Laporan Pendahuluan
Laporan Pendahuluan
Laporan Pendahuluan
Disusun oleh :
ADELIA LAKSMITA DEWI SUPRIYANTO
NIM. 1602460025
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN KEDIRI
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswa mampu melakukan asuhan kebidanan
komunitas pada keluarga
2.1.2 Etiologi
Beberapa faktor predisposisi dan faktor lain yang telah
ditemukan oleh beberapa sebagai berikut :
a) Faktor predisposisi yang sering dikemukakan adalah
primigravida, mola hidatidosa dan kehamilan ganda. Frekuensi
yang tinggi pada mola hidatidosa dan kehamilan ganda
menimbulkan dugaan bahwa faktor hormon memegang
peranan karena pada kedua keadaan tersebut hormon khorionik
gonadropin dibentuk berlebihan
b) Masuknya vili khorionik dalam sirkulasi maternal dan
perubahan metabolic akibat hamil serta resistensi yang
menurun dari pihak ibu terhadap perubahan ini merupakan
faktor organik.
c) Alergi, sebagai salah satu respon dari jaringan ibu terhadap
anak, juga disebut sebagai salah satu faktor organik.
d) Faktor psikologik memegang peran penting pada penyakit ini
rumah tangga yang rentang, kehilangan pekerjaan, takut akan
kehaamilan dan persalinan, takut terhadap tanggung jawab
sebagai ibu, dapat menyebabkan konflik menyal yang dapat
memperberat mual dan muntah sebagai ekspresi tidak sadr
terhadap keengganan menjadi hamil atau sebagai pelarian
kesukaran hidup. Kurangnya penerimaan terhadap kehamilaan
dinilai memicu terjadinya mual dan muntah ini. Pada waktu
hamil muda, kehamilan dinilai tidak digharapkan, apakah
karena kegagalan kontrasepsi ataupun karena hubungan diluar
nikah. Hal ini biasanya memicu penolakan ibu terhadap
kehamilannya.
(Rukiyah, 2010)
e) Faktor hormonal
1) Human Chorionic Gonadotropin ( HCG )
Pada awal kehamilan, terjadi peningkatan produksi
HCG (khususnya pada kehamilan mola dan kehamilan
ganda) dan insiden hiperememesis ini meningkat ketika
produksi HCG mencai puncaknya (usia kehamilan sekitar
9 minggu). Beberapa pendapat menyatakan bahwa
kemungkinan ktivitas biological dari masing-masing
inform HC berbeda-beda sebagaimana sensitivitas individu
untuk stimulasi emetogenik. Selain itu interaksi hormon
reseptor mungkin memodifikasi efek HCG pada
hiperemesis.
2) Helicobacter Pylori Infection
Infeksi kronik helicobacter pylori dapat
menyebabkan hipermesis garavidarum. Pemeriksaan
histologi muskosa gaster pada 30 wanita (20 pasien
hiperemesis gravidrum dan 10 kontrol) mnunjukkan bahwa
bakterium ada pada hamper 95% pasien hiperemesis
gravidarum tetapi hanya 50% pada kotrol.
3) Progesteron
Progesteron ini mepunyai sifat yang unik, yaitu
menekan sistem imun. Hal ini dimaksudkan supaya embrio
dapat implantasi kedalam rahim. Embrio dikenal sebagai
benda asing, apabila sistem imun tidak ditekan, maka
tubuh akan menolak embrio. Karena sistem imun tubuh
ibu ditekan, ibu akan rentan sakit, dan kemungkinan mual
muntah yang sialami ibu berkaitan dengan pelemahan
sistem imun ibu.
4) Estrogen
Peningkatan kadar estron dan estradiol diketahui
dapat menyebabkan mual dan muntah. Pengamatan pasien
dengan terapi estrogen menunjukkan salah satu efek
sampinnya yaitu mual dan muntah. Lebih lanjut, apabila
fetus yang di kandung berjenis kelamin perempuan
berkaitan dengan mual dan muntah yang lebih parah
karena kosentrasi etrogen utero mengalami peningkatan
yang segnifikan.
