbentuk akibat lipatan kembali ke
belakang adalah untuk menutupi bagian tubuh yang
menonjol dengan pas
- 1063 -
- Teknik ini dipakai bila menggunakkan perban non elastik
- Saat ini, teknik ini jarang digunakan
Sling
1. Pemeriksa berdiri di belakang pasien
2. Minta pasien menekuk siku dan taruh lengan bawah di bagian
dada. Pastikan bahwa tangan 10 cm lebih tinggi dari siku
3. Pasang kain segitiga diantara lengan yang cedera dan dada.
Selipkan kain melalui lekukan siku diantara lengan dan dada
jika lengan yang digunakan untuk bergerak nyeri
4. Lipat kain segitiga mengelilingi lengan bawah dan taruh bagian
ujung kain pada bahu di lengan yang sakit
5. Ikat kedua ujung kain secara bersama di bagian bahu yang
sehat dengan simpul mati. Sebelum diikat mati pastikan lengan
bergantung di tempat yang benar dan kedua bahu relaksasi ke
arah bawah
6. Pastikan lengan tengah beristirahat sepenuhnya di dalam kain
segitiga
7. Lipat kain segitiga di siku dan fiksasi dengan plester
Sling elevasi
1. Lihat langkah-langkah sling (langkah 1-3)
2. Tekuk siku dan taruh jari-jari tangan pada lengan yang cedera
di tulang collar
3. Lipat kain segitiga melewati lengan bawah dan fiksasi ujung
kain dengan menggunakan safety pin
Referensi
Robroek, WCL, Beek, Van de G. Skills in Medicinie: Bandages and
Bandaging Techniques. Mediview: Maastricht University,
Netherlands, 2009, p 39-43, 76-77.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
Kulit
Inspeksi dan palpasi
- Warna lihat apakah banyak peningkatan pigmentasi,
hilangnya pigmentasi, kemerahan, pucat, sianosis dan
kekuningan di kulit
- Kelembaban lihat dan rasakan apakah kulit pasien kering,
banyak keringat atau berminyak
- Suhu dengan menggunakan punggung jari tangan untuk
memeriksa ini. Sebagai tambahan untuk mengidentifikasi
kehangatan generalisata atau kulit yang dingin, catat
temperatur di setiap tempat yang kemerahan
- Tekstur nilai dan rasakan kelembutan atau kekasaran kulit
pasien
- Turgor dan mobilitas angkat sedikit dari lipatan kulit dan
catat kemudahannya dalam terangkat dan kembali ke bentuk
semula
Lesi kulit
Observasi setiap kelainan yang ditemukan
- Tentukan lokasi anatomi dan distribusinya di tubuh
generalisata, lokal, universalis, difus, sirkumskripta, unilateral,
bilateral, regional
- Pola dan bentuk liniar, anular, arsinar polisiklik,
korimbiformis
- 1065 -
- Tipe lesi kulit setinggi permukaan (makula), diatas
permukaan kulit (urtika, vesikel, bula, kista, pustul, papul,
nodus), lesi sekunder (ekskoriasi, krusta, skuama, erosi)
- warna
Rambut
Inspeksi dan palpasi rambut. Catat kuantitas, distribusi rambut
dan teksturnya.
Kuku
Inspeksi dan palpasi kuku jari tangan dan kuku jari kaki. Lihat
warna, bentuk dan kelainan bentuk. Garis longitudinal seperti
pigmen mungkin dapat terlihat pada orang normal dengan kulit
yang lebih gelap
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins, China,
2009, p 168-170
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
Efloresensi terdiri dari efloresensi primer dan sekunder.
Efloresensi primer, yaitu:
• Makula: kelainan kulit berbatas tegas setinggi permukaan kulit,
berupa perubahan warna semata-mata.
• Papula: penonjolan di atas permukaan kulit, sirkumskrip,
berukuran diameter <0,5 cm dan berisi zat padat.
• Plak: peninggian di atas permukaan kulit, permukaan rata dan
berisi zat padat, diameter ≥2 cm
• Urtika: edema setempat yang timbul mendadak dan hilang
perlahan-lahan.
• Nodus: massa padat sirkumskrip, terletak di kutan dan
subkutan, dapat menonjol.
• Nodulus: nodus yang berukuran <1 cm
• Vesikel: gelembung berisi cairan serum, beratap, berukuran
<0,5 cm garis tengah, mempunyai dasar. Vesikel yang berisi
darah disebut vesikel hemoragik.
• Bula: vesikel yang berukuran lebih besar, disebut juga dengan
bula hemoragik, bula purulen dan bula hipopion.
• Pustul: vesikel yang berisi nanah, bila nanah mengendap di
bagian bawah vesikel disebut dengan vesikel hipopion.
- 1067 -
• Kista: ruangan berdinding dan berisi cairan, sel maupun sisa
sel. Kista tidak terbentuk karena peradangan, namun dapat
terjadi radang.
• Tumor: penonjolan di atas permukaan kulit yang merupakan
pertumbuhan sel atau jaringan tubuh.
Referensi
Djuanda A, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai
Penerbit FKUI: Jakarta. 2007. Hal 96-97.
- 1068 -
b. Pewarnaan Gram
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Ambilah bahan untuk pemeriksaan laboratorium dan taruh di
kaca objek
2. Rekatkanlah sediaan dengan api, biarkan dingin lagi
3. Pulas dengan gentianviolet selama 30 detik
4. Cuci dengan aquades
5. Pulas dengan jodium selama 30 detik
6. Cuci dengan aquades
7. Buang warna dengan alkohol 96% sampai tidak ada warna violet
dilepaskan lagi oleh sediaan
8. Cuci benar-benar dengan aquades
9. Pulas dengan safranin/ water fuchsin selama 60 detik
10. Cuci dengan aquades
11. Biarkan kering dan periksalah
Referensi
Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat:
Jakarta. 2008. Hal 191-192.
Tingkat Keterampilan: 4A
Referensi
Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat:
Jakarta. 2008. Hal 193-194.
d. Pulasan Ziehl-Nielsen
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Ambilah bahan untuk pemeriksaan laboratorium dan taruh di
kaca objek
2. Rekatkanlah sediaan yang sudah kering dengan api
3. Taruhlah agak banyak karbol-fuchsin di atas kaca objek dan
panasilah kaca itu dengan hati-hati sampai nampak uap
(selama 5 menit ) jangan sampai mendidih, diamkan hingga
dingin
4. Cuci dengan aquades
5. Buanglah warna dengan alkohol asam sampai tidak ada warna
merah dilepaskan lagi oleh sediaan
6. Cuci dengan aquades
7. Pulas dengan metilen biru selama 1 ½ menit-2 menit
8. Cuci dengan aquades
9. Biarkan kering dan periksalah
- 1070 -
Analisis Hasil Pemeriksaan
Jasad renik yang tahan asam menjadi merah, sedangkan yang tidak
tahan dan sel-sel lain menjadi warna biru
Referensi
Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian
Rakyat:Jakarta. 2008. Hal 192-193.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Bagian kulit/rambut/kuku yang intak (tidak luka) sebelumnya
dibersihkan dengan swab alkohol, untuk daerah yang tidak
intak/luka dapat dibersihkan dengan larutan fisiologis
2. Ambilah bahan untuk pemeriksaan laboratorium dan taruh di
kaca objek
- Kulit tidak berambut dari bagian tepi kelainan sampai
dengan bagian sedikit si luar kelainan sisik kulit
- Kulit berambut rambut dicabut pada bagian yang
mengalami kelainan, kulit di daerah tersebut dikerok untuk
mengumpulkan sisik kulit
- Kuku diambil dari permukaan kuku yang sakit dan
dipotong sedalam-dalamnya hingga mengenai seluruh tebal
kuku
- Mukosa mulut diambil dari permukaan mukosa (lidah,
bukal) dengan cara mengusapkan lidi kapas (digeser dan
diputar 3600) sambil agak ditekan.
3. Kemudian ditambahkan 1-2 tetes larutan KOH
- KOH 10% untuk sediaan rambut
- KOH 20% untuk sediaan kulit dan kuku (untuk kuku
ditambahkan DMSO 40%)
4. Setelah dicampur dengan larutan KOH, tunggu 15-20 menit
untuk melarutkan melisiskan jaringan
5. Dapat dipercepat dengan dengan melakukan pemanasan
sediaan basah di atas api kecil dan dilewatkan beberapa kali
(jangan sampai menguap).
6. Setelah itu langsung dapat dilihat di bawah mikroskop
- 1071 -
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Pada sediaan kulit dapat terlihat adalah hifa, sebagai 2 garis
sejajar, terbagi oleh sekat dan bercabang, artrospora, atau hifa
pendek dengan spora bulat berkelompok, atau blastospora dan
pseudohifa.
2. Pada sediaan kuku dapat terlihat hifa panjang, artrospora, atau
pseudohifa dan blastospora.
3. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora dapat tersusun
di luar batang rambut (ektotriks) atau di dalam batang rambut
(endotriks), atau hifa panjang atau artrospora.
Referensi
Djuanda A, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai
Penerbit FKUI : Jakarta. 2007. Hal 96-97.
Q. LAIN-LAIN
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. menilai kondisi kesehatan bayi
2. penilaian pada menit pertama menentukan apakah perlu
tindakan atau penatalaksanaan khusus
3. penilaian lima menit setelah lahir untuk melihat respon bayi
terhadap resusitasi yang sudah diberikan
Waktu Penilaian
Skor apgar dinilai sebanyak 3 kali :
- sesaat setelah lahir
- 1072 -
- satu menit setelah lahir
- lima menit setelah lahir
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Ed. Lippincott Williams&Wilkins. China. 2009.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada orang tua pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
2. Cuci tangan 7 langkah.
3. Posisikan bayi duduk di meja periksa atau meminta ibu bayi
memangku bayi.
4. Inspeksi fontanela anterior dan posterior, lihat apakah ada
pembesaran.
5. Palpasi daerah sutura dan fontanel. Palpasi sutura terasa
seperti bubungan dan fontanela terasa seperti cekungan yang
lembut. Pulsasi yang teraba di fontanela merefleksikan pulsasi
perifer.
6. Periksa fontanela secara hati-hati, karena kepenuhannya
merefleksikan tekanan intrakranial.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China.
2009. p 765
- 1073 -
102. PEMERIKSAAN REFLEKS PRIMITIF
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
Refleks moro
1. Jelaskan kepada ibu pasien pemeriksaan yang akan dilakukan
dan prosedurnya
2. Cuci tangan 7 langkah
3. Posisikan bayi dalam posisi semi-tegak
4. Biarkan kepala bayi sesaat terjatuh ke belakang saat diangkat,
lalu dengan segera tangan pemeriksa membantu untuk
menahan kepala
5. Respon bayi akan mengabduksikan dan mengekstensikan
lengan, dan memfleksikan ibu jari, diikuti dengan fleksi dan
aduksi dari ekstremitas atas
Refleks mengisap
1. Taruh jari telunjuk pemeriksa di filtrum (terletak diantara bibir
bagian atas dan hidung) atau di bawah bibir bagian bawah
2. Mulut bayi akan seperti mencucu
Refleks melangkah/menendang
1. Pegang bayi di antara batang tubuhnya dan turunkan sampai
kedua kakinya menyentuh permukaan yang datar
2. Biarkan salah satu kakinya menyentuh meja pemeriksaan yang
datar
3. Panggul dan lutut dari kaki yang menyentuh permukaan datar
akan mengalami fleksi dan satu kakinya yang tidak menyentuh
permukaan datar akan melangkah maju
4. Loncatan alternatif akan terjadi
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China.
2009. p 794-795.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada ibu pasien pemeriksaan yang akan dilakukan
dan prosedurnya
2. Dekati anak secara perlahan, dengan menggunakan mainan
atau objek untuk mengalihkan perhatian
3. Lakukan seluruh pemeriksaan dengan anak berada di
pangkuan ibunya
4. Bicara dengan perlahan kepada anak atau ikuti suara anak
untuk mengalihkan perhatian
5. Tanya ibu pasien tentang perkembangan anak hingga saat ini
6. Setelah itu mulai lakukan pemeriksaan dengan Denver
Develepmental Screening Test (DDST)
- 1075 -
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. China.
2009. p 752-754.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Pasang ikatan spigmomanometer pada lengan atas dan pompa
hingga tekanan 100 mmHg (jika tekanan sistolik < 100 mmHg,
pompa sampai tekanan di pertengahan nilai sistolik dan
diastolik).
2. Biarkan tekanan pada posisi tersebut selama 10 menit.
3. Lepas ikatan dan tunggu sampai tanda-tanda statis darah
hilang kembali. Statis darah telah berhenti jika warna kulit
pada lengan yang telah diberi tekanan tadi kembali lagi seperti
warna kulit sebelum diikat atau menyerupai warna kulit pada
lengan lainnya (yang tidak diikat).
4. Cari dan hitung jumlah ptekie yang timbul dalam lingkaran
bergaris tengah 5 cm kira-kira pada 4 cm distal fossa cubiti.
Tingkat Keterampilan: 4A
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat lahir kurang dari 2500
gram tanpa memandang masa kehamilan. Berat lahir adalah berat
bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir.
Bayi Kecil Masa kehamilan (KMK) adalah bayi yang tidak tumbuh
dengan baik di dalam kandungan selama kehamilan. Ada 3
kelompok bayi yang termasuk bayi KMK, KMK lebih bulan, KMK
cukup bulan, KMK kurang bulan.
Tujuan
Memberikan tata laksana yang baik dan benar pada bayi dengan
BBLR
Teknik tindakan:
1. Deteksi pada ANC dilihat dari kenaikan berat badan ibu yang
<7,5 kg, status gizi ibu rendah, dan faktor risiko komplikasi
penyakit pada kehamilan.
2. BBLR dinilai dengan menggunakan dua parameter:
• Bernapas spontan atau menangis
• Air ketuban (keruh atau tidak)
3. Tata laksana BBLR dibedakan menjadi tata laksana saat lahir
dan setelah lahir.
Resusitasi
Pemberian resusitasi diputuskan berdasarkan penilaian
keadaan Bayi Baru Lahir, yaitu bila:
• Air Ketuban bercampur mekonium ( letak kepala/gawat janin)
• Bayi tidak menangis, atau tidak bernapas spontan, atau
bernapas megap-megap
Catatan: Untuk memulai tindakan resusitasi BBLR asfiksia
tidak perlu menunggu hasil penilaian skor APGAR
Periksa
• Timbang berat bayi (dalam keadaan telanjang) setelah lahir
(0-24 jam) dan bernapas baik. Timbangan dilapisi kain hangat
dan ditera.
• Lakukan pemeriksaan fisik
- 1080 -
Masalah/Kebutuhan
Tentukan bayi adalah:
• BBLR yang boleh dirawat oleh bidan, adalah BBLR dengan
berat ≥ 2000 gram, tanpa masalah / komplikasi
• BBLR < 2000 gram atau > 2000 gram tetapi bermasalah
harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.
Rencana Perawatan
Untuk semua bayi dengan berat 2000 – 2499 gram:
• Jaga bayi tetap hangat:
• Jaga bayi selalu “kontak kulit dengan kulit” dengan
• ibunya (Perawatan Metode Kanguru kontinu (PMK))
• Pertahankan posisi ibu dan bayi dengan selembar kain yang
hangat dan dilapisi dengan baju berkancing depan di atasnya.
• Tutupi kepala bayi dengan kain atau topi.
• Mandikan bayi setelah berusia 24 jam dan suhu tubuh stabil.
• Mendorong ibu meneteki (atau memerah kolostrum dan
memberikan dengan cangkir atau sendok) sesegera mungkin
dan selanjutnya setiap 2-3 jam.
• Periksa tanda vital (pernapasan, suhu, warna kulit) setiap 30-60
menit selama 6 jam
• Ajari ibu dan keluarga menjaga bayi tetap hangat dengan selalu
melakukan “kontak kulit dengan kulit”
• Jika suhu ketiak turun dibawah 36,50C; anjurkan ibu untuk
melakukan perawatan metode Kanguru kontinu.
• Tutupi bayi-ibu dengan selimut atau kain yang lebih HANGAT
dan tempatkan keduanya di ruangan yang hangat.
• Sarankan ibu dan keluarga selalu mencuci tangan dengan
sabun sebelum memegang BBLR.
Pemantauan
- Pemantauan dilakukan dengan bantuan bidan untuk
mengunjungi bayi minimal dua kali dalam minggu pertama dan
selanjutnya sekali dalam setiap minggu sampai berat bayi 2500
gram dengan mempergunakan format Manajemen Terpadu Bayi
Muda (MTBM).
- BBLR dapat turun beratnya hingga 10 -15% dalam 10 hari
pertama kemudian sudah harus naik, paling kurang 20 gram
sehari atau 120 gram dalam 6 hari.
- 1081 -
Analisis tindakan/Perhatian:
BBLR umumnya dapat mengalami masalah sebagai berikut:
1. Asfiksia
2. Gangguan napas
3. Hipotermi
4. Hipoglikemi
5. Masalah pemberian ASI
6. Infeksi
7. Ikterus (kadar bilirubin yang tinggi)
8. Masalah perdarahan
Perhatian dan tatalaksana yang baik pada saat lahir, yaitu harus
mendapat ”Pelayanan Neonatal Esensial”, yang terdiri atas:
1. Persalinan yang bersih dan aman
2. Stabilisasi suhu
3. Inisiasi pernapasan spontan
4. Pemberian ASI dini (Inisiasi Menyusui Dini/IMD) dan Eksklusif
5. Pencegahan Infeksi dan pemberian Imunisasi
Anjuran
Pada anak BBLR, untuk mencegah kebutaan dan ketulian perlu
dilakukan pemeriksaan mata dan telinga sedini mungkin.
Referensi
1. Department of Child and Adolescent Health and Development
(CAH). Buku Saku: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Pedoman Bagi RS Rujukan Tk. I di Kabupaten/Kota. WHO:
Jakarta. 2009.
2. Manajemen Bayi Berat Lahir Rendah untuk Bidan dan Perawat.
Kemenkes 2011.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Memberikan makanan atau minuman selain ASI yang mengandung
nutrien yang diberikan kepada bayi selama periode pemberian
makanan peralihan (complementary feeding) sebagai makanan
tambahan yang diberikan bersama pemberian ASI
Analisis Tindakan/Perhatian:
MP-ASI harus memenuhi syarat berikut ini:
1. Tepat waktu (Timely): MP-ASI mulai diberikan saat kebutuhan
energi dan nutrien melebihi yang didapat dari ASI
2. Adekuat (Adequate): MP-ASI harus mengandung cukup energi,
protein dan mikronutrien.
- 1083 -
3. Aman (Safe): Penyimpanan, penyiapan dan sewaktu diberikan,
MP-ASI harus higienis.
4. Tepat cara pemberian (Properly): MP-ASI diberikan sejalan
dengan tanda lapar dan nafsu makan yang ditunjukkan bayi
serta frekuensi dan cara pemberiannya sesuai dengan usia bayi.
LAPAR: KENYANG:
Riang/antusias sewaktu Memalingkan muka atau
didudukkan di kursi menutup mulut ketika melihat
makannya sendok berisi makanan
Gerakan menghisap atau Menutup mulut dengan
mencecapkan bibir tangannya
Membuka mulut ketika Rewel atau menangis karena
melihat sendok/makanan terus diberi makan
Memasukkan tangan ke Tertidur
dalam mulut
Menangis atau rewel karena
ingin makan
Mencondongkan tubuh ke
arah makanan atau berusaha
menjangkaunya
Referensi
Kolegium Gizi Klinik. Definisi dan pemberian MP-ASI. 2014
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: memberikan tata laksana yang baik dan benar pada anak
dengan gizi buruk tanpa komplikasi
Teknik Pemeriksaan
1. Setelah dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan jenis
gizi buruk pada pasien.
a. Gizi buruk yang disebabkan oleh kekurangan asupan protein
(kwashiorkor) dilakukan palpasi abdomen untuk melihat
pembesaran hati.
b. Gizi buruk yang disebabkan oleh kekurangan asupan
karbohidrat (marasmus) terlihat adanya wasting pada lengan
- 1084 -
atas.
2. Jelaskan kepada ibu pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
3. Cuci tangan 7 langkah
4. Lakukan tatalaksana gizi buruk sesuai tabel di bawah ini.
Analisis Tindakan/Perhatian
1. Fase stabilisasi = F75
- 1085 -
- Energi 100 kkal/kg/hari
- Protein 1-1,5 gr/kg/hari
- Cairan 130 ml/kgbb/hari
2. Fase transisi = F100
- Energi 100-150 kkal/hari
- Protein 4-6 gr/kg/hari
3. Fase rehabilitasi = F135
- Energi 150-220 kkal/kg/hari
- Protein 4-6 gr/kg/hari
4. Preparat zink bertujuan sebagai antioksidan dan memperbaiki
vili-vili usus yang atrofi sehingga dapat mencegah terjadinya
diare.
5. Pemberian makanan selalu dimonitor dengan penimbangan
berat badan setiap 3 hari.
Referensi
Kliegman, Behrman, et al: Nelson Textbook of Pediatrics, 18th
Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
1. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan prosedurnya
2. Lakukan cuci tangan 7 langkah
3. Sebaiknya anak tetap berada di pangkuan orang tuanya atau
minta anak untuk tidur di tempat tidur ditemani orang tuanya
4. Berikan mainan atau objek untuk mengalihkan perhatian
5. Tempatkan anak pada posisi terlentang
6. Minta operator berdiri di salah satu sisi tempat tidur,
menstabilkan lengan yang akan digunakan untuk pungsi vena
7. Minta asisten berdiri disisi tempat tidur yang lain, menunduk
melewati tubuh anak bagian atas untuk berfungsi sebagai
- 1086 -
penahan dan menggunakan lengan yang paling dekat dengan
operator untuk membantu menahan pada pungsi vena
8. Bersihkan kulit diatas lokasi tusuk dengan alkohol 70% dengan
cara berputar dari dalam keluar dan biarkan sampai kering.
9. Lokasi penusukan harus bebas dari luka dan bekas
luka/sikatrik.
10. Bila sisi yang akan diambil darah ada infus, ambil sisi
sebelahnya untuk diambil darah
11. Darah diambil dari vena mediana cubiti pada lipat siku.
12. Spuit disiapkan dengan memeriksa jarum dan penutupnya.
13. Setelah itu vena mediana cubiti ditusuk dengan posisi sudut 45
derajat dengan jarum menghadap keatas.
14. Darah dibiarkan mengalir kedalam jarum kemudian jarum
diputar menghadap kebawah.
15. Kemudian jarum ditarik dengan tetap menekan lubang
penusukan dengan kapas alkohol (agar tidak sakit).
16. Tempat bekas penusukan ditekan dengan kapas alkohol sampai
tidak keluar darah lagi.
17. Setelah itu bekas tusukan ditutup dengan plester.
Analisis Tindakan/Perhatian
1. Pengambilan spesimen tidak boleh dilakukan pada vena-vena
yang melebar (varises).
2. Darah yang diperoleh pada varises tidak menggambarkan
biokimiawi yang sebenarnya karena darah yang diperoleh
adalah darah yang mengalami stasis.
Referensi
Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Saku Keterampilan Dan Prosedur
Dasar. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur yang akan
dilakukan dan minta informed consent pasien.
2. Siapkan peralatan yang dibutuhkan.
- 1087 -
3. Cuci tangan sebelum melakukan tindakan dan kenakan sarung
tangan.
4. Pilih tempat pengambilan sampel yang sesuai: ujung-ujung jari
pada sisi telapak tangan atau permukaan plantar lateral atau
medial tumit bayi.
5. Bersihkan tempat pemeriksaan dengan kapas alkohol dan
biarkan hingga kering.
6. Lakukan penusukan pada tengah ujung jari atau tumit bayi.
7. Lap tetesan darah pertama dengan menggunakan kasa.
8. Biarkan setetes kecil darah tebentuk dengan memberikan
penekanan intermiten.
9. Sentuhkan ujung strip pemeriksaan pada tetes darah hingga
darah mengisi seluruh bagian kapiler strip pemeriksaan.
10. Buang seluruh bahan pemeriksaan yang terkontaminasi pada
kontainer yang sesuai. Buang lancet pada kontainer untuk
benda tajam.
11. Lepas sarung tangan dan cuci tangan setelah selesai melakukan
pemeriksaan.
Referensi
Munden J. Perfecting clinical procedures. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins, 2008.
