Metode Ilmu Pengetahuan Rasionalisme Dan

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

METODE ILMU PENGETAHUAN RASIONALISME DAN EMPIRISME

I. Pendahuluan
Jujun S. Suriasumantri menjelaskan bahwa1 metode ilmiah merupakan
prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Metode ini
merupakan hasil perkawinan dari pandangan-pandangan dua aliran besar dalam
dunia filsafat yang berseberangan yakni Rasionalisme dan Empirisme. Dalam
tulisan ini, masing-masing aliran tadi hanya akan ditampilkan melalui masing-
masing satu orang tokohnya. Meskipun demikian, fokus kepada salah satu tokoh
ini diharapkan tetap mampu menampilkan pandanganpandangan aliran-aliran tadi
secara komprehensif.
Pandangan-pandangan Rasionalisme akan diwakili oleh René Descartes,
sementara pandanganpandangan Empirisme akan ditampilkan oleh David Hume.
Pemilihan dua tokoh ini karena posisi mereka yang penting dalam aliran masing-
masing. Descartes adalah seorang filosof yang telah memberikan dasar pijakan
yang kuat bagi Rasionalisme dan ia pun di kemudian hari dikenal sebagai Bapak
Filsafat Modern karena ia adalah orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis
yang tinggi dan sangat dipengaruhi oleh fisika dan astronomi baru. Sementara
Hume adalah salah satu tokoh paling terkemuka di kalangan filosof. Ini karena
kemampuannya untuk mengembangkan filsafat empiris John Locke dan Bishop
Berkeley menjadi sebuah konklusi logis, dan pada akhirnya membuatnya menjadi
konsisten.

II. Pembahasan
A. Rasionalisme Dan Empirisme
1. Rasionalisme
Rasionalisme Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata
bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio
yang berarti “akal”. A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar

1
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, 1998, hal. 119-125

1
katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa
akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai
aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama
dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama
pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari
pengamatan inderawi. 2
Indra menurut teori rasional, adalah sumber pemahaman terhadap
konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Tetapi ia bukan satu-
satunya sumber sumber. Ada juga fitrah yang mendorong munculnya
sekumpulan konsepsi dalam akal.3
Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah
pasti. Aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya
diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan
pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan
untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya,
maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah
ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia.
Dalam pengertian ini pikiran menalar. Kaum rasionalis berdalil
bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada,
artinya prinsip harus benar dan nyata. Dalam perkembangannya
Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masingnya dengan
ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Pada
abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti René Descartes,
Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza.
Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan
D’Alembert adalah para pengusungnya. 4
2
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=rasionalisme+dan+empirisme&btnG=. Diakses pada 11:19 WIB tanggal
26 Oktober 2017.
3
Falsafahtuna Pandangan Muhamad Baqir Ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran Filsafat
Dunia, Bandung , Mirzan, 1995, hlm. 29
4
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=rasionalisme+dan+empirisme&btnG........ibid

2
2. Empirisme
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris
empiricism dan experience.5 Empirisme adalah aliran yang menjadikan
pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa
pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi/
pengimderaan. Pengalaman merupakam faktor fundamental dalam
pengetahuan, ia merupakan sumber dari pengetahuan manusia. Empirisme
berasal dari kata Yunani “empiris” yang berarti pengalaman indriawi.
Karena itu empiris dinidbatkan kepada faham yang memilih pengalaman
sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang
menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi
manusia. Pada dasarnya aliran ini sangat bertentangan dengan
rasionalisme.
Seperti juga pada Rasionalisme, maka pada Empirisme pun
terdapat banyak tokoh pendukungnya yang tidak kalah populernya. Tokoh-
tokoh dimaksud di antarnya adalah David Hume, John Locke dan Bishop
Berkley.6

B. Rasionalisme René Descartes


1. Kehidupan dan Karya René Descartes
René Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota
kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di
sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi
kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat
tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya. Di
sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang
filsafat, fisika dan matematika.

