Budaya Magelang
Budaya Magelang
Budaya Magelang
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk sistem agama dan politikadatistiadat, bahasa,perkakas, pakaian, bangu
nan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung
menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-
unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Kebudayaan adalah
sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide
atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
PEMBAHASAN
Selain membawa tikar atau alas untuk duduk lainnya, warga pun datang
juga membawa tas yang berisi makanan, ada yang berbentuk nasi kuning
lengkap dengan lauk-pauknya, nasi putih dengan beberapa lauk sayur-sayuran
maupun jajanan buatan sendiri. Menurut kepercayaan warga disana, tradisi ini
merupakan wujud rasa syukur warga kepada Sang Pencipta. Warga berharap
akan diberi kemurahan rejeki dan terhindar dari malapetaka .
C. Tradisi Kendurenan
Kenduren/ selametan adalah tradisi yang sudah turun temurun dari jaman dahulu,
yaitu doa bersama yang di hadiri para tetangga dan di pimpin oleh pemuka adat atau yang di
tuakan di setiap lingkungan, dan yang di sajikan berupa Tumpeng, lengkap dengan lauk
pauknya. Tumpeng dan lauknya nantinya di bagi bagikan kepada yang hadir yang di sebut
Carikan ada juga yang menyebut dengan Berkat.
Carikan/berkat
Tujuan dari kenduren itu sendiri adalah meminta selamat buat yang di doakan, dan
keluarganya,kenduren itu sendiri bermacam macam jenisnya, antara lain :
Kenduren Muludan Kenduren ini di lakukan pada tanggal 12 bulan mulud, sama
seperti kenduren likuran, di lakukan di tempat sesepuh, dan membawa makanan dari rumah
masing- masing. biasanya dalam kenduren ini ada ritual mbeleh wedus ( motong kambing )
yang kemudian di amsak sebagai becek dalam bahasa watulawang ( gulai ).
D. Tradisi Padusan
Padusan berasal dari kata dasar adus, yang berarti mandi. Padusan, dalam hal ini
bermakna proses aktivitas mandi. Dalam pengertian budaya, padusan merupakan tradisi
masyarakat untuk membersihkan diri atau mandi besar dengan maksud mensucikan raga dan
jiwa dalam rangka menyambut datangnya hari ataupun bulan istimewa, seperti bulan
Ramadhan, Hari Idul Fitri, dan Hari Idul Adha.
Jika pada bulan Rajab diperingati peristiwa Isra’ Mi’raj, maka di bulan Ruwah ummat Islam
mengamalkan ajaran birul walidain atau memuliakan dan berbakti kepada orang tua, wabil
khusus kepada ruh orang tua yang telah meninggal dengan cara mengirimkan doa dan
memohonkan ampunan dalam serangkaian acara sadranan atau nyadran. Hal ini
dimaksudkan agar pada saatnya Bulan Suci Ramadhan tiba, ummat Islam sudah siap lahir dan
batin untuk memaksimalkan amalan ibadah dan meraih keutamaan-keutamaan hikmah bulan
Ramadhan.
Karena bulan Ramadhan merupakan bulan suci dan bulan yang sangat istimewa, maka
sebagai pintu gerbang untuk memulai serangkaian ibadah Ramadhan, manusia harus
mensucikan diri, baik jasmani maupun rohani. Inilah mengapa tradisi padusan hadir di tengah
masyarakat.
Sebenarnya tidak ada aturan khusus mengenai bagaimana melakukan padusan. Padusan pada
dasarnya hanyalah tradisi yang hidup di tengah masyarakat dan bukan sebuah kewajiban yang
harus dikerjakan dengan konsekuensi timbulnya dosa jika meninggalkannya.
Maka padusanpun ya sesederhana makna adus itu sendiri, mandi biasa sebagaiman hari yang
lain. Setiap ummat Islam melakukan mandi besar, adus komplit dengan keramasan dari ujung
rambut di kepala hingga ujung kaki. Maksudnya tentu saja untuk menghilangkan dan
mensucikan diri dari segala macam hadast besar ataupun hadast kecil.
Karena inti padusan adalah mandi, maka dimanapun manusia dapat melakukan mandi
besar, maka padusan dapat dilakukan. Padusan dapat dilakukan di kamar mandi,
di blumbang, kedukan, mbelik, sungai, sendang, telaga, bahkan di tepian pantai.
Dalam tradisi padusan yang diwariskan secara turun-temurun dari para leluhur, tidak
ada ketentuan bahwa pelaksanaan padusan harus dilakukan oleh banyak orang pada suatu
tempat secara bersamaan. Padusan ya masing-masing orang mandi sebagaimana mandi pada
hari-hari yang lain. Hal khusus yang membedakan hanyalah niat bersuci untuk menyambut
datangnya hari maupun bulan suci itu tadi. Tidak kurang dan tidak lebih!
Jikalaupun kini padusan memberi kesan dilakukannya mandi massal oleh banyak
orang, laki-laki maupun perempuan, pada suatu tempat seperti blumbang, kedukan, mbelik,
sungai,sendang, kolam renang, telaga, bahkan di tepian pantai, sebenarnya hal tersebut bukan
inti dan makna utama sebuah lelaku padusan. Hal seperti itu saya kira lebih kepada upaya
para pelaku bisnis tertentu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atau bisnis dengan
memanfaatkan momentum acara padusan. Banyak sekali contoh tempat wisata atau taman
hiburan air yang mengacarakan padusan yang meriah, bahkan lengkap dengan aneka ragam
jenis tontonan, seperti kesenian tradisional hingga pementasan musik ndangdutan.
Perkembangan penyampuran antara tradisi yang bertujuan suci nan mulia dengan
kepentingan bisnis ini seringkali menimbulkan persepsi bahwa tradisi padusan justru
menjurus kepada tindak kemaksiatan. Kemaksiatan yang dimaksud diantaranya terjadinya
mandi bersama-sama pada suatu waktu dan tempat tertentu, terlebih tidak memisahkan
tempat antara kaum laki-laki dan perempuan yang jelas-jelas bukan muhrim masing-masing.
Di samping itu, pentas ndangdutan tertentu juga sering menjurus kepada tindakan pornoaksi
oleh para penyanyi yang menonjolkan aurat ataupun melakukan goyangan-goyangan erotis
yang justru mengumbar dan menimbulkan syahwat.
Seusai berdoa, semua warga lantas menggelar genduren (kenduri) atau makan
bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang. Tiap-tiap keluarga
membawa makanan sendiri.
Uniknya, makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam
ingkung, sambar goreng ati, mangut, urap sayuran dengan lauk rempah, perkedel, tempe tahu
bacem, dan lain sebagainya.
Genduren ini bermakna kalau masyarakat di desa tersebut masih menjujung tinggi
rasa kerukunan antarwarga. Inilah kesempatan kita berkumpul dalam satu waktu dengan
seluruh kerabat dan tetangga. Bahkan, sudah menjadi tradisi mudik bagi warga yang
merantau ke luar kota.
Suasana kerukunan memang tampak pada kegiatan ini. Mereka saling tukar makanan,
berbagi, bercanda, dan melepas rindu dengan kerabat yang pulang dari perantauan. Selain
warga Dusun Sorobayan. Tradisi ini juga diikuti oleh warga sekitar seperti Dusun Tampingan,
Ngepos, Banyuurip, hingga Canguk Kota Magelang.
Nyadran atau Sadranan berasal dari kata "Sodrun" yang artinya gila atau tidak waras. Pada
masa sebelum datangnya walisongo, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih
menyembah pohon, batu, bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras.
Ketika itu mereka menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan
membaca mantra-mantra. Kemudian datang para walisongo yang meluruskan bahwa ajaran
mereka salah, yang wajib disembah hanya Allah SWT.
Mantra-mantra yang dibaca lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam.
Sedangkan sesaji diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh warga. Inilah salah satu
bentuk dakwah walisongo yang masih melestarikan budaya lokal.
tradisi nyadran ini dimaksudkan untuk mengajarkan pada muda-mudi di daerah tersebut
bagaimana hidup rukun dengan sesama.
F. Tradisi Supitan
Tradisi Supitan atau Khitanan ini diperuntukkan untuk anak laki-laki. medis, khitanan
merupakan tindakan operasi kecil dengan memotong “sang kulup” alias kulit penutup alat
kelamin pria. Dari sudut pandang kesehatan, keberadaan kulit kulup ini justru bisa
menghalangi proses pembersihan alat vital setelahbebuang atau kencing. Pembersihan yang
tidak tuntas pada bagian tersebut jelas akan menjadi sumber penyakit yang sangat
membahayakan alat vital.
Secara sosioreligi, khususnya bagi ummat Islam, proses sunatan merupakan sebuah
amalan agama sebagaimana telah dicontohkan semenjak Nabi Ibrahim AS. Penghilangan
kulit skortum berhubungan langsung dengan pensucian badan sebagai syarat mutlak
pelaksanaan ibadah, terutama sholat. Sebagaimana kita ketahui, air kencing termasuk najis
yang dapat membatalkan wudhu seseorang. Oleh karena itu selepas buang air kecil, alat vital
harus dibersihkan secara tuntas dari sisa-sisa air seni. Dengan disunatnya si kulup, maka
pelaksanaan pembersihan alat vital lebih mudah dan kebersihannyapun lebih terjamin.
Sunatan juga bisa dimaknai sebagai garis batas peralihan antara dunia bocah menuju
kepada dunia remaja atau usia baligh. Dalam hukum Islam, baligh merupakan salah satu
persyaratan bagi seseorang yang terkena hukum dan aturan agama. Usia baligh dipahami
sebagai usia dimana seseorang sudah memiliki kesadaran pemikiran secara penuh maupun
pengetahuan mengenai perbuatan yang haq dan bathil, bisa membedakan yang benar dan
salah. Hal inilah yang menjadikan manusia Jawa secara sosiokultural memaknai sunatan
sebagai prosesi pengislaman, maka sunatan atau supitan sering dijawakan denganngislamake.
