Ensiklik LAODATO SI - Indonesia PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 195

Ensiklik

LAUDATO SI‘
PAUS FRANSISKUS
~ TENTANG PERAWATAN RUMAH KITA BERSAMA ~

Penerjemah: P. Martin Harun OFM


OB 40015004

ENSIKLIK LADATO SI’


PAUS FRANSISKUS
~ Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama ~
Penerjemah:
Martin Harun OFM

Diterjemahkan dari naskah:


LETTRE ENCYCLIQUE LAUDATO SI’
DU SAINT-PÈRE FRANÇOIS
SUR LA SAUVEGARDE DE LA MAISON COMMUNE

© Libreria Editrice Vaticana

PENERBIT OBOR
Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)
Anggota SEKSAMA (Sekretarian Bersama Penerbit Katolik Indonesia)

Jl. Gunung Sahari No. 91 – Jakarta 10610


• Telp.: (021) 422 2396 (hunting) • Faks.: (021) 421 9054
• e-mail: penerbit @obormedia.com
• Website: www.obormedia.com

GRATIS
BOLEH DIUNDUH. TIDAK UNTUK DIPERDAGANGKAN
CONTENTS

CATATAN PENERJEMAH............................................ vi
PENGANTAR.................................................................. 1
Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak kita hiraukan........... 2
Dipersatukan oleh keprihatinan yang sama .............................. 5
Santo Fransiskus dari Assisi........................................................ 7
Seruan Saya .............................................................................. 10

~ BAB SATU ~
APA YANG TERJADI DENGAN RUMAH KITA ...... 15
I. POLUSI DAN PERUBAHAN IKLIM ...................................... 16
Polusi, limbah, dan budaya buang sampah ............................. 16
Iklim sebagai kesejahteraan umum .......................................... 18
II. MASALAH AIR ......................................................................... 22
III. HILANGNYA KEANEKARAGAMAN HAYATI ................... 24
IV. PENURUNAN KUALITAS HIDUP MANUSIA DAN
KEMEROSOTAN SOSIAL ........................................................ 31
V. KETIMPANGAN GLOBAL....................................................... 33
VI. TANGGAPAN-TANGGAPAN YANG LEMAH .................... 39
VII. KERAGAMAN PENDAPAT .................................................... 43

~ BAB DUA ~
KABAR BAIK PENCIPTAAN ..................................... 46
I. CAHAYA YANG DITAWARKAN IMAN................................ 46
II. HIKMAT CERITA-CERITA ALKITAB .................................. 47
III. MISTERI ALAM SEMESTA ..................................................... 57
IV. PESAN SETIAP MAKHLUK DALAM HARMONI
SELURUH CIPTAAN ................................................................ 63
V. PERSEKUTUAN UNIVERSAL ................................................ 67
VI. TUJUAN UMUM HARTA BENDA ......................................... 70
VII. TATAPAN YESUS ...................................................................... 73

~ BAB TIGA ~
AKAR MANUSIAWI KRISIS EKOLOGIS .................. 78
I. TEKNOLOGI: KREATIVITAS DAN KUASA ........................ 78
II. GLOBALISASI PARADIGMA TEKNOKRATIS.................... 81
III. KRISIS DAN EFEK ANTROPOSENTRISME MODERN .... 89
Relativisme praktis .................................................................... 93
Kebutuhan untuk melestarikan pekerjaan ............................... 95
Teknologi biologis yang baru .................................................... 99

~ BAB EMPAT ~
EKOLOGI YANG INTEGRAL ................................... 106
I. EKOLOGI LINGKUNGAN, EKONOMI DAN SOSIAL ..... 106
II. EKOLOGI BUDAYA ................................................................ 110
III. EKOLOGI HIDUP SEHARI-HARI ....................................... 113
IV. PRINSIP KESEJAHTERAAN UMUM................................... 118
V. KEADILAN ANTARGENERASI ........................................... 120

~ BAB LIMA ~
BEBERAPA PEDOMAN UNTUK ORIENTASI
DAN AKSI ................................................................... 124
I. DIALOG TENTANG LINGKUNGAN DALAM
POLITIK INTERNASIONAL ................................................. 124
II. DIALOG UNTUK KEBIJAKAN BARU NASIONAL
DAN LOKAL ............................................................................ 132

iv
III. DIALOG DAN TRANSPARANSI DALAM
PENGAMBILAN KEPUTUSAN ........................................... 136
IV. POLITIK DAN EKONOMI DALAM DIALOG
UNTUK PEMENUHAN MANUSIA ..................................... 140
V. AGAMA-AGAMA DALAM DIALOG DENGAN ILMU ... 148

~ BAB ENAM ~
PENDIDIKAN DAN SPIRITUALITAS
EKOLOGIS .................................................................. 152
I. MENUJU GAYA HIDUP YANG BARU ................................ 152
II. PENDIDIKAN UNTUK PERJANJIAN ANTARA
MANUSIA DAN LINGKUNGAN ......................................... 156
III. PERTOBATAN EKOLOGIS ................................................... 161
IV. KEGEMBIRAAN DAN DAMAI ............................................ 165
V. CINTA DALAM BIDANG SIPIL DAN POLITIK ............... 169
VI. TANDA–TANDA SAKRAMENTAL DAN ISTIRAHAT
YANG DIRAYAKAN ............................................................... 172
VII. ALLAH TRITUNGGAL DAN HUBUNGAN
ANTARA MAKHLUK ............................................................ 177
VIII. RATU SELURUH DUNIA CIPTAAN.................................. 179
IX. MELAMPAUI MATAHARI..................................................... 180
Doa untuk bumi kita ............................................................... 181
Doa Umat Kristen bersama semua makhluk ......................... 183

v
CATATAN PENERJEMAH
Pada tanggal 18 Juni 2015 Ensiklik Laudato Si’ diter­
bitkan dalam delapan bahasa serentak (Italia, Jerman,
Inggris, Spanyol, Prancis, Polandia, Portu, dan Arab).
Setelah mengunduh kelima versi yang pertama dan mulai
membaca, timbullah keinginan untuk segera mener­ je­
mahkannya. Terjalinlah kerja sama dengan OBOR, yang
akan menerbitkannya secara digital hingga dapat diunduh
dengan mudah oleh banyak orang.
Penerjemahan Laudato Si’ ini saya lakukan sebagai
ucapan syukur kepada Sang Pencipta langit dan bumi, dan
sebagai ungkapan rasa hormat pada Paus Fransiskus yang
mengundang semua manusia kepada suatu dialog tentang
masa depan rumah kita bersama. Dalam pekerjaan ini
saya digerakkan oleh semangat Santo Fransiskus Assisi
yang memberi inspirasi bagi hidup saya sebagai seorang
fransiskan. Terjemahan ini saya kerjakan pula sebagai wu­
jud komitmen kepada Madre Terra, Ibu Pertiwi, Ibu Bumi.
Ketika mulai menerjemahkan Laudato Si’ kita segera
dihadapkan dengan suatu keputusan yang harus diambil.
Versi mana yang dijadikan dasar utama? Pilihan saya jatuh
ke versi Prancis yang dari segi bentuk bahasa umumnya sa­
ngat dekat dengan versi Italia, Spanyol, dan Jerman. Versi
Inggris, kalau kita perhatikan, menggunakan bentuk bahasa
yang ada kalanya cukup berbeda: lebih menyapa pembaca
(‘kita’), membongkar kalimat panjang, menggunakan ung­
kapan alternatif yang tampak lebih lazim di dunia Anglo-
Saxon, memperlunak nada kritis, dan sering menggunakan
idiom Inggris yang tak mudah diterjemahkan.
Versi Inggris itu memang enak dibaca, tetapi karena
agak bebas dan idiomatis, dan melewati detail dan nuansa
yang ditemukan sejajar dalam beberapa versi lain, kurang
cocok untuk dijadikan teks dasar utama untuk terjemahan.
Sementara memilih versi Prancis sebagai dasar utama
untuk terjemahan Indonesia ini, versi Jerman dan Italia
terus digunakan sebagai pembanding. Akan tetapi, bila
suatu kalimat agak kompleks atau sulit diungkapkan dalam
bahasa Indonesia, selalu diperhatikan pula jalan keluar yang
diusulkan oleh versi Inggris.
Edisi Bahasa Indonesia ini mungkin masih jauh dari
sempurna, namun diharapkan dapat membantu banyak
pihak untuk lebih memahami dan segera menanggapi
ajakan Paus Fransiskus yang prihatin atas situasi bumi dan
dunia ciptaan Allah saat ini. Terima kasih kepada pembaca
yang mau memberi usulan perbaikan terjemahan. Dan nanti
masih akan ada edisi hard copy yang dengan teliti sedang
dipersiapkan dan akan diterbitkan oleh Dokpen KWI.
Beberapa catatan khusus terkait dengan edisi Bahasa
Indonesia ini:
1. Kata yang bermakna jamak (misalnya, ‘cities’
dalam bahasa Inggris) yang harfiah diterjemahkan
dengan pengulangan kata (‘kota-kota’), tidak akan
diterjemahkan dengan memakai pengulangan itu
kalau dari kalimat sendiri sudah cukup jelas bahwa
maksudnya jamak atau umum. Juga dilakukan
penghematan kata ‘sebuah’, ‘sesuatu’, ‘itu’, dan lain-lain
sebagai terjemahan kata sandang dalam bahasa asing.
2. Kutipan Alkitab diambil dari Alkitab TB LAI/LBI
(dengan memerhatikan juga revisi terjemahan yang

vii
sedang berlangsung, khususnya untuk Deute­ro­kano­
nika, yang belum terbit). Nama kitab ditulis lengkap
demi pembaca yang tidak terbiasa dengan singkatan.
3. Kutipan dari Dokumen Gereja yang sudah ada terje­
mahannya dalam bahasa Indonesia, misalnya dari
Evangelii Gaudium, Centesimus Annus, Lumen Fidei,
diambil dari Seri Dokumen Gereja Dokpen KWI,
sejauh tersedia di tempat terpencil saya. Untuk kutipan
lain hendaknya ditunggu ketelitian hardcopy Dokpen
KWI nanti.
4. Terjemahan semua kutipan dari tulisan Fransiskus
dari Assisi diambil dari terbitan resmi dalam bahasa
Indonesia. Lihat catatan kaki.
5. Dalam menerjemahkan beberapa kutipan dari pe­
ngarang lain diusahakan untuk bertolak dari versi
aslinya; misalnya kutipan dari Guardini diterjemahkan
dari Laudato Si’ versi Jerman, kutipan dari Yohanes
dari Salib dari versi Spanyol.

Semoga terjemahan Laudato Si’ dalam bahasa Indonesia


ini berguna bagi banyak orang untuk semakin memiliki
kepedulian terhadap bumi dan segenap alam ciptaan serta
umat manusia.

Penerjemah
Martin Harun, OFM

viii
PENGANTAR

1. “LAUDATO SI ‘, mi’ Signore”, —“Terpujilah Engkau,


Tuhanku”. Dalam nyanyian yang indah ini, Santo Fransiskus
dari Assisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama
bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan
seperti ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan
terbuka. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari
kami, Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami,
dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga
warna-warni dan rerumputan”.1
2. Saudari ini sekarang menjerit karena segala keru­
sakan yang telah kita timpakan padanya, karena tanpa
tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan
keka­yaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita
bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya
yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada
dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam
gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara
dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi,
terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling
ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita. Ia “mengeluh dalam
rasa sakit bersalin” (Roma 8:22). Kita lupa bahwa kita
sendiri dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2:7); tubuh
kita tersusun dari partikel-partikel bumi, kita menghirup
udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya.

1 Nyanyian Saudara Matahari atau Gita Sang Surya, dalam Karya-karya


Fransiskus dari Assisi, Yogyakarta: Kanisius, 2000, 324-326.
Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak kita hiraukan
3. Lebih dari lima puluh tahun yang lalu, ketika dunia
terhuyung di ambang krisis nuklir, Paus St. Yohanes XXIII
menulis sebuah ensiklik yang tidak hanya menolak perang
tetapi menyampaikan suatu proposal perdamaian. Dia
mengalamatkan pesannya Pacem in Terris kepada seluruh
“dunia Katolik” dan juga “kepada semua manusia yang
berkehendak baik”. Kini, dihadapkan dengan kerusakan
lingkungan global, saya ingin menyapa setiap orang yang
hidup di planet ini. Dalam Seruan Apostolik Evangelii
Gaudium, saya menulis kepada semua anggota Gereja
dengan tujuan mendorong pembaruan misioner yang
berkelanjutan. Dalam Ensiklik ini, saya ingin berdialog
dengan semua orang tentang rumah kita bersama.

4. Pada tahun 1971, delapan tahun setelah Pacem in


Terris, Paus Paulus VI berbicara tentang masalah ekologi
sebagai “akibat tragis” dari aktivitas manusia yang tak
terkendali: “Karena eksploitasi alam yang sembarangan,
manusia mengambil risiko merusak alam dan pada gi­lir­
annya menjadi korban degradasi ini”.2 Ia telah berbicara
juga kepada Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO)
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kemungkin­an “ben­
cana ekologis sebagai akibat peradaban industri”, dan me­
ne­kankan “kebutuhan mendesak akan perubah­ an radi­
kal dalam perilaku umat manusia”, karena “kema­ juan
ilmiah yang sangat luar biasa, kemampuan teknis yang
sangat menakjubkan, pertumbuhan ekonomi yang sangat

2 Surat Apostolik Octogesima Adveniens (HUT ke-80 Rerum Novarum; 14 Mei


1971), 21: AAS 63 (1971), 416-417.

2
mencengangkan, bila tidak disertai dengan per­kem­bang­
an sosial dan moral yang otentik, akhirnya akan berbalik
melawan manusia”.3
5. Paus St. Yohanes Paulus II menjadi semakin khawatir
akan masalah ini. Dalam ensikliknya yang pertama ia
memberi peringatan bahwa manusia tampaknya sering
“tidak melihat makna lain dari lingkungan alam selain
apa yang berguna untuk segera dipakai dan dikonsumsi”.4
Selanjutnya, ia menyerukan pertobatan ekologis global.5
Pada saat yang sama, ia mencatat bahwa hampir tak
ada usaha untuk “mengamankan kondisi-kondisi moril
lingkungan manusiawi”.6 Penghancuran lingkungan ma­
nusia merupakan perkara sangat berat, bukan hanya karena
Allah telah mempercayakan dunia kepada manusia, tetapi
karena hidup manusia itu sendiri merupakan hadiah yang
harus dilindungi dari berbagai bentuk degradasi. Setiap
upaya untuk melindungi dan memperbaiki dunia kita
memerlukan perubahan besar dalam “gaya hidup, dalam pola
produksi dan konsumsi, begitu juga dalam sistem maupun
struktur pemerintahan yang sudah baku, yang sekarang
ini menguasai masyarakat”7 Pengembangan manusia yang
otentik memiliki sifat moral. Ini mengandaikan peng­
hor­matan penuh terhadap pribadi manusia, tetapi juga

3 Pidato kepada FAO pada HUT ke-25 Lembaga itu (16 November 1970), 4:
AAS 62 (1970), 833.
4 Ensiklik Redemptor Hominis (Penebus Manusia; 4 Maret 1979), 15: AAS 71
(1979), 287.
5 Bdk. Katekese (17 Januari 2001), 4: Insegnamenti 41/1 (2001), 179.
6 Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), 38: AAS 83 (1991), 841; (Ulang
Tahun Keseratus), Jakarta: DokPen KWI, 1991, hlm. 52.
7 Ibid , 58:. AAS 83 (1991), hlm. 863; KWI, hlm. 75.

3
harus peduli terhadap dunia di sekitar kita dan “mem­per­
timbangkan sifat setiap makhluk dan hubungan satu sama
lain dalam suatu sistem yang tertata”.8 Dengan demikian,
kemampuan manusia untuk mengubah realitas harus
dilakukan berdasarkan semua yang telah diberikan Allah
sejak semula.9

6. Demikian juga pendahulu saya Benediktus XVI


mengajak “untuk menghapus sebab-sebab struktural dari
salah-langkah ekonomi dunia dan mengoreksi model per­
tumbuhan yang ternyata tidak mampu menjamin peng­
hormatan terhadap lingkungan”.10 Ia mengingatkan kita
bahwa dunia tidak dapat dianalisis dengan mengisolasi
hanya satu aspek, karena “kitab alam adalah satu dan tak
ter­pecahkan”, dan mencakup lingkungan, hidup, seksualitas,
keluarga, hubungan sosial, dan sebagainya. Oleh karena
itu, “kerusakan alam sangat terkait dengan budaya yang
mem­­bentuk koeksistensi manusia”.11 Paus Benediktus telah
meminta kita untuk mengakui bahwa lingkungan alam
telah rusak parah oleh perilaku kita yang tidak bertanggung
jawab. Lingkungan sosial juga mengalami kerusakan.
Keduanya pada dasarnya disebabkan oleh kejahatan yang
sama: gagasan bahwa tidak ada kebenaran yang tak terban­
tahkan untuk menuntun hidup kita, dan bahwa karena

8 Yohanes Paulus II, Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan Sosial; 30


Desember 1987), 34: AAS 80 (1988), 559.
9 Bdk. Id., Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), 37: AAS 83 (1991), 840;
(Ulang Tahun Keseratus), Jakarta: DokPen KWI, 1991, hlm. 52.
10 Pidato kepada Korps Diplomatik yang Ditempatkan pada Takhta Suci (8
Januari 2007): AAS 99 (2007), 73.
11 Ensiklik Caritas in Veritate (Kasih dalam Kebenaran; 29 Juni 2009), 51: AAS
101 (2009), 687.

4
itu kebebasan manusia tak terbatas. Kita telah melupakan
bahwa “manusia bukan hanya kebebasan yang ia ciptakan
untuk dirinya sendiri. Manusia tidak menciptakan dirinya
sendiri. Dia adalah roh dan kehendak, tetapi juga alam”.12
Dengan kepedulian seorang bapa, Benediktus mendesak
kita untuk menyadari bahwa dunia ciptaan dirugikan “di
mana kita sendiri memiliki kata terakhir, di mana semua­nya
hanya milik kita yang kita gunakan untuk diri kita sendiri
saja. Penyalahgunaan ciptaan dimulai ketika kita tidak lagi
mengakui yang lebih tinggi daripada diri kita sendiri, ketika
kita tidak melihat apa pun kecuali diri kita sendiri”.13

Dipersatukan oleh keprihatinan yang sama


7. Pernyataan-pernyataan beberapa Paus ini mengge­
makan refleksi banyak ilmuwan, filsuf, teolog, dan masya­
rakat sipil, yang semuanya telah memperkaya pemi­kiran
Gereja tentang soal ini. Di luar Gereja Katolik, Gereja dan
komunitas Kristen lain—dan juga agama-agama lain—telah
menyatakan keprihatinan mendalam dan menawar­kan re­
fleksi berharga tentang isu-isu yang menjadi keprihatinan
kita semua. Untuk memberi contoh yang mencolok, saya
ingin menyebutkan sumbangan Patriarkh Ekumenis
Bartolomeus yang tercinta, yang dengannya kita berbagi
harapan akan persekutuan gereja sepenuhnya.
8. Patriarkh Bartolomeus telah berbicara secara khusus
tentang perlunya kita masing-masing bertobat dari cara

12 Pidato kepada Bundestag, Berlin (22 September 2011): AAS 103 (2011), 664.
13 Pidato untuk Klerus dari Keuskupan Bolzano-Bressanone (6 Agustus 2008):
AAS 100 (2008), 634.

5
kita memperlakukan planet ini, “Sekecil apa pun keru­
sakan ekologis yang kita timbulkan”, kita dipanggil untuk
mengakui “kontribusi kita, kecil atau besar, terhadap luka-
luka dan kerusakan alam ciptaan”.14 Ia sudah berulang kali
menyatakan hal ini dengan tegas dan meyakinkan, sambil
menantang kita untuk mengakui dosa-dosa kita terhadap
dunia ciptaan: “Bila manusia menghancurkan keane­ ka­
ragaman hayati ciptaan Tuhan; bila manusia mengu­rangi
keutuhan bumi ketika menyebabkan perubahan iklim,
menggunduli bumi dari hutan alamnya atau menghancur­
kan lahan-lahan basahnya; bila manusia mencemari air,
tanah, udara, dan lingkungan hidupnya—semua ini adalah
dosa”.15 Sebab “kejahatan terhadap alam adalah dosa ter­
hadap diri kita sendiri dan dosa terhadap Allah”.16
9. Pada saat yang sama, Bartolomeus tertarik pada akar
etis dan spiritual masalah lingkungan, yang mengharus­­
kan kita mencari solusi tidak hanya dalam teknologi tetapi
dalam perubahan manusia; kalau tidak, kita akan mena­
ngani gejala-gejalanya saja. Ia minta kita untuk mengganti
kon­sumsi dengan pengorbanan, keserakahan dengan ke­
murahan hati, pemborosan dengan semangat berbagi,
sebuah asketisme yang “berarti belajar untuk memberi, dan
tidak hanya berpantang. Inilah cara mencintai, bergerak
secara bertahap dari apa yang saya inginkan menuju apa

14 Pesan untuk Hari Doa untuk Perlindungan Ciptaan (1 September 2012).


15 Pidato di Santa Barbara, California (8 November 1997); lihat John
Chryssavgis, On Earth as in Heaven: Ecological Vision and Initiatives of
Ecumenical Patriarch Bartholomew (di Bumi seperti di Surga: Visi dan Inisiatif
Ekologis dari Patriarkh Ekumenis Bartolomeus), Bronx, New York, 2012.
16 Ibid.

6
yang dibutuhkan dunia Allah. Inilah pembebasan dari
rasa takut, keserakahan dan ketagihan”.17 Sebagai orang
Kristen, kita juga dipanggil “untuk menerima dunia sebagai
sakramen persekutuan, sebagai cara berbagi dengan Allah
dan sesama kita pada skala global. Dengan rendah hati kita
yakin bahwa yang ilahi dan yang manusiawi bertemu dalam
detil terkecil tenunan halus ciptaan Allah, dalam setitik
debu di planet kita”.18

Santo Fransiskus dari Assisi


10. Saya tidak ingin menulis Ensiklik ini tanpa kembali ke
sebuah model yang menarik dan mampu memotivasi kita.
Namanya saya ambil sebagai panduan dan inspirasi ketika
saya terpilih sebagai Uskup Roma. Saya percaya bahwa
Santo Fransiskus adalah contoh unggul dalam melindungi
yang rentan dan dalam suatu ekologi yang integral, yang
dihayati dengan gembira dan otentik. Dia adalah santo
pelindung semua yang belajar dan bekerja di bidang ekologi,
dan ia juga sangat dicintai oleh orang non-Kristiani. Dia
sangat prihatin terhadap ciptaan Allah dan kaum miskin
serta telantar. Dia mencintai, dan sangat dicintai karena
kegembiraannya, dedikasinya yang tanpa pamrih, dan
keterbukaan hatinya. Dia adalah mistikus dan peziarah
yang hidup dalam kesederhanaan dan dalam harmoni
yang indah dengan Allah, dengan orang lain, dengan alam,
dan dengan dirinya sendiri. Dia menunjukkan kepada kita
betapa tak terpisahkan ikatan antara kepedulian terhadap

17 Konferensi di Biara Utstein, Norwegia (23 Juni 2003).


18 “Tanggung Jawab Global dan Keberlanjutan Ekologis”, Keterangan
Penutupan, Halki Summit I, Istanbul (20 Juni 2012).

7
alam, keadilan bagi kaum miskin, komitmen kepada masya­
rakat, dan kedamaian batin.

11. Fransiskus Assisi membantu kita untuk melihat bah­­


wa ekologi yang integral membutuhkan keterbukaan terha­
dap kategori-kategori yang melampaui bahasa matematika
dan biologi, dan membawa kita kepada hakikat manusia.
Sama seperti yang terjadi ketika kita jatuh cinta pada
seseorang, setiap kali Fransiskus menatap matahari, bulan,
atau bahkan hewan terkecil, ia mulai bernyanyi, sambil
mengikut­sertakan semua makhluk lain dalam pujiannya.
Dia berkomu­ nikasi dengan semua ciptaan, bahkan
berkhot­ bah kepada bunga-bunga, mengundang mereka
“untuk memuji Tuhan, seolah-olah mereka dikaruniai akal
budi”.19 Tanggapannya terhadap dunia di sekelilingnya jauh
melebihi apresiasi intelektual atau perhitungan ekonomi,
karena baginya setiap makhluk adalah saudari yang ber­
satu dengannya oleh ikatan kasih sayang. Itu sebabnya ia
merasa terpanggil untuk melindungi semua yang ada.
Muridnya, Santo Bonaventura, mengatakan bahwa, “ketika
merenungkan bahwa segala sesuatu memiliki asal usul yang
sama, Fransiskus dipenuhi dengan rasa kasih yang tambah
besar dan memanggil semua makhluk, tidak peduli seberapa
kecil, dengan nama ‘saudara’ atau ‘saudari”.20 Keyakinan
seperti itu tidak dapat diremehkan sebagai romantisme
yang naif, sebab berdampak atas pilihan-pilihan yang
menentukan untuk perilaku kita. Jika kita memandang

19 Thomas dari Celano, The Life of Saint Francis, I, 29, 81: in Francis of Assisi:
Early Documents, vol. 1, New York-London-Manila 1999, 251.
20 Legenda Maior, VIII, 6, in Francis of Assisi: Early Documents, vol. 2, New
York-London-Manila, 2000, 590.

8
alam dan lingkungan tanpa keterbukaan untuk kagum
dan heran, jika kita tidak lagi berbicara dengan bahasa
persaudaraan dan keindahan dalam hubungan kita dengan
dunia, kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, pengisap
sumber daya, hingga tidak mampu menetapkan batas-batas
kebutuhan yang mendesak. Sebaliknya, jika kita merasa
intim bersatu dengan semua yang ada, maka kesahajaan dan
kepedulian akan timbul secara spontan. Kemiskinan dan
kesederhanaan dari Santo Fransiskus bukanlah asketisme
yang hanya lahiriah, tetapi sesuatu yang jauh lebih radikal:
ia menolak mengubah realitas menjadi objek yang hanya
untuk digunakan dan dikendalikan.

12. Selain itu, Santo Fransiskus, yang setia kepada Alkitab,


mengajak kita untuk melihat alam sebagai sebuah kitab
yang sangat indah. Di dalamnya Allah berbicara kepada
kita dan memberi kita sekilas pandang tentang keindahan
dan kebaikan-Nya yang tanpa batas. “Dari kebesaran dan
keindahan benda-benda ciptaan, tampaklah gambaran
tentang Khalik mereka” (Kebijaksanaan 13:5); memang,
“kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya dapat tampak
dan dipahami dari karya-Nya sejak dunia diciptakan” (Roma
1:20). Itulah sebabnya, Fransiskus meminta agar sebagian
taman biara selalu dibiarkan tidak diolah, sehingga bunga
dan tumbuhan yang liar bisa tumbuh di situ, dan orang
yang melihatnya dapat mengangkat budi mereka kepada
Allah, Pencipta keindahan itu.21 Daripada menjadi masalah
yang harus dipecahkan, dunia merupakan misteri yang

21 Bdk. Thomas dari Celano, The Remembrance of Desire of Soul, II, 124, 165, in
Francis dari Assisi: Early Documents, vol. 2, New York-London-Manila 2000, 354.

9
menggembirakan untuk direnungkan dengan sukacita dan
pujian.

Seruan Saya
13. Tantangan yang mendesak untuk melindungi rumah
kita bersama mencakup upaya menyatukan seluruh ke­
luarga manusia guna mencari bentuk pembangunan ber­
kelanjutan dan integral, karena kita tahu bahwa perubahan
itu dimungkinkan. Sang Pencipta tidak meninggalkan kita;
ia tidak pernah meninggalkan rencana kasih-Nya atau
menyesal telah menciptakan kita. Umat manusia masih
memiliki kemampuan untuk bekerja sama dalam mem­
bangun rumah kita bersama. Di sini saya ingin mengakui,
memberi dorongan, dan berterima kasih kepada semua
orang yang dalam pelbagai bidang aktivitas manusia
yang sangat beraneka ragam, berjuang untuk menjamin
perlindungan rumah yang kita bagi. Apresiasi khusus
perlu diberikan kepada mereka yang tanpa lelah berusaha
mengatasi efek tragis degradasi lingkungan bagi kehidupan
orang-orang termiskin di dunia. Orang-orang muda me­
nuntut perubahan. Mereka bertanya-tanya bagaimana
orang bisa mengklaim membangun masa depan yang lebih
baik tanpa memikirkan krisis lingkungan dan penderitaan
mereka yang dikucilkan.

14. Saya mengundang dengan mendesak agar diadakan


dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa
depan planet kita. Kita memerlukan percakapan yang
melibatkan semua orang, karena tantangan lingkungan
yang kita alami, dan akar manusianya, menyangkut dan
menjadi keprihatinan kita semua. Gerakan ekologi di

10
seluruh dunia telah membuat kemajuan besar dan berhasil
mem­bentuk berbagai organisasi yang berkomitmen me­
ning­katkan kesadaran terhadap tantangan-tantangan ini.
Sayangnya, banyak upaya untuk mencari solusi konkret atas
krisis lingkungan mengalami kegagalan, tidak hanya karena
perlawanan dari mereka yang kuat, tetapi juga karena
kurangnya minat dari yang lain. Sikap menghalangi, bahkan
dari orang-orang beriman, dapat berbentuk penyangkalan
masalah sampai dengan ketidakpedulian, pasrah secara
acuh tak acuh, atau kepercayaan buta terhadap solusi
teknis. Kita membutuhkan solidaritas baru dan universal.
Sebagaimana telah dinyatakan oleh uskup-uskup Afrika
Selatan: “bakat dan komitmen setiap orang diperlukan untuk
memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh manusia
yang menyalahgunakan ciptaan Allah”.22 Kita semua dapat
bekerja sama sebagai instrumen Allah untuk melindungi
keutuhan ciptaan, masing-masing sesuai dengan budaya,
pengalaman, prakarsa, dan bakatnya sendiri.

15. Saya berharap bahwa Ensiklik ini, yang bersambung


dengan ajaran sosial Gereja, dapat membantu kita untuk
mengakui besarnya, urgensi, dan indahnya tantangan
yang kita hadapi. Saya akan mulai dengan meninjau secara
singkat beberapa aspek dari krisis ekologi saat ini, dengan
maksud menimba dari hasil terbaik penelitian ilmiah
yang tersedia saat ini, membiarkan mereka menyentuh
kita secara mendalam dan memberi kita landasan konkret
untuk perjalanan etis dan spiritual yang menyusul. Dari

22 Konferensi Waligereja Afrika Selatan, Pastoral Statement on the Environmental


Crisis (Pernyataan Pastoral tentang Krisis Lingkungan; 5 September 1999).

11
situ saya akan mempertimbangkan beberapa gagasan yang
diambil dari tradisi Yahudi-Kristen yang dapat memberi
lebih banyak koherensi kepada komitmen kita terhadap
lingkungan. Saya kemudian akan mencoba untuk sampai
kepada akar situasi sekarang, mempertimbangkan bukan
hanya gejala-gejalanya tetapi juga penyebab-penyebabnya
yang terdalam. Ini akan membantu untuk menawarkan
sebuah pendekatan ekologi yang menghormati tempat
unik kita sebagai manusia di dunia ini dan hubungan kita
dengan lingkungan kita. Dalam terang refleksi ini, saya
akan mengajukan beberapa garis besar untuk dialog dan
tindakan yang akan melibatkan kita masing-masing sebagai
individu, dan juga menyangkut politik internasional.
Akhirnya, karena saya yakin bahwa perubahan tidak
mungkin tanpa motivasi dan proses pendidikan, saya akan
mena­wark­an beberapa panduan untuk pembinaan manusia
yang mengambil ilham dari harta pengalaman spiritual
Kristiani.

16. Meskipun setiap bab memiliki temanya tersendiri


dan metodologi khusus, juga ada pertanyaan-pertanyaan
penting yang telah dibahas sebelumnya, yang akan
diangkat dan diselidiki kembali dalam bab-bab berikut
dari sudut lain. Hal ini terutama berlaku untuk sejumlah
tema yang akan muncul kembali dalam seluruh Ensiklik.
Sebagai contoh, hubungan erat antara kaum miskin dan
kerapuhan planet, keyakinan bahwa segala sesuatu di dunia
terhubung, kritik terhadap paradigma dan bentuk-bentuk
baru kekuasaan yang berasal dari teknologi, ajakan untuk
mencari cara lain memahami ekonomi dan kemajuan­
nya, nilai intrinsik setiap makhluk, makna ekologi yang

12
manusiawi, kebutuhan akan perdebatan yang tulus dan
jujur, tanggung jawab besar politik internasional dan lokal,
budaya ‘membuang’, dan usulan gaya hidup baru. Tema-
tema ini tidak pernah ditutup dan ditinggalkan, tetapi
terus-menerus diangkat lagi dan diperkaya.

13
Sumber: http://www.eurobiz.com.cn/wp-content/uploads/2013/04/75864601_4.jpg;
|diunduh pada 31-08-2015; pkl. 09.00 WIB
~ BAB SATU ~

APA YANG TERJADI


DENGAN RUMAH KITA

17. Refleksi teologis dan filosofis tentang situasi umat


manusia dan dunia dapat terasa melelahkan dan abstrak,
jika tidak muncul dari konfrontasi dengan konteks saat ini,
yang sarat akan hal-hal yang belum pernah terjadi dalam
sejarah umat manusia. Jadi, sebelum mempertimbangkan
bagaimana iman membawa dorongan dan tuntutan baru
berkaitan dengan dunia kita bersama, saya usulkan berhenti
sebentar untuk mempertimbangkan apa yang sedang terjadi
dengan rumah kita bersama.

18. Akselerasi terus-menerus dalam perubahan-peru­


bahan yang menyangkut umat manusia dan planet ini,
sekarang ini ditambah dengan intensifikasi irama hidup
dan kerja yang dalam bahasa Spanyol disebut “rapidación”
(percepatan). Meskipun perubahan adalah bagian dari
dinamika sistem-sistem yang kompleks, kecepatan yang
sekarang dipaksakan kepadanya oleh aktivitas manusia,
berkontras dengan kelambanan alamiah evolusi biologis.
Selain itu, tujuan perubahan yang cepat dan konstan
ini tidak selalu diarahkan kepada kesejahteraan umum
atau kepada pembangunan manusiawi yang integral dan
berkelanjutan. Perubahan adalah sesuatu yang diinginkan,
namun menjadi sumber kecemasan ketika itu menyebabkan
kerugian untuk dunia dan untuk kualitas hidup sebagian
besar umat manusia.
19. Setelah suatu periode keyakinan yang tidak rasional
akan kemajuan dan akan kemampuan manusia, sebagian
masyarakat sekarang sedang memasuki fase kesadaran yang
lebih kritis. Kita melihat kepekaan terhadap lingkungan
dan perlindungan alam meningkat, bersamaan dengan
kekhawatiran yang tulus dan sedih terhadap apa yang
sedang terjadi pada planet kita. Mari kita meninjau, ten­
tu tidak lengkap, pertanyaan-pertanyaan yang saat ini
meng­ganggu kita dan tidak lagi dapat kita sembunyikan.
Tujuannya bukan untuk mengumpulkan informasi atau
memuaskan rasa ingin tahu kita, tetapi dengan sedih
menjadi sadar akan apa yang sedang terjadi pada dunia,
dan berani menjadikannya penderitaan kita sendiri; dan
dengan demikian menemukan sumbangan apa yang dapat
diberikan oleh kita masing-masing.

I. POLUSI DAN PERUBAHAN IKLIM


Polusi, limbah, dan budaya buang sampah
20. Ada beberapa bentuk pencemaran yang dialami
orang setiap hari. Polusi udara mengakibatkan berbagai
ma­salah kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, dan
me­nye­babkan jutaan kematian dini. Orang jatuh sakit,
misa­lnya, karena terus menghirup asap bahan bakar yang
digu­nakan untuk masak atau pemanasan rumah. Ada lagi
polusi yang mempengaruhi semua orang, yang disebab­­
kan oleh transportasi, asap industri, zat yang mem­ be­
rikan kontribusi pada pengasaman tanah dan air, pupuk,
insektisida, fungisida, herbisida dan agrotoxins pada umum­­
nya. Teknologi yang, dalam kaitan dengan kepentingan
bisnis, menawarkan diri sebagai satu-satunya cara un­tuk

16
memecahkan masalah-masalah ini, pada kenya­ taan­
nya,
biasanya tidak mampu melihat jaringan hubungan yang
tersembunyi antara banyak hal, lalu kadang-kadang me­­me­
cahkan satu masalah hanya untuk menciptakan yang lain.

21. Juga perlu diperhitungkan pencemaran yang dise­


bab­kan limbah, termasuk limbah berbahaya yang hadir
dalam pelbagai daerah. Setiap tahun dihasilkan ratusan
juta ton limbah, yang sebagian besar tidak membusuk
secara biologis: limbah domestik dan perusahaan, limbah
pembongkaran bangunan, limbah klinis, elektronik dan
industri, limbah yang sangat beracun dan radioaktif. Bumi,
rumah kita, mulai makin terlihat sebagai sebuah tempat
pem­buangan sampah yang besar. Di banyak tempat di dunia,
orang lansia mengeluh bahwa lanskap yang pernah indah
sekali sekarang ditutupi dengan sampah. Limbah industri
maupun bahan kimia yang digunakan di kota dan daerah
pertanian dapat menyebabkan akumulasi dan kerusakan
pada organisme penduduk lokal, juga bila kadar racun di
tempat itu masih rendah. Sering kali baru diambil tindakan
ketika kerusakan permanen kesehatan masyarakat telah
terjadi
22. Masalah-masalah ini berkaitan erat dengan budaya
‘membuang’ yang menyangkut baik orang yang dikucilkan
maupun barang yang cepat disingkirkan menjadi sampah.
Hendaknya kita menyadari, misalnya, bahwa sebagian be­
sar kertas yang diproduksi, terbuang dan tidak didaur
ulang. Sulit bagi kita untuk mengakui bahwa cara kerja eko­
sis­tem alamiah memberi kita teladan: tanaman menyatu­
kan pelbagai bahan yang memberi makan kepada herbi­
vora; mereka ini pada gilirannya menjadi makanan bagi

17
karnivora, yang menghasilkan berlimpah sampah organik
untuk menumbuhkan generasi baru tanaman. Tetapi
sistem industri kita, di akhir siklus produksi dan konsumsi,
belum mengembangkan kapasitas untuk menyerap dan
menggunakan kembali limbah serta produk sampingan.
Kita belum berhasil mengadopsi model produksi yang
melingkar, yang mampu melestarikan sumber-sumber
daya untuk generasi sekarang dan masa depan, dengan
membatasi sebanyak mungkin penggunaan sumber daya
yang tidak terbarukan, meminimalkan penggunaannya,
memaksimalkan penggunaan yang efisien, dengan cara
penggunaan kembali dan daur ulang. Memberi perhatian
serius kepada masalah-masalah ini menjadi salah satu
cara menangkal budaya ‘membuang’ yang akhirnya mem­
pengaruhi seluruh planet. Namun kita harus mengakui
bahwa kemajuan dalam hal ini masih jauh dari cukup.

Iklim sebagai kesejahteraan umum


23. Iklim merupakan salah satu sisi kesejahteraan umum,
milik semua dan untuk semua. Pada tingkat global, iklim
merupakan suatu sistem yang kompleks, terkait dengan
banyak syarat mutlak untuk kehidupan manusia. Sebuah
konsensus ilmiah yang sangat kuat menunjukkan bahwa
kita saat ini sedang menyaksikan suatu pemanasan yang
mencemaskan dalam sistem iklim. Dalam beberapa dekade
terakhir pemanasan ini disertai dengan kenaikan konstan
permukaan laut. Sulit untuk tidak menghubungkannya juga
dengan bertambahnya kejadian cuaca ekstrem, terlepas dari
fakta bahwa tidak dapat ditetapkan secara ilmiah penye­
bab masing-masing fenomena tersendiri. Umat manusia
dipanggil untuk mengakui perlunya perubahan dalam

18
gaya hidup, produksi dan konsumsi, untuk memerangi
pemanasan global ini atau setidaknya penyebab manusia
yang menghasilkan atau memperburuknya. Memang be­
nar bahwa ada faktor lain (seperti aktivitas gunung berapi,
perubahan orbit bumi dan poros bumi, siklus matahari),
namun sejumlah studi ilmiah menunjukkan bahwa pema­
nasan global dalam beberapa dekade terakhir ini seba­gian
besar disebabkan oleh konsentrasi gas rumah kaca (karbon
dioksida, metana, nitrogen oksida dan lain-lain) yang dike­
luarkan terutama sebagai akibat aktivitas manusia. Terkon­
sentrasi di atmosfir, gas-gas ini mencegah panasnya sinar
matahari yang dipantulkan oleh bumi menghilang di ang­
kasa. Masalahnya diperparah oleh model pembangun­an
yang didasarkan pada penggunaan intensif bahan bakar
fosil, yang merupakan jantung sistem energi seluruh dunia.
Faktor lain yang menentukan adalah banyaknya perubahan
dalam penggunaan tanah, terutama deforestasi untuk
keper­luan pertanian.

