Modul Ukuran Butir
Modul Ukuran Butir
Modul Ukuran Butir
D Hendra Amijaya
3.1 PENDAHULUAN
Material pembentuk endapan sedimen pada prinsipnya dapat dikelompokkan
menjadi 2 jenis, yaitu (1) material yang tertransport secara fisik dalam bentuk
padatan sebelum terendapkan (partikel) dan (2) material yang berasal dari
suatu larutan yang terpresipitasi in situ dan tidak tertransport secara fisik
sebagai objek padatan (kristal). Ukuran diameter partikel sedimen memiliki
kisaran yang sangat luas, mulai dari skala mikron sampai beberapa meter
(Friedman & Sanders, 1978).
LY
Maksud dari bab mengenai ukuran butir sedimen ini adalah untuk melakukan
analisis distribusi ukuran butir sedimen dengan metode-metode tertentu.
Tujuannya adalah untuk mengetahui proses-proses geologi yang berperanan
terhadap pembentukan dan deposisi sedimen tersebut berdasarkan variasi
N
ukuran butirnya.
Batas ukuran butir pada skala ini menggunakan nilai 1 mm sebagai standar
dan menggunakan faktor pembagi atau pengkali 2 (Tabel 3.1). Krumbein
(1934) dalam Blat et al., (1980) membuat suatu transformasi logaritmik dari
G
skala tersebut yang kemudian dikenal dengan skala phi (ø), dengan rumus
ø - log2 d
dengan d adalah diameter partikel dalam mm. Oleh McManus (1963, lihat
U
Tabel 3.1. Klasifikasi baku ukuran butir sedimen dan ukuran ayakan (mesh)
yang dipakai menurut US Standard (Pettijohn et al, 1972).
13
LY
N
O
M
G
U
Keterangan: silt dan clay dapat dikelompokkan menjadi satu dan disebut
sebagai mud.
14
Bahasa Inggris Bahasa Indonesia
gravel (gravel)
boulder bongkah
cobble berangkal
pebble kerakal
granule kerikil
LY
sand pasir
silt lanau
clay lempung
N
mud lumpur
O
3.3 CARA PENGUKURAN BESAR BUTIR SEDIMEN (GRANULOMETRI)
M
15
Peralatan yang diperlukan adalah kaliper atau penggaris. Umumnya terdapat
3 parameter yang diukur untuk pengukuran besar butir sedimen secara
langsung yaitu diameter terpanjang/ longest (dl), menengah/intermediate
(di) dan terpendek/shortest (ds).
Prosedur pengukuran:
(a) Butir sedimen diletakkan atau diproyeksikan pada suatu bidang datar
sedemikian rupa sehingga diperoleh luas proyeksi maksimum.
(b) Panjang butir maksimum yang tegak lurus bidang datar tersebut
adalah diameter terpendek (ds).
(c) Pada proyeksi butir sedimen tersebut dibuat sebuah segiempat
tangen (tangent rectangle).
(d) Sisi panjang segiempat tersebut adalah diameter terpanjang butir (dl)
LY
dan sisi pendeknya adalah diameter menengah (di).
N
O
M
G
Gambar 3.1. Pengukuran diameter terpanjang (dl) dan menengah (di) (Blatt et
al., 1980 dengan modifikasi).
U
16
Prosedur persiapan:
(a) Conto dikeringkan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari
atau pemanasan dalam oven dengan suhu 40ºC selama beberapa jam.
(b) Sesudah kering, jika terbentuk gumpalan-gumpalan partikel
(terutama pada sedimen berbutir halus) pisahkan dengan cara
meremas atau ditumbuk pelan dalam sebuah cawan.
(c) Untuk mendapatkan sampel yang cukup mewakili harus dilakukan
splitting. Terdapat berbagai macam cara splitting, antara lain:
• Coning & quartering, yaitu dengan menuangkan sampel pada
sebuah bidang datar sehingga membentuk kerucut. Dengan
menggunakan karton, kerucut tersebut dibagi empat kuadran.
Dua kuadran yang berhadapan disingkirkan sedangkan dua
LY
kuadran lainnya dicampur kembali. Proses ini diulang-ulang
sampai diperoleh berat sampel yang diinginkan.
• Quartering bisa juga dilakukan dengan menuangkan sampel
melalui suatu corong di atas karton yang disilangkan saling
tegak lurus sehingga sampel akan terbagi dalam 4 kuadran.
