Atrial Fibrilasi
Atrial Fibrilasi
Atrial Fibrilasi
2. Riwayat Pengobatan :Pasein belum ada berobat untuk keluhan saat ini
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Riwayat hipertensi (-). Riwayat DM (-). Riwayat alergi obat sebelumnya (-).
4. Riwayat Keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa.
Riwayat hipertensi (-). Riwayat DM (-).
5. Riwayat Pekerjaan :
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :-
7. Lain-lain :-
Daftar Pustaka :
1. Kirchoff P et al. 2016. 2016 ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation
developed in collaboration with EACTS. European heart journal
doi:10.1093/eurheartj/ehw210.
2. Yuniadi Y et al. 2014. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. Indonesia: Centra
Communication.
3. Rosenthal L et al. 2018. Atrial Fibrillation. Diakses pada 08 Desember 2018.
http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview#
4. January CT et al. 2014. 2014 /AHA/ACC/HRS Guideline for the Managements of Patients
1
with Atrial Fibrillation. Journal of The American College of Cardiology Vol. 64, No. 21,
2014.
5. Wakai A, O’neill JO. 2003. Emergency management of atrial fibrillation. Postgrad Med J
2003;79:313-319
Hasil Pembelajaran :
1. Penegakan Diagnosis
2. Rencana Tatalaksana dan Pencegahan Stroke
3. Kegawatdaruratan
1. Subjektif :
Keadaan umum tampak sakit ringan dengan keluhan utama jantung berdebar-
debar jantung berdebar-debar sejak pasien berumur ±6 tahun, namun keluhan hilang
sendiri. ±1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien pingsan setelah berolahraga.
Riwayat pingsan sebelumnya (-).
2. Objektif :
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : CM
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 100x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/ menit
Suhu : 36,50 C
SpO2 : 98-99 %
BB : 158cm
TB : 56kg
IMT : 22.4 kg/m2
Status Internus
Kepala : Tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Kulit : Turgor kulit baik
Thoraks
2
o Paru
Inspeksi : Gerakan nafas simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler + / + , rhonki -/- basah halus, wheezing -/-
o Jantung
Inspeksi : Iktus jantung tidak terlihat
Palpasi : Iktus jantung teraba di linea midclavicula sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Irama reguler, Bising tidak ada, bunyi jantung tambahan
tidak ada
Abdomen
Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada bekas operasi, simetris, dilatasi
vena (-), darm countour (-), defans muscular (+)
Auskultasi : Bising usus (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat (+) Refilling capiller baik, edem (-)
3
Hasil Pemeriksaan Elektrolit (30 November 2018)
4
EKG (4 juli 2018)
5
Untuk memastikan diagnosis maka dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
EKG. Untuk laboratorium didapatkan dalam batas normal, dan pada EKG ditemukan
gambaran fibrilasi atrium . Maka tatalaksana yang sesuai adalah rawat inap, di rujuk
ke spesialis jantung.
4. Plan :
Diagnosis : Fibrilasi Atrium
a. Tatalaksana :
o Rawat inap
o IVFD Ringer Lactate 2liter/24jam
o Inj. Amiodarone 30mg/jam
o Inj. Ranitidine 2x1amp
o Pemeriksaan Lab => cek Elektrolit
FOLLOW UP
6
P/ : Pasien berobat jalan
Amiodarone 3x200mg
TINJAUAN PUSTAKA
7
1. Definisi Fibrilasi Atrium1,2
Fibrilasi Atrium (FA) merupakan takiaritmia supraventrikular dengan aktivasi atrium
yang tidak terkoordinasi dan kontraksi atrium yang tidak efektif. Karakteristik AF pada
elektrokardigram meliputi (1) Interval R-R ireguler, (2) Tidak ada gelombang P yang
berulang, (3) Aktivitas Atrium yang ireguler.
Gangguan Hemodinamik pada FA disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, kontrol laju
ventrikel yang tidak optimal, kontraksi atrial yang tidak terkoordinasi, variabilitas pada
pengisian ventrikel, dan aktivasi simpatis. Manifestasi gangguan ini berbeda pada setiap
penderita, dimulai dari tidak ada keluhan, rasa lelah, palpitasi, dispnea, hipotensi, sinkop,
atau gagal jantung. Keluhan yang paling sering dikeluhkan yaitu rasa lelah.