KEGAWATDARURATAN
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Mampu melakukan bantuan hidup dasar sesuai kompetensi dokter
di pelayanan primer.
Teknik Tindakan
1. Penilaian respons dilakukan setelah penolong yakin bahwa
dirinya sudah aman untuk melakukan pertolongan. Penilaian
respons dilakukan dengan menepuk-nepuk dan menggoyangkan
penderita sambil memanggil penderita.
- 1088 -
a. Jika penderita menjawab atau bergerak terhadap respons
yang diberikan, usahakan tetap mempertahankan posisi
seperti pada saat ditemukan atau posisikan ke posisi mantap.
b. Jika penderita tidak merespons serta tidak bernapas atau
bernapas tidak normal, maka dianggap mengalami kejadian
henti jantung.
2. Jika pasien tidak respons, aktivasi system layanan gawat
darurat dengan minta bantuan orang terdekat atau penolong
sendiri yang menelepon jika tidak ada orang lain.
3. Periksa denyut nadi arteri karotis dalam waktu maksimal 10
detik (lihat materi Kardiovaskular).
4. Lakukan kompresi dada:
a. Penderita dibaringkan di tempat yang datar dan keras.
b. Tentukan lokasi kompresi dada dengan cara meletakkan
telapak tangan yang telah saling berkaitan di bagian setengah
bawah sternum.
b. Jaw thrust
- Letakkan siku-siku pada bidang datar tempat korban
dibaringkan. Cari rahang bawah. Pegang rahang bawah
dengan jari-jari kedua tangan dari sisi kanan dan kiri
korban
- Dorong rahang bawah dengan mendorong kedua sudutnya
ke depan dengan jari-jari kedua tangan
- Buka mulut korban dengan ibu jari dan jari telunjuk kedua
tangan.
c. Pasang OPA jika tersedia.
Mulut ke hidung
a. Katupkan mulut penderita disertai chin lift, kemudian
hembuskan udara seperti pernapasan mulut ke mulut. Buka
mulut penderita waktu ekshalasi.
Mulut ke sungkup
a. Letakkan sungkup pada muka penderita dan dipegang
dengan kedua ibu jari
b. Lakukan head tilt chin lift/ jaw thrust. Tekan sungkup ke
muka penderita dengan rapat.
c. Hembuskan udara melalui lubang sungkup hingga dada
terangkat.
d. Amati turunnya pergerakan dinding dada.
Analisis
1. Indikasi bantuan hidup dasar:
- Henti jantung
- Henti napas
- Tidak sadarkan diri
- 1092 -
2. Gangguan jalan napas adalah berupa sumbatan jalan napas:
- Sumbatan di atas laring
- Sumbatan pada laring
- Sumbatan di bawah laring
3. Pengelolaan jalan napas dengan head tilt-chin lift dan jaw
thrust. Head tilt chin lift tidak dianjurkan pada korban yang
dicurigai menderita cedera kepala, cedera leher, dan cedera
tulang belakang
4. Kondisi yang menyebabkan gangguan oksigenasi dan ventilasi:
- Infeksi
- Aspirasi
- Edema paru
- Kontusio paru
- Kondisi tertentu yang menyebabkan rongga paru tertekan
oleh benda asing.
5. Sebab-sebab henti jantung
- Faktor primer (dari jantung sendiri)
- Faktor sekunder
6. Keberhasilan BHD
- Warna kulit berubah dari sianosis menjadi kemerahan
- Pupil akan mengecil
- Pulihnya denyut nadi spontan
Referensi
1. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. Buku
panduan bantuan hidup jantung dasar BCLS Indonesia. Jakarta:
PP PERKI, 2012.
2. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Penerbit Indeks, 2010; p 340-355
3. University of Utah. Basic life support [internet]. 2014 [cited 2014
march 24]. Available from:
http://www.cc.utah.edu/~mda9899/index.htm
4. Nolan JP (ed). Resuscitation guideline 2010. London:
resuscitation council UK, 2010.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Melakukan resusitasi jantung paru sesuai kompetensi dokter di
layanan primer.
Teknik Tindakan
1. Penilaian respons dilakukan setelah penolong yakin bahwa
dirinya sudah aman untuk melakukan pertolongan. Penilaian
respons dilakukan dengan menepuk-nepuk dan menggoyangkan
penderita sambil memanggil penderita.
2. Jika penderita tidak merespons serta tidak bernapas atau
bernapas tidak normal, maka dianggap mengalami kejadian
henti jantung.
3. Aktivasi sistem layanan gawat darurat.
4. Periksa denyut nadi arteri karotis.
5. Lakukan kompresi dada (lihat bagian bantuan hidup dasar)
6. Setelah lakukan kompresi 30 kali, lakukan ventilasi dengan
membuka jalan napas (lihat bagian Bantuan Hidup Dasar).
7. Berikan bantuan napas (lihat bagian Bantuan Hidup Dasar).
8. Cek irama jantung dan ulangi siklus setiap 2 menit.
9. Ketika alat monitor EKG dan defibrillator datang, pasang
sadapan segera tanpa menghentikan RJP.
10. Hentikan RJP sejenak untuk melihat irama dimonitor.
Analisis
1. Komplikasi:
a. Fraktur iga atau sternum akibat kompresi dada.
b. Insuflasi lambung dari napas bantuan; hal ini dapat
mengakibatkan muntah sehingga terjadi aspirasi.
2. Kontraindikasi: pasien DNR (do not resuscitate).
Referensi
1. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. Buku
panduan bantuan hidup jantung dasar BCLS Indonesia, edisi
2012. Jakarta: PP PERKI, 2012.
2. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. Buku
panduan bantuan hidup jantung lanjut ACLS Indonesia. Edisi
2012. Jakarta: PP PERKI, 2012.
3. Travers AH, et al. 2010 American heart association guidelines for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular
care science. Circulation 2010; 122: S676-S684.
4. Anonymous. Automatic external defibrillation [internet]. cited
2014 March 24. Available from:
http://www.lbfdtraining.com/Pages/emt/sectione/aed.html
- 1095 -
5. Nolan JP (ed). Resuscitation guideline 2010. London:
resuscitation council UK, 2010.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien tentang pemeriksaan yang akan
dilakukan dan prosedurnya.
2. Cuci tangan 7 langkah.
3. Minta pasien untuk membuka bagian perutnya dan berbaring.
4. Cubit kulit di daerah perut selama 30 detik, setelah itu
lepaskan.
5. Perhatikan berapa lama waktu yang dibutuhkan kulit untuk
kembali ke bentuk semula.
Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins, China,
2009.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
1. Pemeriksaan: nilai dan catat hasil pemeriksaan untuk indikasi
kebutuhan resusitasi cairan:
- tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan (lihat
materi Tanda Vital)
- capillary refill time (lihat materi Kardiovaskular)
- perabaan ekstrimitas (lihat materi Kardiovaskular)
Algoritme Resusitasi
a. Berikan oksigenasi.
b. Pasang kanula IV berkururan besar.
c. Identifikasi penyebab gangguan yang terjadi dan respons
pasien.
d. Berikan bolus 500 ml cairan kristaloid.
e. Nilai ulang kondisi pasien dengan menggunakan ABCDE (lihat
Bagian Bantuan Hidup Dasar). Pertimbangkan apakah pasien
masih membutuhkan resusitasi cairan.
- Jika cairan yang diberikan masih kurang dari 2000 ml,
berikan lagi 250-500 ml bolus cairan kristaloid. Setelah
pemberian cairan selesai, nilai ulang kondisi pasien dengan
ABCDE (lihat no. 3).
- Jika tidak, nilai kebutuhan cairan dan elektrolit pasien.
2. Jika penderita tidak membutuhkan resusitasi cairan, pastikan
kebutuhan cairan dan nutrisi terpenuhi.
3. Nilai kebutuhan cairan dan elektrolit pasien dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium
yang dibutuhkan.
4. Jika terdapat tanda-tanda kekurangan dan kelebihan cairan
serta cairan yang keluar masih berlangsung, maka lanjut ke
bagian penggantian dan redistribusi cairan. Jika tidak lanjut ke
bagian rumatan rutin.
Rumatan rutin
a. Berikan rumatan cairan IV sesuai dengan kebutuhan cairan dan
elektrolit normal harian 25-30 ml/kg/hari air.
b. Nilai ulang dan awasi kondisi pasien.
- 1097 -
c. Stop cairan IV jika sudah tidak ada indikasi yang sesuai.
Referensi
National clinical guideline center. Intravenous fluid therapy clinical
guideline. London: NICE, 2012.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Mampu melakukan tatalaksana dehidrasi berat dengan tepat.
Teknik Tindakan
1. Jelaskan kepada ibu pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
2. Cuci tangan sebelum (dan setelah) melakukan tindakan (lihat
materi Universal Precautions).
3. Jika anak menderita dehidrasi berat:
a. Pastikan bahwa pemeriksa dapat cepat memasukkan jalur
intravena. Segera pasang jalur IV.
b. Jika anak masih bisa minum, berikan CRO sambil
mempersiapkan jalur intravena.
- 1098 -
c. Berikan 100 mg/kg ringer laktat, dibagi sebagai berikut:
- Anak kurang dari 12 bulan: berikan infus RL 30 ml/kg
dalam satu jam pertama dilanjutkan dengan 70 ml/kg
dalam 5 jam.
- Anak berusia 12 bulan-5 tahun: berika infus RL 30 ml/kg
dalam 30 menit pertama dilanjutkan dengan 70 ml/kg
dalam 21/2 jam.
d. Periksa ulang anak setiap 15-30 menit, jika status dehidrasi
tidak membaik lanjutkan pemberian IV.
e. Jika pulsasi arteri radialis tidak teraba, pemberian pertama
cairan dapat diulang 1 kali.
4. Berikan rehidrasi oral (5 ml/kg/ jam) secepatnya setelah anak
bisa minum.
5. Periksa kembali status dehidrasi bayi (setelah 6 jam) dan anak
(setelah 3 jam). Pemeriksaan ulang dilakukan setiap 1-2 jam.
6. Jika kondisi anak membaik (mampu untuk minum) namun
masih menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, hentikan infus IV
dan berikan larutan CRO setiap 4 jam.
a. Kebutuhan CRO dalam 4 jam dapat dihitung dengan
mengalikan berat badan anak dengan 75 ml.
b. Perkiraan pemberian CRO dalam 4 jam:
- Usia kurang dari 4 bulan, BB kurang dari 5 kg: 200-400
ml.
- Usia 4-11 bulan, BB 5-7.9 kg: 400-600 ml.
- Usia 12-23 bulan, BB 8-10.9 kg: 600-800 ml.
- Usia 2-4 tahun, BB 11-15.9 kg: 800-1200 ml.
- Usia 5-14 tahun, BB 16-29.9 kg: 1200-2200 ml.
- Usia diatas 15 tahun, BB diatas 30 kg: 2200-4000 ml.
c. Jika anak minta CRO lebih dari kebutuhan diatas, berikan
lebih.
d. Anjurkan ibu untuk tetap menyusui anaknya.
7. Jika tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi, berikan cairan untuk
mencegah dehidrasi.
Referensi
1. Kliegman, Behrman, et al: Nelson Textbook of Pediatrics, 18th
Edition. Saunders Elsevier: Philadelphia, 2008
2. Department of child and adolescence health and development.
The treatment of diarrhea a manual for physician and other senior
health workers. Geneva: WHO, 2005.
- 1099 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
Penatalaksanaan penderita tidak sadarkan diri
1. Segera aktifkan sistem layanan gawat darurat, panggil bantuan.
2. Segera baringkan penderita.
3. Lakukan kompresi 30 kali.
4. Jika belum bisa dikeluarkan, terus lakukan kompresi jantung.
5. Jika benda asing padat sudah bisa terlihat, benda asing boleh
dikeluarkan secara manual.
Analisis
1. Gejala sumbatan jalan napas oleh benda asing:
a. Kejadiannya terlihat.
b. Batuk atau tersedak.
c. Onset mendadak.
d. Riwayat sebelumnya bermain atau makan suatu objek yang
kecil.
e. Penderita dapat terlihat memegang leher atau dadanya
Referensi
1. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. Buku
panduan bantuan hidup jantung dasar BCLS Indonesia. Jakarta:
PP PERKI, 2012.
2. University of Utah. Basic life support [internet]. 2014 [cited 2014
march 24]. Available from:
http://www.cc.utah.edu/~mda9899/index.htm
- 1101 -
3. Nolan JP (ed). Resuscitation guideline 2010. London:
resuscitation council UK, 2010.
4. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Penerbit Indeks, 2010.
BEDAH MINOR
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
a. Anestesi infiltrasi
1. Tanyakan riwayat alergi pasien terhadap obat anestesi
2. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan prosedurnya
3. Minta pasien untuk berbaring
4. Pilihlah obat untuk anestesi (lidokain 0,5-1% dengan atau
tanpa epinefrin)
5. Aspirasi obat anestesi, tergantung tempat yang akan di
anestesi dan banyaknya cairan yang akan diambil (5-10 ml)
6. Disinfeksi area yang akan di injeksi
7. Gunakan spuit jarum halus untuk melakukan infiltrasi
8. Posisikan jarum di tempat yang akan dimasuki (untuk luka
di ujung luka dan segaris dengan axis longitudinalnya,
untuk tumor kecil atau lesi kulit di kedua sisi area yang
akan diangkat, di luar tumor)
9. Konfirmasi dengan aspirasi bahwa jarum tidak masuk ke
vena
10. Buat depot subkutan dari anestesi lokal dengan injeksi
secara perlahan (tarik kembali jarum secara perlahan).
Pertama injeksi area kutan, lalu injeksikan di tempat yang
lebih dalam. Untuk eksisi atau batas jahitan luka, depot
subkutan harus dibuat di jaringan subkutis di batas luka.
Untuk eksisi tumor, injeksi harus dilakukan di sekitar kulit
yang akan di eksisi dengan bentuk diamond (blok area).
- 1102 -
Depot juga dibuat di bawah tumor dan kmembuatnya makin
terlihat ke atas.
11. Observasi pasien untuk alergi atau reaksi keracunan saat
memasukkan obat anestesi.
12. Tunggu sampai semua stimulus nyeri yang diberikan
teranestesi sebelum memulai tindakan operasi.
c. Anestesi topikal
Tujuan
Pemberian terapi anestesi topikal untuk berbagai indikasi
sebagai alternatif anestesi injeksi.
Teknik Tindakan
1. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan. Jelaskan
mengenai tindakan yang akan dilakukan.
2. Lakukan cuci tangan sebelum melakukan tindakan.
3. Berikan agen anestesi topikal sesuai indikasi.
- 1103 -
Tabel 17. Agen anestesi topikal
Pendingin sementara -
Ethyl kulit < 1
chloride menit
spray
Membran
mukosa
Xylocain
• Gel Lidokain 2% 300 mg 2-5 15-45 B
(dewasa), menit menit
• Cair Lidokain 5% 100 mg 1-2 15-20
(anak) menit menit
• Salep Lidokain 2
2.5%, 5% menit
Mata
Pantocain Tetracaine 50 mg 20 15-20 C
sol. 0.5% (dewasa) detik menit
Analisis Tindakan/Perhatian
1. Spray ethyil chloride bisa berubah menjadi api ketika
disemprotkan jika kontak dengan api atau koagulasi
elektrik. Gunakan spray dengan memegangnya secara
vertikal, semprotkan di area yang akan dilakukan tindakan
sampai muncul lapisan-lapisan putih dan lakukan insisi
saat lapisan-lapisan putih tersebut masih terlihat.
2. Anestesi lokal dengan spray ethyil chloride digunakan
terbatas hanya pada intervensi minor yang dapat dilakukan
dengan cepat.
3. Pada anestesi infiltrasi jangan gunakan dosis melebihi dosis
maksimum.
4. Hindari injeksi intravena dan bersiap untuk rekasi alergi
atau keracunan.
- 1104 -
5. Injeksikan secara perlahan untuk mengurangi nyeri yang
tidak perlu.
6. Jika diperlukan injeksi dari satu, usahakan untuk
memlakukan injeksi berikutnya di tempat yang sudah
teranestesi.
Referensi
1. Prof. Stapert J, Dr. Kunz M. Skills in Medicinie: Minor Surgery.
Mediview: Maastricht University, Netherlands, 2009, p 35-37.
2. Pfenninger JL, Fowler GC. Pfeningger & Fowler’s procedures for
primary care. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier, 2011; p. 59-63
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
Jahitan dasar
1. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan prosedurnya
2. Minta pasien untuk berbaring
3. Tanyakan riwayat alergi tentang obat anestesi atau iodine
4. Tempatkan cahaya ke area luka yang akan dijahit
5. Disinfeki luka dan area-area disekitarnya
6. Cuci tangan 7 langkah dan pakai sarung tangan steril
7. Tutup luka dengan drape steril
8. Berikan anestesi lokal atau blok saraf lokal dengan metode
oberst, tunggu sampai anestesi bekerja
9. Taruh jarum bulat di bagian depan dari needle holder, kurang
lebih jepit di setengah badan jarum
- 1105 -
10. Pegang pinset chirurgis seperti memegang pensil dengan satu
tangan. Tangan yang lainnya memegang needle holder yang tadi
sudah terpasang jarum
11. Dengan menggunakan pinset, pegang ujung luka di tempat yang
terjauh untuk meminimalisasi kerusakan jaringan, bagian
pinset yang memiliki satu gigi harus berada di tepi luka dan
bagian dengan dua gigi harus berada di kulit
12. Posisikan jarum tegak lurus terhadap kulit kurang lebih 0,5 cm
dari tepi luka dan masukkan ke dalam kulit
13. Dengan pergerakan tangan supinasi, bawa jarum menuju tepi
luka dengan gerakan seperti busur panah, mirip dengan
lekukan jarum. Untuk luka yang tidak melampaui kutis dan
tidak ada ketegangan di tepi lukanya, langsung saja melangkah
ke langkah 18. Untuk luka yang dalam, langkah penjahitan ada
2 langkah (buat jahitan dari tepi luka ke tengah luka, lalu
pindahkan needle holder ke ujung jarum yang telah melewati
tepi luka dan lanjutkan dari tepi luka yang berlawanan hingga
keluar ke tepi luka)
14. Buka needle holder dan tarik jarum menuju ke luka
15. Tarik jarum melalui kulit dan keluar dari luka dalam jalur
melengkung
16. Reposisi jarum di posisi yang benar di needle holder
17. Tarik benang melalui kulit, tinggalkan panjang yang cukup
untuk nanti dijahit (sekitar 2 cm jika diikat dengan needle
holder atau 10 cm jika diikat dengan tangan)
18. Dengan menggunakan pinset, pegang ujung luka yang paling
dekat dengan kita dan putar batas luka ke arah luar
19. Dengan pergerakan melengkung, masukkan jarum ke batas
luka dan bawa sedalam mungkin sampai ke dasar luka dan
bawa kembali ke atas sampai ujung jarum terlihat menembus
kulit
20. Buka needle holder saat berdekatan dengan luka dan gunakan
untuk memegang kembali jarum di bagian luar dari kulit
21. Tarik jarum dengan bentuk melengkung melalui kulit dengan
menggunakan pinset untuk memfiksasi titik keluar jarum di
luka
22. Dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, pegang jarum
dengan aman dan hati-hati, lalu buka needle holder
23. Ikat benang menjadi simpul dengan bantuan needle holder
Jahitan donati
1. Tetapkan titik pertama masuk 1 cm dari batas luka dan
menembus seluruh kutis
2. Jahit dalam 2 langkah dan keluar di batas luka yang
berlawanan, simetris dari jahitan pertama
3. Buat titik masuk kedua di sisi yang sama dari tempat keluar
benang yang terakhir, dekat dengan batas luka tetapi masuk
superfisial( ± 1 mm dalamnya) melalui kulit
- 1106 -
4. Masuk ke batas luka yang berlawanan secara intrakutan dan
munculkan lagi jarum di dekat tepi luka
5. Buat simpul di atas titik masuk yang pertama
Jahitan intrakutan
1. Tetapkan titik masuk pertama bersama dengan ekstensi luka ±
1 cm dari permulaan luka
2. Bubuhkan benang ke kulit dengan mengikat jahitan di ujung
3. Masukkan jarum di ujung luka
4. Masukkan jarum secara intrakutan di salah satu batas luka
5. Keluarkan intrakutan dan masukkan lagi intrakutan di batas
luka yang berlawanan arah
6. Lakukan terus seperti ini (zig-zag) sampai mencapai ujung dari
luka
7. Titik keluar yang terakhir harus bersama dengan penarikkan
seleuruh garis luka hingga tepi satu bertemunya dengan tepi
lainnya
8. Bubuhkan kembali jahitan di ujung lukanya dan ikat
Referensi
Prof. Stapert J, Dr. Kunz M. Skills in Medicinie: Minor Surgery.
Mediview: Maastricht University, Netherlands, 2009, p 15, p 41-47
- 1107 -
118. PEMBERIAN ANALGESIK
Tingkat Keterampilan: 4A
Referensi
1. American pain society quality of care committee. Quality
improvement guidelines for the treatment of acute pain and cancer
pain. JAMA,1995: 273 (23); p.1874-1880.
2. Acute pain management guideline panel. Acute pain
management: operative or medical procedures and trauma clinical
practice guideline. AHCPR publication No. 92-0032. Rockville
MD. Agency for health care policy and research, US department
of health and human services, public health service, 1992.
- 1108 -
119. SIRKUMSISI
Tingkat Keterampilan: 4A
Prosedur Tindakan
1. Persiapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan jenis dan prosedur tindakan yang akan dilakukan.
3. Minta pasien berbaring di meja periksa.
4. Bersihkan penis dengan air sabun. Pada pasien dewasa, cukur
rambut di sekitar penis.
5. Operator mencuci tangan.
6. Menggunakan APD, posisi operator di sebelah kiri pasien.
7. Melakukan aseptik dan antiseptik pada penis dan sekitarnya
secara sentrifugal dengan penis sebagai pusat.
8. Pasang doek berlubang steril.
9. Lakukan tindakan anestesi blok pada pangkal penis di bagian
dorsal yang memblok nervus dorsalis penis. Tusukkan jarum
pada pangkal penis di sebelah dorsal tegak lurus terhadap
batang penis, hingga terasa sensasi seperti menembus kertas.
Pada saat itu jarum telah menembus fascia Buck tempat nervus
dorsalis penis berada dibawahnya. Tanda lain jarum sudah
menembus fascia Buck adalah jika jarum ditarik ke atas, penis
terangkat dan bila obat disuntikkan tidak terjadi edema.
Kemudian miringkan jarum ke sisi batang penis.
10. Lakukan aspirasi, bila jarum tidak masuk ke pembuluh darah,
suntikkan zat anestesi sebanyak 1-2 cc, lalu pindahkan ke sisi
lainnya suntikkan kembali zat anestesi seperti sebelumnya.
11. Tambahkan anestesi infiltrasi pada daerah frenulum. Lakukan
pijatan pada daerah bekas suntikan agar obat tersebar.
- 1109 -
12. Tunggu kurang lebih 5 menit, lepaskan perlekatan prepusium
(bila ada) secara perlahan.
13. Yakinkan anestesi sudah bekerja dengan penjepit prepusium
tampa memberi tahu pasien.
14. Bila anestesi telah bekerja, tindakan sirkumsisi dapat
dilakukan.
Teknik Sirkumsisi
1. Operasi Klasik (guillotine)
a. Jepit prepusium dengan klem Kocher pada jam 6 dan jam 12.
b. Kemudian jepit prepusium melinntang pada sumbu panjang
penis, sedikit miring ke bawah (frenulum dilebihkan).
c. Pastikan glans penis tidak terjepit, lalu prepusium dipotong
dengan pisau. Pemotongan dilakukan di sisi distal klem.
d. Perdarahan yang terjadi dirawat dengan klem dan diligasi.
e. Setelah perdarahan dihentikan, lakukan penjahitan mukosa-
kulit.
f. Arah penusukan jarum dilakukan dari mukosa ke kulit.
Khusus untuk frenulum, gunakan jahitan berbentuk angka 8
atau 0. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan pembuluh darah
pada frenulum terikat.
g. Jumlah jahitan disesuaikan dengan kondisi, agar luka dijahit
rapat dan kesembuhan berlangsung cepat.
