SGD Kel. 1 Gadar Ke 2

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 50

TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN KEPERAWATAN

Asuhan Keperawatan pada Pneumothoraks, Hemathoraks, Flail Chest

Fasilitator :
Dr. Ninuk Dian K, S.Kep., Ns., MANP

KELAS AJ 2 B21
ANGGOTA KELOMPOK 1:
1. Indah Mahmudah Khusniyah. 131811123006
2. Citra Danurwenda Rahmah 131811123031
3. Rosi Arista 131811123040
4. Suhartatik 131811123046
5. Ester Widhiastuti 131811123048
6. Paulina Lince Suwo 131811123061
7. Ira Isyuniar Sasi 131811123063
8. Restu Yogi Fahlevi 131811123072

PROGAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah berkenan memberi
petunjuk dan kekuatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya sebagai salah satu tugas mata kuliah keperawatan gawat darurat dengan
judul “Asuhan keperawatan pada pasien pneumothoraks, hemathoraks dan flail
chest”.
Dalam penyelesaian makalah ini, tidak lepas dari bantuan, bimbingan, petunjuk
dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ninuk Dian K, S.Kep., Ns., MANP selaku dosen fasilitator mata kuliah
keperawatan gawat darurat
2. Rekan-rekan mahasiswa program studi pendidikan ners yang telah banyak
membantu dan memberikan arahan selama penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih diperlukan penyempurnaan
dari berbagai sudut, baik dari segi maupun pemakaian kalimat dan kata-kata yang
tepat. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
kesempurnaan makalah ini dan masa yang akan datang.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam melakukan penyususnan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan menambah wawasan serta pengetahuan.

Surabaya, 27 April 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................... i


Daftar Isi ........................................................................................................ ii

BAB 1 Pendahuluan ................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ...................................................................... 3
1.3 Tujuan ........................................................................................ 3
1.4 Manfaat ...................................................................................... 3
BAB 2 Tinjauan Pustaka ............................................................................ 4
2.1 Konsep Pneumothoraks ............................................................. 4
2.1.1 Pengertian ....................................................................... 4
2.1.2 Anatomi fisiologi............................................................. 5
2.1.3 Klasifikasi........................................................................ 4
2.1.4 Perhitungan luas pneumothoraks .................................. 10
2.1.5 Etilogi ............................................................................ 12
2.1.6 Patofisiologi .................................................................. 12
2.1.7 WOC.............................................................................. 14
2.1.8 Manifestasi klinis .......................................................... 15
2.1.9 Pemeriksaan fisik .......................................................... 15
2.1.10 Pemeriksaan penunjang ................................................. 16
2.1.11 Penatalaksanaan umum ................................................. 18
2.2 Konsep Hematothoraks ............................................................. 20
2.2.1 Pengertian ......................................................................... 20
2.2.2 Klasifikasi......................................................................... 20
2.2.3 Etiologi ............................................................................. 21
2.2.4 Patofisiologi ..................................................................... 21
2.2.5 WOC................................................................................. 23
2.2.6 Manifestasi klinis ............................................................. 23

iii
2.2.7 Pemeriksaan penunjang .................................................... 23
2.2.8 Penatalaksanaan ............................................................... 24
2.2.9 Komplikasi ....................................................................... 26
2.3 Konsep Flail Chest .................................................................... 26
2.3.1 Pengertian ......................................................................... 26
2.3.2 Etiologi ............................................................................. 26
2.3.1 Manifestasi Klinis ............................................................ 27
2.3.1 Patofisiologi ..................................................................... 27
2.3.1 WOC................................................................................. 28
2.3.1 Pemeriksaan Penunjang.................................................... 28
2.3.1 Penatalaksanaan ............................................................... 29
2.3.1 Komplikasi ....................................................................... 29
BAB 3 Asuhan Keperawatan .................................................................... 30
3.1 Konsep Asuhan Keperawatan ..................................................... 30
3.2 Kasus Semu .................................................................................. 34
BAB 4 Penutup ..............................................................................................
4.1 Kesimpulan ................................................................................. 30
4.2
Daftar Pustaka .......................................................................................... 30

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma adalah kejadian yang bersifat holistik dan menyebabkan hilangnya
produktivitas seseorang. Dewasa ini trauma melanda dunia bagaikan wabah karena
dalam kehidupan modern penggunaan kendaraan automotif semakin luas
(Sjamsuhidajat R & De Jong, 2010). Trauma juga dilaporkan menjadi penyebab
utama kematian, perawatan di rumah sakit, dan kecacatan jangka panjang dalam
empat dekade pertama kehidupan (Al Koudmani, 2012). . Trauma toraks adalah luka
atau cedera yang mengenai rongga toraks atau dada yang dapat menyebabkan
kerusakan pada dinding toraks ataupun isi dari cavum. thoraks (rongga dada) yang
disebabkan oleh benda tajam atau tumpul dan dapat menyebabkan keadaan sakit pada
dada (Paci, Ferraci, Annesi, 2006) Trauma toraks merupakan penyebab kematian
utama pada kelompok umur dibawah 35 tahun. Trauma toraks terjadi hampir 50%
dari seluruh kasus kecelakaan. 20-25% dari kasus trauma yang diterima rumah sakit
berkaitan dengan kematian. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian
nomor empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun, trauma merupakan penyebab
kematian utama. Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
yang umumnya berupa trauma tumpul (90%) (Novita, 2014). Pneumothoraks,
hematotoraks dan flail chest termasuk dalam trauma thoraks. Pneumothorak adalah
adanya udara dalam rongga pleura (JMS 119, 2017). Biasanya pneumotorak hanya
temukan unilateral, hanya pada blast-injury yang hebat dapat ditemukan pneumotorak
bilateral, (Danusantoso dalam Wijaya dan Putri, 2013). Hematothoraks adalah suatu
keadaan dimana terjadinya penumpukan darah di dalam rongga pleura, dengan nilai
hematokritnya minimal 50% dari hematocrit darah di perifer (Boersma, Stight &
Smith, 2010). Flail chest adalah keadaan di mana beberapa atau hampir semua tulang
costae (iga) patah, biasanya di sisi kanan kiri dada yang menyebabkan adanya

1
pelepasan bagian depan dada sehingga tidak bisa lagi menahan tekanan waktu
inspirasi dan malahan bergerak kedalam waktu inspirasi
Hasil penelitian Kevin, Andriani & Alwin (2016) pasien dari total 120 pasien
dengan kasus terbanyak terjadi pada tahun 2014 dan 2016 (37,1%), kelompok usia
21-30 tahun (28,5%), dan jenis kelamin laki-laki (85,7%). Penyebab tersering ialah
kecelakaan lalu lintas (74,2%) sedangkan penanganan yang paling banyak dilakukan
ialah penanganan konservatif (77,1%). Hasil akhir trauma tumpul toraks non-
penetrans yang didapat umumnya tanpa komplikasi (77,1%). Insiden pneumotoraks
pada laki-laki lebih banyak dari pada perempuan (5:1). 6 Kasus PSP di Amerika
7,4/100.000 per tahun untuk laki-laki dan 1,2/100.000 per tahun untuk perempuan
sedangkan insiden PSS dilaporkan 6,3/100.000 untuk laki-laki dan 2/100.000 untuk
perempuan.7 PSS yang paling sering terjadi yaitu pada PPOK sedangkan penelitian
oleh Myers melaporkan bahwa tuberkulosis selalu menunjukkan terjadinya
pneumotoraks (Masengi, W., Loho, E & Tubagus, V , 2016).
Pada pasien PPOK dan inflamasi saluran nafas, pasca batuk tekanan alveolar
melebihi tekanan interstisial paru lalu terjadi kebocoran akibat robekan pada alveoli,
udara bergerak ke dalam interstisial paru dan bergerak ke belakang sepanjang
brochovascular bundle ke hillus paru ipsilateral menyebabkan pneumomediastinum,
jika robekan terjadi pada hillus dan udara bergerak melalui pleura parietal mediastinal
ke dalam rongga pleura maka terjadi pneumothoraks. Mekanisme pneumothoraks
spontan sekunder yang lain adalah udara yang terjadi akibat robekan alveolar
bergerak langsung ke dalam rongga pleura akibat nekrosis paru (JMS 119, 2017).
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua gangguan
dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic. Respon fisiologis
terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam dua area utama:
hemodinamik dan pernafasan. Perubahan hemodinamik bervariasi, tergantung pada
jumlah perdarahan dan kecepatan kehilangan darah Dispnea adalah gejala yang
umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax berkembang dengan cara yang
membahayakan, seperti yang sekunder untuk penyakit metastasis.

