Laporan Pendahuluan Traumatic Brain Injury
Laporan Pendahuluan Traumatic Brain Injury
Laporan Pendahuluan Traumatic Brain Injury
DI SUSUN OLEH :
NURMIATI
17.04.102
CI LAHAN CI INSTITUSI
A. Definisi
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis
terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik,
serta edema serebral di sekitar jaringan otak. Cedera kepala merupakan proses dimana
terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan
tengkorak dan otak Trauma kepala merupakan kejadian cedera akibat trauma pada otak,
yang menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosi, sosial, ataupun vokasional
(pekerjaan). (Sarwono, 2013)
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak. Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi
– descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan. (Grace, P.A, 2012)
B. Etiologi
Penyebab trauma kepala menurut Sarwono 2013 dapat meliputi:
Kecelakaan kendaraan atau transportasi
Kecelakaan terjatuh
Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga
Kejahatan dan tindak kekerasan
C. Patofisiologi
Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau pada sisi
yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai
dinding yang berlawanan (contrecoup injury)
Rotasi/deselerasi
Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang
titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang sfenoid). Rotasi
yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan
batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama pada
anak-anak dengan tengkorak yang elastis.
Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan
otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara otomatis menekan
otak.
- Derajat cedera otak primer secara langsung berhubungan dengan junlah kekuatan
yang mengenai kepala.
- Kerusakan sekunder terjadi akibat: komplikasi sistem pernapasan (hipoksia,
hiperkabia, obstruksi jalan napas), syok hipovilemik (cedera kepala tidak
menyebabkan syok hipovilemik-lihat penyebab lain), perdarahan intrakranial,
edema serebral, epilepsi, infeksi, dan hidrosefalus. (Kowalak, 2011)
D. Jenis-Jenis Trauma
Menurut Sarwono 2013, tipe trauma kepala sebagai berikut:
Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam jaringan otak dan
melukai atau menyobek du ra mater menyebabkan CSS merembes. Kerusakan saraf
otak dan jaringan otak.
Trauma kepala tertutup
Keadaan trauma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio, kontusio,
epidural hematoma, subdural hematoma, intrakranial hematoma. Sedangkan cedera
kepala dapat dibagi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS, (Glasgow Coma Scale)
yaitu:
Cedera Kepala Ringan
- GCS > 13
- Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
- Tidak memerlukan tindakan operasi
- Lama dirawat di RS , 48 jam
Cedera Kepala Sedang
- GCS 9-13
- Ditemukan kelainan pada CT scan otak
- Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
- Dirawat di RS setidaknya 48 jam
Cedera Kepala Berat
Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai GCS <9
Skala Koma Glasgow
Pembukaan mata Respons suara Respons motorik terbaik
Spontan 4 Waspada & orientasi baik 5 Mematuhi perintah 6
Terhadap suara 3 Bingung 4 Menunjukkan tempat nyeri 5
Terhadap nyeri 2 Tidak sesuai 3 Fleksi terhadap nyeri 4
Tidak ada pembukaan 1 Bicara kacau 2 Fleksi abnormal trhdp nyeri 3
Tidak ada respons suara 1 Ekstensi terhadap nyeri 2
Tidak ada respon nyeri 1
Sadar penuh: GCS = 15; koma dalam: GCS = 3.
E. Manifestasi Klinis
a. Komosio/gegar otak
Cedera kepala ringan
Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali
Hilang kesadaran sementara, , 10-20 menit
Tanpa kerusakan otak permanen
Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah
Disorientasi sementara
Tidak ada gejala sisa
Tidak ada terapi khusus.