24. Pemanasan bumi memiliki efek pada siklus karbon.


Itu menciptakan lingkaran setan yang semakin memper­
buruk situasi, karena akan berdampak pada ketersediaan
sumber daya penting seperti air minum, energi dan hasil
pertanian di daerah yang lebih panas, dan akan menye­
babkan kepunahan sebagian dari keanekaragaman hayati
di bumi. Mencairnya es di kutub dan di pegunungan
tinggi dapat menyebabkan pelepasan gas metana yang
berbahaya, sedangkan pembusukan bahan organik yang
tadi beku dapat meningkatkan emisi karbon dioksida. Hal
itu diperparah oleh hilangnya hutan tropis yang justru
membantu untuk mengurangi perubahan iklim. Polusi

19
karbon dioksida meningkatkan pengasaman lautan dan
membahayakan rantai makanan dalam air laut. Jika tren
ini terus berlanjut, abad ini dapat menyaksikan perubahan
iklim yang luar biasa dan perusakan ekosistem seperti yang
belum pernah terjadi, dengan konsekuensi serius bagi kita
semua. Kenaikan permukaan laut, misalnya, dapat men­
ciptakan situasi yang sangat sulit, jika kita ingat bahwa se­
perempat penduduk dunia tinggal di wilayah pantai, dan
bahwa kebanyakan kota besar kita terletak di daerah pesisir.

25. Perubahan iklim merupakan masalah global dengan


dampak buruk untuk lingkungan, masyarakat, ekono­mi,
perdagangan dan politik. Ini merupakan salah satu tan­
t­angan utama yang dihadapi umat manusia pada zaman
kita. Dampak terburuk mungkin akan dirasakan dalam
beberapa dekade mendatang oleh negara-negara ber­kem­
bang. Banyak orang miskin tinggal di wilayah-wilayah
yang paling dipengaruhi oleh pelbagai gejala yang terkait
dengan pemanasan bumi, sementara penghidupan mereka
sangat tergantung pada cadangan alam dan jasa ekosis­
tem seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan. Mereka
tidak memiliki sumber keuangan atau sumber daya lain
yang memungkinkan mereka untuk beradaptasi dengan
perubahan iklim atau menghadapi bencana alam, dan akses
mereka memperoleh perlindungan dan pelayanan sosial
sangat terbatas. Misalnya, hewan dan tumbuhan yang tidak
bisa beradaptasi dengan perubahan iklim, akan terdorong
untuk bermigrasi; ini pada gilirannya memengaruhi kehi­
dupan orang miskin, yang kemudian terpaksa mening­
gal­kan rumah mereka, dengan ketidakpastian yang be­
sar bagi masa depan mereka dan anak-anak mereka.

20
Sudah ada peningkatan tragis dalam jumlah migran yang
berusaha melarikan diri dari kemiskinan yang makin
parah, akibat kerusakan lingkungan. Mereka tidak diakui
sebagai pengungsi oleh konvensi internasional; mereka
menanggung kerugian atas penghidupan yang mereka ting­
galkan, tanpa mendapat perlindungan hukum apa pun.
Sayangnya, ada ketidakpedulian global terhadap tragedi
yang saat ini terjadi di berbagai belahan dunia. Kurangnya
tanggapan terhadap tragedi yang dialami saudara-saudari
kita menunjukkan hilangnya rasa tanggung jawab untuk
sesama kita, yang menjadi dasar setiap masyarakat sipil.

26. Banyak di antara mereka yang memiliki lebih banyak


sumber daya dan kekuatan ekonomis atau politis tampak­nya
berusaha untuk menutupi masalah atau menyembunyi­kan
gejala-gejalanya, dan hanya berupaya untuk mengurangi
beberapa dampak negatif perubahan iklim. Namun, banyak
gejala menunjukkan bahwa dampak tersebut akan terus
memburuk jika kita mempertahankan model produksi dan
konsumsi yang sekarang ini. Karena itu, sangat penting dan
mendesak untuk mengembangkan kebijakan pada beberapa
tahun ke depan, supaya emisi karbon dioksida dan gas-gas
lainnya yang sangat berpolusi dapat dikurangi secara drastis,
misalnya, menggantikan penggunaan bahan bakar fosil dan
mengembangkan sumber-sumber energi yang terbarukan.
Di seluruh dunia akses ke energi bersih dan terbarukan
masih minim. Masih perlu dikembangkan teknologi pe­
nyimpanan energi yang memadai. Namun, di beberapa ne­
gara telah dibuat kemajuan yang berarti, meskipun masih
jauh dari tingkat yang cukup. Juga telah diadakan beberapa
investasi dalam alat-alat produksi dan transportasi yang

21
memakai energi yang lebih sedikit dan memerlukan bahan
baku yang lebih sedikit, maupun dalam bidang konstruksi
dan renovasi bangunan yang meningkatkan efisiensi
energinya. Tetapi beberapa tindakan yang baik ini masih
jauh dari massal.

II. MASALAH AIR


27. Indikator lain keadaan sekarang ini menyangkut
menipisnya sumber daya alam. Kita semua sadar bahwa
tidak mungkin untuk mempertahankan tingkat konsumsi
dewasa ini di negara-negara maju dan di lapisan-lapisan
terkaya negara-negara lainnya, di mana kebiasaan mem­
boros dan membuang telah mencapai suatu tingkat yang
belum pernah ada. Eksploitasi planet sudah melebihi batas
maksimal, padahal kita belum memecahkan masalah
kemiskinan.
28. Air minum segar merupakan topik yang paling
penting, karena sangat dibutuhkan untuk kehidupan ma­
nusia dan untuk mendukung ekosistem di daratan dan
per­airan. Sumber-sumber air tawar diperlukan untuk pera­
watan kesehatan, pertanian, dan industri. Persediaan air
dulu relatif stabil, tetapi sekarang di banyak tempat per­
mintaan melebihi pasokan yang berkelanjutan, dengan
konsekuensi dramatis untuk jangka pendek dan panjang.
Kota-kota besar yang membutuhkan cadangan air yang
besar, telah mengalami masa-masa kekurangan air, yang
pada saat kritis itu tidak selalu mendapat pasokan dengan
pengawasan yang tepat dan tidak memihak. Kurangnya
air untuk masyarakat umum terutama terjadi di Afrika di
mana sebagian besar penduduk tidak mempunyai akses ke

22
air minum yang aman, atau mengalami kekeringan yang
menghambat produksi pertanian. Di beberapa negara ada
daerah yang memiliki air melimpah, sedangkan yang lain
menderita kekurangan cukup parah.
29. Masalah sangat serius adalah kualitas air yang tersedia
bagi orang miskin yang menyebabkan banyak kematian
setiap hari. Penyakit yang berhubungan dengan air, banyak
ditemukan di antara mereka, termasuk yang disebabkan
oleh mikro-organisme dan zat kimia. Disentri dan kolera,
yang terkait dengan layanan higienis dan persediaan air
yang tidak aman menjadi penyebab signifikan penderitaan
dan kematian bayi. Sumber air bawah tanah di banyak
tempat terancam oleh polusi akibat kegiatan pertambangan,
pertanian, dan industri tertentu, terutama di negara-negara
tanpa peraturan atau pengawasan yang memadai. Hal ini
tidak hanya disebabkan limbah industri. Banyak bahan
pembersih dan produk kimia, yang masih lazim digunakan
penduduk di banyak tempat di dunia, terus mengalir ke
sungai, danau dan laut.
30. Sementara kualitas air yang tersedia terus berkurang,
di beberapa tempat ada tren makin kuat ke arah privatisasi
sumber daya yang terbatas ini, mengubahnya menjadi
barang dagangan yang tunduk pada hukum pasar.
Namun, akses ke air minum yang aman merupakan hak
asasi manusia yang dasariah dan universal, karena sangat
menentukan untuk kelangsungan hidup manusia dan,
dengan demikian, merupakan syarat untuk pelaksanaan hak
asasi manusia lainnya. Dunia kita mempunyai utang sosial
yang serius kepada orang miskin yang tidak memiliki akses
ke air minum, karena mereka tidak diberi hak untuk hidup

23
sesuai dengan martabat yang tak dapat dicabut dari mereka.
Utang ini dapat dibayar sebagian dengan meningkatkan
dana untuk menyediakan air bersih dan layanan sanitasi
bagi yang termiskin. Namun pemborosan air terlihat bukan
hanya di negara maju tetapi juga di negara-negara kurang
berkembang yang memiliki cadangan air yang besar. Hal
ini menunjukkan bahwa masalah air sebagian merupakan
masalah pendidikan dan kebudayaan, karena tak ada
kesadaran akan keseriusan perilaku itu dalam konteks
ketidakadilan yang besar.
31. Kelangkaan air yang makin besar akan menyebabkan
peningkatan biaya makanan dan berbagai produk yang
tergantung pada penggunaannya. Beberapa studi mem­pe­
ringatkan bahwa kekurangan air yang akut dapat terjadi
dalam beberapa dekade jika tidak segera diambil tindakan.
Dampaknya pada lingkungan dapat memengaruhi miliaran
manusia; juga diduga bahwa kontrol atas air oleh perusahaan
multinasional besar dapat menjadi salah satu sumber utama
konflik pada abad ini.23

III. HILANGNYA
KEANEKARAGAMAN HAYATI
32. Sumber daya bumi pun dijarah karena konsep eko­
nomi, perdagangan dan produksi jangka pendek. Hilangnya
hutan dan vegetasi lainnya membawa serta hilangnya spesies
yang dapat menjadi sumber daya yang sangat penting di

23 Bdk. Greeting to the Staff of FAO (Kata Sambutan kepada Staf FAO; 20
November 2014): AAS 106 (2014), 985.

24
masa depan, tidak hanya untuk makanan tetapi juga untuk
penyembuhan penyakit dan penggunaan lainnya. Berbagai
spesies mengandung gen yang bisa menjadi sumber daya
kunci pada tahun-tahun mendatang untuk memenuhi
kebutuhan tertentu manusia dan mengatur beberapa
masalah lingkungan.
33. Namun tidak cukup untuk memikirkan pelbagai
spesies hanya sebagai sumber potensial untuk dieks­ploitasi,
sambil melupakan fakta bahwa masing-masing memiliki
nilai dalam dirinya sendiri. Setiap tahun hilang ribuan spe­
sies tanaman dan hewan yang tidak pernah akan kita kenal
lagi, dan tidak pernah akan dilihat anak-anak kita, ka­rena
telah hilang untuk selamanya. Sebagian besar punah karena
alasan yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Karena
kita, ribuan spesies tidak akan lagi memuliakan Allah
dengan keberadaan mereka, atau menyampaikan pesan
mereka kepada kita. Kita tidak punya hak seperti itu.
34. Barangkali kita terganggu ketika mendengar tentang
kepunahan mamalia atau burung, karena mereka lebih
terlihat. Tetapi agar berfungsi dengan baik, ekosistem
juga membutuhkan jamur, lumut, cacing, serangga, reptil,
dan aneka mikro organisme yang tak terhitung. Beberapa
spesies yang jumlahnya kecil dan biasanya tak terlihat,
memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan
tempat tertentu. Tentu saja, manusia harus melakukan
intervensi ketika geosistem memasuki keadaan kritis.
Tetapi saat ini tingkat intervensi manusia dalam realitas
alam yang sedemikian kompleks sudah sedemikian tinggi
hingga bencana kontinyu yang disebabkan oleh manusia,
memerlukan respons baru dari dia. Aktivitas manusia hadir

25
di mana-mana, dengan segala risiko yang dibawa serta. Ini
sering menciptakan lingkaran setan di mana intervensi
manusia untuk menyelesaikan kesulitan itu, justru mem­
perburuk situasi. Sebagai contoh, banyak burung dan
serangga yang hilang akibat pestisida beracun yang dibuat
oleh teknologi, bermanfaat untuk pertanian; hilangnya
mereka akan harus diganti dengan intervensi teknologis
lain yang mungkin akan menghasilkan efek berbahaya
lainnya. Upaya para ilmuwan dan insinyur, yang mencoba
untuk menemukan solusi terhadap masalah-masalah yang
dibuat oleh manusia merupakan hal terpuji dan kadang-
kadang mengagumkan. Tetapi, kalau kita amati dunia,
terlihat bahwa tingkat intervensi manusia, sering dalam
konteks kepentingan bisnis dan konsumerisme, sebenarnya
membuat bumi kita kurang kaya dan indah, semakin terbatas
dan kehilangan warna, sementara kemajuan teknologi dan
barang-barang konsumsi terus berkembang tanpa batas.
Kita tampaknya berpikir bahwa kita dapat menggantikan
keindahan yang tak tergantikan dengan sesuatu yang kita
buat sendiri.

35. Dalam menilai dampak ekologis suatu proyek, biasa­


nya dipertimbangkan efek atas tanah, air, dan udara, tetapi
tidak selalu diadakan penelitian atas dampak terhadap
keane­karagaman hayati, seolah-olah hilangnya spesies atau
ke­lompok hewan atau tanaman tertentu tidak terlalu pe­nting.
Jalan raya, perkebunan baru, pagar-pagar, bendungan, dan
bangunan lainnya, secara bertahap menduduki habitat, dan
kadang-kadang memecah-belahnya hingga populasi hewan
tidak dapat lagi bermigrasi atau bergerak bebas, sehingga
beberapa spesies terancam punah. Ada pelbagai alternatif

26
yang setidaknya dapat mengurangi dampak dari proyek
ini, seperti penciptaan koridor biologis, namun hanya
sedikit negara menunjukkan kepedulian preventif seperti
itu. Ketika spesies tertentu dieksploitasi secara komersial,
kurang diperhatikan faktor reproduksinya demi mencegah
penurunan jumlahnya dan ketidakseimbangan ekosistem
yang diakibatkan.
36. Merawat ekosistem mengandaikan pandangan me­
lam­paui yang instan, karena orang yang mencari keun­tung­
an cepat dan mudah, tidak akan tertarik pada pelestarian
alam. Namun, biaya kerusakan yang disebab­kan oleh ke­
lalaian egois itu jauh lebih tinggi daripada ke­un­tungan
ekonomis yang dapat diperoleh. Ketika spesies tertentu
punah atau sangat terancam, nilainya tidak terhitung.
Kita dapat menjadi saksi bisu ketidakadilan mengerikan,
ketika kita mengira memperoleh keuntungan besar de­
ngan membuat seluruh umat manusia, sekarang dan di
masa depan, membayar biaya kerusakan lingkungan yang
sangat tinggi.
37. Beberapa negara telah maju dalam melindungi secara
efektif tempat dan wilayah tertentu—di daratan dan di
lautan—di mana ada larangan campur tangan manusia
dalam bentuk apapun yang dapat mengubah wajah alam
atau merombak keadaan aslinya. Dalam melestarikan ke­
ane­karagaman hayati, para ahli menekankan perlunya diberi
perhatian khusus kepada kawasan yang paling kaya akan
aneka spesies, dan akan spesies yang langka, atau kurang
dilindungi, atau yang hanya ada di situ. Beberapa tempat
membutuhkan perlindungan khusus karena sangat penting
untuk ekosistem global, atau karena merupakan cadangan

27
air penting dan dengan demikian menjamin bentuk-bentuk
kehidupan lainnya.

38. Mari kita sebutkan, sebagai contoh, paru-paru dunia


yang kaya keanekaragaman hayati, yaitu wilayah Amazon
dan cekungan Sungai Kongo, atau tempat-tempat air bawah
tanah (aquifer) yang luas dan gunung es (gletser). Kita tahu
betapa pentingnya semuanya itu bagi seluruh bumi dan
bagi masa depan umat manusia. Ekosistem hutan tropis
memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kompleks dan
hampir mustahil dinilai sepenuhnya, namun ketika hutan
tersebut terbakar atau ditebang untuk tujuan perkebunan,
dalam waktu beberapa tahun spesies yang tak terhitung
jumlahnya punah dan wilayah itu sering berubah menjadi
lahan telantar dan gersang. Ketika berbicara tentang tempat-
tempat ini, diperlukan sikap kritis yang seimbang karena
kita tidak dapat menutup mata terhadap kepentingan
ekonomis global yang sangat besar yang, dengan kedok
melindunginya, dapat melemahkan kedaulatan negara
masing-masing. Bahkan, ada “proposal internasionalisasi
Amazon, yang hanya melayani kepentingan ekonomi
perusahaan-perusahaan multinasional”.24 Kita tidak boleh
lupa memuji komitmen lembaga-lembaga inter­ nasional
dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang menarik
perhatian publik terhadap masalah-masalah itu, bekerja
sama secara kritis, dan menggunakan mekanisme desakan
yang sah, untuk memastikan bahwa setiap pemerintah
melakukan tanggung jawabnya sendiri yang tidak dapat

24 Konferensi Umum yang Kelima dari Para Uskup Amerika Latin dan Karibia,
Dokumen Aparecida (29 Juni 2007), 86.

28
dicabut, untuk melestarikan lingkungan dan sumber daya
alam negaranya, tanpa tunduk kepada kepentingan lokal
atau internasional yang tidak sah.
39. Alih fungsi hutan asli menjadi perkebunan, biasanya
monokultur, jarang dianalisis secara memadai. Namun alih
fungsi ini dapat berdampak serius terhadap keanekaragaman
hayati yang tidak mampu bertahan bersama spesies baru
yang dibudidayakan. Demikian pula, lahan-lahan basah
yang diubah menjadi lahan budidaya, akan kehilangan
keanekaragaman hayati yang sebelumnya sangat kaya. Di
beberapa daerah pesisir hilangnya ekosistem yang ditopang
oleh hutan bakau, mengkhawatirkan.
40. Lautan bukan hanya mengandung bagian terbesar air
di planet ini, melainkan juga sebagian besar aneka macam
makhluk hidup, yang banyak masih belum kita kenal, dan
yang terancam karena berbagai sebab. Di sisi lain, kehidupan
di sungai, danau, laut dan samudera, yang memberi
makan sebagian besar penduduk dunia, terpengaruh oleh
penangkapan ikan yang tak terkendali, yang menyebabkan
pengikisan drastis spesies tertentu. Bentuk penangkapan
ikan secara selektif, yang membuang sebagian besar jenis
ikan yang tertangkap, masih terus berlanjut. Organisme laut
yang kurang kita perhatikan, seperti beberapa jenis plankton
menjadi terancam; padahal ini merupakan komponen yang
sangat penting dalam rantai makanan di laut. Species yang
menjadi makanan kita, akhirnya, bergantung pada mereka.

41. Dalam lautan tropis dan subtropis, kita menemukan


terumbu karang yang sebanding dengan hutan besar di
daratan, karena memberi tempat kepada sekitar satu juta

29
spesies, termasuk ikan, kepiting, moluska, spons, alga,
dan lain-lain. Banyak terumbu karang di dunia sudah
mati atau terus menurun kualitasnya. “Siapa yang telah
mengubah dunia laut yang indah menjadi kuburan bawah
air yang kehilangan warna dan kehidupan?”25 Fenomena ini
terutama disebabkan oleh polusi yang masuk ke laut akibat
deforestasi, pertanian monokultur, limbah industri, dan
cara penangkapan ikan yang merusak, terutama dengan
menggunakan racun dan bahan peledak. Ini diperburuk
oleh kenaikan suhu lautan. Semua ini membantu kita
untuk melihat bahwa setiap intervensi terhadap alam
mendatangkan konsekuensi yang tidak segera tampak, dan
cara tertentu mengeksploitasi sumber daya alam ternyata
harus dibayar dengan kerusakan yang akhirnya bahkan
sampai ke dasar laut.

42. Investasi penelitian lebih besar perlu dibuat untuk


memahami lebih lengkap perilaku ekosistem dan meng­
analisis secara memadai berbagai variabel dari dampak
setiap modifikasi penting terhadap lingkungan. Karena
semua makhluk terkait, masing-masing harus dihargai
dengan kasih sayang dan kekaguman, sebab sebagai makh­
luk hidup kita semua saling bergantung. Setiap daerah
ber­tanggung jawab untuk memelihara keluarga ini; maka
harus mengadakan inventarisasi rinci pelbagai spesies yang
ada di situ, dengan tujuan untuk mengembangkan program
dan strategi perlindungan, dengan konservasi khusus untuk
beberapa spesies yang terancam punah.

25 Konferensi Waligereja Filipina, Surat Pastoral, What is Happening to our Beautiful


Land? (Apa yang Terjadi pada Tanah Kita yang Indah? 29 Januari 1988).

30
IV. PENURUNAN KUALITAS HIDUP
MANUSIA DAN KEMEROSOTAN SOSIAL
43. Manusia juga makhluk dunia ini, yang berhak untuk
hidup bahagia, dan yang terlebih lagi memiliki martabat
khusus. Maka mau tak mau kita harus mempertimbangkan
bagaimana kerusakan lingkungan, model pembangunan
saat ini, dan budaya buang sampah berpengaruh terhadap
kehidupan manusia.
44. Saat ini, misalnya, kita melihat pertumbuhan banyak
kota secara berlebihan dan tidak terkendali hingga tidak
sehat lagi untuk dihuni, bukan hanya karena polusi yang
disebabkan oleh emisi gas beracun, tetapi juga sebagai
akibat dari kekacauan perkotaan, masalah transportasi,
polusi visual dan kebisingan. Banyak kota telah menjadi
struktur-struktur besar yang tidak efisien, terlalu boros
energi dan air. Beberapa wilayah kota, meskipun baru saja
dibangun, sudah padat, kacau, dan tanpa tempat hijau yang
memadai. Penduduk bumi ini tidak dimaksudkan untuk
hidup terhimpit oleh beton, aspal, kaca dan logam, hingga
kehilangan kontak fisik dengan alam.
45. Di beberapa tempat, baik di kota maupun pedesaan,
privatisasi ruang tertentu telah membatasi akses masyarakat
ke tempat-tempat yang indah. Di tempat lain diciptakan
wilayah-wilayah “hijau” hanya untuk melayani beberapa
orang, sambil mencegah orang lain masuk dan mengganggu
sebuah ketenangan buatan. Perkotaan yang indah dengan
banyak ruang hijau yang terawat dengan baik ditemukan
di beberapa wilayah yang “nyaman”, tetapi jauh berkurang
di wilayah-wilayah yang lebih terisolir, tempat hidup
masyarakat yang terpinggirkan.

31
46. Aspek-aspek sosial dari perubahan global meliputi
dampak teknologi baru terhadap lapangan kerja, pengucilan
sosial, ketimpangan dalam distribusi dan konsumsi energi
dan jasa lainnya, fragmentasi sosial, peningkatan ke­ ke­
rasan, kemunculan bentuk-bentuk baru agresi sosial, per­
dagangan narkoba dan penggunaannya di kalangan muda,
dan kehilangan identitas. Tanda-tanda seperti ini menun­
jukkan bahwa pertumbuhan selama dua abad ter­ akhir
tidak dalam semua segi membawa perkembangan integral
dan peningkatan kualitas hidup. Beberapa tanda ini juga
menjadi indikator kemerosotan sosial yang nyata, putusnya
ikatan pembauran dan jalinan sosial secara diam-diam.

47. Selain itu, pengaruh media masa dan dunia digital


yang hadir di mana-mana, dapat menghalangi orang untuk
belajar hidup dengan kebijaksanaan, untuk berpikir secara
mendalam, untuk mencintai dengan murah hati. Bagi
tokoh-tokoh amat bijak dari masa lampau, dalam konteks
ini, ada bahaya bahwa kebijaksanaan mereka tenggelam di
tengah kebisingan dan keramaian informasi. Diperlukan
upaya untuk membantu media komunikasi ini menjadi
sarana pengembangan budaya baru bagi umat manusia dan
bukan penyebab pemerosotan harta kita yang terdalam.
Kebijaksanaan sejati, sebagai buah refleksi, dialog, dan
pertemuan antara orang-orang yang bermurah hati, tidak
tercapai hanya oleh akumulasi data yang akhirnya membuat
jenuh dan bingung, semacam polusi mental. Hubungan
nyata dengan orang lain, dengan segala tantangannya,
sekarang cenderung diganti dengan jenis komunikasi
internet yang memungkinkan kita untuk memilih atau
memutuskan hubungan semaunya. Dengan demikian

32
lahir jenis baru perasaan artifisial, yang lebih berkaitan
dengan perangkat dan penampilan di layar daripada
dengan manusia dan alam. Media saat ini memungkinkan
kita untuk berkomunikasi dan berbagi pengetahuan dan
perasaan; namun, kadang-kadang juga menghalangi kita
untuk berhubungan secara langsung dengan kesusahan,
kecemasan, sukacita orang lain dan dengan kompleksitas
pengalaman pribadinya. Itulah sebabnya kita seharusnya
tidak terkejut bahwa bersama-sama dengan tawaran luar
biasa media ini, berkembang ketidakpuasan mendalam
dan muram dalam hubungan antarpribadi, atau perasaan
terisolasi yang berbahaya.

V. KETIMPANGAN GLOBAL
48. Lingkungan manusia dan lingkungan alam merosot
bersama-sama, dan kita tidak dapat secara memadai
menangani kemerosotan lingkungan alam jika kita tidak
mem­ perhatikan sebab-sebab yang berkaitan dengan
kemerosotan manusia dan masyarakat. Sesungguhnya,
kerusakan lingkungan dan kemerosotan masyarakat le­
bih berdampak terhadap pihak yang paling lemah di
bumi: “Baik pengalaman hidup sehari-hari maupun pene­
litian ilmiah menunjukkan bahwa efek paling parah
dari semua perusakan lingkungan diderita oleh kaum
miskin”.26 Sebagai contoh, menipisnya cadangan ikan ter­
utama merugikan masyarakat nelayan kecil yang tanpa

26 Konferensi Waligereja Bolivia, Surat Pastoral tentang Lingkungan dan


Pengembangan Manusia di Bolivia El universo, don de Dios para la vida
(Alam Semesta, Pemberian Allah untuk hidup; 23 Maret 2012), 17.

33
sara­na untuk menggantikan sumber daya; pencemaran air
terutama berdampak pada orang-orang miskin yang tidak
dapat membeli air minum kemasan, dan naiknya per­
mukaan laut terutama berakibat bagi masya­rakat pesisir
miskin yang tidak punya tempat lain untuk pergi. Dampak
ketimpangan saat ini juga tampak dari kematian dini banyak
orang miskin, dari konflik-konflik yang dipicu oleh kurang­
nya sumber daya, dan dari banyak masalah lain yang tidak
mendapat cukup perhatian dalam agenda global.27

49. Perlu dikatakan bahwa sering tak ada paham yang je­
las terhadap permasalahan yang secara khusus menyang­
kut mereka yang terkucilkan. Padahal mereka merupakan
sebagian besar penduduk bumi, miliaran orang. Hari-hari
ini, mereka disebutkan dalam diskusi politik dan ekonomi
internasional, tetapi sering terkesan bahwa permasalahan
mereka ditampilkan hanya sebagai embel-embel, sebagai
kewajiban tambahan atau sampingan, jika tidak dianggap
sebagai kerugian sampingan. Bahkan, pada saat aksi nyata,
mereka sering diberi giliran terakhir. Hal ini sebagian
disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak para profesional,
pembuat opini, media komunikasi, dan pusat-pusat ke­kua­
saan berada di kawasan perkotaan yang jauh dari orang
miskin, tanpa kontak langsung dengan permasalahan
mereka. Mereka itu hidup dan berpikir dari dalam kenya­
manan, tingkat perkembangan dan kualitas hidupnya di
luar jangkauan mayoritas penduduk dunia. Kurangnya

27 Bdk. Konferensi Waligereja Jerman, Komisi Masalah Masyarakat, Der


Klimawandel: Brennpunkt globaler, intergenerationeller und ökologischer
Gerechtigkeit (Perubahan iklim: Fokus Keadilan Global, Antargenerasi dan
Ekologis; September 2006), 28-30.

34
kontak fisik dan perjumpaan, ada kalanya disebabkan oleh
desintegrasi kota-kota kita, dapat mengakibatkan matinya
hati nurani dan tertutupnya mata terhadap sebagian realitas
akibat analisis yang melenceng. Ada kalanya sikap ini
bergandengan dengan wacana “hijau”. Tetapi hari ini, kita
mau tak mau harus mengakui bahwa pendekatan ekologis
yang sejati selalu berupa pendekatan sosial, yang harus
mengintegrasikan soal keadilan dalam diskusi lingkungan
hidup, untuk mendengarkan jeritan bumi maupun jeritan
kaum miskin.

50. Alih-alih memecahkan masalah orang miskin dan


memikirkan bagaimana dunia bisa berbeda, ada pihak yang
hanya dapat mengusulkan penurunan tingkat kelahiran.
Kadang-kadang, negara berkembang menghadapi tekanan
internasional yang membuat bantuan ekonomi bergan­
tung pada kebijakan tertentu menyangkut “bidang ke­
sehatan reproduksi”. Memang “benar bahwa distribusi
yang tidak merata dari penduduk dan sumber daya yang
tersedia menciptakan hambatan untuk pengembangan
dan pemanfaatan lingkungan secara berkelanjutan, tetapi
harus diakui bahwa pertumbuhan demografis sepenuhnya
harmonis dengan pengembangan yang utuh dan solider”.28
Menyalahkan pertumbuhan penduduk dan bukan
konsumerisme ekstrem dan selektif dari sebagian orang,
merupakan cara untuk mengelak dari permasalahan. Itu
merupakan upaya untuk melegitimasi model distribusi
saat ini, di mana kelompok minoritas beranggapan bahwa

28 Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Compendium of the


Social Doctrine of the Church, 483.

35
mereka mempunyai hak mengkonsumsi dengan cara yang
tidak pernah dapat diuniversalkan, karena planet ini tidak
akan pernah bisa menampung limbah konsumsi tersebut.
Selain itu, kita tahu bahwa kurang lebih sepertiga dari
seluruh makanan yang diproduksi terbuang, dan “setiap
kali makanan terbuang, makanan itu seolah-olah dicuri
dari meja orang miskin”.29 Namun demikian, perhatian
tentu harus ditujukan pada ketidakseimbangan kepadatan
penduduk, baik pada tingkat nasional maupun global,
karena tambahan konsumsi akan menyebabkan situasi
regional yang berbelit, disebabkan oleh kombinasi masalah
yang menyangkut antara lain pencemaran lingkungan,
transportasi, pengolahan limbah, hilangnya sumber daya,
dan kualitas hidup.

51. Ketimpangan ini berdampak bukan hanya bagi indi­


vidu tetapi juga untuk negara-negara seluruhnya; Itu me­
maksa kita untuk memikirkan suatu bentuk etika hubungan
internasional. Sungguh ada “utang ekologis”, terutama
antara Utara dan Selatan, terkait dengan ketidakseimbangan
perdagangan, dengan efek-efek di bidang ekologi, dan
juga terkait dengan penggunaan sumber daya alam yang
tidak proporsional, yang sudah lama dipraktikkan oleh
negara-negara tertentu. Ekspor berbagai bahan baku
untuk memenuhi pasar industri Utara telah menyebabkan
kerusakan lokal, seperti polusi merkuri di area sekitar
pertambangan emas atau sulfur dioksida di pertambangan
tembaga. Kita terutama harus memperhatikan penggunaan
ruang lingkungan di bumi ini untuk menyimpan limbah

29 Katekese (5 Juni 2013): Insegnamenti 1/1 (2013), 280.

36
gas yang telah terakumulasi selama dua abad dan telah
menciptakan situasi yang saat ini mempengaruhi semua
negara di dunia. Pemanasan yang disebabkan oleh konsumsi
tinggi negara-negara kaya tertentu, memiliki dampak
terhadap daerah termiskin di dunia, terutama di Afrika,
tempat kenaikan suhu, bersama dengan kekeringan, telah
sangat menurunkan hasil pertanian. Ada juga kerusakan
yang disebabkan oleh ekspor limbah padat dan cairan
beracun ke negara-negara berkembang, dan polusi yang
dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi
di negara berkembang dengan cara-cara yang tidak pernah
dapat mereka lakukan di negara-negara tempat mereka
memperoleh modal: “Kami mencatat bahwa perusahaan
yang beroperasi demikian sering berupa perusahaan
multinasional. Mereka melakukan di sini apa yang tidak
pernah akan mereka lakukan di negara-negara maju atau
yang disebut dunia pertama. Umumnya, setelah mengakhiri
aktivitas mereka dan menarik diri, mereka meninggalkan
utang manusiawi dan ekologis besar seperti pengangguran,
kota-kota yang mati , menipisnya cadangan alam tertentu,
deforestasi, pemiskinan pertanian dan peternakan lokal,
lubang-lubang terbuka, bukit-bukit hancur, sungai
tercemar dan segelintir karya sosial yang tidak lagi dapat
diteruskan”.30

52. Utang luar negeri negara-negara miskin telah men­


jadi alat kontrol, tetapi yang sama tidak terjadi dengan
utang ekologis. Dengan cara yang berbeda, negara-negara

30 Uskup-Uskup Daerah Patagonia-Comahue (Argentina), Pesan Natal


(Desember 2009), 2.

37
berkembang, tempat ditemukannya cadangan biosfer
utama, terus menyediakan bahan untuk pembangunan
negara-negara kaya dengan mengorbankan masa sekarang
dan masa depan mereka sendiri. Bumi orang miskin di
Selatan adalah kaya dan kurang tercemar, namun akses ke
kepemilikan barang dan sumber daya untuk memenuhi
kebutuhan dasar dihalangi oleh sebuah sistem relasi
perdagangan dan kepemilikan yang secara struktural jahat.
Negara-negara maju harus memberikan kontribusi untuk
melunasi utang itu dengan membatasi secara signifikan
konsumsi energi non-terbarukan dan dengan membantu
negara-negara miskin untuk mendukung kebijakan serta
program pembangunan berkelanjutan. Wilayah-wilayah
dan negara-negara termiskin kurang mampu mengadopsi
model-model baru untuk mengurangi dampak kegiatan
manusia terhadap lingkungan karena mereka tidak
memiliki sumber daya manusia untuk mengembangkan
proses-proses yang diperlukan dan mereka tidak mampu
mem­ bia­
yainya. Kita harus terus menyadari bahwa,
berkaitan dengan perubahan iklim, ada tanggung jawab
yang berbeda. Seperti dikatakan oleh para uskup Amerika
Serikat, perhatian lebih besar harus diberikan kepada
“kebutuhan orang miskin, orang lemah, dan orang rentan,
dalam debat yang sering didominasi oleh kepentingan
yang lebih kuat”.31 Kita perlu memperkuat kembali
kesadaran bahwa kita merupakan satu keluarga manusia.
Tidak ada pembatas atau penghalang, politik atau sosial,

31 Konferensi Waligereja Katolik Amerika Serikat, Global Climate Change: A


Plea for Dialogue, Prudence and the Common Good (15 Juni 2001).

38
yang mengizinkan kita mengisolasi diri, dan oleh karena
itu juga tidak boleh diberi ruang kepada globalisasi keti­
dakpedulian.

VI. TANGGAPAN-TANGGAPAN
YANG LEMAH
53. Situasi ini menyebabkan saudari bumi, bersama
dengan semua yang ditinggalkan oleh dunia kita, menangis,
memohon agar kita mengambil arah lain. Belum pernah
kita begitu menyakiti dan menyalahgunakan rumah kita
bersama, seperti dalam dua ratus tahun terakhir. Namun
kita dipanggil untuk menjadi instrumen Allah Bapa
agar planet kita menjadi apa yang Dia inginkan ketika Ia
menciptakannya, dan agar bumi memenuhi rencana-Nya
yaitu perdamaian, keindahan dan keutuhan. Masalahnya,
kita belum memiliki budaya yang diperlukan untuk meng­
hadapi krisis seperti ini. Kita harus membangun kepe­
mimpinan yang mampu membuka jalan baru, berusaha
menjawab kebutuhan generasi saat ini, dengan kepedulian
untuk semua orang, dan tanpa merugikan generasi men­
datang. Sangat perlu untuk menciptakan sebuah kerangka
hukum yang menetapkan batas-batas mutlak dan men­
jamin perlindungan ekosistem; jika tidak, bentuk-bentuk
kekuasaan baru yang berdasarkan paradigma tekno-
ekonomi akhirnya akan menghancurkan bukan hanya
politik kita, tetapi juga kemerdekaan dan keadilan.

54. Lemahnya tanggapan politik internasional tampak


men­colok. Kegagalan KTT global tentang lingkungan
meng­ungkapkan bahwa politik kita tunduk pada teknologi

39
dan keuangan. Ada terlalu banyak kepentingan khusus, dan
dengan mudah kepentingan ekonomi akhirnya mengalah­
kan kesejahteraan umum dan memanipulasi informasi
sehingga rencana-rencana mereka tidak akan terpengaruh.
Berkaitan dengan itu Dokumen Aparecida mendesak agar
“kepentingan kelompok-kelompok ekonomi yang secara
tidak rasional menghancurkan sumber-sumber kehidupan,
jangan diberi prioritas dalam menangani sumber daya
alam”.32 Aliansi antara ekonomi dan teknologi akhirnya
mengesampingkan apa pun yang tidak terkait dengan
kepentingan instan mereka. Dengan demikian, hanya
dapat diharapkan beberapa pernyataan dangkal, beberapa
tindakan filantropis lepas, dan upaya ala kadarnya untuk
menunjukkan kepekaan terhadap lingkungan, sementara
pada kenyataannya, setiap upaya kelompok-kelompok
masyarakat untuk membawa perubahan akan dipandang
sebagai gangguan berdasarkan ilusi romantis atau sebagai
hambatan yang harus dielakkan.

55. Secara bertahap beberapa negara dapat menunjuk­


kan kemajuan yang signifikan, dengan mengembangkan
kontrol yang lebih efektif dan dengan lebih sungguh-
sungguh memerangi korupsi. Para penduduk menjadi
lebih peka terhadap masalah ekologi, meskipun tidak
cukup untuk mengubah pola konsumsi mereka yang
merugikan, yang tampaknya tidak menurun melainkan
bertambah dan ber­kembang. Contoh sederhana adalah
meningkatnya penggunaan dan penguatan AC. Pasar yang

32 Konferensi Umum Kelima Para Uskup Amerika Latin dan Karibia, Dokumen
Aparecida (29 Juni 2007), 471.

40
segera mencari keuntungan, merangsang permintaan itu.
Jika seseorang melihatnya dari luar planet kita, ia akan
kaget akan perilaku seperti itu, yang ada kalanya tampak
seperti penghancuran diri.

56. Sementara itu, kekuatan ekonomi terus membenar­


kan sistem global saat ini. Di situ prioritas diberikan
kepada spekulan dan pengejar keuntungan finansial yang
cenderung mengabaikan konteks apa pun, apalagi efek
pada martabat manusia dan lingkungan alam. Dengan
demikian menjadi jelas bagaimana kerusakan lingkungan
dan degradasi manusia serta etika berkaitan erat. Banyak
orang akan mengatakan bahwa mereka tidak sadar
melakukan tindakan tak bermoral karena dunia hiburan
terus melemahkan kesadaran kita akan realitas dunia yang
sangat terbatas. Itulah sebabnya hari ini “apa pun yang
rapuh, seperti lingkungan hidup, tidak berdaya berhadapan
dengan kepentingan pasar yang didewakan, yang menjadi
aturan tunggal”.33

57. Dapat diduga bahwa, berhadapan dengan menipis­nya


beberapa sumber daya, secara bertahap diciptakan skenario
yang mengarah ke peperangan baru, meskipun berkedok
klaim-klaim yang mulia. Perang selalu mengakibatkan
kerusakan parah pada lingkungan dan kekayaan budaya
bangsa-bangsa; dan risiko itu menjadi sangat besar bila kita
memikirkan senjata nuklir serta senjata biologis. “Meski­
pun perjanjian-perjanjian internasional melarang perang

33 Ajakan Apostolik Evangelii Gaudium (Sukacita Injil; 24 November 2013), 56:


AAS 105 (2013), 1043; Sukacita Injil, Jakarta, DokPen KWI, 2014, hlm. 38.

41
kimia, bakteriologis, dan biologis, kenyataannya penelitian
laboratorium terus mengembangkan senjata ofensif baru
yang mampu mengubah keseimbangan alam”.34 Politik
harus lebih memperhatikan pencegahan konflik baru dan
mengatasi sebab-sebab yang dapat menimbulkannya. Tetapi
kekuasaan yang berkaitan dengan sektor keuangan paling
menentang upaya itu, dan perencanaan politik biasanya
tidak berpandangan luas. Mengapa seseorang ingin mem­
pertahankan kekuasaannya saat ini, yang kelak hanya
diingat karena ketidakmampuannya bertindak pada saat
mendesak dan harus dilakukannya?

58. Di beberapa negara, ada contoh-contoh positif ke­


ber­­
hasilan perbaikan lingkungan: sungai yang tercemar
selama beberapa dekade telah dibersihkan; hutan asli
telah dipulihkan; lanskap telah diperindah melalui proyek
pembaruan lingkungan; proyek-proyek pembangunan
bernilai estetis telah dijalankan; kemajuan telah dibuat
dalam produksi energi bersih dan dalam perbaikan trans­
portasi publik. Tindakan-tindakan ini tidak memecahkan
masalah global, tetapi menunjukkan bahwa manusia
masih mampu melakukan intervensi positif. Di tengah
segala keterbatasan, tindakan kemurahan hati, solidaritas,
dan perawatan pasti timbul dalam diri kita, karena kita
diciptakan untuk mencintai.

