Initial Assesment (Pengkajian Primer Dan Sekunder)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang
menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat
ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam
beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma,
immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat resiko
kecacatan dan bahkan kematian. Hal ini bisa saja terjadi karena trauma yang terjadi dalam
beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma tidak mendapatkan penanganan yang
optimal. Berdasarkan kasus diatas, penilaian awal merupakan salah satu item
kegawatdaruratan yang sangat mutlak harus dilakukan untuk mengurangi resiko kecacatan,
bahkan kematian.
Pada penelitian Canadian selama 5 tahun yang diakui oleh unit trauma, 96,3%
mendukung terjadinya trauma tumpul, sisanya 3,7% cedera dengan mekanisme penetrasi.
Penyebab trauma tumpul berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas (70%), bunuh diri
(10%), jatuh (8%), pembunuhan (7%), dan lain-lain (5%). Banyak kejadian tersebut yang
akhirnya menuju kedalam kegawatdaruratan.
Berdasarkan penelitian diatas, seorang tenaga kesehatan harus mampu melakukan
tindakan medis yang tepat dan cepat untuk mengatasinya. Melalui protocol-protokol yang
berlaku, seorang tenaga kesehatan harus mampu melakukan penilaian awal, sehingga mampu
memberikan tindakan yang tepat sesuai dengan tujuan penilaian awal. Tujuan penilaian awal
adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan pengancam jiwa dan
untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan
definitif atau transfer kefasilitas sesuai. Oleh karena itu tenaga medis, khususnya dalam
system pelayanan tanggap darurat harus mengenal konsep penilaian awal untuk
meningkatkan keberhasilan penanganan kasus gawat darurat.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud initial assesment?

2. Apa yang dimaksud pengkajian primer dan pengkajian sekunder dalam initial
assesment?
3. Bagaimana pelaksanaan pengkajian primer dan sekunder dalam initial assesment?

1
1.3 Tujuan
1. Umum

Mahasiswa dapat menangani kasus trauma secara umum dengan cepat dan tepat serta
mampu melakukan penilaian dan pengelolaan awal penderita trauma.

2. Khusus
a. Dapat menyebutkan dan mengetahui masalah yang mengancam pada penderita
trauma dengan cepat dan tepat.

b. Dapat menyebutkan dan memahami konsep pada initial assessment yaitu primary
survey dan resusitasi serta secondary survey secara berurutan.

c. Dapat melakukan penanganan penderita trauma secara berurutan sesuai konsep


initial assessment

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Initial Assesment


Initial assessment adalah untuk memprioritaskan pasien dan menberikan penanganan
segera. Informasi digunakan untuk membuat keputusan tentang intervensi kritis dan waktu
yang dicapai. Ketika melakukan pengkajian, pasien harus aman dan dilakukan secara cepat
dan tepat dengan mengkaji tingkat kesadaran (Level Of Consciousness) dan pengkajian
ABC (Airway, Breathing, Circulation), pengkajian ini dilakukan pada pasien memerlukan
tindakan penanganan segera dan pada pasien yang terancam nyawanya. (John Emory
Campbell, 2004 : 26)
Penilaian awal ini intinya adalah :
1. Primery survey, yaitu penanganan ABCDE dan resusitasi. Disini dicar keadaan
yang mengancam nyawa, dan apabila menemukan harusdilakukan resusitasi.

2. Secondary survey, yaitu head to toe/ pemeriksaan yang teliti dari ujung kepala
sampai kaki

3. Penanganan definitive atau menetap

Survei primer maupun sekunder harus selalu diulang-ulang untuk menentukan adanya
keadaan penurunan penderita, dan memberikan resusitasi dimana diperlukan.

2.2 Tahapan Pengelolaan Penderita


Penanganan penderita berlangsung 2 tahap, yaitu:
1. Tahap pra rumah sakit
Di indonesia pelayanan pra rumah sakit merupakan bagian yang sangat terbelakang
dari pelayanan penderita gawat darurat secara menyeluruh. Berbeda dijalan tol hampir semua
penderita korban trauma dibawa oleh ambulance ke rumah sakit. Pelayanan korban trauma
pra rumah sakit yang membawanya biasanya adalah keluarga sendiri atau orang sekitar yang
berbaik hati (good samaritan).
Prinsip uatama dalam hal ini adalah tidak boleh membuat keadaan lebih parah (Do no
futher harm). Keadaan yang ideal adalah dimana Unit Gawat Darurat (UGD) yang datang ke
penderita sebaiknya, karena itu ambulance tidak datang sebaiknya memiliki peralatan yang
lengkap.