2
Flail chest, adanya patahan pada dua segmen koste atau lebih akan mengganggu
keseimbangan dalam pernafasan. Ketika segmen thorak mengembang bebas, maka
patahan itu akan terdorong bebas ke dalam oleh tekanan atmosfer, yang mengurangi
kemampuan paru untuk berekspansi maksimal pada saat inspirasi. Akibatnya jumlah
oksigen yang masuk dalam paru akan mengalami penurunan, jika hal ini terjadi,
selanjutnya peredaran oksigen dalam darah akan menurun
Berdasarkan fenomena tersebut untuk mengurangi komplikasi dari terjadinya
pneumothoraks, hematothoraks dan flail chest perlu kita memahami konsep teori dan
asuhan keperawatan. Oleh karena itu kami menyusun makalah ini dengan judul
“Asuhan keperawatan pada pneumothoraks, hematothoraks, dan flailchest”

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana konsep teori dan asuhan keperawatan pada pasien pneumothoraks,
hematothoraks dan flail chest?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1. Tujuan umum
Menganalisis asuhan keperawatan pada pasien pasien pneumothoraks,
hematothoraks dan flail chest.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi definisi, etiologi, patofisiologi, pemeriksaan penunjang
dan penatalaksanaan pneumothoraks, hematothoraks dan flail chest
2. Menganalisis asuhan keperawatan pada pasien hematothoraks

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pneumothoraks


2.1.1 Pengertian
Pneumothorak adalah adanya udara dalam rongga pleura (JMS 119,
2017). Biasanya pneumotorak hanya temukan unilateral, hanya pada blast-injury yang
hebat dapat ditemukan pneumotorak bilateral, (Danusantoso dalam Wijaya dan Putri,
2013). Penumotorak hanya adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura
(Price, 2006). Pneumothorak merupakan suatu keadaan terdapatnya udara di dalam
rongga paru pleura (Muntaqqin, 2008). Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa pneumothorak adalah keadaan adanya udara dalam rongga pleura akibat
robeknya pleura.

4
2.1.2 Anatomi Fisiologi
Anatomi fisiologi terkait pneumothoraks adalah sebagai berikut: (Syaifudin,
2011).
1. Anatomi Paru-paru
Paru adalah struktur elastic yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang
merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan tekanan.
Ventilasi membutuhkan gerakan dinding sangkar toraks dan dasarnya, yaitu
diafragma. Efek dari gerakan ini adalah secara bergantian meningkatkan dan
menurunkan kapasitas dada. Ketika kapasitas dalam dada meningkat, udara
masuk melalui trakea (inspirasi), karena penurunanan tekanan di dalam, dan
mengembangkan paru. Ketika dinding dada dan diafragma kembali ke ukurannya
semula (ekspirasi), paru-paru yang elastis tersebut mengempis dan mendorong
udara keluar melalui bronkus dan trakea. Fase inspirasi dari pernapasan
normalnya membutuhkan energi; fase ekspirasi normalnya pasif. Inspirasi
menempati sepertiga dari siklus pernapasan, ekspirasi menempati dua pertiganya,
2. Pleura
Bagian terluar dari paru-paru dikelilingi oleh membrane halus, licin, yaitu
pleura, yang juga meluas untuk membungkus dinding interior toraks dan
permukaan superior diafragma. Pleura parietalis melapisi toraks, dan pleura
viseralis melapisi paru-paru. Antar kedua pleura ini terdapat ruang, yang disebut
spasium pleura, yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan
permukaan dan memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi.
3. Mediastinum
Mediatinum adalah dinding yang membagi rongga toraks menjadi dua
bagian membagi rongga toraks menjadi dua bagian. Mediastinum terbentuk dari
dua lapisan pleura. Semua struktuk toraks kecuali paru-paru terletak antara kedua
lapisan pleura.
4. Bronkus dan Bronkiolus
Terdapat beberapa divisi bronkus didalam setiap lobus paru. Pertama
adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan dua pada paru kiri). Bronkus

5
lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (10 pada paru kanan dan 8 pada paru
kiri), yang merupakan struktur yang dicari ketika memilih posisi drainage
postural yang paling efektif untuk pasien tertentu. Bronkus segmental kemudian
dibagi lagi menjadi bronkus subsegmental. Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan
ikat yang memiliki arteri, limfatik, dan saraf.
Bronkus subsegmental kemudian membentuk percabangan menjadi
bronkiolus, yang tidak mempunyai kartilago dalam dindingnya. Patensi
bronkiolus seluruhnya tergantung pada recoil elastik otot polos sekelilinginya dan
pada tekanan alveolar. Brokiolus mengandung kelenjar submukosa, yang
memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk lapisan bagian
dalam jalan napas. Bronkus dan bronkiolus juga dilapisi oleh sel-sel yang
permukaannya dilapisi oleh “rambut” pendek yang disebut silia. Silia ini
menciptakan gerakan menyapu yang konstan yang berfungsi untuk mengeluarkan
lendir dan benda asing menjauhi paru menuju laring.
Bronkiolus kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus
terminalis, yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis
kemudian menjadi bronkiolus respiratori, yang dianggap menjadi saluran
transisional antara jalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas. Sampai
pada titik ini, jalan udara konduksi mengandung sekitar 150 ml udara dalam
percabangan trakeobronkial yang tidak ikut serta dalam pertukaran gas. Ini
dikenal sebagai ruang rugi fisiologik. Bronkiolus respiratori kemudian mengarah
ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar kemudian alveoli. Pertukaran
oksigen dan karbon dioksida terjadi dalam alveoli.
5. Alveoli
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam kluster
anatara 15 sampai 20 alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini sehingga jika
mereka bersatu untuk membentuk satu lembar, akan menutupi area 70 meter
persegi (seukuran lapangan tennis). Terdapat tiga jenis sel-sel alveolar. Sel-sel
alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding alaveolar. Sel-sel
alveolar tipe II, sel-sel yang aktif secara metabolic, mensekresi surfaktan, suatu

6
fosfolid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak
kolaps. Sel alveoli tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagositis
yang besar yang memakan benda asing (mis., lender, bakteri) dan bekerja
sebagai mekanisme pertahanan yang penting.

2.1.3 Klasifikasi
2.1.3.1 Menurut penyebabnya, pneumothoraks dikelompokan menjadi : (Bowman,
Jefffrey, Glenn, 2010).
1. Pneumothoraks spontan
Pneumothoraks spontan terjadi secara tiba-tiba dan dapat diklasifikasikan menjadi
2 jenis, yaitu:
1) Pneumothoraks spontan primer
Yaitu pneumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui
penyebabnya. Pneumotorak spontan primer terjadi karena robeknya suatu
kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara petologis membuktikan
bahwa pasien pneumotorak spontan yang parunya dipesersi tampak adanya
satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk blab dan bulla. Bulla
merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh pelura fibrotik yang
menebal sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh
jaraingan paru emfisematus. Blab terbentuk dari suatu alveoli yang pecah
melalui suatu jaringan intertisial kedalam lapisan tipis pleura viseralis yang
kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme pembentukan bulla/blab
belum jelas , banyak pendapat mengatakan terjadainya kerusakan bagian
apeks paru akibat tekanan pleura lebih negatif. Pada pneumotorak spontan
terjadi apabila dilihat secara patologis dan radiologis terdapat bulla di apeks
paru. Observasi klinik yangdilakukan pada pasien pneumotorak spontan
primer ternyata mendapatkan pneumotorak lebih banyak dijumpai pada pasien
pria berbadan kkurus dan tinggi. Kelainan intrinsik jaringan konetif
mempunyai kecenderungan terbentuknya blab atau bulla yang meningkat.