5) Hipertiroid
Secara fisologis, fungsi tiroid mengalami perubahan
selama kehamilan, salah satunya karena distimulasi oleh
HCG. Pada hipertiroid, kadar T3 bebas dan T4 bebas
normal, akan tetapi penurunan TSH (tyroid stimulating
hormone), kemungkinan hal ini menyebabkan hiperemesis
gravidarum. (Fauziah dan Sutejo, 2012)
2.1.3 Patofisiologi
Hiperemesis gravidarum yang merupakan komplikasi mual dan
muntah pada hamil muda, bila terjadi terus menerus dapatb
menyebabkan dehidrasi dan tidak imbangnya elektrolit dengan
alkolisis hipokloremik. Belum jelas mengapa gejala-gejala ini hanya
terjadi pada sebagian kecil wanita, tetapi faktor psikologik
merupakan faktor utama, disamping pengaruh hormonal. Yang jelas,
wanita yang sebelum kehamilan sudah menderita lambung spastik
dengan gejala tidak suka makan dan mual, akan mengalami emesis
gravidarum yang lebih berat. (Rukiyah, 2010)
2.1.5 Komplikasi
Dampak yang ditimbulkan dapat terjadi pada ibu dan janin
seperti ibu akan kekurangan nutrisi dan cairan sehingga keadaan fisik
ibu menjadi lemah dan lelah dan pat pula mengakibatkan gangguan
asam basa, pneumini aspirin, robekan mukosa pada hubungan
gastroesofagi yang menyebabkan peredaran ruptur esophagus,
kerusakan hepar dan kerusakan ginjal, ini kan memberikan pengaruh
pada pertumbuhan dan perkembangan janin karena nutrisi yang tidak
terpenuhi atau tidak sesuai dengan kehamilan, yang mengakibatkan
peredaran darah janin berkurang. (Rukiyah, 2010)
Hiperemes gravidarum tidak hanya mengancam kehidupan
klien, mamun dapat menyebabkan efek samping pada janin seperti
abortus, berat badan lahir rendah, kleahiran prematur dan malformasi
pada bayi baru lahir. Pada penelitian yang dilakukan oleh Paawi, et
all (2005) dalam Runiari 2010 didapatkan bahwa hipermesis
gravidarum faktor yang sisnifikan terhadap memanjangnya hari
rawat bagi bayi yang dilahirkan. (Runiari, 2010)
2.1.6 Penatalaksanaan
Hiperemesis gravidarum tingkatan II dan III harus dirawat inap dirumah
sakit. Adapun terapi dan perawatan yang diberikan adalah sebagai
berikut :
1) Isolasi
Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, tetapi cerah,
dan peredaran darah baik. Jangan terlalu banyak tamu, kalau perlu
hanya perawat dan dokter saja yang boleh masuk. Kadang-kadang
isolasi dapat mengurangi atau menghilangkan gejala ini tanpa
pengobatan.
2) Terapi psikologik
Berikan pengertian bahwa kehamilan adalah suatu hal yang
wajar, normal, dan fisiologis, jadi tidak perlu takut dan khawatir,
yakinkan penderita bahwa penyakit dapat disembuhkan dan
dihilangkan masalah atau konflik yang kiranya dapat menjadi latar
belakang penyakit ini.
3) Terapi paretal
Berikan cairan parental yang cukup elektrolit, karbohidrat, dan
protein dengan glukaosa 5% dalam cairan garam fisiologik sebanyak
2-3 liter sehari. Bila perlu dapat ditambahkan kalium dan vitamin,
khususnya vitamin B kompleks dan vitamin C dan bila ada
kekurangan protein, dapat diberikan pula asam amino secara
intravena. Buat dalam daftar kontrol cairan yang masuk dan
dikeluarkan. Berikan pula obat-obatan seperti yang disebutkan diatas.