Peralatan khitan yang masih serba tradisional di masa lalu menjadikan luka bekas
khitan harus menunggu beberapa hari untuk kering dan sembuh. Hal inilah yang menjadikan
gerak dan aktivitas si bocah yang dikhitankan menjadi sangat terganggu. Bahkan agar rasa
sakit akibat gesekan terhadap “bungkusan perban”, si bocah harus senantiasa mengenakan
kain sarung. Obat luka khitan andalan di masa lalu hanyalah serbuk putih yang dikenal
sebagai obat supit dengan merk “sulfatilamit”. Dengan demikian, khitan merupakan sebuah
ujian yang tidak ringan bagi kelulusan seorang bocah untuk menginjak usia akil baligh.
Lain dulu memang jelas lain sekarang. Pelaksanaan khitan tidak sesakral dan sesuci di
masa lalu. Memang khitanan masih dimaknai sebagai pelaksanaan ibadah agama, tetapi
tradisi dan pemaknaan sosial budayanya telah mengalami pergeseran bahkan pendangkalan
sehingga unsur pendidikan moralitas dalam peristiwa khitanan tidak lagi diketahui oleh
generasi masa kini. Pragmatisme kehidupan memang menggiring manusia untuk melakukan
sesuatu lebih kepada pertimbangan keenomisan dan kepraktisan semata. Khitanan cukup
dilakukan dengan selamatan dan doa sederhana dengan persaksiaan 5-8 tetangga dan si bocah
langsung diantar ke dokter, gresss, dan selesai sudah prosesi khitanan. Demikian halnya
peralatan dan metode khitan yang telah canggih tidak menimbulkan luka yang
berkepanjangan, sehingga khitan bukan lagi menjadi sebuah ujian yang maha berat bagi
seorang bocah untuk dapat memasuki dunia akil baligh yang menuntut kedewasaan yang
lebih tinggi sebagai anak manusia. Beginilah sebuah keniscayaan roda jaman yang harus
terus berputar.
G.Ramah Tamah
Orang magelang sikapnya ramah tamah dan sopan-sopan selama saya berada
dimagelang saya sangat senang dan nyaman. Orangnya baik ramah sopan saya suka di
magelang tapi saya masih kurang cocok sama makanannya karena makanan
dimagelangkebanyakan manis dan lidah saya masih belum cocok buat makanan manis-manis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari kebudayaan yang ada di Magelang tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa di
Magelang mempunyai banyak kebudayaan atau tradisi turun temurun yang masih dilakukan
hingga sekarang diantaranya Tradisi Grebeg Gethuk Magelang yang merupakan rangkaian
puncak memperingati Hari jadi Kota Magelang. Kemudian ada Tradisi grebeg gulai kambing
yang merupakan tradisi untuk menghormati leluhur desa yang telah meninggal. Tradisi
kendurenan, yaitu doa bersama yang di hadiri para tetangga dan di pimpin oleh pemuka adat
atau yang di tuakan di setiap lingkungan, dan yang di sajikan berupa Tumpeng lengkap
dengan lauk pauknya yang mempunyai tujuan meminta selamat untuk yang di doakan, dan
keluarganya. Macam kendurenan antara lain kenduren wetonan, Kenduren Sabanan
,Kenduren Likuran , Kenduren Badan ( Lebaran ), Kenduren Ujar/tujuan tertentu, Kenduren
Muludan. Tradisi Padusan yang berarti mandi atau mensucikan diri sehari sebelum
datangnya bulan Ramadhan. Tradisi Nyadran yang biasanya dilakukan setiap hari ke-10 bulan
Rajab. Tradisi Supitan yang diperuntukkan untuk anak laki-laki, merupakan tindakan operasi
kecil dengan memotong kulit penutup alat kelamin pria. Dalam tradisi ini digelar pula acara
seni contohnya kesenian jathilan, topeng ireng atau kubro siswo untuk memeriahkan acara
sunatan, tetapi ada juga yang menggelar acara pengajian .
Kebudayaan atau tradisi yang ada di masyarakat sangatlah beragam , tetapi dengan
keberagaman tradisi yang ada di masyarakat ini menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang
berbudaya. Kebudayaan atau tradisi diatas dimaksudkan untuk saling merukunkan atau
mempererat tali persaudaraan antar manusia di lingkungannya.
Sebagai warga negara sekaligus manusia yang hidup di masyarakat hendaknya kita
melesatarikan kebudayaan dan tradisi yang ada di masyarakat, menghargai sesama manusia
agar tercipta suatu integrasi sosial sehingga tercapai lah keserasian dan keharmonisan di
masyarakat.