5
Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam Mencari Pengetahuan:
Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasumantri (penyunting), Ilmu
dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Jakarta, Yayasan obor
Indonesia, 2003, hal. 99
6
Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Jogjakarta :
Ar-Ruzz Media, 2008, hlm.357-358

3
Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan
kesunyaian, ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang
paling tepat karena iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes
menetap di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun
inilah ia menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah
ke Stochkholm, Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni
1650, ia wafat karena penyakit pneumonia. Sebagai seorang filosof,
Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la
méthode pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles
sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima
Philosophia (Meditations on the First Philosoph), 1641; Principia
Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644 dan Les Passiones de L’ame
(1650).
2. Ajaran René Descartes
René Descartes mengajukan argumentasi yang kukuh untuk
pendekatan rasional terhadap pengetahuan. Hidup dalam keadaan yang
penuh dengan pertentangan ideologis, Descartes berkeinginan untuk
mendasarkan keyakinannya kepada sebuah landasan yang memiliki
kepastian yang mutlak. Untuk itu, ia melakukan berbagai pengujian yang
mendalam terhadap segenap yang diketahuinya. Dia memutuskan bahwa
jika ia menemukan suatu alasan yang meragukan suatu kategori atau
prinsip pengetahuan, maka ketegori itu akan dikesampingkan. Dia hanya
akan menerima sesuatu yang tidak memiliki keraguan apa-apa. Apapun
yang masih dapat diragukan maka hal tersebut wajib diragukan. Seluruh
pengetahuan yang dimiliki manusia harus diragukan termasuk
pengetahuan yang dianggap paling pasti dan sederhana.
Keraguan Descartes inilah yang kemudian dikenal sebagai
keraguan metodis universal. Pengetahuan-pengetahuan yang harus
diragukan dalam hal ini adalah berupa: segala sesuatu yang kita
didapatkan di dalam kesadaran kita sendiri, karena semuanya mungkin
adalah hasil khayalan atau tipuan; dan segala sesuatu yang hingga kini kita

4
anggap sebagai benar dan pasti, misalnya pengetahuan yang telah
didapatkan dari pendidikan atau pengajaran, pengetahuan yang didapatkan
melalui penginderaan, pengetahuan tentang adanya benda-benda dan
adanya tubuh kita, pengetahuan tentang Tuhan, bahkan juga pengetahuan
tentang ilmu pasti yang paling sederhana.
Menurut Descartes, satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan
adalah eksistensi dirinya sendiri; dia tidak meragukan lagi bahwa dia
sedang ragu-ragu. Bahkan jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir
bahwa dia ada; dia berdalih bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti
bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Aku yang ragu-ragu adalah
kenyataan yang tidak dapat disangkal karena apabila kita menyangkalnya
berarti kita melakukan apa yang disebut kontradiksi performatis. Dengan
kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya aku, pikiranku
yang kebenarannya bersifat pasti dan tidak tergoyahkan. Kebenaran
tersebut bersifat pasti karena aku mengerti itu secara jernih dan terpilah-
pilah atau dengan kata lain tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya.
Kristalisasi dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya
yang cukup terkenal, “cogito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada.
Beberapa catatan ditambahkan oleh Gallagher dan Hadi tentang
maksud dari cogito, ergo sum ini. Pertama, isi dari cogito yakni apa yang
dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang
termaktub di dalamnya adalah cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir,
maka saya adalah pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari akal, sebuah
substansi dasar. Kedua, cogito bukanlah sesuatu yang dicapai melalui
proses penyimpulan, dan ergo bukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud
Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan
kepada saya di dalam kegiatan meragukan.
Lebih jauh, menurut Descartes, apa yang jernih dan terpilah-pilah
itu tidak mungkin berasal dari luar diri kita. Descartes memberi contoh
lilin yang apabila dipanaskan mencair dan berubah bentuknya. Apa yang
membuat pemahaman kita bahwa apa yang nampak sebelum dan sesudah

5
mencair adalah lilin yang sama? Mengapa setelah penampakan berubah
kita tetap mengatakan bahwa itu lilin? Jawaban Descartes adalah karena
akal kita yang mampu menangkap ide secara jernih dan gamblang tanpa
terpengaruh oleh gejala-gejala yang ditampilkan lilin.
Oleh karena penampakan dari luar tidak dapat dipercaya maka
seseorang mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam dirinya sendiri yang
bersifat pasti. Ide-ide yang bersifat pasti dipertentangkan dengan ide-ide
yang berasal dari luar yang bersifat menyesatkan. Berbeda dengan para
rasionalis-ateis seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert, Descartes masih
memberi tempat bagi Tuhan. Descartes masih dalam koridor semangat
skolastik yaitu penyelarasan iman dan akal. Descartes mempertanyakan
bagaimana ide tentang Tuhan sebagai tak terbatas dapat dihasilkan oleh
manusia yang terbatas. Jawabannya jelas. Tuhanlah yang meletakkan ide
tentang-Nya di benak manusia karena kalau tidak keberadaan ide tersebut
tidak bisa dijelaskan.
Descartes merupakan bagian dari kaum rasionalis yang tidak ingin
menafikan Tuhan begitu saja sebagai konsekuensi pemikiran mereka.
Kaum rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide tentang keberadaan
Tuhan dengan berasumsi bahwa Tuhanlah yang menciptakan akal kita juga
Tuhan yang menciptakan dunia. Tuhan menurut kaum rasionalis adalah
seorang “Matematikawan Agung”. Matematikawan agung tersebut dalam
menciptakan dunia ini meletakkan dasardasar rasional, ratio, berupa
struktur matematis yang wajib ditemukan oleh akal pikiran manusia itu
sendiri.