59. Pada saat yang sama muncullah suatu ekologi dangkal,


samar-samar, yang memperkuat kepuasan diri dan rasa ceria

34 Yohanes Paulus II, Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia 1990, 12: AAS 82
(1990), 154.

42
tanpa tanggung jawab. Seperti yang sering terjadi dalam
masa krisis yang mendalam yang membutuhkan keputusan
berani, kita tergoda untuk berpikir bahwa apa yang sedang
terjadi sebenarnya merupakan sebuah ketidakpastian. Jika
kita melihatnya secara dangkal, di samping beberapa tanda
polusi dan degradasi, tampaknya semuanya tidak begitu
serius dan planet kita tetap bisa bertahan lama dalam
kondisi saat ini. Sikap yang mengelak ini mengizinkan kita
untuk terus mempertahankan gaya hidup, produksi dan
konsumsi. Inilah cara manusia membenarkan diri untuk
mempertahankan semua sifat buruk yang merusak dirinya:
berusaha untuk tidak melihatnya, berupaya untuk tidak
mengakuinya, menunda keputusan penting, berpura-pura
seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

VII. KERAGAMAN PENDAPAT


60. Akhirnya, kita perlu mengakui bahwa telah dikem­
bangkan pandangan dan garis pemikiran yang berbeda-
beda tentang situasi saat ini dan tentang solusi yang di­
mungkinkan. Di ujung yang satu, ada pihak yang kuat
mem­ pertahankan mitos kemajuan dan menegaskan
bah­wa masalah ekologi akan dipecahkan hanya melalui
penerapan teknologi baru, tanpa perlu pertimbangan etis
atau perubahan mendalam. Di ujung yang lain, ada yang
memandang bahwa manusia dengan segala intervensinya
hanya bisa menjadi ancaman dan membahayakan ekosistem
global, dan oleh karena itu kehadirannya di planet ini harus
dikurangi dan segala bentuk intervensinya terhadap alam
dicegah. Antara dua kutub ekstrem ini, perlu dipikirkan
dan diajukan skenario-skenario yang mungkin pada masa

43
depan, karena jalan keluar tidak ada cuma satu. Berbagai
proposal mungkin dapat dimasukkan dalam dialog untuk
menemukan jawaban yang lebih utuh.

61. Pada banyak pertanyaan konkret, pada prinsipnya,


Gereja tidak memiliki alasan untuk menawarkan pen­
dapat definitif. Gereja memahami kewajiban untuk mende­
ngarkan dan mendorong debat yang tulus di antara para
ilmuwan, sambil menghormati keragaman pendapat.
Cukuplah melihat realitas dengan jujur untuk menemukan
bahwa rumah kita bersama mengalami kerusakan parah.
Pengharapan mengundang kita untuk melihat bahwa
selalu ada jalan keluar, bahwa kita selalu dapat menetapkan
kembali arah, selalu dapat melakukan sesuatu untuk
memecahkan pelbagai masalah. Namun, kita melihat
tanda-tanda bahwa kini sudah mencapai titik kritis, karena
kecepatan perubahan dan degradasi, yang tampak dalam
bencana alam regional, dan dalam krisis-krisis sosial atau
pun krisis keuangan, sebab pelbagai masalah dunia tidak
dapat dikaji atau dijelaskan secara terpisah. Beberapa
kawasan sudah sangat berisiko dan, lepas dari segala
prediksi kiamat, dapat dipastikan bahwa dari berbagai
sudut pandang sistem global saat ini tidak berkelanjutan,
karena kita telah berhenti berpikir tentang tujuan aktivitas
manusia: “Jika kita mengamati wilayah-wilayah planet kita,
segera kita melihat bahwa manusia telah mengecewakan
harapan Allah”.35

35 Id., Katekese (17 Januari 2001), 3: Insegnamenti 24/1 (2001), 178.

44
Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/3/37/The_Phillip_Medhurst_Picture_Torah_14._
Temptation_of_Adam_and_Eve._Genesis_cap_3_v_6._Moine.jpg; diunduh pada 31-08-2015; pkl. 09.00 WIB
~ BAB DUA ~

KABAR BAIK PENCIPTAAN

62. Mengapa dalam dokumen yang ditujukan kepada


semua orang yang berkehendak baik, dimuat suatu bab yang
mengacu pada keyakinan iman? Saya sadar bahwa dalam
bidang politik dan filsafat, ada yang tegas menolak gagasan
tentang Pencipta, atau menganggapnya tidak relevan lalu
mengesampingkan—sebagai sesuatu yang irasional—keka­
yaan yang dapat disumbangkan oleh agama-agama kepada
suatu ekologi integral dan kepada pengembangan penuh
kemanusiaan. Orang lain melihat agama sebagai subkultur
yang hanya perlu ditoleransi. Namun, ilmu pengetahuan
dan agama, yang menawarkan pendekatan berbeda dalam
memahami kenyataan, dapat masuk ke dalam dialog yang
intens dan bermanfaat bagi keduanya.

I. CAHAYA YANG DITAWARKAN IMAN


63. Mengingat kompleksitas krisis ekologis dan pelbagai
sebabnya, kita harus menyadari bahwa solusi tidak akan
muncul dari hanya satu cara menafsirkan dan mengubah
realitas. Perlu juga meminta bantuan dari kekayaan budaya
bangsa-bangsa yang beragam, seni dan puisi, kehidupan
batin dan spiritualitas. Jika kita benar-benar berusaha
untuk mengembangkan sebuah ekologi yang mampu
menanggulangi kerusakan yang telah kita adakan, maka
tidak ada cabang ilmu dan tidak ada jenis kebijaksanaan yang
dapat diabaikan, termasuk kebijaksanaan agama dengan
bahasanya sendiri. Selain itu, Gereja Katolik terbuka untuk
dialog dengan pemikiran filosofis. Itu telah memungkinkan
gereja menghasilkan berbagai sintesis antara iman dan
akal. Hal itu tampak dalam perkembangan ajaran gereja
yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial; ajaran itu
dituntut untuk terus memperkaya diri dengan menerima
tantangan baru.

64. Selanjutnya, sementara Ensiklik ini membuka diri


untuk berdialog dengan semua pihak dan bersama-sama
mencari jalan pembebasan, saya ingin menunjukkan dari
awal bagaimana keyakinan iman menawarkan kepada
orang-orang Kristen, dan juga kepada orang-orang
beriman lainnya, motivasi kuat untuk melindungi alam
dan saudara-saudarinya yang paling rentan. Jika sebagai
manusia kita sudah terdorong untuk mengurus lingkungan
tempatnya berada, “orang-orang Kristen, khususnya, tahu
bahwa tugas mereka dalam dunia ciptaan dan tanggung
jawab mereka terhadap alam dan Sang Pencipta merupakan
bagian integral dari iman mereka”.36 Adalah baik bagi umat
manusia dan bagi dunia kalau kita, sebagai orang beriman,
lebih menyadari komitmen ekologis yang timbul dari
keyakinan iman kita.

II. HIKMAT CERITA-CERITA ALKITAB


65. Tanpa mengulang seluruh teologi penciptaan, kita
bisa bertanya apa yang dikatakan Alkitab melalui kisah

36 Yohanes Paulus II, Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia 1990, 15: AAS 82
(1990), 156.

47
pen­cip­taan tentang relasi manusia dan dunia. Dalam cerita
penciptaan yang pertama dalam Kitab Kejadian, rencana
Allah meliputi penciptaan manusia. Setelah menciptakan
laki-laki dan perempuan, “Allah melihat segala yang
dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kejadian 1:31).
Alkitab mengajarkan bahwa setiap manusia diciptakan
karena cinta, menurut gambar dan rupa Allah (lihat
Kejadian 1:26). Pernyataan ini menunjukkan martabat
tinggi setiap pribadi manusia, yang “bukan hanya sesuatu,
tetapi seseorang. Dia mampu mengenal diri, menguasai
diri, dan bebas memberikan dirinya dan masuk ke dalam
perse­kutuan dengan orang lain”.37 Santo Yohanes Paulus
II menya­ takan bahwa cinta yang sangat khusus Sang
Pencipta untuk setiap manusia “memberikan kepadanya
martabat yang tak terbatas”.38 Mereka yang berkomitmen
untuk mem­ bela martabat manusia, dapat menemukan
dalam iman kristiani alasan terdalam untuk komitmen
itu. Betapa indahnya mendapat kepastian bahwa hidup
masing-masing pribadi tidak tenggelam dalam kekacauan
(chaos) tanpa harapan, dalam dunia yang diatur secara
kebetulan atau dalam siklus yang berulang tanpa hentinya!
Sang Pencipta dapat mengatakan kepada kita masing-
masing: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim
ibumu, Aku telah mengenal engkau” (Yeremia 1:5). Kita
dikandung dalam hati Allah, dan karena itu, “kita masing-
masing adalah buah pikiran Allah. Kita masing-masing

37 Katekismus Gereja Katolik, 357.


38 Angelus di Osnabrück (Jerman) dengan orang-orang cacat, 16 November
1980: Insegnamenti 3/2 (1980), 1232.

48
dikehendaki, kita masing-masing dicintai, kita masing-
masing diperlukan”.39
66. Dalam bahasa naratif yang simbolis, cerita-cerita
penciptaan dalam kitab Kejadian mengandung ajaran
mendalam tentang eksistensi manusia dan realitas sejarah.
Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa eksistensi manusia
didasarkan pada tiga relasi dasar yang terkait: hubungan
dengan Allah, dengan sesama, dan dengan bumi. Menurut
Alkitab, tiga hubungan penting itu telah rusak, bukan
hanya secara lahiriah, melainkan juga di dalam diri kita.
Perpecahan ini merupakan dosa. Harmoni antara Pencipta,
manusia dan semua ciptaan dihancurkan karena kita
mengira dapat mengambil tempat Allah, dan menolak
untuk mengakui diri sebagai makhluk yang terbatas. Hal
ini juga telah menyebabkan salah pengertian atas mandat
untuk “menaklukkan” bumi (lihat Kejadian 1:28), untuk
“mengusahakan dan memeliharanya” (Kejadian 2:15).
Akibatnya, hubungan yang awalnya harmonis antara
manusia dan alam, berubah menjadi konflik (lihat Kejadian
3:17-19). Karena itu, sangat berarti bahwa harmoni
yang dihayati oleh Santo Fransiskus dari Assisi dengan
semua makhluk, pernah ditafsirkan sebagai pemulihan
perpecahan itu. Santo Bonaventura mengatakan bahwa
melalui rekonsiliasi yang universal dengan semua makhluk,
dalam berbagai cara Fransiskus kembali ke jatidiri yang
asli dan murni.40 Jauh dari model itu, sekarang ini dosa

39 Benedictus XVI, Homily for the Solemn Inauguration of the Petrine Ministry
(Homili pada Pelantikan Meriah Pelayanan Paus; 24 April 2005): AAS 97
(2005), 711.
40 Bdk. Bonaventura, Legenda Mayor Santo Fransiskus, VIII, 1, in Francis of
Assisi: Early Documents, vol. 2, New York-London-Manila, 2000, 586.

49
memperlihatkan dirinya sebagai daya penghancur dalam
perang, dalam berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan,
dalam pengabaian terhadap mereka yang paling rentan, dan
dalam agresi terhadap alam.

67. Kita bukan Allah. Bumi sudah ada sebelum kita dan
telah diberikan kepada kita. Hal ini memungkinkan kita
untuk menanggapi tuduhan bahwa pemikiran Yahudi-
Kristen yang berdasarkan Kitab Kejadian mengundang
manusia untuk “berkuasa” atas bumi (lihat Kejadian 1:28),
telah mendorong eksploitasi alam secara liar dengan
memberi gambaran tentang sifat manusia yang dominan
dan destruktif. Ini bukan interpretasi yang benar tentang
Alkitab, seperti yang dipahami oleh Gereja. Meskipun
benar bahwa kadang-kadang kita orang Kristen telah salah
menafsirkan kitab suci, saat ini kita harus tegas menolak
gagasan bahwa penciptaan kita menurut gambar Allah dan
misi untuk menaklukkan bumi, membenarkan dominasi
mutlak atas makhluk lainnya. Teks Alkitab harus dibaca
dalam konteksnya, dengan hermeneutika yang tepat, dan
konteks itu mengundang kita untuk “mengusahakan dan
memelihara” taman dunia (lihat Kejadian 2:15). Sementara
“mengusahakan” berarti menggarap, membajak, atau me­
ngerjakan, “memelihara” berarti melindungi, menjaga,
me­ les­
tarikan, merawat, mengawasi. Artinya, ada relasi
tanggung jawab timbal balik antara manusia dan alam.
Setiap komunitas dapat mengambil apa yang mereka bu­
tuhkan dari harta bumi untuk bertahan hidup, tetapi juga
memiliki kewajiban untuk melindungi bumi dan menjamin
keberlangsungan kesuburannya untuk generasi-generasi
mendatang; karena akhirnya,” Tuhanlah yang empunya

50
bumi” (Mazmur 24:1), Dialah yang empunya “bumi dengan
segala isinya” (Ulangan 10:14). Karena itu, Allah menolak
setiap klaim kepemilikan mutlak: “Tanah jangan dijual
mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu
adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku” (Imamat 25:23).

68. Tanggung jawab terhadap bumi milik Allah ini me­


nyiratkan bahwa manusia yang diberkati dengan akal
budi, menghormati hukum alam dan keseimbangan yang
lembut di antara makhluk-makhluk di dunia ini, sebab “Dia
memberi perintah, maka semuanya tercipta. Dia mendirikan
semuanya untuk seterusnya dan selamanya, dan memberi
ketetapan yang tidak dapat dilanggar”(Mazmur 148:5b-6).
Itulah sebabnya hukum-hukum Alkitab memberi manusia
berbagai norma, bukan hanya berkaitan dengan sesama
manusia, tetapi juga berkaitan dengan makhluk-makhluk
hidup lainnya: “Apabila engkau melihat keledai atau lembu
saudaramu rebah di jalan, janganlah engkau pura-pura
tidak tahu; engkau harus benar-benar menolong mem­
bangunkannya bersama-sama dengan saudaramu itu. …
Apabila engkau menemui di jalan sarang burung pada
salah satu pohon atau di tanah dengan anak-anak burung
atau telur-telur di dalamnya, dan induknya sedang duduk
mendekap anak-anak atau telur-telur itu, maka janganlah
engkau mengambil induk itu bersama-sama dengan anak-
anaknya” (Ulangan 22:4,6). Dalam perspektif ini, istirahat
pada hari ketujuh tidak dimaksudkan hanya untuk manusia
tetapi juga “supaya lembu dan keledaimu beristirahat”
(Keluaran 23:12). Jelaslah bahwa Alkitab tidak mengizinkan
antroposentrisme diktatorial yang tidak peduli terhadap
makhluk-makhluk lainnya.

51
69. Sementara menggunakan aneka barang dengan cara
yang bertanggung jawab, kita dipanggil untuk mengakui
bah­wa makhluk-makhluk hidup lainnya memiliki nilai in­
trinsik di hadapan Allah, dan “dengan keberadaannya pun
mereka sudah memuji dan memuliakan-Nya,”41 karena
“Tuhan bersukacita dalam segala karya-Nya” (Mazmur
104:31). Justru karena martabatnya yang unik dan karena
di­ berkati dengan akal budi, manusia dipanggil untuk
meng­­hormati sesama ciptaan dengan hukum-hukumnya
karena “dengan hikmat TUHAN telah meletakkan dasar
bumi” (Amsal 3:19). Dewasa ini Gereja tidak begitu saja
me­­ ngatakan bahwa makhluk-makhluk lain sepenuhnya
ditun­ dukkan kepada kepentingan manusia, seolah-olah
me­reka tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri dan kita
dapat memperlakukannya semaunya kita. Karena itu, para
Uskup Jerman telah mengajarkan bahwa berkaitan dengan
makhluk-makhluk lain “kita dapat berbicara tentang prio­
ri­tas keberadaan mereka di atas manfaat mereka”.42 Katekis­
mus jelas dan tegas mengkritik sebuah antroposentrisme
yang menyim­pang: “Setiap makhluk memiliki kebaikan dan
kesem­purnaannya sendiri ... berbagai makhluk, masing-
masing dikehendaki sebagaimana adanya, mencerminkan
dengan caranya sendiri sinar kebijaksanaan dan kebaikan
Allah yang tak terbatas. Inilah sebabnya mengapa manusia

41 Katekismus Gereja Katolik, 2416.


42 Konferensi Waligereja Jerman, Zukunft der Schöpfung – Zukunft der
Menschheit. Erklärung der Deutschen Bischofskonferenz zu Fragen der
Umwelt und der Energieversorgung, (Masa Depan Ciptaan—Masa Depan
Kemanusiaan. Pernyataan tentang Isu-isu Lingkungan dan Pasokan Energi;
1980), II, 2.

52
harus menghormati kebaikan khas setiap makhluk untuk
menghindari penggunaannya yang tak beraturan”.43

70. Dalam kisah tentang Kain dan Habel, kita melihat


bagaimana kecemburuan mendorong Kain melakukan
ketidakadilan ekstrem melawan saudaranya. Ini pada
gilirannya mengganggu hubungan antara Kain dengan
Allah, juga antara Kain dengan bumi. Kain menjadi seorang
pelarian dan pengembara di bumi. Ini diringkaskan dalam
percakapan dramatis antara Allah dengan Kain. Allah
bertanya, “Di mana Habel, adikmu?”. Kain menjawab
bahwa dia tidak tahu. Allah mendesak: “Apakah yang
telah kauperbuat ini? Darah adikmu berteriak kepada-Ku
dari tanah! Maka sekarang, terkutuklah engkau, terasing
dari tanah”. (Kejadian 4:9-11). Mengabaikan tugas untuk
memelihara dan menjaga hubungan baik dengan tetangga,
yang harus saya perhatikan dan lindungi, menghancurkan
hubungan saya dengan diri saya sendiri, dengan orang lain,
dengan Allah dan dengan bumi. Ketika semua hubungan
ini diabaikan, ketika keadilan tidak lagi berdiam di bumi,
Alkitab mengatakan kepada kita bahwa hidup itu sendiri
terancam. Kita melihatnya dalam kisah Nuh. Di situ Allah
mengancam akan membinasakan umat manusia karena
terus gagal untuk memenuhi persyaratan keadilan dan
perdamaian: “”Aku telah memutuskan untuk mengakhiri
hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan
kekerasan oleh manusia “(Kejadian 6:13). Dalam cerita
kuno yang penuh simbolisme mendalam ini, keyakinan
kita sekarang sudah ada: semuanya terhubung, dan perlin­

43 Katekismus Gereja Katolik, 339.

53
dung­an otentik untuk hidup kita sendiri dan hubungan kita
dengan alam tidak dapat dilepaskan dari persaudaraan,
keadilan, dan kesetiaan kepada pihak lain.

71. Meskipun “kejahatan manusia besar di bumi”


(Kejadian 6:5) dan Allah “menyesal bahwa ia telah menja­
dikan manusia di bumi” (Kejadian 6:6), namun, melalui
Nuh, seorang yang benar dan tidak bercela, Allah me­
mu­ tuskan untuk membuka jalan keselamatan. Dengan
demikian Ia memberi umat manusia kesempatan untuk
memulai kehidupan secara baru. Hanya dibutuhkan satu
orang yang baik untuk mengembalikan harapan! Tradisi
Alkitab jelas menunjukkan bahwa pemulihan itu meng­
andaikan penemuan kembali dan penghormatan terhadap
irama yang oleh tangan Sang Pencipta ditulis dalam alam.
Kita melihat hal itu, misalnya, dalam hukum Sabat. Pada
hari ketujuh Allah beristirahat dari segala pekerjaan-
Nya. Ia memerintahkan kepada Israel untuk memelihara
setiap hari ketujuh sebagai hari istirahat, hari Sabat (lihat
Kejadian 2:2-3; Keluaran 16:23; 20:10). Demikian juga
ditetapkan tahun Sabat untuk Israel dan tanahnya, setiap
tahun ketujuh (lihat Imamat 25:1-4). Pada tahun itu, tanah
sepenuhnya diistirahatkan; orang tidak menabur, dan
hanya menuai apa yang diperlukan untuk bertahan hidup
bersama seluruh rumah tangga mereka (lihat Imamat 25:4-
6). Akhirnya, setelah tujuh kali tujuh tahun, pada tahun
keempat puluh sembilan, dirayakan tahun Jubileum, tahun
pengampunan umum dan “kebebasan di seluruh negeri
bagi segenap penduduknya” (Imamat 25:10). Undang-
undang ini muncul sebagai upaya untuk memastikan
keseimbangan dan keadilan dalam hubungan dengan

54
sesama manusia dan dengan tanah yang mereka diami
dan mereka kerjakan. Pada saat yang sama, semua­nya ini
merupakan pengakuan bahwa anugerah tanah, dengan
buah-buahnya, merupakan milik semua orang. Mereka
yang menggarap dan memelihara tanah, harus berbagi
hasilnya, terutama dengan orang-orang miskin, janda, anak
yatim, dan orang asing: “Pada waktu kamu menuai hasil
tanahmu, janganlah kausabit ladangmu habis-habis sampai
ke tepinya, dan janganlah kaupungut apa yang ketinggalan
dari penuaianmu. Juga sisa-sisa buah anggurmu janganlah
kaupetik untuk kedua kalinya dan buah yang berjatuhan di
kebun anggurmu janganlah kau­­pungut, tetapi semuanya
itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang
asing” (Imamat 19:9-10).
72. Mazmur sering mengundang manusia untuk memu­
ji Allah Pencipta “yang menghamparkan bumi di atas
air! Kasih-Nya kekal!” (Mazmur 136:6). Tetapi makhluk-
makhluk lain pun diundang untuk memuji-Nya: “Pujilah
Dia, hai matahari dan bulan, pujilah Dia, hai segala bintang
yang benderang! Pujilah Dia, hai langit yang mengatasi
segala langit, hai air yang di atas langit! Baiklah semuanya
me­muji nama TUHAN, sebab Dia memberi perintah, se­
hingga semuanya tercipta” (Mazmur 148:3-5). Kita tidak
hanya ada karena kuasa Allah, tetapi juga berada di ha­
dapan-Nya dan di dekat-Nya. Karena itu kita memuja-Nya.
73. Kitab-kitab para nabi mengajak kita untuk mene­
mukan kekuatan baru di saat-saat yang sulit dengan me­
man­­dang Allah Yang Mahakuasa yang menciptakan alam
semesta. Namun kuasa Allah yang tak terbatas itu tidak
menyebabkan kita lari dari kelembutan kebapaan-Nya,

55
karena dalam Dia kasih sayang dan kekuatan terg­abung.
Memang, setiap spiritualitas yang sehat akan serentak
menyambut kasih Allah dan, dengan penuh keya­kinan,
menyembah Tuhan karena kekuasaan-Nya yang tak
terbatas. Dalam Alkitab, Allah yang membebaskan dan
menye­lamatkan adalah Allah yang sama yang menciptakan
alam semesta, dan dua jenis tindakan ilahi ini berkaitan erat
dan tak terpisahkan: “Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya,
Engkaulah yang telah menjadikan langit dan bumi dengan
kekuatan-Mu yang besar dan dengan lengan-Mu yang
terentang. Tiada suatu apapun yang mustahil untuk-Mu! …
Engkau telah membawa umat-Mu Israel keluar dari tanah
Mesir dengan tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat” (Yeremia
32:17,21). “TUHAN itu Allah kekal yang menciptakan
bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak
menjadi lesu, tidak terselami pengertian-Nya. Dia memberi
kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat
kepada yang tak berdaya” (Yesaya 40:28b-29).

74. Pengalaman pembuangan ke Babel telah mencipta­


kan krisis rohani yang mendorong pendalaman iman
kepada Allah. Kemahakuasaan-Nya sebagai Pencipta lebih
jelas diungkapkan untuk mendorong orang menemukan
kembali harapan di tengah situasi yang mencelakakan
itu. Berabad-abad kemudian, pada masa pencobaan
dan penganiayaan yang lain, ketika Kekaisaran Romawi
berusaha memaksakan kekuasaannya yang mutlak, umat
beriman sekali lagi akan menemukan penghiburan dan
harapan dalam kepercayaan yang bertambah kuat pada
Allah yang Mahakuasa, dan bernyanyi: “Besar dan ajaib
segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa!

56
Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa!”
(Wahyu 15:3). Jika Ia dapat menciptakan alam semesta
dari ketiadaan, ia juga dapat bertindak di tengah dunia ini
dan mengalahkan segala jenis kejahatan. Oleh karena itu,
ketidakadilan bukan tidak terkalahkan.

75. Kita tidak dapat menerima spiritualitas yang melu­


pakan Allah sebagai Yang Mahakuasa dan Pencipta. Sebab
jika demikian, kita akhirnya akan menyembah kuasa-
kuasa dunia lainnya, atau kita sendiri akan mengambil
tempat Tuhan sampai mengklaim hak untuk menginjak-
injak karya ciptaan-Nya, tanpa tahu batas. Cara terbaik
untuk menempatkan manusia pada tempatnya, dan untuk
mengakhiri klaimnya sebagai penguasa absolut atas bumi,
adalah gambaran tentang sosok Bapa, Pencipta dan satu-
satunya pemilik dunia. Jika tidak demikian, manusia akan
selalu condong untuk memaksakan aturan dan ke­ pen­
tingannya sendiri pada realitas.

III. MISTERI ALAM SEMESTA


76. Dalam tradisi Yahudi-Kristen, kata “ciptaan” memiliki
arti lebih luas daripada “alam”, karena ada hubungannya
dengan proyek kasih Allah di mana setiap makhluk
memiliki nilai dan arti. Alam biasanya dimengerti sebagai
sistem yang dapat dipelajari, dipahami, dan dikelola,
sedangkan ciptaan hanya dapat dipahami sebagai hadiah
dari tangan terbuka Bapa kita semua, sebagai kenyataan
yang disinari kasih yang memanggil kita ke dalam suatu
persekutuan universal.

57
77. “Oleh firman Tuhan langit telah dijadikan” (Mazmur
33:6). Dengan demikian kita diberitahu bahwa dunia
berasal dari suatu keputusan, bukan dari kekacauan atau
hal kebetulan, dan itu meningkatkan nilainya. Dalam
firman yang menciptakan terungkap suatu pilihan bebas.
Alam semesta tidak timbul sebagai hasil kemahakuasaan
yang sewenang-wenang, unjuk kekuasaan atau keinginan
untuk menegaskan diri. Penciptaan adalah ungkapan cinta.
Kasih Allah adalah motif dasar semua ciptaan: “Engkau
mengasihi segala yang ada, dan Engkau tidak jijik dengan
apa pun yang telah Kauciptakan, sebab Engkau tidak akan
membentuk apa pun yang Engkau benci” (Kebijaksanaan
11:24). Oleh karena itu, setiap makhluk adalah objek
kelembutan hati Bapa yang memberinya tempat di dunia.
Bahkan kehidupan sekilas dari makhluk yang paling hina
adalah objek cinta-Nya, dan dalam beberapa detik hidupnya
ia dirangkul dalam kasih sayang-Nya. Santo Basilius Agung
mengatakan bahwa Sang Pencipta jugalah “kebaikan tanpa
batas”,44 dan Dante Alighieri berbicara tentang “cinta yang
menggerakkan matahari dan bintang-bintang”.45 Karena
itu, kita dapat menanjak dari karya-karya ciptaan “kepada
kebesaran Allah dan rahmat kasih-Nya”.46

78. Pada saat yang sama, pemikiran Yahudi-Kristen mele­


paskan alam dari mitos. Tanpa berhenti untuk mengagumi
kemegahan dan kebesarannya, alam tidak lagi dipandang

44 Homiliae in Hexaemeron (Khotbah-khotbah tentang Enam Hari Penciptaan),


I, 2, 10: PG 29, 9.
45 Divina Comedia, Paradiso, Canto XXXIII, 145.
46 Benediktus XVI, Katekese (9 November 2005), 3: Insegnamenti 1 (2005), 768.

58
sebagai sosok ilahi. Dengan demikian, komitmen kita ter­
hadapnya ditekankan lebih lagi. Gerakan kembali ke alam
tidak boleh mengorbankan kebebasan dan tanggung jawab
manusia, yang merupakan bagian dari dunia dengan
tugas mengembangkan kemampuan mereka sendiri guna
melindungi dunia dan mengembangkan potensinya. Jika
kita mengakui nilai dan kerapuhan alam, dan pada saat
yang sama kemampuan yang telah diberikan kepada
kita oleh Sang Pencipta, kita dapat meninggalkan mitos
modern kemajuan materiil tanpa batas. Sebuah dunia yang
rapuh, yang perawatannya oleh Allah dipercayakan kepada
manusia, menantang kita untuk menemukan jalan-jalan
yang cerdas untuk mengarahkan, mengembangkan, dan
membatasi kekuatan kita.

79. Di alam semesta yang tersusun dari sistem-sistem


terbuka yang berkomunikasi satu sama lain, kita dapat me­
nemukan bentuk-bentuk hubungan dan partisipasi yang
tak terhitung jumlahnya. Hal ini menimbulkan pemikiran
bahwa keseluruhan yang berkembang di dalam Allah, ter­
buka untuk transendensi-Nya. Iman memungkinkan kita
untuk menafsirkan makna dan keindahan misterius dari
apa yang terjadi. Manusia bebas menerapkan kecer­dasannya
bagi perkembangan positif, tetapi juga dapat menjadi
sumber penyakit baru, penyebab baru penderitaan dan ke­
munduran nyata. Inilah yang membuat sejarah manusia
menjadi menarik dan dramatis, di mana kebebasan, per­
tum­buhan, keselamatan dan cinta dapat berkembang, seka­
ligus juga dapat terjadi pembusukan dan penghancuran
satu sama lain. Itulah sebabnya Gereja tidak hanya berusaha
untuk mengingatkan akan tugas perawatan alam, tetapi

59
sekaligus “terutama ia harus melindungi umat manusia dari
penghancuran diri”.47

80. Namun Allah, yang ingin bekerja bersama kita dan


mengandaikan kerja sama kita, dapat juga menarik sesuatu
yang baik dari yang jahat yang kita lakukan, karena “Roh
Kudus memiliki daya cipta yang tak terbatas, milik khas Roh
ilahi, yang dapat memecahkan masalah-masalah kehidupan
manusia, bahkan yang paling rumit dan tak terselami”.48
Allah telah membatasi diri-Nya dengan cara tertentu, ketika
menciptakan dunia yang membutuhkan pengembangan,
di mana banyak hal yang kita anggap buruk, berbahaya,
atau sumber-sumber penderitaan, sebenarnya bagian dari
“rasa sakit bersalin” yang merangsang kita untuk bekerja
sama dengan Sang Pencipta.49 Allah intim hadir dalam
setiap makhluk, tanpa menghilangkan otonomi makhluk
ciptaan-Nya, dan itu pun yang memunculkan otonomi
sah dari realitas duniawi.50 Kehadiran ilahi ini,yang men­
jamin kelanggengan dan perkembangan setiap makhluk,
“meneruskan karya penciptaan”.51 Roh Allah telah mengisi
alam semesta dengan potensi-potensi yang me­mung­kin­
kan munculnya sesuatu yang baru dari dalam makhluk

47 Id., Ensiklik. Caritas in Veritate (Kasih dalam Kebenaran; 29 Juni 2009), 51:
AAS 101 (2009), 687.
48 Yohanes Paulus II, Katekese (24 April 1991), 6: Insegnamenti 14 (1991), 856.
49 Katekismus menjelaskan bahwa Allah ‘ingin menciptakan satu dunia yang
berada “di jalan” menuju kesempurnaannya yang terakhir”, dan bahwa
ini menyiratkan adanya ketidaksempurnaan dan kejahatan fisik; lihat
Katekismus Gereja Katolik, 310.
50 Bdk. Konsili Vatikan Kedua, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia
Modern Gaudium et Spes, 36.
51 Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 104, art. 1 ad 4.

60
itu sendiri: “Alam merupakan karya seni, yakni karya
seni Allah yang dituliskan pada makhluk-makhluk, yang
menyebabkan mereka sendiri bergerak menuju tujuan
tertentu. Seumpama sang pembuat kapal yang memberikan
kemampuan kepada kayu untuk memodifikasi dan mem­
bentuk dirinya menjadi sebuah kapal”.52
81. Meskipun mengandaikan adanya proses evolusi, ma­
nu­sia juga memiliki kebaruan yang tidak dapat dije­laskan
sepenuhnya dari evolusi sistem-sistem terbuka lainnya.
Kita masing-masing memiliki identitas pribadi sendiri,
yang mampu masuk ke dalam dialog dengan orang lain
dan dengan Allah sendiri. Kemampuan kita untuk ber­
pikir, berargumentasi, berkreasi, menafsirkan, mengem­
bang­ kan seni, dan kemampuan-kemampuan lain yang
belum ditemukan, menunjukkan keunikan yang melam­
paui bidang fisika dan biologi. Kebaruan kualitatif yang
ter­sirat dalam kemunculan seorang pribadi pada dunia ma­
teri mengandaikan tindakan langsung dari Allah; sebuah
panggilan khusus bagi kehidupan dan relasi antara Engkau
dengan engkau yang lain. Cerita-cerita Alkitab mengajak
kita untuk melihat manusia sebagai subjek, yang tidak
pernah dapat diturunkan ke status objek.
82. Namun akan keliru juga melihat makhluk-makhluk
hidup lainnya sebagai objek belaka, yang tunduk pada
kuasa manusia yang sewenang-wenang. Memandang
alam seba­gai objek laba dan kepentingan saja, mempunyai
konse­kuensi serius juga bagi masyarakat. Visi yang mendu­
kung kesewenang-wenangan pihak yang paling kuat telah

52 Id., In octo libros Physicorum Aristotelis expositio, lib II, lectio 14.

61
menimbulkan ketimpangan, ketidakadilan dan kekerasan
yang serius bagi sebagian besar umat manusia, karena
sumber daya akhirnya jatuh ke tangan orang yang datang
pertama atau yang paling kuat: pemenang mengambil
segalanya. Cita-cita harmoni, keadilan, persaudaraan dan
perdamaian yang Yesus tawarkan adalah kebalikan dari
model seperti itu, dan berkaitan dengan para penguasa
zaman-Nya Ia menyatakan demikian: “Penguasa-penguasa
bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi
dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan
keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu.
Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah
ia menjadi pelayanmu” (Matius 20:25-26).

83. Tujuan akhir perjalanan alam semesta ditemukan


dalam kepenuhan Allah, yang telah dicapai oleh Kristus
yang bangkit, ukuran kematangan segala sesuatu.53 Dengan
demikian kita menambahkan satu argumen lagi untuk
menolak dominasi despotis (tirani) dan tak bertang­gung­
jawabnya manusia atas makhluk-makhluk lain. Tujuan
akhir mereka bukanlah kita. Semua makhluk bergerak maju
bersama-sama dengan kita dan melalui kita menuju titik
akhir yang sama, yaitu Allah, dalam kepenuhan transenden
di mana Kristus yang bangkit merangkul dan menerangi
segala sesuatu. Manusia yang diberkati dengan kecerdasan

53 Sumbangan Teilhard de Chardin dapat ditempatkan dalam perspektif ini;


lihat Paulus VI, Address in a Chemical and Pharmaceutical Plant (Pidato
dalam Pabrik Kimia dan Farmasi; 24 Februari 1966): Insegnamenti 4 (1966),
992-993; Yohanes Paulus II, Letter to the Reverend George Coyne (1 Juni
1988): Insegnamenti 11/2 (1988), 1715; Benediktus XVI, Homily for the
Celebration of Vespers in Aosta (24 Juli 2009) : Insegnamenti 5/2 (2009), 60.

62
dan cinta, serta ditarik kepada kepenuhan Kristus, dipanggil
untuk mengantar semua makhluk kem­bali kepada Pencipta
mereka.

IV. PESAN SETIAP MAKHLUK


DALAM HARMONI SELURUH CIPTAAN
84. Penegasan kita bahwa manusia adalah gambar Allah,
tidak boleh membuat kita lupa bahwa setiap makhluk
memiliki fungsi sendiri dan tidak ada satu pun yang
berlebihan. Seluruh alam semesta materiil adalah bahasa
cinta Allah, kasih sayang-Nya yang tak terbatas bagi kita.
Tanah, air, gunung, semuanya ibarat belaian Allah. Sejarah
persahabatan kita masing-masing dengan Allah selalu
terkait dengan tempat-tempat tertentu yang mendapat
makna yang sangat pribadi; kita semua ingat tempat-tempat
dengan kenangan yang penuh berkat bagi kita. Orang
yang telah dibesarkan di wilayah pegunungan, atau yang
sebagai anak duduk minum di pinggir kali, atau bermain
di lapangan desanya, ketika kembali ke tempat-tempat itu,
menemukan kembali identitasnya sendiri.
85. Allah telah menulis sebuah buku yang indah “yang
huruf-hurufnya adalah banyaknya makhluk di alam se­
mesta”.54 Para uskup Kanada dengan tepat meng­garis­bawahi
bahwa tiada makhluk yang dikecualikan dari penyataan
diri Allah itu: “Dari pemandangan yang paling luas sampai
ke bentuk kehidupan yang terkecil, alam adalah sumber
keheranan dan kekaguman yang terus-menerus; dan jugal­ah

54 Yohanes Paulus II, Katekese (30 Januari 2002), 6: Insegnamenti 25/1 (2002),
140.

63
wahyu ilahi yang terus-menerus”.55 Para uskup Jepang, dari
pihak mereka, mengingatkan kita akan sesuatu yang sangat
menarik: “Mendengarkan setiap makhluk menyanyikan
him­ne keberadaannya adalah hidup dengan sukacita dalam
kasih Allah dan dalam pengharapan”.56 Menatap karya cip­
ta­
an itu memungkinkan kita untuk menemukan pesan
Allah bagi kita dalam segala-galanya, karena “bagi orang
beriman, menatap dunia ciptaan adalah mendengarkan
pesan, mendengarkan suara yang paradoksal dan hening”.57
Kita dapat mengatakan bahwa “di samping wahyu yang se­
sungg­uhnya, yang terkandung dalam Kitab Suci, ada pula
penyataan ilahi dalam sinar matahari dan dalam jatuh­nya
malam”.58 Dengan memperhatikan penyataan ini, kita belajar
untuk melihat diri kita sendiri dalam hubungan kita dengan
semua makhluk lain: “Saya mengungkapkan diri dalam
meng­ ungkapkan dunia; saya menemukan kesucian saya
sen­­diri ketika saya berusaha mengartikan kesucian dunia”.59
86. Alam semesta sebagai keseluruhan, dalam aneka hu­
bung­annya, mengungkapkan kekayaan Allah yang tak ter­
batas. Santo Thomas Aquinas mencatat dengan bijak bah­
wa keanekaragaman dan pluralitas berasal dari “niat pelaku
pertama,” yang menghendaki agar “apa yang kurang dalam

55 Konferensi Waligereja Katolik Canada, Komisi Bidang Sosial, Surat


Pastoral You Love All that Exists… All Things are Yours, God, Lover of Life”
(Engkau Mencintai Semua yang Ada ... Semuanya Milik-Mu, Allah, Pengasih
Kehidupan; 4 Oktober 2003), 1.
56 Konferensi Waligereja Jepang, Penghormatan untuk Hidup. Pesan untuk
Abad Dua Puluh Satu (1 Januari 2000), 89.
57 Yohanes Paulus II, Katekese (26 Januari 2000), 5: Insegnamenti 23/1 (2000),
123.
58 Id., Katekese (2 Agustus 2000), 3: Insegnamenti 23/2 (2000), 112.
59 Paul Ricœur, Philosophie de la volonté : Finitude et culpabilité, Paris 2009, hlm. 216.

64
masing-masing makhluk untuk menggambarkan kebaikan
ilahi dilengkapi oleh yang lain,”60 karena kebaikan-Nya
“tidak dapat digambarkan secara memadai oleh satu
makhluk”.61 Oleh karena itu, kita perlu memahami ke­
ane­karagaman makhluk-makhluk dalam banyaknya hu­
bungan mereka.62 Maka kita baru memahami pen­tingnya
dan makna dari setiap makhluk jika kita memandangnya
dalam keseluruhan rencana Allah. Seperti diajarkan
dalam Katekismus: “Ketergantungan makhluk-makhluk
satu sama lain dikehendaki Allah. Matahari dan bulan,
pohon aras dan bunga liar, rajawali dan burung pipit—
semua keanekaan dan ketidaksamaan yang tidak terhitung
banyaknya itu mengatakan bahwa tidak ada satu makhluk
pun yang mencukupi dirinya sendiri. Makhluk-makhluk
itu ada hanya dalam ketergantungan satu sama lain untuk
saling melengkapi dalam pelayanan timbal balik”.63

87. Ketika kita menyadari bahwa Allah tercermin dalam


semua yang ada, hati mengalami keinginan untuk memuji
Tuhan karena semua ciptaan-Nya, dan bersama-sama
dengan mereka, seperti dengan indah terungkap dalam
Gita Sang Surya Santo Fransiskus dari Assisi:

“Terpujilah Engkau, Tuhanku,


bersama semua makhluk-Mu,
terutama Tuan Saudara Matahari;
dia terang siang hari, melalui dia kami Kauberi terang.