7
Blab atau bulla yang pecah masih belum jelas hubungan dengan
aktivitas yang berlebihan,karena pada orang-orang yang tanpa aktivitas
(istirahat) juga dapat terjadi pneumotorak. Pecahnya alveoli juga dikatakan
berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran napas dapat
diakibatkan oleh beberapa sebab antara lain : infeksi atau infeksi tidak nyata
yang menimbulkan suatu penumpukan mukus dalam bronkial (Prince, 2006).
2) Pneumothoraks sekunder
Yaitu pneumothoraks yang terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit
paru, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker
paru-paru, asma, dan infeksi. Disebutkann bahwa terjadinya pneumotorak ini
adalah akibat pecahnya blab viseralis atau bulla pneumotorak dan sering
berhubungan dengan penyakit paru yang medasarinya. Patogenesis
penumotorak ini umumnya terjadi akibat komplikasi asma, fibrosis kistik, TB
paru, penyakit-penyakit paru infiltra lainnya misalnya pneumotoral supuratif,
penumonia carinci. Pneumotorak spontan sekunder lebih serius keadaanya
karena adanya penyakit yang mendasarinya (Corwin, E. 2006).
2. Pneumothoraks traumatik
Yaitu pneumothoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma,baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding
dada maupun paru. Pneumothoraks traumatic diklasifikasikan menjadi :
1) Pneumothoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumothoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
2) Pneumothoraks traumatik iatrogenic, yaitu pneumothoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis.
(1) Pneumothoraks traumatik iatrogenik aksidental
Pneumothoraks traumatik iatrogenik aksidental adalah suatu
pneumothoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan
atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis
dada dan biopsy pleura.

8
(2) Pneumothoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Pneumothoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate) adalah suatu
pneumothoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan udara
kedalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan
pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberculosis sebelum era
antibiotic, maupun untuk menilai permukaan paru.

2.1.3.2 Berdasarkan jenis fistulanya pneumothoraks dapat diklasifikasikan kedalam


3 jenis, yaitu : (Alsagaff, Mukty, Abdul, 2009)
1. Pneumothoraks tertutup (Simple Pneumothoraks)
Pada tipe ini pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam
rongga pleura awalnya mungkin positif namun lambat laun menjadi negative
karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum
mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan
didalamnya sudah kembali negative. Pada waktu terjadi gerakan pernafaan,
tekanan di rongga pleura tetap negative.
2. Pneumothoraks terbuka ( Open Pneumothoraks)
Yaitu pneumothoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura
dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar ( terdapat luka terbuka
pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara
luar. Pada pneumothoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan
tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
pernafasan. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negative dan saat ekspirasi
menjadi posistif. Selain itu pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan
normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser kea rah sisi dinding dada
yang terluka(sucking wound).

9
3. Pneumothoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Pneumothoraks ventil adalah pneumothoraks dengan tekanan intrapleura
yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura
viselaris yang bersifat ventil. Pada saat inspirasi udara masuk melalui trakea,
bronkus serta percabanganya dan selanjutanya terus menuju pleura melalui fistel
yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar.
Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi
tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan
paru sehingga sering menimbulkan gagal nafas.

2.1.3.3 Berdasarkan luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumothoraks


dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1. Pneumothoraks parsialis, yaitu pneumothoraks yang menekan pada sebagian kecil
paru (<50 % volume paru).
2. Pneumoothoraks totalis, yaitu pneumothoraks yang mengenai sebagian besar paru
(>50 % volume paru)

(Gambar 2.1 Pneumothoraks parsialis (kiri) dan pneumothoraks totalis (kanan)

2.1.4 Perhitungan Luas Pneumothoraks


Tujuan perhitungan untuk penentuan jenis kolaps apakah bersifat
parsialis atau totalis. Cara perhitungan :

10
1. Rasio antar volume paru yang tersisa dengan volume hematoraks dimana
masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume
kubus. Misalnya diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10 cm dan
diameter kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8 cm, maka rasio
diameter kubus adalah :
83 = 512 = 50%
3 1000
2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal,
ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal,
ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garishorizontal,
kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh.

3. Rasio antara selisih luas hemithoraksdan luas paru yang kolaps dengan
luas hemithoraks.

11
2.1.5 Etiologi
Pneumothorak dapat terjadi setiap kali permukaan paru-paru pecah dan
memungkinkan udara keluar dari paru-paru ke rongga pleura. Hal ini dapat terjadi
ketika luka beberapa tusukan dinding dada yang memungkinkan udara luar masuk
ke ruang pleura. Pneumothorak spontan dapat terjadi tanpa trauma dada, dan
biasanya disebabkan oleh kista kecil pada permukaan paru-paru. Kista tersebut
dapat terjadi tanpa penyakit paru-paru yang berhubungan, atau mereka dapat
berkembang karena gangguan paru-paru yang mendasari, emfisema yang paling
umum (Tschopp, 2014).
Selama inspirasi, udara mengalir dari lingkungan sekitar ke dalam trakea,
bronkus, bronkiolus, dan alveoli. Selama ekspirasi, gas alveolar menjalani rute
yang sama dengan arah yang berlawanan. Faktor fisik yang mengatur aliran udara
masuk dan keluar paru-paru secara bersamaan disebut sebagai mekanisme ventilasi
dan mencakup varians tekanan udara, resistensi terhadap aliran udara, dan
kompliens paru. Udara mengalir dari region yang tekanannya tinggi ke region
dengan tekanan lebih rendah. Selama inspirasi, gerakan diafragma dan otot-otot
pernapasan lain memperbesar rongga toraks dan dengan demikian menurunkan
tekanan dalam toraks sampai tingkat di bawah atmosfir. Karenanya, udara tertarik
melalui trakea dan bronkus ke dalam alveoli. Selama ekspirasi normal, diafragma
rileks, dan paru mengempis, mengakibatkan penurunan ukuran rongga toraks.
Tekanan alveolar kemudian melebihi tekanan atmosfir, dan udara mengalir dari
paru-paru ke dalam atmosfir.

2.1.6 Patofisiologi
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis mesoteral, ditunjang oleh
jaringan ikat, pembuluh-pembuluh dara kapiler dan pembuluh getah bening, rongga
pleura dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis yang
melapisi otot-otot dinding dada, tulang dan kartilago, diapragma dan menyusup
kedalam pleura dan tidak sinsitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat terisi

12
cairan (10-20ml) dan berfungsi sebagai pelumas diantara kedua lapisan pleura
(Prince, 2006).
Mekanisme pembentukan bulla masih spekulasi, penjelasan yang masuk
akal adalah terjadi degradasi serabut elastis paru disebabkan oleh peningkatan
neutrophil dan makrofag akibat merokok. Degradasi ini disebabkan oleh gangguan
keseimbangan pada system protease-antiprotease dan oksidan-antioksidan. Setelah
bulla terbentuk, inflamasi akibat obstruksi saluran nafas kecil menimbulkan
peningkatan tekanan intraalveolar menyebabkan kebocoran udara kedalam interstisial
paru. Kemudian udara bergerak menuju hillus menyebabkan pneumomediastinum,
saat tekanan mediastinum meningkat terjadi robekan pleura parietal mediastinal
sehingga terjadi pneumothoraks.
Pada pasien PPOK dan inflamasi saluran nafas, pasca batuk tekanan
alveolar melebihi tekanan interstisial paru lalu terjadi kebocoran akibat robekan pada
alveoli, udara bergerak ke dalam interstisial paru dan bergerak ke belakang sepanjang
brochovascular bundle ke hillus paru ipsilateral menyebabkan pneumomediastinum,
jika robekan terjadi pada hillus dan udara bergerak melalui pleura parietal mediastinal
ke dalam rongga pleura maka terjadi pneumothoraks. Mekanisme pneumothoraks
spontan sekunder yang lain adalah udara yang terjadi akibat robekan alveolar
bergerak langsung ke dalam rongga pleura akibat nekrosis paru (JMS 119, 2017).