2.2. Herpes
Infeksi Herpes simpleks virus (HSV) dapat berupa kelainan pada daerah
orolabial atau herpes orolabialis serta daerah genital dan sekitarnya atau
herpes genitalis, dengan gejala khas berupa adanya vesikel berkelompok di
atas dasar makula eritematosa. (Laissa dan Dwi, 2017)
2.2.1 Definisi
Herpes simpleks genitalis merupakan salah satu Infeksi Menular
Seksual (IMS) yang paling sering menjadi masalah karena sukar
disembuhkan, sering berulang (rekuren), juga karena penularan
penyakit ini dapat terjadi pada seseorang tanpa gejala atau asimtomatis.
Kata herpes dapat diartikan sebagai merangkak atau maju perlahan
(creep or crawl) untuk menunjukkan pola penyebaran lesi kulit infeksi
herpes simpleks genitalis. (Laissa dan Dwi, 2017)
Herpes genital adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS)
yang disebabkan virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) atau tipe 2
(HSV-2). Tipe 1 biasa ditemukan di daerah mulut (herpes oral) dan tipe
2 disebut herpes genital. (Murtiastutik, 2008)
2.2.2 Gejala
Pada umumnya infeksi virus herpes tidak menimbulkan gejala
atau hanya gejala ringan, sehingga orang dengan infeksi HSV-1 atau
HSV-2 tidak menyadari bahwa mereka sedang sakit. Apalagi gejala
sering dianggap sebagai kelainan kulit lain. Bila timbul gejala tampak
sebagai gelembung (blister) kecil berwarna bening, bisa tunggal atau
jamak, di daerah sekitar mulut, kelamin, atau rektum. Gelembung dapat
pecah (masa ini disebut outbreak) dan menimbulkan bekas luka seperti
sariawan yang membutuhkan dua atau empat minggu untuk sembuh.
Luka herpes yang terletak di mulut biasanya terasa seperti kesemutan
dan terbakar sesaat sebelum outbreak. Adanya gelembung itu sendiri
sebetulnya sudah cukup menimbulkan rasa nyeri. (Laissa dan Dwi,
2017)
Saat outbreak pertama dapat digambarkan rasa nyeri yang hebat
di sekitar kelamin atau area luka, sensasi terbakar, maupun kesulitan
berkemih. Ada pula orang yang mengeluarkan cairan dari vagina atau
penisnya. Gejala lainnya serupa flu, seperti demam, sakit seluruh badan,
dan pembengkakan kelenjar getah bening di sekitar area luka. (Laissa
dan Dwi, 2017)
Outbreak dapat terjadi berulang, hanya saja durasinya akan menjadi
lebih singkat dan tidak seberat episode pertama. Infeksi herpes genital dapat
bertahan dalam tubuh untuk waktu yang tidak dapat ditentukan, meski
demikian jumlah outbreak cenderung menurun seiring waktu. (Laissa dan
Dwi, 2017)
2.2.4 Komplikasi
Bila seseorang dengan herpes genital menyentuh luka atau cairan
dari luka, mereka dapat memindahkan virus herpes ke bagian tubuh
lainnya. Ini menjadi sangat bermasalah bila yang terkena dilokasi yang
sensitif seperti mata. Cara menghindarinya dengan cara tidak
memegang luka atau cairan dari luka. Kalaupun memegang atau terkena
cairannya, segera cuci tangan, sehingga mengurangi kemungkinan
menularkan herpes ke bagian tubuh lainnya.