3
Petugas/paramedic yang datang membantu penderita juga sebaiknya mendapatkan
latihan khusus, karena pada saat menangani penderita mereka harus menguasai keterampilan
khusus yang dapat menyelamatlan nyawa. Sebaiknya rumah sakit sudah diberitahukan
sebelum penderita di angkat dari tempat kejadian, dan koordinasi yang baik antar dokter di
rumah sakit dengan petugas lapangan akan menguntungkan penderita.
Yang harus dilakukan oleh seorang paramedic adalah:
a. Menjaga airway dan breathing

b. Kontrol perdarahan dan syok

c. Imobilisasi penderita, dan

d. Pengiriman ke rumah sakit terdekat yang cocok

2. Tahap rumah sakit


a. Evakuasi penderita
Dalam keadaan dimana penderita trauma di rumah sakit yang dibawa tanpa
persiapan pada pra rumah sakit maka sebaiknya evakuasi dari kendaraan ke
brankar dilakukan oleh petugas rumah sakit dengan berhati-hati. Selalu harus
perhatikan kontrol servikal.
b. Triase
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan
sumber daya yang tersedia. Pada umumnya kita akan melakukan triase, tidak
peduli apakah penderita hanya satu atau banyak.
1. Bila satu penderita, akan mencari masalah penderita (selection of problems)

2. Bila banyak penderita, akan mencari penderita yang paling bermasalah.

3. Pemilihan akan didasarkan pada kedaaan ABC (Airway, Breathing,


Circulation).

Dua jenis keadaan triase yang dapat terjadi:

1. Jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampaui kemampuan


petugas. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah gawat darurat
dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu, sesuai prinsip ABC.
2. Jumlah penderita dan beratnya perlukaan melampaui kemampuan
petugas. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu adalah

4
penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan
membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang terbatas.

2.3 Primary Survey dan Resusitasi (Pengkajian Primer dan Resusitasi)


Pada tahap ini harus dicari keadaan yang mengancam nyawa, tetapi sebelum
memegang penderita trauma harus selalu proteksi diri terlebih dahulu untuk menghindari
tertular penyakit seperti hepatitis dan AIDS.
Alat proteksi diri sebaiknya:
1) Sarung tangan

2) Kaca mata, terutama apabila penderita menyemburkan darah

3) Apron, melindungi pakaian sendiri

4) Sepatu

Lakukan primary survey atau mencari keadaan yang mengancam nyawa adalah:

1) Airway dengan control servical (gangguan airway adalah pembunuh tercepat)

2) Breathing dan ventilasi

3) Circulation dengan kontrol perdarahan

4) Disability: status neurologis dan nilai GCS

5) Exposure/environmental: buka baju penderita tapi cegah hipotermi

Primary Survey (Pengkajian Primer)

1. Airway dengan control servical


Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, namun harus diingat
bahwa kebanyakan usaha untuk memperbaiki jalan nafas akan menyebabkan
gerakan pada leher. Karena itu apabila ada kemungkinan fraktur servikal harus
dilakukan dengan kontrol servikal.

Kemungkinan patahnya tulang servikal diduga bila ada:

a. Trauma kapitis, terutama apabila ada penurunan kesadaran

b. Adanya luka karena trauma tumpul kranial dari klavikula

5
c. Setiap multi trauma (trauma pada 2 region tubuh atau lebih)

d. Juga harus waspada kemungkinan patah servikal bila biomekanik trauma


mendukung (mislnya ditabrak dari belakang).

Karena itu langkah selanjutnya adalah:


1) Pertahankan posisi kepala

2) Pasang colar servical

3) Pasang diatas long spine board

Lalu perhatian ditujukan kepada airway. Ajaklah penderita berbicara,


apabila penderita dapat berbicara dengan jelas dan dengan kalimat
panjang maka untuk sementara dapat dianggap bahwa airway dan
breathing dalam keadaan baik. Juga kemungkinan penderita tidak syok,
dan tidak ada kelainan neurologis, namun asumsi ini selalu dilakukan
dengan berhati-hati.