2. Operasi Dorsumsisi (Dorsal Slit Operation)
a. Pasang klem Kocher pada jam 6, 11 dan jam 1.
b. Lakukan diseksi lurus dengan gunting. Lakukan pemotongan
preputium sejajar dengan sumbu panjang penis ke arah
sulkus koronarius glandis hingga ¼ sampai ½ cm dari bagian
distal sulkus koronarius glandis.
c. Jahit mukosa-kulit pada jam 12, simpul jangan dipotong
namun dijepit dengan klem arteri pean lurus sebagai teugel
(kendali) untuk memudahkan tindakan selanjutnya.
d. Lanjutkan pemotongan prepusium ke samping sejajar sulkus
koronariusglandis dengan jarak ¼ sampai ½ cm sari distal
sulkus koronarius glandis.
e. Perdarahan yang terjadi dirawat dengan klem mosquito dan
diligasi dengan plain catgut.
f. Lakukan teugel pada jam 3, 9, dan jam 6 (frenulum). Khusus
pada frenulum, jahitan teugel berbentuk angka 8 atau 0.
g. Setelah yakin tidak ada perdarahan yang belum dihentikan,
lakukan penjahitan mukosa-kulit secara terputus-putus
dengan plai catgut.
3. Bersihkan luka dengan akuades atau NaCl 0,9%. Setelah bersih
dari noda darah, cuci dengan alkohol 70%.
4. Bubuhi luka dengan levertraan (salep minyak ikan), betadine,
atau bioplacenton atau tutup dengan sofratulle, kemudian tutup
dengan kassa steril.
5. Kassa penutup dirapihkan dan di plester.
- 1110 -
6. Pasien diberi antibiotika, analgesik dan roboransia.
Referensi
Karakata S, Bachsinar B. Bedah Minor. Hipokrates: Jakarta. 1996.
P151-154.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
2. Tanyakan riwayat alergi pasien terhadap obat anestesi lokal
3. Cuci tangan 7 langkah dan memakai sarung tangan steril
4. Disinfeksi tempat abses berada dan jaringan kulit di sekitarnya
dengan povidone iodine dengan putaran dari dalam ke luar
5. Tutupi area tempat abses dengan duk steril
6. Berikan anestesi lokal menggunakan spray ethyl chloride atau
infiltrasi area di dekat fluktuasi abses sedalam dermis
menggunakan jarum intrakutan
7. Setelah anestesi bekerja dan pasien tidak merasakan nyeri buat
insisi di atas abses. Jangan buat insisi di tempat selain abses
tersebut (operasi minor membuat luka yang kecil). Buka abses
lebar-lebar agar lubang tidak mudah tertutup
8. Ambil bagian dari abses untuk membuat kultur
9. Bersihkan abses dengan kasa steril atau cuci dengan NaCl.
Pasang drain atau ujung dari sarung tangan steril agar lubang
tidak tertutup selama abses masih memproduksi cairan.
10. Pasang perban yang dapat menyerap sisa pus.
11. Minta pasien untuk mengistirahatkan bagian tubuh yang telah
di operasi atau pakaikan sling bila luka bekas operasi berada di
ekstremitas atas
12. Minta pasien ganti perban setiap kotor atau minimal 2x sehari.
- 1111 -
13. Cek luka bekas operasi dan angkat drain setelah tidak keluar
pus atau kira-kira setelah 2 hari.
Referensi
Skills in Medicinie: Minor Surgery. Mediview: Maastricht University,
Netherlands, 2009, p 31, 61
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
2. Tanyakan apakah pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat
anestesi lokal
- 1112 -
3. Tandai kulit yang akan dilakukan eksisi berbentuk elips dengan
panjang : lebar = 3 : 1, disesuaikan dengan garis kulit
4. Cuci tangan 7 langkah dan memakai sarung tangan steril
5. Disinfeksi tempat yang akan dilakukan eksisi dan jaringan kulit
di sekitarnya dengan povidone iodine dengan putaran dari
dalam ke luar
6. Tutupi area yang akan di eksisi dengan duk steril
7. Berikan anestesi lokal menggunakan teknik blok area atau
infiltrasi lokal disekitar batas eksisi
8. Setelah anestesi bekerja dan pasien tidak merasakan nyeri,
mulai lakukan tindakan
9. Taruh ibu jari dan jari telunjuk di sekitar kulit yang akan
dieksisi untuk meregangkan kulit
10. Pegang scalpel tegak lurus dari kulit, buat sayatan elips sejalan
dengan garis kulit tempat yang akan disayat.
11. Mulai lakukan pemotongan dengan scalpel dan tahan agar tetap
tegak lurus terhadap kulit, potong dengan gerakan memutar
sesuai garis yang sudah ditandai
12. Hindari jalur sayatan menyilang di ujung
13. Buatlah sayatan yang menembus hingga subkutan
14. Dengan pinset chirurgis, pegang kulit pada tepi tumor tanpa
menjepit keras jaringan dan lakukan eksisi, ambil bersama
jaringan subkutan
15. Tandai spesimen dengan benang jahit untuk keperluan ahli
patologis. Atasi perdarahan dengan tekanan, jahit, atau
elektrokoagulasi
16. Jahit batas luka dengan benang jahit non-reabsorbable
Referensi
Stapert J, Kunz M. Skills in Medicinie: Minor Surgery. Mediview:
Maastricht University, Netherlands, 2009, p 28-29, 55-56.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
2. Tanyakan riwayat alergi pasien terhadap obat anestesi lokal
3. Nyalakan lampu dan pusatkan di tempat luka
4. Bersihkan daerah di sekitar luka dengan sabun dan air (bukan
di tempat luka!) dan cukur rambut bila diperlukan
5. Cuci tangan 7 langkah dan memakai hand scoen steril
6. Disinfeksi luka dan area disekitarnya dengan povidone iodine
7. Tutup luka dengan drape steril
8. Lakukan anestesi infiltrasi di sekitar yang luka
- 1114 -
9. Setelah anestesi bekerja dan pasien tidak merasakan nyeri, cuci
luka dengan larutan NaCl
10. Inspeksi dasar luka dan bersihkan semua benda asing dengan
pinset
11. Debridement: eksisi jaringan yang mati dan batas luka yang
iregular. Untuk luka di bagian wajah lakukan dengan sangat
hati-hati. Eksisi batas luka dengan vaskularisasi yang tinggi
tidak terlalu diperlukan
12. Tutup luka, kecuali jika ada alasan untuk tidak menutupnya.
Paling tidak tutup dengan perban yang basah
13. Pasang perban yang dibasahi NaCl 0.9%menutupi luka dan
perban yang menekan luka jika diperlukan
14. Berikan profilaksis anti tetanus
15. Jelaskan kepada pasien komplikasi yang mungkin akan terjadi
dan minta pasien agar luka tetap bersih dengan mengganti
perban bila kotor atau minimal 2x/hari
Referensi
Tingkat Keterampilan 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
2. Pada tindakan ada 3 pilihan terapi, tergantung dengan
kesembuhan pada setiap tahap:
- Tahap 1
• Rawat paronikia secara konservatif dengan soda baths.
• Kurangi tekanan pada kuku dengan mengisi alur pada
lengkungan kuku dengan kasa kecil atau kapas.
• Lakukan seperti ini dalam 3 bulan.
- Tahap 2
• Ekstraksi kuku dan pada tahap berikutnya, eksisi bagian
yang ada pus untuk mengeluarkan pus atau,
• Ekstraksi kuku parsial diikuti dab dengan phenol 80%
dalam air dan dicuci dengan alkohol 70%.
- Tahap 3
• Ekstraksi kuku parsial diikuti dab dengan phenol 80%
dalam air dan dicuci dengan alkohol 70%.
3. Eksisi bagian yang ada pus untuk mengeluarkan pus.
Referensi
Stapert J, Kunz M. Skills in Medicinie: Minor Surgery. Mediview:
Maastricht University, Netherlands, 2009, p 33-34
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
Kompres terbuka
1. Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
2. Siapkan kasa yang bersifat absorben dan non-iritasi serta tidak
terlalu tebal (maksimal 3-4 lapis)
3. Cuci tangan 7 langkah sebelum memulai tindakan
4. Balutan jangan terlalu ketat dan tidak perlu steril. Jangan
menggunakan kapas karena lekat dan menghambat penguapan
5. Kasa dicelupkan ke dalam cairan kompres, diperas lalu
dibalutkan dan didiamkan, biasanya sehari dua kali selama
maksimal 30 menit
6. Hendaknya jangan sampai terjadi maserasi. Bila kasa kering
sebelum 30 menit dapat dibasahkan lagi
7. Daerah yang dikompres luasnya 1/3 bagian tubuh agar tidak
terjadi pendinginan
Kompres tertutup
1. Prinsip hampir sama dengan kompres terbuka
2. Digunakan pembalut tebal dan ditutup dengan bahan
impermeabel, misalnya selofan atau plastik.
Referensi
Hamzah M, Djuanda A, Aisah S, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi V. FKUI, Jakarta, 2007, hal 342-343
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
Tingkat Kompetensi: 4A
Teknik Tindakan
1. Menentukan masalah pasien
Pemeriksa menetapkan diagnosis kerja pada pasien yaitu
berangkat dari keluhan utama, dilanjutkan dengan anamnesis
yang dalam, pemeriksaan fisik serta, pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis setepat mungkin.
2. Menentukan tujuan pemberian obat
Setelah diagnosis kerja ditegakkan, pemeriksa menentukan apa
yang perlu ditangani dengan obat.
3. Memilih obat yang sesuai dengan tujuan pengobatan
Apabila pemeriksa sudah menentukan terapi tertentu yang
paling efektif, cocok, aman dan murah untuk satu jenis
penyakit, nilai kembali apakah obat tersebut cocok untuk
pasien yang dihadapi. Apakah pada kasus dan kondisi pasien
ini obat yang akan diberikan juga efektif dan aman?
4. Memulai terapi
Sebelum memberikan obat, pemeriksa harus memberikan
penjelasan mengapa pengobatan tersebut penting. Gunakanlah
bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien.
5. Memberikan informasi, instruksi, dan peringatan
Berikan juga informasi mengenai obat yang diberikan, cara
pakai obat, efek obat, efek samping yang mungkin terjadi,
interaksi obat dengan makanan atau obat lain dan lamanya
minum obat serta informasi dan peringatan penting lainnya.
Setelah memberikan penjelasan, tanyakan kembali apakah
pasien sudah mengerti mengenai penjelasan yang diberikan.
Minta pasien untuk mengulang informasi yang penting.
6. Memonitor (menghentikan terapi)
Apabila pasien tidak berkunjung kembali, kemungkinan
kondisinya sudah membaik. Tetapi terdapat tiga kemungkinan
lain tentang hasil pengobatan:
a. obat tidak efektif
- 1119 -
b. obat tidak aman bagi pasien tersebut, misalnya karena efek
samping yang mengganggu
c. obat tidak cocok atau menyusahkan pasien tersebut,
misalnya jadwal minum obat yang sulit diikuti atau rasa obat
yang tidak enak.
Apabila gejala terus berlanjut, pemeriksa perlu menilai kembali
sudahkah semua langkah di atas dikerjakan dengan benar?
Apakah diagnosisnya sudah benar, pilihan obatnya sudah
benar, dan monitoring terapi yang diberikan sudah benar?
Referensi
Guide to good prescribing – a practical manual [Internet]. 1994 [cited
2014 Mei 2]. Available from:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jwhozip23e/1.html
Tingkat Pemeriksaan: 4A
Teknik Tindakan
1. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan prosedurnya
2. Cuci tangan 7 langkah
3. Bersihkan kulit diatas lokasi tusuk dengan alkohol 70% dengan
cara berputar dari dalam keluar dan biarkan sampai kering.
4. Lokasi penusukan harus bebas dari luka dan bekas
luka/sikatrik.
5. Bila sisi yang akan diambil darah ada infus, ambil sisi
sebelahnya untuk diambil darah
6. Darah diambil dari vena mediana cubiti pada lipat siku.
7. Pasang ikatan pembendungan (Torniquet) pada lengan atas dan
pasien diminta untuk mengepal dan membuka telapak tangan
berulang kali agar vena jelas terlihat.
8. Spuit disiapkan dengan memeriksa jarum dan penutupnya.
9. Setelah itu vena mediana cubiti ditusuk dengan posisi sudut 45
derajat dengan jarum menghadap keatas.
- 1120 -
10. Darah dibiarkan mengalir kedalam jarum kemudian jarum
diputar menghadap ke bawah. Agar aliran bebas responden
diminta untuk membuka kepalan tangannya, darah kemudian
dihisap sebanyak 10 ml.
11. Torniquet dilepas, kemudian jarum ditarik dengan tetap
menekan lubang penusukan dengan kapas alkohol (agar tidak
sakit).
12. Tempat bekas penusukan ditekan dengan kapas alkohol sampai
tidak keluar darah lagi.
13. Setelah itu bekas tusukan ditutup dengan plester.
Analisis Tindakan
1. Pengambilan spesimen tidak boleh dilakukan pada vena-vena
yang melebar (varises)
Darah yang diperoleh pada varises tidak menggambarkan
biokimiawi tubuh yang sebenarnya karena darah yang diperoleh
adalah darah yang mengalami stasis.
Referensi
Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Saku Keterampilan dan Prosedur
Dasar. Edisi 5. Jakarta: EGC. 2005.
a. Injeksi Intramuskular
Tingkat Keterampilan: 4A
Persiapan alat
1. Spuit 3 cc
2. Spuit 5 cc
3. Kapas alkohol
4. Obat injeksi yang akan disuntikkan
5. Aquades
6. Sarung tangan
Teknik Tindakan
1. Pastikan identitas pasien. Anda tidak mau menyuntikkan
obat ke pasien yang salah dan jelaskan prosedur tindakan
yang akan dilakukan
2. Siapkan obat yang akan disuntikkan, masukkan ke dalam
syringe.
3. Tentukan tempat yang akan dilakukan injeksi
- Daerah lengan atas (deltoid)
- 1121 -
- Daerah dorsogluteal (gluteus maximus)
- Daerah ventrogluteal (gluteus medius)
- Daerah paha bagian luar (vastus lateralis)
- Daerah paha bagian depan (rectus femoris)
4. Cuci tangan 7 langkah dan pakai sarung tangan
5. Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman, dan juga
mudah serta ideal bagi Anda untuk melakukan injeksi yang
diinginkan.
6. Tentukan lokasi penyuntikan yang benar
7. Bersihkan kulit di atasnya dengan alkohol atau cairan
desinfektan lain.
8. Pegang syringe dengan tangan dominan Anda (gunakan ibu
jari dan jari telunjuk)
9. Gunakan tangan non dominan untuk mengencangkan kulit
di sekitar lokasi suntikan.
10. Masukkan jarum dengan sudut 90° sehingga menembus otot
yang dicari. Gunakan pengetahuan anatomi Anda untuk
memperkirakan kedalaman jarum.
11. Lakukan aspirasi. Bila tidak ada darah, lanjutkan. Bila ada
darah, cabut jarum, ulangi prosedur.
12. Masukkan obat dengan perlahan (1 ml per 10 detik) sampai
dosis yang diinginkan tercapai.
13. Setelah usai, tarik jarum syringe. Tergantung jenis obat yang
dimasukkan, ada beberapa obat yang memerlukan
pemijatan ringan untuk membantu penyerapan, namun ada
pula yang tidak. Pahami secara menyeluruh obat yang Anda
suntikkan, atau silahkan baca rekomendasi dari pabrik
pembuat obat.
14. Pisahkan jarum dari syringe. Buang keduanya di tempat
sampah khusus sampah medis.
15. Periksa lokasi suntikan sekali lagi untuk memastikan bahwa
tidak ada perdarahan, pembengkakan, atau reaksi-reaksi
lain yang terjadi.
16. Catat dalam rekam medis pasien jenis obat yang
dimasukkan, jumlahnya, dan waktu pemberian
Analisis Tindakan
1. Lokasi deltoid
- Jumlah obat paling kecil antara 0,5-1 ml.
- Jarum disuntikkan kurang lebih 2,5 cm di bawah
tonjolan acromion.
- Organ penting yang mungkin terkena adalah A.
Brachialis atau N. Radialis. Hal ini terjadi apabila
menyuntik jauh lebih ke bawah daripada seharusnya.
- Minta pasien untuk meletakkan tangannya di pinggul
(seperti gaya seorang peragawati), dengan demikian
tonus ototnya akan berada kondisi yang mudah untuk
disuntik dan dapat mengurangi nyeri.
- 1122 -
2. Lokasi gluteus maximus
- Gambarlah garis imajiner horizontal setinggi
pertengahan glutea kemudian buat dua garis imajiner
vertikal yang memotong garis horizontal tadi pada
pertengahan pantat pada masing-masing sisi. Suntiklah
di regio glutea pada kuadran lateral atas
- Hati-hati terhadap n.sciatus dan a.gluteus superior
- Volume suntikan ideal 2-4 ml. Minta pasien berbaring ke
samping dengan lutut sedikit fleksi
3. Lokasi gluteus medius
- Letakkan tangan kanan Anda di pinggul kiri pasien pada
trochanter major (atau sebaliknya). Posisikan jari
telunjuk sehingga menyentuh SIAS. Kemudian gerakkan
jari tengah Anda sejauh mungkin menjauhi jari telunjuk
sepanjang crista iliaca. Maka jari telunjuk dan jari
tengah Anda akan membentuk huruf V
- Suntikan jarum di tengah-tengah huruf V, maka jarum
akan menembus gluteus medius
- Volume ideal antara lain 1-4 ml
4. Lokasi vastus lateralis
- Pada orang dewasa, m. vastus lateralis terletak pada
sepertiga tengah paha bagian luar
- Pada bayi atau orang tua, kadang-kadang kulit di
atasnya perlu ditarik atau sedikit dicubit untuk
membantu jarum mencapai kedalaman yang tepat.
- Volume injeksi ideal antara 1-5 ml (untuk bayi antara 1-
3 ml)
5. Lokasi rectus femoris
- Pada orang dewasa, m. rectus femoris terletak pada
sepertiga tengah paha bagian depan.
- Pada bayi atau orang tua, kadang-kadang kulit di
atasnya perlu ditarik atau sedikit dicubit untuk
membantu jarum mencapai kedalaman yang tepat.
- Volume injeksi ideal antara 1-5 ml (untuk bayi antara 1-
3 ml).
- Lokasi ini jarang digunakan, namun biasanya sangat
penting untuk melakukan auto-injection, misalnya
pasien dengan riwayat alergi berat biasanya
menggunakan tempat ini untuk menyuntikkan steroid
injeksi yang mereka bawa kemana-mana
Referensi
1. Torrance C. Intramuscular injection Part 1. Surgical Nurse.
1989b. p 2, 5, 6-10.
2. Torrance C. Intramuscular injection Part 2. Surgical Nurse.
1989a. p 2, 6, 24-27.
- 1123 -
b. Injeksi Intravena
Teknik Pemeriksaan: 4A
Persiapan alat
1. Spuit 3 cc
2. Spuit 5 cc
3. Kapas alkohol
4. Obat injeksi yang akan disuntikkan
5. Aquades
6. Sarung tangan
7. Torniket
Teknik Tindakan
1. Pastikan identitas pasien. Anda tidak mau menyuntikkan
obat ke pasien yang salah dan jelaskan prosedur tindakan
yang akan dilakukan.
2. Siapkan obat yang akan disuntikkan, masukkan ke dalam
syringe.
3. Tentukan lokasi injeksi. Carilah vena perifer yang tampak
atau yang cukup besar sehingga akan memudahkan Anda
untuk melakukan injeksi nantinya. Ada kalanya vena yang
ideal tidak ada, dan kemudian akan tergantung kepada
keahlian dan pengalaman Anda untuk berhasil melakukan
injeksi.
4. Cuci tangan 7 langkah dan pakai sarung tangan.
5. Pasang torniket di bagian proksimal dari lokasi injeksi.
6. Tentukan lokasi penyuntikan yang benar.
7. Bersihkan kulit di atasnya dengan kapas alkohol.
8. Suntikkan jarum dengan sudut sekitar 45 derajat atau
kurang ke dalam vena yang telah Anda tentukan. Jarum
mengarah ke arah proximal sehingga obat yang nanti
disuntikkan tidak akan menyebabkan turbulensi ataupun
pengkristalan di lokasi suntikan.
9. Lakukan aspirasi:
- Bila tidak ada darah, berarti perkiraan dokter salah.
Beberapa institusi mengajarkan untuk terus berusaha
melakukan probing dan mencari venanya, selama tidak
terjadi hematom. Beberapa lagi menganjurkan untuk
langsung dicabut dan prosedur diulangi lagi.
- Bila ada darah yang masuk, berwarna merah terang,
sedikit berbuih, dan memiliki tekanan, segera tarik jarum
dan langsung lakukan penekanan di bekas lokasi injeksi
tadi. Itu berarti Anda mengenai arteri. Walaupun ini
jarang terjadi, karena kecuali Anda menusuk dan
- 1124 -
melakukan probing terlalu dalam, Anda tetap harus tahu
mengenai risiko ini.
- Bila ada darah yang masuk, berwarna merah gelap, dan
tidak memiliki tekanan, itu adalah vena. Lanjutkan
dengan langkah berikut.
10. Lepaskan torniquet dengan hati-hati, jangan sampai
menggerakkan jarum yang sudah masuk dengan benar.
11. Suntikkan obat secara perlahan-lahan. Terkadang
mengusap-usap vena di bagian proximal dari lokasi injeksi
dengan kapas alkohol dapat mengurangi nyeri selama
memasukkan obat.
12. Setelah selesai, cabut jarum dan langsung lakukan
penekanan di bekas lokasi injeksi dengan kapas alkohol.
Penekanan dilakukan kurang lebih 2-5 menit. Atau bisa juga
Anda gunakan band-aid untuk menutupi luka suntikan itu.
13. Buanglah syringe dan jarum di tempat sampah medis.
14. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan.
Analisis Tindakan
1. Teknik ini digunakan apabila kita ingin obat yang
disuntikkan akan diabsorpsi oleh tubuh dengan pelan dan
berdurasi panjang
2. Biasanya volume obat yang disuntikkan terbatas pada 1-2
ml per sekali suntik
3. Saat akan menyuntik penting untuk mengetahui posisi
katup vena, karena bila terkena katup tersebut biasanya
rusak secara permanen dan akan menyebabkan kolaps pada
vena yang bersangkutan
4. Cara mengetahui letak katup vena
- Lakukan tekanan ke arah distal pada vena yang
bersangkutan
- Ikuti tekanan itu dan nanti akan menemukan tempat
tertentu dimana darah yang didorong tidak datap lewat
lagi. Di tempat itulah terdapat katup vena
Referensi
Springhouse Corporation Medication. Administration and IV
Therapy Manual. 2nd edition. Pennsylvania, Springhouse
Corporation. 1993.
- 1125 -
c. Injeksi subkutan
Tingkat Keterampilan: 4A
Persiapan alat
1. Spuit dengan jarum khusus untuk injeksi subkutan
2. Kapas alkohol
3. Obat injeksi yang akan disuntikkan
4. Aquades
5. Sarung tangan
Teknik Tindakan
1. Pastikan identitas pasien. Anda tidak mau menyuntikkan
obat ke pasien yang salah dan jelaskan prosedur tindakan
yang akan dilakukan
2. Siapkan obat yang akan disuntikkan, masukkan ke dalam
syringe.
3. Tentukan tempat yang akan dilakukan injeksi
- Daerah lengan atas kiri dan kanan
- Daerah panggul kanan dan panggul kiri
- Daerah paha depan kiri dan kanan
- Daerah perut di sekitar umbilikus
4. Cuci tangan 7 langkah dan pakai sarung tangan
5. Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman, dan juga
mudah serta ideal bagi Anda untuk melakukan injeksi yang
diinginkan.
6. Tentukan lokasi penyuntikan yang benar
7. Bersihkan kulit di atasnya dengan alkohol atau cairan
desinfektan lain.
8. Pegang syringe dengan tangan dominan Anda (gunakan ibu
jari dan jari telunjuk)
9. Gunakan tangan non dominan untuk mencubit kulit di
sekitar lokasi suntikan.
10. Masukkan jarum dengan sudut 90°. Gunakan pengetahuan
anatomi Anda untuk memperkirakan kedalaman jarum.
11. Masukkan obat dengan perlahan (1 ml per 10 detik) sampai
dosis yang diinginkan tercapai.
12. Setelah usai, tarik jarum syringe. Tergantung jenis obat yang
dimasukkan, ada beberapa obat yang memerlukan
pemijatan ringan untuk membantu penyerapan, namun ada
pula yang tidak. Pahami secara menyeluruh obat yang Anda
suntikkan, atau silahkan baca rekomendasi dari pabrik
pembuat obat.