C. Empirisme David Hume


1. Kehidupan dan Karya David Hume
David Hume lahir di Edinburg, Skotlandia pada 1711. Ia pun
menempuh pendidikannya di sana. Keluarganya berharap agar ia kelak
menjadi ahli hukum, tetapi Hume hanya menyenangi filsafat dan
pengetahuan. Setelah dalam beberapa tahun belajar secara otodidak, ia

6
pindah ke La Flèche, Prancis (tempat di mana Descartes menempuh
pendidikan). Sejak itu pula hingga wafatnya 1776 ia lebih banyak
menghabiskan waktu hidupnya di Prancis. Sebagaimana Descartes, Hume
juga meninggalkan banyak tulisan berikut: A Treatise of Human Nature,
1739-1740; Essays, Moral, Political and Literary, 1741-1742; An Enquiry
Concerning Human Understanding, 1748; An Enquiry Concerning the
Principles of Morals, 1751; Political Discourses, 1752; Four Dissertation,
1757; Dialogues Concerning Natural Religion, 1779; dan Immortality of
the Soul, 1783.
Perlu dicatat bahwa buku-buku An Enquiry Concerning Human
Understanding dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals
merupakan ringkasan dan revisi dari buku A Treatise of Human Nature.
2. Ajarannya David Hume
Usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat
mutlak dan pasti telah berlangsung secara terus menerus. Namun, terdapat
sebuah tradisi epistemologis yang kuat untuk mendasarkan diri kepada
pengalaman manusia yang meninggalkan cita-cita untuk mendapatkan
pengetahuan yang mutlak dan pasti tersebut, salah satunya adalah
Empirisme. Kaum empiris berpandangan bahwa pengetahuan manusia
dapat diperoleh melalui pengalaman. Hume seperti layaknya filosof
Empirisme lainnya menganut prinsip epistemologis yang berbunyi, “nihil
est intelectu quod non antea fuerit in sensu” yang berarti, “tidak ada satu
pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data
inderawi”.
Hume melakukan pembedaan antara kesan dan ide. Kesan
merupakan penginderaan langsung atas realitas lahiriah, sementara ide
adalah ingatan atas kesan-kesan. Menurutnya, kesan selalu muncul lebih
dahulu, sementara ide sebagai pengalaman langsung tidak dapat
diragukan.
Dengan kata lain, karena ide merupakan ingatan atas kesan-kesan,
maka isi pikiran manusia tergantung kepada aktivitas inderanya. Kesan

7
maupun ide, menurut Hume, dapat sederhana maupun kompleks. Sebuah
ide sederhana merupakan perpanjangan dari kesan sederhana. Begitu pula
ide kompleks merupakan kelanjutan dari kesan kompleks. Tapi, dari ide
kompleks dapat diturunkan menjadi ide sederhana.
Pikiran kita menurut Hume bekerja berdasarkan tiga prinsip
pertautan ide. Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara
apa yang ada di benak kita dengan kenyataan di luar. Kedua, prinsip
kedekatan yaitu kalau kita memikirkan sebuah rumah, maka berdasarkan
prinsip kedekatan kita juga berpikir tentang adanya jendela, pintu, atap,
perabot sesuai dengan gambaran rumah yang kita dapatkan lewat
pengalaman inderawi sebelumnya. Ketiga, prinsip sebab-akibat yaitu jika
kita memikirkan luka, kita pasti memikirkan rasa sakit yang
diakibatkannya. Hal-hal di atas mengisyaratkan bahwa ide apa pun selalu
berkaitan dengan kesan. Karena kesan berkaitan langsung dengan
pengalaman inderawi atas realitas maka ide pun harus sesuai dengan
relitas yang ditangkap pengalaman inderawi.
Berdasarkan prinsip epistemologinya, Hume melancarkan kritik
keras terhadap asumsi epistemologi warisan filsafat Yunani kuno yang
selalu mengklaim bahwa pengetahuan kita mampu untuk menjangkau
semesta sesungguhnya. Hume mengemukakan bahwa klaim tentang
semesta sesunguguhnya di balik penampakan tidak dapat dipastikan
melalui pengalaman faktual maupun prinsip non-kontradiksi. Kritik Hume
diejawantahkan dalam sikap skeptisnya terhadap hukum sebab akibat yang
diyakini oleh kaum rasionalis sebagai prinsip utama pengatur semesta.
Kenicayaan hubungan sebab akibat tidak pernah bisa diamati karena
semuanya masih bersifat kemungkinan.
Hubungan sebab akibat, menurut Hume, didapatkan berdasarkan
kebiasaan dan harapan belaka dari peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan
satu sama lain. Orang sudah terbiasa di masa lalu melihat peristiwa
matahari terbit di Timur selalu diikuti oleh peristiwa tenggelam di Barat
dan ia akan mengharapkan peristiwa yang sama terjadi di masa yang akan