Langkah berikutnya adalah lakukan penilaian airway

1) Bila dapat berbicara jelas maka airway baik.

2) Bila ada gangguan airway maka perbaiki.

Sumbatan pada jalan nafas akan menyebabkan sesak yang harus


dibedakan dengan sesak karena gangguan brething. Pada obstruksi jalan
nafas biasanya akan ditemukan pernafasan yang berbunyi seperti; bunyi
gurgling (bunyi kumur-kumur karena adanya caira), bunyi
mengorok/snoring (karena pangkal lidah yang jatuh kedalam), bunyi
stridor (karena adanya penyempitan/oedema larings.

Lakukan penangan sebagai berikut:

1) Bila ada cairan lakukan suction

2) Bila mengorok dilakukan penjagaan jalan nafas (secara manual


dengan chin lift atau jaw thrust disusul pemasangan pipa oro atau
naso-faringeal
6
3) Pemasangan pipa oropharingeal (guedel/mayo) jangan dilakukan
apabila penderita masih sadar ataupun berusaha mengeluarkan pipa
tersebut. Dalam keadaan ini lebih baik dipasang pipa nasopharingeal.
Harus diingat bahwa pemasangan pipa melalui hidung merupakan
kontraindikasi apabila penderita ada kecurigaan mengalami fraktur
basis kranii baagian depan, karena pipa dapat masuk ke rongga
kranium.

4) Apabila penderita apnu, ada ancaman obstruksi ataupun ada ancaman


aspirasi lebih baik memasang jalan nafas definitif (pipa dalam
trakea). Jalan nafas definitif ini dapat melalui hidung (nasotrakeal),
melalui mulut (orotrakeal) atapun langsung melalui
krikotiroidiotomi.

Menjaga jalan nafas pada penderita trauma dapat sangat sulit. Sebagai
contoh adalah penderita dengan trauma kapitis dengan mulut yang penuh
darah karena fraktur basis kranii ataupun karena fraktur tulang wajah.
Contoh lain adalah penderita dengan kesadaran menurun yang gelisah dan
gigi terkatup. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi ataupun rotasi
dari leher.

2. Breathing dan ventilasi


Langkah berikutnya adalah periksa breathing dan atasi bila kurang baik. Jalan nafas
yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas
adalah mutlak untuk pertukaran oksigen dan karbondioksida dari tubuh.
Tiga hal yang harus dilakukan dalam breathing:
1) Nilai apakah breating baik (look, listen and feel)

2) Ventilasi tambahan apabila breating kurang adekuat

3) Selalu berikan oksigen

Menilai pernafasan : Petugas yang berpengalaman dalam hitungan detik dapat


menilai apakah pernafasan baik atau tidak baik.penderita yang dapat berbicara dengan
kalimat panjang, tanpa ada kesan sesak, umumnya breathingnya baik. Pernafasan
yang baik adalah pernafasan yang:

7
1) Frekuansinya normal (dewasa rata-rata sekitar 20, anak 30 dan bayi
40)

2) Tidak ada tanda dan gejala sesak

3) Pada pemeriksaan fisik baik

Lakukan pemeriksaan dengan cara:


1) Lihat dada penderita dengan membuka untuk melihat pernafasan yang
baik. Liat apakah ada jejas, luka terbuka dan ekspansi kedua paru.

2) Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara kedalam


kedua paru dengan mendengarkan bising nafas (jangan lupa sekaligus
memeriksa jantung)

3) Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udaara (hiperesonan) atau


darah (dull) dalam rongga pleura.

Cedera thorax dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dan


ditemukan pada saat melakukan primary survey adalah:

1) Tension pneumothorax

2) Flail chest deng kontusio paru

3) Pneumothorax terbuka

4) Masiv hematothorax

Kelainan-kelainan diatas harus segera diatasi untuk menghindari


kematian.
Ventilasi tambahan
Apabila pernafasan tidak adekuat harus dilakukan bantuan pernafasan
(assisted ventilation). Di UGD sebaiknya membatu pernafasan adalah
dengan menggunakan Bag-Valve Mask (Ambu Bag) ataupun memakai
ventilator.
Oksigen
Berikan oksigen, apabila diperluan konsentrasi oksigen yang tinggi
dengan memakai rebreathing atau non-rereathing mask, atau dengan
kanul (berikan 5-6 LPM).