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi dan
durasinya, yaitu:
1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama
kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi atau berat
ringannya gejala yang muncul.
2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam, namun
dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau FA
yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan hingga ≥1
tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter (dan
pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila strategi
kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori FA persisten lama.
Klasifikasi FA seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama lain. Artinya, seorang
pasien mungkin dapat mengalami beberapa episode FA paroksismal, dan pada waktu lain
kadang-kadang FA persisten, atau sebaliknya. Untuk itu, secara praktis, pasien dapat
dimasukkan ke salah satu kategori di atas berdasarkan manifestasi klinis yang paling
dominan.
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh awitan dan
durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut ciri-ciri dari pasien:
8
1. FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular lainnya,
termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung seperti
pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
2. FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup
jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3. FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu FA,
seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis, hipertiroidisme,
emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya. Sedangkan FA sekunder
yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA valvular. Respon ventrikel terhadap
FA, sangat tergantung pada sifat elektrofisiologi dari NAV dan jaringan konduksi
lainnya, derajat tonus vagal serta simpatis, ada atau tiadanya jaras konduksi
tambahan, dan reaksi obat.
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka FA dapat dibedakan
menjadi:
9
Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk stroke,
gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan FA memiliki risiko stroke 5
kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa FA.
Stroke merupakan salah satu komplikasi FA yang paling dikhawatirkan, karena stroke
yang diakibatkan oleh FA mempunyai risiko kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu,
stroke akibat FA ini mengakibatkan kematian dua kali lipat dan biaya perawatan 1,5 kali
lipat. Fibrilasi atrium juga berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti
hipertensi, gagal jantung, penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus,
obesitas, penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati, penyakit
ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Gagal jantung simtomatik
dengan kelas fungsional New York Heart Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi
pada 30% pasien FA, namun sebaliknya FA dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan
gagal jantung tergantung dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri. Fibrilasi atrium
dapat menyebabkan gagal jantung melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium,
peningkatan beban volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang
kronis. Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan FA seperti yang terjadi pada pasien
penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek septal
atrium. Sekitar 20% populasi pasien FA mengalami penyakit jantung koroner meskipun
keterkaitan antara FA itu sendiri dengan perfusi koroner masih belum jelas.
10
• Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan frekuensi gejala.
• Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alkohol). Peran kafein
sebagai faktor pemicu masih kontradiktif.
• Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
• Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya.
• Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya.
• Riwayat prosedur ablasi FA secara pembedahan (operasi Maze) atau perkutan (dengan
kateter).
• Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk berkontribusi
terhadap I nisiasi FA (misalnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus,
hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan PPOK).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus selalu diawali dengan airways, breathing dan circulation (ABC)
dan tanda vital, karena pemeriksaan ini akan menentukan intervensi. Pemeriksaan fisik
juga dapat memberikan informasi penyebab dan sekuel dari FA.
Tanda Vital
Denyut nadi, tekanan darah, frekuensi pernafasan, dan saturasi oksigen penting untuk
mengevaluasi stabilitas hemodinamik dan adekuasi kontrol laju pada FA. Penderita
memiliki denyut nadi yang ireguler dan umumnya takikardi, dengan denyut jantung
berkisar antara 110-140, namun jarang melewati 160-170.
Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat ditemukan exopthalmos, thyromegaly, peningkatan
tekanan vena jugularis, atau sianosis. Bruit arteri karotis menunjukkan adanya penyakit
arteri perifer dan meningkatkan kejadian penyakit arteri koroner.
Paru
Pada pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda gagal jantung.
Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien FA. Palpasi dan
auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi penyakit jantung katup
atau kardiomiopati.
Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang dapat
mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik.
Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh atau edema.
Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan embolisasi perifer.
Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit arterial perifer atau curah
jantung yang menurun
Elektrokardiografi
11
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler.
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-kadang
dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, paling
sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi, umumnya
kecepatannya melebihi 450x/ menit.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan lab merupakan salah satu pemeriksaan yang dilakukan pada
pasien FA, yaitu untuk mencari gangguan/ penyakit yang tersembunyi.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
• Darah lengkap (anemia, infeksi)
• Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)
• Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai
pencetus FA)
• Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki asosiasi
dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut meningkat pada
pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan menurun kembali
dengan cepat setelah restorasi irama sinus.
• D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
• Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
• Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
• Uji toksikologi atau level etanol
12
Terapi Intravena untuk Kendali Laju Fase Akut
Pada layanan kesehatan primer yang jauh dari pusat rujukan sekunder/tersier, untuk
sementara kendali laju dapat dilakukan dengan pemberian obat antiaritmia oral.
Diharapkan laju jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian
antagonis kanal kalsium (diltiazem 30 mg atau verapamil 80 mg), penyekat beta
(propanolol 20-40 mg, bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50 mg). Dalam hal ini penting
diperhatikan untuk menyingkirkan adanya riwayat dan gejala gagal jantung. Kendali laju
yang efektif tetap harus dengan pemberian obat antiaritmia intravena di layanan
kesehatan sekunder/tersier.
Fibrilasi atrium dengan respon irama ventrikel yang lambat, biasanya membaik dengan
pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan pemberian atropin pasien
masih simtomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan pacu jantung
sementara.
Kendali irama fase akut
Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan hemodinamik
pada pasien FA. Pasien yang mengalami hemodinamik tidak stabil akibat FA harus
segera dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama sinus. Pasien yang
masih simtomatik dengan gangguan hemodinamik meskipun strategi kendali laju telah
optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis dengan obat antiaritmia intravena
atau kardioversi elektrik. Saat pemberian obat antiaritmia intravena pasien harus
dimonitor untuk kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat, disfungsi nodus sinoatrial
(henti sinus atau jeda sinus) atau blok atrioventrikular. Obat intravena untuk kardioversi
13
farmakologis yang tersedia di Indonesia adalah amiodaron. Kardioversi dengan
amiodaron terjadi beberapa jam kemudian setelah pemberian.
Terapi pil dalam saku (pildaku)
Pemberian propafenon oral (450-600 mg) dapat mengonversi irama FA menjadi irama
sinus. Efektivitas propafenon oral tersebut mencapai 45% dalam 3 jam. Strategi terapi ini
dapat dipilih pada pasien dengan simtom yang berat dan FA jarang (sekali dalam
sebulan).Oleh karena itu, propafenon (450-600 mg) dapat dibawa dalam saku untuk
dipergunakan sewaktu-waktu pasien memerlukan (pil dalam saku – pildaku).
14
Kendali laju jangka panjang
Penyekat beta direkomendasikan sebagai terapi pilihan pertama pada pasien FA dengan
gagal jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat infark miokard.
Apabila monoterapi tidak cukup, dapat ditambahkan digoksin untuk kendali laju.
Digoksin tidak dianjurkan untuk terapi awal pada pasien FA yang aktif, dan sebaiknya
hanya diberikan pada pasien gagal jantung sistolik yang tidak memiliki aktivitas tinggi.
Hal ini disebabkan karena digoksin hanya bekerja pada parasimpatis. Amiodaron untuk
kendali laju hanya diberikan apabila obat lain tidak optimal untuk pasien.
15
5. Pencegahan Stroke3,4
Terapi oral antikoagulan dapat mencegah kejadian stroke iskemi pada penderita FA dan
dapat memperpanjang kehidupan. Penderita dengan skor CHA2DS2-VASc 1 (pada laki-
laki) atau 2 (pada perempuan) direkomendasikan untuk memulai pengobatan oral
antikoagulan.
16
langsung thrombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya bekerja dengan cara
menghambat faktor Xa.
17
emergensi FA adalah pencegahan tromboemboli, stabilisasi status hemodinamik, dan
perbaikan gejala melalui tiga tahap pengobatan yaitu pemberian antikoagulan, kontrol
laju, dan kontrol irama.
18