Presentasi Kasus Demam Tifoid
Presentasi Kasus Demam Tifoid
Presentasi Kasus Demam Tifoid
DEMAM TIFOID
Disusun oleh :
PRAMUSETYA SURYANDARU
20120310168
Diajukan kepada :
dr. Heru Wahyono, Sp.A,
1
LEMBAR PENGESAHAN
PRESUS
Demam Tifoid
Telah dipresentasikan pada tanggal :
September 2018
Oleh :
Pramusetya Suryandaru
20120310168
Disetujui oleh :
2
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, petunjuk dan kemudahan
yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul:
“Demam Tifoid”
Penulis meyakini bahwa karya tulis ilmiah ini tidak akan dapat tersusun tanpa bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Heru Wahyono, Sp.A. selaku perceptor dan pembimbing Kepaniteraan Klinik
bagian Ilmu anak di RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang telah berkenan
memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai selesainya
penulisan Presentasi Kasus ini.
2. dr. Sir Panggung, Sp.A., dan dr. Handayani, Sp.A, selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik bagian Ilmu Penyakit Anak di RSUD KRT Setjonegoro.
3. Tn. S selaku orangtua pasien di Bangsal Dahlia yang sudah bersedia meluangkan
waktunya untuk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh.
4. Seluruh tenaga medis dan karyawan di bangsal Dahlia RSUD KRT Setjonegoro
Wonosobo yang telah berkenan membantu dalam proses berjalannya Kepaniteraan
Klinik bagian Ilmu Anak.
5. Ayah, Ibu beserta sanak saudara yang telah mencurahkan kasih sayang dan
memberikan dukungan yang tiada henti.
6. Keluarga dan teman-teman yang selalu mendukung dan membantu dalam selesainya
penulisan Presentasi Kasus ini.
Semoga pengalaman dalam membuat Presentasi Kasus ini dapat memberikan hikmah
bagi semua pihak. Mengingat penyusunan Presentasi Kasus ini masih jauh dari kata
sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan berharga
sehingga menjadi acuan untuk penulisan Presentasi Kasus selanjutnya.
Penulis
3
Table of Contents
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... 2
BAB I ....................................................................................................................... 6
LAPORAN KASUS................................................................................................. 6
B. ANAMNESIS............................................................................................ 6
F. PENATALAKSANAAN ........................................................................ 13
BAB II.................................................................................................................... 15
A. DEFINISI ................................................................................................ 15
B. EPIDEMIOLOGI .................................................................................... 15
C. ETIOLOGI .............................................................................................. 16
4
D. PATOFISIOLOGI ................................................................................... 17
E. DIAGNOSIS ........................................................................................... 20
F. Tatalaksana .............................................................................................. 32
PEMBAHASAN .................................................................................................... 39
5
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Na
Umur : 6 tahun 3 bulan
Alamat : Mojotengah RT 04/05 no.03, Wonosobo
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tgl Masuk RS : 15 Agustus 2018
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
panas tinggi sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit
6
Riwayat makan : Sebelum sakit pasien makan banyak 3 kali sehari atau lebih,
porsi cukup dan bervariasi. Kadang-kadang pasien suka jajan makanan dan minuman
di luar rumah, seperti burger dan chiki-chikian. Namun, saat sakit nafsu makan
pasien berkurang.
Riwayat BAB : Sebelum sakit BAB pasien lancar, teratur 1x sehari, konsistensi
lunak, warna coklat kekuningan, darah (-), lendir (-). Saat sakit pasien mengeluh
susah BAB.
7
B. Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
Riwayat Pertumbuhan
Menurut ibu pasien pertambahan berat badan dan tinggi badan pasien terus
meningkat sampai sekarang. Penimbangan berat dan panjang badan pada masa
bayi dilakukan pada waktu akan melakukan imunisasi di RS oleh dokter spesialis
anak hingga berumur 3 tahun. KMS pasien sudah hilang.
Riwayat Perkembangan
D. Riwayat Makanan
0 - 6 bulan : ASI eksklusif, > 3x sehari, pasien minum ASI sampai tertidur
dan bergantian pada kedua payudara.
12 - 24 bulan : Susu sapi kaleng. Makanan lunak, bubur nasi, hati ayam,
sayuran, telur, 3 piring sehari. Sekali - kali pasien diberikan buah – buahan seperti
pepaya dan pisang sekali sehari.