60 Summa Theologiae, I, q. 47, art. 1.


61 Ibid.
62 Bdk. Ibid., art. 2, ad 1; art. 3.
63 Katekismus Gereja Katolik, No. 340.

65
Dia indah dan bercahaya dengan sinar cahaya yang
cemerlang;
tentang Engkau, Yang Mahaluhur, dia menjadi tanda
lambang.
Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudari bulan dan bintang-bintang,
di cakrawala Kaupasang mereka,
gemerlapan, megah dan indah.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Angin,
dan karena udara dan kabut, langit yang cerah dan segala
cuaca,
dengannya Engkau menopang hidup makhluk ciptaan-Mu.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Air;
dia besar faedahnya, selalu merendah, berharga dan murni.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Api,
dengannya Engkau menerangi malam;
dia indah dan cerah ceria, kuat dan perkasa”.64

88. Para Uskup Brasil telah menekankan bahwa seluruh


alam tidak hanya menyatakan Allah tetapi juga merupakan
tempat kehadiran-Nya. Dalam setiap makhluk tinggallah
Roh-Nya yang memberi hidup dan memanggil kita untuk
masuk ke dalam hubungan dengan Dia.65 Menemukan
kehadiran ini mendorong kita untuk mengembang­ kan
“kebajikan-kebajikan ekologis”. Tetapi ketika menga­takan
66

64 Nyanyian Saudara Matahari, dalam Karya-Karya Fransiskus dari Assisi,


Jakarta: Sekafi, 2000, hlm. 324-325. Catatan penerjemah: Kata “karena”
merupakan kemungkinan yang dipilih untuk menerjemahkan kata asli
“per”. Ada yang berpendapat bahwa kata itu harus diterjemahkan dengan
“melalui”. (through dalam Laudato Si versi Inggris).
65 Bdk. Konferensi Nasional Waligereja Brasil, A Igreja e a Questão Ecológica
(Gereja dan Soal Ekologi; 1992, 53-54.
66 Ibid., 61.

66
hal ini, kita tidak boleh lupa juga bahwa ada jarak yang
tak terbatas antara alam dan Sang Pencipta, dan bahwa
barang-barang dunia tidak memiliki kepenuhan Allah. Jika
tidak, kita akan berbuat salah terhadap makhluk-makhluk,
karena kita gagal melihat tempat mereka yang benar dan
tepat, dan akhirnya kita tak semestinya menuntut kepada
mereka apa yang dalam kelemahan tidak dapat mereka
berikan kepada kita.

V. PERSEKUTUAN UNIVERSAL
89. Makhluk-makhluk dunia ini tidak dapat dianggap se­
bagai barang tanpa pemilik: “mereka adalah milik-Mu, ya
Tuhan, yang mencintai kehidupan” (Kebijaksanaan 11:26).
Ini adalah dasar keyakinan bahwa, karena diciptakan oleh
Bapa yang sama, kita dan semua makhluk alam semesta
disatukan oleh ikatan yang tak kelihatan, dan membentuk
semacam keluarga universal, suatu persekutuan luhur yang
memenuhi kita dengan rasa hormat yang suci, lembut
dan rendah hati. Saya ingin mengingatkan bahwa “Allah
menyatukan kita begitu erat dengan dunia di sekitar kita,
sehingga kita dapat merasakan penggundulan tanah hampir
seperti penyakit pada setiap orang, dan punahnya suatu
spesies bagaikan mutilasi yang menyakitkan”.67

90. Ini tidak berarti bahwa kita menyamaratakan semua


makhluk hidup atau mencabut dari manusia nilainya
yang unik, yang serentak membawa serta tanggung jawab

67 Ajakan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 215: AAS 105
(2013), 1109; Sukacita Injil, Jakarta, DokPen KWI, 2014, hlm. 122.

67
yang sangat besar. Juga tidak disiratkan pengilahian bumi
yang akan mencegah kita dari panggilan untuk bekerja
dengan bumi dan melindunginya dalam kerapuhannya.
Gagasan-gagasan seperti itu akhirnya akan menciptakan
ketidakseimbangan baru yang akan membelokkan kita dari
realitas yang menantang kita.68 Kadang-kadang terlihat
obsesi untuk menyangkal setiap keunggulan pada pribadi
manusia. Semangat besar ditampilkan untuk melindungi
spesies lain lebih daripada membela martabat yang dimiliki
semua manusia dalam derajat yang sama. Tentu saja, kita
harus peduli agar makhluk hidup lainnya tidak diperlaku­
kan secara tidak bertanggung jawab. Tetapi kita harus kesal
khususnya pada ketidaksetaraan besar di antara kita, di
mana kita terus membiarkan ada yang menganggap dirinya
lebih layak daripada yang lain. Kita gagal melihat bahwa ada
yang mendekam dalam penderitaan yang merendahkan,
tanpa jalan keluar, sementara yang lain bahkan tidak tahu
apa yang harus dilakukan dengan apa yang mereka miliki,
memamerkannya dengan kesombongan yang dianggap
keunggulan, dan meninggalkan sampah sedemikian banyak
hingga akan merusak planet ini, seandainya dilakukan oleh
semua. Dalam praktiknya, kita terus menerima bahwa
ada yang menganggap dirinya sebagai manusia yang lebih
daripada yang lain, seolah-olah mereka lahir dengan hak-
hak yang lebih besar.

91. Rasa persatuan mendalam dengan makhluk lain dan


alam tidak mungkin menjadi nyata jika pada saat yang

68 Bdk. Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate (Kasih dalam Kebenaran;


29 Juni 2009), 14: AAS 101 (2009), 650.

68
sama hati kita tidak dipenuhi kelembutan hati, kasih sayang
dan kepedulian terhadap sesama manusia. Inkonsistensi itu
tampak pada mereka yang berjuang melawan perdagangan
hewan langka tetapi tidak peduli sedikit pun dengan
perdagangan manusia, tidak peduli dengan orang miskin,
atau bersikeras untuk menghancurkan manusia lain yang
tidak disukai. Ini membahayakan arti perjuangan kita bagi
lingkungan. Bukan suatu kebetulan bahwa dalam Gita
Sang Surya di mana Santo Fransiskus memuji Allah karena
makhluk-makhluk ciptaan-Nya, ditambahkan: “Terpujilah
Engkau, Tuhanku, karena mereka yang mengampuni demi
kasih-Mu”. Semuanya berkaitan. Kepedulian terhadap
lingkungan perlu bergandengan dengan cinta yang tulus
bagi manusia dan komitmen yang mantap untuk menangani
masalah-masalah masyarakat.

92. Di sisi lain, ketika hati kita benar-benar terbuka untuk


suatu persekutuan universal, tidak ada sesuatu atau seorang
pun yang dikecualikan dari persaudaraan ini. Oleh karena
itu, benar juga bahwa ketidakpedulian atau kekejaman
terhadap makhluk lain di dunia ini cepat atau lambat akan
memengaruhi perlakuan kita terhadap manusia lain. Kita
memiliki hanya satu hati, dan kemalangan yang sama
yang membawa kita kepada tindakan kekerasan terhadap
binatang, akan segera nyata juga dalam hubungan kita
dengan sesama manusia. Setiap kekejaman terhadap makh­
luk apa pun “bertentangan dengan martabat manusia”.69
Kita tidak dapat beranggapan bahwa kita sudah banyak
mengasihi, jika sebagian realitas dikucilkan dari perhatian

69 Katekismus Gereja Katolik, No. 2418.

69
kita: “Perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan adalah
tiga topik yang benar-benar terkait, yang tidak dapat di­
pisahkan dan diperlakukan secara tersendiri tanpa sekali
lagi jatuh ke dalam reduksionisme”.70 Semuanya terhubung;
sebagai manusia, kita semua bersatu sebagai saudara dan
saudari dalam suatu ziarah yang mengagumkan, terjalin
oleh kasih yang Allah tunjukkan bagi setiap makhluk-Nya
dan yang dengan kasih sayang yang lembut menyatukan
kita juga dengan saudara matahari, saudari bulan, saudari
air dan ibu pertiwi.

VI. TUJUAN UMUM HARTA BENDA


93. Entah beriman atau tidak, kita sekarang sepakat
bahwa bumi pada dasarnya adalah warisan bersama;
buahnya harus menjadi berkat untuk semua. Bagi orang-
orang beriman ini merupakan soal kesetiaan kepada Sang
Pencipta, karena Tuhanlah yang menciptakan dunia untuk
semua. Oleh karena itu, setiap pendekatan ekologis harus
meliputi suatu perspektif sosial yang memperhitungkan
hak-hak dasar masyarakat miskin. Prinsip milik pribadi
tunduk pada tujuan universal segala harta, dan karena itu
juga hak universal untuk menggunakannya, adalah “kaidah
emas” dari perilaku sosial, dan “prinsip pertama dari
seluruh tata-tertib sosial-etis”.71 Tradisi Kristen tidak pernah
mengakui hak milik pribadi sebagai hak yang absolut atau

70 Konferensi Waligereja Republik Dominika, Surat Pastoral Sobre la relación


del hombre con la naturaleza (Tentang Relasi Manusia dengan Alam; 21
Januari 1987).
71 Yohanes Paulus II, Ensiklik Laborem Exercens (Dengan Bekerja; 14
September 1981), 19: AAS 73 (1981), 626.

70
tak dapat diganggu gugat, dan menekankan fungsi sosial
setiap bentuk milik pribadi. Santo Yohanes Paulus II dengan
tegas mengingatkan kita pada ajaran yang menyatakan
bahwa “Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh
umat manusia, agar menjadi sumber kehidupan bagi semua
anggotanya, tanpa mengecualikan atau mengutamakan
siapa pun juga”.72 Inilah perkataan yang padat dan kuat.
Dia menekankan bahwa “bentuk pembangunan yang tidak
menghormati dan tidak memajukan hak-hak asasi manusia,
pribadi dan sosial, ekonomis dan politis, termasuk hak-hak
bangsa dan masyarakat, tidak akan sungguh layak untuk
manusia”.73 Dengan sangat jelas ia menerangkan bahwa
“Gereja memang membela hak milik pribadi, namun juga
mengajarkan dengan jelas bahwa pada semua milik pribadi
selalu ada hipotek sosial, agar harta milik digunakan untuk
tujuan umum yang telah diberikan Allah kepadanya”.74 Oleh
karena itu, ia mengingatkan bahwa “tidak sesuai dengan
rencana Allah kalau pemberian ini dikelola sede­mikian rupa
hingga hasilnya hanya menguntungkan be­berapa orang”.75
Ini menimbulkan pertanyaan serius ter­hadap sikap yang
tidak adil sebagian umat manusia.76

72 Ensiklik Centesimus Annus (Tahun Keseratus; 1 Mei 1991), 31: AAS 83


(1991), 831; (Ulang Tahun Keseratus), Jakarta: DokPen KWI, 1991, hlm. 43.
73 Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan Sosial; 30 Desember 1987), 33:
AAS 80 (1988), 557.
74 Pidato untuk Masyarakat Adat dan Petani, Cuilapán, Meksiko (29 Januari
1979), 6: AAS 71 (1979), 209.
75 Homili pada Misa untuk Petani, Recife, Brasil (7 Juli 1980): AAS 72 (1980):
AAS 72 (1980), 926.
76 Bdk. Message for the 1990 World Day of Peace (Pesan untuk Hari Perdamaian
Dunia) 1990, 8: AAS 82 (1990), 152.

71
94. Orang kaya dan miskin memiliki martabat yang sama
karena “Tuhan telah membuat mereka semua” (Amsal
22:2), “Dialah yang menjadikan orang kecil dan orang
besar” (Kebijaksanaan 6:7) dan “Dia menerbitkan matahari
bagi orang yang jahat dan orang yang baik” (Matius 5:45).
Hal ini memiliki konsekuensi praktis, seperti yang telah
ditunjukkan oleh para Uskup Paraguay: “Setiap petani
memiliki hak alamiah untuk memiliki bagian tanah yang
wajar di mana ia dapat membangun rumahnya, bekerja
untuk menghidupi keluarganya dan dapat hidup dengan
aman. Hak ini harus dijamin, agar tidak tinggal ilusi tetapi
dapat dijalankan secara nyata. Ini berarti bahwa selain harta
milik, petani harus punya akses ke pendidikan kejuruan,
kredit, asuransi, dan pasar”.77

95. Lingkungan alam adalah harta kita bersama, warisan


seluruh umat manusia, tanggung jawab semua orang. Jika
sesuatu dijadikan milik kita sendiri, itu hanya untuk me­
ngelolanya demi kesejahteraan semua. Jika tidak, kita mem­
beratkan hati nurani kita dengan beban menyangkal ke­
beradaan orang lain. Itulah sebabnya para Uskup Selandia
Baru bertanya apa artinya perintah “Jangan membunuh”
ketika “dua puluh persen penduduk dunia mengkonsumsi
sumber-sumber daya sedemikian rupa, sehingga mereka
mencuri dari negara-negara miskin dan dari generasi
mendatang, apa yang mereka butuhkan untuk bertahan
hidup”.78

77 Konferensi Waligereja Paraguay ‘, Surat Pastoral El campesino Paraguayo y la


tierra (Petani Paraguay dan tanah; 12 Juni 1983), 2, 4, d.
78 Konferensi Waligereja Selandia Baru, Statement on Environmental Issues
(Pernyataan tentang Isu-isu Lingkungan; 1 September 2006).

72
VII. TATAPAN YESUS
96. Yesus mengangkat kembali iman alkitabiah akan
Allah Sang Pencipta, sambil menekankan suatu kebenaran
mendasar: Allah adalah Bapa (lihat Matius 11:25). Dalam
percakapan dengan murid-murid-Nya, Yesus mengundang
mereka untuk mengenali hubungan kebapaan yang dimiliki
Allah dengan semua makhluk. Ia mengingatkan mereka,
dengan kelembutan hati yang menakjubkan, bagaimana
setiap makhluk adalah penting di mata Allah: “Bukankah
burung pipit dijual lima ekor dua duit? Sungguhpun
demikian tidak seekor pun dari padanya yang dilupakan
Allah” (Lukas 12:6). “Pandanglah burung-burung di langit,
yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengum­
pulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh
Bapamu yang di surga” (Matius 6:26).
97. Tuhan dapat mengundang yang lain untuk mem­
perhatikan keindahan yang ada di dunia, karena Ia
sendiri terus-menerus dalam kontak dengan alam dan
memberinya perhatian yang penuh kasih sayang dan rasa
takjub. Sementara Ia menjelajahi setiap sudut negeri-Nya, Ia
berhenti untuk merenungkan keindahan yang ditaburkan
oleh Bapa-Nya, dan Ia mengajak murid-murid-Nya untuk
menemukan pesan ilahi dalam segala suatu: “Lihatlah
sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah
menguning dan matang untuk dituai” (Yohanes 4: 35)”. “Hal
Kerajaan Surga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan
ditaburkan orang di ladangnya. Memang biji itu yang paling
kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh,
sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan
menjadi pohon” (Matius 13:31-32).

73
yang hadir sejak awal mula: “Segala sesuatu diciptakan
melalui Dia dan untuk Dia” (Kolose 1:16).80 Prolog Injil
Yohanes (1:1‑18) mengungkapkan tindakan penciptaan
Kristus sebagai tindakan Firman ilahi (Logos). Secara tak
terduga prolog itu selanjutnya mengatakan bahwa Firman
itu “menjadi daging” (Yohanes 1:14). Satu Pribadi Allah
Tritunggal masuk ke dalam dunia ciptaan dan menjalani
nasib-Nya bersamanya sampai di kayu salib. Dari awal mula
dunia, tetapi secara khusus sejak Inkarnasi, misteri Kristus
bekerja secara tersembunyi di seluruh realitas alam tanpa
meniadakan otonominya.

100. Perjanjian Baru tidak hanya berbicara tentang Yesus


di bumi dan hubungan-Nya yang konkret dan penuh
kasih dengan dunia. Yesus juga diperlihatkan sebagai yang
bangkit dan mulia, hadir dalam seluruh ciptaan dengan
ketuhanan-Nya yang universal, “Seluruh kepenuhan
Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Allah
memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik
yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia
mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kolose
1:19‑20). Ini membawa kita ke akhir zaman, ketika Anak
akan menyerahkan segala sesuatu kepada Bapa, supaya
“Allah menjadi semua di dalam semua” (1Korintus 15:28).
Dengan cara ini, makhluk-makhluk dunia ini tidak lagi
ditampilkan kepada kita sebagai realitas alamiah saja,
karena Dia Yang Bangkit melingkupi mereka secara rahasia
dan mengarahkan mereka kepada kepenuhan peruntukan

80 Oleh karena itu Santo Yustinus berbicara tentang “benih-benih Sabda” di


dunia; lihat II Apologia 8, 1-2; 13, 3-6: PG 6, 457-458, 467.

74
98. Yesus hidup dalam harmoni penuh dengan dunia
ciptaan, dan orang-orang heran: “Orang apakah Dia ini,
sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?” (Matius
8:27). Ia tidak tampil sebagai petapa yang terpisah dari dunia,
atau musuh dari hal-hal yang menyenangkan dalam hidup.
Dengan mengacu pada diri-Nya sendiri Ia berkata: “Anak
Manusia datang, Ia makan dan minum, dan mereka berkata:
Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum” (Matius 11:19).
Yesus jauh dari filsafat yang memandang rendah tubuh dan
materi dunia ini. Namun demikian, dualisme yang tidak
sehat itu telah sangat berpengaruh pada beberapa pemikir
Kristen sepanjang sejarah, dan memberi gambaran yang
cacat tentang Injil. Yesus bekerja dengan tangan-Nya, dalam
kontak langsung setiap hari dengan materi yang diciptakan
oleh Allah dan Ia beri bentuk dengan keterampilan-Nya.
Cukup mengejutkan bahwa sebagian besar hidup-Nya telah
dibaktikan kepada tugas itu dalam hidup sederhana yang
tidak menimbulkan kekaguman apa pun: “Bukankah Ia ini
tukang kayu, anak Maria?” (Markus 6:3). Dengan cara itu
Ia telah menguduskan pekerjaan manusia dan memberinya
nilai khusus untuk pengembangan kita. Santo Yohanes
Paulus II mengajarkan: “Dengan menanggung jerih payah
pekerjaan dalam persatuan dengan Kristus yang disalibkan
untuk kita, manusia dengan salah satu cara bekerja sama
dengan Anak Allah untuk penebusan umat manusia”.79

99. Dalam pemahaman Kristen tentang realitas, per­


untukan seluruh ciptaan berjalan melalui misteri Kristus

79 Ensiklik Laborem Exercens (Dengan Bekerja; 14 September 1981), 27: AAS


73 (1981), 645.

75
mereka. Bahkan bunga-bunga di ladang dan burung-burung
yang ditatap dengan mata manusia-Nya dan dikagumi-Nya,
kini dipenuhi dengan cahaya kehadiran-Nya.

76
Sumber: http://www.earthisland.org/eijournal/autumn2013; diunduh pada 31-08-2015; pkl. 09.00 WIB
~ BAB TIGA ~

AKAR MANUSIAWI
KRISIS EKOLOGIS

101. Akan tidak berguna untuk menggambarkan gejala-


gejala krisis ekologis tanpa mengakui akarnya dalam ma­
nusia. Terdapat suatu cara memahami hidup dan aktivitas
manusia yang keliru dan bertentangan dengan realitas
dunia hingga merugikannya. Mengapa kita tidak berhenti
sejenak untuk memikirkannya? Dalam refleksi ini, saya
mengusulkan agar kita fokus pada paradigma teknokratis
yang dominan serta tempat manusia dan aktivitasnya di
dunia.

I. TEKNOLOGI: KREATIVITAS DAN KUASA


102. Umat manusia telah memasuki era baru dengan ke­
kuatan teknologi yang menempatkan kita di persimpang­
an jalan. Kita mewarisi hasil dua abad gelombang peru­
bahan yang sangat besar: mesin uap, kereta api, telegraf,
listrik, mobil, pesawat terbang, industri kimia, obat-obatan
modern, teknologi informasi, dan baru-baru ini revolusi
digital, robot, bioteknologi dan nanoteknologi. Tepatlah
untuk bersukacita atas kemajuan ini, dan bersemangat
dengan peluang-peluang besar yang terus dibuka bagi kita
oleh hal-hal yang baru itu, karena “ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah hasil yang indah dari kreativitas manusia,
yang diberikan Allah”.81 Transformasi alam untuk tujuan
yang berguna menjadi karakteristik umat manusia sejak
awal; teknologi “mengungkapkan kecondongan akal budi
manusia untuk mengatasi keterbatasan materi setahap
demi setahap”.82 Teknologi telah membantu mengatasi hal-
hal buruk yang tak terhitung jumlahnya yang menghambat
dan membatasi manusia. Bagaimana kita tidak akan
menghargai dan mensyukuri kemajuan teknologis itu,
terutama di bidang kedokteran, teknik, dan komunikasi?
Dan bagaimana kita tidak akan mengakui upaya banyak
ilmuwan dan teknisi yang telah menghasilkan pelbagai
alternatif untuk pembangunan berkelanjutan?

103. Ilmu teknik yang diarahkan dengan baik, dapat meng­


hasilkan sarana yang sungguh berharga untuk mening­kat­
kan kualitas hidup manusia, mulai dari peralatan rumah
tangga yang bermanfaat hingga sarana-sarana raksasa
berupa sistem transportasi, jembatan, bangunan, tempat
umum. Ilmu teknik juga mampu menghasilkan hal-hal yang
indah dan membantu manusia yang tenggelam dalam dunia
materi untuk melompat ke dalam dunia kesenian. Siapa
yang bisa menyangkal keindahan pesawat terbang, atau
sejum­lah pencakar langit? Karya seni dan musik sekarang
me­man­faatkan teknologi baru. Jadi, dalam keindahan yang
dikejar oleh mereka yang menggunakan instrumen teknis
baru dan dalam permenungan atas keindahan tersebut, ter­
jadi lompatan menuju kepenuhan kemanusiaan yang khas.

81 Yohanes Paulus II, Address to Scientists and Representatives of the United


Nations University, Hiroshima (25 Februari 1981), 3: AAS 73 (1981), 422.
82 Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), 69: AAS 101
(2009), 702.

79
104. Namun, harus juga diakui bahwa energi nuklir, bio­
teknologi, teknologi informatika, pengetahuan tentang
DNA kita sendiri, dan kemampuan-kemampuan lainnya
yang telah kita peroleh, memberi kita kekuasaan yang luar
biasa. Lebih tepat, semuanya itu memberikan kekuasaan
yang memesona atas seluruh umat manusia dan seluruh
dunia bagi mereka yang memiliki pengetahuan, terutama
kekuatan ekonomis untuk menerapkannya. Belum pernah
umat manusia memiliki kekuasaan yang begitu besar atas
dirinya sendiri; dan tidak ada jaminan bahwa itu akan
selalu digunakan dengan baik, terutama bila kita mem­
perhatikan bagaimana itu saat ini sedang digunakan. Ingat
saja bom atom yang dijatuhkan di pertengahan Abad XX,
dan pengembangan teknologi yang diperlihatkan oleh
Nazisme, komunisme dan rezim totaliter lainnya untuk
memusnahkan jutaan orang. Dan jangan lupa bahwa perang
saat ini membawa persenjataan yang sangat mematikan.
Kekuasaan begitu besar terdapat di tangan siapa, dan dapat
jatuh ke tangan yang mana? Sangat membahayakan bahwa
itu menjadi milik sebagian kecil umat manusia.

105. Ada kecenderungan untuk percaya “bahwa setiap


peningkatan kekuasaan, dengan sendirinya membawa
‘kemajuan’ dan peningkatan dalam hal keamanan, faedah,
kesejahteraan, daya hidup, keutuhan nilai-nilai”,83 seolah-
olah kenyataan, kebaikan, dan kebenaran otomatis
mengalir dari kekuatan teknologi dan ekonomi itu sendiri.
Faktanya adalah “manusia modern belum menerima

83 Romano Guardini, Das Ende der Neuzeit, Würzburg9 1965, 87. (bahasa
Inggris: The End of the Modern World, Wilmington 1998, 82).

80
pendidikan yang diperlukan untuk menggunakan kekua­
saannya dengan baik”,84 karena kemajuan besar teknologi
belum disertai dengan pengembangan manusia dalam hal
tanggung jawab, nilai-nilai, dan hati nurani. Setiap zaman
condong kurang menyadari keterbatasannya sendiri. Oleh
karena itu, ada kemungkinan bahwa manusia sekarang tidak
memahami beratnya tantangan yang dihadapi saat ini, dan
bahwa “kemungkinan bahwa manusia menyalahgunakan
kekuasaannya, bertambah besar” ketika “tidak ada
norma-norma kebebasan, tetapi orang mengira hanya
mem­butuhkan manfaat dan keamanan”.85 Manusia tidak
sepenuhnya otonom. Kebebasan manusia memudar ketika
menyerahkan diri kepada kekuatan buta dorongan bawah
sadar, kebutuhan langsung, keegoisan, dan kekerasan.
Dalam hal ini, manusia tidak terlindung dari kekuasaannya
sendiri yang terus meningkat, tanpa ada sarana untuk
mengontrolnya. Ia mungkin memiliki beberapa mekanisme
yang dangkal, tetapi kita tidak dapat mengklaim bahwa
manusia saat ini memiliki etika yang kuat, budaya dan
spiritualitas yang benar-benar menetapkan batas-batas dan
mencerahkan dia untuk menahan diri.

II. GLOBALISASI PARADIGMA


TEKNOKRATIS
106. Masalah mendasar lain yang lebih mendalam ialah
cara manusia mengadopsi teknologi dan perkembangannya
dengan paradigma yang seragam dan hanya dari satu sudut

84 Ibid.
85 Ibid., 87-88 ( The End of the Modern World, 83).

81
pandang. Model ini mengagungkan konsep subjek yang,
dengan menggunakan prosedur yang logis dan rasional,
langkah demi langkah mendekati dan mengontrol objek
yang ada di luar. Subjek berusaha mengembangkan
metode ilmiah dengan eksperimen-eksperimen yang
sudah jelas merupakan teknik kepemilikan, penguasaan,
dan transformasi. Seolah-olah subjek berada di hadapan
sesuatu yang belum berbentuk, sepenuhnya tersedia
untuk dimanipulasi. Manusia selalu campur tangan atas
alam, tetapi untuk waktu yang lama aktivitas itu berciri
mendukung sambil menyesuaikan diri pada kemungkinan
yang ditawarkan oleh benda-benda alam sendiri. Manusia
menerima apa yang diizinkan oleh kenyataan alam sendiri,
yang sepertinya mengulurkan tangannya. Kini, sebaliknya
campur tangan manusia berniat memeras sebanyak mungkin
segala benda, sambil mengabaikan atau melupakan kenya­
taan yang ada di depannya. Itulah sebabnya manusia dan
benda-benda alam tidak lagi ramah saling mengulurkan
tangan; hubungan telah menjadi konfrontatif. Dari situ orang
dengan mudah menerima gagasan pertumbuhan tanpa
batas, yang telah menggairahkan banyak ekonom, pemodal,
dan teknolog. Gagasan itu didasarkan pada kebohongan
tentang persediaan sumber daya alam yang tak terbatas, yang
menyebabkan planet ini diperas habis-habisan. Ada asumsi
yang salah bahwa “persediaan energi dan sumber daya itu tak
terbatas untuk dimanfaatkan, bahwa regenerasinya terjadi
dengan cepat, dan bahwa efek-efek negatif dari manipulasi
tatanan alam dengan mudah dapat diserap”.86

86 Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran


Sosial Gereja, 462.

82
107. Dapat dikatakan bahwa akar banyaknya masalah
dunia saat ini terutama kecenderungan, yang tidak selalu
disadari, untuk menjadikan metode dan tujuan ilmu-ilmu
teknik sebagai paradigma pemahaman yang dipaksakan
bagi kehidupan individu dan cara kerja masyarakat.
Efek dari penerapan paradigma itu pada seluruh realitas,
manusia dan masyarakat, menjadi nyata dalam degradasi
lingkungan, tetapi itu hanya satu tanda dari reduksionisme
yang mempengaruhi kehidupan manusia dan masyarakat
dalam semua dimensinya. Perlu diakui bahwa produk-
produk teknologi tidak netral karena mereka menciptakan
kerangka kerja yang pada akhirnya membentuk gaya hidup,
dan mengarahkan peluang-peluang dalam masyarakat ke
arah kepentingan kelompok-kelompok berkuasa tertentu.
Beberapa pilihan yang tampaknya hanya mengenai
peralatan, dalam kenyataannya, adalah pilihan tentang jenis
kehidupan sosial yang ingin dikembangkan.

108. Ide untuk mempertahankan paradigma budaya yang


berbeda dan menggunakan teknologi hanya sebagai ins­
trumen, saat ini tak terbayangkan. Paradigma teknologi
sudah menjadi begitu dominan sehingga akan sangat sulit
untuk mengabaikan segala sumber dayanya, dan lebih sulit
lagi untuk menggunakannya tanpa didominasi oleh pola
pikirnya. Telah menjadi tindakan kontra-budaya untuk
memilih gaya hidup dengan tujuan-tujuan yang dapat,
setidaknya sebagian, independen dari teknologi, dari biaya,
dan dari kuasa yang menjadikan segalanya global dan
massal. Sesungguhnya, teknologi cenderung menyerap
segala sesuatu ke dalam logikanya yang ketat, dan mereka
yang hidup di tengah teknologi “tahu benar bahwa apa yang

83
pada akhirnya diperjuangkan dalam bidang ini bukanlah
manfaat, dan bukanlah kesejahteraan umat manusia, tetapi
dominasi: suatu dominasi dalam arti yang paling ekstrem
dari kata itu”.87 Untuk itu “orang berusaha merebut segala
unsur alam dan kehidupan manusia”.88 Kemampuan kita
untuk membuat keputusan, kebebasan yang paling otentik,
dan ruang untuk suatu kreativitas alternatif masing-masing
orang, sudah berkurang.

109. Paradigma teknokratis juga cenderung untuk men­


dominasi bidang ekonomi dan politik. Ekonomi menerima
setiap kemajuan teknologi yang membawa keuntungan,
tanpa memperhatikan kemungkinan dampak negatif bagi
manusia. Dunia keuangan melemahkan ekonomi riil.
Kita belum belajar dari krisis keuangan global, dan kita
terlambat belajar dari kerusakan lingkungan. Beberapa
kalangan mempertahankan pandangan bahwa ekonomi dan
teknologi sekarang ini akan menyelesaikan semua masalah
lingkungan. Demikian pula, dikatakan, dalam bahasa yang
kurang akademis, bahwa masalah kelaparan dan kemiskinan
di dunia akan diselesaikan melalui pertumbuhan pasar saja.
Ini bukan soal keabsahan teori ekonomi yang mungkin
saat ini tidak seorang pun berani pertahankan, tetapi soal
penerapannya dalam pengembangan ekonomi. Mereka
yang mungkin tidak mengiakan teori tersebut dengan kata-
kata, tetap mendukungnya dengan perbuatan yang tidak
menunjukkan perhatian pada tingkat produksi yang lebih

87 Romano Guardini, Das Ende der Neuzeit, 63-64 (The End of the Modern
World, 56).
88 Ibid., 64 (The End of the Modern World, 56).

84
seimbang, distribusi kekayaan yang lebih baik, kepedulian
terhadap lingkungan, dan hak-hak generasi mendatang.
Perilaku mereka menunjukkan bahwa hal memaksimalkan
keuntungan sudah cukup bagi mereka. Tetapi pasar tidak
dengan sendirinya menjamin pengembangan manusia
secara integral atau pelibatan sosial.89 Pada saat yang
sama, kita menyaksikan “semacam ‘superdevelopment’
berbentuk hidup boros dan konsumtif, yang harus ditolak
karena kontras dengan situasi penderitaan tak manusiawi
yang berlangsung terus”;90 sementara kita amat terlambat
dalam mengembangkan lembaga-lembaga ekonomi dan
prakarsa sosial yang dapat memberi orang miskin akses
teratur ke sumber-sumber daya yang mendasar. Kita gagal
untuk melihat akar terdalam dari ketimpangan saat ini
yang terkait dengan arah, tujuan, makna, dan konteks sosial
perkembangan teknologi dan ekonomi.

110. Spesialisasi dalam teknologi sendiri membuatnya


sangat sulit untuk melihat keseluruhan. Fragmentasi pe­
ngetahuan bermanfaat dalam mengadakan aplikasi kon­
kret, tetapi sering menyebabkan hilangnya kepekaan
untuk keseluruhan, untuk hubungan antara pelbagai hal,
dan untuk cakrawala lebih luas yang menjadi tidak relevan.
Hal ini mempersulit penemuan cara yang memadai untuk
memecahkan masalah-masalah yang paling kompleks di
dunia sekarang, terutama yang berkaitan dengan ling­
kungan dan kaum miskin; masalah-masalah ini tidak

89 Bdk. Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), 35: AAS
101 (2009), 671.
90 Ibid, 22: hlm. 657.

85
dapat ditangani dari satu perspektif atau dengan satu jenis
kepentingan saja. Sebuah ilmu yang mengklaim dapat
mena­warkan solusi untuk masalah-masalah yang besar
harus selalu memperhitungkan data yang dihasilkan oleh
bidang-bidang pengetahuan lain, termasuk filsafat dan
etika sosial. Tetapi kebiasaan itu sulit didapatkan dewasa
ini. Karena itu juga, tidak dapat ditemukan cakrawala
etika yang benar dan yang dapat menjadi rujukan.
Hidup ini lama-kelamaan diserahkan kepada keadaan
yang dibentuk oleh teknologi, yang dipandang sebagai
kunci utama untuk memaknai eksistensi. Dalam realitas
konkret yang menantang kita, tampaklah berbagai gejala
yang menunjukkan kekeliruan ini, seperti kerusakan
lingkungan, kecemasan, kehilangan tujuan hidup dan
hidup bersama. Hal ini menunjukkan, sekali lagi, bahwa
“kenyataan lebih penting daripada gagasan”.91

111. Budaya ekologis tidak dapat direduksi menjadi


serangkaian jawaban mendesak dan parsial atas masalah-
masalah yang sedang muncul dalam kaitan dengan
kerusakan lingkungan, menipisnya cadangan sumber daya
alam, dan polusi. Dibutuhkan cara pandang yang berbeda,
cara berpikir, kebijakan, program pendidikan, gaya hidup
dan spiritualitas, yang membangun daya tahan terhadap
serangan paradigma teknokratis. Jika tidak, inisiatif-inisiatif
ekologis yang terbaik pun akhirnya dapat terjebak dalam
pola pikir global yang sama. Hanya mencari solusi teknis
untuk masing-masing masalah lingkungan yang muncul,

91 Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 231: AAS 105
(2013), 1114; Sukacita Injil, Jakarta, DokPen KWI, 2014, hlm. 128.

86
adalah mengisolasi hal-hal yang dalam kenyataan saling
berhubungan, dan itu berarti menutupi masalah-masalah
yang benar dan paling mendalam dari sistem global.

112. Namun, kita dapat kembali memperluas visi kita.


Manusia memiliki kebebasan yang mampu membatasi
teknologi dan mengarahkannya; menggunakannya untuk
cara kemajuan lain, yang lebih sehat, lebih manusiawi,
lebih sosial, lebih utuh. Pembebasan dari paradigma tek­
no­kratis yang dominan, ada kalanya betul terjadi, misal­
nya, ketika koperasi produsen kecil memilih proses pro­
duksi yang ramah lingkungan, sambil memilih gaya
hidup, kebahagiaan, dan hidup bersama yang non-kon­
sumtif; atau ketika teknologi terutama diarahkan pada
penye­le­saian masalah konkret orang lain, dalam semangat
mem­bantu mereka untuk hidup lebih bermartabat dan
kurang menderita; juga ketika kekuatan yang memandang
sega­ la­
nya sebagai objek, dapat diatasi oleh dorongan
untuk men­ ciptakan dan menatap hal-hal yang indah,
sehingga terwu­judlah keselamatan dalam hal indah dan
manusia yang me­ re­­
nungkannya Kemanusiaan otentik
yang mengundang kita pada suatu sintesis baru, tampak
tetap bersemayam di tengah peradaban teknologi, meski
hampir tak kentara, seperti kabut yang masuk dari bawah
pintu yang tertutup. Apakah janji ini akan berkelanjutan,
dan tetap memancar sebagai tanda perlawanan tegas dari
sisi semuanya yang otentik?

113. Di sisi lain, orang tampaknya tidak lagi percaya pada


masa depan yang bahagia; mereka tidak lagi menaruh
kepercayaan yang buta kepada masa depan yang lebih baik

87
berdasarkan keadaan dunia sekarang dan kemampuan
teknis saat ini. Mereka menjadi sadar bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak dapat disamakan dengan
kemajuan umat manusia dan sejarah, dan mereka melihat
bahwa jalan-jalan utama menuju masa depan yang bahagia
adalah berbeda. Namun, mereka tidak membayangkan untuk
melepaskan kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan
oleh teknologi. Umat manusia telah berubah secara radikal,
dan akumulasi hal-hal baru terus-menerus mendangkal­kan
dan menyeret kita pada satu arah, pada pemukaan saja. Sulit
untuk berhenti sejenak menemukan kembali kedalaman
hidup. Bila benar bahwa arsitektur mencerminkan sema­
ngat zaman, gedung-gedung raksasa dan apartemen-
apartemen yang mirip-mirip mengekspresikan semangat
teknologi yang mengglobal; membanjirnya produk-produk
baru menyatu dengan kebosanan konstan. Mari kita
menolak untuk menyerah kepada keadaan itu, dan berani
bertanya tentang tujuan dan makna segala sesuatu. Kalau
tidak, kita hanya akan melegitimasi situasi sekarang dan
terus membutuhkan lebih banyak barang pengganti untuk
mengisi kekosongan.

114. Apa yang sekarang sedang terjadi, mendesak kita un­tuk


bergerak maju dalam sebuah revolusi budaya yang berani.
Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak netral, tetapi dapat
melibatkan, dari awal sampai akhir prosesnya, berbagai
niat dan kemungkinan, dan dapat mengambil bentuk yang
berbeda-beda. Tidak ada yang menyarankan untuk kembali
ke zaman batu, namun sangat penting untuk memperlambat
langkah dan melihat realitas dengan cara lain, menyambut
baik kemajuan yang positif dan berkelanjutan, dan pada

88
saat yang sama memulihkan kembali nilai-nilai dan tujuan-
tujuan agung yang hancur karena manusia menganggap
dirinya besar tanpa adanya kendali.

III. KRISIS DAN EFEK


ANTROPOSENTRISME MODERN
115. Antroposentrisme modern, secara berlawanan,
akhirnya menaruh pola pikir teknis di atas realitas, karena
manusia “tidak lagi merasakan alam sebagai norma yang
berlaku, atau sebagai tempat berlindung yang hidup.
Ia melihat alam tanpa prasyarat, sebagai objek, sebagai
ruang dan bahan untuk dikerjakan. Segalanya dibuang ke
situ, tidak peduli apa yang terjadi”.92 Dengan demikian,
nilai yang ada pada dunia sendiri melemah. Jika manusia
tidak menemukan kembali tempatnya yang benar, ia tidak
mengerti dirinya dan akhirnya membantah realitasnya
sendiri: “Allah bukan saja mengaruniakan bumi kepada
manusia, yang harus mengolahnya dengan mematuhi
tujuan awal mengapa bumi itu dianugerahkan kepadanya,
namun Allah juga mengaruniakan manusia kepada dirinya
sendiri. Maka manusia wajib juga menghormati struktur
kodrati dan moril yang telah diterimanya dari Allah”.93
116. Di zaman modern telah berkembang antroposen­
trisme berlebihan yang, dalam bentuk-bentuk lain, terus
menghalangi setiap pemahaman bersama dan setiap upaya
untuk memperkuat ikatan sosial. Oleh karena itu, sekarang

92 Romano Guardini, Das Ende der Neuzeit, 63 ( The End of the Modern World, 55).
93 Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), 38: AAS 83
(1991), 841; (Ulang Tahun ke Seratus), Jakarta: DokPen KWI, 1991, hlm. 52.