13
TRAUMA SPONTAN
1. Bukan Iatroganik : trauma tumpul, trauma tajam 1. Primer (tanpa ada penyakit yang mendasari)
2. Iatroganik : 2. Sekunder (komplikasi dari penyakit paru akut
tindakan medis, komplikasi tindakan medis atau kronik)

PNEUMOTHOR

Adanya udara dalam rongga pleura. Biasanya pneumothorax hanya ditemukan pada unilateral, hanya pada blast-injury
yang hebat dapat ditemukan pneumothorax bilateral

Udara masuk Sucking chest Saat inspirasi rongga Pergeseran


kedalam kavum dada mengembang

Hipoksia Penyumbatan aliran


Meningkatkan Gerakan fragmen vena kava superior
tekanan intra costa yang trauma dan inferior
pleura Kehilangan menyebabkan Mengurangi cardiac
Kemampuan preload
dilatasi alveoli Stimulasi saraf
Koma
menurun
D. 0077 Nyeri akut Menurunkan cardiac
Atelektasis Intoleransi aktivitas output

Nafsu makan Sesak napas


Kematian
D.0054 Ganggguan D. 0055 Gangguan
D. 0019 Defisit D.0005 mobilitas fisik
nutrisi Pola nafas
tidak

14
2.1.7 Manifestasi Klinis
1. Gejala klinis pneumotoraks spontan bergantung pada ada tidaknya
tension pneumotoraks serta berat ringan pneumotoraks. Pasien secara
spontan mengeluh nyeri dan sesak napas yang muncul secara tiba-tiba.
Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah:
1) Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien
2) Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien
3) Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien
(Barmawi dan Budiono, 2006).
2. Menurut Sudoyo (2006) tanda dan gejala pneumothorak berupa :
1) Sesak napas
2) Dada terasa sempit
3) Gelisah
4) Keringat dingin
5) Sianosis
6) Tampak sisi yang terserang menonjol dan tertinggal dalam
pernafasanya
7) Perkusi hipersonor
8) Pergeseran mediastinum ke sisi sehat
9) Pola nafas melemah pada bagian yang terkena
10) Suara amforik
11) Saat diperkusi terdengar hiperosa
12) Nyeri pleura
13) Hipotensi
14) AGD : ↓ CO2, ↓ PO2, ↑ PCO2, ↑ pH

2.1.8 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik thoraks didapatkan : (Bowman, Jefffrey, Glenn, 2010)
1. Inspeksi

15
1) Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
2) Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakanya tertinggal
3) Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi
1) Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
2) Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang lebar
3) Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi
1) Suara ketok pada sisi yang sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
2) Batas jantung terdorng kea rah toraks yang sehat, apabila ada tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi
1) Pada bagian yang sakit, suara nafas melemah sampai menghilang
2) Suara vocal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negative

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Sudoyo (2006), untuk menentukan diagnosa pada pneumothorak
dapat dilakukan cara sebagai berikut:
1. GDA : variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi
gangguan mekanisme pernafasan dan kemampuan mengkompensasi.
P4CO2 mungkin normal atau menurun, saturasi O2 biasanya menurun.
2. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara atau cairan pada era pleura,
dapat menunjukan penyimpanan struktur mediatinal jantung.
Pemeriksaan foto dada garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau
cembung terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis.
Celah antara kedua garis pleura tersebut tampak lusens karena berisi
kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan vascular pada daerah
tersebut. Tension pneumothorax gambaran foto dadanya tampak jumlah

16
udara pada hemitoraks yang cukup besar dan susunan mediastinum yang
bergeser ke arah kontralateral (Hisyam dan Budiono, 2009).

Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) diperlukan apabila


pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini
lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan
pneumothorax, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner
serta untuk membedakan antara pneumothorax spontan primer dan
sekunder. Sensitivitas pemeriksaan CT-Scan untuk mendiagnosis
emfisema subpleura yang bisa menimbulkan pneumothorax spontan
primer antara 80-90% (Hisyam dan Budiono, 2009).
3. Torasentesis : menyatakan darah atau cairan sero anguinora (hemotorak)
4. Hb : mungkin menurun, menujukan kehilangan darah.
5. Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasive,
tetapi memiliki sensitivitas yang lebih besar dibandingkan pemeriksaan
CT-Scan. Menurut Swierenga dan Vanderschueren, berdasarkan analisa
dari 126 kasus pada tahun 1990, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi
menjadi 4 derajat yaitu:
1) Derajat I : Pneumothorax dengan gambaran paru yang mendekati
normal (40%)
2) Derajat II: Pneumothorax dengan perlengketan diserati hemotorak
(12%)
3) Derajat III : Pneumothorax dengan diameter bleb atau bulla <2 cm
(31%)

17
4) Derajat IV : Pneumotohorax dengan banyak bulla yang besar, diameter
> 2cm (17%) (Hisyam dan Budiono, 2009).

2.1.10 Penatalaksaan Umum


Prinsip penatalaksanaan pneumothoraks adalah evakuasi udara dari rongga
pleura secepatnya dan mencegah kekambuhan (JMS 119, 2017). Penatalaksanaan
pneumototrak bergantung pada jenis pneumotorak yang dialaminya, derajat
kolaps,berat ringannya gejala, penyakit dasar, dan penyulit yang terjadi saat
melaksanakan pengobatan yang meliputi :
1. Observasi dan pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan
O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto thoraks serial tiap
12-24 jam pertama selama 2 hari. Tindakan ini ditujukan terutama terhadap
pneumothoraks terbuka dan tertutup.
2. Tindakan dekompresi
1) Membuat hubungan antara rongga pleura dengan lingkungan luar dengan
cara ; Menusukkan jarum melalui dinding dada hingga ke rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah
menjadi negatif. Hal ini disebabkan karena udara keluar melalui jarum
tersebut. Cara lainnya adalah melakukan penusukan ke rongga pleura
memakai transfusion set.
2) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontraventil :
(1) Penggunaan pipa Water Sealed Drainage (WSD)
Pipa khusus (kateter thoraks) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan
perantara troakar atau dengan bantuan klem penjepit (pen) pemasukan
pipa plastic (kateter thoraks) dapat juga dilakukan melalui celah yang
telah dibuat dengan bantuan insisi kulit dari seala iga ke-4 pada garis
klavikula tengah. Selanjutnya, ujung sealng plastik di dada dan pipa kaca

18
WSD dihubungkan melalui pipa plastic lainyya. Posisi ujung pipa kaca
yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air
supaya gelembung udara dapat mudah keluar melalui perbedaan tekanan
tersebut
(2) Pengisapan kontinu (continous suction)
Pengisapan dilakukan secara kontinu apabila tekanan intrapleura tetap
positif. Pengisapan ini dilakukan dengan cara memberi tekanan negatif
sebesar 10-20 cmH2O. Tujuannya adalah agar paru cepat mengaembang
dan segera terjadi perlekatan antara pleura visceral danpleura parietalis
(3) Pencabutan drain
Apabila paru telah mengambang maksimal dan tekanan negatif kembali,
drain dapat dicabut. Sebelum dicabut, drain ditutup dengan cara dijepit
atau ditekuk selama 24 jam. Apabila paru tetap mengembang penuh, drain
dapat dicabut.
3) Tindakan Bedah
Pembedahan dinding thoraks dengn cara operasi, maka dapat dicari
lubang yang kmenyebabkan terjadinya pneumotorak, lalu lubang tersebut
di jahi. Pada pembedahan,jika dijumpai adanya penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak dapat mengembang, maka dapat dilakukan
pengelupasan atau dekortisasi.
Pembedahan paru kembali dilakukan bila ada bagian paru yang
mengalami robekan atau bila ada fitsel dari paru yang rusak, sehingga paru
tersebut tidak berfungsi dan tidak dapat dipertahankan kembali
4) Penatalaksanaan tambahan
Apabila terdapat proses lain di paru, pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya, yaitu :
1) Terhadap proses tuberculosis paru diberi OAT
2) Untuk pencegahan obstipasi dan memperlancar defekasi, penderita diberi
obat laktasif ringan, dengan tujuan agar saat defekasi, penderita tidak
perlu mengejan terlalu keras

19
3) Istirahat total, klien dilarang melakukan kerja keras (mengangkat barang)
batuk, bersin terlalu keras, dan mengejan (Sudoyo, 2006).