24 - sekarang : Makan biasa nasi padat dengan lauk ikan/daging dan sayuran,
3 kali sehari, teratur, buah-buahan sekali sehari. Susu kaleng atau kemasan.
8
Diare - Darah -
Otitis - Difteri -
Tuberkulosis - Parotitis -
Jantung - Operasi -
Cacingan - Kecelakaan -
F. Riwayat Keluarga
No. Tgl lahir Jenis Hidup Lahir Abortus Mati Ket.
mati
Kelamin (sebab) Kesehatan
1 23-09-2004 ♀ + - - - -
2 22-01-2006 ♂ + - - - -
G. Data Keluarga
Ayah Ibu
Perkawinan ke- 1 1
9
a. Sistem Cerebrospinal : demam (+), pusing (-)
b. Sistem Cardiovaskuler : tidak ada nyeri dada, tidak berdebar
c. Sistem Respirasi : sesak nafas (-), batuk (+)
d. Sistem Gastrointestinal : mual (+), muntah (+)
e. Sistem Urogenital : BAK lancar, BAB belum sejak 3 hari
f. Sistem Integumentum : Turgor kulit baik
g. Sistem Muskuloskeletal : Gerak dan kekuatan seluruh anggota gerak baik, nyeri
otot tangan dan kaki (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. KEADAAN UMUM & TANDA VITAL
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign :
Frekuensi nadi : 124x / menit
Tekanan darah : 120 / 80 mmHg
Frekuensi napas : 24x / menit
Suhu tubuh : 37,7 C
DATA ANTROPOMETRI
Berat badan : 24 kg
Tinggi badan : 110 cm
Lingkar kepala : 54 cm
Lingkar lengan atas : 29 cm
BMI : BB/(TB)2 = 24/(1,1)2
: 19.83 (Normal (ideal))
2. STATUS GENERALISATA
a. Kepala
1) Bentuk : mesocephal
2) Mata : Konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik -/-
3) Hidung : bentuk normal, tidak ada sekret, tidak ada epistaksis
4) Telinga : Bentuk normal, simetris kanan dan kiri, discharge -/-,
serumen -/- minimal
10
5) Mulut : sianosis(-), gusi berdarah (-), caries dentis (-) lidah
kotor di bagian tengah, tepi lidah hiperemis, tidak ada tremor lidah
6) Tenggorokan : faring tidak hiperemis, tonsil T1 tenang
b. Leher : trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba, kelenjar
submandibula, supra-infra clavicula dan cervical tidak teraba
c. Thorax dan Pulmo :
1) Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi interkostal
(-)
2) Palpasi : vokal fremitus sama kanan dan kiri
3) Perkusi : suara sonor pada lapang paru
4) Auskultasi : suara dasar vesikuler, tidak ada suara tambahan ronkhi
-/-, Wheezing -/-
d. Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC 4 linea midklavikula sinistra
3) Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 murni, gallop (-), bising (-).
e. Abdomen
1) Inspeksi : supel, datar
2) Auskultasi : Bising usus (+) normal
3) Palpasi : hepar teraba 2 cm di bawah arcus costae dextra,
konsisitensi kenyal, tepi tajam, permukaan licin, nyeri tekan (+), lien
tidak teraba, defans muskular (-)
4) Perkusi : pekak sisi (-), pekak alih (-) timpani
f. Ekstremitas : akral dingin, edema(-), CRT < 2 detik
3. PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS
N. I : penciuman dalam batas normal
N. II : reflex cahaya (+/+), visus kesan dalam batas normal
N. III, IV, VI : gerak bola mata (+) ke segala arah, strabismus (-)
N. V : reflex kornea (+/+)
N. VII : lipatan nasolabial simetris
N. VIII : pendengaran kesan dalam batas normal
N. IX, X : menelan (+)
N. XI : menoleh (+)
N. XII : deviasi lidah (-)
11
Kesan : dalam batas normal
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 13,2 gr% 11,7-15,5
Hematokrit 40 vol% 35-47
Trombosit 279.000/μl 150.000-440.000
Leukosit 6.300/μl 3.600-11.000
Serologi Widal
Salmonella Typhi O (+) 1/320
Salmonella Typhi H (-)
Salmonella Paratyphi A O (-)
Salmonella Paratyphi A H (-)
Salmonella Paratyphi B O (-)
Salmonella Paratyphi B H (-)
Salmonella Paratyphi C O (+) 1/320
Salmonella Paratyphi C H (-)
E. DIAGNOSIS KERJA
Susp. Demam Tifoid
DD :
TB Paru
Demam paratifoid
ISK
12
F. PENATALAKSANAAN
Tirah baring selama ±2 minggu
Diet makanan lunak cukup kalori, cukup protein, rendah serat.