13. Pisahkan jarum dari syringe. Buang keduanya di tempat
sampah khusus sampah medis.
- 1126 -
14. Periksa lokasi suntikan sekali lagi untuk memastikan bahwa
tidak ada perdarahan, pembengkakan, atau reaksi-reaksi
lain yang terjadi.
15. Catat dalam rekam medis pasien jenis obat yang
dimasukkan, jumlahnya, dan waktu pemberian
Analisis Tindakan
1. Apabila dilakukan dengan jarum khusus injeksi subkutan,
penyuntikan dapat dilakukan dengan posisi 90°.
2. Biasanya volume obat terbatas pada 1-2 ml sekali suntik.
3. Bila tidak ada jarum khusus injeksi subkutan. Injeksi
dilakukan dengan posisi 45°.
Referensi
Peragallo-Dittko V. Rethinking subcutaneous injection technique.
American Journal of Nursing. 1997. 97, 5, 71-72.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
Dasar-dasar pengangkatan
1. Rencanakan setiap gerakan.
2. Pertahankan sikap tegak saat berdiri, berlutut, maupun duduk,
jangan membungkuk.
3. Konsentrasikan beban pada otot paha bukan punggung.
4. Gunakan otot fleksor (otot untuk menekuk bukan meluruskan).
5. Saat mengangkat dengan tangan, telapak tangan menghadap ke
arah depan.
6. Jaga titik berat badan sedekat mungkin ke tubuh anda.
7. Gunakan alat bantu.
8. Jarak antara kedua lengan dan tungkai adalah selebar bahu.
9. Posisi awal dalam posisi berlutut, satu tungkai bertekuk pada
lutut dengan tungkai bawah sejajar lantai. Tungkai lain
bertekuk pada lutut dengan telapak kaki bertumpu pada lantai
Jangan gunakan cara ini jika terdapat cedera pada lengan dan
tungkai korban atau jika kemungkinan ada patah tulang belakang
Analisis
1. Syarat utama dalam mengangkat korban keadaan fisik yang
baik, terlatih dan dijaga dengan baik
2. Ada korban yang dapat langsung dipindahkan, ada korban
tertentu yang membutuhkan proses pemindahan yang rumit
3. Pada pemindahan darurat, walaupun perawatan emergensi
untuk mempertahankan jalan napas, pernafasan dan peredaran
darah belum dilakukan, jika lokasi tidak aman untuk
memberikan pertolongan, terpaksa korban dipindahkan terlebih
dahulu sebelum tindakan A-B-C dilakukan
4. Bahaya terbesar pada pemindahan darurat adalah
memburuknya suatu cedera tulang belakang
5. Paling aman adalah dengan cara menarik korban searah poros
tubuh
Referensi
Perry, Petterson, Potter. Keterampilan Prosedur Dasar. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
1. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan
dan prosedurnya
2. Cuci tangan 7 langkah dan pakai hand scoen
3. Tentukan lokasi yang akan dilakukan skin test (lengan kanan
atau lengan kiri) terutama di lokasi yang dengan dapat dengan
mudah dilihat
4. Siapkan spuit 1cc yang sudah dimasukkan dengan obat
5. Bersihkan dengan alkohol lokasi yang akan disuntik
6. Arahkan spuit 10-15° lalu tusuk ke intrakutan secara perlahan
dan masukkan obat, sampai kulit terlihat menonjol
7. bekas suntikan tersebut diberi tanda dan tunggu selama 15-20
menit menit
Analisis/ Interpretasi
1. Bila di bekas tempat suntikan terasa panas, gatal, merah dan
bengkak artinya hasil pemeriksaan tersebut positif
2. Pasien dengan hasil skin test positif tidak diperbolehkan
diinjeksi dengan obat yang menyebabkan reaksi tersebut
3. Penilaian menurut The Standardization Committee of Northern
Society Allergology :
- Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)
- Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)
- Derajat bentol + (+1) dan ++ (+2) digunakan bila bentol yang
timbul besarnya antara bentol histamin dan larutan kontrol
- Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter
bentol histamin dinilai ++++(+4)
Referensi
Mayo Clinic staff. Allergy skin tests: Identify the sources of your
sneezing, MayoFoundation for medical education and research,
April 2005 ; 1-5
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Tindakan
1. Jelaskan prosedur sebelum melakukan dan berikan penyuluhan
jika diperlukan kepada ibu pasien
2. Berikan instruksi tentang perawatan dan keamanan IV.
3. Persiapkan alat dan bahan seperti tiga buah potongan plester
sepanjang 2,5 cm. Belah dua salah satu plester sampai ke
bagian tengah, jarum bersayap atau kateter 21/ 23G, kapas
alkohol atau antiseptik dan bidai kecil untuk anak
4. Sambungkan cairan infus dengan infus set terlebih dahulu dan
periksa tidak ada udara pada infus set
5. Minta asisten untuk membendung aliram vena di proksimal
tempat insersi dengan genggamannya
6. Cuci tangan 7 langkah dan gunakan sarung tangan
7. Pilih vena yang akan dilakukan pemasangan, untuk anak-anak
lakukan teknik transiluminasi untuk mendapatkan vena
8. Dengan kapas alkohol atau antiseptik yang tepat, bersihkan
tempat insersi dan biarkan hingga mengering
9. Masukkan kateter ke vena sejajar dengan bagian terlurus vena,
tusuk kulit dengan sudut 30-45 derajat, setelah keluar darah
pada ujung kateter, tarik sedikit jarum pada kateter, dorong
kateter sampai ujung, dan ditekan ujung kateter dengan 1 jari
10. Sambungkan kateter dengan cairan infus
11. Lakukan fiksasi dengan plester atau ikat pita
12. Pasang bidai pada lengan dengan posisi yang nyaman
13. Lakukan monitoring kelancaran infus (tetesan, bengkak atau
tidaknya tempat insersi)
14. Mencatat waktu, tanggal dan pemasangan ukuran kateter
Analisis/ Interpretasi
Infeksi superfisial pada kulit tempat pemasangan kanul merupakan
komplikasi yang paling umum. Infeksi bisa menyebabkan
tromboflebitis yang menyumbat vena dan menimbulkan demam.
Kulit sekelilingnya akan memerah dan nyeri. Lepas kanul untuk
menghindari risiko penyebaran lebih lanjut. Kompres daerah infeksi
dengan kain lembap hangat selama 30 menit setiap 6 jam. Jika
demam menetap lebih dari 24 jam, berikan antibiotik (yang efektif
terhadap bakteri stafilokokus)
Referensi
WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Edisi
ke 2. http://www.ichrc.org/a121-memasang-kanul-vena-perifer.
Diunduh pada tanggal 5 Agustus 2013
- 1130 -
KESEHATAN MASYARAKAT, KEDOKTERAN PENCEGAHAN DAN
KEDOKTERAN KOMUNITAS
Pendahuluan
Pelayanan kesehatan yang bermutu bisa dilihat dari dua sisi yaitu
dari sisi pasien dan sisi pemberi pelayanan. Yang dimaksud dengan
pelayanan kesehatan bermutu dari sisi pasien adalah pelayanan
kesehatan yang mudah ditemui, mudah didapat, memberikan
tingkat kesembuhan tinggi, dengan pelayanan yang ramah dan
sopan. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan bermutu dari
sisi pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang efektif,
memberikan tingkat kesembuhan tinggi, dan dilaksanakan sesuai
dengan prosedur terstandar. Artinya sebuah pelayanan kesehatan
yang bermutu harus memenuhi kriteria-kriteria dari dua sisi
tersebut.
Pengertian
Levits dan Hilts menyatakan bahwa program jaminan mutu adalah
proses pengumpulan data dari sebuah pelayanan kesehatan untuk
membandingkan kinerja dengan indicator-indikator yang
mempengaruhi hasil pelayanan serta mengidentifikasi masalah
dalam proses pelayanan dan manajemen pelayanan.
Tujuan
1. Memprioritaskan bagian dari pelayanan kesehatan yang perlu
ditingkatkan mutunya
2. Menghasilkan solusi terhadap masalah yang membutuhkan
penanganan secara fundamental
3. Membangun kesuksesan organisasi melalui peningkatan mutu
pelayanan
Analisis/Interpretasi
P = (M x I x V) / C
Keterangan:
- M = Magnitude
Besarnya masalah yang dapat diselesaikan. Makin besar
masalah yang dapat diatasi makin tinggi prioritas jalan
keluar tersebut.
- I = Importancy
Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan
penyelesaian masalah. Makin lama bebas masalah, makin
penting jalan keluar tersebut.
- V = Vulnerability
Sensitivitas jalan keluar, dikaitkan dengan kecepatan jalan
keluar untuk mengatasi masalah. Makin cepat teratasi,
makin sensitive jalan keluar tersebut.
- C = Cost
Adalah ukuran efisiensi alternatif jalan keluar. Nilai
efisiensi ini biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang
diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar
biaya yang diperlukan, makin tidak efisien jalan keluar
tersebut. Berikan angka 1 (biaya paling sedikit) sampai
dengan angka 5 (biaya paling besar).
Referensi
1. Azrul Azwar. Program Jaminan Mutu. Dian Pustaka.
2. Hughes RG. Tools and Strategies for Quality Improvement and
Patient Safety: An Evidence-Based Handbook for Nurses.
Rockville; US, 2008.
3. Levitt C, Hilts L. Quality in Family Practice Books of Tools, 1st ed.
McMaster Innovation Press;Toronto, 2010.
4. Franco LM, Newman J, Murphy G, Mariani E. Achieving Quality
Through Problem Solving and Process Improvement, 2nd Ed.
USAID;Wisconsin, 1997.
- 1136 -
Pendahuluan
Indonesia saat ini menghadapi pergeseran pola penyakit dari
penyakit menular ke arah penyakit tidak menular (PTM). Hal ini
tidak dapat dipisahkan dari perubahan demografis yaitu pergeseran
struktur umur penduduk Indonesia yang bergerak ke arah
penduduk usia tua (aging population). PTM yang meningkat
berperan dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas penduduk
Indonesia. WHO memprediksi kondisi Indonesia tahun 2030,
penyebab kematian antara lain oleh penyakit kardiovaskular (30%),
kanker (13%), diabetes melitus (3%) PTM lainnya 10%, dan cedera
(9%). Penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner,
stroke dan penyakit pembuluh darah perifer menduduki peringkat
pertama penyebab kematian.
Pengertian
Gaya hidup adalah segala upaya untuk menerapkan kebiasaan,
baik dalam membentuk hidup sehat maupun menghindari
kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
Indikator perilaku hidup sehat menurut Departemen Kesehatan RI
adalah:
a. Cek kesehatan berkala
b. Perilaku tidak merokok
c. Pola makan seimbang
d. Aktivitas fisik yang teratur
e. Kelola stress
Tujuan
- Mengembangkan kegiatan pencegahan faktor risiko PTM
- Mengembangkan kegiatan deteksi dini (skrining)
- Mengembangkan keterampilan KIE dan konseling gaya hidup di
layanan primer
- Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengendalian PTM
- 1137 -
Langkah-langkah Pelaksanaan
1. Identifikasi faktor risiko dan skreening
• Faktor risiko PTM ada yang dapat dimodifikasi dan tidak
dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi seperti riwayat penyakit dalam keluarga,
kelahiran prematur, usia dan jenis kelamin.
• Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain, kurang
aktivitas fisik, pola makan tidak sehat dan tidak seimbang,
gaya hidup tidak sehat (merokok, minum alkohol), berat
badan berlebih/obesitas, stres, hiperglikemia, dislipidemia.
• Faktor risiko tersebut dapat diindentifikasi dengan atau tanpa
alat. Kegiatan skrining tanpa alat berupa anamnesa
mendalam tentang:
- Riwayat PTM di keluarga (dapat dibuat dalam bentuk
genogram)
- Pola makan sehari hari (dapat diperkirakan jumlah kalori
dan makanan tidak sehat)
- Pola aktivitas fisik
- Keadaan yang menimbulkan stress baik di kantor, rumah
tangga, lingkungan lain
• Faktor risiko yang dapat dideteksi dengan alat yaitu status
antropometri sederhana yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT) dari
berat badan dan tinggi badan serta lingkar perut. Demikian
juga dengan pemeriksaan tanda-tanda vital seperti tensi,
palpasi nadi, auskultasi jantung paru, test sensasi pada
tungkai dan nadi dorsalis pedis, mengingat hipertensi dan
DM adalah faktor risiko dan penyebab cerebrovaskular
disease.
2. KIE dan Konseling
Kementerian Kesehatan membuat mnemonic yang dapat
digunakan dalam konseling gaya hidup yaitu “CERDIK” dan
“Patuh” yang merupakan singkatan dari :
C – Cek kesehatan secara berkala
E – Enyahkan asap rokok
R – Rajin aktivitas fisik
D – Diet sehat dengan kalori seimbang
I - Istirahat yang cukup
K – Kelola stress
- 1138 -
Dan
Patuh pada Pengobatan
Aktivitas Fisik
Sampaikan kepada pasien bahwa aktivitas fisik adalah
pergerakan tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga
(pembakaran kalori), yang meliputi aktivitas fisik sehari-hari
dan olahraga.
Istirahat cukup
Usahakan memperhatikan kualitas istirahat setiap 7 jam
bekerja. Perhatikan kuantitas dan kualitas tidur minimal 6-8
jam per hari.
Kelola stres
Berpikir positif, beribadah dan berdoa, bersyukur, meditasi,
dengarkan musik relaksasi, pemijatan, miliki sikap mental
positif, visualisasi
- 1141 -
Patuh pada Pengobatan
- Bila pasien diberi resep obat, maka ajarkan : cara minum
obat di rumah, jelaskan erbedaan obat yang diminum jangka
panjang dan jangka pendek. Jelaskan efek samping obat dan
warning sign (contoh hipoglikemia pada OAD)
- Jelaskan cara kerja obat dengan cara sederhana, hindari
medical jargon
- Pastikan pemahaman pasien dan persilakan untuk bertanya
Analisis/ Interpretasi
1. Interpretasi Obesitas Sentral
Jika lingkar perut >102 (Asia : > 90 cm) dan pada wanita >
82 cm (Asia > 80 cm)
2. Interepretasi berat badan berlebih dan obesitas dari Indeks
Massa Tubuh versi Asia
3. Interpretasi Tekanan Darah
Referensi
1. Donatelle. R. 2008. Acces to Health. Pearson Bejamin
Cummings. San Fransisco
2. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Teknis
Penyelenggaraan Pengendalian Penyakit Tidak Menular di
Puskesmas.
3. Prochasca J, Norcros, Diclemente. 2007. Changing for Good : A
Revolutionary Six-Stage Program for Overcoming Bad Habits and
Moving Your Life Positively Forward. Collins, US.
- 1142 -
134. DIAGNOSIS KOMUNITAS
Pendahuluan
Sebagai pusat pengembangan program kesehatan, maka fasilitas
kesehatan di layanan primer perlu melakukan Diagnosis Komunitas
(Community Diagnosis), sehingga program kesehatan yang
dilakukan sesuai dengan masalah yang terutama dihadapi oleh
komunitas/masyarakat di area tersebut. Diagnosis komunitas
merupakan keterampilan (skill) yang harus dikuasai oleh dokter di
fasilitas kesehatan tingkat primer, dan/atau bila bekerja sebagai
pimpinan institusi/unit kesehatan yang bertanggung jawab atas
kesehatan suatu komunitas/masyarakat.
Pengertian
Diagnosis komunitas adalah suatu kegiatan untuk menentukan
adanya suatu masalah dengan cara pengumpulan data di
masyarakat lapangan. Menurut definisi WHO, diagnosis komunitas
adalah penjelasan secara kuantitatif dan kualitatif mengenai
kondisi kesehatan di komunitas serta faktor faktor yang
mempengaruhi kondisi kesehatannya.
Tujuan
- Mengidentifikasi masalah kesehatan di masyarakat
- 1143 -
- Mengembangkan instrumen untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan
- Menganalisis permasalahan kesehatan dan mengajukan solusi
pemecahannya
- Menjelaskan struktur organisasi fasilitas kesehatan tingkat
primer
- Berkomunikasi secara baik dengan masyarakat
- Membuat usulan pemecahan terhadap masalah kesehatan
Langkah-langkah Pelaksanaan
1. Pertemuan awal untuk menentukan area permasalahan
2. Menentukan instrument pengumpulan data
3. Pengumpulan data dari masyarakat
4. Menganalisis dan menyimpulkan data
5. Membuat laporan hasil dan presentasi diseminasi.
Analisis/Interpretasi
Bentuk laporan profil komunitas direkomendasikan mencakup
beberapa aspek di bawah ini:
• Nama wilayah tempat komunitas bersangkutan (kota,
kecamatan, kelurahan)
• Nama lokasi keberadaan komunitas sasaran
• Gambaran singkat wilayah (topografi dan vegetasi)
• Adat istiadat dan kepercayaan masyarakat
• Kelompok agama yang utama
• Kegiatan ekonomi (sumber pendapatan)
• Sarana ekonomi (pasar, toko)
• Sarana transportasi
• Sarana komunikasi
• Sarana penyediaan air
• Sarana sanitasi
• Perumahan (kondisi dan pola bangunan)
• Sekolah dan sarana pendidikan lain
• Sarana kesehatan (RS, klinik, puskesmas, toko obat, dukun)
- 1144 -
• Pola penyakit:
o Penyebab utama dari gangguan kesehatan
o Jenis penyakit yang paling banyak
o Masalah kesehatan khusus
• Perilaku sehat dan sakit
o Kemana mencari pertolongan ketika sakit
o Apa yang dilakukan untuk mencegah penyakit
o Apa peranan pengobatan tradisional dalam pelayanan
kesehatan
Beberapa hal umum yang menjadi sifat hasil analisis data diagnosis
komunitas adalah:
• Informasi statistik lebih baik ditampilkan dalam bentuk rate
atau rasio untuk perbandingan
• Tren atau proyeksi sangat berguna untuk memonitor perubahan
sepanjang waktu yang diamati serta perencanaan ke depan
• Data wilayah atau distrik lokal dapat dibandingkan dengan
distrik yang lain atau ke seluruh populasi
• Tampilan hasil dalam bentuk skematis atau gambar dapat
digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mudah
dan cepat
Referensi
1. Suryakantha AH. Community medicine with recent advances.
Jaypee Brothers, Medical Publishers; 2010. 904 p.
2. Indonesia KK. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia [online]. 2012 [disitasi 5 Mei 2014];
Diunduh dari:
http://www.pkfi.net/file/download/Perkonsil%20No%2011%
20Th%202012%20Ttg%20Standar%20Kompetensi%20Dokter%2
0Indonesia%20%202012.pdf
3. World Health Organization. City health profiles: how to report on
health in your city. ICP/HSIT/94/01 PB 02. Available at:
www.euro.who.int/ document/wa38094ci.pdf
4. Garcia P, McCarthy M. Measuring health: a step in the
development of city health profiles. EUR/ICP/HCIT 94 01/PB03.
Available at: www.euro.who.int/document/WA95096GA.pdf
5. Matsuda Y, Okada N. Community diagnosis for sustainable
disaster preparedness. Journal of Natural Disaster Science.
2006;28(1):25–33.
- 1145 -
6. Bennett FJ, Health U of ND of C. Community diagnosis and
health action: a manual for tropical and rural areas. Macmillan;
1979. 208 p.
7. Budiningsih S. Panduan pelaksanaan keterampilan kedokteran
komunitas di FKUI: modul ilmu kedokteran komunitas. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013.
Pendahuluan
Sebagian besar ilmu yang digunakan oleh seorang dokter layanan
primer adalah ilmu kedokteran keluarga. Ilmu kedokteran keluarga
merupakan ilmu yang mencakup seluruh spektrum ilmu
kedokteran, berorientasi pada pelayanan kesehatan tingkat primer
yang bersinambung dan menyeluruh kepada satu kesatuan
individu, keluarga dan masyarakat dengan memperhatikan faktor-
faktor lingkungan, ekonomi dan sosial-budaya. Termasuk
diantaranya terkait pada masalah-masalah keluarga yang ada
hubungannya dengan masalah kesehatan yaitu masalah sehat-
sakit yang dihadapi oleh perorangan sebagai bagian dari anggota
keluarga. (PB IDI, 1983)
Pengertian
Penyakit adalah sebuah fenomena psikososial yang sama
kontribusinya dengan fenomena biologis. Dokter keluarga harus
menyadari bahwa faktor yang berkontribusi untuk terjadinya
sehat-sakit dan sejahtera tidak hanya berasal dari dimensi fisik,
tetapi juga dari dimensi sosial dan psikologis pasien (model bio-
psiko-sosial kesehatan) serta dari keluarga dan komunitasnya.
Dengan memperhatikan ini, dokter dapat memecahkan masalah
kesehatan fisik secara efektif. Solusi untuk kesehatan yang baik
sebenarnya terletak di luar obat-obatan.
Analisis/Interpretasi
Referensi
1. McWhinney IR. A Textbook of Family Medicine. 2nd ed.
Oxford:Oxford University Press, 2009.
2. Gan Gl, Azwar A, Wonodirekso S. A Primer on Family Medicine
Practice. Singapore: Singapore International Foundation, 2004.
3. Boelen C, Haq C, et all. Improving Health Systems:The
Contribution of Family Medicine. A guidebook. WONCA, 2002.
4. Amstrong D. Outline of Sociology as Applied to Medicine. 5th ed.
London:Arnold Publisher, 2003.
5. Rubin RH, Voss C, et all. Medicine A Primary Care Approach.
Philadepphia:WB Saunders Company, 1996.
6. Rakel RE, Rakel DP. Textbook of Family Medicine. 8th ed.
Philadephia:Elsevier Saunders, 2011.
7. Rifki NN. Diagnosis Holistik Pada Pelayanan Kesehatan
Primer:Pendekatan Multi Aspek. Jakarta:Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas, 2008.
Pendahuluan
Pajanan yang spesifik telah diketahui memiliki hubungan dengan
berbagai jenis penyakit. Hubungan tersebut dapat diidentifikasi
berdasarkan hubungan kausal antara pajanan dan penyakit yaitu
berdasarkan kekuatan asosiasi, konsistensi, spesifisitas, waktu,
dan dosis. Banyak penelitian yang mengungkap bahwa frekuensi
kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada
masyarakat umum. Hal tersebut mungkin disebabkan adanya
pajanan-pajanan khusus di kalangan pekerja ditambah dengan
- 1152 -
kondisi lingkungan kerja yang kurang mendukung. Hal tersebut
sangat disayangkan karena sesungguhnya banyak penyakit yang
dapat dicegah dengan melakukan tindakan preventif di tempat
kerja.
Pengertian
Diagnosis okupasi terdiri dari:
1. Penyakit akibat kerja/ PAK (Occupational Diseases) menurut
International Labor Organization (ILO), 1998 adalah Penyakit
yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi kuat
dengan pekerjaan, yang pada umumnya terdiri dari satu agen
penyebab yang sudah diakui.
Tujuan
1. Dasar terapi
2. Membatasi kecacatan dan mencegah kematian
3. Melindungi pekerja lain
4. Memenuhi hak pekerja
Langkah-langkah Pelaksanaan
1. Menentukan diagnosis klinis
2. Menentukan pajanan yang dialami individu tersebut dalam
pekerjaan
3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan dengan
penyakit (berdasarkan evidence based medicine)
4. Menentukan apakah pajanan yang dialami cukup
5. Menentukan apakah ada faktor-faktor individu yang berperan
6. Menentukan apakah ada faktor lain diluar pekerjaan
7. Menentukan Diagnosis Okupasi/ Diagnosis Penyakit Akibat
Kerja
Analisis/ Interpretasi
Langkah
1. Diagnosis Klinis
Dasar diagnosis
(anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, body map, brief survey)
2. Pajanan di tempat kerja
Fisik
Kimia
Biologi
Ergonomi (sesuai brief survey)
Psikososial
3 . Evidence Based (sebutkan secara teoritis)
Pajanan di tempat kerja yang menyebabkan diagnosis klinis di
langkah 1 (satu).
Dasar teorinya apa?
4. Apa pajanan cukup menimbulkan diagnosis klinis ??
Masa kerja
Jumlah jam terpajan per hari
Pemakaian APD
Konsentrasi/dosis pajanan
Lainnya .....................