2.2 Konsep Hematothoraks


2.3.1 Definisi
Hematotoraks adalah adanya darah dalam rongga pleura. Sumber
perdarahan dapat berasal dari dinding dada, parenkim paru-paru, jantung atau
pembuluh darah besar. Jumlah perdarahan pada hematotoraks dapat mencapai
1500 ml, apabila jumlah perdarahan lebih dari 1500 ml disebut hematotoraks
massif (Mayasari & Pratiwi, 2017).
Hemothorax atau hematothorax adalah suatu keadaan dimana terjadinya
penumpukan darah di dalam rongga pleura. Dengan nilai hematokritnya
minimal 50% dari hematokrit darah di perifer (Boersma, Stigt, & Smit, 2010).

2.3.2 Klasifikasi
1. Hematothorak kecil: yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15 %
pada foto rontgen, perkusi pekak sampai iga IX. Jumlah darah sampai 300
ml.
2. Hematotoraks sedang: 15-35 % tertutup bayangan pada foto rontgen,
perkusi pekak sampai iga VI. jumlah darah sampai 800 ml.
3. Hematotoraks besar: lebih 35 % pada foto rontgen, perkusi pekak sampai
cranial, iga IV. Jumlah darah sampai lebih dari 800 – 1500 ml.

20
2.3.3 Etiologi
Hematothorax dapat terjadi karena adanya trauma ataupun spontan
(Broderick, 2013). Penyebab hematothorax dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Trauma
Trauma merupakan penyebab utama terjadinya hemothorax. Trauma dapat
berupa trauma tajam dan trauma tumpul pada bagian thorak, baik
disengaja maupun tidak disengaja. Contohnya tikaman, luka tembak, dan
kecelakaan lalu lintas.
2. Iatrogenis
Yang dimaksud di sini adalah hematothorax sebagai komplikasi dari
operasi pada jantung, pemasangan CVC, pemasangan thoracostomy tube,
dan pembedahan lainnya pada daerah thorax
3. Spontan
Biasanya disebabkan oleh rupturnya pembulh darah yang sebelumnya
sudah mengalami aneurisma, neoplasma, metastasis pleura, dan
komplikasi penggunaan antikoagulan pada terapi penderita emboli paru
atau defek pada faktor pembekuan darah.

2.3.4 Patofisiologi
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua
gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic.
Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam dua
area utama: hemodinamik dan pernafasan.
Perubahan hemodinamik bervariasi, tergantung pada jumlah perdarahan
dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada
seorang pria 70 kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik
yang signifikan. Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang sama akan
menyebabkan gejala awal syok yaitu, takikardia, takipnea, dan penurunan
tekanan darah.

21
Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk
terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL).
Karena rongga pleura seorang pria 70 kg dapat menampung 4 atau lebih liter
darah, perdarahan exsanguinating dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari
kehilangan darah.
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat
menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan
ventilasi dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka
pada dinding dada. Sebuah kumpulan darah yang cukup besar menyebabkan
pasien mengalami dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea.
Volume darah yang diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu
tertentu bervariasi tergantung pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera,
tingkat keparahan cedera, dan cadangan paru dan jantung yang mendasari.
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana
hemothorax berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang
sekunder untuk penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut
tidak akut untuk menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea
sering menjadi keluhan utama.

22
2.3.5 WOC

2.3.6 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala pada penderita hematothorax akan beragam tergantung
pada kondisi pasien, yang biasanya terjadi adalah:
1. Takikardi
2. Takipnea
3. Hipotensi
4. Anemia hingga syok

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang memegang peran penting dalam perawatan pasien
dengan trauma thorax, termasuk hematothorax (Broder, 2011). Berikut ini
adalah beberapa pemeriksaan penunjang yang biasanya dilakukan pada pasien
dengan hematothorax:

23
1. X-Ray dada
Foto rontgen thoraks dengan posisi berdiri merupakan pemeriksaan yang
paling ideal untuk mendeteksi adanya hematotoraks, hal ini ditandai
dengan adanya sudut costophrenicus yang tumpul atau adanya tampakan
air-fluid bila terjadi hemopneumothoraks.
2. USG
Kelebihan USG adalah kemampuannya untuk mendeteksi cairan dan
udara lebih cepat dibandingkan dengan foto thorax ataupun CT-scan.
Tetapi kelemahannya adalah kesulitan dalam mengidentifikasi
hematothorax pada pada pasien dengan trauma seperti patah tulang.
3. CT-scan
Selain menentukan cairan dan udara dalam pleura, bekuan darah dapat
terlihat dengan jelas, selain itu dengan menggunakan CT-scan potensial
emfisema di pleura juga dapat terlihat.
4. Thoracoscopy
Prosedur diagnostic ini biasanya dilakukan bersamaan dengan prosedur
VATS. Kelebihannya adalah dapat mengidentifikasi injuri yang mungkin
tidak terbaca bahkan dengan CT-scan.

2.3.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana dari hematotoraks adalah untuk menstabilkan
hemodinamik pasien, menghentikan perdarahan dan mengeluarkan darah serta
udara dari rongga pleura. Langkah pertama untuk menstabilkan hemodinamik
adalah dengan resusitasi seperti diberikan oksigenasi, cairan infus, transfusi
darah, dilanjutkan pemberian analgetik dan antibiotic (Mayasari & Pratiwi,
2017).
Berikut ini adalah algoritma penatalaksanaan hematothorax (Boersma et
al., 2010):

24
1. Resusitasi cairan
Terapi awal hematothorax adalah dengan resusitasi cairan bersamaan
dengan dekompresi rongga pleura. Pemberian cairan kristaloid dilakukan
dengan cepat kemudian dapat dilakukan pemberian darah dengan
golongan spesifik.
2. Chest tube drainase
Pemasangan chest tube bertujuan untuk mengeluarkan darah dari rongga
pleura dam mengurangi risiko terbentuknya bekuan darah dalam rongga
pleura. Chest tube biasanya disambungkan dengan WSD atau water seal
drainage, yaitu system drainase yang menggunakan air yang berfungsi
untuk mempertahankan tekanan negatif intrapleural.
3. Pembedahan
Video-Assisted Thoracoscopic surgery (VATS) merupakan pembedahan
alternatif pada pasien dengan keadaan hemodinamik stabil, yang

25
tujuannya tidak hanya untuk menghentikan perdarahan tetapi juga
mengevakuasi bekuan darah dan mencegah perlekatan.
Thoracotomy adalah prosedur yang dilakukan pada pasien dengan
perdarahan massif atau perdarahan yang masih aktif yang bertujuan untuk
mengeksplorasi sehingga perdarahan dapat dikontrol dan untuk
mengeluarkan darah yang berada di intratorakal.
4. Intrapleural fibrinolytic
IPFT merupakan sebuah terapi yang bertujuan untuk mengevakuasi
bekuan darah dan mencegah terjadinya perlekatan pada rongga pleura,
dilakukan bila terdapat bekuan darah setelah pemasangan chest tube. Bila
tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan prosedur pembedahan.

2.3.9 Komplikasi
Emfisema, yaitu kondisi terdapat pus dalam rongga pleura dapat terjadi
akibat bekuan darah yang tidak segera dikeluarkan dan terjadi infeksi
sekunder. Fibrothorax juga mungin terjadi dan meningkatkan potensi
terjadinya atelectasis yang dapat menurunkan fungsi paru-paru (Mancini &
Scanlin, 2018).