Causal
Kloramfenikol : 24 kg x 50 mg/kgBB/hari (dibagi 4 dosis)
: 4 x 300 mg sehari (Sediaan 1g/vial)
Simptomatis
Paracetamol : 24 kg x 10 mg/kgBB/kali
: 3 x 240 mg (bila demam)/ 3dd 2 cth (sediaan 125mg/5ml)
Ondansetron : 4 mg/dosis/8jam
: 4 x 1 amp (sediaan 4mg/2ml(bila mual)
ANJURAN PEMERIKSAAN
Pemeriksaan urine lengkap
Pemeriksaan foto thorax
Tes mantoux
Widal ulang / Igg, Igm Salmonella
PROGNOSA
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : bonam
Ad sanationam : bonam
13
G. PERKEMBANGAN RAWAT INAP
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
A. DEFINISI
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah penyakit infeksi akut
pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala demam selama 7 hari atau lebih,
gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.Penyakit ini ditandai oleh demam
berkepanjangan, ditopang dengan bakteriemia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial
dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar
limfe usus, dan Peyer’s patch.1
B. EPIDEMIOLOGI
Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di negara maju dan
yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di negara maju. Demam tifoid merupakan penyakit
endemis di Indonesia. 96% kasus demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan
oleh Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,
kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.2 Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di
bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di atas lima tahun.5
Diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000 kematian di seluruh
dunia. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah,
terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin.
Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari 10
sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan adanya
perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai negara berkembang. Di negara maju perkiraan angka
kejadian demam tifoid lebih rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 – 0,7 kasus per 100.000 penduduk
di Eropa Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per 100.000 penduduk di
Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian
yang masih tinggi. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per
100.000 penduduk per tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 – 1,5 juta kasus setiap tahunnya.
Diantara penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua
setelah gastroenteritis. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun 1992 – 1996 tercatat 550
kasus demam tifoid yang dirawat dengan angka kematian antara 2,63 – 5,13%.6
Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit ini sering
merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.7
15
C. ETIOLOGI
Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, Salmonella
paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Jika penyebabnya adalah
Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh Salmonella
typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam
lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.8
Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman
Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motile, berflagela, berkapsul,
tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C (150C-410C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur
pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,40C selama satu jam
dan 600C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella mempunyai
karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa.9
Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka terhadap
proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 0C. Organisme ini juga dapat bertahan hidup beberapa
minggu dalam air, es, debu, sampah kering, pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1
minggu, dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa
merubah warna dan bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella
typhi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau
karier kronis.3
Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau karier
Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah menelan bakteri ini. Bila
hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak menderita demam tifoid. Namun bakteri yang sedikit demi
sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang positif dan bermakna.10
Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu:
- Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)
- Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat
termolabil.
- Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman
dan melindungi O antigen terhadap fagositosis
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Ada 3 spesies utama yaitu :
- Salmonella typhosa (satu serotype)
- Salmonella choleraesius (satu serotype)
- Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)2
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.
Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel
16
dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan
dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.1
Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000 hingga 1 juta
organisme. Strain Vi negatif dari Salmonella enterica serotipe typhi ini kurang infeksius dan kurang
virulen dibandingkan strain Vi positif. Untuk dapat mencapai usus halus biasanya Salmonella typhi
ini harus dapat bertahan melalui sawar asam lambung dan kemudian melekat pada sel mukosa serta
melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang melapisi sepanjang lapisan Peyer ini
merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk invasi dan sebagai transpor menuju jaringan
limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke dalam folikel limfoid intestinal dan nodus limfe
mesenterik dan kemudian masuk dalam sel retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan ini
terdapat perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript, lamina
propria usus halus, dan kelenjar limfe mesenterica.6
Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam fagosit
mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses ini mencakup jumlah bakteri,
tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri ini kemudian dilepaskan dari habitat intraseluler
masuk aliran darah. Masa inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase bakteriemi, bakteri akan menyebar
dan tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan
lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung empedu terjadi langsung dari asam empedu. Jumlah
bakteri pada fase akut diperkirakan 1 bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar
10 bakteri /ml sumsum tulang. Walaupun Salmonella typhi menghasilkan endotoksin namun angka
mortalitas stadium ini < 1 %. Studi menunjukkan peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti
inflamasi dalam sirkulasi pasien tifoid.1
D. PATOFISIOLOGI
Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam tifoid berdasarkan
penelitian terbaru ialah :
b. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang mengkode Sips
(Salmonella Invasion Proteins).