89
saatnya untuk kembali memperhatikan realitas dengan
batas-batas yang ia tetapkan, dan yang pada gilirannya
memungkinkan suatu pembangunan manusiawi dan sosial
yang lebih sehat dan lebih subur. Presentasi yang kurang
memadai tentang antropologi Kristen dapat menimbulkan
kesalahpahaman tentang hubungan antara manusia dan
dunia. Yang seringkali disajikan adalah visi penguasaan
dunia ala Prometheus, yang memberi kesan bahwa per­
lindungan alam hanya untuk yang lemah. Konsep ma­nusia
sebagai “tuan” atas alam semesta harus dipahami lebih baik
dalam arti pengelola yang bertanggung jawab. 94

117. Kurangnya perhatian untuk menghitung kerugian


terhadap alam dan mengukur dampak ekologis dari
keputusan kita hanyalah tanda paling nyata dari kurangnya
minat akan pesan yang tertulis dalam struktur alam
sendiri. Apabila orang tidak secara nyata mengakui nilai
orang miskin, embrio manusia, atau orang yang cacat—
untuk menyebut beberapa contoh saja—akan sulit untuk
mendengarkan jeritan alam sendiri. Semuanya terhubung.
Jika manusia menyatakan diri otonom terhadap realitas dan
bertindak sebagai penguasa mutlak, dasar kehidupannya
mulai runtuh, karena “bukannya menjalankan tugasnya
bekerja sama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau
menggantikan tempat Allah dan dengan demikian akhirnya
membangkitkan pemberontakan alam”.95

94 Bdk. Love for Creation. An Asian Response to the Ecological Crisis, Pernyataan
seminar yang diselenggarakan oleh FABC (Tagatay, 31 Januari - 5 Februari
1993), 3.3.2.
95 Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), 37: AAS 83
(1991), 840; (Ulang Tahun ke Seratus), Jakarta: DokPen KWI, 1991, hlm. 52.

90
118. Situasi ini membawa kita ke suatu skizofrenia yang
tetap, yang bergerak dari pengagungan teknokrasi yang
tidak mengakui nilai intrinsik makhluk-makhluk lain,
sampai ke reaksi yang menolak nilai khusus apa pun kepada
manusia. Tetapi kemanusiaan tidak dapat diabaikan. Tidak
akan ada hubungan baru dengan alam tanpa manusia
yang dibaharui. Tidak ada ekologi tanpa antropologi yang
memadai. Apabila pribadi manusia dianggap sebagai salah
satu makhluk dari antara yang lain saja, hasil dari suatu
permainan yang kebetulan atau dari determinisme fisik,
“kesadaran akan tanggung jawabnya terancam berkurang
dalam diri manusia”.96 Sebuah antroposentrisme sesat
tak perlu diganti dengan “biocentrism”, karena itu akan
berarti membawa ketidakseimbangan baru, yang bukan
memecahkan masalah tetapi menambah masalah. Manusia
tidak dapat diharapkan melibatkan diri penuh hormat
ke dalam dunia, jika tidak serentak ada pengakuan dan
penghargaan terhadap kemampuannya yang unik berupa
pengetahuan, kehendak, kebebasan, dan tanggung jawab.

119. Kritik terhadap antroposentrisme yang sesat tidak


perlu juga menomorduakan pentingnya hubungan antar­
manusia. Jika krisis ekologi merupakan sinyal atau mani­
festasi lahiriah dari krisis etis, spiritual, dan kultural di
zaman modern, kita tidak dapat memulihkan relasi kita
dengan alam dan lingkungan tanpa menyembuhkan selu­
ruh relasi manusia yang mendasar. Pemikiran Kristen
mempertahankan nilai khusus bagi manusia dibandingkan

96 Benediktus XVI, Message for the 2010 World Day of Peace (Pesan untuk Hari
Perdamaian Dunia 2010), 2: AAS 102 (2010), 41.

91
dengan makhluk lain; hal ini membawa serta penghargaan
bagi setiap pribadi manusia, dan meminta pengakuan akan
orang lain. Keterbukaan terhadap orang lain sebagai “engkau”
yang mampu mengetahui, mencintai dan berdialog, tetap
mencerminkan keluhuran pribadi manusia. Oleh karena
itu, untuk relasi yang tepat dengan dunia ciptaan, kita tidak
perlu melemahkan dimensi sosial manusia maupun dimensi
transendennya, keterbukaannya terhadap “Engkau” yang
ilahi. Memang, kita tidak dapat membayangkan hubungan
dengan lingkungan alam yang dipisahkan dari hubungan
dengan orang lain dan dengan Allah. Itu individualisme
romantis, yang menyamar dalam pakaian indah ekologis,
dan mengurung kita dalam imanensi yang menyesakkan.

120. Karena semuanya saling terkait, pelestarian alam


tidak kompatibel pula dengan pembenaran aborsi. Bagai­­
mana kita dapat mengajarkan pentingnya kepedulian
terhadap yang lemah di sekitar kita, yang ada kalanya
mengganggu atau tidak nyaman, jika kita gagal melindungi
embrio manusia, juga ketika kedatangannya membawa
ketidak­tenteraman dan kesulitan? “Jika kepekaan pribadi
dan masyarakat terhadap penerimaan hidup baru hilang,
maka bentuk-bentuk penerimaan lain yang berguna untuk
hidup masyarakat juga layu”.97

121. Kita masih perlu mengembangkan sintesis baru yang


mampu mengatasi pemikiran palsu beberapa abad terakhir.
Kekristenan sendiri, tetap setia kepada identitasnya dan
kepada harta kebenaran yang diterima dari Yesus Kristus,

97 Id., Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), 28: AAS 101 (2009), 663.

92
selalu merenungkan dan menyatakannya kembali dalam
dialog dengan situasi-situasi sejarah yang baru. Dengan
demikian, terungkaplah kebaruannya yang abadi.98

Relativisme praktis
122. Sebuah antroposentrisme yang menyimpang mendo­­
rong gaya hidup yang menyimpang. Dalam Anjuran Apos­
tolik Evangelii Gaudium, saya merujuk ke relativisme
praktis yang menjadi ciri khas zaman kita, dan yang “lebih
ber­bahaya daripada relativisme doktrinal”.99 Ketika ma­
nusia menempatkan dirinya di pusat, ia akhirnya mem­
berikan prioritas tertinggi kepada kepentingannya yang
sesaat, dan semuanya yang lain menjadi relatif. Karena
itu, tidak mengherankan bahwa bersamaan dengan para­
digma teknokratis yang dominan dan pemujaan kuasa
manusia yang tak terbatas, berkembang suatu relativisme
yang menganggap segala sesuatu yang tidak langsung
melayani kepentingannya sendiri, juga tidak penting lagi.
Dalam semuanya ini ada logika yang membantu mema­
hami bagaimana sikap-sikap tertentu yang menyebabkan
kerusakan lingkungan maupun kerusakan sosial, saling
memupuk.

123. Budaya relativisme adalah penyakit yang sama yang


mendorong seseorang untuk mengeksploitasi sesamanya

98 Bdk. Vincent dari Lérins, Commonitorium Primum, ch. 23: PL 50, 688: “Ut
annis scilicet consolidetur, dilatetur tempore, sublimetur Aetate” (tentang
perkembangan dogma sehingga dikonsolidasikan oleh tahun-tahun,
diperluas oleh waktu, diangkat oleh umur).
99 Evangelii Gaudium, N. 80: AAS 105 (2013), 1053; Sukacita Injil, Jakarta:
DokPen KWI, 2014, hlm. 51.

93
dan memperlakukannya sebagai objek saja, dengan mewa­
jibkannya untuk kerja paksa, atau memperbudaknya karena
utang. Cara berpikir yang sama mendorong eksploitasi
seksual terhadap anak-anak atau penelantaran orang
lansia yang tidak lagi berguna untuk kepentingan pribadi.
Ini pun pola berpikir orang yang mengatakan, ‘Biarkan
kekuatan pasar yang tak kelihatan mengatur ekonomi,
karena pelbagai dampaknya terhadap masyarakat dan alam
merupakan kerugian yang tak dapat dielakkan. Jika tidak
ada kebenaran objektif atau prinsip-prinsip yang kuat selain
realisasi proyek-proyek pribadi dan pemuasan kebutuhan
mendesak, bagaimana dapat dibatasi perdagangan ma­
nusia, kejahatan terorganisasi, perdagangan narkoba, dan
perdagangan “berlian berdarah” atau kulit satwa yang
terancam punah? Bukankah logika relativisme yang sama
membenarkan pembelian organ orang-orang miskin untuk
dijual kembali atau digunakan dalam eksperimen, atau
membenarkan pembuangan anak-anak karena mereka
tidak memenuhi keinginan orang tuanya? Ini sama dengan
logika “pakai dan buang”, yang menghasilkan begitu ba­
nyak sampah, hanya karena keinginan tak teratur untuk
mengkonsumsi lebih banyak daripada yang sebenarnya
dibu­tuhkan. Oleh karena itu, jangan kita berpikir bahwa
upaya politik dan kekuatan hukum akan cukup untuk
mencegah perilaku yang berdampak pada lingkungan,
karena apabila kebudayaan sudah korup dan kita tidak lagi
me­ngakui kebenaran objektif atau prinsip-prinsip yang
berlaku universal, hukum hanya dilihat sebagai pemaksaan
yang sewenang-wenang dan sebagai kendala yang perlu
dihindari.

94
Kebutuhan untuk melestarikan pekerjaan
124. Dalam setiap pendekatan ekologi integral, yang
tidak mengecualikan manusia, harus diperhitungkan nilai
pekerjaan, yang diuraikan dengan penuh hikmat oleh
Santo Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Laborem Exercens.
Ingat, menurut kisah penciptaan dalam Alkitab, Allah
menempatkan manusia dalam suatu kebun yang baru
saja diciptakan (lihat Kejadian 2:15) tidak hanya untuk
melestarikan apa yang ada (memelihara) tetapi juga untuk
mengerjakannya agar menghasilkan buah (mengusahakan).
Dengan demikian, para pekerja dan pengrajin “menopang
tata dunia” (Sirakh 38:34). Pada kenyataannya, campur
tangan manusia untuk mengembangkan dunia ciptaan
dengan cermat, adalah bentuk pemeliharaan yang paling
tepat karena berarti bahwa kita memandang diri sebagai
sarana Allah untuk membantu mewujudkan potensi yang
telah Allah sendiri letakkan dalam segalanya: “Tuhan
membuat obat-obatan tumbuh dari bumi, dan orang yang
arif tidak mengabaikannya” (Sirakh 38:4).

125. Jika kita mencoba merenungkan hubungan yang


tepat antara manusia dan dunia di sekitar kita, muncullah
kebutuhan akan pemahaman yang tepat terhadap pe­ker­
jaan; sebab jika kita berbicara tentang hubungan antara
manusia dan hal-hal lain, muncullah pertanyaan tentang
arti dan tujuan semua aktivitas manusia. Hal ini bukan
hanya menyangkut kerja tangan atau pertanian tetapi
setiap aktivitas yang membawa serta perubahan dari apa
yang ada, mulai dari pengembangan penelitian sosial
sampai dengan proyek pengembangan teknologi. Setiap
bentuk pekerjaan mengandaikan suatu pemahaman akan

95
relasi yang dapat, atau harus dibangun manusia dengan
sesamanya. Bersamaan dengan kekaguman kontemplatif
ter­hadap dunia ciptaan seperti yang kita temukan pada
Santo Fransiskus dari Assisi, Spiritualitas Kristen juga
telah mengembangkan pemahaman yang kaya dan sehat
terhadap pekerjaan, seperti yang dapat kita lihat, misalnya,
dalam kehidupan Beato Charles de Foucauld dan murid-
muridnya.
126. Kita juga dapat memetik sesuatu dari tradisi lama
monastisisme. Awalnya, ini lebih disukai sebagai cara me­
larikan diri dari dunia, mencoba melepaskan diri dari ke­
merosotan kehidupan kota. Karena itu para rahib men­
cari padang gurun, yang diyakini sebagai tempat yang
tepat untuk mengenali kehadiran Allah. Kemudian, Santo
Benediktus dari Nursia mengusulkan agar para rahib hidup
dalam komunitas, dan menggabungkan doa serta bacaan
dengan kerja tangan (Ora et labora). Memperkenalkan kerja
tangan yang sarat akan makna rohani, adalah revolusioner.
Kita belajar mematangkan dan menguduskan diri melalui
interaksi antara permenungan dan pekerjaan. Dengan cara
menghayati pekerjaan seperti itu kita menjadi lebih peka
dan lebih ramah terhadap lingkungan, serta relasi kita
dengan dunia menjadi lebih bersahaja dan sehat.

127. Kita mengatakan bahwa “manusia menjadi pencipta,


pusat dan tujuan dari seluruh kehidupan sosial ekonomi”.100
Namun demikian, ketika kemampuan manusia untuk
bermenung dan bersujud merosot, terciptalah situasi di

100 Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Modern
Gaudium et Spes, 63.

96
mana arti pekerjaan salah dimengerti.101 Kita harus selalu
ingat bahwa manusia memiliki “kemampuan memperbaiki
nasibnya, menunjang pertumbuhan moralnya dan mengem­
bangkan bakat-kemampuan rohaninya”.102 Pekerjaan harus
menjadi tempat pengembangan pribadinya dalam beberapa
dimensi kehidupan yang penting: krea­tivitas, perencanaan
masa depan, pengembangan bakat, penghayatan nilai-nilai,
komunikasi dengan orang lain, dan sikap memuja Allah.
Oleh karena itu, dalam realitas masyarakat global saat ini,
perlulah “kita terus memberi prioritas terhadap akses ke
pekerjaan tetap bagi setiap orang,”103 melebihi kepentingan
sempit bisnis dan rasio­nalitas ekonomi yang meragukan.

128. Sejak diciptakan kita dipanggil untuk bekerja. Kema­


juan teknologi jangan dipandang untuk menggantikan
tenaga kerja manusia, karena dengan demikian manusia
akan merugikan dirinya. Kerja adalah suatu keharusan,
bagian dari makna hidup di bumi, jalan menuju pema­
tang­an, pengembangan manusia, dan perwujudan diri.
Dalam arti ini, membantu orang miskin dengan uang harus
selalu menjadi solusi sementara untuk menangani keadaan
darurat. Tujuan utama seharusnya selalu memungkinkan
mereka untuk hidup bermartabat melalui pekerjaan.
Tetapi arah ekonomi mendorong teknologi canggih untuk
menekan biaya produksi dengan mengurangi tenaga kerja

101 Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), 37: AAS
83 (1991), 8a40; (Ulang Tahun ke Seratus), Jakarta: DokPen KWI, 1991, hlm.
51-52.
102 Paulus VI, Ensiklik Populorum Progressio (26 Maret 1967), 34: AAS 59
(1967), 274.
103 Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), 32: AAS 101
(2009), 666.

97
dan kemudian menggantinya dengan mesin. Ini satu con­
toh lagi bagaimana tindakan manusia dapat berbalik mela­
wan dirinya sendiri. Hilangnya pekerjaan “juga membawa
dampak negatif terhadap perekonomian, mengikis ‘modal
sosial’, yaitu jejaring relasi kepercayaan, saling ketergan­
tungan, dan patuh pada peraturan, yang semuanya sangat
diperlukan untuk setiap bentuk kehidupan masya­ rakat
sipil”. Singkatnya, “Biaya manusia (human cost) selalu ter­
104

masuk biaya ekonomi (economic cost), dan perekonomian


yang buruk selalu membawa biaya manusia”.105 Berhenti
berinvestasi dalam manusia, untuk mendapatkan keun­
tungan finansial jangka pendek yang lebih besar, merupakan
usaha yang sangat buruk bagi masyarakat.

129. Agar dapat terus menyediakan lapangan kerja, sangat


perlu mempromosikan ekonomi yang mendorong kera­
gaman produksi dan kreativitas kewirausahaan. Contoh­
nya, ada aneka ragam sistem pangan pedesaan berskala
kecil yang terus memberi makan kepada sebagian besar
penduduk dunia, dengan menggunakan sebagian kecil
tanah dan air, dan menghasilkan sedikit limbah, entah itu
di sepetak kecil lahan pertanian, atau dengan berkebun,
berburu, atau memanen di alam liar, atau sebagai nelayan
lokal. Ekonomi skala besar, terutama di sektor pertanian,
akhirnya memaksa petani kecil untuk menjual tanah mereka
atau meninggalkan budidaya tradisional mereka. Upaya
mereka untuk mengembangkan pelbagai bentuk produksi
lain, akhirnya menjadi sia-sia karena kesulitan memasuki

104 Ibid.
105 Ibid.

98
pasar regional dan global, atau karena infrastruktur pen­
jualan dan transportasi yang hanya melayani bisnis besar.
Pihak berwenang memiliki hak dan tanggung jawab untuk
mengambil langkah-langkah yang dengan jelas dan tegas
mendukung produsen kecil dan keanekaragaman produksi.
Untuk menjamin kebebasan ekonomi di mana setiap orang
benar-benar dapat memperoleh keuntungan, kadang-
kadang perlu menetapkan batas bagi mereka yang memi­
li­ki lebih banyak sumber daya dan kekuatan finansial. Wa­
cana tentang kebebasan ekonomi, sementara kondisi yang
sebenarnya menghalangi banyak orang untuk mendapat
akses nyata kepadanya, dan juga akses ke lapangan kerja
memburuk, menjadi wacana kontradiktif yang memalukan
bagi politik. Kegiatan kewirausahaan, yang merupakan
panggilan mulia untuk menghasilkan kekayaan dan mem­
perbaiki dunia bagi semua, dapat menjadi cara yang sangat
subur untuk memajukan daerah di mana proyek-proyeknya
dikembangkan; terutama jika dipahami bahwa penciptaan
lapangan kerja merupakan bagian penting dari pelayanan
untuk kesejahteraan umum.

Teknologi biologis yang baru


130. Dalam visi filosofis dan teologis tentang penciptaan
yang telah saya sajikan, jelas bahwa manusia, dengan
kekhu­sus­an akal budi dan ilmunya, tidak merupakan faktor
eks­ternal yang harus sepenuhnya dikesampingkan. Namun,
juga bila manusia dapat campur tangan dalam dunia
tanaman dan satwa dan memanfaatkannya bila perlu untuk
hidupnya, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa
eksperimen pada binatang hanya sah jika “dalam batas-batas
yang wajar … dapat menyumbang untuk menyembuhkan

99
dan menyelamatkan manusia”.106 Katekismus mengingat­­
kan dengan tegas bahwa kuasa manusia punya batas dan
bah­wa “bertentangan dengan martabat manusia bila me­
nyiksa binatang dan membunuhnya dengan cara yang tidak
wajar”.107 Setiap penggunaan atau eksperimen “menuntut
penghormatan kepada keutuhan ciptaan”.108

131. Di sini saya ingin mengangkat posisi seimbang


Santo Yohanes Paulus II, ketika menyoroti manfaat
kema­juan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang
“menunjuk­ kan kemuliaan panggilan manusia untuk
berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam tindakan
kreatif Allah di dalam dunia”. Pada saat yang sama ia
mengingatkan bah­ wa “inter­ vensi mana pun dalam
salah satu bidang eko­ sistem tidak dapat mengabaikan
untuk mempertim­ bangkan akibat-akibatnya dalam
bidang-bidang lain”.109 Ini menggarisbawahi bahwa
Gereja menghargai kontribusi “studi dan aplikasi biologi
molekuler, dilengkapi dengan disiplin ilmu lain seperti
genetika dan aplikasi teknologisnya di bidang pertanian
dan industri”110, meskipun ia juga menyatakan bahwa
semuanya itu tidak harus mengarah pada “manipulasi
genetik yang dilakukan tanpa pertimbangan matang”111

106 Katekismus Gereja Katolik, 2417.


107 Ibid., 2418.
108 Ibid., 2415.
109 Message for the 1990 World Day of Peace (Pesan untuk Hari Perdamaian
Dunia 1990), 6: AAS 82 (1990), 150.
110 Address to the Pontifical Academy of Sciences (3 Oktober 1981), 3: Insegnamenti
4/2 (1981), 333.
111 Message for the 1990 World Day of Peace (Pesan untuk Hari Perdamaian
Dunia 1990), 7: AAS 82 (1990), 151.

100
dan tak tahu menahu efek negatif intervensi tersebut.
Tidak mungkin untuk mengekang kreativitas manusia.
Jika kita tidak dapat melarang seorang seniman untuk
menampilkan kemampuannya yang kreatif, kita juga tidak
dapat menghalangi mereka yang memiliki karunia khusus
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
kemampuan itu diberikan oleh Allah untuk melayani
orang lain. Pada saat yang sama, kita tak henti-hentinya
perlu memikirkan kembali tujuan, efek, konteks dan batas-
batas etis aktivitas manusia ini, yang merupakan bentuk
kekuasaan yang melibatkan risiko tinggi.

132. Dalam konteks ini perlu ditempatkan seluruh


refleksi tentang campur tangan manusia pada tanaman
dan hewan, yang sekarang melibatkan mutasi genetik yang
dihasilkan oleh bioteknologi, dengan maksud untuk me­
man­faatkan peluang-peluang yang tersedia dalam realitas
materiil. Hormat iman terhadap akal budi meminta untuk
memperhatikan apa yang dapat diajarkan oleh ilmu biologi
sendiri, yang dikembangkan secara independen dari
kepentingan ekonomi, tentang struktur-struktur biologis
serta peluang-peluang dan mutasi mereka. Bagaimana
pun, intervensi sah adalah intervensi yang bertindak pada
alam “untuk membantunya berkembang menurut garisnya
sendiri sebagai ciptaan, sebagaimana dikehendaki oleh
Allah”.112

112 Yohanes Paulus II, Address to the 35th General Assembly of the World Medical
Association (Kata sambutan kepada Majelis Umum ke 35 th dari Asosiasi
Medis Sedunia) (29 Oktober 1983), 6: AAS 76 (1984), 394.

101
133. Sulit untuk membuat penilaian umum tentang
modifikasi genetik (GM), entah menyangkut tanaman
atau hewan, dengan tujuan medis atau agraris, karena
modifikasi-modifikasi itu bisa sangat berbeda satu sama
lain dan memerlukan pertimbangan yang berbeda. Di
sisi lain, risiko tidak selalu berasal dari teknik itu sendiri,
tetapi dari aplikasinya yang tidak sesuai atau berlebihan.
Pada kenyataannya, mutasi genetik sudah, dan sangat
sering, dilakukan oleh alam sendiri. Juga mutasi genetik
yang disebabkan oleh campur tangan manusia, bukanlah
fenomena modern. Domestikasi hewan, persilangan
spesies dan praktik kuno lainnya yang diterima secara
universal, dapat masuk dalam pertimbangan di sini. Perlu
diingat bahwa perkembangan ilmiah dari sereal transgenik
dimulai dari pengamatan bakteri yang secara alami dan
spontan menghasilkan modifikasi genom tanaman. Tetapi
di alam, proses itu berjalan lambat, tidak sebanding dengan
langkah cepat berkat kemajuan teknologi saat ini, bahkan
ketika kemajuan ini adalah buah perkembangan ilmiah dari
beberapa abad.

134. Meskipun tidak ada bukti tak terbantahkan tentang


kerugian yang dapat disebabkan oleh sereal transgenik
bagi manusia, yang di beberapa daerah penggunaannya
telah membawa pertumbuhan ekonomi yang membantu
memecahkan pelbagai masalah, masih ada sejumlah
kesulitan signifikan yang tidak boleh dianggap remeh. Di
banyak daerah, setelah memperkenalkan tanaman ini,
terlihat konsentrasi lahan produktif di tangan beberapa
orang, akibat “hilangnya secara bertahap produsen-
produsen kecil, yang karena hilangnya lahan yang dapat

102
digunakan, terpaksa menarik diri dari produksi lang­
sung”.113 Orang paling rentan menjadi buruh tidak tetap,
dan banyak buruh tani akhirnya pindah ke wilayah perko­
taan yang miskin. Perluasan lahan tanaman baru itu meng­
hancurkan jaringan ekosistem yang kompleks, mengu­­rangi
keanekaragaman produksi dan membahayakan masa kini
dan masa depan ekonomi regional. Di beberapa negara, kita
melihat perkembangan oligopoli dalam produksi gandum
dan produk lainnya yang dibutuhkan dalam budaya mereka.
Ketergantungan ini menjadi lebih parah lagi dengan
produksi benih steril yang akhirnya akan memak­sa para
petani untuk membeli benih dari perusahaan produsen
besar.

135. Masalah ini memerlukan perhatian terus-menerus


dan kepedulian bagi semua aspek etis yang terkait. Untuk itu
perlu dijamin suatu diskusi ilmiah dan sosial yang bertang­
gung jawab dan luas, mampu memperhitungkan semua in­
for­masi yang tersedia dan membicarakannya secara terbuka.
Kadang-kadang kita tidak menerima seluruh informasi,
yang diseleksi sesuai dengan kepentingan tertentu, entah itu
politis, ekonomis, atau ideologis. Hal itu mempersulit pen­
capaian keputusan yang seimbang dan bijaksana tentang
berbagai masalah, dengan memperhitungkan semua
variabel yang relevan. Diperlukan ruang diskusi di mana
semua yang dengan salah satu cara, langsung atau tidak
langsung, terkena dampak (petani, konsumen, pemerintah,
ilmuwan, produsen benih, masyarakat lokal, dan lain-lain)

113 Konferensi Waligereja Argentina: Komisi Pastoral Sosial, Una tierra para
todos (tanah untuk semua; Juni 2005), 19.

103
dapat mengungkapkan masalah mereka atau mengakses
informasi yang lengkap dan terpercaya, untuk membuat
keputusan demi kesejahteraan umum sekarang dan di masa
depan. Ini adalah masalah lingkungan yang kompleks;
penanganannya membutuhkan pendekatan komprehensif,
dan untuk itu dibutuhkan, setidaknya, suatu upaya yang
lebih besar untuk membiayai berbagai bidang penelitian,
yang otonom dan interdisipliner, yang mampu membawa
terang baru.

136. Di sisi lain, sungguh mencemaskan ketika beberapa


gerakan ekologi yang mempertahankan keutuhan ling­
kungan dan menuntut batas-batas tertentu pada penelitian
ilmiah, kadang-kadang tidak menerapkan prinsip-prinsip
yang sama untuk hidup manusia. Ada kecenderungan
untuk membenarkan melanggar segala batas saat me­
lakukan eksperimen pada embrio manusia yang hidup.
Kita lupa bahwa nilai mutlak manusia melampaui tahap
perkembangannya. Selain itu, ketika teknik mengabaikan
prinsip-prinsip etika, akhirnya ia menganggap sah praktik
apapun. Sebagaimana telah kita lihat dalam bab ini,
teknologi yang dipisahkan dari etika tidak akan mudah
untuk dapat membatasi kekuasaannya sendiri.

104
Sumber: http://www.rostad.com/docs/HostResources/CountryInfoMultimedia/Israel/Photos/Megiddo-Ruins-
Vertical%C2%A9IsraelTourism.jpg; diunduh pada 31-08-2015; pkl. 09.00 WIB

105
~ BAB EMPAT ~

EKOLOGI YANG INTEGRAL

137. Mengingat bahwa semuanya saling terkait, dan bahwa


masalah-masalah masa kini membutuhkan suatu visi yang
memperhitungkan semua aspek dari krisis global, saya
mengusulkan bahwa kita sekarang mempertimbangkan
pelbagai komponen dari suatu ekologi integral, yang jelas
mempunyai dimensi manusiawi dan sosial.

I. EKOLOGI LINGKUNGAN,
EKONOMI DAN SOSIAL
138. Ekologi mempelajari hubungan antara organisme-
organisme hidup dan lingkungan di mana mereka ber­
kembang. Hal itu meminta pula refleksi dan diskusi yang
jujur tentang syarat-syarat untuk hidup dan kelangsungan
hidup masyarakat, dan kejujuran untuk mempertanyakan
pelbagai model pembangunan, produksi dan konsumsi.
Tidak berlebihan untuk menekankan bahwa semuanya
terhubung. Waktu dan ruang tidak independen satu sama
lain, dan bahkan atom atau partikel sub-atom tidak dapat
dipertimbangkan secara terpisah. Sama seperti berbagai
komponen fisik, kimiawi dan biologis dari planet saling
berhubungan, demikian juga spesies-spesies hidup mem­
bentuk jaringan yang belum selesai kita identifikasi dan
pahami. Sebagian besar dari kode genetik kita dimiliki
bersama banyak makhluk hidup. Oleh karena itu penge­
tahuan yang fragmentaris dan terisolasi dapat men­ jadi
bentuk kebodohan jika menolak mengintegrasikan diri
dalam visi yang lebih lengkap tentang realitas.
139. Ketika berbicara tentang “lingkungan”, kita mengacu
pada suatu relasi yang khusus, yaitu antara alam dan
masyarakat yang menghuninya. Hal itu mencegah kita
untuk memahami alam sebagai sesuatu yang terpisah
dari kita atau hanya sebagai kerangka kehidupan kita.
Kita adalah bagian dari alam, termasuk di dalamnya, dan
terjalin dengannya. Menjawab pertanyaan mengapa tempat
tertentu tercemar memerlukan suatu studi tentang cara
kerja masyarakat, ekonominya, perilakunya, cara mereka
memahami realitas. Mengingat skala perubahan, tidak
mungkin lagi untuk menemukan jawaban yang spesifik
dan independen untuk setiap bagian masalah. Sangat
penting untuk mencari solusi yang komprehensif yang
memperhitungkan interaksi sistem-sistem alam yang satu
dengan yang lain, juga dengan sistem-sistem sosial. Tidak
ada dua krisis terpisah, yang satu menyangkut lingkungan
dan yang lain sosial, tetapi satu krisis sosial-lingkungan
yang kompleks. Solusi hanya mungkin melalui pendekatan
komprehensif untuk memerangi kemiskinan, memulihkan
martabat orang yang dikucilkan, dan pada saat yang sama
melestarikan alam.
140. Karena banyak unsur dan aneka faktor harus diper­
hitungkan ketika berusaha menentukan dampak suatu
inisiatif konkret terhadap lingkungan, perlulah diberikan
peran penting kepada para peneliti dan difasilitasi interaksi
di antara mereka dalam kebebasan akademik yang besar.
Penelitian kontinyu juga harus menghasilkan pemahaman
bagaimana makhluk-makhluk yang berbeda, terkait dan

107
membentuk unit-unit lebih besar yang sekarang ini kita
sebut “ekosistem”. Kita memperhitungkan sistem-sistem
itu bukan hanya untuk menentukan cara penggunaannya
yang terbaik, tetapi karena nilai intrinsik mereka yang inde­
penden dari penggunaan itu. Sama seperti setiap organisme
sebagai makhluk Allah adalah baik dan menga­ gumkan
dalam dirinya sendiri, demikian juga halnya keharmonisan
pelbagai organisme yang dalam tempat tertentu berfungsi
sebagai satu sistem. Meskipun kita tidak menyadarinya,
kita bergantung pada sistem itu untuk keberadaan kita
sendiri. Kita harus ingat bahwa banyak ekosistem berperan
dalam penangkapan karbon dioksida, dalam pemurnian
air, pengendalian penyakit-penyakit dan epidemi, dalam
pembentukan tanah, pembusukan sampah, dan dalam
banyak jasa lainnya yang kita lupa atau tidak tahu. Setelah
mengamati hal itu, banyak orang mulai menyadari kembali
bahwa kita hidup dan bertindak berdasarkan suatu
realitas yang terlebih dahulu telah diberikan kepada kita,
dan mendahului keberadaan dan kemampuan kita. Itu
sebabnya, ketika kita berbicara tentang ‘penggunaan yang
berkelanjutan’, kita selalu harus mempertimbangkan juga
kemampuan regeneratif setiap ekosistem dalam berbagai
bidang dan aspeknya.

141. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi cenderung meng­


hasilkan otomatisasi dan homogenisasi, untuk menye­
der­hanakan prosedur dan mengurangi biaya. Karena itu
dibu­tuhkan ekologi ekonomis, yang mengharuskan untuk
mempertimbangkan realitas secara lebih luas. Memang,
“perlindungan lingkungan harus menjadi bagian integral
dari proses pembangunan dan tidak dapat dipandang

108
lepas dari itu”.114 Pada saat yang sama, sekarang sangat
dibu­tuhkan humanisme yang dari dirinya mampu menya­
tukan berbagai bidang pengetahuan, termasuk ekonomi,
demi suatu pendekatan yang lebih integral dan lebih
terintegrasi. Sekarang ini kajian masalah lingkungan tidak
dapat dilepaskan dari kajian konteks manusia, keluarga,
pe­kerjaan, perkotaan, dan hubungan setiap orang dengan
diri­nya sendiri yang menghasilkan cara tertentu untuk ber­
hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan. Ada
interaksi antara pelbagai ekosistem dan berbagai dunia hu­
bungan sosial, dan dengan demikian, sekali lagi menjadi
nyata bahwa “keseluruhan lebih penting daripada bagian”.115

142. Jika semuanya terkait, sehatnya lembaga-lembaga


masyarakat pun berdampak pada lingkungan dan kualitas
hidup manusia: “Setiap pelanggaran terhadap solidaritas
dan kesetiakawanan sipil membahayakan lingkungan
hidup”.116 Dalam arti itu, ekologi sosial tentulah insti­
tusional dan se­cara bertahap meluas ke pelbagai dimensi
masyarakat, mulai dari kelompok sosial utama, keluarga,
melalui komunitas lokal dan bangsa, sampai ke masyarakat
internasional. Dalam setiap strata sosial dan di antaranya,
berkembang lembaga-lembaga yang mengatur hubungan
antarmanusia. Semua yang melemahkan lembaga-
lembaga itu memiliki efek merugikan, seperti kehilangan
kebebasan, ketidakadilan, dan kekerasan. Sejumlah negara

114 Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan (14 Juni 1992), Prinsip 4.
115 Seruan. Apostolik. Evangelii Gaudium (24 November 2013), No. 237: AAS
105 (2013), 1116; Sukacita Injil, Jakarta: DokPen KWI, 2014, hlm. 131.
116 Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), No. 51: AAS 101
(2009), 687.

109
memiliki tingkat efektivitas kelembagaan yang rendah,
mengakibatkan penderitaan rakyat dan menguntungkan
mereka yang memanfaatkan kesempatan dari situasi
itu. Baik dalam administrasi negara, maupun dalam
berbagai tingkatan masyarakat sipil, atau dalam hubungan
antarwarga, sering dilihat perilaku yang mengabaikan
hukum. Hukum itu dapat disusun dengan benar, tetapi
biasanya tinggal huruf mati. Bisakah kita lantas berharap
bahwa undang-undang dan peraturan yang berkaitan
dengan lingkungan akan benar-benar efektif? Kita tahu,
misalnya, bahwa negara-negara yang memiliki undang-
undang yang jelas tentang perlindungan hutan, tetap
menjadi saksi bisu atas banyak pelanggaran terhadap
hukum itu. Selain itu, apa yang terjadi di satu wilayah,
langsung atau tidak langsung, mempengaruhi wilayah-
wilayah lain. Misalnya, konsumsi narkotika di masyarakat
yang makmur menyebabkan permintaan terus atau makin
besar akan produk itu dari wilayah-wilayah miskin, di
mana perilaku dirusakkan, kehidupan dihancurkan, dan
lingkungan akhirnya rusak.

II. EKOLOGI BUDAYA


143. Bersama dengan warisan alam, juga warisan sejarah,
seni dan budaya terancam. Warisan ini adalah bagian
dari identitas bersama di suatu tempat dan dasar untuk
membangun sebuah kota yang layak huni. Yang penting
bukanlah membongkar atau pun membangun kota-kota
baru yang disebut lebih ekologis, namun tidak selalu lebih
menarik untuk dihuni. Kita harus memperhitungkan
sejarah, budaya dan arsitektur lokal, untuk mempertahankan

110
identitas aslinya. Maka ekologi juga berarti melestarikan
kekayaan budaya umat manusia dalam arti yang luas. Secara
khusus, kita dituntut untuk memberi perhatian kepada
budaya lokal, ketika mempelajari isu-isu yang berkaitan
dengan lingkungan, sambil mendukung dialog antara
bahasa ilmiah-teknis dan bahasa rakyat. Inilah budaya,
bukan hanya dalam arti monumen masa lalu, tetapi terutama
dalam artinya yang hidup, dinamis, dan partisipatif, yang
tidak dapat dikesampingkan ketika kita memikirkan
kembali hubungan manusia dengan lingkungan.
144. Visi konsumeristik manusia, didorong oleh meka­nis­
me ekonomi global saat ini, cenderung untuk menyera­gam­
kan budaya dan mengurangi keanekaragamannya, yang
merupakan harta umat manusia. Oleh karena itu, meng­
klaim bahwa semua kesulitan dapat diselesaikan melalui
peraturan yang seragam atau intervensi teknis, cenderung
mengabaikan kompleksitas masalah-masalah lokal yang
memerlukan keterlibatan aktif masyarakat setempat.
Proses-proses baru yang sedang berkembang tidak selalu
dapat dimasukkan ke dalam skema-skema yang ditetap­kan
dari luar, tetapi harus berangkat dari budaya lokal sendiri.
Karena kehidupan dan dunia adalah dinamis, maka peles­
tarian dunia harus fleksibel dan dinamis. Solusi-solusi
yang teknis belaka berisiko menangani simtom-simtom
dan tidak menjawab masalah-masalah yang terdalam. Ini
mencakup perspektif hak bangsa-bangsa dan budaya, dan
juga pemahaman bahwa pengembangan kelompok sosial
mengandaikan suatu proses sejarah yang berlangsung dalam
suatu konteks budaya, dan membutuhkan keterlibatan
terus-menerus, terutama dari para pelaku masyarakat
lokal, dengan bertolak dari budaya mereka sendiri. Juga

111
gagasan kualitas hidup tidak dapat dipaksakan tetapi harus
dipahami dari dalam dunia simbol dan adat yang menjadi
milik masing-masing kelompok manusia.
145. Banyak bentuk eksploitasi dan degradasi lingkungan
yang sangat intensif tidak hanya menguras sumber daya
setempat, tetapi juga melemahkan kemampuan sosial
yang telah mendukung suatu cara hidup yang sejak
lama memberi identitas budaya serta makna hidup dan
bermukim bersama. Hilangnya satu budaya dapat sama
serius atau lebih serius daripada hilangnya spesies tanaman
atau binatang. Pemaksaan gaya hidup yang dominan terkait
dengan cara produksi tertentu dapat membawa kerugian
sama besar seperti perubahan ekosistem.
146. Dalam arti ini, amat penting memberikan perhatian
khusus kepada masyarakat adat dan tradisi budaya mereka.
Mereka bukan hanya suatu minoritas di tengah yang lain,
tetapi mereka harus menjadi mitra dialog utama, ter­utama
ketika dikembangkan proyek-proyek besar yang mem­
pengaruhi wilayah mereka. Memang, bagi kelompok-
kelompok ini tanah bukan harta ekonomis, tetapi pembe­
rian dari Allah dan dari para leluhur yang dimakamkan di
situ, ruang sakral yang mereka butuhkan untuk berinteraksi
demi mempertahankan identitas dan nilai-nilai mereka.
Ketika mereka tinggal di wilayah mereka, justru merekalah
yang melestarikannya dengan paling baik. Namun, di
berbagai belahan dunia, mereka berada di bawah tekanan
untuk meninggalkan tanah mereka dan melepaskannya
untuk proyek-proyek pertambangan serta proyek-proyek
pertanian dan perikanan yang tidak memperhatikan
kerusakan alam dan budaya.

112
III. EKOLOGI HIDUP SEHARI-HARI
147. Pengembangan dapat disebut otentik kalau ada
jaminan untuk mewujudkan perbaikan secara keseluruhan
dalam kualitas hidup manusia; dan ini melibatkan kajian
tentang tempat di mana orang hidup. Situasi di sekitar kita
mempengaruhi cara kita melihat kehidupan, menaruh
perasaan, dan bertindak. Pada saat yang sama, di kamar
kita, di rumah kita, di tempat kerja dan di wilayah kita, kita
meng­gunakan lingkungan untuk mengungkapkan identitas
kita. Kita berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan,
tetapi kalau lingkungan berantakan, kacau, atau kelihatan
tercemar dan bising, kelebihan rangsangan itu mempersulit
usaha kita untuk membangun sebuah identitas yang utuh
dan bahagia.
148. Kreativitas dan kemurahan hati yang mengagumkan
diperlihatkan oleh orang-orang maupun kelompok yang
mampu melampaui keterbatasan lingkungan, mengubah
efek negatif dari situasi itu dan belajar untuk hidup
terarah di tengah-tengah kekacauan dan kerawanan.
Misalnya, di beberapa tempat di mana sisi luar bangunan
sangat rusak, ada orang yang dengan penuh hormat
merawat sisi dalam rumah mereka, atau yang merasa
nyaman karena keramahan dan persahabatan orang lain.
Kehidupan sosial yang positif dan murah hati di antara
para penghuni mencerahkan lingkungan yang tampaknya
tidak menguntungkan. Kadang-kadang ekologi manusiawi
yang dapat dikembangkan orang miskin di tengah begitu
banyak keterbatasan, patut dipuji. Perasaan sesak napas
yang disebabkan oleh wilayah pemukiman padat penduduk,
diimbangi dengan membangun hubungan bertetangga

113
yang ramah, menciptakan komunitas, serta membuat
setiap orang merasa diikutsertakan dalam kebersamaan
yang saling memiliki. Dengan cara ini, setiap tempat bukan
menjadi neraka tetapi berubah menjadi tempat kehidupan
yang bermartabat.
149. Juga jelas bahwa kemiskinan ekstrem yang dialami
di beberapa wilayah yang kehilangan harmoni, ruang, dan
kesempatan untuk berintegrasi, mudah memunculkan
perilaku tidak manusiawi dan manipulasi oleh organisasi
kriminal. Bagi mereka yang tinggal dalam lingkungan
yang sangat miskin, pengalaman sehari-hari akan hidup
berdesakan dan anonimitas sosial yang dialami di kota-kota
besar, dapat menyebabkan perasaan kehilangan akar yang
mendorong perilaku antisosial dan kekerasan. Namun,
saya ingin menekankan bahwa cinta lebih kuat. Dalam
keadaan tersebut, banyak orang mampu membangun
hubungan saling memiliki dan hidup bersama, yang
mengubah kepadatan menjadi pengalaman komunitas di
mana dinding ego diruntuhkan dan hambatan egoisme
diatasi. Pengalaman akan keselamatan bersama ini sering
membangkitkan kreativitas untuk memperbaiki sebuah
bangunan atau lingkungan.117
150. Mengingat keterkaitan antara ruang dan perilaku
manusia, orang-orang yang merancang gedung, ling­kungan,
ruang publik dan kota, memerlukan masukan dari berbagai

117 Beberapa penulis telah menunjukkan nilai-nilai yang sering ditemukan,


misalnya dalam “villa”, perumahan kumuh atau favelas Amerika Latin: lihat
Juan Carlos Scannone, La irrupción del pobre y la logica de la gratuidad, di
Juan Carlos Scannone y Marcelo Perine ( . edd) Irrupción del pobre y quehacer
filosofico. Hacia una nueva racionalidad, Buenos Aires 1993, hlm. 225-230.