8
datang. Bagi Hume, ilmu pengetahuan tidak pernah mampu memberi
pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini. Kebenaran yang bersifat
apriori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang
ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang
dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah lewat pengamatan empiris
atau secara aposteriori.
3. Rasionalisme Islam
Para pemikir muslim sepakat bahwa kekuatan akal atau
rasionalisme sangat diperlukan dalam kajian-kajian keagamaan. Namun
sampai sejauh mana kemampuan rasio bisa diikuti dan dipakai, inilah yang
menjadi persoalan. Menurut Lauis Garder dan Anawati, kemunculan
sistem berfikir rasional dalam Islam pertama didorong oleh kebutuhan
untuk bisa memahami al-Quran dengan baik dan benar. Seiring berjalan
waktu dengan semakin banyaknya orang non-Arab yang masuk Islam,
maka semakin dibutuhkan untuk pembakuan aturan kebahasaan dalam
membaca al-Quran maka munculah beberapa madhab Nahwu. Kemudian
munculah madhab-madhab Fiqh, karena setelah wafatnya Rasululloh
banyak muncul persoalan-persoalan yang tidak bisa dipecahkan melaui al-
Quran dan Sunnah maka mulailah muncul madhab-madhab Fiqh.
Yang perlu dicatat dalam pertumbuhan dan perkembangan
pemikiran rasional adalah tempat yang diduduki logika dalam pedebatan
fiqihiyah, setidaknya pada lingkungan mereka pendukung suatu
alasan/pendapat (ra’y). 7
4. Tinjauan Atas Metode Ilmiah Descartes Dan Hume
Rasionalisme Descartes dan Empirisme Hume masing-masing
memiliki kelemahan apabila digunakan sebagai sebagai sebuah metode
ilmiah. Kelemahankelemahan ini misalnya diperlihatkan oleh Honer dan
Hunt. Pada Rasionalisme mereka melihat beberapa kelemahan. Pertama,
pengetahuan yang dibangun oleh Rasionalisme hanyalah dibentuk oleh ide

7
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 20-
23

9
yang tidak dapat dilihat dan diraba. Eksistensi tentang ide yang sudah pasti
maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat didukung oleh
semua orang dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Kedua,
kebanyakan orang merasa kesulitan untuk menerapkan konsep
Rasionalisme ke dalam kehidupan keseharian yang praktis.
Ketiga, Rasionalisme gagal dalam menjelaskan perubahan dan
pertambahan pengetahuan manusia. Banyak dari ide yang sudah pasti pada
satu waktu kemudian berubahan pada waktu yang lain. Sementara itu pada
Empirisme Honer dan Hunt juga melihat beberapa kelemahan. Pertama,
Empirisme didasarkan kepada pengalaman. Tetapi apakah yang dimaksud
dengan pengalaman? Pada satu waktu ia hanya berarti sebagai ransangan
pancaindera. Lain waktu ia berarti sebagai sebuah sensasi ditambah
dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak
berhubungan langsung dengan kenyataan objektif yang sangat ditinggikan
oleh kaum Empiris. Fakta tidak mempunyai apapun yang bersifat pasti.
Kedua, sebuah teori yang sangat bergantung kepada persepsi pancaindera
kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas
dan tidak sempurna.
Pancaindera sering menyesatkan karena tidak memiliki
perlengkapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta. Ketiga,
Empirisme tidak memberikan kepastian. Apa yang disebut sebagai
pengetahuan yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang
seluruhnya diragukan. Kelemahan-kelemahan dari masing-masing
pandangan Rasionalisme dan Empirisme di atas, membuka celah bagi
ditemukan dan dibentuknya sebuah pandangan baru yang dapat mengatasi
kelemahan-kelemahan tadi.