c. Reseptor Toll R2 and Toll R4 dijumpai pada permukaan makrofag yang berperan
penting dalam signalisasi yang diperantarai LPS dalam makrofag
e. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari aliran darah menuju
jaringan yang terinfeksi bakteri.12
17
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan
makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka mula-mula timbul
usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung
dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati
barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.9
Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-109 yang tertelan
melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella
dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami
gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada
keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.8
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme
pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman
keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping
itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan
asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi
mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah
menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan
selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi dapat
bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman.
Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran
darah melalui duktus torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg asimptomatis.9
Kemudian kuman akan masuk kedalam organ–organ system retikuloendotelial (RES)
terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan.
Dari sini kuman akan masuk ke dalam peredaran darah, sehingga terjadi bakteriemia kedua yang
simptomatis (menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan masuk
ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu kuman tersebut bersama dengan asam
empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus halus. Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus
kembali dan menimbulkan tukak yang berbentuk lojong pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan gejala
peritonitis.1
Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama
dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat berperan membantu proses radang lokal
dimana kuman ini berkembang biak yaitu merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit
pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat
termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam.1 Sedangkan gejala pada
saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.5
18
Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manifestasi klinis
sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokin,
selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang sistem imun,
instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang, dan panas.
Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh makrofag yang
mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila
sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan
limfe mesenterium, limpa, hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang terinfeksi.
Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu pertama),
nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan
jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini
dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan pada kasus
demam tifoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital.2
Bagan Patofisiologi Demam Typhoid
KUMAN S. TYPHI
Makanan + Minuman
Lambung mati
Usus halus
RES
Hati dan Limpa
19
E. DIAGNOSIS
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam pada
pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul
indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara
lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan
menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat
demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti
kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran.1
Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan gejala
prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non produktif, bradicardia.
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan
limpa, serta gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah
sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan
gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi
pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu
seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan
diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak makulopapular)
berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan
punggung, timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-80%
penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan
tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.2
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi berlangsung lebih
ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali. Terjadi
sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun
mendapat infeksi yang cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-
organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada
waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan
fibroblas.5 Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya
relaps.6
20
Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina, Jakarta, diare lebih
sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47% dan 15,79% pada anak. Gejala sakit
kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri perut 60,5%, muntah 26,32%, mual 42,11%, gangguan
kesadaran 34,21%, gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58% dan delirium pada 2,63% anak.
Penulis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid.1
Neonatus
Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur, demam enterik
selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit neonatus biasanya mulai dalam 3 hari
persalinan. Muntah, diare ,dan kembung sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat setinggi 40,5 0C.
Dapat terjadi kejang-kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan mungkin
nyata.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu
pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau (delirium), malaise,
21
letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada
demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan
bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali.
Kadang-kadang dijumpai terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
3. Pemeriksaan penunjang
# Darah tepi perifer
- Anemia
Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus.
- Leukopenia
Namun jarang kurang dari 3000/ul
- Limfositosis relatif
- Trombositopenia
Terutama pada demam tifoid berat.
# Pemeriksaan serologi
- Serologi Widal
Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase
konvalesens.
- Kadar IgM dan IgG (Typhidot)
# Pemeriksaan biakan Salmonella
- Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.
- Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.
# Pemeriksaan radiologik
- Foto toraks
Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.
- Foto abdomen
Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau perdarahan
saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata, tampak air fluid
level, bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas pada abdomen.1
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remittent dan
tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung meningkat setiap hari, biasanya
22
menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II,
penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur
turun dan normal kembali pada akhir minggu III.
2. Gangguan saluran cerna
Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah (rhagaden), lidah
ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung dan tepinya kemerahan. Pada
abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar dan lien yang membesar
disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua
dan remaja, akan tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam berupa apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah.
Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejala-gejala
lain:
- Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest dapat ditemukan
rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan diameter 2-4 mm yang akan hilang
dengan penekanan dan sukar didapat pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul
karena embolisasi bakteri dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama
demam.
- Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang biasanya ditemukan
pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai karakteristik notch (dicrotic notch).5,13
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan
asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan
gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan
laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis.
23
Pada 2 minggu pertama demam dijumpai leukopenia dengan neutropenia dan limfositosis
relatif. Leukopenia dapat dijumpai tetapi jarang hingga di bawah 3000/ul. Trombositopenia juga
dapat terjadi bahkan dapat berlangsung beberapa minggu. Adanya leukositosis menunjukkan
kemungkinan perforasi usus atau supurasi. Pada penderita demam tifoid sering dijumpai anemia
normositik normokrom. Anemia normositik normokrom terjadi akibat perdarahan usus atau
supresi sumsum tulang. Pada 20% penderita demam tifoid terjadi perdarahan intestinal tersamar.14
24
sedikit, waktu pengambilan spesimen tidak tepat atau telah mendapat pengobatan dengan
antibiotik.15
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal ialah pemeriksaan
yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang pasti. Kedua pemeriksaan perlu
dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. Pada biakan empedu, 80% pada
minggu pertama dapat ditemukan kuman di dalam darah penderita. Selanjutnya sering ditemukan
dalam urin dan feses dan akan tetap positif untuk waktu yang lama.5
b. Tes Widal
Pada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis demam tifoid
adalah uji Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896. Uji serologi Widal memeriksa antibodi
aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela ( H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis
demam tifoid.14
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur
dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd antigen
O. Titer thd antigen O yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang
progresif pada pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut. Titer
tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer thd antigen H
tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap tinggi setalah mendapat imunisasi atau bila
penderita telah lama sembuh. Titer thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya
menunjukan virulensi dari kuman.5
Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama yaitu pada hari ke 6-
8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O pada akhir minggu pertama dan 90%
penderita pada minggu ke-4. Titer anti O meningkat tajam, mencapai puncak antara minggu ke-3
dan ke-6. Kemudian menurun perlahan-lahan dan menghilang dalam waktu 6-12 bulan.
Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12 dan akan menetap
selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibodi bersilangan dengan kultur darah sebelum
akhir minggu ke 2. Hal ini menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih banyak dijumpai
sebelum minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah minggu ke-2.
Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat imunisasi, anti H
menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab lain dapat menimbulkan reaksi
anamnestik yang menyebabkan peningkatan titer anti H. Peningkatan titer anti O lebih bermakna,
tetapi pada beberapa penderita hanya dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang
tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar bakteri sehingga
untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui titer antibodi pada saat individu sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu dapat
disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen diambil terlalu dini atau antibodi tidak
25
terbentuk akibat defek pembentukan antibodi seperti pada penderita gizi buruk,
agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau keganasan. Pengobatan antibiotik seperti kloramfenikol
dan ampisilin, terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer antibodi tetap rendah atau
tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.15
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96%. Beberapa klinisi di Indonesia berpendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa >
1/200 atau terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang
Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi ( karier). Banyak peneliti
mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab tidak spesifik, dapat
positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya.14
Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:
-semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O yang sama
yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh
Salmonella grup A dan B ( yang lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B).
-semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella typhi dan
-titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi.
Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien tidak
selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai antibodi pada
umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan
untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah antibodi tidak
muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada kaitannya dengan
gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar (15% lebih) tidak terjadi kenaikan titer O
bermakna.16
Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya pengaruh terapi
antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang baik karena serotype Salmonella
lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi bereaksi silang dengan
enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif palsu.17
Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan konvalesen, untuk
mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen dengan interval 7-10 hari,
peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali menunjang diagnosis demam tifoid. Pada
beberapa penderita tidak dijumpai peningkatan titer antibodi karena spesimen diambil pada
stadium lanjut, titer antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon antibodi tidak baik
sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini tes Widal dilakukan satu kali
pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu spesimen sangat sulit.15
26
Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal sebagai alat penunjang
diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi
perdebatan. Hingga saat ini pemeriksaan serologik Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena
belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point) 16
Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus
abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan
penderita.
Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut:
- Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil coli patogen dlm
usus.
- Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta.
- Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix).
- Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basisl perora; atau pada keadaan infeksi.5
27
memiliki spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah kuman
dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15 Salmonella typhi/ml darah dari pasien demam tifoid.
Oleh sebab itu target DNA telah dapat diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi.