114
disiplin ilmu untuk dapat memahami proses, simbolisme
dan perilaku warga. Tidaklah cukup mencari keindahan
desain, sebab lebih berhargalah melayani jenis keindahan
lain, yaitu kualitas hidup masyarakat, adaptasi mereka
terhadap lingkungan, perjumpaan dan saling membantu.
Karena itu, sangatlah penting memperhatikan pandangan
warga setempat untuk melengkapi kajian perencanaan kota.
151. Yang perlu dipelihara ialah ruang publik, panorama
dan monumen-monumen kota yang meningkatkan rasa
memiliki, rasa berakar, dan rasa “berada di rumah” di kota
yang menampung dan menyatukan kita. Adalah penting
bahwa pelbagai bagian kota terintegrasi dengan baik
dan para penduduk dapat memiliki pandangan tentang
keseluruhannya, daripada menutup diri dalam satu wilayah
dan tak sanggup melihat seluruh kota sebagai ruang berbagi
dengan orang lain. Intervensi dalam lanskap perkotaan atau
pedesaan harus mempertimbangkan bahwa aneka unsur
tempat itu membentuk satu keseluruhan yang dirasakan
oleh penduduk setempat sebagai lingkungan yang menyatu
dan kaya makna. Demikian orang lain bukan lagi orang
asing, dan dapat merasakan diri sebagai bagian dari sebuah
“kita” yang akan kita bangun bersama-sama. Dengan alasan
yang sama, di lingkungan perkotaan maupun pedesaan,
patutlah dilestarikan beberapa tempat yang dikecualikan
dari campur tangan manusia yang terus mengubahnya.
152. Kekurangan perumahan adalah masalah serius di
banyak bagian dunia, baik di daerah pedesaan maupun
di kota-kota besar, karena anggaran negara sering hanya
cukup untuk sebagian kecil dari permintaan. Bukan ha­
nya orang miskin, tetapi bagian besar masyarakat meng­

115
alami kesulitan serius untuk memperoleh rumah milik
sendiri. Kepemilikan rumah sangat erat kaitannya dengan
mar­tabat manusia dan pembangunan keluarga. Ini meru­
pakan masalah sentral ekologi manusiawi. Bila di tem­pat
tertentu sudah berkembang kawasan kumuh dan beran­
takan, diperlukan terutama peremajaan kawasan itu,
bukan pembongkaran dan pengusiran. Bila orang-orang
miskin tinggal di kawasan kumuh yang tak sehat atau
dalam bangunan yang berbahaya, “di mana tak ada jalan
lain selain memindahkan mereka, agar jangan menumpuk
penderitaan di atas penderitaan, perlu diberikan informasi
yang memadai terlebih dahulu dan ditawarkan tempat
tinggal lain yang layak huni, dan mereka yang terkena
mesti dilibatkan secara langsung dalam proses”.118 Pada saat
yang sama, diperlukan kreativitas untuk mengintegrasikan
lingkungan kumuh ke dalam kota yang ramah. “Betapa
indahnya kota-kota yang mampu mengatasi kecurigaan
yang melumpuhkan, mengintegrasikan orang-orang yang
berbeda, dan menjadikan integrasi ini suatu faktor baru
dari pengembangan! Betapa menariknya kota-kota yang,
bahkan dalam rancangan arsitekturnya, penuh dengan
ruang yang menghubungkan, menciptakan relasi dan
mendukung pengakuan akan yang lain!”119
153. Kualitas hidup di kota-kota terkait erat dengan trans­
portasi, yang seringkali menjadi sumber banyak pende­ritaan
bagi rakyat. Banyak mobil yang hanya diguna­kan oleh satu
dua orang, berkeliling di kota, sehingga lalu lintas menjadi

118 Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran


Sosial Gereja, No. 482.
119 Seruan Apostolik. Evangelii Gaudium (24 November 2013), No. 210 : AAS
105 (2013), 1107; Sukacita Injil, Jakarta: DokPen KWI, 2014, hlm. 120.

116
macet, tingkat polusi menjadi tinggi, dan menghabiskan
sangat banyak energi tak terbarukan. Diperlukan pem­ba­
ngunan jalan raya tambahan dan tempat parkir yang se­
muanya merusak pemandangan kota. Banyak ahli sepen­
dapat bahwa harus diberi prioritas kepada angkutan umum.
Namun, langkah-langkah yang diperlukan, tak akan mudah
diterima masyarakat kalau tanpa perbaikan besar pada
sistem transportasi, yang di banyak kota memberi perlakuan
tak layak bagi rakyat karena kondisi berdesak-desakan dan
tidak nyaman, frekuensi yang kurang, dan ketidakamanan.
154. Pengakuan akan martabat khas manusia sering ber­
tolak belakang dengan kehidupan kacau yang harus ditang­
gung orang di kota-kota kita. Namun ini seharusnya tidak
mengalihkan perhatian kita dari keadaan terabaikan dan
terlupakan yang diderita juga oleh sejumlah penduduk
daerah pedesaan, di mana tidak ada akses ke pelayanan
dasar, dan di mana ada pekerja-pekerja yang diceburkan
dalam situasi perbudakan, tanpa hak atau pun harapan
akan kehidupan yang lebih bermartabat.
155. Ekologi manusia juga menyiratkan hal mendalam ini:
hubungan antara kehidupan manusia dan hukum moral,
yang tertulis dalam kodrat kita sendiri, dan diperlukan untuk
dapat menciptakan lingkungan yang lebih bermartabat.
Paus Benediktus XVI menegaskan tentang suatu “ekologi
manusia” mengingat “manusia juga memiliki sifat-dasar
yang perlu ia hormati dan tidak dapat ia manipulasi”.120
Berkaitan dengan ini, kita harus mengakui bahwa tubuh

120 Kata Sambutan ke Deutscher Bundestag, Berlin (22 September 2011): AAS
103 (2011), 668.

117
kita menempatkan kita dalam hubungan langsung dengan
lingkungan dan dengan makhluk hidup lainnya. Penerimaan
tubuh kita sendiri sebagai karunia Allah diperlukan untuk
menyambut dan menerima seluruh dunia sebagai hadiah
dari Bapa dan rumah bersama. Sebaliknya, pikiran bahwa
kita menikmati kekuasaan mutlak atas tubuh kita sendiri,
seringkali secara halus berubah menjadi pikiran bahwa kita
menikmati kekuasaan mutlak atas ciptaan. Belajar menerima
tubuh kita sendiri, merawatnya dan menghormati seluruh
maknanya sangat penting bagi ekologi manusia sejati.
Menghargai tubuhnya sendiri sebagai laki-laki atau sebagai
perempuan juga diperlukan untuk dapat mengenali diri
dalam perjumpaan dengan orang yang berbeda. Dengan
demikian, dengan sukacita kita dapat menerima karunia
unik dari orang lain, laki-laki atau perempuan, karya
ciptaan Allah, dan dapat saling memperkaya. Oleh karena
itu, tidaklah sehat mau “menghapus perbedaan seksual
karena tidak lagi tahu bagaimana menghadapinya”.121

IV. PRINSIP KESEJAHTERAAN UMUM


156. Ekologi manusia tidak terlepas dari gagasan kese­
jahteraan umum, prinsip yang memainkan peran sentral
dan pemersatu dalam etika sosial. Kesejahteraan umum
adalah “keseluruhan kondisi-kondisi kemasyarakatan yang
memungkinkan kelompok-kelompok maupun anggota
per­­orangan, mencapai kesempurnaan mereka secara lebih
penuh dan lebih mudah”.122

121 Katekese (15 April 2015): L’Osservatore Romano, 16 April 2015, hlm. 8.
122 Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Modern
Gaudium et Spes, No. 26.

118
157. Kesejahteraan umum mengandaikan penghormatan
terhadap pribadi manusia apa adanya, dengan hak-hak dasar
dan mutlak yang diarahkan kepada pengembangannya yang
integral. Kesejahteraan umum juga menuntut kesejahteraan
sosial dan pengembangan berbagai kelompok perantara,
sesuai dengan prinsip subsidiaritas. Di antaranya mencolok
secara khusus adalah keluarga sebagai sel dasar masyarakat.
Akhirnya, kesejahteraan umum membutuhkan kedamaian
sosial, yang berarti stabilitas dan keamanan berdasarkan
tata tertib tertentu, yang tidak dapat dicapai tanpa perhatian
khusus untuk keadilan distributif, yang pelanggarannya
selalu menimbulkan kekerasan. Seluruh masyarakat—dan
di dalamnya secara khusus negara—memiliki kewajiban
untuk membela dan memajukan kesejahteraan umum.
158. Dalam kondisi masyarakat global sekarang ini,
dengan begitu banyak ketimpangan dan makin banyak
orang yang terpinggirkan, dirampas hak-hak asasinya,
prinsip kesejahteraan umum langsung, sebagai konsekuensi
logis dan tak terelakkan, menjadi seruan solidaritas dan
prioritas pilihan bagi kaum miskin. Pilihan ini berarti
menarik segala konsekuensi dari tujuan umum barang-
barang duniawi, tetapi, seperti telah saya coba ungkapkan
dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium,123 hal ini
pertama-tama meminta untuk memperhatikan martabat
sangat besar orang miskin dalam terang keyakinan iman
yang terdalam. Kita hanya perlu melihat realitas di sekitar
kita untuk memahami bahwa pilihan ini sekarang menjadi
tuntutan etis mendasar untuk mewujudkan kesejahteraan
umum secara efektif.

123 Bdk. No. 186-201: AAS 105 (2013), 1098-1105.

119
V. KEADILAN ANTARGENERASI
159. Konsep kesejahteraan umum juga meluas ke generasi
mendatang. Krisis ekonomi global telah menunjukkan
sangat jelas kerugian yang diakibatkan bila kita mengabai­
kan nasib kita bersama yang juga menyangkut orang-orang
yang datang sesudah kita. Kita tidak bisa lagi berbicara
tentang pembangunan berkelanjutan tanpa solidaritas
antar­generasi. Ketika kita memikirkan keadaan dunia
yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang, kita mulai
berpikir dengan cara yang berbeda, sadar bahwa dunia
adalah hadiah yang telah kita terima secara gratis dan yang
kita bagi dengan yang lain. Jika bumi diberikan kepada
kita, kita tidak lagi dapat berpikir hanya menurut ukuran
manfaat, efisiensi dan produktivitas untuk kepentingan
pribadi. Kita berbicara tentang solidaritas antargenerasi
bukan sebagai sikap opsional, tetapi sebagai soal mendasar
keadilan, karena bumi yang kita terima juga milik mereka
yang akan datang. Para Uskup Portugal telah mendesak kita
agar menanggung tugas keadilan ini: “Lingkungan perlu
ditempatkan dalam logika penerimaan. Lingkungan adalah
pinjaman (utang) yang diterima setiap generasi dan harus
diteruskan kepada generasi berikut”.124 Sebuah ekologi
integral memiliki visi yang luas itu.
160. Dunia macam apa yang ingin kita tinggalkan untuk
mereka yang datang sesudah kita, anak-anak yang kini
sedang dibesarkan? Masalah ini bukan hanya menyangkut

124 Konferensi Uskup Portugal, Surat Pastoral Responsabilidade Solidaria pelo


Bem Comum (Tanggung Jawab Solider untuk Kesejahteraan Umum; 15
September 2003), 20.

120
lingkungan tersendiri, karena kita tidak bisa mendekati
masalah ini secara fragmentaris. Ketika kita bertanya ten­
tang dunia yang ingin kita tinggalkan, kita terutama ber­
bicara tentang arahnya secara keseluruhan, maknanya,
nilai-nilainya. Jika pertanyaan lebih mendasar ini tidak
diajukan, saya tidak yakin bahwa kepedulian kita terhadap
lingkungan akan menghasilkan sesuatu yang signifikan.
Tetapi jika pertanyaan ini diajukan dengan keberanian,
kita dapat langsung dibawa kepada pertanyaan-pertanyaan
lain: mengapa kita berada di dunia ini, mengapa kita lahir
dalam hidup ini, untuk apa kita berjuang dan kita bekerja,
mengapa bumi ini membutuhkan kita? Oleh karena itu,
tidak cukup untuk mengatakan bahwa kita harus peduli
akan generasi mendatang. Kita harus menyadari bahwa apa
yang dipertaruhkan adalah martabat kita sendiri. Kitalah,
pertama-tama kita sendiri, yang berkepentingan untuk
mewariskan planet yang layak huni kepada generasi selan­
jutnya. Inilah tugas dramatis bagi diri kita sendiri, karena
menyangkut makna perjalanan kita sendiri di dunia ini.

161. Ramalan-ramalan tentang malapetaka tidak boleh lagi


diremehkan atau ditanggapi secara ironis. Kita barangkali
akan meninggalkan terlalu banyak puing, padang gurun
dan tempat sampah kepada generasi mendatang. Tingkat
konsumsi, limbah, dan kerusakan lingkungan telah mela­m­
paui kapasitas planet sedemikian rupa, sehingga gaya hidup
kita saat ini, karena tak mungkin berkelanjutan, hanya
dapat menyebabkan bencana, seperti sudah terjadi secara
berkala di berbagai wilayah dunia. Mengurangi dampak
dari ketimpangan saat ini tergantung pada apa yang akan
kita lakukan dalam waktu dekat, lebih-lebih jika kita

121
memikirkan tanggung jawab kita terhadap mereka yang
harus menanggung akibat-akibat yang buruk.

162. Kesulitan untuk menghadapi secara serius tantang­


an itu berkaitan dengan suatu kemerosotan etika dan
budaya yang mengiringi kerusakan ekologis. Laki-laki
dan perempuan dunia pasca-modern berisiko menjadi
sangat individualis. Banyak masalah sosial terkait dengan
sikap egois sekarang ini yang terfokus pada yang instan,
dengan krisis ikatan keluarga dan masyarakat, dan dengan
kesulitan untuk mengakui yang lain. Sering kali orang tua
hidup dalam konsumerisme instan dan berlebihan, yang
menyebabkan anak-anak mereka mengalami kesulitan yang
semakin besar untuk mendapatkan rumah dan membangun
sebuah keluarga. Selain itu, ketidakmampuan kita untuk
serius memikirkan generasi mendatang terkait dengan
ketidakmampuan kita untuk memperluas pemahaman kita
tentang kepentingan saat ini dan memperhatikan orang-
orang yang tetap dikucilkan dari pembangunan. Jangan kita
hanya memikirkan kaum miskin masa depan, mari kita ingat
kaum miskin sekarang ini, yang hidupnya di bumi tinggal
beberapa tahun dan yang tidak dapat menunggu terus. Oleh
karena itu, “selain solidaritas yang adil antargenerasi, perlu
ditegaskan kembali kewajiban moral yang mendesak untuk
membaharui solidaritas intra-generasi”.125

125 Benediktus XVI, Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia 2010, No 8: AAS 102
(2010), 45.

122
Sumber: http://orig07.deviantart.net; diunduh pada 31-08-2015; pkl. 09.00 WIB

123
~ BAB LIMA ~

BEBERAPA PEDOMAN
UNTUK ORIENTASI DAN AKSI

163. Saya telah mencoba mengkaji situasi umat manusia


saat ini dengan mengamati baik celah-celah di planet
yang kita diami, maupun penyebab-penyebab manusiawi
yang terdalam dari kerusakan lingkungan itu. Meskipun
pengamatan terhadap realitas itu sendiri sudah me­nun­
jukkan perlunya perubahan arah, dan menyarankan
tindakan-tindakan tertentu, sekarang kita akan mencoba
untuk menggariskan beberapa jalur utama dialog yang dapat
membantu kita untuk keluar dari spiral penghancuran diri
yang menenggelamkan kita.

I. DIALOG TENTANG LINGKUNGAN


DALAM POLITIK INTERNASIONAL
164. Sejak pertengahan abad lalu, setelah mengatasi ba­
nyak kesulitan, kita makin cenderung untuk melihat planet
ini sebagai tanah air kita, dan umat manusia sebagai satu
bangsa yang tinggal dalam suatu rumah bersama. Gagasan
bahwa dunia kita interdependen, tidak hanya menyadar­
kan kita bahwa dampak negatif dari gaya hidup, produksi,
dan konsumsi menimpa semua orang, tetapi terutama
mendorong kita untuk memastikan bahwa diusulkan
solusi-solusi dalam perspektif global, dan bukan hanya
untuk melindungi kepentingan negara-negara tertentu.
Saling ketergantungan memaksa kita untuk berpikir
tentang dunia yang tunggal, sebuah proyek bersama. Namun,
kecerdasan yang telah membawa pengembangan teknologi
yang mengesankan, gagal menemukan aneka bentuk aturan
internasional yang efektif untuk menangani masalah-
masalah serius lingkungan dan masyarakat. Mutlak diper­
lukan sebuah konsensus global untuk menghadapi masalah-
masalah yang lebih dalam, yang tidak dapat diatasi dengan
tindakan sepihak setiap negara sendirian. Konsensus seperti
itu akan membantu, misalnya, untuk merancang suatu
program pertanian yang berkelanjutan dan beragam, untuk
mengembangkan bentuk-bentuk energi yang terbarukan
dan kurang mencemarkan ling­kungan, untuk mendorong
penggunaan energi yang lebih efisien dan manajemen
sumber daya hutan dan laut yang lebih memadai, untuk
menjamin akses ke air minum untuk semua.

165. Kita tahu bahwa teknologi yang menggunakan bahan


bakar fosil sangat mencemari—terutama batubara, tetapi
juga minyak dan, pada tingkat lebih rendah gas—perlu
diganti, secara bertahap dan tanpa menunda. Selama pe­
ngem­ bangan energi yang terbarukan—yang seha­ rus­
nya sudah berjalan—belum memadai, adalah sah untuk
memilih yang kurang jahat dan beralih kepada solusi
sementara. Namun, masyarakat internasional gagal men­
capai kesepakatan yang memadai tentang tanggung jawab
mereka yang harus menanggung biaya transisi energi ini.
Dalam beberapa dekade terakhir, soal-soal lingkungan
telah menimbulkan debat publik yang luas, yang telah
menumbuhkan suatu ruang masyarakat sipil untuk aneka
bentuk komitmen dan dedikasi yang murah hati. Politik

125
dan dunia usaha bereaksi lambat, jauh dari sepadan dengan
tantangan-tantangan global. Meskipun umat manusia dari
masa pasca-industri mungkin akan diingat sebagai yang
paling tidak bertanggung jawab dalam sejarah, namun
perlu diharapkan bahwa umat manusia dari awal abad
kedua puluh satu akan dikenang sebagai bermurah hati
karena menerima tanggung jawabnya yang besar.

166. Gerakan ekologi sedunia telah bergerak maju secara


signifikan, diperkaya oleh upaya berbagai organisasi ma­
syarakat sipil. Tidak mungkin untuk menyebutkan me­reka
semua di sini, atau untuk meninjau sejarah sum­bangan
mereka. Namun, berkat komitmen mereka yang kuat, soal-
soal lingkungan semakin mendapat tempat pada agenda
publik dan terus-menerus mengundang untuk berpikir
jangka panjang. Namun, pertemuan-pertemuan puncak
sedunia tentang lingkungan pada beberapa tahun terakhir
tidak memenuhi harapan sebab, karena kurangnya kemauan
politik, mereka tidak mencapai kesepakatan-kesepakatan
ekologis yang sungguh-sungguh bermakna dan efektif.

167. Di sini patut disoroti KTT Bumi yang diselenggara­


kan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro. Di situ dinyatakan
bahwa “manusia ada di pusat segala perhatian untuk pemba­
ngun­an yang berkelanjutan”.126 Bertolak dari unsur-unsur
Deklarasi Stockholm (1972), di KTT Rio diikrarkan kerja
sama internasional untuk melestarikan ekosistem selu­ruh
bumi, kewajiban mereka yang mencemari untuk menang­

126 Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan (14 Juni 1992),
Prinsip 1.

126
gung biayanya, dan kewajiban untuk mengevaluasi dampak
ekologis dari setiap usaha atau proyek. Ditetapkan target
pembatasan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer untuk
membalikkan tren pemanasan bumi. Ditetapkan juga agenda
dengan suatu rencana aksi dan kesepakatan menyangkut
keanekaragaman hayati, dan dinyatakan prinsip-prinsip
menyangkut hutan. Meskipun KTT ini adalah benar-benar
profetis dan inovatif untuk waktu itu, kesepakatan hampir
tidak dilaksanakan karena tidak ditetapkan mekanisme
pengawasan yang memadai, tinjauan berkala, dan sangsi
dalam kasus pelanggaran. Prinsip-prinsip yang dinyatakan
itu masih menunggu pelaksanaannya secara efisien dan
fleksibel.

168. Di antara pelbagai pengalaman positif dapat dise­


butk­an, misalnya, Konvensi Basel tentang “Pengawasan
Per­pindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pem­
buangannya”, lengkap dengan sistem pelaporan, standar
dan kontrol. Ada pula konvensi tentang “Perdagangan
Inter­nasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam
Punah”, termasuk kunjungan untuk verifikasi apakah dipa­
tuhi secara efektif. Berkat Konvensi Wina tentang “Perlin­
dungan Lapisan Ozon” dan petunjuk pelaksanaannya
mel­alui Protokol Montreal dan perubahannya, masalah
penipisan lapisan ozon ini tampaknya telah memasuki fase
solusi.

169. Mengenai perlindungan keanekaragaman hayati dan


meluasnya padang gurun, ada kemajuan yang jauh kurang
signifikan. Dalam hal perubahan iklim, kemajuannya kurang
memuaskan. Mengurangi gas rumah kaca membutuhkan

127
kejujuran, keberanian dan tanggung jawab, terutama dari
pihak negara-negara yang paling kuat dan yang paling
mencemari. Konferensi PBB tentang pembangunan berke­
lanjutan, yang dikenal sebagai “Rio+20” (Rio de Janeiro
2012), mengeluarkan Dokumen Akhir yang meliputi
banyak hal tetapi tidak efisien. Negosiasi internasional
tidak dapat maju secara signifikan karena posisi negara-
negara yang menempatkan kepentingan nasional mereka
di atas kesejahteraan umum global. Mereka yang akan
menderita akibat dari apa yang kita coba sembunyikan,
tidak akan melupakan kurangnya hati nurani dan tanggung
jawab kita. Sementara Ensiklik ini sedang disiapkan,
perdebatan telah mencapai suatu intensitas khusus. Kita,
sebagai orang beriman, tidak bisa berhenti memohon Allah
agar terjadi perkembangan positif dalam diskusi saat ini,
sehingga generasi mendatang tidak akan menderita akibat
penundaan yang tak waspada.

170. Beberapa strategi untuk mengurangi emisi gas po­


lutan mengusahakan internasionalisasi biaya lingkungan,
de­ngan risiko bahwa negara-negara yang kekurangan
sumber daya harus menanggung kewajiban pengurangan
emisi yang lebih berat dibandingkan dengan negara-negara
industri. Memaksakan tindakan pencegahan itu merugikan
negara-negara yang paling membutuhkan pembangunan.
Demikian ditambah sebuah ketidakadilan baru dengan
kedok perlindungan lingkungan. Seperti biasa, orang
miskin akhirnya membayar ongkosnya. Karena efek dari
perubahan iklim akan dirasakan untuk waktu yang lama
bahkan jika sekarang diambil tindakan tegas, beberapa
negara yang kekurangan sumber daya akan membutuhkan

128
bantuan untuk beradaptasi terhadap dampak yang sudah
terjadi dan mempengaruhi ekonomi mereka. Benar bahwa
ada tanggung jawab bersama tetapi caranya berbeda-beda,
karena, seperti dinyatakan oleh para uskup Bolivia, “negara-
negara yang telah memperoleh manfaat dari industrialisasi
tingkat tinggi, dengan menyebabkan emisi gas rumah kaca
yang sangat besar, memiliki tanggung jawab yang lebih
besar untuk menyediakan solusi atas masalah yang telah
mereka sebabkan”.127

171. Strategi jual-beli “kredit karbon” dapat menimbulkan


bentuk baru spekulasi yang tidak akan membantu
mengurangi emisi gas polutan secara global. Sistem ini tam­
paknya suatu solusi yang cepat dan gampang, dengan kedok
komitmen terhadap lingkungan, tetapi sama sekali tidak
membawa perubahan radikal pada taraf yang dibutuh­
kan. Sebaliknya, hal itu bisa menjadi dalih yang meng­
izinkan beberapa negara dan sektor tertentu untuk mem­
pertahankan kelebihan konsumsi.

172. Bagi negara-negara miskin, pemberantasan kemis­


kinan dan pengembangan sosial penduduknya harus
men­jadi prioritas. Namun, mereka juga harus mengkaji
skandal konsumsi tinggi di sektor elite bangsa mereka
dan mengendalikan korupsi. Juga benar bahwa mereka
harus mengembangkan bentuk-bentuk produksi energi
yang kurang mencemari, tetapi untuk itu mereka harus
dapat memperhitungkan bantuan negara-negara yang

127 Konferensi Uskup Bolivia, Surat Pastoral tentang Lingkungan dan


Pengembangan Manusia di Bolivia El universo, don de Dios para la vida
(Alam semesta, pemberian Allah untuk kehidupan; Maret 2012), 86.

129
telah mengalami pertumbuhan yang tinggi, dengan me­
nyebabkan pencemaran planet saat ini. Eksploitasi lang­
sung energi matahari yang melimpah membutuhkan dite­
tapkannya mekanisme dan subsidi agar negara-negara
ber­kembang memiliki akses ke transfer teknologi, ke
bantuan teknis, dan ke sumber daya keuangan, namun selalu
de­ngan memperhatikan situasi konkret, karena “kecocokan
rancangan infrastruktur dengan konteks nyata, tidak selalu
dievaluasi secara memadai”.128 Biayanya akan rendah bila
dibandingkan dengan risiko perubahan iklim. Bagaimana
pun juga, ini terutama merupakan keputusan etis yang
didasarkan pada solidaritas di antara semua bangsa.
173. Sangat dibutuhkan perjanjian-perjanjian internasional
yang dapat ditegakkan, karena pemerintah-pemerintah
lokal terlalu lemah untuk mengadakan intervensi secara
efektif. Hubungan antarnegara harus menjaga kedaulatan
masing-masing negara, tetapi juga membangun jalur-jalur
kesepakatan untuk mencegah bencana lokal yang akhirnya
akan menimpa semua orang. Diperlukan kerangka per­
aturan global untuk memaksakan kewajiban, dan mencegah
tindakan yang tidak dapat diterima, misalnya, ketika be­
berapa negara yang kuat memindahkan limbah dan industri
yang sangat mencemari ke negara-negara lain.
174. Kita juga harus menyebutkan sistem manajemen laut.
Memang, ada beberapa konvensi internasional dan regional,
tetapi fragmentasi dan kurangnya mekanisme ketat untuk
regulasi, pengawasan, dan sanksi akhirnya melumpuhkan

128 Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Energi, Keadilan dan
Perdamaian, No. IV, 1, Vatican City (2014), 53.

130
segala upaya. Problem makin besarnya sampah laut dan
perlindungan wilayah laut di luar perbatasan nasional
masih tetap merupakan tantangan khusus. Apa yang, pada
akhirnya, dibutuhkan ialah kesepakatan tentang suatu
sistem manajemen menyangkut segala hal yang disebut
“kesejahteraan umum global”.

175. Cara berpikir yang sama yang menghalangi peng­


ambilan keputusan drastis untuk membalikkan tren pe­
manasan global, juga mencegah untuk mencapai target
pemberantasan kemiskinan. Kita memerlukan suatu tang­
gapan global yang lebih bertanggung jawab, yang mencakup
serentak perjuangan untuk mengurangi polusi dan
pembangunan negara serta wilayah yang miskin. Abad XXI,
sementara mempertahankan suatu sistem pemerintahan
yang cocok untuk masa lampau, menyaksikan melemahnya
kekuatan negara nasional, terutama karena sektor ekonomi
dan keuangan yang bersifat transnasional, cenderung
mendominasi politik. Dalam konteks ini, sangat diperlukan
pematangan lembaga-lembaga internasional yang harus
lebih kuat dan efisien terorganisasi, yang mempunyai
wewenang yang ditetapkan secara adil melalui kesepakatan
antara pemerintah-pemerintah nasional, dan memiliki
kekuatan untuk menjatuhkan sanksi. Seperti yang telah
dinyatakan oleh Benediktus XVI dalam kesinambungan
dengan Ajaran Sosial Gereja: “Untuk mengatur ekonomi
global, untuk menghidupkan kembali ekonomi-ekonomi
yang dilanda krisis, dan untuk mencegah krisis itu menjadi
lebih parah dan terjadi ketimpangan yang makin besar,
untuk mencapai gencatan senjata yang utuh dan tepat waktu,
untuk mencapai ketahanan pangan dan perdamaian, untuk

131
menjamin perlindungan lingkungan, dan untuk mengatur
arus migrasi, untuk semuanya itu sudah mendesak men­
di­ri­kan sebuah otoritas politik dunia yang benar, seperti
yang sudah digariskan oleh pendahulu saya Santo Yohanes
XXIII”.129 Dalam perspektif ini, diplomasi mendapat peran
penting baru berupa tugas mengembangkan strategi inter­
nasional yang dapat mengantisipasi masalah-masalah lebih
serius yang akhirnya merugikan kita semua.

II. DIALOG UNTUK KEBIJAKAN BARU


NASIONAL DAN LOKAL
176. Pemenang dan pecundang bukan hanya ada di
antara negara-negara, tetapi juga di dalam negara-negara
yang miskin, di mana tanggung jawab yang berbeda harus
diidentifikasi. Karena itu, masalah-masalah yang berkaitan
dengan lingkungan dan pembangunan ekonomi tidak lagi
bisa didekati hanya dari sudut perbedaan antara negara-
negara, tetapi menuntut juga agar perhatian diberi kepada
kebijakan nasional dan lokal.

177. Mengingat kemungkinan bahwa kemampuan manu­


sia digunakan secara tak bertanggung jawab, setiap
negara mempunyai tugas kewajiban untuk merencanakan,
mengoordinasikan, mengawasi dan memberi sanksi. Bagai­
mana masyarakat merencanakan dan melindungi masa
depannya dalam konteks teknologi yang terus dibaharui?
Satu faktor yang berperan penting sebagai pemandu adalah

129 Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), No. 67: AAS 101
(2009), 700.

132
hukum yang menetapkan aturan perilaku yang dapat
diterima dalam perspektif kesejahteraan umum. Batas-
batas yang perlu ditetapkan oleh suatu masyarakat yang
sehat, matang, dan berdaulat, berkaitan dengan pandangan
ke depan dan kewaspadaan, pengaturan yang wajar, peman­
tauan penerapan norma-norma, perang melawan korupsi,
tindakan untuk mengontrol efek samping proses-proses
produksi, dan intervensi yang tepat terhadap risiko yang
tidak pasti atau potensial. Ada yurisprudensi yang makin
berkembang berkaitan dengan pengurangan polusi akibat
kegiatan bisnis. Tetapi kerangka politik dan kelembagaan
tidak hanya ada untuk menghindari praktik-praktik yang
buruk, tetapi juga untuk mendorong praktik-praktik yang
baik, merangsang kreativitas yang mencari cara-cara baru,
dan memfasilitasi inisiatif pribadi dan kolektif.

178. Politik yang mengejar hasil langsung, yang juga


didukung oleh penduduk yang konsumeristis, memaksa
untuk menghasilkan pertumbuhan dalam jangka pendek.
Menanggapi kepentingan pemilu, pemerintah tidak akan
mudah mengambil risiko untuk tidak menyenangkan
penduduk dengan langkah-langkah yang dapat mem­pe­
ngaruhi tingkat konsumsi atau membahayakan investasi
asing. Cara berpikir kekuasaan yang hanya melihat yang
dekat, menyebabkan agenda lingkungan yang ber­ pan­
dangan jauh tidak cepat masuk ke dalam agenda publik
pemerintah. Kita lupa bahwa “waktu lebih penting daripada
ruang”,130 bahwa kita selalu lebih efektif ketika kita giat

130 Seruan Apostolik. Evangelii Gaudium (24 November 2013), No. 222: AAS
105 (2013), 1111; Sukacita Injil, Jakarta: DokPen KWI, 2014, hlm. 125.

133
mengembangkan proses-proses daripada ber­pe­gang pada
posisi kekuasaan. Kebesaran politik terungkap ketika, di
masa-masa yang sulit, orang bekerja berdasarkan prinsip-
prinsip utama dan memikirkan kesejahteraan umum jangka
panjang. Sangat sulit bagi kekuasaan politik untuk mene­
rima kewajiban ini dalam proyek pembangunan bangsa.

179. Di beberapa tempat dikembangkan koperasi untuk


mengeksploitasi sumber energi yang terbarukan, yang
memungkinkan swasembada lokal, dan bahkan penjualan
surplus energi. Contoh sederhana ini menunjukkan bahwa
kalangan lokal dapat mengubah situasi, sementara tatanan
dunia sekarang tidak mampu mengemban tanggung
jawabnya. Memang, pada tingkat lokal ini orang dapat
membangkitkan rasa tanggung jawab yang lebih besar,
rasa kebersamaan yang kuat, kemampuan khusus untuk
merawat, dan kreativitas yang lebih murah hati, cinta yang
mendalam akan tanahnya; di situ pun, orang berpikir
tentang apa yang akan ditinggalkan untuk anak-cucu. Nilai-
nilai tersebut mempunyai akar kuat dalam masyarakat adat.
Karena hukum kadang-kadang ternyata tidak cukup akibat
adanya korupsi, maka keputusan politik harus didesak
oleh tekanan publik. Masyarakat, melalui organisasi
non-pemerintah dan asosiasi perantara, harus memaksa
pemerintah untuk mengembangkan peraturan, prosedur,
dan kontrol yang lebih ketat. Jika warga tidak memantau
kuasa politik—nasional, regional dan kota—pemantauan
kerusakan lingkungan tak mungkin berjalan. Selanjutnya,
hukum-hukum lokal dapat lebih efektif jika ada kesepakatan
antara beberapa masyarakat tetangga untuk mendukung
kebijakan lingkungan yang sama.

134
180. Tidak ada resep-resep yang seragam, karena tiap
negara atau wilayah memiliki masalah dan keterbatasan
ter­sendiri. Juga benar bahwa realisme politik dapat me­
minta langkah dan teknologi transisi, asalkan selalu disertai
perencanaan komitmen yang mengikat dan pelaksanaannya
secara bertahap. Pada tingkat nasional maupun lokal masih
banyak yang harus dilakukan, misalnya, mendorong bentuk-
bentuk penghematan energi. Ini berarti memajukan bentuk-
bentuk produksi dengan efisiensi energi yang maksimal dan
penggunaan bahan baku yang lebih sedikit, menarik dari
pasar produk-produk yang kurang hemat energi atau lebih
mencemari. Dapat disebutkan pula manajemen transportasi
yang baik, dan membangun atau memperbaiki gedung
dengan cara mengurangi konsumsi energi dan tingkat
polusi. Selain itu, aktivitas politik di tingkat lokal juga
bisa diarahkan kepada variasi konsumsi, pengembangan
ekonomi sampah dan daur ulang, perlindungan spesies,
dan diversifikasi pertanian dengan program rotasi tanaman.
Pertanian di daerah miskin dapat ditingkatkan melalui
investasi dalam infrastruktur pedesaan, dalam perbaikan
pasar lokal atau nasional, dalam sistem irigasi, dan dalam
pengembangan teknik pertanian berkelanjutan. Dapat
diberi kemudahan kepada bentuk-bentuk koperasi atau
organisasi masyarakat yang mewakili kepentingan petani
kecil dan melindungi ekosistem lokal terhadap kehancuran.
Sungguh banyak yang dapat dilakukan!

181. Kesinambungan sangat penting, karena kebijakan


yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pelestarian
lingkungan tidak dapat diubah dengan setiap pergantian
pemerintah. Hasilnya memakan waktu yang lama dan

135
langsung menuntut pengeluaran yang tidak menghasilkan
efek yang nyata pada periode pemerintah yang bersangkutan.
Itu sebabnya, kalau tidak ada tekanan dari masyarakat
serta lembaga-lembaganya, penguasa akan selalu enggan
mengadakan intervensi, lebih-lebih ketika ada hal-hal
mendesak yang harus dihadapi. Bahwa seorang politisi
mengemban tanggung jawab tersebut bersama dengan
biaya yang diperlukan, tidaklah serasi dengan pola pikir
efisiensi dan hasil jangka pendek yang mencirikan ekonomi
dan politik saat ini; tetapi jika ia berani melakukannya, ia
akan menemukan kembali martabat yang Allah berikan
kepadanya sebagai manusia, dan ia akan meninggalkan
dalam sejarah suatu kesaksian tentang tanggung jawab yang
murah hati. Kita harus memberikan prioritas tinggi kepada
politik yang sehat, yang mampu mengadakan reformasi
dan koordinasi lembaga-lembaga, dan menjadikannya
operasional sehingga dapat mengatasi pelbagai tekanan dan
kelumpuhan birokrasi. Namun, kita harus menambahkan
bahwa mekanisme terbaik akhirnya gagal ketika tidak
ada tujuan-tujuan yang agung, nilai-nilai, pemahaman
yang humanis dan penuh makna, yang memberi setiap
masyarakat sebuah orientasi yang mulia dan murah hati.

III. DIALOG DAN TRANSPARANSI


DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN
182. Penilaian dampak aneka usaha dan proyek terhadap
lingkungan menuntut suatu proses politik yang transparan
dan berupa dialog, sementara korupsi yang demi keuntungan
tertentu menyembunyikan dampak nyata sebuah proyek
terhadap lingkungan, biasanya menghasilkan perjanjian-

136
perjanjian semu yang dicapai dengan menahan informasi
dan mengelak dialog yang luas.

183. Sebuah analisis mengenai dampak lingkungan seha­


rusnya tidak baru diadakan setelah rancangan sebuah proyek
produksi atau salah satu kebijakan, rencana, atau program
sudah dibuat. AMDAL ini harus diikutsertakan dari awal
dan dikembangkan secara interdisipliner, transparan, dan
independen dari segala tekanan politik atau ekonomi. Ini
harus dikaitkan dengan suatu pengkajian tentang kondisi
kerja dan tentang efek yang mungkin terjadi, antara lain,
pada kesehatan fisik dan mental masyarakat, pada ekonomi
lokal, pada keselamatan. Dengan demikian, keuntungan
ekonomis dapat diperkirakan lebih realistis, dengan mem­
pertimbangkan skenario-skenario yang dapat terjadi, dan
mengantisipasi kemungkinan perlunya investasi yang lebih
besar untuk mengoreksi efek-efek yang tidak diinginkan.
Selalu perlu dicapai konsensus antara aktor-aktor sosial
yang berbeda, yang dapat menawarkan perspektif, solusi
dan alternatif yang berbeda. Penduduk setempat harus
mendapat tempat khusus di meja diskusi; mereka prihatin
akan apa yang mereka inginkan untuk dirinya sendiri dan
anak-anak mereka, dan dapat mempertimbangkan tujuan-
tujuan yang melampaui kepentingan ekonomis langsung.
Kita harus melepaskan gagasan “intervensi” terhadap
lingkungan, dan mengembangkan kebijakan-kebijakan
yang dipikirkan dan didiskusikan oleh semua pihak yang
berkepentingan. Partisipasi mensyaratkan bahwa semua
menerima informasi yang memadai tentang berbagai aspek
dan juga berbagai risiko dan peluang; ini meliputi bukan
hanya keputusan awal sebuah proyek tetapi juga berbagai

137
tindakan lanjutan dan pemantauan yang tetap. Dibutuhkan
kejujuran dan kebenaran dalam diskusi ilmiah dan politis,
tanpa membatasi diri pada pertimbangan apa yang diizinkan
atau tidak oleh undang-undang.
184. Ketika menghadapi risiko untuk lingkungan yang
dapat mempengaruhi kesejahteraan umum sekarang dan di
masa depan, harus dibuat “keputusan yang didasarkan pada
perbandingan antara risiko dan manfaat yang diperkirakan
untuk setiap alternatif yang dapat dipilih”.131 Hal ini terutama
berlaku jika sebuah proyek dapat menyebabkan pening­kat­
an penggunaan sumber daya, peningkatan emisi atau pro­
duk limbah, produksi sampah, atau perubahan signifikan
terhadap lanskap, habitat spesies yang dilindungi, atau
ruang publik. Beberapa proyek yang tidak dianalisis secara
memadai, dapat sangat mempengaruhi kualitas hidup dalam
suatu daerah karena berbagai alasan, seperti kebisingan
yang tak terduga, pengurangan panorama, hilangnya nilai-
nilai budaya, efek-efek penggunaan energi nuklir. Bu­
daya konsumeris yang mengutamakan jangka pendek dan
kepentingan pribadi, dapat mendorong prosedur yang ter­
lalu cepat atau membolehkan penyembunyian informasi.
185. Dalam setiap diskusi tentang suatu usaha baru,
serangkaian pertanyaan harus diajukan untuk melihat
apakah, atau tidak, usaha itu akan menyumbang kepada
pembangunan yang benar-benar integral: Untuk apa?
Mengapa? Di mana? Kapan? Bagaimana? Untuk siapa? Apa
risikonya? Berapa biayanya? Siapa yang akan membayar

131 Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran


Sosial Gereja, No. 469.