III. Kesimpulan
Salah satu usaha untuk mengatasi kelemahan-kelemehan adalah
dengan mengkombinasikan atau mengawinkan kedua pandangan dari
aliran tersebut. Terdapat sebuah anggapan bahwa ilmu pada dasarnya

10
adalah metode induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang
ada beberapa alasan untuk mendukung anggapan ini, karena para ilmuwan
dalam mengumpulkan fakta-fakta tertentu, melakukan berbagai
pengamatan dan mempergunakan data inderawi. Namun demikian, apabila
dicermati dengan lebih mendalam maka didapatkan bahwa kegiatan pra
ilmuwan tersebut merupakan suatu kombinasi antara prosedur rasional dan
empiris.
Dengan demikian, akal dan pengalaman dipakai secara bersamaan
sehingga terjadi perkawinan antara pandangan Rasionalisme Descartes
dengan Empirisme Hume. Perkawinan inilah yang penulis maksudkan
dengan metode ilmiah yang didalamnya terdapat prosedur-prosedur
tertentu yang sudah pasti yang dipergunakan dalam usaha memberi
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi oleh seorang ilmuwan.
Menurut Kattsoff Proses metode ilmiah dimulai dengan
pengamatan (artinya pengalaman-pengalaman) dan diakhiri dengan
pengamatan pula. Pengetahuan ilmiah, menurut Suriasumantri, harus
memenuhi dua syarat utama. Pertama, pengetahuan itu harus bersifat harus
konsisten, yakni sejalan dengan teori-teori sebelumnya yang
memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi. Kedua, pengetahuan tersebut
harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang konsisten jika
sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima
kebenarannya secara ilmiah.8

8
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=rasionalisme+dan+empirisme&btnG........ibid

11
DAFTAR PUSTAKA

Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme,


Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2008

Falsafahtuna Pandangan Muhamad Baqir Ash-Shadr terhadap Pelbagai Aliran


Filsafat Dunia, Bandung , Mirzan, 1995.

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka


Sinar Harapan, 1998.

Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam Mencari Pengetahuan:


Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S.
Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan tentang Hakekat Ilmu, Jakarta, Yayasan obor Indonesia, 2003

https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=rasionalisme+dan+empirisme&btnG=. Diakses
pada 11:19 WIB tanggal 26 Oktober 2017.
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin
filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah
ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang
berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau
ajaran agama.
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa
Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa
Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey menambahkan
bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah
sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal
merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang
sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal
harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia

12
menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama
pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas
(terlepas) dari pengamatan inderawi. Hanya pengetahuan
yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua
pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk
mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak
memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan
kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas
pertama yang pasti.

Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman,


melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis
perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa
kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan
bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran
bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau
yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya
dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh
dengan akal saja.

13
Kaum Rasionalisme mulai
dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar
yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan
dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan
pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai
kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia
tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat
pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “di sana”
sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia.

Dalam pengertian ini pikiran menalar. Kaum rasionalis


berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip,
maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan
nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan
dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai
sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak
dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya
pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari
prinsip tersebut.

14
Dalam perkembangannya rasionalisme diusung oleh banyak
tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas,
namun tetap dalam satu koridor yang sama. Pada abad ke-
17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti René
Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff
dan Baruch Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18 nama-
nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert adalah para
pengusungnya.

Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan


tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa
mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi
diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan
atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan
kedua bentuk tersebut:

 Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan


keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa
manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah
lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas
menentang filosofi humanisme yang antroposentrik.

 Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan


adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak
menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-
dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya
berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat
dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah
atheis.

15
Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan
secara lebih umum, misalnya kepada masalah-masalah
politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang
menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis
adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat
atau kepercayaan yang sedang populer.

Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme


yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para
pemikir bebas dan kaum intelektual.

Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan


dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René
Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada
ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang
mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang
ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.

Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke


XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang
khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang
eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan
kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian
tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang
besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu
alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad
berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada
akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup

16
dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian
kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara
lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan
oleh Isaac Newton (1643 -1727).

Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan


akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu
berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka
menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan
masyarakat modern yang telah dirindukan, karena
kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman
Aufklarung (pencerahan).

Seperti diketahui bahwa logika adalah kaidah-kaidah


berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah
proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan
realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas
di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat
niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini
adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula
dalam semua khayalan atau “angan-angan” yang mungkin
(all possible intelligebles).
Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya
sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya.

Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak


manusia lahir. Tertanam secara kodrati dan spontan. Dan
selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan ini harus

17
selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami.
Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu
dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property
of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut
dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan
seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam
semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan
seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan
teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.

Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur


filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan
sebelum akhir hayatnya Alih-alih logika menentang agama,
malah logika adalah kendaraan “super-executive” untuk
mencapai hakikat kebenaran spiritual. Dan sekali lagi alih-
alih logika menentang agama, tanpa logika agama tak-kan
dapat terpahami.

Jadi apakah Logika dalam Agama = kebenaran spiritual?


Demikian pertanyaan analisa yang berkembang dalam
filsafat rasionalisme.

Rasionalisme hanya sebuah metode filsafat yang memiliki


kelemahan dan perlu dilengkapi dengan metode filsafat
lainnya. Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme
ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan
langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan

18
kerangka berpikir, penyusunan hipotesis, pengujian
hipotesis dan penarikan kesimpulan.

Sumber: Adian, Donny Gahral, 2002, Menyoal Objektivisme


Ilmu Pengetahuan dari David Hume Sampai Thomas Kuhn,
Teraju, Jakarta, Wikipedia.org
pengertian filsafat

Pengertian FilsafatFilsafat merupakan sebuah studi yang membahas


segala fenomena yang ada dalam kehidupan dan pemikiran manusia
secara kritis dan skeptis dengan mendalami sebab-sebab terdala, lalu
dijabarkan secara teoritis dan mendasar. Selain pengertian di atas dalam
pengertiannya filsafat dibagi menjadi dua yaitu secara etimologis dan
terminologis. Secara etimologis, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab,
yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang terdiri
dari kata philien yang berarti cinta dan sophia yang berarti
kebijaksanaan. Jadi bisa kita artikan bahwa filsafat berarti cinta akan
kebijaksanaan atau love of wisdom dalam arti yang sedalam-dalamnya.
Adapun secara terminologis terdapat beberapa pengertian dari filsafat itu
sendiri yang akan dijabarkan sebagai berikut:

1.Upaya spekulatif (rasional) untuk menyajikan suatu pandangan


sistematik dan lengkap tentang realitas secara keseluruhan

2.Upaya untuk melukiskan realitas akhir dan dasar secara nyata

3.Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuannya


seperti sumbernya, hakikatnya, keabsahannya serta nilainya.

4.Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-


pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan

5.Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang
kita katakan dan untuk mengatakan apa yang kita lihat.

19
Selain itu definisi dari filsafat banyak dicetuskan oleh para ahli filsafat
atau filsuf seperti Cicero yang berpendapat bahwa filsafat adalah sebagai
"ibu dari semua seni" atau "the mother of all the art" ia juga
mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae yang berarti seni kehidupan.
Menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi
kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Menurut Plato, filsafat
merupakan pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan
tentang kebenaran yang asli. Menurut Descrates, filsafat merupakan
semua pengetahuan di mana Tuhan, alam, manusia menjadi pokok
penyelid

ikan.Ibnu Sina yang merupakan filsuf islam mengemukakan bahwa


filsafat adalah pengetahuan otonom yang perlu ditimba oleh manusia,
sebab manusia telah di karuniai akal oleh Allah.
Oleh karena itu, banyak dari penulis cenderung mendefinisikan filsafat
adalah merupakan ilmu pengetahuan yang menyangkut atau mengenai
segala sesuatu dengan cara memandang sebab-sebab atau asal-usul
terdalam.

Kegunaan Filsafat

Pemanfaatan filsafat dalam kehidupan dapat dibagi menjadi dua macam


yaitu kegunaan secara umum dan kegunaan secara khusus. Kegunaan
secara umum yaitu manfaat yang dapat diambil oleh orang yang
mempelajari ilmu filsafat ini secara mendalam , manfaat tersebut dapat
berupa memudahkan dalam penyelesaian masalah-masalah secara kritis.
Ciri dari pemanfaatan filsafat secara umum ini yaitu ketidakterikatan
oleh ruang dan waktu. Kegunaan secara khusus yaitu dapat berupa
pemecahan masalah secara tertentu atau spesifik dalam dimensi ruang
dan waktu yang terbatas.

Cabang-Cabang Filsafat

Cabang-cabang dari filsafat untuk memperjelas penjelasan dari filsafat


itu sendiri dibagi menjadi lima cabang yaitu etika, estetika, metafisika,
epistemology dan logika.

1. Etika

20
Istilah etika berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani 'etos' dan 'etikos'.
Etos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat biasa. Etikos berarti susila,
keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik.Etika sering kali
dinamakan filsafat moral karena cabang filsafat ini membahas baik dan
buruknya tingkah laku manusia. Jadi menurut cabang filsafat ini manusia
dipandang dari segi perilakunya. Dapat kita katakan juga bahwa etika
merupakan ilmu yang membahas tentang kesusilaan, yang menentukan
bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat. Pada hakikatnya,
nilai tindakan manusia terikat pada tempat dan waktu, selain itu dapat
kita ketahui juga bahwa bakik dan buruknya manusia ditentukan oleh
sudut pandang masyarakat. Dapat kita ambil contoh dimana perilaku
yang dianggap wajar atau biasa-biasa saja diwilayahnya belum tentu
dianggap biasa saja diwilayah lain,bahkan bisa saja dianggap kurang
asusila diwilayah tertentu.