Penggandaan target DNA dilakukan dengan teknik PCR menggunakan enzim DNA polimerase. Cara
ini dapat melacak DNA Salmonella typhi sampai sekecil 1 pikogram namun usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan.16
# IgM Dipstick test
Pemeriksaan ini didasarkan pada ikatan antibodi IgM spesifik Salmonella typhi pada LPS antigen
Salmonella typhi.
Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana dan cepat. Hasil positif
tes Tubex menunjukkan adanya infeksi Salmonella walaupun tidak dapat menunjukkan Salmonella
grup D mana yang menjadi faktor kausatifnya. Infeksi Salmonella serotipe lainnya seperti Salmonella
paratyphi A memberikan hasil yang negatif. Oleh sebab itu, tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu singkat.10,18
KOMPLIKASI
Komplikasi typoid dapat terjadi pada :
1. Intestinal (usus halus) :
Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:
a. Perdarahan (haemorrhage) usus.
Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena. Pada anak lebih jarang.
Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari ketujuh belas atau awal minggu ke-
3.
Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8%-8,6%
Diagnosis dapat ditegakkan dengan:
Penurunan tekanan darah
Denyut nadi bertambah cepat dan kecil
Kulit pucat
Penurunan suhu tubuh
Mengeluh nyeri perut
Sangat iritabel
Darah tepi: sering diikuti peningkatan lekosit dalam waktu singkat
b. Perforasi usus
Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering terjadi pada ileum
terminalis. Lebih jarang dibandingkan pada orang dewasa. Angka kejadian
antara 0,4-2,5%. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa peritonitis hanya dapat
28
ditemukan bila terdapat udara dalam rongga peritoneum, yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara bebas (free air sickle) diantara hati dan
diafragma pada foto Rontgen abdomen yang dibuat dalam posisi tegak.
c. Peritonitis
Pada umumnya tanda/gejala peritonitis sering didapatkan, penderita
nampak kesakitan di daerah perut yang mendadak, perut kembung, dinding
abdomen tegang ( defense musculair ), nyeri tekan, tekanan darah menurun,
suara bising usus melemah, pekak hati berkurang. Pada pemeriksaan darah
tepi didapatkan peningkatan lekosit dalam waktu singkat.
2. Ekstraintestinal
Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia):
a. Liver, gallbladder, dan pancreas
Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi hepatitis
typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga terjadi
pankreatitis.
b. Kardiorespiratory
Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan pada daerah
endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah sekali dan
ditandai oleh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah, hypotensi, dan
EKG yang abnomal.
Bronkitis ringan sering terjadi, broncopneumonia .
c. Nervous system
Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang),
encephalomyelitis.
d. Hematologi dan renal
Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana merupakan
manifestasi sindrom uremia hemolitik, dan hemolisis. Glomerulonefritis,
pielonefritis, dan perinefritis.5,13
Kolesistitis
29
Pada anak-anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhir minggu kedua dengan gejala
dan tanda klinis yang tidak khas.
Bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
Tifoid Ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa: kesadaran menurun,
kejang-kejang, muntah, demam tinggi dan pemeriksaaan cairan otak masih dalam batas-batas normal.
Angka kejadian yang dilaporkan berkisar 0,3-9.1%.
Bila disertai kejang-kejang maka biasanya prognosa jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh
gejala sisa sesuai dengan lokasi yang terkena.
Meningitis
Meningitis oleh karena Salmonella typhosa atau species salmonella yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus maupun bayi dibandingkan pada anak, dengan gejala klinis sering tidak
jelas sehingga diagnosis sering terhambat.
Ternyata penyebabnya adalah Salmonella Havana dan Salmonella Oranenburg.
Gejala Klinis:
- Bayi tidak mau menetek
- Kejang
- Letargi
- Sianosis
- Panas
- Diare
- Kelainan neurologis seperti: opistotonus, fontanella cembung, refleks grasp menurun,
reflex mengisap menurun.
Komplikasi tifoid meningitis dapat berupa:
Efusi subdural
Ventrikulitis
Hidrosefalus
30
Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinisnya tidak khas.
Insidensnya terutama pada anak-anak umur 7 tahun ke atas serta sering terjadi pada minggu kedua dan
ketiga.
Diagnosis klinis berdasarkan: (menurut Keith, dkk 1978)
- Irama mendua
- Takikardi yang menetap
- Bunyi jantung melemah
- Bising sistolik di apex
- Pembesaran jantung
Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain: sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan
gelombang T; AV blok tingkat 1, arithmia, supraventrikulertakikardi.