Kesimpulan jumlah pajanan dan dasar perhitungannya
5. Apa ada faktor individu yang berpengaruh thd timbulnya
diagnosis klinis? Bila ada, sebutkan.
6. Apa terpajan bahaya potensial yang sama spt di langkah 3 di
luar tempat kerja? Bila ada, sebutkan
7 . Diagnosis Okupasi
Apa diagnosis klinis ini termasuk penyakit akibat kerja?
Bukan penyakit akibat kerja (diperberat oleh pekerjaan atau
bukan sama sekali PAK)
Butuh pemeriksaan lebih lanjut)?
- 1155 -
Referensi
1. Soemarko DS, Sulistomo AB, dkk. Buku konsensus diagnosis
okupasi sebagai penentuan penyakit akibat kerja. Jakarta:
Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia dan
Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia, 2011.
2. ILO . Occupational Health Services in ILO Encyclopaedia, 2000 :
16.1-62
3. Levy Barry S and Wegman David H. Occupational Health:
Recognizing and Preventing Work Related Diseases and Injury.
USA: Lippincott Williamas and Wilkins, 2000.
4. World Health Organisation. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja.
World Health Organization, 1993.
5. New Kirk William. Selecting a program Philosophy, structure and
Medical Director, in Occupational Health Service : Practical
Strategis Improving Quality dan Controlling Costs. American
Hospital Publishing, Inc. USA. 1993
6. ILO. Ethical Issue in ILO Encyclopaedi. 2000: 19.1- 30
7. Yanri Zulmiar, Harjani Sri, Yusuf Muhamad. Himpunan
Peraturan Perundangan Kesehatan Kerja. PT Citratama Bangun
Mandiri. Jakarta 1999.
8. Jamsostek. Kumpulan Peraturan Perundangan Jamsostek.
Jakarta. 2003
9. Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional. Pedoman
Diagnosis dan Penilaian cacat karena Kecelakaan dan Penyakit
Akibat Kerja. Jakarta. 2003
10. WHO. International Classification of Functioning, Disability and
Health. Geneva
11. Dep. IKK FKUI dan Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia.
Kurikulum PPDS Kedokteran Okupasi Indonesia. Jakarta. 1998
12. Kompetensi dokter pemberi pelayanan kesehatan kerja dan
kedokteran okupasi, Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia,
1998.
- 1156 -
13. La Dou, Current Occupational and Environmental Medicine, Lange
Medical Books/ Mc Graw Hill, , 2004
14. Zens Dickerson Novark, Occupational Medicine
15. National Institute for Occupational and Safety and Health,
University of Medicine and Dentistry of New Jersey. NIOSH
Spirometry training Guide. December 2003.
16. Maizlish, Neil A., ed. Workplace Health Surveillance, An Action-
Oriented Approach, Oxford University Press, Inc. New York,
2000
17. Newkirk W.L.ed., Occupational Health Services , Practical
Strategies for Improving Quality and Controlling Costs, American
Hospital Publishing Inc. USA, 1993.
18. Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kemeterian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI. Laporan survey tahun 2007-2009.
Jakarta, Desember 2010.
19. Direktorat Kesehatan kerja dan olah raga Kementerian
Kesehatan RI dan PERDOKI. Buku Pelatihan Diagnosis PAK.
Jakarta, April 2011.
20. Soemarko DS. Stress at the workplace in Indonesia. Malindobru.
Jakarta, Juli 2009.
21. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI. Kumpulan
abstrak penelitian Kedokteran Kerja tahun 2008. Jakarta.
137. SURVEILANS
Tingkat Kompetensi: 4A
Pendahuluan
Seorang dokter dituntut untuk meningkatkan derajat kesehatan
komunitas. Oleh karena itu perlu adanya suatu keterampilan untuk
memperoleh informasi akurat bersinambung tentang berbagai
permasalahan di wilayahnya agar dapat dilakukan pengendalian
terhadap permasalahan kesehatan tersebut sesuai dengan sumber
daya setempat. Keterampilan yang dimaksud adalah untuk dapat
melaksanakan kegiatan surveilans.
Pengertian
Surveilans adalah suatu kegiatan pengamatan permasalahan
kesehatan secara terus menerus untuk mempelajari trend
permasalahan kesehatan di wilayah tertentu secara bersinambung.
- 1157 -
Referensi
Modifikasi dari Basuki E, Daftar Tilik Konseling, Keterampilan Klinik
Dasar FKUI, dokumen tidak dipublikasi, 2009
Tingkat Keterampilan : 4A
Pendahuluan
Pembinaan kesehatan usia lanjut tidak dapat berdiri sendiri
mengingat pada Usia Lanjut mengalami multipatologi dan
penyebabnyapun multifaktorial. Pembinaan kesehatan ini
mencangkup langkah promotif berupa edukasi, langkah preventif
berupa pengkajian dengan tujuan menggali masalah kesehatan
yang dialami oleh individu, langkah kuratif berupa
penatalaksanaan yang bersifat multidisiplin serta langkah
rehabilitatif berupa konseling dan langkah lain sesuai masalah.
- 1159 -
Pembinaan kesehatan usia lanjut seharusnya diawali dengan
pelayanan Pra Lanjut Usia pada individu usia 45-59 tahun.
Pelayanan tersebut meliputi :
Penilaian:
0-20 : Ketergantungan
21-61 : Ketergantungan berat/ sangat tergantung
62-90 : Ketergantungan sedang
91-99 : Ketergantungan ringan
100 : Mandiri
- 1161 -
KARTU INSTRUKSI
Perintah untuk Lansia :
Bila saya memberi aba-aba Jalan, segera
lakukan :
1. Berdiri dari kursi
2. Berjalanlah sepanjang garis penanda
(3m)
3. Berbalik arah setelah sampai ujung
4. Berjalan kembali kearah kursi
5. Duduk kembali dengan sempurna
Keterangan
Lanjut Usia menggunakan alas kaki (sepatu atau sandal) yang
sering dipakai, diperbolehkan menggunakan alat bantu (
tongkat, tripod, dll). Pencatatan waktu dimulai bersamaan
dengan perintah “jalan...” dan diakhiri saat Lansia duduk
kembali dengan sempurna. Observasi yang dapat dilakukan
untuk lansia meliputi : stabilitas posisi, langkah (gait), lebar
langkah, dan ayunan.
Penilaian
Bila waktu yang diperlukan > 12 detik, maka Lansia memiliki
resiko tinggi untuk jatuh
- 1162 -
3. Penilaian status psiko-kognitif dan perilaku
Untuk menjaring masalah psiko-kognitif dan perilaku
dilakukan pemeriksaan Metode 2 Menit. Bila didapati
gangguan mental emosional, maka dilakukan GDS yang
merupakan metode skrining depresi, serta MMSE dan AMT
(Abbreviated Mental Tes/ AMT)sebagai skrining demensia.
MMSE dapat ditambahkan dengan Clock Drawing Test
(CDT).
No Pertanyaan Jawaban
1 Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan Ya / Tidak
anda?
2 Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan Ya / Tidak
minat atau kesenangan anda?
3 Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? Ya /Tidak
4 Apakah anda sering merasa bosan? Ya / Tidak
5 Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap Ya / Tidak
saat?
6 Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan Ya / Tidak
terjadi pada anda?
7 Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar Ya / Tidak
hidup anda?
8 Apakah anda sering merasa tidak berdaya? Ya / Tidak
9 Apakah anda lebih senang tinggal di rumah daripada Ya / Tidak
keluar dan
mengerjakan sesuatu yang baru ?
10 Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah Ya / Tidak
dengan daya ingat anda dibanding kebanyakan orang?
11 Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini Ya / Tidak
menyenangkan?
12 Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan Ya / Tidak
anda saat ini?
13 Apakah anda merasa anda penuh semangat? Ya / Tidak
14 Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada Ya / Tidak
harapan?
15 Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik Ya / Tidak
keadaannya dari pada
anda?
Jumlah jawaban yang tercetak tebal
Cara penghitungan:
1) Setiap jawaban bercetak tebal mempunyai nilai 1
2) Hitung jumlah jawaban yang tercetak tebal
Penilaian:
Skor antara 5-9 menunjukkan kemungkinan besar
depresi
Skor 10 atau lebih menunjukkan depresi
- 1164 -
c. MMSE (lihat pada materi Keterampilan Klinik Psikiatri)
Prosedur
1) Lansia diberi 10 pertanyaan, dinilai 1 apabila jawaban
benar, dan 0 bila jawaban salah. Lihat daftar pertanyaan
dalam kartu kuesioner.
No Pertanyaan Skor
1 Berapakah usia anda
2 Sekarang jam berapa?
3 Diberi suatu alamat, dan diperintahkan untuk
menyebutkan ulang
4 Saat ini tahun berapa?
5 Sebutkan tempat anda berada saat ini
6 Sebutkan nama 2 orang yang diingat
7 Sebutkan tanggal kelahiran
8 Sebutkan (salah satu) tanggal dari peristiwa penting
nasional
9 Sebutkan nama tokoh terkenal nasional
10 Hitung mundur dari 20 hingga 1
Prosedur:
1) Siapkan peralatan
- 1165 -
2) Lansia diperintahkan untuk menggambar
lingkaran jam dan menulis angkanya
3) Lansia diperintahkan untuk menggambar posisi
jarum sesuai dengan instruksi (umumnya
instruksi menggambar pukul 11.10)
Tatalaksana
Protein
Kandungan protein dianjurkan sesuai kecukupan antara 0,8-1
g/kgBB/hari (10-15%) dari kebutuhan energi total.
Karbohidrat
Dianjurkan asupan karbohidrat antara (50-60%) dari energi total
sehari, dengan asupan karbohidrat kompleks lebih tinggi daripada
karbohidrat sederhana.
Konsumsi serat dianjurkan 10-13 g per 1000 kalori (25g/hari ~ 5
porsi buah dan sayur). Buah dan sayur selain merupakan sumber
serat, juga merupakan sumber berbagai vitamin dan mineral.
Lemak
Kandungan lemak dianjurkan + 25% dari energi total per hari, dan
diutamakan berasal dari lemak tidak jenuh.
Cairan
Pada Lanjut Usia masukan cairan perlu diperhatikan karena
adanya perubahan mekanisme rasa haus, dan menurunnya cairan
tubuh total (dikarenakan penurunan massa bebas lemak).
Sedikitnya dianjurkan 1500 ml/hari, untuk mencegah terjadinya
dehidrasi, namun jumlah cairan harus disesuaikan dengan ada
tidaknya penyakit yang memerlukan pembatasan air seperti gagal
jantung, gagal ginjal dan sirosis hati yang disertai edema maupun
asites.
Vitamin
Vitamin mempunyai peran penting dalam mencegah dan
memperlambat proses degeneratif pada Lanjut Usia. Apabila asupan
tidak adekuat perlu dipertimbangkan suplementasi; namun harus
dihindari pemberian megadosis.
- 1170 -
Tabel 27. Kebutuhan vitamin larut lemak
Ca P Fe Zn I Se
(mg) (mg) (mg) (mg) (mcg) (mcg)
Laki-laki 800 600 13 13,4 150 30
> 65 th
Perempuan 800 600 12 9,8 150 30
> 65 th
Latihan fisik
Dilakukan hanya pada Lanjut Usia yang sehat atau dengan
ketergantungan ringan sesuai skala Barthel
Prinsip – prinsip latihan fisik :
- Perlu menerapkan prinsip latihan fisik yang baik, benar,
terukur, dan teratur guna mencegah timbulnya dampak yang
tidak diinginkan.
- Latihan fisik terdiri dari pemanasan, latihan inti dan diakhiri
dengan pendinginan. Pemanasan dan pendinginan berupa
peregangan dan relaksasi otot serta sendi yang dilakukan secara
hati-hati dan tidak berlebihan.
- Frekuensi latihan fisik dilakukan 3-5 x/minggu dengan selang 1
hari istirahat.
- Latihan fisik dilakukan pada intensitas ringan-sedang dengan
denyut nadi : 60 – 70 % x Denyut Nadi Maksimal (DNM) . DNM
= 220 – umur.
- Latihan fisik dilakukan secara bertahap dan bersifat individual,
namun dapat dilakukan secara mandiri dan berkelompok
Latihan Inti
Terdiri dari latihan yang bersifat aerobik untuk daya tahan jantung-
paru, latihan kekuatan otot untuk daya tahan dan kekuatan otot
serta latihan keseimbangan.
Latihan daya tahan jantung-paru :
Latihan aerobik dilakukan berdasarkan frekuensi latihan fisik per
minggu, mengukur intensitas latihan fisik dengan menghitung
denyut nadi per menit saat latihan fisik. Frekuensi dilakukan 3 – 5
x /minggu selama 20 – 60 menit, dapat dilakukan dengan interval
10 menit.
a. Senam aerobik 1 x / minggu (kelompok)
Dosis latihan disesuaikan dengan kemampuan sehingga denyut
nadi latihan mencapai = 60 – 70 % DNM dan bersifat low impact
(gerakan-gerakan yang dilakukan tanpa adanya benturan pada
tungkai)
b. Jalan cepat 2 x / minggu (secara kelompok 1x dan secara
mandiri 1x)
Latihan dilakukan dengan kecepatan secara bertahap: (untuk
usia ≤ 60 thn)
Keterangan :
Contoh pada bulan ke 2:
Jalan cepat 1,6 Km dengan waktu tempuh 25 menit, dilakukan 2 x
dengan selang waktu istirahat 15 menit . Istirahat dilakukan tidak
dalam keadaan duduk, tetapi secara aktif yaitu sambil berjalan
pelan atau menggerakkan lengan dan tungkai.
- 1173 -
Untuk usia > 60 tahun menggunakan latihan fisik dengan jalan
cepat selama 6 menit dengan menghitung jarak tempuh yang
dilakukan secara bertahap
Latihan Keseimbangan
Latihan keseimbangan dilakukan dengan melatih tubuh pada posisi
tidak seimbang dengan atau tanpa menggunakan alat bantu (kursi).
Latihan dilakuan 2 – 3 x/ minggu selama 10 – 15 menit, waktunya
setelah latihan kekuatan otot.
Tingkat kemampuan: 4A
Teknik keterampilan
1. Persiapan peralatan: sesuai dengan metoda asesmen yang
dipakai
2. Persiapan Pasien:
• Menjelaskan kepada pasien tujuan pemeriksaan
• Menjelaskan tahapan pemeriksaan
• Menjelaskan efek samping dan komplikasi pemeriksaan (jika
ada)
3. Pelaksanaan pemeriksaan
4. Mendokumentasikan dan menyimpulkan hasil asesmen.
1. Sensibilitas
Pemeriksaan sensibilitas dilakukan untuk memeriksa fungsi
modalitas sensorik yaitu rasa raba, rasa posisi, nyeri.
Untuk pemeriksaan sensibilitas pada asesmen KFR sederhana
ini, dilakukan dengan menggunakan Nottingham Sensory
Assesment.
Kontraindikasi
Tidak ada
4. Keseimbangan
Keseimbangan atau balance adalah mekanisme tubuh untuk
menghindari jatuh atau kehilangan keseimbangan.
Tujuan asesmen adalah untuk menilai adanya masalah
keseimbangan.
Asesmen keseimbangan pada pemeriksaan KFR sederhana
dilakukan dengan menggunakan berg balance scale dan
pediatric balance scale.
Kontraindikasi
• Penurunan kesadaran
• Pasien tidak kooperatif
• Nyeri hebat pada pemeriksaan muskuloskeletal
• Fraktur
Indikasi
• Pasien dengan gangguan neurologis yang berisiko mengalami
gangguan fungsional
• Pasien dengan tirah baring lama
• Pasien geriatri
• Pasien dengan cedera musculoskeletal
• Pasien dengan gangguan fungsi luhur
8. Fungsi menelan
Uji fungsi menelan adalah penilaian fungsi menelan fase
orofaring yang dapat dilakukan secara klinis atau dengan alat.
Tujuan uji fungsi menelan adalah untuk penapisan ada
tidaknya gangguan menelan, pengumpulan informasi tentang
kemungkinan etiologi gangguan menelan terkait anatomi dan
fisiologinya, mencari adanya resiko aspirasi, menentukan
manajemen nutrisi alternatif(jika diperlukan),
merekomendasikan pemeriksaan tambahan yang diperlukan
untuk menegakkan diagnosa ataupun penatalaksanaan
gangguan menelan, untuk menilai hasil terapi.
Untuk pemeriksaan KFR sederhana pada fungsi menelan,
dilakukan secara klinis dengan menggunakan dysphagia self
test dan Toronto bedside swallowing screening test.
Tingkat kemampuan: 4A
Pendahuluan
Seorang pasien yang mengalami masalah kesehatan yang berat
atau yang kronis, memerlukan suatu penatalaksanaan yang
memungkinkan pasien tersebut kembali di tengah lingkungan
sosialnya dan berfungsi sebagaimana/ sedekat mungkin seperti
sebelum sakit. Rehabilitasi bukan hanya dari sudut fisis, namun
perlu dari sudut mental dan sosial. Rehabilitasi sosial sangat
membutuhkan motivasi yang tinggi dari individu, dukungan dari
lingkungan sosial mulai dari pasangan, anggota keluarga dan
komunitas sosial (komunitas sosial di sekitar pasien, maupun
komunitas yang dapat terhubung dengan media masa atau media
sosial)
- 1182 -
Tujuan
a. Diperolehnya keadaan sosial yang nyaman bagi individu yang
berusia 17 tahun ke atas untuk kembali pada keadaan
keseharian sebelum sakit dalam rangka menjamin kualitas
hidup individu
b. Diperolehnya keadaan sosial yang nyaman bagi keluarga setelah
adanya individu dalam keluarga yang mengalami masalah
kesehatan
c. Diperolehnya keadaan sosial yang nyaman bagi masyarakat
setelah pengalaman masalah kesehatan luar biasa
Referensi
Modifikasi dari Basuki E, Daftar Tilik Konseling, Keterampilan Klinik
Dasar FKUI, dokumen tidak dipublikasi, 2009
- 1185 -
PEMERIKSAAN PENUNJANG MEDIS
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Keterampilan
1. Redupkan cahaya ruangan.
2. Pasang film pada lightbox.
3. Film lama diperlukan untuk membandingkan dengan hasil film
terbaru.
4. Cek nama, tanggal dan diagnosis pasien.
5. Identifikasi jenis film: AP/Lateral.
6. Nilai:
a. Apakah film mencakup seluruh vertebrae yang akan dinilai.
b. Garis: anterior, posterio, spinolaminar.
c. Tulang: ukuran korpus vertebrae
d. Jarak: nilai diskus dan prosesus spinosus
e. Jaringan lunak prevertebralis
Analisis Interpretasi
Vertebra servikal:
1. Foto lateral:
a. Seluruh vertebrae terlihat dari dasar tengkorak sampai
dengan vertebrae T2.
b. Garis anterior yaitu garis didepan ligamentum longitudinale.
Garis posterior merupakan garis dibelakang ligamentum
longitudinale. Saris spinolaminar adalah garis yang dibentuk
sudut prosesus spinosus memanjang dari basis cranii.
c. Jarak diskus harus sama disetiap diskus.
d. Pelebaran jaringan lunak prevertebral dapat disebabkan oleh
hematom prevertebral akibat fraktur.
2. Foto AP:
a. Foto harus mencakup seluruh tulang servikal hingga
vertebrae thorakal atas.
b. Posisi AP sulit digunakan untuk melihat adanya fraktur.
c. Pada posisi ini dapat terlihat kelainan emfisema pada
jaringan lunak.
3. Swimmer position:
Digunakan untuk menilai C7-T1 yang sulit dilihat pada foto
lateral.
Thorakolumbal
1. Foto lateral
- 1186 -
Garis-garis: garis anterior, posterior sejajar dengan lengkung
vertebrae.
Tulang: korpus vertebrae semakin membesar dari superior ke
inferior.
Jarak: jarak diskus semakin membesar dari superior ke inferior.
2. Foto AP
Korpus vertebrae dan prosesus spinosus membentuk garis lurus
Tulang: korpus vertebrae dan pedikel intak
Jarak: setiap diskus mempunyai tinggi yang sama kanan dan
kiri.
Pedikel: semakin melebar dari seperior ke inferior.
Perhatikan jaringan lunak para vertebra yang membentuk garis
lurus pada sisi kiri, bedakan dari aorta.
Lumbal
1. Foto lateral
Garis: ikuti ujung korpus vertebrae dari satu tingkat ke tingkat
selanjutnya.
Jarak diskus biasanya meningkat dari seuperior ke inferior.
Perhatikan bahwa jarak L5-S1 sedikit lebih sempit
dibandingkan L4-L5.
2. AP
Nilai integritas pedikel dan prosesus transfersus. Penilaian lain
sama dengan penilaian foto AP thorakolumbal.
Sacrum-pelvis
Foto AP
- Dua tulang hemipelvis dan sakrum membentuk cincin tulang
yang pada bagian posterior dihubungkan oleh sendi sakroiliaka
dan pada bagian anterior oleh simfisis pubis.
- Fraktur pelvis memiliki gambaran yang sangat bervariasi
tergantung mekanisme cedera.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Redupkan cahaya ruangan.
2. Pasang film pada lightbox.
3. Film lama diperlukan untuk membandingkan dengan hasil film
terbaru.
4. Cek nama, tanggal dan diagnosis pasien.
- 1187 -
5. Identifikasi jenis film: AP/PA/Supine/Erect/Lateral
6. Nilai kualitas film.
7. Nilai adanya tube atau kabel yang terpasang pada pasien.
8. Nilai jaringan lunak dan tulang:
a. Leher, supraclavicula, axilla, dinding dada, payudara,
abdomen dan udara lambung.
b. Humerus, sendi bahu, skapula, clavicula, vertebrae, iga dan
sternum.
9. Mediastinum:
a. Nilai bagian atas, tengah dan bawah
anterior/medial/posterior.
b. Nilai ukuran, bentuk dan densitasnya.
10. Jantung:
a. Ukuran: hitung CTR (evaluasi AP/PA, elevasi diafragma saat
inspirasi, adanya massa).
b. Bentuk: serambi dan bilik.
c. Siluet.
11. Diafragma: nilai ukuran dan sudut kostofrenikus.
12. Nilai pleura atau fisura.
13. Paru: nilai trakea dan bronkhi, hilum, pembuluh darah,
parenkima, apeks, bagian di belakang jantung.
Interpretasi:
1. Kualitas film
Pada film yang baik, dapat terlihat 10 iga posterior, 6 iga
anterior dan vertebrae thorakal.
Klavikula sejajar dan sternum tepat berada ditengahnya.
2. Diafragma
Normalnya garis diafragma tajam, hemidiafragma kanan sedikit
lebih tinggi dibandingkan kiri.
Adanya udara bebas dibawah garis diafragma menandakan
peritonitis, tenting didapatkan pada fibrosis paru, dan elevasi
yang berlebihan menandakan hepatomegali/splenomegali.
3. Sudut kostifrenikus
Normalnya sudut kostofrenikus tajam.
Sudut kostofrenikus yang tumpul menandakan adanya efusi.
4. Hilus
Pembesaran hilus unilateral dapat disebabkan oleh: infeksi (TB,
viral, bakteri), tumor dan vaskular (aneurisma atau stenosis
arteri pulmonal).
Pembesaran hilus bilateral dapat disebabkan oleh sarkoidosis,
infeksi, tumor, hipertensi arteri pulmonal.
5. Mediastinum (tabel 17)
- 1188 -
Tabel 33. Gambaran mediastinum
9. Pleura
Volume cairan pleura mulai terlihat pada gambaran foto toraks
adalah 200-300 cc. Volume cairan pleura dapat menutupi
seluruh hemitorakss jika berjumlah 5 L.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik pemeriksaan
Arus Puncak Ekspirasi (APE) yaitu Ekspirasi maksimum selama
satu manuver / ekspirasi paksa. Langkah-langkah pemeriksaan,
yaitu:
1. Pastikan baterai sudah terpasang
2. Peakflowmeter dipegang dengan tangan kanan, jari siap pada
posisi start button dan jangan sampai tangan menutup lubang
keluaran.
3. Posisi tubuh berdiri tegak, tidak dalam posisi duduk atau
bersandar.