2. Estetika

Adalah cabang filsafat yang membahas tentang seni nilai dan keindahan.
Istilah estetika berasal dari bahasa Yunani aisthesis yang berarti
pencerapan indrawi, pemahaman intelektual atau pengamatan spiritual.
Adapun istilah art (seni) berasal dari bahasa latin ars yang berarti seni,
keterampilan, ilmu dan kecakapan. Etika dan estetika termasuk dalam
cabang filsafat aksiologi yang membahas tentang hakikat nilai.

3. Metafisika

Salah satu cabang filsafat yang lain adalah metafisika yang berasal dari
bahasa Yunani meta phisyka (sesudah fisika). Kata metafisika ini juga
memiliki berbagai arti, diantaranya dapat berarti upaya untuk
mengkarakteristikkan eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan.
Namun dapat juga kita lihat secara umum bahwa didalam metafisika
terdapat suatu pembahasan filsafat yang komprehensif mengenai seluruh
realitas atau tentang segala sesuatu yang ada. Metafisika dipilahkan
dalam kosmologi yang membahas tentang kosmos (alam) dan ontologi
yang membahas tentang the being (yang ada) tentang objek. Tentu masih
kita ingat terhadap pendapat plato mengenai ide atau idea yang sempat
kita pelajari, dimana pada pandangannya plato mengatakan bahwa
realitas sesungguhnya bukanlah yang tampak oleh kita dalam dunia
kenyataan.

21
4. Epistimologi

Istilah epistemologi berasal dari bahasa yunani, yakni epitesme yang


berarti pengetahuan dan logos yang berarti kata, pikiran, dan ilmu.
Jadinya dapat kita artikan bahwa epistemologi merupakan cabang filsafat
yang membahas tentang pengetahuan. Contohnya dalam filsafat ilmu
yaitu mempelajari tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan bagaimana
cara mendapatkannya. Dengan mempelajari epistemologi diharap kita
dapat membedakan antara pengetahuan dan ilmu, serta mengetahui
kebenaran tentang suatu ilmu tersebut. Persoalan dalam epistemologi
diantaranya adalah bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu?, dari
mana pengetahuan itu diperoleh?. Manusia tidak dapat mengetahui
semua aspek dan objek karena keterbatasan kemampuan manusia,
socretes pernah berkata bahwa apa yang saya ketahui adalah bahwa saya
tidak menegtahui apa-apa. Proses metode keilmuan pada akhirnya
berhenti sejenak ketika sampai pada titik"pengujian kebenaran" untuk
mendiskusikan benar atau tidaknya suatu ilmu. Ada tiga ukuran
kebenaran yang tampil yaitu gelanggang yang dimana dalam gelanggang
diskusi mengenai teori kebenanran, yaitu teori korespodensi, koherensi
dan pragmatis. Penilaian ini sangat menentukan untuk meenerima,
menolak, menambah, atau merubah hepotesa, selanjutnya diadakanlah
teori ilmu pengetahuan.

5. Logika

Logika adalah suatu jenis pengetahuan rasional atau ilmu pengetahuan


yang mempelajari kecakapan atau berpikir lurus, tepat dan teratur.
Logika sebagai ilmu pengetahuan dimana objek materialnya adalah
berpikir (khususnya penalaran atau proses penalaran) dan objek formal
logika adalah berpikir atau penalaran yang ditinjau dari segi
ketepatannya. Penalaran adalah proses pemikiran manusia yang berusaha
tiba pada pernyataan baru yang merupakan kelanjutan runtut dari
pernyataan lain yang telah di ketahui yang nanti akan diturunkan
kesimpulan. Penyelidikan logika tidak dilakukan dengan sembarang
berpikir. Logika berpikir dipandang dari sudut ketepatannya. Suatu
pemikiran logika akan disebut tepat jika pemikiran sesuai dengan
hukum-hukum serta aturan yang sudah ditetapkan dalam logika.