N
Proses selanjutnya sama seperti di atas.
• Mechanical splitting, yaitu dengan menuangkan sample pada
O
alat splitter. Alat akan membagi sampel menjadi 2 bagian.
Separuh bagian dari sampel kemudian disingkirkan, separuh
yang lain dituangkan kembali ke dalam alat. Proses ini diulang-
ulang sampai diperoleh berat sampel yang diinginkan.
M
(d) Secara umum untuk analisis sedimen yang berukuran gravel halus
diperlukan sampel seberat 500 gr, jika sedimen tersebut berukuran
pasir kasar diperlukan sampel seberat 200 gr, untuk pasir sedang
G
Gambar 3.2. Proses splitting secara manual dan mekanis (Carver, 1971)
17
Prosedur pengayakan:
(a) Saringan ayakan harus dibersihkan dengan menggunakan kuas
terlebih dahulu.
(b) Pilih ukuran saringan yang akan dipakai sesuai kebutuhan. Saringan
disusun dengan nomor mesh yang terbesar di bagian bawah semakin
ke atas nomor mesh semakin kecil. Pada bagian paling bawah
dipasang panci alas (bottom pan).
(c) Conto sedimen dimasukkan ke dalam ayakan dari saringan yang paling
atas. Setelah ditutup, kemudian mesin dijalankan selama 5-15 menit
tergantung kebutuhan.
(d) Butir sedimen akan terpisah menjadi fraksi-fraksi sesuai ukurannya.
LY
Fraksi butiran diambil dari saringan yang paling atas sampai yang
tertampung pada panci alas dengan menuangkannya pada sebuah
kertas. Dapat dipergunakan kuas untuk mengumpulkan butir-butir
yang masih tersangkut pada saringan.
(e) Tiap-tiap fraksi kemudian ditimbang dan dimasukkan dalam kantung
N
atau tabung sampel. Sebaiknya kehilangan berat tidak melebihi 5%
berat awal.
O
3.3.3. Metode pipet
Metode ini dipergunakan untuk analisis ukuran butir lanau dan lempung
(diameter < 4ø atau 62 microns) dengan memanfaatkan perhitungan
M
tabung ukur silinder 1000 ml, kurang lebih 10 buah cawan 50 ml, 1 buah
pengaduk silinder dan 1 buah pipet 20 ml. Selain itu diperlukan jam (timer),
U
Prosedur pengukuran:
(a) Sampel dimasukkan tabung ukur silinder bersama air sehingga
volumenya mencapai tepat 1000 ml kemudian diaduk pelan sehingga
tercampur dengan baik. Diamkan selama 1 hari, bila tidak terjadi
flokulasi (penggumpalan) maka pengukuran bisa dilanjutkan. Bila
terjadi penggumpalan maka harus dilakukan proses dispersi, misalnya
dengan menambahkan larutan dispersan (peptiser) seperti NH4OH,
N2CO3, sodium oksalat atau sodium hexametafosfat.
(b) Larutan yang sudah siap dianalisa kemudian diaduk lagi sehingga
tercampur dengan baik. Pada saat pengaduk diambil, timer mulai
dijalankan.
18
(c) Pada selang waktu tertentu, larutan diambil dari kedalaman tertentu
di dalam silinder sebanyak 20 ml dengan menggunakan pipet.
Perhitungan waktu dan kedalaman pengambilan larutan mengikuti
rumus berikut (lihat Folk, 1968; Lewis & McConchie, 1994):
D
T = ---------------
1500 . A. d2
LY
tertentu adalah sebagai berikut:
Temperatur (ºC) A
16 3,23
20
24
N
3,57
3,93
O
28 4,30
32 4,68
Kedalaman pengambilan
dari ujung atas ø d (mm) Selang waktu
U
19
(d) Larutan yang telah diambil dengan pipet untuk setiap selang waktu
kemudian dituangkan ke dalam cawan yang telah ditimbang beratnya.
Pipet dibersihkan dengan air distilasi kemudian airnya juga dituangkan
ke dalam cawan.
(e) Cawan ditutup dengan cover gelas, dan dikeringkan dengan oven pada
suhu 100-130ºC selama 24 jam. Cawan yang berisi endapan sedimen
kemudian dibiarkan mendingin pada suhu kamar setelah itu
ditimbang. Berat fraksi sedimen adalah beda berat cawan setelah
didinginkan dan berat cawan awal.