2.3 Konsep Flail Chest


2.3.1 Pengertian
Flail chest terjadi ketika tiga atau lebih iga fraktur dan terbangi menjadi
dua segmen dan menyebabkan adanya segmen yang melayang. Segmen yang
kehilangan kontinuitas tulang ini menyebabkan gerakan paradoksal, misalnya
segmen melayang tersebut bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar
pada ekspirasi (Kesieme et al., 2011).
Flail chest menggambarkan keadaan dimana terjadi fraktur pada tiga atau
lebih tulang iga pada dua atau lebih tempat dan dilaporkan memiliki tingakt
kematian antara 10-15% (Vana, Neubauer, Luchette, & Sc, 2014).

26
2.3.2 Etiologi
Flail chest dapat terjadi akibat trauma tumpul pada dinding dada dengan
benturan yang sangat kuat sehingga bias mematahkan lebih dari 1 tulang
rusuk. Kecelakaan lalu lintas, terjatuh, dan kekerasan fisik dapat menjadi
penyebabnya. Flail chest juga dapat terjadi karena pathogenesis, seperti
osteoporosis, multiple myeloma, atau orang dengan kelainan konginetal
(Bjerke, 2019).

2.3.3 Manifestasi Klinis


1. Gerakan paradoksal dada
2. Nyeri
3. Sesak napas
4. Krepitasi
5. Takikardi
6. Sianosis

2.3.4 Patofisiologi
Perpindahan keluar masuknya udara tergantung pada tekanan intrathorax.
Inspirasi bergantung pada koordinasi fungsi dari otot pernapasan termasuk
diafragma, interkosta eksternal, parasternal, dan otot aksesori. Turunnya
puncak diafragma meningkatkan dimensi vertical dari rongga dada dan
menyebabkan tekanan negative serta menyebabkan paru-paru menekan
jantung, membatasi pompa jantung sehingga CO menurun, dan aliran darah ke
seluruh tubuh menjadi berkurang.

Pada saat ekspirasi, tekanan paru yang meningkat akan mendorong udara
keluar paru, tapi segmen kostae yang telah patah akan menonjol keluar
sehingga kesanggupan toraks mendorong udara keluar dari paru akan
berkurang. Hasilnya adalah pasien anak mengalami hipoksia yang hebat
karena sebagian karbondioksida pada paru yang tidak bisa dihembuskan

27
keluar, masuk ke dalam paru yang menonjol pada daerah flail chest. Selain
itu, terakumulasinya karbondioksida pada paru mengakibatkan suatu keadaan
asidosis respiratori (Koesbijanto, 2011).

2.3.5 WOC

Trauma kompresi anteroposterior dari


rongga thorax

Lengkung iga akan lebih melengkung lagi


ke arah lateral

Fraktur iga multipel


Krepitasi segmental Saat inspirasi, rongga dada
(Flail Chest) mengembang

Adanya segmen yang mengambang (flail) Gerakan fragmen costa yang patah
 menimbulkan gesekan antara
ujung fragmen dengan jaringan lunak
Gangguan pergerakan dinding dada
sekitar

Gerakan nafas paradoksal


Stimulasi saraf

Fungsi ventilasi menurun


Nyeri dada

Kompensasi: O2 ↓, CO2↑
Takikardi

Sesak nafas Saturasi O2 ↓

Sianosis

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang


Berikut ini adalah pemeriksaan diagnostic yang biasa dilakukan untuk
menegakkan diagnosa flail chest (Edwar et al., 2018):
1. X-Ray dada
Foto thorax merupakan diagnostic baku untuk fraktur thorax.
2. CT-scan

28
CT scan toraks merupakan foto anteroposterior yang jauh lebih informatif,
untuk mengetahui patologi trauma yang terjadi pada skrining awal.
3. USG
Ultrasonografi toraks layak diperhitungkan untuk mendeteksi fraktur
sternum. Ketepatan mendeteksi fraktur sternum dengan USG sangat tinggi
dan mudah dilakukan.

2.3.7 Penatalaksanaan
Kunci dari penanganan pada pasien dengan flail chest adalah
pengembalian struktur anatomi dan fungsi, sera menghindari komplikasi yang
mungkin terjadi (Tzelepis & Mccool, 2016). Ada dua pendekatan yang
dilakukan dalam penatalaksanaannya, yaitu:
1. Non-bedah
a. Kontrol nyeri dengan pemberian analgetik adekuat
b. Membersihkan secret
c. Pemberian ventilasi mekanik, jika diperlukan
2. Pembedahan
Prosedur pembedahan dilakukan untuk menstabilisasi segmen yang
melayang dengan memasangkan alat seperti plat titanium atau kabel
meduler. Beberapa penelitian menganjurkan untuk melakukan
pembedahan karena mengurangi potensi penggunaan ventilator,
mengurangi tingkat infeksi, dan meminimalisir lama rawat.

2.3.8 Komplikasi
Gagal nafas yang disebabkan oleh adanya ineffective air movement (Tidak
efektifnya pertukaran gas), yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio
paru, dan nyeri.

29
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
1) Pengkajian umum
Klien tampak sakit berat
2) Pengkajian Kesadaran
Untuk menentukan tingkat kesadaran klien dapat digunakan perhitungan
Glassglow Coma Scale (GCS). Untuk klien dengan gangguan tension
pneumothoraks, biasanya kesadaranya menurun.
Dapat juga dinilai melalui cara berikut :
(1) A = Alert : Penderita sadar dan mengenali keberadaan dan
lingkungannya.
(2) V = Verbal : Penderita hanya menjawab/bereaksi bila dipanggil atau
mendengar suara.
(3) P = Pain : Penderita hanya bereaksi terhadap rangsang nyeri yang
diberikan oleh penolong, misalnya dicubit, tekanan pada tulang dada
(4) U = Unrespon : Penderita tidak bereaksi terhadap rangsang apapun
yang diberikan oleh penolong. Tidak membuka mata, tidak bereaksi
terhadap suara atau sama sekali tidak bereaksi pada rangsang nyeri.
3) Triage
4) Primary survey
(1) Airway
a. Assesment
 Perhatikan patensi airway
 Dengar suara napas
 Perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan
dinding dada
b. Management:

30
 Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-
lift dan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan
napas
 Re-posisi kepala, pasang collar-neck
 Lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral
/ nasal)
(2) Breathing
a. Assesment
 Periksa frekwensi napas
 Perhatikan gerakan respirasi
 Palpasi toraks
 Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
b. Management:
 Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
 Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension
pneumotoraks
(3) Circulation
a. Assesment
 Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
 Periksa tekanan darah
 Pemeriksaan pulse oxymetri
 Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
b. Management:
 Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
 Torakotomi emergency bila diperlukan
 Operasi Eksplorasi vaskular emergency
 Pemasangan WSD
5) Secondary Survey

31
Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode
SAMPLE, yaitu sebagai berikut
S : Sign and Symptom
Sesak napas, dada terasa sempit, gelisah, keringat dingin, sianosis,
tampak sisi yang terserang menonjol dan tertinggal dalam pernafasanya,
perkusi hipersonor, pergeseran mediastinum ke sisi sehat, pola nafas
melemah pada bagian yang terkena, suara amforik, saat diperkusi
terdengar hiperosa, nyeri pleura, hipotensi.
A : Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi
obat-obatan ataupun kebutuhan akan makan/minum.
M : Medications
(Anticoagulants, insulin and cardiovascular medications especially).
Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai dengan
keadaan klien dan tidak menimbulka reaksi alergi. Pemberian obat
dilakukan sesuai dengan riwayat pengobatan klien.
P :Previous medical/surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.
L :Last meal (Time)
Waktu klien terakhir makan atau minum.
E :Events /Environment surrounding the injury
6) Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri dilakukan dengan menggunakan PQRST, yaitu sebagai
berikut :
P :Provokativ. Penyebab terjadinya nyeri.
Q :Quality.
R :Region.
S :Skala.
T :Time.
7) Pemeriksaan Diagnostik