Ruang Lingkup Filsafat

22
Seperti halnya pengetahuan, maka filsafat pun dapat ditentukan ruang
lingkupnya yang dipilahkan dalam dua objek yaitu, objek material
(lapangan) dan objek forrnalnva (sudut pandangnya). Objek material
filsafat ialah segala sesuatu yang diperrnasalaltkan oleh filsafat.[1]Isi
filsafat ditentukan oleh objek yang dipikirkan. Objek adalah sesuatu
yang menjadi bahan dari kajian dari suatu penalaahan atau penelitian
tentang pengetahuan. Dan setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai
objek, baik objek yang bersifat materiil maupun objek formal.

 Objek Materil

Adapun mengenai objek formal filsafat, adalah bersifat non-


fragmentaris, karena filsafat mencari pengertian realita secara luas dan
mendalam. Sebagai konsekuensi pemikiran ini, maka okjek formal
filsafat adalah seluruh pengalaman manusia antara lain: etika, estetika,
teknik, ekonorni, sosial, budava, religius dan lain-lain. Dalam hal ini
pemikiran filsafat menuntut bahwa seorang ahli filsafat adalah seorang
pribadi yang berkembang secara harmonis dan memiliki pengalaman
secara authentik yang diperoleh dari dunia realita. Objek materiil ini
adalah suatu penyelidikan, pemikiran atau penelitian keilmuan. Objek
material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu
pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah
tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara
umum. Menurut Poedjawijatna, objek materiil filsafat meliputi segala
sesuatu dari keseluruhan ilmu yang menyelidiki sesuatu. Objek materiil
mencakup segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, baik materiil
konkret, fisik. Sedangkan objek nonmateriil meliputi hal-hal yang
abstrak, dan psikis, termasuk juga abstrak logis, konsepsional, spiritual,
nilai-nilai dan lain-lain. Jadi, dengan melihat dari beberapa pendapat
mengenai objek filsafat ini dapat dipahami bahwa objek filsafat meliputi
berbagai hal, dengan kata lain, objek filsafat materiil ini tak terbatas,
Objek filsafat ini tak terbatas, Burhanudin Salam, bahwa lapangan kerja
filsafat itu bukan main luasnya yaitu meliputi segala pengetahuan
manusia serta segala sesuatu apa saja yang ingin diketahui
manusia. [2]Baik hal-hal yang fisik atau tampak maupun yang psikis
atau yang tidak tampak. Hal-hal yang fisik adalah segala sesuatu yang
ada baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada
dalam kemungkinan. Sedangkan hal-hal yang psikis atau nonfisik adalah
masalah Tuhan, kepercayaan, norma-norma, nilai, keyakinan,dan
lainnya. Suatu objek materiil, baik yang materiil dan lebih-lebih yang
nonmateriil sebenarnya merupakan suatu substansi yang tidak begitu

23
mudah untuk diketahui. Karena didalamnya terkandung segi-segi
kuantitatif berganda, berjenis-jenis dan kualitatif bertingkat-tingkat dari
yang konkret ke tingkat abstrak. Sebagai contoh objek materiilnya adalah
'manusia', dari segi kuantitatif meliputi banyak jenis menurut ras, suku,
ciri khas, dan individualitasnya yang selanjutnya menjadi kompleks
dalam setiap perilaku hidupnya. Contoh tersebut menunjukkan bahwa
objek materiil memiliki segi yang jumlahnya tak terhitung. Sedangkan
kemampuan akal fikir manusia bersifat terbatas. Oleh karena itu, dalam
rangka memperoleh pengetahuan yang benar, dan pasti mengenai suatu
objek maka perlu dilakukan pembatasan-pembatasan jenis objek, dan
selanjutnya titik pandang artinya dari segi mana objek materiil itu
diselidiki.

 Objek Formal

Objek yang satu ini (objek formal) lebih kepada sifat penelitian yaitu
penyelidikan yang mendalam. Mendalam dalam hal ini berarti ingin
mengetahui mengenai objek yang tak empiris. Menurut Lasiyo dan
Yuwono, objek formal adalah sudut pandang yang menyeluruh, umum,
sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materiilnya[1]. Objek fromal
ini ingin membahas tentang objek materiil dari suatu objek sampai ke
hakikatnya atau keindahan (esensi) yang dibahas. Objek formal
merupakan sudut pandang atau cara memandang terhadap objek materiil,
termasuk prinsip-prinsip yang digunakan, dalam artian objek formal
filsafat bersifat mengasaskan atau berprinsip maka filsafat itu
mengonstatir prinsip-prinsip kebenaran dan ketidak-benaran. Jadi objek
formal filsafat itu bersifat mengasaskan atau berprinsip dan oleh karena
mengasas, maka filsatat itu mengongstruksi serta menemukan prinsip-
prinsip kebenaran.

24

Anda mungkin juga menyukai