(f) Karena berat fraksi sedimen tersebut hanya mewakili 20 ml larutan
dari total 1000 ml, maka berat sesungguhnya adalah berat terukur
dikalikan 50. Perlu diperhatikan bahwa berat fraksi 4ø adalah berat
LY
total mud. Bila ditambahkan pada berat fraksi pasir (yang dipisahkan
sebelumnya) maka total beratnya adalah berat sampel keseluruhan
(berat fraksi 4ø tidak perlu disertakan dalam perhitungan prosentanse
kumulatif).
(g) Bila larutan tersebut mengandung dispersan maka berat dispersan
N
harus diperhitungkan (dikurangkan dari berat endapan). Berat
dispersan dapat dihitung dari berat molekulnya dikalikan molaritas
O
dalam air 1000 ml dan kemudian dibagi 50.
- Median
Median adalah ukuran butir partikel tepat pada tengah-tengah populasi,
yang berarti separuh dari berat keseluruhan partikel adalah lebih halus
sedangkan separuh lainnya lebih kasar dari ukuran butir tersebut. Median
dapat dilihat secara langsung dari kurva kumulatif, yaitu nilai phi pada titik
dimana kurva kumulatif memotong nilai 50%.
LY
- Mode
Mode adalah ukuran butir yang frekuensi kemunculannya paling sering
(paling banyak). Nilai mode adalah nilai phi pada titik tertinggi kurva
frekuensi.
50
(a)
N Kelas Berat Frekuensi Frekuensi
O
(ukuran butir) fraksi (% berat) kumulatif
40
4–5 40 8 100
frekuensi (%)
3–4
30
220 44 92
20
2–3 150 32 48
M
10 1–2 60 12 16
0
0–1 20 4 4
-1 1 0 2 1 3 2 4 3 5 4 6 5 7 6
100
(b) ukuran butir (phi)
(c) 100
(d)
G
50 90
80
40
frekuensi kumulatif (%)
frekuensi kumulatif (%)
70
frekuensi (%)
30
60
20 50 10
40
10
30
0
-1 0 1 2 3 4 5 6
20
0 1
-1 0 1 2 3 4 5 6 -1 0 1 2 3 4 5 6
ukuran butir (phi) ukuran butir (phi)
16 50 84
Graphic mean (Mz) =
3
Keterangan: ø16, ø50 dan ø84 adalah ukuran butir (dalam phi) pada nilai
16, 50 dan 80 persen pada kurva frekuensi kumulatif (lihat contoh Gambar
3.4).
- Sortasi
Sortasi adalah nilai standar deviasi distribusi ukuran butir (sebaran nilai di
LY
sekitar mean). Parameter ini menunjukkan tingkat keseragaman butir.
84 16 95 5
Inclusive graphic standard deviation (σ1) = +z
4 6,6
Klasifikasi σ1 :
N
< 0,35ø very well sorted
O
0,35 - 0,50ø well sorted
- Skewness
Skewness adalah nilai kesimetrian kurva frekuensi. Nilai skewness positif
menunjukkan kurva frekuensi cenderung memuncak di sebelah kiri mean
yang berarti bahwa sedimen tersebut didominasi oleh partikel dengan
ukuran butir yang lebih kasar, begitu pula sebaliknya.
22
84 16 2 50 95 5 2 50
Inclusive graphic skewness (SK1) = +
2( 84 16) 2( 95 5)
Klasifikasi SK1 :
LY
-0,3 - -1,0 very coarse-skewed
- Kurtosis N
Kurtosis adalah nilai yang menunjukkan kepuncakan kurva. Sebuah kurva
disebut kurva normal (mesokurtic) jika sebaran distribusi diantara 5% dan
O
95% adalah 2,44 kali sebaran distribusi diantara 25% dan 95% (lihat
Gambar 3.4.)