8
3. Circulation dengan kontrol perdarahan
Langkah berikutnya adalah memeriksa sirkulasi dengan memeriksa kulit akral
dan nadi, bila ada tanda syok maka harus segera di atasi. Syok pada penderita trauma harus
dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka
diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamika penderita.
1) Pengenalan syok
Ada dua pemeriksaan yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamik, yakni keadaaan kulit akral dan nadi.

 Keadaan kulit akral

Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma yang


kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstermitas, jarang terdapat
pada keadaaan yang tidak hipovolemia. Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan
dan kulit ekstermitas yang pucat dan dingin merupakan tanda syok.

 Nadi

Nadi yang besar seperti arteri femuralis atau arteri carotis harus diperiksa
bilateral, untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Pada syok nadi akan
kecil dan cepat. Bila nadi kecil dan cepat, kulit pucat dan akral dingin itu
merupakan syok.

Catatan mengenai tekanan nadi:

Pada fase awal jangan terlalu percaya pada tekanan darah dalam menentukan
syok karena:

 Tekanan darah sebelumnya tidak diketahui

 Diperluukan kehilangan volume darah lebih dari 30% untuk daapat


terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan.

1) Kontrol perdarahan

Perdarahan dapat secara eksternal (terlihat) dan internal (tidak telihat).


Perdarah internal berasal dari:

 Rongga thoraks

9
 Rongga abdomen

 Fraktur pelvis

 Fraktur tulang panjang

 Jarang: retro-peritoneal karena robekan vena kava/aorta atau perdarahan


masif dari ginjal.

Perdarahan eksternal: Perdarahan ekstra kranial dikendalikan dengan


penekanan langsung pada luka. Jarang diperlukan penjahitan untuk
mengendalikan perdarahan luar. Turniket (tourniquet) jarang dipakai, karena
apabila dipasang secara benar (diatas tekanan sistolik) justru akan merusak
jaringan karena akan menyebabkan iskemia distal dari turniket. Pemakaian
hemostat (di klem) memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan sekitar
seperti syaraf dan pembuluh darah.

Perdarahan internal: Spalk/bidai dapat digunakan untuk mengontrol


perdarahan dari sautu fraktur dari ekstermitas. Pneumatic anti shock garment
adalah suatu alat untuk menekan pada keaadaan fraktur pelvis, namun alat ini
mahal dan sulit didapatkan. Sebagai gantinya dapat digunakan gurita sekitar
pelvis. Perdarahan intra abdominal atau intra torakal yang masif, dan cairan
tidak dapat diatasi dengan pemberian cairan intravena yang adekuat,
menuntuk diadakannya operasi segera untuk menghentikan perdarahan
(resusitative laparo/thoracotomy).

2) Perbaikan volume

Kehilangan darah sebaiknya dihentikan dengan darah, namun


penyediaan darah memerlukan waktu, karena itu pada awalnya akan
diberikan cairan kristaloid 1-2 liter untuk mengatasi syok hemoragic melalui
2 jalur intravena yang besar. Cairan kristaloid ini sebaiknya Ringer’s
Lactate, walaupun NaCl fisiologi juga dipakai.Cairan ini diberikan dengan
tetesan cepat melalui suatu kateter intravena yang besar (minimal ukuran 16).

10
Cairan ini harus dihangatkan untuk menghindari hipotermi. Cairan ini juga
harus dihangatkan apabila ingin menghindari terjadinya hipotermi.

Sambil mencari sumber perdarahan, dilakukan evaluasi respon


penderita terhadap pemberian cairan. Kemungkinan adalah:

a) Respon baik: setelah diguyur, tetesan diperpelan, tanda-tanda


perfusi baik (kulit menjadi hangat, nadi menjadi besar dan
melambat, tensi naik dsb). Ini pertanda perdarahan sudah berhenti.

b) Respon sementara: setelah tetesan diperpelan, ternyata penderita


masuk syok lagi. Ini mungkin disebabkan; resusitasi cairan masih
kurang atau perdaran berlanjut.

c) Respon tidak ada: apabila sama sekali tidak ada respon terhadap
pemberian cairan, maka harus difikirkan perdarahan yang hebat
atau syok non hemoragic (paling sering kardiogenik).