4. Pasang mouth piece di bagian input dari Peakflowmeter
5. Tekan tombol M/F
6. Tanda “L/MIN” di samping kanan angka 000 akan berkedip
7. Setelah mengambil napas dalam, tahan napas selama 2 - 5 detik
8. Tempatkan mulut pada mouth piece
9. Kemudian tiup dengan mulut sekeras dan secepat mungkin (± 2
detik)
- 1190 -
10. Unit akan berbunyi dalam 2 detik dan hasil pengukuran akan
muncul di layar. Misal : 536 liter/menit
11. Ulangi langkah 4 - 9 untuk pengukuran kedua dan atau ketiga
12. Peak flow meter tidak akan mencatat hasil pengukuran bila
meniupnya pelan atau lebih dari 4 detik
13. Alat akan mengeluarkan bunyi beep 3x sebagai peringatan
14. Tekan tombol Save/Enter selama 2 detik, alat akan
mengeluarkan bunyi beep 3x, dan menyimpan secara otomatis
nilai hasil pengukuran
15. Hasil tes akan terdisplay dan indikator akan menunjukkan
warna jika selesai pengukuran.
16. Jika ingin melakukan tes 2 kali atau lebih, alat akan memilih
dan menyimpan hasil tes yang terbaik dari semua tes yang
dilakukan dalam waktu 3 menit.
Tujuan Kegiatan
- Melakukan pembuatan surat pengantar dan label spesimen
- Melakukan pengambilan sampel (darah, urin, dahak, swab
tenggorokan, goresan kulit, tinja).
Tingkat Kemampuan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan beberapa batang kayu tipis atau kawat alumunium
dengan panjang 18 cm dan diameter 2 mm. buat strip kapas,
dengan panjang 6 cm dan lebar 3 cm setipis mungkin.
2. Gulung kapas mengelilingi salah satu ujung batang kayu.
- 1194 -
3. Swab kapas tersebut dibentuk seperti kerucut. Taruh di dalam
tabung reaksi kaca. Sumbat tabung dengan kapas yang tidak
menyerap cairan. Sterilkan tabung berisi swab kapas tersebut.
4. Tekan lidah ke bawah dengan spatula lidah. Perhatikan bagian
belakang tenggorokan.
5. Periksa dengan cermat apakah terapat tanda-tanda peradangan
dan eksudat, pus, endapan membranosa, atau ulkus.
6. Usap area yang terinfeksi dengan kapas swab steril. Swab ini
jangan sampai terkontaminasi oleh saliva. Taruh kembali kapas
swab tersebut di dalam tabung reaksi steril.
7. Untuk pemeriksaan rutin, taruh kembali swab kapas tersebut di
dalam tabung reaksi steril sesegera mungkin dan kirim segera
ke laboratorium bakteriologis.
Tingkat Kemampuan: 4A
Tingkat Kemampuan: 4A
Tingkat Kemampuan: 4A
Spesimen swab anal dipakai untuk biakan tinja pada penyakit diare
atau untuk skrining petugas penyaji makanan.
Alat:
1) Kapas lidi steril
2) Vaselin cair steril
3) Media transport Carry Blair
Tingkat Kemampuan: 4A
Tujuan Pemeriksaan
1. Melakukan pemeriksaan Hematologi:
- Pemeriksaan hemoglobin
- Pemeriksaan hematokrit
- Pemeriksaan hitung jumlah trombosit
- Pemeriksaan hitung jumlah leukosit
- Pemeriksaan hitung leukosit, trombosit, dan eritrosit secara
otomatik
- Pemeriksaan sediaan hapus darah tepi
- Pemeriksaan laju endap darah (LED)
- Pemeriksaan masa perdarahan
- Pemeriksaan masa pembekuan
- Pemeriksaan golongan darah dan antigen Rhesus
2. Melakukan pemeriksaan Tinja
- Pemeriksaan makroskopis
- Pemeriksaan mikroskopis
- Pemeriksaan darah samar
3. Melakukan pemeriksaan Urinalisis
- Pemeriksaan makroskopis
- Pemeriksaan kimiawi
- Pemeriksaan mikroskopis (sedimen)
4. Melakukan pemeriksaan Mikrobiologi
- Pemeriksaan BTA
- Pemeriksaan Gram
- Pemeriksaan jamur permukaan
5. Melakukan tes kehamilan rapid/ Imunokromatografi (ICT)
6. Melakukan penilaian hasil pemeriksaan semen
7. Melakukan pemeriksaan Kimia Klinik
- Pemeriksaan glukosa
- Pemeriksaan protein
- Pemeriksaan albumin
- Pemeriksaan bilirubintotal, bilirubin direk, dan bilirubin indirek
- Pemeriksaan SGOT/AST
- Pemeriksaan SGPT/ALT
- Pemeriksaan Alkali Phosphatase (ALP)
- Pemeriksaan asam urat
- Pemeriksaan Ureum/ BUN
- Pemeriksaan Kreatinin
- Pemeriksaan Trigliserida
- Pemeriksaan Kolesterol total
- Pemeriksaan Kolesterol HDL
- Pemeriksaan Kolesterol LDL
- 1198 -
152. PEMERIKSAAN HEMATOLOGI
Tingkat Kemampuan: 4A
A. PEMERIKSAAN HEMAGLOBIN
a. Metode Sianmethemoglobin
Bahan pemeriksaan
Darah lengkap dengan antikoagulan K2EDTA atau K3EDTA 1-1,5
mg/mL darah.
Cara pemeriksaan
5 mL larutan sianida (Drabkin) dicampur dengan 20 μL darah
dan dibiarkan selama 3 menit. Baca serapan (S) larutan HiCN
yang terjadi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
540 nm. Kadar hemoglobin dapat dibaca pada kurva standar
atau dihitung dengan menggunakan faktor (F), kadar Hb = SxF.
- 1199 -
b. Metode Otomatik
Bahan pemeriksaan
Darah lengkap dengan antikoagulan K2EDTA atau K3EDTA, 3
mL dalam tabung EDTA
Cara pemeriksaan
1) Homogenkan darah dengan antikoagulan EDTA
2) Masukkan identitas pasien pada alat hematologi otomatis
dan siapkan untuk pemeriksaan hematologi
3) Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap darah pasien,
lakukan pemeriksaan kontrol internal menggunakan bahan
kontrol normal, low, high, dengan syarat minimum 2 level
(normal dan low).
4) Aspirasi darah EDTA dengan alat. Jumlah yang diaspirasi
tergantung tipe dan merk alat. Perhatikan kecukupan
sampel karena adanya dead space (jumlah sampel harus
ada supaya bisa diaspirasi alat)
5) Hasil akan tampil pada layar/monitor alat.
Alat:
1) Haemoglobinometer POCT
2) Lancet
Reagen:
1) Microcuvet berisi reagen (Sodium Dioksicholat, Sodium Nitrit,
Azide)
2) Strip berisi regaen
- 1200 -
3) Bahan kontrol
Cara Pemeriksaan
1) Siapkan alat dan reagen pemeriksaan Hb dengan POCT
2) Hidupkan alat
3) Masukkan no batch reagen/ cuvet dan identitas pasien
4) Teteskan darah 1 tetes ke atas alas hidrofobik sebelum
dihisap dengan cuvet (bila memakai cuvet)dengan volume
cukup.
5) Bila cuvet tidak terisi penuh. Sisa darah pada jari usap bersih
dulu, baru dihisap lagi memakai cuvet baru
6) Masukkan cuvet pada alat
7) Setelah informasi dan cuvet masuk dalam alat, pengukuran
dimulai
8) Setelah waktu yang ditentukan pabrik, alat akan
menampilkan hasil kadar Hb pada layar
9) Hasil dicatat pada buku pencatatan hasil pasien
10) Buang cuvet yang telah terpakai pada wadah sampah/limbah
infeksius
Reagen
1) Strip berisi reagen
2) Bahan kontrol
Cara Pemeriksaan
1) Siapkan alat dan reagen pemeriksaan Hb POCT dengan Strip
2) Pastikan baterai terpasang pada alat
3) Masukkan kalibrator untuk Hb
4) Pastikan kode yang tampil pada layar monitor sama dengan
kode yang tertera pada chip kalibrator
5) Masukan strip, layar monitor kan menunjukkan tanda
tetesan darah
6) Teteskan darah pada strip dengan volume cukup sampai
terdengar nada “beep”
7) Bila tetesan darah sudah diteteskan namun volume tidak
cukup, sisa darah pada jari diusap bersih dulu, baru
diteteskan lagi pada strip baru.
8) Setelah waktu yang ditentukan pabrik, alat akan
menampilkan hasil kadar Hb pada layar
9) Hasil dicatat pada buku pencatatan hasil pasien
10) Buang strip yang telah terpakai pada wadah sampah/limbah
infeksius
Tabel 36. Kadar hemoglobin : nilai rujukan, derajat anemia Ibu hamil
menurut WHO
e. Metode Sahli
Bahan Pemeriksaan
Darah vena atau darah kapiler
Cara Pemeriksaan
1. Tabung hemometer diisi dengan larutan HCL 0,1 N sampai
tanda 2
2. Hisaplah darah kapiler dengan pipet Sahli sampai tepat pada
tanda 20 µL (tidak boleh dihisap dengan mulut).
3. Hapuslah kelebihan darah yang melekat pada ujung luar
pipet dengan kertas tissue secara hati-hati jangan sampai
darah dari dalam pipet berkurang.
4. Masukkan darah sebanyak 20 µL ini ke dalam tabung yang
berisi larutan HCL tadi tanpa menimbulkan gelembung
udara.
5. Bilas pipet sebelum diangkat dengan jalan menghisap dan
mengeluarkan HCL dari dalam pipet secara berulang 3 kali
6. Tunggu 5 menit untuk pembentukan asam hematin
7. Asam hematin yang terjadi diencerkan dengan aquades
setetes demi setetes sambil diaduk dengan pengaduk dari
gelas sampai didapat warna yang sama dengan warna
standard.
8. Miniskus dari larutan dibaca. Miniskus dalam hal ini adalah
permukaan terendah dari campuran larutan.
Catatan: Tidak direkomendasikan lagi karena variasi
pengukuran/ketidaktelitian hasil pemeriksaan menggunakan
alat Hb Sahli ini sebesar ±20%
B. PEMERIKSAAN HEMATOKRIT
a. Cara Mikro
Bahan Pemeriksaan
Darah EDTA dengan kadar 1 mg K2EDTA/K3EDTA untuk 1 mL
darah atau darah heparin dengan kadar heparin 15-20 IU/mL.
Cara Pemeriksaan
1) Isi pipet kapiler dengan darah yang langsung mengalir (darah
kapiler) atau darah anti koagulan.
2) Salah satu dari ujung pipet disumbat dengan dempul atau
dibakar. Hati-hati jangan sampai darah ikut terbakar.
- 1204 -
3) Tabung kapiler dimasukkan ke dalam alat mikro sentrifuge
dengan bagian yang disumbat mengarah ke luar.
4) Tabung kapiler tersebut disentrifus selama 5 menit dengan
kecepatan 16.000 rpm.
5) Hematokrit dibaca dengan memakai alat baca yang telah
tersedia.
6) Bila nilai hematokrit melebihi 50%, sentrifugasi ditambah 5
menit lagi.
b. Cara Otomatik
Pada alat hitung sel darah otomatik, nilai hematokrit bisa
didapatkan dari perhitungan MCV x jumlah eritrosit secara
otomatis.
Cara Pemeriksaan
a. Pipetlah 2.000 µL reagen pengencer amonium oksalat dalam
tabung reaksi.
b. Isaplah darah yang diperiksa dengan pipet Sahli sampai tetap
pada garis 20 µL.
c. Hapuslah kelebihan darah yang melekat pada bagian luar pipet
dengan kertas saring/tissue.
d. Masukkan ujung pipet tersebut ke dalam wadah yang berisi
larutan monium oksalat. Bilaslah pipet tersebut dengan larutan
pengencer sebanyak 3 x.
e. Kemudian wadah ditutup dengan karet penutup/kertas parafilm
dan goyangkan hingga homogen selama 10 – 15 menit.
f. Ambil kamar hitung yang bersih, kering dan letakkan dengan
kaca penutup terpasang mendatar di atasnya.
- 1206 -
g. Dengan pipet Pasteur teteskan 3-4 tetes larutan dengan cara
menyentuhkan ujung pipet pada pinggir kaca penutup. Biarkan
kamar hitung terisi secara perlahan-lahan dengan sendirinya.
h. Letakkan kamar hitung yang sudah terisi tersebut dalam cawan
petri yang didalamnya ada kertas saring basah dan biarkan
tertutup selama 10-30 menit supaya trombosit mengendap.
i. Periksa dalam mikroskop.
j. Pakailah lensa objektif 40x dan okuler 10x
k. Turunkan lensa kondensor dan meja mikroskop harus dalam
posisi horizontal.
l. Hitung semua trombosit yang terdapat pada area seluas 1 mm2
(Bidang A) yang terdapat ditengah-tengah kamar hitung
Improved Neubauer.
Perhitungan:
Pengenceran darah 100 kali
Volume yang dihitung : 1 mm2 x 0,1 mm = 0,1 mm3
1 2
4 3
Cara Pemeriksaan
a. Pipetlah 0,38 ml larutan Turk dengan pipet berskala. Masukkan
dalam tabung reaksi
b. Hisaplah darah yang akan diperiksa dengan pipet Sahli sampai
tepat pada garis 20 µL
c. Hapuslah kelebihan darah yang melekat pada bagian luar pipet
dengan kertas saring/tissue secara cepat.
d. Masukkan ujung pipet tersebut kedalam wadah yang berisi
larutan Turk. Bilaslah pipet tersebut dengan larutan Turk
sebanyak 3 kali. Kemudian wadah ditutup dengan karet
penutup/kertas parafilm dan kocok dengan membolak-balik
wadah minimal 2 menit
e. Ambil kamar hitung yang bersih, kering dan letakkan dengan
kaca penutup terpasang mendatar di atasnya
f. Dengan pipet Pasteur teteskan 3-4 tetes larutan dengan cara
menyentuhkan ujung pipet pada pinggir kaca penutup. Biarkan
kamar hitung terisis secara perlahan-lahan dengan sendirinya
g. Meja mikroskop harus dalam posisi horizontal. Turunkan lensa
atau kecilkan diafragma. Atrurlah fokus terlebih dahulu dengan
memakai lensa objektif 10x sampai garis bagi dalam bidang
besar tampak jelas.
h. Hitung semua leukosit yang terdapat dalam 4 bidang besar pada
sudut-sudut seluruh permukaan (1,3,7 dan 9)
i. Mulailah menghitung dari sudut kiri atas terus ke kanan,
kemudian turun ke bawah dari kanan ke kiri, lalu turun lagi ke
bawah dan mulai lagi dari kiri ke kanan dan seterusnya. Cara
seperti ini berlaku untuk keempat bidang besar.
j. Sel-sel yang letaknya menyinggung garis batas sebelah atas dan
kiri harus dihitung. Sebaliknya sel-sel yang menyinggung garis
batas sebelah bawah dan kanan tidak dihitung.
Perhitungan:
Pengenceran darah dalam pipet = 20x, sedangkan luas tiap bidang
besar = 1mm2 dan tinggi kamar hitung = 1mm.
- 1208 -
Leukosit dihitung dalam 4 bidang besar sehingga volume sel yang
dihitung 0,4 mm3 (0,4 µL)
Pengenceran yang dilakukan adalah 20 kali. Bila jumlah sel yang
dihitung N maka:
Metode Pemeriksaan
Eritrosit dan sel darah lain dapat dihitung berdasarkan Metode
impedance atau Metode optik. Sejumlah besar sel dapat dihitung
dengan cepat menggunakan alat otomatik.
Cara pemeriksaan
a. Homogenkan darah dengan antikoagulan EDTA
b. Masukkan identitas pasien pada alat hematologi otomatis dan
siapkan untuk pemeriksaan jumlah leukosit, eritrosit, dan
trombosit
c. Aspirasi darah EDTA dengan alat. Jumlah yang diaspirasi
tergantung tipe dan merk alat. Perhatikan kecukupan sampel
karena adanya dead space (jumlah sampel harus ada supaya
bisa diaspirasi alat)
d. Hasil akan tampil pada layar monitor alat.
Tingkat Kemampuan: 4A
Teknik pemeriksaan
1. Fokuskan mikroskop pada pembesaran 10x (low power). Pindai
hapusan untuk memeriksa distribusi sel, clumping, dan sel
abnormal. Saat memindai apusan, perhatikan bentuk eritrosit
yang tidak biasa seperti rouleaux atau clumping.
2. Periksa tepi hapusan. Jika terdapat sejumlah besar leukosit
pada daerah ini, maka hitung jenis tidak akurat. Sebagian besar
sel yang berada pada tepi sediaan adalah leukosit besar seperti
monosit dan neutrofil. Apusan tidak dapat diperiksa jika
ditemukan kondisi seperti ini.
3. Jika apusan dapat digunakan, perkirakan jumlah leukosit
dengan menghitung jumlah leukosit pada tiap 5 atau 6 lapang
pandang besar (low power field). Hitung jumlah rata-rata sel.
Kalikan jumlah rata-rata sel dengan 1000 dan bagi 4. Jumlah
ini seharusnya berada dalam ±20% dari jumlah aktual leukosit.
Jika tidak dalam rentang ini, penghitungan dan estimasi
leukosit harus diulang.
Catatan
1. Hapusan yang dibuat dan diwarnai dengan baik sangat penting
terhadap keakuratan hitung jenis.
2. Sebelum melaporkan abnormalitas yang signifikan seperti blast,
malaria, atau temuan signifikan lainnya pada hitung jenis
pasien, minta petugas yang lebih berpengalaman untuk menilai
hapusan untuk konfirmasi.
3. Jika ditemukan sel yang rusak seperti smudge cel atau basket
cell, harus tetap dilaporkan.
4. Ketika jumlah leukosit sangat rendah ( < 1000 /uL), sulit untuk
melakukan hitung jenis dengan 100 sel. Dalam situasi seperti
ini, gunakan penjumlahan hingga 50 sel. Berikan catatan
bahwa sel yang dihitung hanya 50. Kalikan tiap persentasi x2.
5. Ketika jumlah leukosit sangat tinggi (>50.000/uL), hitung jenis
200 sel dapat dilakukan untuk meningkatkan keakuratan
- 1211 -
hitung jenis. Hasil ini kemudian dibagi dua dan tuliskan catatan
pada laporan bahwa digunakan penghitungan 200 sel.
Referensi
1. Sacher RA. McPherson RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan
laboratorium. 11th ed. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC,
2002.
2. Turgeon ML. Clinical Hematology theories and procedures. 4th ed.
Phladelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005.
3. Frasser T, Tilyard M (eds). Complete blood count in primary care.
Dunedin: BPAC NZ better medicine, 2008.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Menyediakan slide untuk diperiksa secara mikroskopik.
2. Sediaan darah apus dapat digunakan untuk pemeriksaan
morfologi sel darah.
3. Sediaan darah tebal dapat digunakan untuk pemeriksaan
parasit filaria.
4. Sediaan darah tebal dan apus dapat digunakan untuk
pemeriksaan mikroskopik malaria. Walaupun pemeriksaan
mikroskopik malaria bukan merupakan kompetensi dokter
umum, namun dokter perlu mampu membuat sediaan yang
- 1213 -
baik agar dapat dikirim dan diperiksa dengan baik oleh tenaga
ahli secara mikroskopik.
Prosedur
a. Pembuatan sediaan darah tebal
1. Persiapkan ujung jari pasien yang akan ditusuk. Lakukan
desinfeksi dengan menggunakan kapas alkohol.
2. Tusuk ujung jari pasien dengan menggunakan lanset sekali
pakai.
3. Hapus tetesan darah yang pertama keluar dengan
menggunakan kapas kering.
4. Tempelkan kaca obyek pada tetesan darah berikutnya. Ambil
sebanyak 3 tetes darah.
5. Letakkan kaca obyek di atas meja kerja. Dengan
menggunakan ujung kaca obyek yang lain, sebarkan tetesan
darah hingga membentuk lingkaran berdiameter ±1cm.
6. Beri label pada kaca obyek, tunggu hingga sediaan kering
untuk dapat diwarnai.
7. Pewarnaan sediaan darah tebal:
a. Letakkan kaca obyek yang telah diberi sediaan di atas rak
b. Siapkan larutan Giemsa 20% dengan mencampurkan 20ml
larutan Giemsa stok dengan 80ml larutan buffer atau air
suling
c. Teteskan larutan Giemsa kerja di atas sediaan darah
hingga seluruh darah tertutup zat warna. Biarkan selama
15 menit.
d. Buang sisa zat warna, kemudian cuci perlahan dengan air
mengalir. Hati-hati sebab sediaan darah dapat luruh akibat
aliran air yang kuat.
- 1214 -
e. Biarkan kering dengan meletakkannya secara tegak di atas
kertas tisu atau kertas saring.
b. Pembuatan sediaan darah apus
1. Setelah mengambil tetesan darah untuk pembuatan sediaan
darah tebal, ambil kembali 1 tetes darah untuk pembuatan
sediaan darah apus. Remas sedikit ujung jari pasien bila
darah sulit keluar.
2. Letakkan kaca obyek di atas meja kerja. Ambil kaca obyek
lainnya untuk menyebar sediaan darah dengan cara berikut:
a. Pegang kaca obyek penyebar dengan tangan kanan.
Letakkan sisi pendek kaca obyek penyebar di sebelah kiri
tetesan darah, posisikan hingga membentuk sudut 45⁰
dengan kaca obyek di bawahnya.
b. Geser kaca obyek penyebar secara perlahan ke arah
kanan hingga sisinya menyentuh tetesan darah, dan
tunggu hingga darah menyebar di sepanjang sisi pendek
tersebut.
c. Pegang kaca obyek pertama dengan tangan kiri,
sementara geser kaca obyek penyebar ke arah kiri
dengan cepat hingga menyebar di atas kaca obyek
pertama.
3. Beri label pada kaca obyek, tunggu hingga sediaan kering
untuk dapat diwarnai.
4. Pewarnaan sediaan darah apus:
a. Letakkan kaca obyek yang telah diberi sediaan apus di
atas rak
b. Lakukan fiksasi dengan menetesi sediaan darah dengan
metanol, biarkan hingga beberapa detik atau hingga
metanol kering. Buang sisa metanol bila ada.
c. Siapkan larutan Giemsa 20% dengan mencampurkan
20ml larutan Giemsa stok dengan 80ml larutan buffer
atau air suling
d. Teteskan larutan Giemsa kerja di atas sediaan darah
hingga seluruh darah tertutup zat warna. Biarkan
selama 15 menit.
e. Buang sisa zat warna, kemudian cuci perlahan dengan
air mengalir. Biarkan kering dengan meletakkannya
secara tegak di atas kertas tisu atau kertas saring.
c. Catatan:
1. Sediaan tebal dan tipis dapat dibuat bersisian pada kaca
obyek yang sama. Apabila ingin dilakukan seperti ini, maka
pada saat menetesi metanol pada sediaan apus, posisikan
- 1215 -
kaca obyek miring ke arah sediaan apus sehingga penetesan
metanol tidak mengenai sediaan tebal di bagian atasnya.
2. Jari yang ditusuk biasanya jari tengah atau jari manis
tangan kiri (atau tangan kanan pada pasien kidal), dan
tumit pada bayi.
Gambar 174. Pembuatan sediaan darah tebal dan apus pada satu
kaca obyek
Gambar 175. sediaan darah tebal dan apus pada kaca obyek
yang sama
Referensi
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
- 1216 -
penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia. Gebrak Malaria.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2008.
2. Lewis, Bain, Bates. Dacie and Lewis Practical Haematology. 10th
ed. Philadelphia: Churcill Livingstone, 2006.
Tingkat Kemampuan: 4A
Bahan pemeriksaan
Darah vena dicampur dengan antikoagulan larutan Natrium Sitrat
0,109 M dengan perbandingan 4:1. Dapat juga dipakai darah EDTA
yang diencerkan dengan larutan sodium sitrat 0,109 M atau NaCl
0,9% dengan perbandingan 4:1 (modifikasi cara Westergren).
Teknik pemeriksaan
a. Isi pipet Westergren dengan darah yang telah diencerkan sampai
garis tanda 0. Pipet harus bersih dan kering.
b. Letakkan pipet pada rak dan perhatikan supaya posisinya betul-
betul tegak lurus pada suhu 18-25 °C, jauhkan dari cahaya
matahari dan getaran. (Gambar 2)
c. Setelah tepat 1 jam, baca tingginya lapisan plasma dari 0 mm
sampai batas plasma dengan endapan darah.
- 1217 -
Gambar 176. Tabung Westergren diposisikan vertikal pada rak
khusus Westergren.