95 5
Graphic kurtosis (KG) =
2,44( 75 25)
M
G
Klasifikasi KG :
23
(a) (b)
LY
N
O
(c)
M
G
U
Gambar 3.4. (a) Contoh penentuan nilai ø16, ø50 dan ø84 pada kurva
frekuensi kumulatif (Carver, 1971). (b) Kurva distribusi frekuensi
yang memiliki nilai skewness berbeda serta posisi mode, median
dan mean-nya. (c) Kurva distribusi frekuensi yang memiliki nilai
kurtosis berbeda (Friedman & Sanders, 1978)
log n =
( fm n
)
N
LY
Perhitungan parameter statistiknya dalah sebagai berikut:
xø=
fm N
N
Karena persamaan tersebut dalam bentuk log mean, maka hasilnya
O
dalam ø. Nilai dalam milimeter diperoleh dari nilai antilog2 –nya.
σø =
f (m X ) 2
100
G
Skø =
f (m X ) 3
100 3
U
Kø =
f (m X ) 4
100 4
25
Misalnya diketahui data distribusi frekuensi seperti pada Tabel 3.4, maka
x ø = 237,9 = 2,37
100
63,65
σø = = 0,79
100
5,53 112,82
Skø = 3
= -0,11 Kø = = 2,89
100.0,79 100.0,79 4
Tabel 3.4. Contoh data distribusi ukuran butir (kelas interval 1/2ø)
Kelas Nilai Berat fm Deviasi (m - x) 2f (m - x) 2 (m - x) 3f (m - x) 3 (m - x) 4 f
interval tengah (f) m-x (m - x) 4
LY
ø (m), ø ø
0 – 0,5 0,25 0,9 0,2 -2,13 4,54 4,09 -9,67 -8,70 20,60 18,54
0,5 – 1,0 0,75 2,9 2,2 -1,63 2,66 7,71 -4,34 -12,59 7,07 20,50
1,0 – 1,5 1,25 12,2 15,3 -1,13 1,28 15,62 -1,45 -17,69 1,63 19,89
1,5 – 2,0 1,75 13,7 24,0 -0,63 0,40 5,48 -0,25 -3,43 0,16 2,19
2,0 – 2,5
2,5 – 3,0
3,0 – 3,5
2,25
2,75
3,25
23,7
26,8
12,2
53,3
73,7
39,7
-0,13
0,37
0,87
N
0,02
0,13
0,76
0,47
3,48
9,27
0,00
0,05
0,66
0,00
1,34
8,05
0,00
0,02
0,57
0,00
0,54
6,95
O
3,5 – 4,0 3,75 5,6 21,0 1,37 1,88 10,53 2,57 14,39 3,52 19,71
> 4,0 4,25 2,0 8,5 1,87 3,50 7,00 6,55 13,10 12,25 24,50
dimanfaatkan untuk:
- mengetahui karakteristik sedimen dengan tinjauan statistik (terutama
U
26
Berdasarkan data-data distribusi ukuran butir yang dimiliki, para
praktikan diharuskan mampu menganalisis sebanyak-banyaknya, faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap proses deposisi sedimen di
lokasi/lingkungan tempat sampel tersebut diambil.
LY
N
O
M
G
Gambar 3.5. Kurva frekuensi kumulatif suatu pasir pantai yang menunjukkan 4 segmen garis
U
27
(a) (b)
(c)
LY
N
Gambar 3.6. Contoh klafisikasi sedimen menurut (a) Shepard (1954); (b) Folk (1954); (c)
O
Gorsline (1960) (lihat Carver, 1971)
M
G
U
28
3.6 DAFTAR PUSTAKA
Blatt, H., Middleton, G., & Murray, R., 1980. Origin of Sedimentary Rocks,
Prentice-Hal, Inc., New Jersey, 782 p.
Carver, R.E., 1971. Procedures in Sedimentary Petrology, Wiley Interscience,
Toronto, 653 p.
Friedman, G.M., & Sanders, J.E., 1978. Principles of Sedimentology, John
Wiley & Sons, Toronto, 791 p.
Folk, R.L., 1968. Petrology of Sedimentary Rocks, Hemphill’s, Texas, 170 p.
Leeder, M.R., 1982. Sedimentology: Process and Product, George Allen &
LY
Unwin, London, 344 p.
Lewis, D.W., McConchie, D.,1994. Analytical Sedimentology, Chapman &
Hall, New York, 197 p.
Pettijohn,, F.J., Potter, P.E., & Siever, R., 1972. Sand and Sandstone,
N
Springer, New York, 580p.
O
M
G
U
29
U
G
M
O
N
LY
30