32
(1) Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural;
dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal.
(2) GDA : variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
(3) Torasentesis : menyatakan darah / cairan sero sanguinosa.
(4) Hb : mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah.
2. Diagnosis Keperawatan
1) Kategori : fisiologis
Subkategori: Nutrisi dan cairan
D. 0019 Defisit nutrisi
2) Kategori : fisiologis
Subkategori : respirasi
D. 0005 Pola nafas tidak efektif
3) Kategori : fisiologis
Subkategori : Aktivitas dan istirahat
D. 0054 Gangguan mobilitas fisik
4) Kategori : fisiologis
Subkategori : Aktivitas dan istirahat
D. 0055 Gangguan pola tidur
5) Kategori : psikologis
Subkategori : Nyeri dan kenyamanan
D. 0077 nyeri akut
3. Intervensi
No NOC NIC
1 Luaran utama: Pola nafas 1. Manajemen jalan nafas
Kriteria hasil : Observasi:
1. Tekanan ekspirasi (4)  Monitor pola nafas (frekuensi,
2. Tekanan inspirasi (4) kedalaman, usaha nafas)
3. Penggunaan otot bantu nafas (4)  Monitor bunyi nafas tambahan
Terapeutik

33
 Berikan oksigen
2. Pemantauan respirasi
Observasi
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil X-ray
Teraupetik
 Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
2 Luaran utama : status nutrisi 1. Manajemen nutrisi
Kriteria hasil : Kolaborasi
1. Bising usus (4)  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan.

3 Luaran utama : Tingkat nyeri Manajemen nyeri


Kriteria hasil  Berikan teknik nonfarmakologi
1. Keluhan nyeri (4) untuk mengurangi nyeri
 Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
 Kolaborasi pemberian analgetik
4 Luaran utama : Mobilitas fisik Dukungan Mobilisasi
Kriteria hasil :  Monitor kondisi umum dalam
Gerakan terbatas (4) melakukan mobilisasi
Kelemahan fisik (4)  Fasilitasi melakukan pergerakan
 Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan
pergerakan

34
BAB III

KASUS SEMU

3.1 Konsep Asuhan Keperawatan Hematothoraks


Tn. K berusia 25 tahun diantar ke UGD RS S jam 08.15 WIB dengan keadaan
lemah, mengeluh nyeri pada dada sebelah kiri, nafas terasa berat setelah kecelakaan
yang dialaminya. Pada pemeriksaan yang di lakukan di ruang UGD didapatkan ada
jejas di daerah dada, luka lecet pada siku, tensi 90/60 mmHg nadi 112x/mnt RR
28x/mnt, suhu 35,8, CRT >2 detik, spO2 82% telapak tangan pucat, akral dingin.
3.1.1. Pengkajian
1. Pengkajian Umum
Klien tampak kesakitan dan nafasnya berat, ditandai dengan wajah
pucat, nafas cepat dan dangkal.

2. Pengkajian AVPU (Kesadaran)


a. A = Alert
Klien sadar dan mengenali keberadaan serta lingkungannya.
b. V = Verbal
Klien hanya menjawab pertanyaan dari perawat.
c. P = Pain
Klien hanya bereaksi terhadap rangsang nyeri yang diberikan
oleh penolong, yaitu tekanan pada pangkal kuku.
d. U = Unrespon
Klien tidak bereaksi terhadap rangsang apapun yang diberikan
oleh penolong. Tidak membuka mata, tidak bereaksi terhadap suara
atau sama sekali tidak bereaksi pada rangsang nyeri.

35
3. Triage
Mengancam jiwa, akan mati tanpa tindakan dan evaluasi segera.
Harus langsung ditangani. Area resusitasi. Waktu tunggu 0 menit. Maka
dapat digolongkan P1 (Emergency).

4. Primary Survey
a. Airway
1) Inspeksi : pergerakan dada tidak simetris
2) Auskultasi : tidak ada suara nafas tambahan
3) Jalan nafas bebas, tidak sekret atau darah
b. Breathing
1) RR : 28x/ menit
2) Inspeksi : Pergerakan dinding dada asimetris (pergerakan dada
kiri tertinggal), retraksi dinding dada bagian bawah kanan dan kiri
+, terdapat jejas pada dada sebelah kiri
3) Palpasi : krepitasi
4) Perkusi : redup pada thorax kiri,
5) Auskultasi : suara nafas pada paru kiri menjauh
c. Circulation
1) Tekanan darah 90/60 mmHg
2) Nadi 112x/ menit
3) SpO2 82%
4) Telapak tangan pucat, akral dingin
d. Disability
GCS : E4 V5 M6, pupil isokor, kekuatan otot : normal
e. Eksposure
Jejas pada dada kiri, luka lecet pada siku

36
5. Secondary Survey
Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode
SAMPLE, yaitu sebagai berikut
a. S: Sign and Symptom.
Tanda gejala terjadinya tension pneumothoraks, yaitu Ada jejas
pada thorak, Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat
inspirasi, Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi, Pasien
menahan dadanya dan bernafas pendek, Dispnea, batuk, Penurunan
tekanan darah.
b. A: Allergies
Tidak ada riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien.
Baik alergi obat-obatan ataupun kebutuhan akan makan/minum.
c. M : Medications
Pemberian obat dilakukan sesuai dengan riwayat pengobatan
klien.
d. P :Previous medical/surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya :
pasien baru pertama kali masuk RS
e. L :Last meal (Time)
Waktu klien terakhir makan atau minum : sarapan pagi
f. E :Events /Environment surrounding the injury
Klien kecelakaan tunggal dijalan raya pada waktu naik sepeda
motor.

6. Pemeriksaan kondisi umum (head to toe)


a. Pemeriksaa kepala dan leher
Tidak ada luka pada kepala dan leher, tidak keluar cairan/ darah
dari hidung dan telinga.
b. Pemeriksaan dada

37
Terdapat jejas pada dada sebelah kiri, nyeri tekan, perkusi :
redup pada dada sebelah kiri
c. Pemeriksaan abdomen
Tidak ada luka, perut supel, tidak ada nyeri tekan
d. Pemeriksaan tulang belakang : normal
e. Pemeriksaan pelvis/ genetalia : normal
f. Pemeriksaan ekstrimitas atas dan bawah
Terdapat luka lecet pada siku, tidak ada luka pada ekstermitas
bawah
g. Psikososial : Ketakutan, cemas, gelisah
h. Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri dilakukan dengan menggunakan PQRST, yaitu
sebagai berikut :
1) P : nyeri pada area dada kiri
2) Q : nyeri bertambah saat digunakan untuk bernafas, wajah pasien
menyeringai
3) R : nyeri di bagian dada kiri dan tidak menjalar
4) S : skala nyeri 5 (menggunakan VAS)
5) T : nyeri terutama saat menarik bernafas

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
BGA : PCO2 45, satu rasi O2 82%, PO2 80
Darah lengkap : Hb 9, Plt
b. Foto thorax : menyatakan akumulasi cairan
c. Ct Scan

38
3.1.2. Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan
1. Analisa data
No Data Fokus Etiologi Masalah
Keperawatan
1. Ds : Klien mengeluh nafas berat Pleura terisi Pola nafas tidak
dan nyeri saat bernafas. darah efektif
Do
a. RR : 28x/menit ekspansi paru
b. Jejas pada dada sebelah kiri turun
2. Ds : - Resiko perdarahan
Do
a. Ada jejas pada thorak
b. Nyeri pada tempat trauma,
bertambah saat inspirasi,
c. Pembengkakan lokal dan
krepitasi pada saat palpasi,
d. TD : 90/60 mmHg
e. Nadi : 112x/menit

2. Diagnosa Keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
(nyeri) ditandai dengan pasien mengeluh nafas berat dan nyeri saat
bernafas, RR 28x/ menit, jejas pada dada sebelah kiri.
2) Resiko perdarahan ditandai dengan adanya trauma pada dada