138
biaya itu dan bagaimana ia akan melakukannya? Dalam
evaluasi ini, pertanyaan-pertanyaan tertentu harus diprio­
ritaskan. Sebagai contoh, kita tahu bahwa air adalah sumber
daya terbatas dan sangat diperlukan, dan akses kepada air
merupakan hak dasar, syarat untuk pelaksanaan hak-hak
manusia lainnya. Hal yang tak terbantahkan ini adalah yang
terpenting dalam seluruh pengkajian mengenai dampak
ekologis pada suatu daerah.

186. Dalam Deklarasi Rio tahun 1992, dikatakan: “Di mana


ada ancaman kerusakan serius atau permanen, ketiadaan
kepastian ilmiah penuh tidak boleh menjadi alasan untuk
menunda mengambil langkah-langkah efektif ”132 yang
mencegah degradasi lingkungan. Prinsip kehati-hatian ini
memungkinkan untuk melindungi mereka yang paling
lemah, yang hampir tidak memiliki kemampuan untuk
membela kepentingan mereka dan mengajukan bukti tak
terbantahkan. Jika informasi yang objektif menunjukkan
bahwa akan terjadi kerusakan serius dan permanen,
meskipun tidak ada bukti yang tak terbantahkan, proyek
harus dihentikan atau diubah. Dengan demikian, beban
pembuktian dibalikkan, karena dalam kasus itu harus
diajukan bukti objektif dan tak terbantahkan bahwa kegiatan
yang diusulkan tidak akan mengakibatkan kerusakan serius
pada lingkungan atau orang-orang yang tinggal di sana.

187. Ini tidak berarti bahwa kita harus menentang segala


inovasi teknologi yang meningkatkan kualitas hidup pen­

132 Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan âveloppement (14 Juni 1992),
Prinsip 15.

139
duduk. Tetapi dalam hal apapun, harus selalu ditegaskan
bahwa laba tidak boleh menjadi satu-satunya kriteria yang
diperhitungkan, dan, ketika ada perkembangan in­ for­
masi yang menambah unsur-unsur kritis, harus diadakan
evaluasi baru dengan partisipasi dari semua pihak yang
berkepentingan. Diskusi itu dapat menghasilkan kepu­tus­
an untuk tidak melanjutkan proyek, mungkin juga peru­
bahannya, atau pengembangan proposal alternatif.
188. Dalam diskusi tentang masalah-masalah lingkunga­n
tertentu tidak mudah untuk mencapai konsensus. Saya
ulangi sekali lagi bahwa Gereja tidak berpretensi untuk
me­nyelesaikan pertanyaan-pertanyaan ilmiah atau meng­
ambil alih politik, tetapi saya mengundang untuk berdialog
yang jujur dan transparan, agar ideologi dan kepentingan
tertentu tidak merugikan kesejahteraan umum.

IV. POLITIK DAN EKONOMI DALAM


DIALOG UNTUK PEMENUHAN MANUSIA
189. Politik tidak harus tunduk pada ekonomi dan eko­
nomi tidak harus tunduk pada perintah atau paradigma
efisiensi teknokrasi. Saat ini, sambil memikirkan kese­jah­
teraan umum, ada kebutuhan mendesak bahwa politik
dan ekonomi, dalam dialog, secara tegas meng­ abdikan
diri kepada kehidupan, terutama kehidupan manusia.
Menyelamatkan bank-bank dengan biaya apa pun, dengan
membuat masyarakat membayar harganya, tanpa kepu­
tusan kuat untuk meninjau dan mereformasi sistem secara
keseluruhan, menegaskan kembali kekuasaan mutlak
keuangan yang tidak memiliki masa depan dan yang
hanya dapat menghasilkan krisis baru setelah pemulihan

140
yang lama, mahal, dan semu. Krisis keuangan 2007-2008
telah menjadi kesempatan bagi pengembangan ekonomi
baru yang lebih memperhatikan prinsip-prinsip etika, dan
bagi cara-cara baru untuk mengatur praktik keuangan
yang spekulatif dan kekayaan fiktif. Tetapi krisis itu tidak
ditanggapi dengan memikirkan kembali kriteria usang yang
terus memerintah dunia. Produksi tidak selalu rasional, dan
sering dikaitkan dengan variabel-variabel ekonomis yang
menetapkan nilai produk yang tidak sesuai dengan nilainya
yang riil. Hal ini sering menyebabkan kelebihan produksi
komoditas tertentu, yang membawa dampak yang tidak
perlu pada lingkungan dan sekaligus kerugian bagi banyak
ekonomi regional.133 Gelembung keuangan umumnya
juga menjadi gelembung produksi. Yang akhirnya tidak
ditangani secara tegas adalah ekonomi riil, yang misalnya
memungkinkan produksi diversifikasi dan ditingkatkan,
membantu perusahaan-perusahaan untuk berfungsi
dengan baik, dan memungkinkan usaha-usaha kecil dan
menengah berkembang dan menciptakan lapangan kerja.

190. Dalam konteks ini, kita harus selalu ingat bahwa


“perlindungan lingkungan tidak dapat dijamin semata-mata
atas dasar perhitungan finansial tentang biaya dan laba.
Lingkungan adalah salah satu barang yang tidak dapat secara
memadai dilindungi atau ditingkatkan oleh mekanisme
pasar”.134 Sekali lagi, kita harus menghindari konsepsi magis

133 Bdk. Konferensi Uskup Meksiko, Komisi Pastoral Sosial, jesucristo, vida y
esperanza de los indigenas e campesinos (Yesus Kristus, hidup dan harapan
orang pribumi dan pedesaan; 14 Januari 2008).
134 Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran
Sosial Gereja, 470.

141
tentang pasar yang mengesankan bahwa masalah-masalah
akan diselesaikan hanya dengan me­ning­katkan keuntungan
perusahaan dan individu. Apakah realistis untuk berharap
bahwa orang yang terobsesi dengan keuntungan maksimal
berhenti untuk memikirkan dampak ekologis yang akan
ia tinggalkan untuk generasi mendatang? Dalam pola
pikir profit tidak ada ruang untuk berpikir tentang irama
alam, fase layu dan regenerasi, atau tentang kompleksitas
ekosistem yang dapat serius diubah oleh campur tangan
manusia. Juga, keanekaragaman hayati dipahami paling-
paling sebagai simpanan sumber daya ekonomi untuk
dieksploitasi, tanpa pemikiran serius tentang nilainya yang
riil, maknanya bagi manusia dan budaya, atau kepentingan
serta kebutuhan masyarakat miskin.

191. Ketika pertanyaan-pertanyaan ini diajukan, ada yang


bereaksi dengan menuduh bahwa yang lain mencoba secara
irasional menghentikan kemajuan dan pembangunan ma­
nu­sia. Tetapi kita harus menjadi yakin bahwa penurun­
an laju produksi dan konsumsi dapat membangkitkan
bentuk-bentuk kemajuan dan pengembangan lain. Upaya
untuk penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan
bukanlah sebuah pengeluaran yang tidak berguna, tetapi
suatu investasi yang dapat menghasilkan manfaat ekonomis
jangka menengah. Jika kita tidak berpikir sempit, kita
dapat menemukan bahwa diversifikasi produksi yang lebih
inovatif, dan kurang berdampak terhadap lingkungan, bisa
sangat menguntungkan. Inilah soal keterbukaan terhadap
aneka kemungkinan yang berbeda, yang tidak berarti
mematikan kreativitas manusia dan cita-cita kemajuannya,
tetapi mengarahkan energi itu ke jalur-jalur baru.

142
192. Misalnya, suatu jalan pembangunan produktif yang
lebih kreatif dan diarahkan lebih baik, dapat memperbaiki
ketimpangan antara investasi yang berlebihan dalam
teknologi konsumsi dan investasi yang kurang untuk meme­
cahkan masalah-masalah mendesak yang dihadapi umat
manusia. Perbaikan itu bisa menghasilkan cara-cara yang
cerdas dan menguntungkan dalam hal penggunaan kembali,
pembenahan, dan daur ulang; bisa juga mening­ katkan
efisiensi energi kota. Diversifikasi produksi mem­buka amat
banyak kesempatan bagi kecerdasan manusia untuk berkreasi
dan berinovasi, sambil serentak melin­ dungi lingkungan
serta menambah lapangan kerja. Kreativitas tersebut akan
mampu memekarkan kembali ke­lu­­huran manusia, karena
lebih layak menggunakan ke­cer­dasan, dengan keberanian
dan tanggung jawab, untuk me­ ne­mukan bentuk-bentuk
pembangunan yang berke­lanjutan dan berkeadilan, sebagai
bagian dari konsep yang lebih luas tentang kualitas hidup.
Sebaliknya, kurang layak, agak dangkal, dan kurang kreatif
bila kita terus mencip­ ta­
kan bentuk-bentuk lain untuk
menjarah alam hanya untuk menambah kesempatan baru
konsumsi dan keuntungan cepat.
193. Bagaimana pun juga, Jika dalam beberapa kasus
pembangunan yang berkelanjutan akan menghasilkan
bentuk-bentuk pertumbuhan baru, dalam kasus lain,
mengingat pertumbuhan rakus dan tidak bertanggung
jawab yang telah terjadi selama beberapa dekade, kita
juga perlu memikirkan untuk menahan pertumbuhan
dengan menetapkan beberapa batas yang wajar dan bahkan
menapaki langkah kita sebelum terlambat. Kita tahu
bahwa tidak dapat dipertahankan perilaku mereka yang
terus mengkonsumsi dan menghancurkan lebih banyak

143
lagi, sementara yang lain belum bisa hidup sesuai dengan
martabat mereka sebagai manusia. Itulah sebabnya waktunya
telah datang untuk menerima penurunan pertumbuhan
di beberapa bagian dunia, untuk menyediakan sumber
daya bagi pertumbuhan yang sehat di bagian-bagian
lain. Benediktus XVI menegaskan bahwa “masyarakat
berteknologi maju harus bersedia memilih gaya hidup yang
lebih ugahari, sekaligus mengurangi penggunaan energi
dan meningkatkan efisiensinya”.135
194. Supaya muncul model-model kemajuan yang baru,
kita perlu “mengubah model pembangunan global”,136
yang akan memerlukan refleksi bertanggung jawab “atas
makna ekonomi dan tujuannya, untuk memperbaiki
kesalahan dalam fungsi dan aplikasinya”.137 Tidak cukup
untuk mendamaikan, sebagai jalan tengah, perlindungan
alam dengan keuntungan finansial, atau pelestarian
lingkungan dengan kemajuan. Dalam hal ini jalan tengah
hanya sedikit menunda keruntuhan. Yang diperlukan
adalah mendefinisikan ulang pengertian kita tentang
kemajuan. Perkembangan teknologi dan ekonomi yang
tidak meninggalkan dunia yang lebih baik dan kualitas
hidup yang lebih baik secara keseluruhan, tidak dapat
dianggap sebagai kemajuan. Di sisi lain, kualitas hidup
manusia sebenarnya sering berkurang—karena kerusakan
lingkungan, rendahnya kualitas produk makanan sendiri
atau menipisnya sumber daya tertentu—di tengah-tengah
pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, wacana per­

135 Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia 2010, No. 9: AAS 102 (2010), 46.
136 Ibid.
137 Ibid., No. 5: hlm. 43.

144
tumbuhan yang berkelanjutan sering menjadi sarana untuk
mengalihkan perhatian dan mencari pembenaran. Nilai-
nilai wacana ekologi dikemas dalam logika keuangan dan
teknokrasi. Tanggung jawab sosial dan ekologis biasanya
menyusut menjadi serangkaian langkah-langkah pemasaran
dan penjagaan citra.

195. Prinsip maksimalisasi keuntungan, yang cenderung


dipisahkan dari pertimbangan lain, mencerminkan salah
paham akan konsep ekonomi: Selama output meningkat,
orang tidak peduli bahwa hal itu dilakukan dengan
mengorbankan sumber daya masa depan atau kesehatan
lingkungan; selama eksploitasi hutan meningkatkan
produksi, tidak seorang pun mengukur dalam perhitungan
itu, kerugian yang menyiratkan tanah yang menjadi
belantara, kerusakan terhadap keanekaragaman hayati, atau
peningkatan polusi. Artinya, perusahaan mendapatkan
keuntungan dengan menghitung dan membayar hanya
sebagian kecil dari biaya. Kita hanya dapat berbicara
tentang perilaku etis bila “biaya ekonomi dan sosial yang
timbul dari penggunaan sumber daya alam milik bersama,
ditetapkan secara transparan dan sepenuhnya ditanggung
oleh mereka yang menikmatinya dan bukan oleh bangsa
lain atau generasi mendatang”.138 Cara pikir utilitarian yang
hanya membuat pengkajian statis atas realitas berdasarkan
kebutuhan saat ini, baik dipakai ketika sumber-sumber daya
dibagi-bagikan oleh pasar, maupun ketika hal itu dilakukan
oleh perencanaan sentral negara.

138 Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), No. 50: AAS 101
(2009), 686.

145
196. Bagaimana dengan politik? Mari kita ingat prinsip
subsidiaritas, yang memberikan kebebasan untuk me­ngem­
bangkan kemampuan yang terdapat pada setiap tingkatan
masyarakat, tetapi yang pada saat yang sama menuntut
tanggung jawab yang lebih besar untuk kesejahteraan
umum dari pihak mereka yang memegang kekuasaan yang
lebih besar. Benar bahwa saat ini beberapa sektor ekonomi
menjalankan kekuasaan lebih besar daripada negara-negara
sendiri. Tetapi kita tidak bisa membenarkan ekonomi tanpa
politik, karena akan membuat mustahil mengajukan pola
berpikir lain untuk menanggulangi berbagai aspek dari
krisis saat ini. Pola berpikir yang tidak memberi ruang
kepada perhatian yang tulus untuk lingkungan adalah pola
sama yang juga tidak memberi ruang untuk menyertakan
mereka yang paling rentan, karena “model saat ini yang
menekankan keberhasilan dan hak pribadi, tidak tampak
mendukung investasi dalam upaya-upaya membantu me­
reka yang tertinggal, yang lemah, atau yang kurang ber­bakat
untuk menemukan peluang-peluang dalam hidup”“.139

197. Kita membutuhkan sebuah politik yang berpan­dang­


an luas dan yang dapat mengajukan pendekatan kompre­
hensif, mampu mengintegrasikan berbagai aspek dari krisis
ke dalam suatu dialog interdisipliner. Seringkali politik
sendiri bertanggung jawab atas hilangnya reputasinya,
karena korupsi dan kurangnya kebijakan publik yang baik.
Jika negara tidak memainkan perannya dalam salah satu
wilayah, kelompok-kelompok ekonomis tertentu dapat

139 Seruan Apostolik. Evangelii Gaudium (24 November 2013), No. 209: AAS
105 (2013), 1107; Sukacita Injil, Jakarta: DokPen KWI, 2014, hlm. 120.

146
tampil sebagai dermawan dan merebut kekuasaan yang
nyata, merasa diri berwenang untuk mengabaikan aturan-
aturan tertentu, sampai menimbulkan berbagai bentuk
kejahatan terorganisir, perdagangan manusia, perdagangan
narkoba, dan kekerasan, yang sangat sulit diberantas. Jika
politik tidak mampu mendobrak cara berpikir yang sesat
itu, dan tetap terjebak dalam wacana yang tidak konsisten,
kita terus tidak akan menanggapi masalah-masalah utama
umat manusia. Sebuah strategi perubahan yang nyata
memerlukan pemikiran ulang seluruh proses, karena tidak
cukup untuk memasukkan beberapa pertimbangan ekologis
yang dangkal, sementara kita tidak mempertanyakan cara
berpikir yang mendasari budaya saat ini. Sebuah politik
yang sehat harus mampu menerima tantangan ini.
198. Politik dan ekonomi cenderung saling memper­ sa­
lah­kan atas kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Tetapi
mudah-mudahan mereka masing-masing akan mengakui
kesalahannya sendiri dan menemukan bentuk-bentuk inte­
raksi yang ditujukan kepada kesejahteraan umum. Semen­
tara yang satu terobsesi dengan keuntungan ekonomi belaka
dan yang lain hanya terobsesi untuk mempertahankan
atau meningkatkan kekuasaannya, kita tertinggal dengan
konflik-konflik, atau dengan kesepakatan-kesepakatan yang
gagal melestarikan lingkungan dan melindungi yang terle­
mah, hal mana memang bukan minat kedua belah pihak itu.
Di sini pun berlaku prinsip bahwa “persatuan lebih unggul
daripada pertentangan”.140

140 Ibid, 228:. AAS 105 (2013), 1113; DokPen KWI, hlm. 127.

147
V. AGAMA-AGAMA
DALAM DIALOG DENGAN ILMU
199. Tak dapat diklaim bahwa ilmu pengetahuan empiris
memberikan penjelasan lengkap tentang kehidupan, ha­
kikat terdalam semua makhluk dan keseluruhan realitas.
Klaim seperti itu akan berarti terlalu jauh melanggar batas-
batas yang ditetapkan oleh metodologinya sendiri. Jika kita
berpikir dalam ruang terbatas ilmu empiris itu, hilanglah
rasa estetika, puisi, dan bahkan kemampuan akal budi
untuk memahami makna dan tujuan segala sesuatu.141 Saya
ingin mengingatkan bahwa “naskah-naskah keagamaan
klasik dapat memberikan makna bagi segala zaman;
memiliki kekuatan menggerakkan yang selalu membuka
cakrawala baru ... Apakah masuk akal dan dapat dime­
ngerti mengesampingkan tulisan-tulisan tertentu semata-
mata karena berasal dari konteks keyakinan agama?”.142

141 Bdk. Ensiklik. Lumen Fidei (29 Juni 2013), No. 34: AAS 105 (2013), 577;
Terang Iman, Jakarta: DokPen KWI, hlm. 32: “Juga terang iman yang
berpadu dengan kebenaran kasih, tidaklah berada di luar dunia materiil,
sebab kasih senantiasa hidup dalam tubuh dan roh; terang iman adalah
terang terjelma, yang memancar dari hidup Yesus yang cemerlang. Terang
iman juga menerangi dunia materiil, mempercayai tatanan yang melekat
padanya, serta memahami bahwa terang iman itu memanggil kita pada suatu
jalan yang senantiasa meluas dalam harmoni dan pengertian. Pandangan
ilmu pengetahuan mendapatkan manfaat pula dari iman: iman mendorong
para ilmuwan agar tetap senantiasa terbuka pada realitas dalam segala
kekayaannya yang tak terbatas. Iman menumbuhkan kepekaan kritis dengan
menghindari penelitian yang hanya cukup puas dengan formulasinya belaka,
serta membantunya untuk menyadari bahwa alam senantiasa lebih besar.
Dengan membangkitkan kekaguman di hadapan kedalaman misteri ciptaan,
iman memperluas cakrawala akal budi agar memancarkan terang yang lebih
besar pada dunia, yang membuka dirinya pada telaah ilmiah”.
142 Seruan Apostolik. Evangelii Gaudium (24 November 2013), No. 256: AAS
105 (2013), 1123; Sukacita Injil, Jakarta: DokPen KWI, 2014, hlm. 140.

148
Sesungguhnya, naiflah berpikir bahwa prinsip-prinsip etika
dapat disajikan dengan cara yang murni abstrak, terlepas
dari konteks apapun. Fakta bahwa mereka telah muncul
dalam bahasa agama, sama sekali tidak mengurangi nilai
mereka dalam debat publik. Prinsip-prinsip etika yang
dapat ditanggap akal budi, selalu dapat muncul kembali
dengan cara yang berbeda dan dinyatakan dalam berbagai
bahasa, termasuk bahasa agama.

200. Di sisi lain, seluruh solusi teknis yang diklaim oleh


ilmu-ilmu, tidak akan mampu memecahkan masalah-
masalah serius dunia jika umat manusia kehilangan kom­
pasnya, jika kita melupakan motivasi utama yang me­mung­
kinkan kita untuk hidup bersama, berkorban, berbuat baik.
Bagaimana pun juga, orang-orang beriman harus diundang
untuk konsisten dengan iman mereka sendiri dan tidak
menyangkalnya dengan tindakan me­reka. Mereka harus
diminta membuka diri lagi terhadap kasih karunia Allah
dan menggali lebih dalam keyakinan mereka sendiri
tentang cinta, keadilan dan perdamaian. Pemahaman
keliru akan prinsip-prinsip kita sendiri kadang-kadang
menyebabkan kita membenarkan perusakan alam, ke­kua­
saan sewenang-wenang manusia atas dunia ciptaan, atau
perang, ketidakadilan, dan kekerasan, tetapi sebagai orang
beriman kita dapat mengakui bahwa dengan demikian
kita tidak setia terhadap harta kebijaksanaan yang harus
kita jaga. Keterbatasan budaya di pelbagai zaman sering
mempengaruhi persepsi akan warisan etis dan spiritual
ini, namun dengan terus-menerus kembali ke sumber-
sumbernya, agama-agama akan mampu untuk menanggapi
pelbagai kebutuhan saat ini dengan lebih baik.

149
201. Mayoritas penduduk planet ini menyatakan dirinya
beriman; hal ini harus mendorong agama-agama untuk
masuk ke dalam dialog dengan maksud melindungi
alam, membela orang miskin, dan membangun jaringan
persaudaraan yang saling menghormati. Sebuah dialog
di antara pelbagai ilmu sendiri juga diperlukan karena
masing-masing cenderung menutup diri dalam batas-
batas bahasanya sendiri, dan spesialisasi mengarah ke
isolasi dan pemutlakan bidang pengetahuannya sendiri.
Hal ini menjadi halangan untuk secara efisien menghadapi
masalah lingkungan. Dialog yang terbuka dan saling
menghormati juga diperlukan di antara pelbagai gerakan
ekologis, di mana konflik ideologis tidak absen. Parahnya
krisis ekologi mengharuskan kita semua untuk memikirkan
kesejahteraan umum dan bergerak maju di jalan dialog
yang meminta kesabaran, disiplin diri, dan kemurahan hati,
sementara selalu teringat bahwa “kenyataan lebih penting
daripada gagasan”.143

143 Ibid., No. 231 : hlm. 1114; DokPen KWI, hlm. 128.

150
Sumber: http://www.acclaimimages.com/_gallery/_free_images/0124-1009-2114-2429_crescent_moon_and_
the_earth_from_the_international_space_station_o.jpg; diunduh pada 31-08-2015; pkl. 09.00 WIB
~ BAB ENAM ~

PENDIDIKAN DAN
SPIRITUALITAS EKOLOGIS

202. Banyak hal yang harus diarahkan kembali, tetapi


terutama umat manusia harus berubah. Yang dibutuhkan
ialah kesadaran pada asal kita bersama, pada rasa saling
memiliki, dan pada masa depan yang harus dibagi
dengan semua makhluk. Kesadaran mendasar ini dapat
memungkinkan pengembangan keyakinan, sikap, dan
bentuk kehidupan yang baru. Jadi kita berhadapan dengan
suatu tantangan budaya, spiritual dan pendidikan yang
besar, yang akan membutuhkan proses pembaruan yang
panjang.

I. MENUJU GAYA HIDUP YANG BARU


203. Karena pasar dalam upaya untuk menjual pro­
duknya cenderung untuk membangkitkan dorongan
konsumerisme yang tak tertahan, orang akhirnya terjebak
dalam lingkaran pembelian dan pembelanjaan yang tidak
perlu. Dorongan kuat mengonsumsi mencerminkan
paradigma tekno-ekonomi dalam kehidupan orang. Di
sini terjadi apa yang dikatakan Romano Guardini: manusia
“menerima …barang praktis dan gaya hidup, seperti
yang didesakkan kepadanya oleh rancangan rasional dan
produksi mesin yang standar, dan ia umumnya melakukan
itu dengan perasaan bahwa semuanya itu sudah wajar
dan benar”.144 Paradigma itu membuat orang percaya
bahwa mereka bebas, selama mereka punya apa yang
disebut kebebasan untuk mengonsumsi. Padahal yang
sesungguhnya memegang kebebasan adalah minoritas
penguasa ekonomis dan finansial. Dalam ambiguitas ini,
manusia postmodern belum menemukan citra diri yang
baru, yang dapat mengarahkan hidupnya; dan kurangnya
identitas ini menjadi pangkal kecemasan. Kita memiliki
terlalu banyak sarana untuk tujuan yang sedikit dan lemah.

204. Situasi dunia saat ini “membangkitkan rasa ketidak­


pastian dan ketidakamanan, yang pada gilirannya, men­
dorong aneka bentuk egoisme kolektif ”.145 Ketika orang
menjadi terpusat pada dirinya dan menutup diri dalam
pikirannya sendiri, keserakahan mereka meningkat.
Semakin kosong hati orang, semakin besar kebutuhannya
pada barang untuk dibeli, dimiliki, dan dikonsumsi. Dalam
konteks ini, tampaknya mustahil seseorang menerima
kenyataan menetapkan batas-batas baginya. Dalam cakra­
wala ini, kepekaan sejati terhadap kesejahteraan umum
juga tidak muncul. Jika sikap subjektif semacam ini makin
dominan dalam sebuah masyarakat, norma akan dihormati
hanya sejauh tak bertentangan dengan kebutuhan pribadi.
Karena itu kita tidak hanya memikirkan gejala cuaca
ekstrem atau bencana alam yang besar, tetapi juga aneka
bencana akibat krisis sosial, karena obsesi gaya hidup
konsumtif hanya bisa menimbulkan kekerasan yang saling

144 Romano Guardini, Das Ende der Neuzeit, 9th edition, Würzburg 1965, 66-67
(bahasa Inggris: The End of the Modern World, Wilmington 1998, 60).
145 Yohanes Paulus II, Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia 1990, No. 1: AAS 82
(1990), 147.

153
menghancurkan, terutama ketika hanya sedikit orang dapat
menikmati gaya hidup itu.
205. Namun, semuanya tidak hilang, karena manusia yang
bisa merosot secara ekstrem, juga mampu bangkit me­lampaui
dirinya, memilih kembali yang baik dan mem­baharui dirinya,
melampaui segala kondisi mental dan sosial yang didesakkan
padanya. Manusia mampu melihat diri sendiri dengan
jujur, mengungkapkan ketidak­ puas­
annya, dan memasuki
jalan baru menuju kebebasan sejati. Tidak ada sistem yang
sepenuhnya dapat meniadakan keterbukaan untuk kebaikan,
kebenaran dan keindahan, maupun kemampuan untuk
memberi tanggapan yang terus ditimbulkan oleh Allah dari
dalam lubuk hati manusia. Saya meminta setiap orang di
dunia ini agar tidak melupakan martabatnya. Tidak ada yang
memiliki hak untuk mengambilnya dari kita.
206. Perubahan gaya hidup bisa membawa tekanan yang
sehat pada mereka yang memegang kekuasaan politis,
ekonomis dan sosial. Inilah yang terjadi ketika gerakan-
gerakan konsumen berhasil membuat orang memboikot
produk tertentu; dengan demikian mereka menjadi efektif
dalam mengubah perilaku perusahaan, memaksakannya
untuk mempertimbangkan dampak ekologis dan pola
produksinya. Ketika sikap masyarakat berpengaruh ter­
hadap pendapatan perusahaan, mereka ini dipaksa untuk
mengubah pola produksinya. Ini mengingatkan kita akan
tanggung jawab sosial para konsumen: “Membeli bukan
hanya tindakan ekonomis tetapi selalu tindakan moral”.146

146 Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), No. 66: AAS 101
(2009), 699.

154
Kini “masalah kerusakan lingkungan menantang kita me­
meriksa gaya hidup masing-masing”.147

207. Piagam Bumi telah mengundang kita semua me­


ninggalkan masa penghancuran diri dan memulai suatu
masa baru, tetapi kita belum mengembangkan kesadaran
universal yang memungkinkannya. Itulah sebabnya saya
berani untuk sekali lagi mengajukan tantangan yang ber­
harga ini: “Seperti belum pernah dalam sejarah, nasib kita
bersama mengundang kita untuk mencari sebuah awal baru
... Mari kita membuat zaman kita diingat dalam sejarah
karena bangkitnya penghormatan baru untuk kehidupan,
karena tekad kuat untuk mencapai keberlanjutan, karena
peningkatan perjuangan demi keadilan dan perdamaian
dan karena perayaan kehidupan yang penuh sukacita”.148

208. Kita selalu dapat mengembangkan kemampuan baru


untuk keluar dari diri sendiri menuju yang lain. Tanpa itu,
kita tidak mengakui nilai intrinsik makhluk lain, kita tidak
peduli untuk melindungi sesuatu demi orang lain, kita
tidak memiliki kemampuan untuk membatasi diri demi
menghindari penderitaan atau kerusakan lingkungan kita.
Sikap dasar melampaui diri, dengan mendobrak pikiran
tertutup dan keterpusatan pada dirinya, adalah akar yang
memungkinkan segala perhatian diarahkan kepada orang
lain dan lingkungan, dan yang menimbulkan tanggapan
moral untuk menghitung dampak setiap tindakan dan
keputusan pribadi kita terhadap dunia sekitar kita. Ketika

147 Id., Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia 2010, No. 11: AAS 102 (2010), 48.
148 Earth Charter (Piagam Bumi), Den Haag (29 Juni 2000).

155
kita mampu mengatasi individualisme, suatu gaya hidup
alternatif dapat benar-benar dikembangkan, dan perubahan
besar menjadi mungkin dalam masyarakat.

II. PENDIDIKAN UNTUK PERJANJIAN


ANTARA MANUSIA DAN LINGKUNGAN
209. Kesadaran terhadap krisis budaya dan ekologis yang
serius harus diterjemahkan ke dalam adat kebiasaan baru.
Banyak orang tahu bahwa kemajuan kita saat ini yang
hanya berupa penumpukan benda atau kenikmatan, tidak
cukup untuk memberikan makna dan sukacita kepada hati
manusia, tetapi mereka tidak merasa mampu menolak apa
yang ditawarkan kepada mereka oleh pasar. Di negara-
negara yang harus membuat perubahan paling besar dalam
pola konsumsi, orang-orang muda memiliki kepekaan
ekologis baru dan semangat yang murah hati, dan beberapa
dari mereka membuat upaya yang mengagumkan untuk
membela lingkungan; tetapi mereka dibesarkan dalam
lingkungan konsumtif dan amat sejahtera, yang menyulitkan
mereka untuk mengembangkan kebiasaan lain. Maka kita
dihadapkan pada sebuah tantangan pendidikan.

210. Pendidikan lingkungan setahap demi setahap telah


memperluas targetnya. Jika pada awalnya sangat terfokus
pada informasi ilmiah, peningkatan kesadaran, dan
pencegahan risiko untuk lingkungan, sekarang pendi­
dikan itu cenderung mencakup kritik terhadap “mitos”
modernitas (individualisme, kemajuan tanpa batas,
persaingan, konsumerisme, pasar tanpa aturan) yang
didasarkan pada cara pikir utilitarian. Pendidikan itu cen­

156
derung memperhatikan berbagai tingkat keseimbangan
ekologis: di tingkat internal dengan dirinya sendiri, di
tingkat sosial dengan orang lainnya, di tingkat alami dengan
semua makhluk hidup, dan di tingkat spiritual dengan
Allah. Pendidikan lingkungan harus mempersiapkan
kita melakukan lompatan ke “Misteri” yang memberi
etika lingkungan maknanya yang terdalam. Selain itu,
para pendidik harus mampu mengembangkan jalur-jalur
pedagogis bagi etika ekologis, sehingga membantu orang
secara efektif bertumbuh dalam solidaritas, dalam tanggung
jawab, dan dalam perawatan penuh kasih.

211. Namun, pendidikan yang bertujuan untuk men­cip­


takan suatu “kewarganegaraan ekologis”, kadang-kadang
sebatas memberi informasi, dan gagal untuk me­ ngem­
bangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Adanya undang-
undang dan aturan tidaklah cukup dalam jangka panjang
untuk mengurangi perilaku buruk, bahkan ketika kontrol
yang efektif pun ada. Agar peraturan hukum menghasil­
kan efek jangka panjang yang signifikan, maka sebagian
besar anggota masyarakat perlu menerimanya dengan
motivasi yang tepat, dan menanggapinya berdasarkan
suatu perubahan pribadi. Hanya dengan mengembangkan
kebajikan kukuh, pemberian diri dalam suatu komitmen
ekologis menjadi mungkin. Orang yang mempunyai
kebiasaan mengenakan pakaian yang lebih hangat daripada
segera menyalakan alat pemanas rumah, meskipun situasi
keuangannya memungkinkan dia untuk mengkonsumsi
dan membelanjakan lebih banyak, menunjukkan keutuhan
keyakinan dan kepekaan pada pelestarian lingkungan.
Sangatlah mulia bila kewajiban untuk memelihara ciptaan

157
dilakukan melalui tindakan kecil sehari-hari, dan sangat
indah bila pendidikan lingkungan mampu mendorong
orang untuk menjadikannya suatu gaya hidup. Pendidikan
dalam tanggung jawab ekologis dapat mendorong berbagai
perilaku yang memiliki dampak langsung dan signifikan
untuk pelestarian lingkungan, seperti: menghindari
penggunaan plastik dan kertas, mengurangi penggunaan
air, pemilahan sampah, memasak secukupnya saja untuk
kita makan, memperlakukan makhluk hidup lain dengan
baik, menggunakan transportasi umum atau satu kendaraan
bersama dengan beberapa orang lain, menanam pohon,
mematikan lampu yang tidak perlu. Semuanya itu adalah
bagian dari suatu kreativitas yang layak dan murah hati, yang
mengungkapkan hal terbaik dari manusia. Menggunakan
kembali sesuatu daripada segera membuangnya, karena
terdorong oleh motivasi mendalam, dapat menjadi tindakan
kasih yang mengungkapkan martabat kita.
212. Janganlah kita berpikir bahwa upaya ini tidak akan
mengubah dunia. Tindakan-tindakan ini menyebarkan
di masyarakat suatu kebaikan yang selalu menghasilkan
buah di luar apa yang bisa kita lihat, karena menimbulkan
suatu kebaikan di bumi yang cenderung menyebar
terus, meskipun kadang-kadang tak terlihat. Selain itu,
bertumbuhnya perilaku ini mengembalikan rasa harga diri
kita, membawa kita kepada suatu kehidupan yang lebih
penuh dan mendalam, yang memungkinkan kita merasakan
bahwa kehidupan di bumi ini berharga.
213. Pendidikan ekologis dapat terjadi dalam berbagai
konteks: sekolah, keluarga, media komunikasi, katekese,
dan lain-lain. Pendidikan yang baik di sekolah sejak usia

158
dini menaburkan benih yang dapat menghasilkan buah
sepanjang hidup. Namun di sini saya ingin menekankan
pentingnya dan peran sentral keluarga, karena “di situ­
lah kehidupan sebagai kurnia Allah, dapat disambut
sebagaimana layaknya, dan dilindungi terhadap sekian
ba­nyak serangan yang menghadangnya, pun mampu ber­
tumbuh, memenuhi persyaratan perkembangan ma­nu­siawi
yang sejati. Menghadapi apa yang disebut budaya maut,
keluarga merupakan sanggar budaya kehi­dupan”.149 Dalam
keluarga, dikembangkan kebiasaan awal untuk mencintai
dan melestarikan hidup, seperti peng­gunaan barang secara
tepat, ketertiban dan kebersihan, meng­hormati ekosistem
lokal, dan merawat semua makhluk ciptaan. Keluarga
adalah tempat pembinaan integral, di mana pematangan
pribadi dikembangkan dalam pelbagai aspeknya yang
saling berhubungan. Dalam keluarga, kita belajar untuk
meminta izin tanpa menuntut, untuk mengatakan “terima
kasih” sebagai ungkapan penghargaan atas apa yang
telah diterima, mengendalikan agresi atau keserakahan,
dan meminta maaf ketika telah menyebabkan kerugian.
Tindakan sopan santun yang sederhana dan tulus ini
membantu membangun budaya kehidupan bersama dan
rasa hormat demi lingkungan kita.

214. Dunia politik dan berbagai kelompok masyarakat


lainnya harus berupaya untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat. Demikian juga Gereja. Semua komunitas
Kristen harus memainkan peran penting dalam pendi­

149 Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus (1 Mei 1991), No. 39: AAS 83
(1991), 842; (Ulang Tahun ke Seratus), Jakarta: DokPen KWI, 1991, hlm. 53.

159
dikan ini. Saya juga berharap bahwa di seminari dan di
rumah pendidikan hidup bakti, diberi pendidikan untuk
mengadakan penghematan yang bertanggung jawab, untuk
kontemplasi dunia dengan penuh rasa syukur, dan untuk
melindungi kerapuhan orang miskin serta lingkungan.
Mengingat pentingnya apa yang dipertaruhkan, kita
membutuhkan lembaga-lembaga yang berwenang untuk
menghukum orang yang merusakkan lingkungan, tetapi
perlu juga kita saling memantau dan saling mendidik.

215. Dalam konteks ini, “hubungan antara pendidikan


estetika yang tepat dan pelestarian lingkungan tidak bo­
leh diabaikan”.150 Memperhatikan keindahan, dan mencin­
tainya, membantu kita keluar dari sikap mencari kegunaan
praktis saja. Ketika seseorang tidak belajar meng­ ambil
waktu untuk mengamati dan menghargai apa yang indah,
jangan heran kalau segala benda baginya menjadi objek
untuk digunakan dan disalahgunakan tanpa merasa ber­
salah. Jika kita ingin mencapai perubahan mendalam, kita
harus menyadari bahwa pola pikir tertentu benar-benar
mempengaruhi perilaku kita. Pendidikan tidak akan efektif,
dan segala upaya akan sia-sia, jika kita tidak berusaha untuk
menyebarkan suatu cara berpikir baru tentang manusia,
kehidupan, masyarakat, dan hubungan kita dengan alam.
Jika tidak, paradigma konsumerisme akan maju terus,
dengan dukungan media komunikasi sosial dan cara kerja
pasar yang sangat efektif

150 Id., Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia 1990, No. 14: AAS 82 (1990), 155.

160
III. PERTOBATAN EKOLOGIS
216. Harta kekayaan spiritualitas Kristen, hasil dua puluh
abad pengalaman pribadi dan komunal, memberi sum­
bangan indah kepada upaya untuk memperbaharui ke­
manusiaan. Saya ingin menawarkan kepada umat kristiani
suatu kerangka spiritualitas ekologis yang berakar dalam
keyakinan iman kita, karena apa yang diajarkan Injil
kepada kita, memiliki konsekuensi untuk cara kita berpikir,
berperasaan, dan hidup. Yang penting bukanlah berbicara
tentang ide-ide, tetapi terutama tentang motivasi yang lahir
dari spiritualitas, dan menumbuhkan semangat pelestarian
dunia. Tidak akan mungkin melibatkan diri dalam hal-hal
besar hanya dengan doktrin, tanpa mistik yang mendorong
kita, atau tanpa “dorongan batiniah yang mendorong,
memotivasi, menyemangati dan memberikan makna ke­
pada kegiatan individu dan komunal kita”.151 Kita harus
me­ngakui bahwa kita, orang Kristen, tidak selalu menyerap
dan mengembangkan kekayaan yang Allah berikan kepada
Gereja, di mana kehidupan rohani tidak terpisah dari tubuh
kita sendiri, atau dari alam, atau dari realitas dunia ini,
tetapi justru dihayati bersamanya dan di dalamnya, dalam
persekutuan dengan semua yang mengelilingi kita.
217. “Padang gurun eksternal di dunia sedang me­
luas, karena gurun-gurun internal telah menjadi begitu
luas”152 Karena itu, krisis ekologi merupakan panggilan

151 Seruan Apostolik. Evangelii Gaudium (24 November 2013), No. 261: AAS
105 (2013), 1124; Sukacita Injil, Jakarta: DokPen KWI, 2014, hlm. 141.
152 Benediktus XVI, Homily for the Solemn Inauguration of the Petrine Ministry
(homili pada inaugurasi meriah ke pelayanan Petrus; 24 April 2005): AAS 97
(2005), 710.