4. Disability
Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan kematian dengan sangat cepat,
sehingga diperlukan evaluasi keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah
tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
1) GCS (Glasgow Coma Scale):

GCS adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat mengetahui tingkat
kesadaran pasien. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi
atau dan penurunan perfusi ke otak atau disebabkan perlukaan pada otak sendiri.
perubahan kesadaran akan dapat mengganggu airway serta breathing yang
seharusnya sudah diatasi terlebih dahulu. Jangan lupa bahwa alkohol dan obat
obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Penurunan tingkat GCS
yang lebih dari satu (2 atau lebih) harus sangat diwaspadai.

2) Pupil

Nilai adakah perubahan pupil. Pupil yang tidak sama besar (anisokori)
kemungiinan menandakan adanya suatu resimata intrakarnial (perdarahan). Perlu
diingat bahwa lesi biasanya (tidak selalu!) akan terjadi pada sisi pupil yang
melebar.

11
3) Resusitasi

Terhadap kelainan primernya di otak tidak banyak yang dapat dilakukan ,


namun tugas sangat penting dari dokter yang menerima penderita trauma kapitis
di UGD adalah dengan menghindari cidera otak sekunder (secondary brain
injury). Yang harus di lakukan terapi dengan agresif adalah adanya hipovolemia ,
hipoksia dan hiperkarbia untuk menghindari cidera otak sekunder tersebut.

5. Exposure/kontrol lingkungan
Dirumah sakit penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk evaluasi
kelainan atau injury secara cepat pada tubuh penderita. Setelah pakaian dibuka perhatikan
terhadap injury atau jejas pada tubuh penderita, dan harus dipasang selimut agar penderita
tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan
cairan intra-vena yang sudah dihangatkan. Apabila pada primary survey dicurigai ada
perdarahan dari belakang tubuh maka dilakukan “log roll” untuk mengetahui sumber
perdarahan.

2.4 Secondary Survey (Pengkajian Sekunder)

Pengkajian sekunder hanya dilakukan apabila penderita telah stabil. Penderita


stabil berarti bahwa keadaan penderita sudah tidak menurun. Mungkin masih ada tanda
syok, namun tidak bertambah berat. Ini berbeda dengan keadaan normal, dimana
penderita kembali kekeadaan normal.

1. Anamnesis

Anamnesis harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai


cidera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:

- Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman : cidera


wajah, maksilo – fasial,servikal, toraks , abdomen dan tungkai bawah.

- Jatuh dari pohon setinggi 6 meter : perdarahan intrakranial, frakture


servikal atau vertebra lain, fragture ekstermitas.

- Terbakar dalam ruangan tertutup : cidera inhalasi , keracunan CO2

12
Anamnesis juga harus meliputi :
A : alergi
M : medikasi atau obat obatan
P : penyakit sebelumnnya yang diderita: hipertensi, DM
L : last meal (terakhir makan jam berapa, bukan makan apa)
E : events , hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cidera
Dapatkan riwayat AMPLE dari penderita keluarga atau
petugas pra-RS
2. Pemeriksaan fisik

Meliputi inspeksi , auskutasi , palpasi dan perkusi.

a. Kulit kepala

Seluruh kulit kepala diperiksa. Cukup sering terjadi bahwa penderita yang
nampaknya cidera ringan, tiba tiba ada darah dilantai yang berasal dari
tetesan luka dibelakang kepala. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh
kepala dan wajah untuk adanya laserasi, kontusi, fraktur dan luka termal.

b. Wajah
Prinsip : “look-listen-feel” apabila cidera sekitar mata maka jangan lalai
memeriksa mata, karna pembengkakan dimata akan menyebabkan
pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran
dengan score GCS.
- Mata : periksa korena ada cidera atau tidak, pupil mengenai isokori serta
refleks cahaya, acies visus dan acies campus.
- Hidung : apabila pembengkakan, dilakukan palpasi akan kemungkinnan
akan krepitasi dari suatu faktor.
- Telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membran timpani
atau adanya hemotimpanum.
- Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas.
- Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur.
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk
seorang pembantu tetap melakukan fiksasi. Periksa adaanya cidera tumpul
atau tajam, devisiasi trakea , dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan
adanya nyeri, deformitas , pembengkakan , emfisima subkutan , deviasi
trakea, dan simetri pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi
servikal. Jaga airway pernafasan dan oksigenasi. Kontrol perdarahan,
cegah kerusakan otak sekunder, dan lepaskan lensa kontak .
d. Toraks