39
3.1.3. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1 Pola nafas tidak Setelah dilakukan Standart Intervensi
efektif b/d tindakan keperawatan Keperawatan Indonesia
hambatan upaya selama 1 x 8 jam pola (SIKI)
nafas nafas membaik Manajemen jalan nafas :
dengan kriteria hasil 1. Pertahankan kepatenan jalan
(berdsarkan SLKI) : nafas
frekuensi nafas 2. Berikan posisi yang sesuai
membaik (20x/mnt), 3. Monitor pola nafas (frekuensi,
sesak berkurang/ kedalaman dan usaha nafas)
menurun, 4. Monitor bunyi nafas
penggunaan otot tambahan
bantu nafas menurun Dukungan ventilasi :
1. Berikan oksigen sesuai
kebutuhan
2. Monitor status respirasi dan
oksigenasi

1. Informasikan kepada keluarga


atau pasien tentang tindakan
yang akan dilakukan
2. Kolaborasi dengan dr untuk
pemasangan thorax drain dan
pemberian obat
2 Risiko Standart Intervensi
perdarahan Keperawatan Indonesia
ditandai dengan (SIKI)

40
adanya trauma Pencegahan perdarahan
1. Pertahankan bed rest selama
pedarahan
2. Monitor tanda perdarahan
3. Monitor tanda-tanda vital
4. Monitor nilai Hb dan
Hematokrit
Pemantauan cairan :
1. Identifikasi tanda-tanda
hipovolemi
2. Monitor intake dan output
cairan
3. Monitor tekanan darah,
frekuensi nadi dan pernafasan
Pencegahan syok :
1. Pasang jalur IV
2. Pasang kateter urine untuk
menilai produksi urine
3. Berikan oksigen untuk
mempertahankan satu rasi O2
4. Monitor oksigenasi dan status
kesadaran
5. Klaborasi pemerian produk
darah
6. Kolaborasi pemberian obat-
obatan.

41
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Secara umum trauma toraks dapat didefinisikan sebagai suatu trauma


yang mengenai dinding toraks yang secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh pada pada organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu
trauma tumpul maupun oleh sebab trauma tajam. Cedera pada parenkim paru
sering terjadi pada pasien yang mengalami cedera berat meliputi, kontusio,
laserasi dan hematoma pada paru. Hemotoraks dan Pneumotoraks juga
merupakan cedera yang biasa terjadi pada pasien - pasien trauma toraks

Pneumothorak adalah adanya udara dalam rongga pleura. Biasanya


pneumotorak hanya temukan unilateral, hanya pada blast-injury yang hebat
dapat ditemukan pneumotorak bilateral. Sedangkan hematotoraks adalah
adanya darah dalam rongga pleura. Sumber perdarahan dapat berasal dari
dinding dada, parenkim paru-paru, jantung atau pembuluh darah besar.
Berdasarkan etiologinya pneumothoraks dan hematothoraks terbagi menjadi
dua macam, yaitu spontan, yaitu robeknya kantong udara dekat pleura
viseralis dengan didasari oleh riwayat penyakit paru dan traumatic, misalnya
trauma akibat kecelakaan pada dinding dada. Flail chest merupakan
komplikasi yang serius pada trauma thorax akibat benda tumpul, dimana
terjadi fraktur pada tiga atau lebih tulang iga pada dua atau lebih tempat dan
dilaporkan memiliki tingkat kematian antara 10-15%.

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan trauma


thorax adalah defisit nutrisi, pola nafas tidak efektif, gangguan mobilitas fisik,
gangguan pola tidur, dan nyeri akut.

42
4.2 Saran
Dari penjelasan makalah, diharapkan mahasiswa keperawatan mampu
menguasai materi mengenai asuhan keperawatan gawat darurat pada klien
dengan trauma thorax.

43
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Mukty, Abdul. (2009). Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:


Universitas airlanggga

Al-Koudmani I, Darwish B, Al-Kateb K, Taifour Y. (2012). Chest trauma experience


over eleven years period at AlMouassat University Teaching Hospital-
damascus: A retrospective review of 888 Cases. Journal of Cardiothoracic
Surgery,7:35. 3.

Barmawi Hisyam & Eko Budiono. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi IV. Jakarta; Balai Penerbit FKUI

Bjerke, H. S. (2019). Flail Chest. In Medspace (pp. 1–10).

Bowman, Jefffrey, Glenn. (2010). Pneumothoraks, tension and traumatic.

Boersma, W. G., Stigt, J. A., & Smit, H. J. M. (2010). Treatment of Haemothorax.


Respiratory Medicine, 104(11), 1583–1587.
https://doi.org/10.1016/j.rmed.2010.08.006

Broder, J. S. (2011). CHAPTER 6 Imaging Chest Trauma. In Diagnostic Imaging for


the Emergency Physician (6th ed., p. 297).

Broderick, S. R. (2013). Hemothorax Etiology , Diagnosis , and Management, 23,


89–96. https://doi.org/10.1016/j.thorsurg.2012.10.003

Corwin, E. (2006). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta; EGC.

Edwar, P. P., Airlangga, P. S., Salinding, A., Semedi, B. P., Sylvaranto, T., &
Rahardjo, E. (2018). Kesulitan “ Weaning ” pada Kasus Flail Chest Akibat
Fraktur Sternum yang Tidak Teridentifikasi. Jurnal Anestesiologi Indonesia,
10(1), 42–50.

44
Kesieme, E., Dongo, A., Jebbin, N., Okugbo, S., Okonta, K., & Abubakar, U. (2011).
Flail Chest : Current concepts in pathophysiology and Emergency Management.
Indian Emergency Journal, 6(1), 44–61.

Kevin G, Pitojo, Adrian Tangkilisan, Alwin Monoarfa. (2016). Pola trauma tumpul
toraks non penetrans, penanganan, dan hasil akhir di Instalasi Rawat Darurat
Bedah RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2014 – Juni
2016. Jurnal e-Clinic (eCl). Volume 4, Nomor 2

Koesbijanto, H. (2011). Flail Chest Management in ARDS. Folia Medica


Indonesiana Vol., 47(3), 191–197.

Jakarta Medikal Servis 119. (2017).Panduan pelatian kegawat daruratan 119 . Jakarta
: Gadar JMS 119

Muntaqqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Mancini, M. C., & Scanlin, T. (2018). Hemothorax. In Medscape (pp. 1–19).

Mayasari, D., & Pratiwi, A. I. (2017). Penatalaksanaan Hematotoraks Sedang Et


Causa Trauma Tumpul. AgromedUnila, 4(1), 37–42. Pernapasan. Jakarta :
Salemba Medika

Manurung JRH. Kecelakaan Lalu Lintas. (2012. Profil Kesehatan Indonesia 2015.
Gambaran Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2015; p. 87. Available
from: http://www.depkes.go.id/resources/dow nload/pusdatin/profil-
kesehatanindonesia/profil-kesehatan-Indonesia2015.pdf.

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2006). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Prince, Sylvia. (2006). Ptofisiologi ; Komsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.


Jakarta : EGC

45
Paci M, Ferrari G, Annesi V, de Franco S, Guasti G, Sgarbi G. (2006). The role of
diagnostic VATS in penetrating thoracic injuries. World Journal of
Emergency Surgery ;1:30. 4.

Syaifudin. (2011). Anatomi Fisiologi: kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk


Keperawatan & Kebidanan. Edisi 4. Jakarta : EGC

Sudoyo, Aru W. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Sjamsuhidajat R, de Jong W. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah (3rd ed). EGC. Jakarta,
Hal. 121-122, 502-506 2.

Tzelepis, G. E., & Mccool, F. D. (2016). The Respiratory System and Chest Wall
Diseases. In Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine, 2-Volume
Set (Sixth Edit, pp. 1707-1722.e4). Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-1-
4557-3383-5.00098-1

Vana, P. G., Neubauer, D. C., Luchette, F. A., & Sc, M. (2014). Contemporary
Management of Flail Chest. The American Surgeon, 80, 527–535.

Wijaya AS dan Putri YM. (2013). KMB Keperawatan Dewasa. Jakarta : Numed

46

Anda mungkin juga menyukai