b. Kontusio serebri/memar otak
Ada memar otak
Perdarahan kecil lokal
Gangguan kesadaran lebih lama
Kelaianan neurologis (+)
Refleks patologis (+), lumpuh, konvulsi
Gejala TIK meningkat
Amnesia retrograd lebih nyata
c. Pada umumnya
Gangguan kesadaran
Konfusi
Abnormalitas pupil
Awitan tiba-tiba defisit neurologik
Perubahan tanda vital
Gangguan penglihatan dan pendengaran
Disfungsi sensory
Kejang otot
Sakit kepala
Vertigo
Gangguan pergerakan
F. Komplikasi
a. Fraktur tengkorak
Menunjukkan tingkat keparahan cedera. Tidak diperlukan terapi khusus kecuali
terjadi trauma campuran, tekanan atau berhubungan dengan kehilangan LCS kronis
(misalnya fraktur fosa kranialis anterior dasar tengkorak). (Grace, 2012)
Perdarahan intrakranial
- Perdarahan ekstradural: robekan pada arteri meningea media. Hematoma di
antara tengkorak dan dura. Seringkali terdapat ‘interval lucid’ sebelum
terbukti tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) (penurunan nadi,
peningkatan tekanan darah, dilatasi pupil ipsilateral, paresis atau paralisis
kontralateral). Terapi dengan evakuasi hematoma melalui lubang Burr.
- Perdarahan subdural akut: robekan pada vena-vena diantara araknoid dan
durameter. Biasanya terjadi pada orang usia lanjut. Terdapat perburukan
neurologis yang progresif. Terapi dengan evakuasi namun penyembuhan
biasanya tidak sempurna.
- Hematoma subdural kronis: robekan pada vena yang meyebabkan hematoma
subdural yang akan membesar secara perlahan akibat penyerapan LCS.
Seringkali yang menjadi penyebab adalah cedera ringan. Mengantuk dan
kebingungan, sakit kepala, hemiplegia. Terapi dengan evakuasi bekuan
darah.
- Perdarahan intraserebral: pendarahan ke dalam substansi otak yang
menyebabkan kerusakan ireversibel. Usaha dilakukan untuk mencegah
cedera sekunder dengan memastikan oksigenasi dan nutrisi yang adekuat.
Infeksi (trauma terbuka)
Depresi pernapasan dan gagal napas
Herniasi otak
G. Penatalaksanaan
a. Cedera kepala ringan
Pasien sadar, mungkin memiliki riwayat periode kehilangan kesadaran. Amnesia
retrograd terhadap peristiwa sebelum kecelakaan cukup signifikan.
b. Indikasi untuk rontgen tengkorak
- Hilang kesadaran atau amnesia
- Tanda-tanda neurologis
- Kebocoran LCS.
- Curiga trauma tembus
- Intoksikasi alkohol
- Sulit menilai pasien
c. Indikasi rawat
- Kebingungan atau GCS menurun
- Fraktur tengkorak
- Tanda-tanda neurologis atau sakit kepala atau muntah.
- Sulit menilai pasien
- Terdapat masalah medis yang menyertai
- Kondisi sosial yang tidak adekuat atau tidak ada orang dewasa yang dapat
mengawasi pasien.
d. Indikasi untuk merujuk ke bagian bedah saraf
- Fraktur tengkorak + bingung/penurunan GCS
- Tanda-tanda neurologis fokal atau kejang
- Menetapnya tanda-tanda neurologis atau kebingungan >12 jam
- Koma setelah resusitasi
- Curiga cedera terbuka pada tengkorak
- Fraktur tekanan pada tengkorak
- Terdapat perburukan
e. Cedera kepala berat
- Pasien akan datang dengan tidak sadar ke departement Kecelakaan dan
Kegawatdaruratan. Cedera kepala mungkin merupakan bagian dari trauma
multipel.
- ABC (Airway management, Breathing, Circulation). Intubasi dan ventilasi pasien-
pasien tidak sadar untuk melindungi jalan napas dan mencegah cedera otak
sekunder akibat hipoksia.
- Resusitasi pasien dan cari tanda-tanda cedera lainnya, khususnya jika pasien
dalam keadaan syok. Cedera kepala dapat disertai dengan cedera tulang belakang
servikal dan leher harus dilindungi dengan cervical collar pada pasien-pasien ini.
- Obati masalah-masalah yang mengancam hidup (misalnya ruptur limpa) dan
stabilkan pasien sebelum dikirim ke unit bedah saraf. Pastikan terdapat
pengawasan medis yang adekuat (ahli anestesi dan perawat) selama pengiriman.
(Muttain, 2012)
H. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan
menurut Grace, 2012 :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan
lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera
seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang
untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan
dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu
Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat
pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah
airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian
karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah
airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan
mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien
dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan
jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat
terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi
aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya
yang mengancam airway.
Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah
membantu pernafsan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan
membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan
yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila
perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah. Syok biasanya disebabkan
karena penderita kehilangan banyak darah.
Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.
Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita,
meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA BRIAN INJURY
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyenestokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
1) Kesadaran GCS.
2) Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
3) Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
d. Sistem pencernaan
1) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika
pasien sadar tanyakan pola makan?
2) Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
3) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.
B. Diagnosa yang Mungkin Muncul
1. Perfusi jaringan tidak efektif (spesifik serebral) b/d aliran arteridan atau vena
terputus
2. Nyeri akut b/d agen injury fisik
3. Pola nafas tidak efektif b/d hipoventilasi
4. Kerusakan integritas kulit b/d imobilitas yg lama
5. Gangguan pemenuhan ADL :makan/mandi, toileting b/d kelemahan fisik dan
nyeri
C. Rencana Asuhan Keperawatan
Tujuan dan kriteria
No Diagnosa Keperawatan Intervensi
hasil
1 Perfusi jaringan tidak NOC: Monitor Tekanan Intra
efektif (spesifik serebral) Karnial
1. Status sirkulasi
b/d aliran arteri dan atau 1. Catat perubahan respon
2. Perfusi jaringan
vena terputus, klien terhadap
serebral
stimulus/rangsangan
Dengan batasan Setelah dilakukan
2. Monitor TIK klien dan
karakteristik : tindakan keperawatan
respon neurologis
selama…× 24 jam,
Perubahan respon terhadap aktivitas
klienmampumencapai
motoric 3. Monitor intake dan
1. Status sirkulasi
Perubahan status output
dengan indikator
mental 4. Pasang restrain, jika perlu
Perubahanrespon Tekanan darah 5. Monitor suhu dan angka
pupil sistolik dan leukosit
Amnesia retrograde distolik dalam 6. Kaji adanya kaku kuduk
(gangguanmemori) rentang yg 7. Kelolan pemberian
diharapkan antibiotic
Tidak ada 8. Berikan posisi dengan
ortostatik kepala elevasi 30-400
hipotensi dengan leher dalam posisi
Tidak ada tanda- netral
tanda PTIK 9. Meminimalkan stimulus
2. Perfusi jaringan dari lingkungan
serebral, dengan 10. Beri jarak antara tindakan
indikator keperawatan untuk
meminimalkan
Klien mampu
peningkatan TIK
berkomunikasi
11. Kelola obat-obat untuk
dengan jelas dan
mempertahankan TIK
sesuai
dalam batas spesifik
kemampuan
Monitoring Neurologis
Klien menunjukan
perhatian, 1. Monitor ukuran,
kosentrasi dan kesimetrisan, reaksi dan
orientasi bentuk pupil
Klien mampu 2. Monitoring tingkat
memproses kesadaran klien
informasi 3. Monitoring tanda-tanda
Klien mampu vital
membuat 4. Monitoring keluhan nyeri
keputusan dengan kepala, mual, dan muntah
benar 5. Monitoring respon klien
Tingkat kesadaran terhadap pengobatan
klien membaik 6. Hindari aktivitas jika TIK
meningkat
7. Observasi kondisi fisik
klien
TerapiOksigen
3 Pola nafas tidak efektif b/d NOC Outcome NIC :manajemen jalan nafas
hipoventilasi 1. Status respirasi 1. Monitor status respirasi
:pertukaran gas dan oksigenasi
2. Status respirasi 2. Bersihkan jalan napas
:kepatenan jalan 3. Auskultasi suara
nafas pernapasan
3. Status respirasi 4. Berikan oksigen sesuai
:ventilasi program
4. Control aspirasi NIC : suctioning air way
Clien Outcome : 1. Observasi secret
Jalan napas paten ygkeluar
Secret dapat di 2. Auskultasi sebelum dan
keluarkan sesudah melakukan
Suara nafas bersih suction
3. Gunakan peralatan steril
pada saat melakukan
suction
4. Informasikan pada klien
dan keluarga tentang
tindakan suction
Dewanto, G., Sarwono, W.J., Riyanto, B & Turana, Y. 2013. Panduan Praktis Diagnosis
& Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Grace, P.A & Borley, N.R. 2012. At a Glance ILMU BEDAH. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kowalak, J.P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin, A. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.