13
Pemeriksaan dilakukan dengan “look – listen- feel” .inspeksi dinding
dada bagian depan samping dan belakang untuk adanya trauma tumpul
atau tajam pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspamsi toraks
bilateral. Auskultasi pada bagian depan untuk suara nafas (bilateral) dan
jantung. Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam atau
tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Perkusi untuk
adanya hipersonar dan keredupan. Ingat bahwa setiap cidera dibawah
puting susu ada kemungkinan cidera intra abdominal pula.
e. Abdomen
Cidera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis,misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra
dengan kelumpuhan (penderita tidak akan nyeri perutnya dan gejala defans
otot dan nyeri tekan/ lepas tidak ada). Infeksi abdomen bagian depan dan
belakang untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan
internal. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen untuk mendapatkan
nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk nyeri tekan ,defans ,muskuler,
ngeri lepas yang jelas, atau uterus yang hamil. Bila ragu-ragu akan adanya
perdarahan intra-abdominal dapat dilakukan pemeriksaan DPL (diagnostic
peritoneal lavage), ataupun USG (ultra-sonography). Ingat bahwa pada
perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan
nampak dengan segera, karena itu memerlukan re-evaluasi berulang-kali.
f. Pelvis
Cedera pada pelvis yang berat,akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini kemungkinan penderita
akan masuk dalam keadaan syok, yang aharus segera diatasi. Bila ada
indikasi pasang PASG/ gurita untuk kontrol perdarahan dari fraktur pelvis.
g. Ekstermitas
Pemeriksaan dilakukan dengan’look-feel-move’. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuka) , pada saat palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi
distal dari fraktur , pada saat menggerakkan , jangan dipaksakan bila jelas
fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra-kompartemen dalam
ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah) mungkin
luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau
kelumpuhan.
h. Bagian punggung

14
Memeriksa punggung dilakukan dengan ‘log roll’ (memiringkan penderita
dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan
pemeriksaan punggung.

2.5 Tambahan Terhadap Survey Sekunder (Pengkajian Sekunder)


Pertimbangan diperlukan adanya pemeriksaan tambahan : seperti foto tambahan , CT
Scan, USG endoskopi , dsb.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Initial Assesment adalah proses penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat
guna menghindari kematian pada pasien gawat darurat. Initial assessment secara luas
adalah proses evaluasi secara cepat pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti
dengan tindakan resusitasi. Penilaian dan resusitasi dilakukan berdasarkan prioritas
kegawatan pada penderita berdasarkan adanya gangguan pada jalan napas (Airway),
pernapasan (Breathing) dan sirkulasi (circulation). Proses penilaian awal, pada dasarnya
meliputi
1. Primary survey
Primary survey adalah penanganan yang dilakukan pertama, yang telah di bakukan
menurut ATLS yang mencakup konteks bahasan ABCDE. ABCDE adalah Airway,
Breathing, Circulation, Disability, exposure.
2. Secondary Survey
Meliputi penanganan pemeriksaan fisik head to toe, bila menemukan pasien yang saat
secondary survey mengalami progress yang buruk, maka kembali lakukan primary
survey.

3.2 Saran
Penanganan awal (initial assesment) adalah hal mutlak yang harus dipahami oleh
tenaga kesehatan kegawatdaruratan. Oleh sebab itu, para tenaga kesehatan, dimanapun
berada, harus memahami konsep kegawatdaruratan ini. Karena, apabila kita telah
mengerti mengenai konsep initial assesment, maka kita tidak akan bingung apabila
mendapatkan kasus kegawatdaruratan yang seperti kita tahu bahwa kasus
kegawatdaruratan memerlukan tidak hanya tindakan yang cepat namun juga tindakan
tepat guna mendapatkan hasil yang maksimal, yaitu menurunkan resiko kecacatan atau
bahkan kematian.
Makalah yang telah disusun ini jauh dari kata sempurna. Maka dari itu diharapkan
saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi sempurnanya makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

.....Basic Trauma-Cardiac Life Support.Jakarta: Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
EGC : Jakarta

Suryono, bambang dkk.2008.Materi Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat


( PPGD ) dan Basic Life Support Plus ( BLS ).Yogyakarta : Tim PUSBANKES 118.

17

Anda mungkin juga menyukai