Nilai normal
Pria, <50thn : < 15 mm dalam 1 jam
Pria, 50-85 thn : < 20 mm dalam 1 jam
Pria, >85 thn : < 30 mm dalam 1 jam
Wanita, <50 thn : < 20 mm dalam 1 jam
Wanita, 50-85 thn : < 30 mm dalam 1 jam
Wanita, >85 thn : < 42 mm dalam 1 jam
Anak : < 10 mm dalam 1 jam
Neonatus : 0 – 2 mm dalam 1 jam
Tingkat Kemampuan: 4A
Metode
a. Cara Duke
b. Cara Ivy
Alat
a. Tensimeter
b. Lanset disposable
c. Stopwatch
d. Kertas saring
e. Kapas alkohol 70%
f. Penutup luka (tensoplast)
Cara Pemeriksaan
a. Metode Ivy
1) Pasanglah bendungan dari tensimeter pada lengan atas, cm
di atas lipat siku
2) Bersihkan dengan kapas alkohol 70%, daerah yang akan
ditusuk, tunggu sampai kering. Daerah ini tidak boleh ada
jaringan ikat, pembengkakan dan dicukur bila banyak
terdapat rambut.
- 1218 -
3) Usahakan penusukan/luka pada permukaan volar lengan
bawah dengan lanset sedalam 2 mm pada daerah 5 cm dari
fosa kubiti, kemudian stopwatch ditekan pada saat darah
keluar pertama kali.
4) Tiap 30 detik darah yang keluar dilekatkan pada kertas
saring sampai perdarahan berhenti.
5) Lamanya darah membeku merupakan masa perdarahan
b. Metode duke
1) Bersihkan salah satu anak daun telinga dengan alkohol 70%
dan biarkan kering lagi.
2) Tusuklah pinggir anak daun telinga itu dengan lanset steril
sedalam 2 mm.
3) Teruskan percobaan seperti cara Ivy langkah 4, 5 dan 6.
Catatan:
Normal (1 – 3) menit.
Cara Duke kurang memberatkan kepada mekanisme hemostatis
karena tidak diadakan pembendungan, hasil test menurut Ivy lebih
dapat dipercayai. Janganlah melakukan masa perdarahan menurut
Duke pada ujung jari, hasilnya teristimewa pada orang dewasa,
tidak boleh dipercaya. Cara Duke sebaiknya dipakai pada anak
kecil dan bayi saja, karena menggunakan ikatan dengan
spighmomanometer pada lengan atas tidak mungkin atau sukar
dilakukan.
Interpretasi
a. Masa perdarahan mengukur integritas pembuluh darah dan
trombosit
b. Pada orang normal 95%, menunjukkan masa perdarahan
dengan Metode Ivy adalah 2-6 menit. Sedangkan bila masa
perdarahan adalah 7-10 menit, dapat dijumpai pada 1 % kasus
normal.
c. Waktu melekatkan darah pada kertas saring jangan sampai
menekan kulit karena akan mempengaruhi masa perdarahan.
d. Masa perdarahan memanjang pada:
Trombositopenia, biasanya bila jumlah trombosit < 50.000 /µL,
bila <10.000/ µL dipastikan masa perdarahan memanjang. Oleh
karena itu pada trombositopenia berat tidak dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan masa perdarahan.
- 1219 -
Tingkat Kemampuan: 4A
Metode
Tabung modifikasi Lee dan White
Alat
a. Penangas air suhu 37 ºC
b. Tabung reaksi gelas 13x100 mm
c. Stopwatch
d. Spuit 5 mL dengan jarum
Teknik Pemeriksaan
Teknik dengan menggunakan tabung (modifikasi dari cara Lee dan
white).
1) Siapkan 3 tabung dengan ukuran 13x100 mm. (#1, #2, #3)
2) Hisaplah 4 mL darah dengan menggunakan semprit dan jarum
3) Lepaskan jarum dari spuit, masukkan berturut-turut 1 mL
darah ke dalam tabung #3, tabung #2, dan tabung #1, sisa
darah dibuang. Stopwatch diaktifkan segera setelah darah
masuk ke dalam tabung #3.
4) Letakkan ketiga tabung dalam penangas air pada suhu 37 ºC.
5) Tepat setelah 5 menit, tabung 31 digerakkan membentuk sudut
45º. Ulangi tindakan ini setiap 30 detik hingga tabung #1
tersebut dapat diletakkan dalam posisi terbalik tanpa isinya
keluar.
6) Catat lamanya darah dalam tabung #1 membeku.
7) Tiga puluh detik setelah tabung #1 membeku dikerjakan pula
tabung #2 dengan cara yang sama dengan tabung #1, sampai
darah dalam tabung #2 membeku. Kemudian dilanjutkan
dengan tabung #3.
8) Lamanya darah membeku pada tabung #3 merupakan ukuran
masa pembekuan.
Referensi
1. Cheesbrough M, Prescott LM. Manual of Basic techniques for a
Health Laboratory. 2nd ed. Geneva : World Health Organization;
1980.
2. Dacie JV, Lewis SM. Practical haematology. 9th ed. London:
Churchill Livingstone; 2001.
- 1220 -
3. Gandasoebrata R. Penuntun laboratorium klinik. Jakarta: Dian
Rakyat; 1985.
4. Wirawan R, Silman E. Pemeriksaan laboratorium hematologi.
Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2011.
Tingkat Kemampuan: 4A
Alat dan reagen
Alat:
- Kertas pemeriksaan golongan darah.
- Blood lancet atau sampel darah
- Batang pengaduk
Bahan:
- Serum anti A
- Serum anti-B
- Serum anti-AB
- Serum anti-Rh
Teknik Pemeriksaan
1. Tuliskan identitas pasien pada kertas pemeriksaan golongan
darah
2. Teteskan darah masing-masing 1 tetes pada tiap area pada
kertas pemeriksaan golongan darah. Teteskan 1 tetes serum
anti-A pada area anti-A, serum anti-B pada area anti-B, , serum
anti-AB pada area anti AB dan serum Rh pada area anti-Rh.
3. Campurkan tetesan serum dengan darah. Gunakan batang
pengaduk yang berbeda untuk mencampur darah di setiap
area.
4. Nilai hasil yang didapatkan.
Referensi
Daniels R. Dalmar’s guide to laboratory and diagnostic tests. 3rd ed.
Independence: Cengage learning, 2014.
- 1221 -
159. PEMERIKSAAN TINJA
Tingkat Kemampuan: 4A
a. Pemeriksaan Makroskopik
Pelaporan Hasil
Warna : (ditulis warna yang diamati)
Bau : (ditulis seperti yang dibaui)
Konsistensi : (ditulis yang diamati )
Lendir : (ditulis ada atau tidak ada)
Darah : (ditulis ada atau tidak ada, tercampur atau hanya
ada pada bagian luar tinja saja, warna darah merah
atau hitam)
Metode Pemeriksaan
Pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan eosin, lugol, dan
Sudan III.
Bahan Pemeriksaan
Tinja segar sebanyak ±10mg atau sekitar sebuku jari.
Reagen:
1. Larutan iodin (lugol) atau eosin 2% dalam aquades. Apabila
tidak ada, maka larutan garam fisiologis juga dapat digunakan.
Untuk identifikasi protozoa disarankan menggunakan iodin.
2. Larutan Sudan III
Teknik Pemeriksaan
1. Ambil sebuah kaca objek.
2. Tulis identitas pasien (nama dan nomor pasien, nama dokter,
tanggal dan waktu pengambilan).
3. Tetesi gelas objek di sebelah kiri dengan 1 tetes garam fisiologis
dan sebelah kanan dengan 1 tetes larutan eosin 2 % atau
larutan lugol.
4. Bila diperlukan pemeriksaan lemak, tetesi gelas objek lain
dengan 1 tetes larutan Sudan III.
5. Ambil ±2mg atau seujung lidi sampel tinja, hindari bagian yang
kasar atau banyak mengandung serat.
6. Campurkan tinja di dalam larutan dengan mengaduknya rata
dengan menggunakan ujung lidi; singkirkan bagian-bagian yang
kasar.
7. Tutup sediaan dengan menggunakan kaca penutup secara hati-
hati; hindari adanya gelembung udara yang terperangkap di
bawah kaca penutup.
8. Apabila terdapat kelebihan cairan, bersihkan dengan
menggunakan kertas tisu atau kertas saring dengan hati-hati.
9. Sediaan apus yang baik adalah cukup tipis dan masih
memungkinkan membaca tulisan.
10. Lihat dibawah mikroskop mula-mula dengan lensa objektif 10 x,
kemudian lensa objektif 40 x.
11. Untuk pemeriksaan protozoa usus disarankan menggunakan
lensa obyektif 40x dan 100x.Perhatikan semua unsur dalam
tinja dan identifikasi.
12. Pada sediaan yang ditambah larutan lugol, perhatikan adanya
amilum atau zat pati.
13. Pada sediaan yang ditambah larutan Sudan III, perhatikan
adanya globul lemak.
14. Perlu diperhatikan:
a. Gunakan wadah tertutup dengan mulut lebar untuk
mengumpulkan tinja pasien.
b. Hindarkan kontaminasi saat pengambilan sampel,
pembuatan sediaan, hingga pemeriksaan.
- 1223 -
c. Untuk keperluan pemeriksaan trofozoit dan kista protozoa,
tinja cair harus diperiksa selambatnya dalam 30 menit dan
tinja lunak dalam 1 jam.
d. Sebelum melakukan pemeriksaan mikroskopik, perlu
dilakukan pemeriksaan makroskopik untuk mengidentifikasi
konsistensi tinja, warna, dan bau.
Teteskan setetes
Letakkan kaca obyek larutan iodin, eosin,
Alat dan bahan yang
yang bersih di atas meja atau garam
digunakan.
kerja. fisiologis di atas
kaca obyek.
Gambar 177. Pembuatan sediaan tinja basah langsung (direct wet smear)
Pelaporan Hasil Pemeriksaan
Laporan ada atau tidak ada:
1. Telur cacing
2. Amoeba
3. Larva cacing
4. Eritrosit dan Lekosit
5. Lemak
6. Sisa makanan
7. Dan lain-lain
Referensi
World Health Organization. Basic laboratory procedures in clinical
laboratories. 2nd ed. Geneva: Wolrd Health Organization, 2003.
Tujuan
1. Mendiagnosis enterobiasis (infeksi cacing kremi) dengan
menemukan telur, larva atau cacing Enterobius vermicularis.
2. Mendiagnosis taeniasis dengan menemukan telur atau proglotid
Taenia saginata.
Prosedur
1. Perlu diingat bahwa pengambilan sampel dilakukan pada pagi
hari saat pasien baru bangun pagi dan belum mandi, defekasi,
atau cebok.
2. Pasang selotip secara terbalik di ujung aplikator kayu atau
spatel lidah (Gambar 1), sehingga bagian yang lengket
menghadap ke luar (Gambar 2).
- 1225 -
3. Dalam posisi pasien menungging, tempelkan alat yang sudah
dipersiapkan di daerah perianal pasien (Gambar 3).
4. Lepaskan selotip dari aplikator dan tempelkan di atas kaca
obyek (Gambar 4).
5. Bubuhi minyak imersi atau tuluol di atas sediaan pada bagian
yang akan diperiksa agar terlihat lebih jernih di bawah
mikroskop.
6. Periksa di bawah mikroskop cahaya dengan lensa obyektif 10x.
Referensi
World Health Organization. Basic laboratory procedures in clinical
laboratories. 2nd ed. Geneva: Wolrd Health Organization, 2003.
Tujuan
Menilai adanya darah pada feses
Metode
Pseudoperoksidase-peroksidase
Bahan Pemeriksaan
Tinja segar
- 1226 -
Teknik Pemeriksaan
a. Amati makroskopis tinja dan catat.
b. Teteskan kontrol pada pad reagen bagian kontrol
c. Ambil tinja dengan lidi bersih (sejumlah yang diinstruksikan
pada insert kit) dan oleskan pada pad reagen
d. Amati perubahan warna yang timbul pada bagian kontrol dan
bagian sampel.
e. Catat hasil.
Pelaporan Hasil
Amati bagian kontrol pada pad, bila rapid test dalam kondisi baik,
maka pad yang ditetesi kontrol positif akan menampakkan
perubahan warna, dan pad yang ditetesi kontrol negatif tidak
berubah warna. Bila perubahan warna pad yang ditetesi kontrol
tidak sesuai yang seharusnya maka pemeriksaan harus diulang
dengan reagen berbeda.
Tingkat Kemampuan: 4A
a. Pemeriksaan makroskopis
Metode
Pemeriksaan fisik urin dilakukan dengan pengamatan
Alat
a. Pot urin bermulut lebar dan bertutup ulir
b. Tabung reaksi
c. Rak tabung
Teknik Pemeriksaan
a. Warna
Masukkan urin ke dalam tabung reaksi yang bersih sebanyak
¾ bagian tabung.
Lihat dalam dengan penerangan cahaya yang cukup.
- 1227 -
b. Kejernihan
Masukkan urin kedalam tabung reaksi sebanyak ¾
bagian .
Lihat dengan penerangan cahaya yang cukup.
Lihat kejernihannya, apakah ada kekeruhan.
c. Bau (laporkan bila ada kelainan)
Pelaporan Hasil
a. Warna: Tidak berwarna, kuning muda, kuning kemerahan,
merah, putih seperti susu, coklat seperti teh dan lain-lain.
b. Kejernihan: Jernih, agak keruh, sangat keruh.
c. Bau: .....
b. Pemeriksaan Kimiawi
Metode
Pemeriksaan kimia urin dengan carik celup
Alat:
• Pot urin
• Tabung reaksi
Teknik Pemeriksaan
a. Periksa tanggal kadaluarsa pada botol carik celup dan fisik
dari strip urin.
b. Ambil strip urin sesuai kebutuhan, tutup kembali botol
dengan rapat
c. Ambil satu strip urin, kemudian bandingkan dengan standar
warna negatif pada botol untuk menilai kelayakan strip urin.
Bila warna sesuai, maka strip urin dapat digunakan
d. Celupkan strip urin ke dalam urin sampai semua parameter
terendam dan tidak lebih dari 1 detik.
e. Tiriskan strip urin pada kertas penyerap/ tissue dengan
posisi tegak lurus horizontal (sesuai gambar) untuk
menghilangkan kelebihan urin dan menghindari adanya sisa
urin karena dapat menyebabkan kesalahan penilaian
f. Baca strip urin dengan perbandingan warna standar
parameter pada botol dalam waktu sesuai petunjuk pada kit
insert
g. Catat dan laporkan hasil pemeriksaan
Pelaporan Hasil
- 1228 -
a. pH :
b. Berat jenis :
c. Protein :
d. Glukosa :
e. Keton :
f. Bilirubin :
g. Darah samar/Hb :
h. Nitrit :
i. Urobilinogen :
j. Lekosit esterase :
Metode Pemeriksaan
Pemeriksaan sedimen urin secara mikroskopik
Alat:
- Sentrifus
- Tabung urin dengan volume 15 ml
- Pipet Pasteur
- Kaca objek
- Kaca penutup
- Mikroskop
Teknik Pemeriksaan
a. Masukkan 10 - 15 mL urin homogen ke dalam tabung
sentrifus.
Biasanya digunakan urin sebanyak 12 ml,
Sentrifugasi dengan kecepatan 1500-2000 rpm selama 5
menit.
b. Buang supernatan dengan hati-hati, sisakan kira-kira 0,5 -1
mL.
c. Sedimen yang tersisa langsung diresuspensi. Ambil 1 tetes
dengan pipet Pasteur lalu teteskan pada kaca objek, tutup
dengan kaca penutup.
d. Amati sediaan dengan pembesaran kecil (lensa objektif 10x),
hitung minimal 10 lapang pandang dan pembesaran besar
(lensa objektif 40x) amati 10-20 lapang pandang.
Pelaporan Hasil
- Epitel : ......... /LPK, jenis : .........
(skuamosa/transisional/renal)
- Leukosit : ......... /LPB
- 1229 -
- Eritrosit : ......... /LPB normal eritrosit ditemukan 0-
2/LPB, lekosit 0-5/LPB
- Kristal : ......... (+/_), jenis : ........
- Silinder :.......... /LPB
- Lain lain :......... (sel ragi/bakteri/protozoa/sperma)
Normal ditemukan silinder hialin 0-2/LPK.
Referensi
1. Strasinger SK. Introduction of urinalysis. Urinalysis and
body fluids. 3 ed. Philadelphia: F.A. Davis Company; 1994.
p. 1-10.
2. Gandasoebrata R. Urinalisis. Penuntun laboratorium klinik.
10 ed. Jakarta: Dian Rakyat; 2001. p. 69 - 131.
3. Strasinger SK. Urinalysis and Body Fluid. Philadelphia: F A
Davis Company; 1994.
4. Strasinger SK. Microscopic examination of the urine:
quality assurance in urinalysis. Urinalysis and body fluids.
3 ed. Philadelphia: F.A Davis Company; 1994. p. 81-101.
5. McPherson R, Ben-Ezra J, Zhao S. Basic Examination of
Urine. In: McPherson R, Pincus M, editors. Henry's Clinical
Diagnosis and Management by Laboratory Methode 21 ed.
New York: Saunders Company; 2007. p. 393-424.
PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI
Tingkat Kemampuan: 4A
Metode Pemeriksaan
Pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan pewarnaan Ziehl
Nielson.
Bahan Pemeriksaan
Dahak yang diambil pada saat sewaktu-pagi-sewaktu
a) Dahak pagi : dahak yang dikeluarkan oleh penderita
pada waktu bangun pagi
b) Dahak : dahak yang dikeluarkan oleh penderita
sewaktu pada saat datang ke Puskesmas (hari
pertama dan hari kedua)
Alat:
1) Lidi
2) Kaca objek yang bersih, tidak berminyak dan tidak bergores.
3) Pinsil kaca
4) Lampu spiritus
5) Pinset
6) Rak pewarna
7) Rak pengering
8) Mikroskop
Reagen:
1) Kit pewarnaan Ziehl Nielson
2) Minyak imersi
3) Eter alkohol
Teknik Pemeriksaan
a. Teknik pembuatan sediaan hapusan dahak langsung:
1) Kaca objek diberi nomor kode pasien pada sisi kanan kaca
objek
2) Pilih bagian dahak yang kental atau warna kuning kehijauan
atau ada perkejuan atau ada nanah atau darah. Ambil sedikit
bagian tersebut dengan memakai lidi.
3) Ratakan (coiling) di atas kaca objek dengan ukuran ±2 x 3 cm.
apusan dahak jangan terlampau tebal atau terlampau tipis.
Keringkan pada suhu kamar selama 15-30 menit.
4) Lidi bekas pakai dimasukkan ke dalam wadah yang berisi
cairan desinfektan natrium hipoklorit 0,5% sebelum
dimusnahkan.
5) Kemudian rekatkan/fiksasi sediaan dengan cara melewatkan
di atas nyala api bunsen dengan cepat sebanyak 3 kali
selama 3 - 5 detik. Setelah itu sediaan langsung diwarnai
dengan pewarnaan Ziehl Nielson.
c. Cara pembacaan:
1) Sediaan yang sudah diwarnai dan sudah kering diperiksa di
bawah mikroskop
2) Teteskan 1 tetes minyak imersi di atas sediaan dan periksa
dengan lensa objektif 100 x.
3) Carilah basil tahan asam yang oleh pewarnaan berwarna
merah. Berbentuk batang sedikit bengkok, bergranular atau
tidak, terpisah atau berpasangan atau berkelompok dengan
dasar berwarna biru.
4) Periksalah sediaan dengan memperhatikan jumlah kuman,
paling sedikit dalam 100 lapangan pandang atau dalam
waktu ± 10 menit, dihitung dari ujung kiri sampai ujung
kanan.
5) Setelah pemeriksaan mikroskopis selesai, semua alat-
alat/bahan-bahan terkontaminasi direndam dalam
desinfektan sebelum dimusnahkan.
Tingkat Kemampuan: 4A
Pewarnaan Gram / Diplococcus gram negatif
Metode Pemeriksaan: Pemeriksaan mikroskopis dengan
pewarnaan Gram
Bahan Pemeriksaan
a. Sekret urethra (laki-laki)
b. Sekret vagina (wanita)
c. Sekret dari mata (bayi)
Teknik Pemeriksaan
a. Teknik pewarnaan
1) Setelah spesimen dioleskan dikaca objek, biarkan beberapa
saat di udara agar menjadi kering. Setelah kering, fiksasi
dengan melewatkan di atas nyala api lampu spiritus/bunsen.
2) Tuangi dengan larutan Carbol Gentian Violet selama 2-3
menit.
3) Bilas dengan air kran atau air mengalir
4) Tuangi dengan larutan Lugol/Iodine selama 1-2 menit
5) Bilas dengan air kran atau air mengalir.
- 1233 -
6) Tuangi dengan alcohol 95% selama 20-40 detik, lalu bilas
kembali dengan air kran atau air mengalir
7) Tuangi dengan larutan Carbol Fuchsin selama 1-2 menit.
Bilas kembali dengan air kran atau air mengalir.
8) Keringkan
b. Cara pembacaan
1) Sediaan yang sudah diwarnai dan sudah kering diperiksa
dibawah mikroskop.
2) Teteskan satu tetes minyak imersi di atas sediaan dan
periksalah dengan lensa objektif 100 x.
Carilah kuman Neisseria gonorrhoeae yang oleh pengecatan
berwarna merah, berbentuk menyerupai biji kopi yang
berhadapan pada sisi yang tertekuk dan tersusun dua-dua
sehingga disebut diplococcus.
Kuman dapat terletak di dalam maupun di luar sel lekosit
(intraseluler dan ekstraseluler)
Interpretasi
Gram positif : Bakteri berwarna ungu
Gram negatif : Bakteri berwarna merah
Jumlah epitel, leukosit, atau unsur – unsur lain
Tingkat Kemampuan: 4A
Alat dan Bahan
Alat:
- Pinset
- Lampu spiritus
- Mikroskop
Bahan:
- Kerokan Kulit
- Kerokan/guntingan kuku
- Rambut
Reagen:
- Larutan KOH 10 % untuk kulit dan rambut
- Larutan KOH 20% untuk kuku
- Kapas Alkohol 70%
Teknik Pemeriksaan
a. Teteskan 1-2 tetes larutan KOH di atas gelas objek
b. Letakkan bahan yang akan diperiksa pada tetesan tersebut
dengan menggunakan pinset yang sebelumnya dibasahi dahulu
dengan larutan KOH, kemudian tutup dengan kaca penutup
c. Biarkan selama 15 menit/dihangatkan di atas nyala api selama
beberapa detik untuk mempercepat proses lisis.
d. Cara pembacaan : periksa dengan mikroskop, mula-mula
dengan pembesaran objektif 10 x, kemudian 40x. Carilah
adanya hifa/spora
Pelaporan hasil
Bila ditemukan hifa atau spora, laporkan hifa atau spora positif.
Referensi
1. Gandahusada. Srisasi, et al. 1992. Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. WHO. 2003. Manual of basic techniques for a health laboratory.
2 nd ed. Malta. p 225.
Tingkat Kemampuan: 4A
Metoda Pemeriksaan: Rapid/Imunokromatografi (ICT)
Bahan Pemeriksaan: Urin segar, lebih baik urin pagi hari
Alat dan Reagen
a. Kaset /strip tes kehamilan
- 1235 -
b. Pipet untuk tes kehamilan bentuk kaset
c. Pot Urin
Teknik Pemeriksaan
1) Prosedur tes kehamilan dengan cara tetes
• Urin dihisap dengan pipet sampai batas
• Pipet dipegang tegak lurus & urin diteteskan seluruhnya
• Hasil dibaca sesuai batas waktu dalam kit insert
2) Prosedur tes kehamilan dengan cara celup
• Strip test dicelupkan ke dalam urin dengan arah panah
menghadap ke bawah. Pencelupan tidak lebih dari 15 detik
dan tidak melebihi tanda batas celup
• Strip test diangkat dari urin dan diletakkan di alas datar yang
tidak menyerap
• Hasil dibaca sesuai batas waktu dalam kit insert
Pelaporan Hasil
Positif (+): Bila terbentuk garis strip dua atau tanda plus
Negatif (-): Bila tidak terbentuk garis strip dua atau tanda plus
Tingkat Kemampuan: 4A
Penilaian Hasil Pemeriksaan Semen
Analisis
Volume 2-5 mL
Viskositas Tuang dalam bentuk droplet
pH 7.2 – 8.0
Konsentrasi >20 juta/mL
pH
Hitung sperma >40 juta/ ejakulat
Motilitas >50 % dalam 1 jam
Kualitas 2.0 atau a, b, c di tabel
selanjutnya
Morfologi >14% jumlah normal (kriteria yang
ketat)
>30% jumlah normal (kriteria rutin)
Round cells <1.0 juta/mL
- 1236 -
Morfologi sperma
Kriteria Kruger
Dengan menghitung 200 sperma:
>=15% normal : rentang normal, prognosis baik.