161
untuk pertobatan batin yang mendalam. Tetapi kita juga
harus mengakui bahwa beberapa orang Kristen, yang
berkomitmen dan berdoa, cenderung meremehkan ung­
kapan kepedulian terhadap lingkungan, dengan alasan
realisme dan pragmatisme. Orang lain tinggal pasif; mereka
memilih untuk tidak mengubah kebiasaan mereka dan
dengan demikian menjadi tidak konsisten. Jadi, apa yang
mereka semua butuhkan adalah pertobatan ekologis, yang
berarti membiarkan seluruh buah dari pertemuan mereka
dengan Yesus Kristus berkembang dalam hubungan mereka
dengan dunia di sekitar mereka. Menghayati panggilan
untuk melindungi karya Allah adalah bagian penting dari
kehidupan yang saleh; dan bukan sebuah opsi atau aspek
sekunder dalam pengalaman kristiani.

218. Ketika mengingat teladan Santo Fransiskus dari Assisi,


kita menjadi sadar bahwa hubungan yang sehat dengan
penciptaan merupakan salah satu dimensi dari pertobatan
manusia yang utuh. Ini berarti pula mengakui kesalahan
kita, segala dosa, kejahatan atau kelalaian kita, dan bertobat
dengan sepenuh hati, berubah dari dalam lubuk hati. Para
Uskup Australia berbicara tentang pertobatan itu sebagai
rekonsiliasi dengan dunia ciptaan: “Untuk mencapai
rekonsiliasi ini, kita harus memeriksa hidup kita dan
mengakui bagaimana kita telah membawa kerugian kepada
ciptaan Allah dengan tindakan kita dan kegagalan kita
untuk bertindak. Kita perlu mengalami suatu pertobatan,
perubahan hati”.153

153 Konferensi Waligereja Australia, A New Earth - The Environmental Challenge


(2002).

162
219. Namun, untuk menanggulangi situasi yang begitu
kompleks seperti yang dihadapi dunia saat ini, tidak cukup
bahwa masing-masing individu memperbaiki diri. Individu
sendirian dapat kehilangan kemampuan dan juga kebebasan
mereka dalam usaha mengatasi pola pikir utilitarian, dan
akhirnya jatuh korban pada konsumerisme tanpa etika
dan tanpa dimensi sosial atau ekologis. Masalah sosial
harus diatasi oleh jaringan masyarakat dan tidak hanya
oleh jumlah total kontribusi positif individual: “Tuntutan-
tuntunan pekerjaan ini begitu besar sehingga tidak dapat
diselesaikan oleh inisiatif individual, atau oleh sekumpulan
pribadi-pribadi yang dididik secara individualistik.
Diperlukan gabungan kekuatan dan kesatuan usaha”.154
Pertobatan ekologis yang diperlukan untuk menciptakan
suatu dinamisme perubahan yang berkelanjutan, juga
merupakan pertobatan komunal.

220. Pertobatan ini menyiratkan berbagai sikap yang


bersama-sama menumbuhkan semangat perlindungan
yang murah hati dan penuh kelembutan. Pertama, me­
nyiratkan rasa syukur dan kemurahan hati, artinya, dunia
diakui sebagai hadiah yang diterima dari kasih Bapa, yang
menimbulkan sikap spontan pengingkaran diri dan sikap
kemurahan hati bahkan jika tidak ada yang melihat atau
mengetahuinya: “janganlah diketahui tangan kirimu apa
yang diperbuat tangan kananmu. … maka Bapamu yang
melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu”.
(Matius 6:3‑4). Pertobatan ini juga menyiratkan kesadaran

154 Romano Guardini, Das Ende der Neuzeit, 72 (The End of the Modern World,
65-66).

163
yang penuh kasih bahwa kita tidak terputus dari makhluk
lainnya, tetapi dengan seluruh jagat raya tergabung dalam
sebuah persekutuan universal yang indah. Sebagai orang
percaya, kita tidak melihat dunia dari luar tetapi dari dalam,
sadar akan pertalian yang dengannya Bapa telah men­
jalinkan kita dengan semua makhluk. Selain itu, dengan
me­ngembangkan kemampuan khusus yang Allah berikan
kepadanya, pertobatan ekologis mendorong orang beriman
untuk mengembangkan semangat dan kreativitasnya, un­tuk
menghadapi masalah dunia dengan menawarkan diri kepa­
da Allah “sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan
yang berkenan” (Roma 12:1). Kita tidak menganggap kele­
bihan kita ini sebagai alasan untuk memegahkan diri atau
mendominasi secara tak bertanggung jawab, tetapi sebagai
kemampuan berbeda yang pada gilirannya mele­ takkan
pada kita tanggung jawab besar yang lahir dari iman.
221. Berbagai keyakinan iman kita yang telah dikembang­
kan di awal Ensiklik ini, membantu memperkaya makna
perto­batan ini. Misalnya, kesadaran bahwa setiap makhluk
mencerminkan sesuatu dari Allah dan membawa pesan
untuk kita telaah; atau juga keyakinan bahwa Kristus telah
mengenakan pada dirinya sendiri dunia materiil ini dan
bahwa Ia sekarang, sebagai yang dibangkitkan, hadir dalam
setiap makhluk, melingkupinya dengan kasih-sayang-Nya
dan menembusinya dengan cahaya-Nya; dan juga keyakinan
bahwa Allah menciptakan dunia dengan menuliskan di
dalamnya tata tertib dan dinamisme, dan manusia tidak
berhak untuk mengabaikan hal itu. Kita membaca dalam
Injil, apa yang dikatakan Yesus tentang burung, bahwa
“tidak seekor pun dari padanya dilupakan Allah” (Lukas

164
12:6). Apakah kita masih dapat menganiayanya atau meru­
gikannya? Saya mengundang semua orang Kristen untuk
mengungkapkan dengan jelas dimensi ini dari pertobatan
mereka, dengan mengizinkan kekuatan dan terang rahmat
yang telah diterima, meluas pula kepada hubungan mereka
dengan makhluk lain dan dengan dunia di sekitar mereka.
Demikian kita membangkitkan persaudaraan mulia dengan
seluruh ciptaan, seperti yang dihayati oleh Fransiskus dari
Assisi dengan begitu cemerlang.

IV. KEGEMBIRAAN DAN DAMAI


222. Spiritualitas Kristen menawarkan suatu cara lain
untuk memahami kualitas hidup, dan mendorong sebuah
gaya hidup kenabian dan kontemplatif, mampu untuk
merasai kenikmatan mendalam tanpa terobsesi dengan
konsumsi. Kita harus mengangkat kembali suatu pelajaran
kuno, yang ditemukan dalam berbagai tradisi agama, dan
juga di dalam Alkitab. Yaitu keyakinan bahwa “kurang
adalah lebih”. Penambahan terus peluang-peluang untuk
mengonsumsi membuyarkan hati dan menghalangi kita
untuk menghargai segala sesuatu dan tiap saat. Namun,
bila kita dengan tenang hadir pada setiap kenyataan, betapa
kecil pun, dibukalah bagi kita ruang yang lebih luas untuk
memahami dan berkembang secara pribadi. Spiritualitas
Kristen menawarkan pertumbuhan melalui kesahajaan,
dan kemampuan untuk bergembira dengan sedikit. Jalan
kembali ke kesederhanaan memungkinkan kita untuk
berhenti dan menghargai hal-hal kecil, berterima kasih
atas kesempatan yang ditawarkan oleh kehidupan, tanpa
menjadi terikat pada apa yang kita miliki, atau sedih atas

165
apa yang tidak kita miliki. Ini berarti menghindari gairah
penguasaan dan penumpukan kesenangan saja.
223. Kesahajaan yang dihayati dengan bebas dan sadar,
adalah membebaskan. Ini bukanlah hidup yang kurang,
atau hidup dengan intensitas yang rendah, tetapi justru
sebaliknya. Pada kenyataannya, mereka yang lebih
menikmati setiap momentum dan menghayatinya lebih
baik, adalah mereka yang berhenti untuk mematuk di sana-
sini, selalu mencari apa yang tidak mereka miliki. Mereka
mengalami apa artinya menghargai setiap orang, setiap
perkara; belajar menjalin hubungan, dan tahu menikmati
hal-hal sederhana. Kebutuhan mereka yang tak terpenuhi
menjadi lebih sedikit, sehingga mereka kurang lelah dan
kurang susah. Kita bisa hidup intensif dengan sedikit,
terutama ketika mampu menikmati kesenangan lain dan
menemukan kepuasan dalam perjumpaan persaudaraan,
dalam pelayanan, dalam pengembangan bakat, dalam
musik dan seni, dalam kontak dengan alam, dalam doa.
Kebahagiaan meminta kecakapan untuk membatasi
kebutuhan tertentu yang membius kita, dan dengan
demikian menjadi terbuka untuk banyak kemungkinan lain
yang ditawarkan kehidupan.
224. Kesahajaan dan kerendahan hati tidak dihargai
positif dalam abad terakhir. Namun, ketika suatu kebajikan
kurang dipraktikkan dalam kehidupan pribadi dan sosial,
akhirnya muncul beberapa ketimpangan, termasuk ke­
tim­pangan ekologis. Oleh karena itu, tidak cukup kita
ber­bicara hanya tentang keutuhan ekosistem. Kita harus
berani berbicara tentang keutuhan kehidupan manusia,
tentang perlunya mendorong dan menggabungkan semua

166
nilai yang besar. Setelah kehilangan kerendahan hati, dan
menjadi terlalu terpesona dengan kemungkinan menguasai
segala sesuatu tanpa batas, kita akhirnya membawa keru­
sakan bagi masyarakat dan lingkungan. Tidaklah mudah
untuk mengembangkan kerendahan hati yang sehat dan
kesahajaan yang bahagia ini jika kita menganggap diri
otonom; jika kita mengecualikan Allah dari hidup kita dan
ego kita mengambil tempat-Nya; jika kita berpikir bahwa
subjektivitas kita sendiri dapat menentukan apa yang baik
dan apa yang jahat.
225. Selain itu, tidak seorang pun dapat mengembangkan
hidup yang bersahaja dan bahagia, tanpa berdamai dengan
dirinya sendiri. Pemahaman spiritualitas yang memadai
mampu menjelaskan apa yang kita maksudkan dengan
damai, yang jauh melebihi tidak adanya perang. Kedamaian
batiniah manusia sangat berkaitan dengan pelestarian
lingkungan dan kesejahteraan umum, karena, bila dihayati
secara otentik, damai itu mengejawantah dalam gaya hidup
seimbang, yang disertai kemampuan untuk terpesona,
yang menjadikan hidup kita semakin mendalam. Alam
dipenuhi kata-kata cinta, tetapi bagaimana kita dapat
mendengarkannya di tengah-tengah kebisingan yang
kontinyu, kecemasan yang terus mengganggu, atau kultus
pe­nampilan? Banyak orang mengalami ketidakseim­
bang­an mendalam yang mendorong mereka melakukan
sega­­
lanya dengan kecepatan tinggi yang memberi
mereka perasaan sibuk, selalu terburu-buru yang, pada
gilirannya, menyebabkan mereka melangkahi semua yang
ada di sekitarnya. Hal ini berdampak pada cara mereka
memperlakukan lingkungan. Ekologi integral juga berarti

167
meluangkan waktu untuk menemukan kembali suatu
keselarasan yang jernih dengan dunia ciptaan, untuk mere­
nungkan gaya hidup kita dan cita-cita kita, untuk menatap
Pencipta yang hidup di tengah kita dan dalam lingkungan
kita, yang Kehadiran-Nya “tidak boleh dibuat-buat,
melainkan ditemukan, disingkapkan”.155

226. Kita berbicara tentang suatu sikap hati yang mende­kati


seluruh hidup dengan perhatian yang jernih, yang mam­pu
sepenuhnya hadir bagi seseorang tanpa berpikir tentang
apa yang menyusul, yang memberikan diri kepada setiap
momen yang dihayati sepenuhnya sebagai hadiah Allah.
Yesus mengajarkan kita sikap itu ketika ia mengundang kita
untuk melihat bunga bakung di ladang dan burung-burung
di langit, atau ketika berhadapan dengan seorang laki-
laki yang cemas “Ia memandangnya dan menaruh kasih
kepadanya” (Markus 10:21). Dia sepenuhnya hadir bagi
setiap manusia dan setiap makhluk, dan dengan demikian Ia
telah menunjukkan kepada kita suatu cara untuk mengatasi
kecemasan tak sehat yang menjadikan kita dangkal, agresif,
dan konsumen tanpa kendali.

227. Salah satu ungkapan sikap ini adalah ketika kita


sejenak berhenti untuk bersyukur kepada Allah sebelum
dan sesudah makan. Saya menganjurkan kepada orang
beriman untuk kembali ke kebiasaan yang indah ini dan
menghayati kedalamannya. Momen doa pemberkatan
itu, meskipun sangat singkat, mengingatkan kita akan

155 Seruan. Apostolik. Evangelii Gaudium (24 November 2013), No. 71: AAS 105
(2013), 1050; Sukacita Injil, Jakarta: DokPen KWI, 2014, hlm. 46.

168
ketergantungan hidup kita pada Allah, memperkuat rasa
syukur atas segala karunia ciptaan, mengakui upaya mereka
yang telah menyediakan bahan tersebut, dan memperkuat
solidaritas dengan mereka yang paling berkekurangan.

V. CINTA DALAM BIDANG SIPIL


DAN POLITIK
228. Pelestarian alam adalah bagian dari suatu gaya hidup
yang melibatkan kemampuan untuk hidup bersama dan
dalam persekutuan. Yesus mengingatkan kita bahwa kita
memiliki Allah sebagai Bapa kita bersama, yang menjadikan
kita saudara-saudari. Kasih persaudaraan hanya mungkin
bila tanpa pamrih, dan bukanlah balas jasa atas apa yang
telah dilakukan orang lain atau diharapkan akan dilakukan
olehnya. Itulah sebabnya kita bisa mengasihi musuh-
musuh kita. Sikap tanpa pamrih yang sama itu mendorong
kita untuk mencintai dan menerima angin, matahari atau
awan, meskipun mereka tidak tunduk kepada kendali kita.
Itu sebabnya kita dapat berbicara tentang persaudaraan
universal.

229. Kita harus menyadari kembali bahwa kita saling


membutuhkan, bahwa kita memiliki tanggung jawab
terhadap orang lain dan dunia, bahwa upaya untuk menjadi
baik dan jujur itu sungguh-sungguh bernilai. Sudah
terlalu lama kita mengalami kemerosotan moral, kita
mencemooh etika, kebaikan, iman, kejujuran. Waktunya
telah datang untuk menyadari bahwa kesenangan dangkal
kurang membawa manfaat bagi kita. Kehancuran seluruh
landasan kehidupan sosial ini akhirnya membuat kita

169
bentrok satu sama lain, sementara masing-masing berusaha
untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri. Semuanya
itu memunculkan bentuk-bentuk baru kekerasan dan
kekejaman, dan menghalangi pengembangan budaya
perlindungan lingkungan yang sejati.
230. Contoh Santa Teresia dari Lisieux mengajak kita untuk
menapak “jalan kecil cinta”, tidak kehilangan kesempatan
untuk sebuah kata yang ramah, untuk tersenyum, untuk
suatu isyarat kecil apa pun yang memancarkan damai dan
persahabatan. Ekologi integral juga terdiri dari tindakan
sehari-hari yang sederhana, yang mematahkan logika
kekerasan, eksploitasi, keegoisan. Sementara itu, dunia
konsumsi yang keterlaluan, pada saat yang sama juga
merupakan dunia yang memberi perlakuan buruk kepada
kehidupan dalam segala bentuknya.
231. Cinta yang terdiri dari gerakan-gerakan kecil yang
mengisyaratkan kepedulian satu sama lain, juga bersifat sipil
dan politik, dan menyatakan diri dalam segala tindakan yang
mencoba membangun suatu dunia yang lebih baik. Cinta
akan masyarakat dan komitmen terhadap kesejahteraan
umum merupakan ungkapan luar biasa dari belas kasih
yang tidak hanya menyangkut hubungan antara individu
tetapi juga “hubungan makro: segala hubungan sosial,
ekonomis, politis”.156 Inilah sebabnya mengapa Gereja telah
menawarkan kepada dunia cita-cita “peradaban cinta”.157
Cinta sosial adalah kunci untuk pengembangan otentik:

156 Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in Veritate (29 Juni 2009), No. 2: AAS 101
(2009), 642.
157 Paulus VI, Pesan untuk Hari Perdamaian Dunia 1977: AAS 68 (1976), 709.

170
“Untuk menjadikan masyarakat lebih manusiawi, lebih
layak bagi pribadi manusia, cinta dalam kehidupan sosial—
pada tingkat politik, ekonomi, budaya—harus kembali
dihargai dengan menjadikannya norma tetap dan tertinggi
dari setiap aktivitas”.158 Dalam konteks ini, bersama-sama
dengan pentingnya pelbagai isyarat kecil sehari-hari, cinta
sosial mendorong kita untuk merancang strategi besar yang
secara efektif dapat meng­hentikan perusakan lingkungan
dan mendorong budaya perlindungan yang meresapi
seluruh masyarakat. Ketika kita mengenali panggilan
Allah untuk bertindak bersama-sama dengan orang lain
dalam dinamika sosial ini, hen­daknya kita ingat bahwa itu
pun merupakan bagian dari spiritualitas kita, merupakan
pelaksanaan belas kasih, dan bahwa dengan cara ini kita
dimatangkan dan dikuduskan.
232. Tidak semua orang dipanggil untuk aktif dalam
politik secara langsung; tetapi di tengah masyarakat tum­
buh aneka asosiasi yang bekerja untuk memajukan kese­­
jahteraan umum dengan menjaga lingkungan alam dan
perkotaan. Misalnya, mereka menunjukkan kepedulian
terhadap suatu tempat umum (sebuah bangunan, air
mancur, monumen yang telantar, lanskap, lapangan) untuk
melindungi, membersihkan, memperbaiki atau mem­per­
indah sesuatu yang menjadi milik semua orang. Di sekitar
mereka berkembang atau dipulihkan pelbagai ikatan, dan
suatu jaringan sosial lokal yang baru muncul. Dengan
demikian, masyarakat keluar dari ketidakpedulian akibat

158 Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran


Sosial Gereja, No. 582.

171
konsumerisme. Ini berarti menumbuhkan suatu identitas
bersama, suatu sejarah yang dipelihara dan diteruskan.
Dengan cara ini, dunia dan kualitas hidup mereka yang
paling miskin dipelihara, berkat suatu rasa solidaritas
yang pada saat yang sama menjadi kesadaran bahwa kita
hidup di sebuah rumah bersama yang dipinjamkan Allah
kepada kita. Tindakan komunal ini, ketika mengungkapkan
kasih yang membaktikan diri, dapat menjadi pengalaman
spiritual yang intens.

VI. TANDA –TANDA SAKRAMENTAL


DAN ISTIRAHAT YANG DIRAYAKAN
233. Alam semesta berkembang dalam Allah yang meme­
nuhinya sepenuhnya. Oleh karena itu ada makna mistis
dalam sehelai daun, dalam sebuah lintasan alam, dalam
embun, dalam wajah orang miskin. Idealnya bukanlah
hanya bergerak dari luar ke dalam untuk menemukan
tindakan Allah dalam jiwa, tetapi juga bisa menemukan-
Nya dalam segala sesuatu159, seperti yang diajarkan Santo
Bonaventura: “kontemplasi menjadi lebih sempurna,
semakin kita merasakan efek rahmat ilahi dalam diri kita

159 Seorang guru spiritual, Ali al-Khawwâç, dari pengalamannya sendiri,


menekankan pula perlunya untuk tidak terlalu memisahkan makhluk-
makhluk dunia dari pengalaman batin akan Allah. Dia mengatakan:
“Prasangka tidak seharusnya membuat kita mengkritik mereka yang
mencari ekstase dalam musik dan puisi. Ada “rahasia” yang halus dalam
setiap gerakan dan suara dari dunia ini. Orang yang sudah diinisiasi mulai
menangkap apa yang dikatakan angin yang bertiup, pohon yang bergoyang,
air yang mengalir, lalat yang berdengung, pintu yang berderit, burung yang
bernyanyi, petikan senar alat musik, siulan seruling, desah orang sakit,
erangan orang yang disiksa .... “Eva De Vitray-Meyerovitch ed., Anthologie
du soufisme, Paris 1978, hlm. 200.

172
sendiri, dan semakin kita belajar menemukan Allah dalam
segala makhluk di luar kita”.160
234. Santo Yohanes dari Salib mengajarkan bahwa yang baik
yang terdapat di dalam segala kenyataan dan pengalaman
dunia ini “ditemukan dalam Allah secara istimewa dan tak
terhingga, atau lebih tepatnya, setiap kebaikan besar tersebut
adalah Allah”.161 Bukan karena hal-hal terbatas dunia ini
sungguh ilahi, tetapi karena sang mistikus mengalami
hubungan intim antara Allah dan semua makhluk hidup,
dan dengan demikian “ia merasa bahwa Allah adalah segala
hal itu”.162 Jika ia mengagumi kemegahan sebuah gunung, ia
tidak dapat memisahkannya dari Allah, dan ia menangkap
bahwa kekaguman yang ia alami dalam batinnya, harus
dikaitkan dengan Allah: “Gunung-gemunung itu tinggi,
subur, luas, indah, anggun, berbunga dan harum. Gunung-
gemunung ini—itulah Kekasihku bagiku. Lembah-lembah
terpencil itu tenang, menyenangkan, sejuk dan teduh.
Di sana air jernih mengalir berkelimpahan. Dengan
keragaman vegetasinya dan lagu merdu burung-burung
yang menghuninya, lembah-lembah mempesonakan dan
menyegarkan indra. Dan dalam kesepian dan keheningan,
mereka memberikan kita kesegaran dan istirahat. Lembah-
lembah ini—itulah Kekasihku bagiku”.163
235. Sakramen-sakramen adalah cara istimewa bagaima­
na alam diangkat oleh Allah dan dijadikan perantaraan
kehidupan adikodrati. Melalui ibadat, kita diajak untuk

160 In II Sent., 23, 2, 3.


161 Cantico Espiritual, XIV-XV, 5 (Œuvres complètes, Paris 1990, hlm. 409-410).
162 Ibid.
163 Ibid., XIV, 6-7 (hlm. 410).

173
merangkul dunia pada tingkat yang berbeda. Air, minyak,
api, dan warna-warni diangkat dengan segala daya
simbolisnya dan menyatu dengan pujian kita. Tangan yang
memberkati menjadi sarana kasih Allah dan cerminan
kedekatan Yesus Kristus yang telah datang menemani kita
di jalan kehidupan. Air yang dituangkan atas tubuh seorang
anak yang dibaptis menjadi tanda kehidupan baru. Kita
tidak melarikan diri dari dunia dan tidak menyangkal
alam, ketika kita ingin bertemu dengan Allah. Hal ini
dapat dilihat terutama dalam spiritualitas Kristen Timur:
“Keindahan, yang merupakan salah satu nama teristimewa
di wilayah Timur untuk mengungkapkan harmoni ilahi dan
model kemanusiaan yang telah berubah rupa, menyatakan
diri di mana-mana: dalam bentuk gereja, dalam bunyi
suara, dalam warna-warna, dalam cahaya, dalam aroma”.164
Menurut pandangan Kristen, semua makhluk alam semesta
materiil menemukan makna sejatinya dalam Firman yang
menjelma, karena Anak Allah telah menyatukan dalam
diri-Nya sebagian dari dunia materi dan Ia memasukkan ke
dalam dunia materi benih transformasi akhir: “Kekristenan
tidak menolak materi, kejasmanian, yang justru dihargai
penuh dalam tindakan liturgis, di mana tubuh manusia
menunjukkan sifatnya yang terdalam sebagai bait Roh
Kudus dan menyatukan diri dengan Tuhan Yesus, yang
telah mengenakan tubuh demi keselamatan dunia”.165
236. Dalam Ekaristi, dunia ciptaan menemukan ke­agung­
annya yang terbesar. Anugerah yang biasanya menya­takan

164 Yohanes Paulus II, Surat Apostolik. Orientale Lumen (2 Mei 1995), No. 11:
AAS 87 (1995), 757.
165 Ibid.

174
diri secara konkret, terekspresi luar biasa saat Allah yang
telah menjadi manusia itu, menjadikan diri-Nya santapan
bagi makhluk ciptaan-Nya. Tuhan, pada puncak misteri
Inkarnasi, ingin menggapai lubuk hati kita melalui sepotong
materi; bukan dari atas tetapi dari dalam, sehingga kita
dapat menjumpai-Nya dalam dunia kita sendiri. Dalam
Ekaristi kepenuhan sudah diwujudkan; Ia adalah pusat
kehidupan alam semesta, pusat yang berkelimpahan kasih
dan kehidupan yang tak habis-habisnya. Menyatu dengan
Anak yang menjelma dan yang hadir dalam Ekaristi, seluruh
kosmos mengucap syukur kepada Allah. Memang, Ekaristi
itu sendiri merupakan tindakan kasih kosmik, “Ya, kosmik!
Karena ketika dirayakan di altar sederhana sebuah gereja
kampung, Ekaristi selalu dirayakan, dalam arti tertentu,
di altar dunia”.166 Ekaristi menyatukan langit dan bumi,
merangkul dan meresapi seluruh ciptaan. Dunia yang
berasal dari tangan Allah, berbalik kembali kepada-Nya
dalam penyembahan yang penuh sukacita dan sempurna:
dalam Roti Ekaristi “ciptaan diarahkan kepada pengilahian,
kepada pesta pernikahan yang kudus, kepada penyatuan
dengan Sang Pencipta sendiri”.167 Oleh karena itu, Ekaristi
adalah sumber terang dan motivasi bagi kepedulian kita
terhadap lingkungan, dan mengajak kita untuk menjadi
penjaga seluruh ciptaan.
237. Pada hari Minggu, partisipasi dalam Ekaristi memiliki
arti penting yang khusus. Hari itu, seperti hari Sabat Yahudi,
ditawarkan sebagai hari pemulihan hubungan manusia

166 Id, Ensiklik Ecclesia de Eucharistia (17 April 2003), No. 8: AAS 95 (2003), 438.
167 Benediktus XVI, Homili pada Misa Corpus Domini (15 Juni 2006): AAS 98
(2006), 513.

175
dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan orang lain
dan dengan dunia. Hari Minggu adalah hari kebangkitan,
“hari pertama” ciptaan baru; buahnya yang pertama adalah
kebangkitan kemanusiaan Tuhan, yang menjadi jaminan
transfigurasi akhir seluruh realitas ciptaan. Hari minggu
menyatakan juga “istirahat kekal manusia pada Allah”.168
Dengan demikian spiritualitas Kristen menggabungkan
nilai istirahat dan perayaan. Manusia cenderung meren­
dahkan istirahat kontemplatif sebagai hal yang tidak
produktif atau tidak perlu, sambil melupakan bahwa
dengan demikian ia merampas pekerjaan yang ia lakukan,
dari yang paling penting: maknanya. Kita dipanggil untuk
memasukkan ke dalam pekerjaan kita dimensi penerimaan
dan pemberian tanpa pamrih, yang berbeda dengan sekadar
tidak bekerja. Ini tentang bekerja dengan cara lain yang
termasuk hakikat kita. Dengan demikian, aktivitas manusia
terlindung bukan hanya terhadap aktivisme kosong, tetapi
juga terhadap kerakusan tak terkendali dan pikiran tertutup
yang menyebabkan orang hanya mengejar kepentingannya
sendiri. Aturan tentang istirahat mingguan memberi
perintah agar berhenti bekerja pada hari ketujuh “supaya
lembu dan keledaimu tidak bekerja dan supaya anak
budakmu perempuan dan orang asing melepaskan lelah”
(Keluaran 23:12). Istirahat membuka mata kita untuk dunia
yang lebih luas dan memungkinkan kita untuk mengakui
hak-hak dari yang lain. Dengan demikian, hari istirahat,
yang terpusat pada Ekaristi, memancarkan cahayanya bagi
seluruh minggu dan mendorong kita untuk lebih mem­
perhatikan perlindungan alam dan kaum miskin.

168 Bdk. Katekismus Gereja Katolik, No. 2175.

176
VII. ALLAH TRITUNGGAL
DAN HUBUNGAN ANTARA MAKHLUK
238. Bapa adalah sumber utama segala sesuatu, dasar
yang mengasihi dan menyapa semua yang ada. Semuanya
diciptakan melalui Anak, cerminan Bapa, dan Ia telah
menyatukan diri dengan bumi ini ketika dibentuk dalam
rahim Maria. Roh, ikatan kasih yang tak terbatas, hadir
menembusi seluruh alam semesta dengan menghidupkannya
dan membangkitkan jalan-jalan baru. Dunia diciptakan
oleh ketiga Pribadi yang menjadi asal ilahi yang tunggal,
tetapi masing-masing mewujudkan pekerjaan bersama ini
sesuai dengan sifat pribadinya. Inilah sebabnya mengapa
“ketika ... kita dengan kekaguman merenungkan alam
semesta dalam seluruh kemegahan dan keindahannya, kita
harus memuji segenap Allah Tritunggal”.169

239. Bagi orang Kristen, iman kepada Allah yang Satu


dalam persekutuan Tritunggal, menunjukkan bahwa
seluruh realitas mengandung dalam dirinya jejak Allah
Tritunggal. Santo Bonaventura sampai mengatakan bah­
wa sebelum jatuh dalam dosa, manusia dapat melihat
bagaimana setiap makhluk “bersaksi bahwa Allah adalah
Tritunggal”. Cerminan Trinitas dapat ditemukan dalam
alam “ketika buku itu tidak kabur bagi manusia, dan mata
manusia belum terganggu”.170 Fransiskan yang suci itu
mengajarkan kepada kita bahwa setiap makhluk membawa
dalam dirinya struktur yang khas tritunggal, begitu nyata

169 Yohanes Paulus II, Katekese (2 Agustus 2000), No. 4: Insegnamenti 23/2
(2000), 112.
170 Quaest. Disp. Myst. Trinitatis, 1, 2, concl.

177
sehingga langsung dapat ditatap seandainya pandangan
manusia tidak terbatas, kabur, dan rapuh. Dengan demikian
ia menunjukkan kepada kita tantangan untuk mencoba
membaca realitas dari sudut pandang tritunggal.

240. Pribadi-pribadi ilahi terus berhubungan satu sama


lain, dan dunia, yang diciptakan menurut model ilahi,
merupakan sebuah jejaring relasi. Setiap makhluk condong
kepada Allah, dan semua makhluk yang hidup pada gilir­
annya berciri khas untuk condong yang satu kepada yang
lain, sehingga di alam semesta kita dapat menemukan
relasi konstan yang tak terhitung jumlahnya dan yang
terjalin tersembunyi.171 Ini mengundang kita untuk tidak
hanya mengagumi hubungan yang kompleks antara
segala makhluk, tetapi juga untuk menemukan kunci
pemenuhan kita sendiri. Memang, pribadi manusia makin
berkembang, makin matang dan makin dikuduskan, ketika
ia masuk ke dalam relasi, keluar dari dirinya sendiri untuk
hidup dalam persekutuan dengan Allah, dengan orang
lain, dan dengan semua makhluk. Dengan demikian ia
menyambut dalam hidupnya sendiri dinamisme tritunggal
yang telah dicantumkan di dalam dirinya oleh Allah sejak
penciptaannya. Semuanya saling berhubungan, dan hal itu
mengajak kita untuk mengembangkan suatu spiritualitas
kesetiakawanan global yang mengalir dari misteri Trinitas.

171 Bdk. Thomas Aquinas, Summa Theologiae I, q. 11, art. 3; q. 21, s. 1, ad 3; q.


47, art. 3.

178
VIII. RATU SELURUH DUNIA CIPTAAN
241. Maria, Bunda yang merawat Yesus, sekarang merawat
dunia yang terluka ini dengan kasih sayang dan rasa sakit
seorang ibu. Sama seperti hatinya yang tertusuk telah
meratapi kematian Yesus, sekarang dia merasa kasihan
dengan penderitaan orang-orang miskin yang disalibkan
dan makhluk-makhluk dari dunia yang dihancurkan
oleh kuasa manusia. Sepenuhnya telah berubah rupa, dia
hidup dengan Yesus, dan semua makhluk menyanyikan
keelokannya. Dia adalah “perempuan berselubungkan
matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah
mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya”. (Wahyu
12:1). Terangkat ke surga, dia adalah Ibu dan Ratu seluruh
ciptaan. Dalam tubuh kemuliaannya, bersama dengan
Kristus yang bangkit, sebagian dari ciptaan telah mencapai
kepenuhan keindahannya. Ia tidak hanya menyimpan dalam
hatinya seluruh kehidupan Yesus yang ia asuh dengan setia
(bdk. Lukas 2:19,51), tetapi sekarang pun ia memahami
arti segala sesuatu. Oleh karena itu, kita dapat meminta dia
untuk membantu kita memandang dunia ini dengan mata
yang lebih bijaksana.
242. Di samping Maria, dalam Keluarga Kudus dari
Nazaret, berdirilah sosok Santo Yusup. Dengan pekerjaan
dan kehadirannya yang murah hati, ia menghidupi dan
melindungi Maria dan Yesus, menyelamatkan mereka
dari tindakan kekerasan orang yang tidak benar dengan
membawa mereka ke Mesir. Dalam Injil, ia tampil sebagai
orang yang benar, pekerja, dan kuat. Tetapi, sosoknya juga
menunjukkan kelembutan yang bukanlah ciri orang lemah
tetapi karakteristik mereka yang benar-benar kuat, yang

179
memperhatikan realitas dan siap untuk mengasihi dan
melayani dengan rendah hati. Itulah sebabnya ia dinyatakan
pelindung Gereja universal. Ia dapat mengajarkan kita
untuk melindungi, ia dapat memotivasi kita untuk bekerja
dengan murah hati dan lembut untuk melindungi dunia
yang dipercayakan Allah kepada kita.

IX. MELAMPAUI MATAHARI


243. Di akhirat, kita akan menemukan diri kita berhadapan
muka dengan keindahan Allah yang tak terbatas (lihat
1Korintus 13:12), dan dengan kagum dan bahagia, kita akan
mampu membaca rahasia alam semesta yang bersama-sama
dengan kita akan mengambil bagian dalam kepenuhan
yang tak berujung. Ya, kita sedang mengadakan perjalanan
menuju Sabat keabadian, ke Yerusalem Baru, menuju ke
rumah kita bersama di surga. Yesus berkata, “Lihatlah, Aku
menjadikan segala sesuatu baru!” (Wahyu 21:5). Kehidupan
kekal akan menjadi sebuah pengalaman bersama yang
mengagumkan, di mana setiap makhluk berubah rupa
dengan gemerlapan, akan mengambil tempatnya, dan akan
memiliki sesuatu untuk dipersembahkan kepada kaum
miskin yang telah dibebaskan untuk selamanya.
244. Sementara ini, kita bersatu padu untuk menanggung
rumah yang dipercayakan kepada kita, dengan mengetahui
bahwa segala yang baik yang ada di dalamnya akan diangkat
ke pesta surgawi. Bersama dengan semua makhluk, kita
berjalan di bumi ini mencari Allah, karena “jika dunia
memiliki awal dan telah diciptakan, kita mencari Dia
yang telah menciptakannya, kita mencari siapa yang
telah memberikan permulaannya itu, siapa yang menjadi

180
Penciptanya”.172 Mari kita berjalan sambil bernyanyi!
Semoga perjuangan dan kepedulian kita untuk planet ini
tidak mengambil sukacita pengharapan dari kita.

245. Allah yang memanggil kita kepada suatu komitmen


yang murah hati dan rela memberikan segalanya, memberi
kita kekuatan dan juga terang yang kita butuhkan untuk
bergerak maju. Di tengah dunia ini, Tuhan kehidupan
yang begitu mengasihi kita, terus hadir. Ia tidak menjauhi
kita, Ia tidak meninggalkan kita sendirian, karena Ia telah
menyatukan diri-Nya definitif dengan bumi kita, dan kasih-
Nya terus-menerus mendorong kita untuk menemukan
jalan-jalan baru. Terpujilah Dia!

***

246. Setelah refleksi panjang yang menyenangkan maupun


menegangkan ini saya mengusulkan dua doa. Yang pertama
dapat kita bagi dengan semua orang yang percaya kepada
Allah, Pencipta yang mahakuasa; sedangkan yang kedua
berupa permohonan agar kita, orang Kristen, mampu
memegang komitmen kita terhadap ciptaan, sebagaimana
ditetapkan untuk kita dalam Injil Yesus.

Doa untuk bumi kita


Allah yang mahakuasa,
yang hadir dalam seluruh alam raya
dan dalam makhluk-Mu yang terkecil,

172 Basilius Magnus, Hom. in Hexaemeron (Homili tentang Enam Hari


Penciptaan), 1, 2, 6: PG 29, 8.

181
Engkau merangkul dengan kelembutan-Mu
semua yang ada.
Curahkanlah kekuatan kasih-Mu atas kami
agar kami dapat melindungi kehidupan
dan keindahan.
Penuhi kami dengan kedamaian,
agar kami dapat hidup sebagai saudara dan saudari
tanpa membawa kerugian bagi siapa pun.
Ya Allah orang miskin,
bantulah kami untuk menolong mereka yang ditinggalkan
dan dilupakan di bumi ini,
mereka yang amat berharga di mata-Mu.
Sembuhkanlah hidup kami,
agar kami menjadi pelindung dunia
dan bukan perampok,
agar kami menabur keindahan,
bukan pencemaran atau perusakan.
Sentuhlah hati mereka yang hanya mencari keuntungan
dengan mengorbankan bumi dan kaum miskin.
Ajarlah kami
untuk menemukan nilai segala sesuatu,
untuk menatap dengan rasa kagum,
untuk mengakui bahwa kami terjalin mendalam dengan
segala makhluk
dalam perjalanan kami menuju cahaya-Mu
yang tak berbatas.
Kami berterima kasih karena Engkau bersama kami setiap
hari.
Kami mohon,
sudilah Engkau mendukung kami
dalam perjuangan kami untuk keadilan, cinta, dan
perdamaian.

182
Doa Umat Kristen bersama semua makhluk
Kami memuji Engkau, Ya Bapa,
bersama semua makhluk-Mu,
yang berasal dari tangan-Mu yang kuat.
Mereka adalah milik-Mu,
dipenuhi dengan kehadiran dan cinta-Mu
yang lembut.
Terpujilah Engkau!
Putra Allah, Yesus,
segala sesuatu diciptakan melalui Engkau.
Engkau dibentuk dalam rahim Maria,
Engkau telah menjadi bagian dari bumi ini,
dan Engkau telah melihat dunia
dengan mata manusia.
Sekarang ini Engkau hidup dalam setiap makhluk
dengan kemuliaan kebangkitan-Mu.
Terpujilah Engkau!
Roh Kudus, dengan terang-Mu
Engkau mengarahkan dunia ini kepada kasih Bapa
dan menyambut rintihan segala makhluk;
Engkau juga hidup dalam hati kami
untuk mendorong kami melakukan apa yang baik.
Terpujilah Engkau!
Ya Allah Tritunggal,
persekutuan kasih yang agung dan tanpa batas,
ajarkan kami untuk menatap Engkau
dalam keindahan alam semesta,
di mana segala sesuatu berbicara tentang Dikau.
Bangkitkan puji dan syukur kami
atas semua makhluk ciptaan-Mu.

183
Anugerahilah kami
agar dapat merasakan ikatan mendalam
dengan semua yang ada.
Allah yang mahakasih,
tunjukkan tempat kami di dunia ini
sebagai sarana kasih-Mu
untuk semua makhluk di bumi ini,
karena tiada yang Engkau lupa.
Terangilah para pemegang kekuasaan dan modal
agar mereka menjaga diri
terhadap dosa ketidakpedulian,
mencintai kesejahteraan umum,
memajukan orang lemah,
dan merawat dunia yang kami huni.
Orang-orang miskin bersama bumi memohon:
Ya Tuhan, peganglah kami
dengan kuasa dan terang-Mu
untuk melindungi segenap yang hidup,
untuk menyiapkan masa depan yang lebih baik
untuk mendatangkan Kerajaan-Mu,
Kerajaan keadilan, damai, cinta, dan keindahan.
Terpujilah Engkau!
Amin.

184
Diberikan di Roma, di Basilika Santo Petrus,
24 Mei 2015, Hari Raya Pentakosta, pada tahun ketiga
Pontifikat saya.

185
“LAUDATO SI ‘,
MI’ SIGNORE”
~ “TERPUJILAH ENGKAU, TUHANKU” ~

Sumber gambar: http://www.trees4life.ca/

Anda mungkin juga menyukai