Karier kronik
Tifoid karier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi
mengandung kuman Salmonella typhosa di dalam ekskretnya. Mengingat karier sangat penting dalam
hal penularan yang tersembunyi, maka penemuan kasus sedini mungkin serta pengobatannya sangat
penting dalam hal menurunkan angka kematian.
Pada anak-anak jarang untuk menjadi karier dibandingkan dengan orang dewasa.
Mengingat ekskresi Salmonella dapat terjadi intermitten maka paling sedikit diperlukan 3-6
kali biakan sebelum hasilnya dapat dikatakan negatif. Pengobatan karier merupakan masalah yang
sulit, kadang-kadang dengan pemberian obat-obatan antimikroba gagal karena Salmonella typhosa
bersarang dalam saluran empedu intrahepatik sehingga diperlukan pengobatan kombinasi antara
operasi dan obat-obatan.2
31
F. Tatalaksana
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap dan dirawat
sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian yaitu:
perawatan
diet
obat
Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta
pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring sempurna
seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai
dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus
diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain termasuk
buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian.
Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan tidak ada
keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi selama penyakitnya
berjalan.
Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian bubur
kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita. Banyak penderita tidak senang
diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan keadaan umum dan gizi
penderita semakin mundur dan masa penyembuhan ini menjadi makin lama.
Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan
penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas ternyata dapat diberikan dengan
aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun
mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas selulose, menghindari makan iritatif sifatnya.
Pada penderita dengan gangguan kesadaran maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan.
Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti dapat
menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit sedikit diperpendek, dapat
menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi
lain selama perawatan.
Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian menurun secara drastis(1-4%).
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain:
32
- Kloramfenikol
- Tiamfenikol
- Co trimoxazol
- Ampisilin
- Amoksisilin
- Seftriakson
- Sefiksim
Kloramfenikol
Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada
ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptide
tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Meskipun telah dilaporkan adanya
resistensi kuman Salmonella terhadap kloramfenikol di berbagai daerah. Kloramfenikol
tetap digunakan sebagai drug of choice pada kasus demam tifoid, karena sejak
ditemukannya obat ini oleh Burkoder (1947) sampai saat ini belum ada obat antimikroba
lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat, di samping harganya murah dan
terjangkau oleh penderita. Di lain pihak kekurangan kloramfenikol ialah reaksi
hipersentifitas, efek toksik pada system hemopoetik (depresi sumsum tulang, anemia
apastik), Grey Syndrome, kolaps serta tidak bermanfaat untuk pengobatan karier. Dalam
pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis, dosis yang dianjurkan ialah
50-100 mg/kg.bb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari serta untuk
neonatus sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25
mg/kgbb/hari.2,3
Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan kimianya
hampir sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian tiamfenikol demam
turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi hematologi pada penggunaan tiamfenikol lebih
jarang dilaporkan, sedangkan strain salmonella yang resisten terhadap tiamfenikol.
Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari.
Co Trimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang kontroversial.
Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap
33
kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan timbulnya kekambuhan
pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-15%). Steven Johnson sindrome,
agranulositosis, tromositopenia, megaboblastik anemia, hemolisis eritrosit terutama pada
penderita defisiensi G6PD.
Dosis oral: 30-40 mg/kg.bb/hari dari sulfametoxazole dan 6-8 mg/kg.bb/hari,
oral, selama 10 hari untuk trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian.
Seftriakson
Lebih aman dari Kloramfenikol. DOC jika terdapat resistensi terhadap
kloramfenicol. Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik. Dosisnya 80
mg/kgbb/hari, IV atau IM, sekali sehari, 5 hari.
Sefiksim
10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.
# Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan
perdarahan usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan kortikosteroid
34
secara bermakna menurunkan angka kematian. Diberikan pada kasus berat dengan
gangguan kesadaran. Dexametason 1-3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga
kesadaran membaik.2,3
# Antipiretik
Diberikan apabila demam > 39ºC, kecuali pada riwayat kejang demam dapat
diberikan lebih awal.
Lain-lain
Transfusi darah
Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus.
Bedah
Konsultasi Bedah Anak apabila dijumpai komplikasi perforasi usus.
Monitoring
Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi adakah komplikasi, sumber
infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah
menegakkan diagnosis.