5-14% nomal : rentang sub-optimal: prognosis sedang hingga
baik, namun dibawah persentase normal,
menurunkan kemungkinan keberhasilan
fertilisasi.
0-4% normal : prognosis buruk, biasanya membutuhkan IVF
dengan injeksi sperma intrasitoplasma
Rekomendasi WHO
a. Normozoospermia: ejakulat dengan konsentrasi sperma >20x106
spermatozoa/mL, motilitas sperma yang progresif >50%, atau
setidaknya 25% sperma dengan pergerakan linear, dan ≥30%
morfologi normal.
b. Astenozoosphermia: <40% spermatozoa dengan pergerakan
progresif ditemukan pada sampel.
c. Teratozoospermia: <30 % spermatozoa dengan morfologi normal
pada sampel semen menurut kriteria WHO atau <15% menurut
strict criteria.
d. Oligozoospermia: konsentrasi sperma pada ejakulat <20x106
spermatozoa/mL
e. Oligostenozoospermia: ejakulat dengan konsentrasi dan
motilitas sperma yang menurun.
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Pemeriksaan kristalisasi cairan amnion.
Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2. Perkenalkan diri dan informasikan kepada pasien mengenai
prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
3. Kenakan sarung tangan.
4. Posisikan pasien di posisi litotomi.
5. Gunakan speculum yang sesuai dengan ukuran lubang vagina
pasien untuk melihat serviks.
6. Apus serviks dengan menggunakan swab steril.
7. Siapkan apusan tipis pada kaca objek dengan menyebarkannya
secara merata.
8. Lihat hasil pemeriksaan di mikroskop. Jangan menggunakan
penutup kaca objek.
9. Periksa dengan menggunakan pembesaran 10x.
10. Observasi Kristal berbentuk pakis. Cuci tangan setelah selesai
melakukan pemeriksaan.
11. Catat hasil pemeriksaan.
Tingkat Keterampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
1. Minta ibu untuk BAK jika belum dilakukan. Jika tangannya
kurang bersih, minta ibu membersihkan dan membilas daerah
kemaluan sampai bersih.
2. Minta ibu untuk melepas pakaian (termasuk pakaian dalam)
sehingga dapat dilakukan pemeriksaan panggul dan tes IVA.
Pemeriksaaan panggul penting dilaksanakan
sebelum/mengawali pemeriksaan IVA
3. Bantu ibu memposisikan dirinya di atas meja ginekologi, tutup
badan klien dengan kain, nyalakan lampu/senter dan arahkan
ke vagina klien.
4. Cuci tangan secara merata dengan sabun dan air, kemudian
keringkan dengan kain bersih dan kering atau dianginkan.
Lakukan palpasi perut.
5. Pakai sarung tangan periksa yang baru atau sarung tangan
bedah yang telah di-DTT.
6. Atur peralatan dan bahan pada nampan yang telah di-DTT, jika
belum dilakukan.
Tes IVA
1. Periksa kemaluan bagian luar kemudian periksa mulut uretra
apakah ada keputihan. Lakukan palpasi Skene’s and Bartholin’s
glands. Katakan pada klien bahwa spekulum akan dimasukkan
dan klien mungkin merasakan beberapa tekanan
2. Dengan hati-hati masukkan spekulum sepenuhnya atau sampai
terasa ada penolakan kemudian perlahan-lahan membuka
bilah/cocor untuk melihat serviks. Atur spekulum sehingga
seluruh serviks dapat terlihat. Hal tersebut mungkin sulit pada
- 1239 -
kasus-kasus di mana serviks berukuran besar atau sangat
anterior atau posterior. Mungkin perlu menggunakan kapas lidi,
spatula atau alat lain untuk mendorong serviks dengan lembut
ke atas atau ke bawah agar dapat dilihat.
3. Bila serviks dapat dilihat seluruhnya, kunci cocor spekulum
dalam posisi terbuka sehingga akan tetap ditempat saat melihat
serviks. Dengan melakukan hal tersebut provider paling tidak
mempunyai satu tangan yang bebas.
Jika menggunakan sarung tangan luar, rendam kedua tangan
ke dalam larutan kloring 0.5% kemudian lepas sarung tangan
dengan sisi dalam berada di luar. Jika ingin membuang sarung
tangan, buang sarung tangan ke dalam wadah tahan bocor atau
kantung plastik. Jika sarung tangan bedah akan digunakan
kembali, dekontaminasi dengan merendam ke dalam larutan
klorin 0.5% selama 10 menit.
4. Pindahkan sumber cahaya agar serviks dapat terlihat dengan
jelas.
5. Amati serviks dan periksa apakah ada infeksi (cervicitis) seperti
cairan putih keruh (mucopus); ektopi (ectropion); tumor yang
terlihat atau kista Nabothian, nanah atau lesi “strawberry”
(infeksi Trichomonas).
6. Gunakan kapas lidi untuk membersihkan cairan yang keluar,
darah atau mukosa dari serviks. Buang kapas lidi ke dalam
wadah tahan bocor atau kantung plastik.
7. Identifikasi servical ostium dan SSK dan area sekitarnya.
8. Basahkan kapas lidi ke dalam larutan asam asetat kemudian
oleskan pada serviks. Bila perlu, gunakan kapas lidi bersih
untuk mengulang pengolesan asam asetat sampai serviks
benar-benar telah dioleskan asam secara merata. Buang kapas
lidi yang telah dipakai.
9. Setelah serviks telah dioleskan dengan larutan asam asetat,
tunggu minimal 1 menit agar dapat diserap dan sampai muncul
reaksi acetowhite.
10. Periksa SSK dengan teliti. Lihat apakah serviks mudah
berdarah. Cari apakah ada plak putih yang menebal atau
epithel acetowhite.
11. Bila perlu, oleskan kembali asam asetat atau usap serviks
dengan kapas lidi bersih untuk menghilangkan mukosa, darah
atau debris yang terjadi pada saat pemeriksaan dan yang
menggangu pandangan. Buang kapas lidi yang telah dipakai.
12. Bila pemeriksaan visual pada serviks telah selesai, gunakan
kapas lidi yang baru untuk menghilangkan asam asetat yang
tersisa pada serviks dan vagina. Buang kapas lidi yang telah
dipakai.
13. Lepaskan speculum secara halus. Jika hasil tes IVA negatif,
letakkan speculum ke dalam larutan klorin 0.5% selama 10
menit untuk dekontaminasi. Jika hasil tes IVA positif dan,
setelah konseling, pasien menginginkan pengobatan segera,
- 1240 -
letakkan speculum pada nampan atau wadah agar dapat
digunakan pada saat krioterapi.
14. Lakukan pemeriksaan bimanual dan pemeriksaan rectovaginal
(jika perlu). Periksa kelembutan gerakan serviks; ukuran,
bentuk dan posisi uterus; kehamilan atau abnormalitas dan
pembesaran uterus atau kepekaan (tenderness) adneksa.
Referensi
1. Cunningham, F.Gary. Williams Obstetrics 23th Edition. The
McGraw-Hill Companies, New York, 2010.
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013.
Tingkat Kemampuan: 4A
Teknik Pemeriksaan
a. Siapkan reagen, standar, bahan kontrol (normal dan patologis),
dan sampel pada suhu ruang
b. Fotometer disiapkan pada panjang gelombang 546 nm.
Dikalibrasi menggunakan aquabidest.
c. Pipet reagen, standar, bahan kontrol (normal dan patologis),
dan sampel sesuai dengan tabel di bawah ini:
Pelaporan hasil
Kadar glukosa =..............mg/dL
Linearitas
a. Keterbatasan pengukuran untuk metode GOD-PAP adalah jika
kadar glukosa >500 mg/dL dilakukan pengenceran 1 bagian
volume sampel : 1 bagian volume NaCl fisiologis dan hasilnya
dikalikan 2
b. Keterbatasan pengukuran untuk metode Heksokinase
keterbatasan pengukuran adalah jika kadar glukosa >750
mg/dL dilakukan pengenceran 1 bagian volume Bahan
- 1242 -
Pemeriksaan : 1 bagian volume NaCl fisiologis dan hasilnya
dikalikan 2.
Catatan :
Menurut Konsesus DM 2011 nilai rujukan glukosa darah :
• Glukosa darah sewaktu < 200 mg/dL ( 11,1 mmol/L)
• Glukosa darah puasa antara < 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
• Glukosa 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) < 200
mg/dL (11,1 mmol/L)
Teknik Pemeriksaan
Lihat pada manual/petunjuk dari alat glukometer yang digunakan
Pelaporan hasil
Kadar glukosa =..............mg/dL
Linearitas
Kadar glukosa darah yang dapat terdeteksi dengan alat POCT
adalah <500 mg/dL
- 1243 -
Tingkat Kemampuan: 4A
Bahan Pemeriksaan
1) Serum
2) Plasma
Teknik Pemeriksaan
a. Siapkan reagen, standar, bahan kontrol (normal dan patologis),
dan sampel pada suhu ruang
b. Fotometer disiapkan pada panjang gelombang 546 nm.
Dikalibrasi menggunakan aquabidest.
c. Pipet reagen, standar, bahan kontrol (normal dan patologis),
dan sampel sesuai dengan tabel di bawah ini:
- 1244 -
Tabel 44. Contoh Pemeriksaan total protein
Pelaporan Hasil
Kadar total protein =.............g/dL
Linearitas
Kadar total protein serum atau plasma yang dapat terdeteksi adalah
0,2 – 12 g/dL. Jika kadar protein total > 12g/dL dilakukan
pengenceran 1 bagian volume bahan pemeriksaan : 1 bagian
volume NaCl fisiologis dan hasilnya dikalikan 2.
Tingkat Keterampilan: 4A
Deskripsi Luka
1. Regio tempat luka tersebut berada
2. Hitung letaknya berdasarkan titik tengah/garis anatomis yang
terdekat
3. Tentukan tipe luka (luka mekanik, luka fisika atau luka kimia)
4. Lihat tepi luka dan batasnya
5. Warna luka
6. Panjang luka
Referensi
Budiyanto A, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran
Forensik:FKUI. Jakarta. 1997. Hal 37.
Tingkat Ketrampilan: 4A
Teknik Pemeriksaan
Label mayat
Pencatatan pada label mayat meliputi:
- Warna dan bahan label tersebut
- Catat apakah terdapat materai atau segel pada label ini
- Isi dari laebl juga dicatat dengan lengkap
- Dapat juga ditemukan label identifikasi dari Instalasi Kamar
Jenazah Rumah
- 1246 -
Baju mayat
Pencatatan meliputi:
- Bahan, warna dasar, warna dan corak/motif dari tekstil
- Bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit, cap binatu,
monogram/inisial serta tambalan atau tisikan bila ada
- Bila terdapat pengotoran atau robekan juga perlu dicatat
dengan mengukur letaknya yang tepat menggunakan koordinat,
serta ukuran dari pengotoran dan atau robekan yang ditemukan
- Bila ditemukan saku pada pakaian, maka saku ini harus
diperiksa dan dicatat isinya
Referensi
Staf Pengajar Forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik. FKUI Bagian
Kedokteran Forensik:Jakarta. 2000. Hal 12-20.
- 1249 -
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Dokter mampu membuat visum et repertum bila diminta oleh
penyidik yang berwenang
Teknik Pembuatan
Analisis/ Interpretasi
1. Dasar hukum visum et repertum pasal 133 KUHAP
2. Visum et repertum adalah alat bukti yang sah pasal 184
KUHAP
3. Visum et repertum tidak membutuhkan meterai untuk
memiliki kekuatan hukum di pengadilan
4. Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, dokter
hanya melakukan pemeriksaan sesuai dengan yang diminta
oleh penyidik yang berweang, namun bila ada
ketidaksesuaian identitias korban dengna hasil pemeriksaan
dapat meminta penjelasan dari penyidik
5. Yang diuraikan dalam bagian pemberitaan adalah sebagai
pengganti barang bukti
6. Jenis dan bentuk visum et repertum
- Visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan)
- Visum et repertum kejahatan asusila
- 1250 -
- Visum et repertum jenazah
- Visum et repertum psikiatrik
Referensi
Budianto A, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Cetakan II.
1997, Jakarta: Ilmu Kedokteran Forensik FKUI.
Tingkat Ketrampilan: 4A
Persiapan alat
1. Sonde Wangensteen atau sonde Levine
2. Sarung tangan
Teknik Tindakan
1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan oleh pasien
2. Minta pasien untuk duduk, ikatlah serbet pada lehernya dan
berilah kaleng atau penampung lain dalam tangannya. Pasien
harus tenang, bernafas melalui mulutnya dengan kepalanya
agak menunduk dan lidahnya sedikit dijulurkan
3. Cuci tangan 7 langkah dan memakai sarung tangan
4. Masukkanlah ujung sonde ke dalam mulutnya sampai hampir
bersentuh dengan dinding belakang faring
5. Sekarang minta pasien menutup mulutnya dan menelan sonde
itu berkali-kali
6. Apabila garis gigi seri telah bertepaytan antara garis kedua dan
ketiga sonde, ujung sonde itu ada di dalam lumen lambung,
jarak antara gigi seri dan ujung sonde menjadi sekitar 60 cm.
7. Setelah ujung sonde mencapai kedalaman yang dikehendaki,
ujung luar sonde di rekatkan kepada pipi dengan sepotong
plester
Analisis
1. Untuk mengurangi terjadinya refleks muntah sering dianjurkan
supaya sonde didinginkan dalam lemari es sebelum ditelan
2. Orang yang gugup sering tidak dapat menelan sonde, boleh
ditolong dengan menyemprot tenggorokan dengan larutan
lidokain 1%
Referensi
Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian
Rakyat:Jakarta. 2008. Hal 132-133.
- 1251 -
PENJELASAN
Pemeriksaan:
Jika penderita mempunyai masalah komunikasi, tes dimulai dari
rasa raba ringan, tekanan dan nyeri. selama pemeriksaan, mata
pasien ditutup dengan penutup mata
• Rasa raba ringan: Sentuh kulit pasien dengan kapas
• Tekanan:Tekan kulit dengan jari telunjuk sehingga merubah
kontur kulit
• Nyeri: Tusuk kulit dengan neurotip
• Temperatur:Sentuh kulit dengan tabung yang berisi air hangat
dan dingin
Penilaian:
0 Tidak bisa mengidentifikasi tes
1 Mengidentifikasi tes tetapi tumpul
2 Normal
9 Tidak bisa dites
Pemeriksaan:
Pemeriksaan semua aspek gerakan yaitu arah gerakan dan posisi
sendi. untuk pemeriksaan anggota gerak atas, pasien berada dalam
posisi duduk, sedangkan untuk pemeriksaan anggota gerak bawah,
pasien berada dalam posisi tidur telentang. selama pemeriksaan
mata pasien ditutup dengan penutup mata.
- 1252 -
Penilaian:
0 : Absen,tidak mengidentifikasi adanya gerakan
1 : Mengidentifikasi gerakan tetapi tidak mengetahui arah gerakan
salah
2 : Penderita dapat mengenal arah yang diberi contoh tetapi tidak
mengenal posisi baru
3 : Normal
9 : Tidak dapat dites
Pemeriksaan:
Suatu obyek diletakkan pada tangan penderita maksimal 30 detik.
Penderita diminta untuk mengidentifikasi nama, bentuk, bahan
material benda tersebut. Sisi tubuh yang sakit dites lebih dahulu.
Penilaian:
0 Absen
1 Beberapa gambaran obyek disebutkan
2 Langsung dapat meenyebutkan benda obyek
9 Tidak dapat dites
Prosedur Pemeriksaan:
a. Jelaskan tujuan pemeriksaan kepada pasien
b. Prinsip pada pemeriksaan kekuatan otot: Pemeriksa dan pasien harus
bekerja sama jika ingin mendapatkan hasil pemeriksaan yang tepat.
c. Lingkungan selama pelaksanakan tes harus tenang dan suhu ruangan
harus dibuat senyaman mungkin (tidak terlalu panas atau terlalu
dingin).
d. Periksa apakah terdapat keterbatasan lingkup gerak sendi/
kontraktur, spastisitas atau nyeri yang dapat mengganggu hasil
asesmen
- 1253 -
e. Pemeriksaan dilakukan secara berurutan dari posisi duduk, supine,
side lying kemudian prone.
f. Posisikan pasien dengan hati hati dan upayakan melakukan tes secara
berurutan sehingga perubahan posisi selama dalam tes seminimal
mungkin.
g. Lakukan pemeriksaan mulai dari posisi melawan gravitasi. Jika pasien
tidak mampu, rubah ke posisi anti-gravitasi. Jika pasien mampu
melakukan, lanjutkan dengan memberikan tahanan. tahanan
diberikan pada pertengahan gerakan.
h. Pada saat pemeriksaan fiksasi dilakukan pada bagian proksimal dari
otot yang akan dinilai.
Penilaian
Grade 5 Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi
(normal) penuh melawan gravitasi serta dapat melawan tahanan
maksimal.
Grade 4 Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi
(good) penuh melawan gravitasi serta dapat melawan tahanan
yang ringan sampai sedang.
Grade 3 Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi
(fair) penuh melawan gravitasi namun tidak dapat melawan
tahanan yang ringan sekalipun.
Grade 2 Kemampuan otot bergerak melalui lingkup gerak sendi
(poor) penuh tetapi tidak dapat melawan gravitasi, atau hanya
dapat bergerak dalam bidang horisontal.
Grade 1 Otot tidak mampu bergerak melalui lingkup gerak sendi
(trace) penuh dalam bidang horisontal, hanya terlihat gerakan
otot minimal atau teraba kontraksi oleh pemeriksa.
Grade Tidak ada kontraksi otot sama sekali baik pada inspeksi
0 (zero) maupun palpasi.
Prosedur:
• Pasien diminta berdiri tegak dengan santai
• Identifikasi bagian puncak sakrum pada pertemuan antara garis
horizontal di atas venus dimple dengan vertebra
- 1254 -
• Tandai 10cm di atas dan 5 cm dibawah puncak sacrum tersebut
• Minta pasien untuk membungkuk kedepan secara maksimal
• Ukur jarak antara titik atas dan titik bawah
• Hasil ini dikurangi 15 adalah hasil pengukuran fleksi lumbar
Hasil pemeriksaan:
Fleksibilitas lumbal dikatakan normal bila terjadi peningkatan jarak
minimal 5 cm pada saat membungkuk.
Prosedur:
• Pasien duduk selonjor di lantai dengan sepatu dilepas, telapak
kaki menempel pada bagian bawah kotak.
• Luruskan kedua lengan ke depan dengan kedua tangan saling
menumpuk dan telapak tangan menghadap ke bawah.
• Tubuh condong ke depan sejauh mungkin untuk menyentuh
skala pengukur tanpa menekuk lutut sedekat mungkin.
Ukurlah jarak antara kedua jari terdekat atau overlap yang
terjadi antara kedua jari tersebut.
- 1255 -
Hasil pemeriksaan:
bila ujung jari meraih jarak lebih pendek dari posisi jari kaki, maka
skornya negatif, namun bila jari dapat meraih melebihi posisi jari
kaki, maka skornya positif. besar skor ditentukan oleh posisi ujung
jari pada skala pengukur.
Prosedur:
• Tentukan aksis sendi yang akan diukur, lalu pasang lengan
panjang goniometer pada bagian tubuh yang tidak bergerak dan
lengan pendek goniometer pada bagian tubuh yang bergerak.
Lakukan pengukuran sepanjang lingkup gerak sendi.
• Catat hasil pengukuran, bandingkan kedua sisi dan nilai
normal lingkup gerak sendi.
Hasil pemeriksaan:
bandingkan hasil pemeriksaan lingkup gerak sendi sisi kanan dan
kiri menggunakan goniometer.
Penilaian:
Penilaian berupa skala 0-4, dengan 0 menandakan paling rendah, 4
menandakan fungsi paling tinggi. Nilai total = 56.
Hasil penilaian:
41-56 = Resiko jatuh rendah
21-40 = Resiko jatuh sedang
00-20 = Resiko jatuh tinggi
- 1268 -
Instruksi Umum
Catatlah setiap tugas dan beri instruksi sesuai yang tertulis. Ketika
melakukan penilaian, catatlah respon terendah pada setiap pemeriksaan,
Pada hampir semua pemeriksaan, pasien diminta untuk bertahan dalam
posisi tertentu untuk beberapa waktu. nilai berkurang jika:
• Waktu atau jarak yang diperlukan tidak terpenuhi
• Pasien membutuhkan supervisi selama mengerjakan tes
• Pasien menyentuh support lain atau menerima bantuan dari pemeriksa.
Instruksi
• Duduk ke berdiri
Coba berdiri, usahakan tidak menggunakan tangan untuk support
(4) dapat berdiri tanpa menggunakan tangan dan menstabilkan diri
secara mandiri
(3) dapat berdiri sendiri menggunakan tangan
(2) dapat berdiri menggunakan tangan setelah mencoba beberapa kali
(1) membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri atau menstabilkan diri
(0) membutuhkan bantuan sedang atau maksimal untuk berdiri
• Berdiri ke duduk
instruksi: Coba duduk
(4) duduk dengan aman dengan menggunakan tangan secara minimal
(3) mengontrol duduk dengan menggunakan tangan
(2) menempelkan bagian belakang kaki ke kursi untuk mengontrol duduk
- 1269 -
(1) dapat duduk sendiri, tetapi gerakan duduknya tidak terkontrol
(0) butuh bantuan untuk duduk
• Berpindah tempat
instruksi: Atur kursi untuk pivot transfer. minta pasien untuk berpindah
satu kali ke kursi dengan pegangan tangan dan satu kali ke kursi tanpa
pegangan tangan. bisa menggunakan 2 kursi atau 1 kursi dan 1 ranjang.
(4) Dapat berpindah dengan aman dengan penggunaan tangan secara
minimal
(3) dapat berpindah dengan aman dengan menggunakan tangan
(2) dapat berpindah dengan bantuan verbal atau supervise
(1) butuh bantuan 1 orang
(0) butuh 2 orang untuk membantu atau mengawasi agar aman
Prosedur:
• Pasien diminta untuk bangkit dari posisi duduk dari kursi dengan
tinggi standar, berjalan 3 meter pada permukaan rata, berputar
kemudian berjalan balik kembali ke posisi duduk, bergerak secepat
dan seaman mereka mampu.
• Performa dinilai berdasarkan total waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tugas.
• Nilai normal TUG bagi wanita usia lanjut (usia 65-85 tahun) yang
tinggal di komunitas adalah kurang dari 12 detik.
Catatan:
dalam menginterpretasi barthel index perlu untuk menghindari penilaian
kemampuan pasien berdasarkan pemeriksaan fisik saat itu. Barthel-Index
harus dinilai berdasarkan kemampuan pasien sesungguhnya.
Tanggal: _________________(mm/dd/yyyy)
Waktu : _______________________ (hh/mm)
A) Sebelum intake cairan:(tandai kolom abnormal atau normal untuk
masing- masing uji)
B) Intake cairan:
Dudukan pasien pada posisi tegak dan berikan minum air. Minta
pasien untuk mengatakan “ah” setelah tiap kali minum.
B. Menelan air:
• Berikan pasien 10 x 1 sendok teh air untuk diminum. Ingatkan
pasien untuk mengucapkan “ah” setelah menelan tiap sendokan.
Jika normal, berikan cangkir kepada pasien untuk diminum
langsung.
• Pasien harus selalu disuapi 1 sendok teh air
• Pastikan sendok teh penuh berisi air.
• Palpasi tenggorokan secara ringan pada beberapa kali menelan
pertama untuk memonitor gerakan laring.
• Yang perlu diperhatikan adalah batuk, ngeces(drooling) atau
perubahan suara pasien karena wetness, hoarsness, dll. Jika anda
menemukan hal diatas, tandai pada kolom yang ada, dan hentikan
uji menelan air.
• Jika anda melihat sesuatu yang terlihat seperti batuk yang
tertahan, tandai ini sebagai batuk.
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd