Semantik Wijana DKK

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 3

Identitas Buku

1. Judul Buku : Semantik Teori dan Analisis


2. Pengarang : Wijana, I Dewa Putu & Muhammad Rohmadi
3. Penerbit : Yuma Pustaka
4. Cetakan : Pertama
5. Tempat dan Tahun Terbit : Surakarta, 2008

Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Satuan atau unit semantik terkecil di dalam bahasa disebut leksem. Seperti halnya
fonem di dalam fonologi, morfem di dalam morfologi, leksem juga bersifat abstrak. Leksem
menjadi dasar pembentukan suatu kata. Kata membeli, dibeli, terbeli, dan pembelian dibentuk
dari leksem yang sama, yakni beli. Makna beli dapat diidentifikasikan tanpa menggabungkan
unsur ini dengan unsur yang lain. Makna yang demikian itu disebut makna leksikal. Selain
itu, ada pula satuan kebahasaan yang baru dapat diidentifikasi setelah satuan itu bergabung
dengan satuan kebahasaan yang lain. Makna yang demikian ini disebut makna gramatikal.
Dapat dilihat kalimat (1) dan (2) berikut

(1) Ayah Amir membeli sebuah komputer.


(2) Sebuah komputer dibeli oleh ayah Amir.

Frasa ayah Amir memiliki ‘milik’. Makna ini baru dapat diidentifikasi setelah kata
ayah sebagai termilik bergabung dengan Amir sebagai pemilik. Afiks se- dalam sebuah
leksem menyatakan makna ‘satu’. Makna ini juga baru dapat ditentukan setelah afiks se- itu
bergabung dengan leksem buah. Bila se- bergabung dengan indah untuk membentuk kata
seindah, afiks ini memiliki kata ‘sama;. Bila bergabung dengan dunia dalam menghasilkan
kata sedunia, afiks ini memiliki makna ‘seluruh’. Dengan demikian, afiks se- juga memiliki
makna gramatikal. Secara sintaktik fungsi-fungsi (jabatan) kalimat (1) dan (2) juga memiliki
makna yang disebut peran (role). Dalam kalimat (1), Ayah Amir berperan pelaku (gentif),
membeli berperan tindakan (aktif), sebuah komputer berperan sasaran (objektif). Dalam
kalimat (2), sebuah komputer berperan sasaran (objektif), dibeli berperan pasif, dan oleh ayah
berperan agentif. Makna-makna peran sintaktik ini juga bersifat gramatikal karena hanya
bersifat teridentifikasi setelah peran-peran sintaktik itu bergabung dengan peran-peran
sintaktik yang lain di dalam sebuah kalimat.
Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna kata wanita dan perempuan kesemuanya mengacu kepada referen atau
acuannya di luar bahasa, yaitu ‘orang yang berjenis kelamin feminin’. Keseluruhan
komponen makna yang dimiliki oleh sebuah kata disebut denotata. Oleh karenanya, makna
yang demikian disebut makna denotatif. Walaupun wanita dan perempuan memiliki makna
denotatif yang sama, tetapi masing-masing mempunyai nilai emotif yang berbeda. Nilai
emotif di sini menyangkut nuansa halus dan kasar. Nilai emotif yang terdapat pada suatu
bentuk kebahasaan disebut konotasi. Oleh karenanya, wanita dan perempuan dikatakan
memiliki makna konotatif yang berbeda. Kata wanita memiliki nuansa halus, sedangkan
perempuan memiliki nuansa makna yang (lebih) kasar. Contoh lain ialah kata suami dan laki,
istri dan bini, serta pramuwisma dan babu, dsb. Untuk ini, dapat diperhatikan
ketidakmungkinan penyulihan (3), (4), dan (5) menjadi (6), (7), dan (8) berikut.
(3) Para istri karyawan pabrik itu akan beranjangsana ke pabrik tekstil.
(4) Ibu-ibu diharapkan hadir didampingi suami masing-masing.
(5) Dia mendapat penghargaan sebagai pramuwisma teladan.
(6) * Para bini karyawan pabrik itu akan beranjangsana ke pabrik tekstil.
(7) * Ibu-ibu diharapkan hadir didampingi laki masing-masing.
(8) * Dia mendapat penghargaan sebagai babu teladan.

Makna Literal dan Makna Figuratif


Makna sebuah kebahasaan ada yang belum mengalami perpindahan penerapan kepada
referen yang lain. Kata buaya dan kambing (jantan) pada kalimat (9) dan (10) berikut secara
lugas mengacu pada referennya yang harafiah, yakni ‘sebangsa binatang melata yang hidup
di sungai-sungai besar atau rawa-rawa’ dan ‘benatang berkaki empat sebesar anjing dan
memiliki tantuk’. Makna kambing di dalam kalimat ini disebut makna literal atau makna
lugas atau makna harafiah.

(9) Di rawa-rawa dan sungi-sungai besar di Kalimantan masih banyak terdapat buaya.

(10) Harga kambing jantan menjelang Idul Adha sangat mahal.

Mana kata buaya dan kambing jantan dalam kalimat (9) dam (10) berbeda dengan
kata buaya dan kambing jantan dalam kalimat (11) dan (12) berikut :

(11) Jangan mudah tergoda oleh rayuan buaya.


(12) Dalam persoalan ini, kita tidak perlu mencari kambing hitam.

Berbeda dengan buaya dan kambing pada kalimat (9) dan (10), buaya dan kambing
(hitam) pada kalimat (11) dan (12) maknanya tidak mengacu kepada referen yang bersifat
konvensional ‘sejenis binatang melata’ dan ‘binatang berkaki empat sebesar anjing yang
bertanduk’, tetapi disimpangkan kepada referen yang lain untuk berbagai tujuan etis (moral),
estetis (keindahan), insultif (penghinaan), dsb. Makna bentuk kebahasaan yang menyimpang
dan referennya biasa disebut makna figuratif. Contoh lain bandingkanlah pemakaian kata ke
belakang dalam kalimat (13) dan (14) berikut

(13) Karena Yoyok nakal, Iin terpaksa pindah duduk ke belakang.

(14) Karena tidak tahan, Ia minta izin untuk ke belakang.

Makna Primer dan Makna Sekunder

Dari uraian pasal 2.2, 2.3 dan 2.4, dapat diketahui bahwa makna leksikal, makna
denotatif, dan makna literal adalah makna yang dapat diketahui oleh pemakai bahasa tanpa
bantuan konteks. Makna satuan kebahasaan yang dapat diidentifikasi tanpa bantuan konteks
disebut makna primer. Jadi makna leksikal, makna denotatif, dan makna literal adalah makna
primer. Sementara itu, makna gramatikal, makna konotatif, dan makna figuratif hanya dapat
diidentifikasi oleh pemakai bahasa dengan bantuan konteks. Makna satuan kebahasaan yang
hanya dapat diidentifikasikan lewat konteks bahasa disebut makna sekunder. Jadi, makna
gramatikal, makna konotatif, dan makna figuratif adalah makna sekunder.

Anda mungkin juga menyukai