Beberapa orang dengan herpes genital memikirkan dampak
penyakitnyanya terhadap kesehatan, kehidupan seksual dan hubungan
dengan pasangannya. Sangatlah penting membicarakan kekhawatiran
ini dengan penyedia layanan kesehatan, dan penting juga untuk
mengetahui bahwa herpes tidak dapat diobati, tetapi merupakan suatu
kondisi yang dapat dikontrol. Sejak diagnosa genital herpes dapat
mempengaruhi persepsi tentang hubungan seks sedang berjalan atau
masa yang akan datang, sangatlah penting untuk mengerti bagaimana
menjelaskan pada pasangan seks mengenai IMS. (Laissa dan Dwi,
2017)
2.2.5 Penatalaksanaan
Penegakan diagnosis penyakit ini dapat dilakukan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Penting
untuk dapat melakukan diagnosis dengan benar serta penatalaksanaan
yang tepat pada pasien herpes simpleks genitalis. Pengobatan secara
dini dan tepat dapat memberikan prognosis yang lebih baik, yaitu masa
penyakit berlangsung lebih singkat dan angka kejadian rekurensi
menurun. Pemberian edukasi juga merupakan aspek penting dalam
penanganan herpes simpleks genitalis. Pasien harus disarankan untuk
kontrol ulang, disarankan untuk tidak melakukan hubungan seksual
selama lesi dan gejala masih ada, pemakaian kondom serta
memeriksakan pasangan seksualnya. Semua itu adalah upaya untuk
mencegah transmisi dari penyakit ini. (Laissa dan Dwi, 2017)
2.3. Tetanus
2.3.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot
(spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan
disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin
(tetanoplasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular
(neuro muscular jungtion) dan saraf autonom. (Smarmo 2002)
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostridium
tetani, bermanifestasi dengan kejang otot secara paroksisimal dan
diikuti oleh kekakuan otot seluruh badan, khususnya otot-otot massester
dan otot rangka.
Klasifikasi tetanus berdasarkan bentuk klinis yaitu: (Sudoyo Aru, 2009)
a. Tetanus local: Biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu
timbul rebiditas dan spasme pada bagian proksimal luar. Gejala itu
dapat menetap dalam beberapa minggu dan menghilang.
b. Tetanus sefalik: Varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa
inkubasi 1-2 hari terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan
muka. Paling menonjol adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX, dan
XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum.
c. Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering. Spasme
otot, kaku kuduk, nyeri tenggorokan, kesulitan membuka mulut,
rahang terkunci (trismus), disfagia. Timbul kejang menimbulkan
aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada
mulanya, spasme berlangsung beberapa detik sampai beberapa
menit dan terpisah oleh periode relaksasi.
d. Tetanus neonatorum: biasa terjadi dalam bentuk general dan fatal
apabila tidak ditanggani, terjadi pada anak-anak yang dilahirkan
dari ibu yang tidak imunisasi secara adekuat, rigiditas, sulit
menelan ASI, iritabilitas, spasme.
2.3.2 Etiologi
Spora bacterium clostridium tetani (C. Tetani). Kuman ini
mengeluarkan toxin yang bersifat neurotoksik (tetanospasmin) yang
menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Termasuk bakteri
gram positif. Bentuk: batang. Terdapat: di tanah, kotoran manusia dan
binatang (khususnya kuda) sebagai spora, debu, instrument lain. Spora
bersifat dorman dapat bertahan bertahun-tahun (> 40 tahun).
2.3.4 Penatalaksanaan
1) Netralisasi toksin dengan tetanus antitoksin (TAT)
a. hiperimun globulin (paling baik)
Dosis: 3.000-6.000 unit IM
Waktu paruh: 24 hari, jadi dosis ulang tidak diperlukan
Tidak berefek pada toksin yang terikat di jaringan saraf; tidak
dapat menembus barier darah-otak
b. Pemberian ATS (anti tetanus)
ATS profilaksis diberikan untuk (luka yang kemungkinan
terdapat clostridium: luka paku berkarat), luka yang besar, luka
yang terlambat dirawat, luka tembak, luka yang terdapat
diregio leher dan muka, dan luka-luka tusuk atau gigitan yang
dalam) yaitu sebanyak 1500 IU – 4500 IU ATS terapi
sebanyak > 1000 IU, ATS ini tidak berfungsi membunuh
kuman tetanus tetapi untuk menetralisir eksotoksin yang
dikeluarkan clostridium tetani disekitar luka yang kemudian
menyebar melalui sirkulasi menuju otak.