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik,
nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat
dilanjutkan di rumah.3
PENCEGAHAN
Higiene perorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan,
seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan
pembuangan limbah feses, pemberantasan lalat, pengawasan terhadap kebersihan penjual
makanan.2,3
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi,
maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka
konsumsi. Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanaskan setinggi 57°C
beberapa menit atau dengan proses iodinasi/ klorinasi.
35
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57ºC beberapa menit dan secara
merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu
negara atau suatu daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan
pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene
pribadi.3
Imunisasi
Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
Beberapa vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid, bentuknya berupa
vaksin demam tifoid oral, dan vaksin polisakarida parenteral.1
36
Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5ml mengandung kuman Salmonella
typhi, polisakarida 0,025mg, fenol, dan larutan buffer yang mengandung natrium
klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat, dan pelarut untuk suntikan.
Penyimpanan pada suhu 2°C-8ºC, jangan dibekukan. Vaksin ini akan kadaluarsa
dalam jangka waktu 3 tahun. Pemberian secara intramuskuler atau subkutan pada
daerah deltoid atau paha. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3 tahun. Reaksi
samping lokal dari vaksinasi ini berupa bengkak, nyeri, kemerahan di tempat
suntikan. Reaksi sistemik yang dapat timbul yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut tapi jarang dijumpai. Sangat jarang
terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit, dan urtikaria. Kontraindikasi
pemberian vaksin ini adalah pasien yang alergi terhadap bahan-bahan dalam
vaksin, saat demam, penyakit akut, penyakit kronik progresif. Daya proteksi 50-
80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada
makanan dan minuman.15
G. Prognosis
Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik
yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%,
mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena keterlambatan diagnosis,
perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan kemungkinan komplikasi dan waktu
pemulihan.19
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-
anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5% dari
seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier
kronis dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak
akan menjadi karier sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi karier kronis.7
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat
datang berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis
yang berat seperti:
- Hiperpireksia atau febris kontinua
- Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.
- Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.
37
- Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5
38
BAB III
PEMBAHASAN
Demam typhoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimptomatis. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi, namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan,
(3) gangguan kesadaran. Pada kasus khas terdapat demam remitten pada minggu pertama,
biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada malam hari. Dalam minggu kedua
pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara berangsur-angsur pada
minggu ketiga.
Pada pasien ini di tegakkan diagnosa demam typhoid tanpa komplikasi. Diagnosa
ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis:
Pasien demam 7 hari yang remitten. Demam menjelang sore hari dan demam
turun pagi harinya sehingga pasien dapat bersekolah pada pagi harinya (aktivitas
pasien tidak terganggu)
Demam disertai dengan gangguan pencernaan berupa mual dan konstipasi
Pasien sering jajan makanan dan minumam di luar rumah, yang tidak jelas
kebersihannya
39
beberapa faktor, antara lain (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume
darah dan media empedu, (3) waktu pengambilan darah.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serologis dan didapatkan hasil positif
pada serologi Salmonella typhi O dan Salmonella paratyphi CO sebesar 1/320.
Walaupun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam typhoid telah luas
digunakan namun manfaatnya masih menjadi perdebatan.
Pasien diperbolehkan pulang setelah perawatan di rumah sakit karena tidak ada
keluhan dan ada perbaikan klinis. Namun pasien tetap dianjurkan untuk istirahat dan
mobilisasi bertahap, diet makanan lunak, dan melanjutkan antibiotik sampai 5 hari
bebas demam.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi dan
penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75.
2. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.
3. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4.
5. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan
Infomedika, 2005: h.592-600.
8. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics, 18 th
ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.
9. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2003: h.37-43.
10. Hartoyo E, Yunanto A, Budiarti L. UJi sensitivitas salmonella typhi terhadap berbagai
antibiotik di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin. Sari Pediatri. September
2006;8(2):118-121.
41
12. NN. Demam tifoid. Available from: http://www.medicastore.com (cited : 2009 August
5th).
13. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current pediatrics diagnosis &
treatment., 18th ed. USA, 2007: p.279, 1184-5.
14. Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada Demam Tifoid
Anak. Sari Pediatri. 2001;2(4):182-7.
15. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman imunisasi di
Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2005: h.173-4.
16. Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak antigen
salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.
17. World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment and
Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2003. Available from:
http://www.who.int/vaccines-documents/ (Updated 2003, cited : 2009 August 5th).
18. Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi & penerbitan bagian
ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000: h.3-5.
42