Untuk terapi, pemberian ATS melelui 3 cara yaitu:
- Di suntik disekitar luka 10.000 IU (1 ampul)
- IV 200.000 IU (10 ampul lengan kanan dan 10 ampul
lengan kiri)
- IM di region gluteal 10.000 IU
2) Perawatan luka
a. Bersihkan, kalau perlu didebridemen, buang benda asing,
biarkan terbuka (jaringan nekrosis atau pus membuat kondisis
baik C. Tetani untuk berkembang biak)
b. Penicillin G 100.000 U/kg BB/6 jam (atau 2.000.000 U/kg
BB/24 jam IV) selama 10 hari
c. Alternatif
Tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hari (max 2 gr) terbagi dalam 3
atau 4 dosis
Metronidazol yang merupakan agent anti mikribial.
Kuman penyebab tetanus terus memproduksi eksotoksin yang
hanya dapat dihentikan dengan membasmi kuman tersebut.
3) Berantas kejang
a. Hindari rangsang, kamar terang/silau, suasana tenang
b. Preparat anti kejang
c. Barbiturat dan Phenotiazim
i. Sekobarbital/Pentobarbital 6-10 mg/kg BB IM jika perlu
tiap 2 jam untuk optimum level, yaitu pasien tenag
setengah tidur tetapi berespon segera bila dirangsang
ii. Chlorpromazim efektif terhadap kejang pada tetanus
iii. Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB/3-6 jam IV kalau perlu 10-15
mg/kg BB/24 jam: mungkin 2-6 minggu
4) Terapi suportif
a. Hindari rangsang suara, cahaya, manipulasi yang merangsang
b. Perawatan umum, oksigen
c. Bebas jalan napas dari lendir, bila perlu trakeostomi
d. Diet TKTP yang tidak merangsang, bila perlu nutrisi
parenteral, hindari dehidrasi. Selama pasase usus baik, nutrisi
interal merupakan pilihan selain berfungsi untuk mencegah
atropi saluran cerna.
e. Kebersihan mulut, kulit, hindari obstipasi, retensi urin
(Sudoyo Aru, 2009)
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam intervensi antara teori dari kasus tidak terdapat kesenjangan yaitu
pada teori dan kasus. Petugas kesehatan bertanggung jawab memberikan
penatalaksanaan yang sesuai dengan masalah yang ada.
Pada implementasi antara teori dan kasus juga tidak terdapat kesenjangan
yaitu intervensi yang telah dibuat dapat dilaksanakan pada implementasi.
Dari evalusi tidak terdapat kesenjangan antara teori dan kasus sehingga pada
evaluasi diharapkan hasil asuhan yang telah diberikan masuk kategori berhasil.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kebidanan Komunitas adalah pelayanan kebidanan yang menekankan
pada aspek-aspek psikososial budaya yang ada di komunitas (masyarakat
sekitar). Maka seorang bidan dituntut mampu memberikan pelayanan yang
bersifat individual maupun kelompok. (Dwi, Elly. 2018)
Dari data-data tersebut penulis dapat menggali masalah dan kebutuhan
keluarga untuk mendapatkan analisa dan perencanaan asuhan kebidanan
sehingga dapat dilakukan perawatan sesuai dengan teori yang ada dalam
asuhan kebidanan, kemudian melakukan evaluasi hasil dari pelaksanaan
asuhan kepada pasien untuk mengetahui ada tidaknya kesenjangan pada
asuhan kebidanan setelah dilakukan evaluasi selanjutnya dilakukan
pendokumentasian atau pencatatan yang berupa asuhan kebidanan.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Penulis
Diharapkan mendapatkan pengalaman serta dapat menerapkan teori
manajemen kebidanan dalam praktik Kebidanan Komunitas.
5.2.2 Bagi Institusi
Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kepustakaan bagi yang
membutuhkan Asuhan Kebidanan dan acuan pada penanganan kasus
abortus inkompletus
5.2.3 Bagi Klien
Diharapkan klien mengetahui tentang pentingnya asuhan yang harus
dilakukan untuk mendeteksi adanya komplikasi yang terjadi pada ibu
maupun pada bayinya
5.2.4 Bagi Lahan Praktek
Diharapkan sebagai fasilitator dalam melaksanakan kebidanan
menurut Helen varney secara Komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA