Makalah Mfs

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

SINDROMA MILLER-FISHER (MFS)

Disusun Oleh:

Tri Wulan Kurnia


(140100174)

Supervisor:

dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS

DEPARTEMEN NEUROLOGI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Sindroma
Miller-Fisher (MFS)”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Iskandar
Nasution, Sp.S, FINS selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam
penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat
memberikan konstribusi positif dalam system pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, 26 Juni 2018

Penulis

(Tri Wulan Kurnia)

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2 Tujuan........................................................................................ 2
1.3 Manfaat..................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 3
2.1 Definisi................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi........................................................................... 3
2.3 Etiologi................................................................................... 4
2.4 Patofisiologi............................................................................ 4
2.5 Gejala klinis............................................................................ 8
2.6 Diagnosis................................................................................ 11
2.7 Diagnosis Banding.................................................................. 13
2.8 Penatalaksanaan ..................................................................... 13
2.9 Prognosis................................................................................. 16
BAB III KESIMPULAN........................................................................... 17
BAB IV DAFTAR PUSTAKA.................................................................. 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindroma Guillain-Barre (SGB) atau yang dikenal dengan Acute
Inflammatory Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau Acute Demyelinating
Polyneuropathy (AIDP), adalah sebuah penyakit pada susunan saraf yang terjadi
secara akut dan menyuluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi dan
terkadang mengenai saraf otak yang dicetuskan oleh infeksi. Sindroma Miller-
Fisher (MFS) merupakan suatu varian SGB yang jarang terjadi dan bermanifestasi
sebagai paralisis descendens, berlawanan dengan jenis SGB yang biasa terjadi.
Umumnya diawali dengan otot-otot okuler dan juga disertai trias MFS, yaitu
ophtalmoplegia, ataksia dan arefleksia.1

Manifestasi utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe
Lower Motor Neuron (LMN) dari otot-otot eksremitas, badan dan terkadang juga
wajah. Penyakit ini merupakan penyakit dimana system imun tubuh menyerang
sel saraf. Kelumpuhan dimulai dari bagian distal ekstremitas bawah dan dapat
naik ke arah kranial (Ascending Paralysis) dengan karakteristik adanya kelemahan
arefleksia yang bersifat progresif dan perubahan sensasi sensorik. Gejala sensorik
muncul setelah adanaya kelemahan motoric. Insiden SGB bervariasi antara 0,6
sampai 1,9 kasus per 100.000 orang pertahun.1,2

Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian


mendapatkan rata-rata insidensi 1.7 per 100.000 orang. SGB sering kali
berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56%-80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal.2

Kelainan ini juga dapat menyeabkan kematian, pada 3% pasien, yang


disebabkan oleh gagal nafas dan aritmia. Gejala yang terjadi biasanya hilang 3

1
minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30% penderita memiliki gejala
sisa kelemahan sekitar 3 tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat menjalani
relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. Bila terjadi
kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk
Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP). Sampai
saat ini belum ada terapi spesifik utuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan
perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.3

1.1 Tujuan

Laporan kasus ini dibuat untuk membahas definisi, epidemiologi, etiologi,


patofisiologi, gejala klinis, penegakkan diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan dan prognosis kasus Miller Fisher Syndrome.

1.2 Manfaat

Dengan adanya laporan kasus ini, diharapkan dapat memberikan pengetahuan


dan memperjelas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala
klinis, penegakkan diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis
kasus Miller Fisher Syndrome agar kemudian dapat diterapkan dan dilaksanakan
pada praktiknya di lapangan ketika menghadapi pasien sebagai seorang dokter.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Parry mengatakan bahwa Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah suatu
polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1
sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu
sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer,
radiks dan nervus kranialis. Beberapa istilah untuk keadaan ini adalah Idiopathic
polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis dan beberapa
istilah lainnya.1

Sindroma Miller-Fisher (MFS) merupakan suatu varian SGB yang jarang


terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis descendens, berlawanan dengan jenis
SGB yang biasa terjadi. Umumnya diawali dengan otot-otot okuler dan juga
disertai trias MFS, yaitu ophtalmoplegia, ataksia dan arefleksia.1,4

2.1 Epidemiologi

Di kebanyakan Negara, 5% dari kasus SGB adalah tipe MFS. Kasus ini di
Jepang ditemukan sebesar 25%. Kejadian ini menunjukkan bahwa beberapa
populasi secara genetik lebih mungkin untuk mengembangkan antibody GQ1b
sebagai respon terhadap infeksi bakteri ataupun virus.1,2

Berdasarkan usia, MFS lebih sering ditemukan pada rerata usia 43,6 tahun
dengan rasio perempuan : laki-laki adalah 1 : 2. Sebanyak 14% dari MFS
ditemukan juga pada anak-anak, dan biasanya dalam bentuk jinak. Namun,
Eggenberger et al menyatakan bahwa kasus MFS pada anak dibawah 2 tahun
membutuhkan intubasi.2,3

3
2.3 Etiologi

Penyebab SGB tidak diketahui secara pasti, tetapi sering dihubungkan


dengan penyakit infeksi, seperti infeksi saluran nafas dan saluran cerna. Virus
yang paling sering dihubungkan dengan penyakit ini adalah Cytomegalovirus
(CMV), HIV, Measles dan Herpes Simplex Virus, sedangkan bakteri yang sering
menyebabkan keadaan ini adalah Campylobacter jejuni.5

Penyebab SMF diduga akibat abnormalitas dari batang otak saja atau
dengan kombinasi kerusakan saraf perifer. Selain itu, juga terdapat serum
ganglioside monoclonal antibody (anti-GQ1b dan anti-GT1a) dan lipopilsakarida
dari bakteri Campylobacter jejuni pada lebih dari 90% kasus. Pada MFS terjadi
dimielinisasi dan inflamasi dari nervus kranialis III dan IV, ganglia spinalis dan
saraf perifer. Keterlibatan system saraf pusat pada MFS dibuktikam dengan
adanya gejala-gejala berikut, seperti mengantuk, tanda-tanda oftalmologi seperti
ptosis, bulbar plasy, bell’s palsy dan gambaran imaging batang otak yang
abnormal.5

Tipe ini terkait dengan anti-GQb1 antibodi IgG yang timbul pada
neuromuscular junction, sehingga menyebabkan hambatan transmisi
neuromuskula junction. GQ1b banyak terdapat pada nervus kranialis yang
menginervasi otot ekstraokuler. Proses resolusi pada tipe ini dapat terjadi dalam
jangka waktu 1-3 bulan.1,5

2.4 Patofisiologi

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana SGB terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang.Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa
sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang
disebut sebagai penyakit autoimun.Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang
benda asing dan organisme pengganggu; namun pada SGB, sistem imun mulai
menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau
bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem
imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori

4
yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri)
telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun
mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan
sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin.
Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi
antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan
destruksi dari myelin.6

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu
selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik.Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel
saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf
yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan
pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.6

Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.6

5
Pada SGB, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi
terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada
saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil

6
myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada
waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh.Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal
melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Fase ini bersifat sementara,
sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti
dan pasien akan kembali pulih. Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan
pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf
perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer
mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot,
organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf
perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter). Pada SGB, terjadi malfungsi
pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer,
dan timbul gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun
paralisis akut. Karena itulah SGB dikenal sebagai neuropati perifer.6

SGB dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang


terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur ,
transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga
timbul sensasi abnormal taupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan
prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer. Akson merupakan bagian dari sel
saraf 1. yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus,
yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf
itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada
pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf
akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul
kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe
ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang
baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan

7
selubung myelin, yang sembuh lebih cepat. Tipe campuran merusak baik akson
dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan
permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf
spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat
juga ikut terlibat.6

2.5 Gejala Klinis

Manisfestasi klinis dari MFS dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu :4

1. Fase progresif. Umumnya fase ini berlangsung selama 2-3 minggu sejak
timbunya gejala awal hingga gejala yang menetap. Pada fase ini akan
timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik. Derajat
keparahan dari gejala akan bergantung pada berapa berat serangan yang
terjadi.
2. Fase plateau. Fase infeksi dimana tidak didapati baik perburukan maupun
perbaikan gejala. Gejala dapat berupa nyeri hebat akibat peradangan pada
saraf, kekakuan otot dan sendi, dan penderita umumnya sangat lemah.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan, beberapa pasien langsung
mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pada keadaan
lain mungkin bertahan sampai beberapa bulan sebelum dimulai fase
penyembuhan.
3. Fase penyembuhan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang
mengancurkan myelin dan gejala berangsur-angsur akan menghilang yang
diikuti dengan penyembuhan serabut saraf. Nyeri terkadang masih
dirasakan yang berasal dari sel yang berdegenerasi. Lamanya fase ini
bervariasi dan dapat timbul relaps. Kebanyakan fase ini akan muncul
setelah 3-6 bulan, namun beberapa pasien tetap menunjukkan gejala
ringan.

2.5 Diagnosis

8
Sindrom Guillain-Barre (SGB) dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
seperti timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks
tendon dan didahului dengan parastesia sekitar 2 atau 3 minggu setelah demam.
Hal ini juga diikuti dengan disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan
sensorik-motorik perifer.2

Sindrom Guillain-Barre (SGB) tipe varian MFS mempunyai 3 gejala yang


khas, yaitu sindrom ataksia, arefleksia dan oftalmoplegia. Oftalmoplegia atau
kelemahan otot-otot mata menyebabkan penglihatan ganda (diplopia), kelopak
mata droopy (ptosis), dan dapat juga memperngaruhi reaksi pupil terhadap
rangsangan cahaya. Kehilangan koordinasi dan keseimbangan (sindrom ataksia)
akan mempengaruhi cara berjalan dari pasien tapi ada juga yang mempengaruhi
daerah lengan. Kombinasi antara diplopia dan ataksia sangat berbahaya bagia
pasien dengan resiko jatuh yang cukup tinggi. Hilangnya reflex (arefleks) dapat
ditemukan pada tendon lutut, pergelangan dan lengan.2

Temuan klinis lain yang mendukung diagnosis dapat berupa gejala atau
sensorik ringan, ada keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf
kranialis lainnya, penyembuhan diawali 2-4 minggu setelah progresitivitas
berhenti, disfungsi otonom, tidak adanya demam saat onset dan gejala yang relatif
simetris.2

Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan adalah :7


A. Cairan serebrospinal (CSS), yang paling khas adalah adanya disosiasi
sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL)
tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada
kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal;
setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di
saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan
menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset.
Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam
CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm.7
B. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi

9
(EMG) Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari SGB terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal
(menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon
gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar
saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus SGB yang
telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.7
C. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula
dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu
setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang
dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan
dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang
pada pasien SGB, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak
sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang
tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang
(lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.7
D. Pemeriksaan darah Pada darah tepi, didapati leukositosis
polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur,
limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit.
Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui.
Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara
anemia bukanlah salah satu gejala.7
E. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan
peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi
saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada
kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut
atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu
sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.7
F. Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang
Tserta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted
pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun
tidak sering.7
G. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan
menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan

10
(impending) .8
H. Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan bentuk
yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear
perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi
sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan
demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat
Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga
ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila
terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf
kranial.Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya)
juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ
lainnya.8

2.6 Diagnosis Banding

Ada beberapa diagnosis banding yang bisa dikaitkan dengan trias gejala
MFS lainnya diketahui menyebabkan opthalmoplegia, ataksia, dan areflexia.

1. Opthalmoplegia yang disebabkan oleh MFS onset gejalanya cepat


dibandingkan pada penyakit kronis yang lebih bertahap seperti distrofi
myotonik, penyakit mata tiroid, dan myasthenia gravis. Lebih dari 50%
pasien dengan MG hadir dengan ptosis dan/atau diplopia. Kelemahan otot-
otot okular dapat beralih dari satu mata ke yang lain dan mempbaik atau
memburuk selama satu hari, tidak seperti MFS yang semakin memburuk
sampai titik terendah gejala telah tercapai sebelum pemulihan apa pun
terlihat.9

2. Ataksia dapat dilihat dalam banyak kondisi, sering mempengaruhi otak


kecil, traktus spinocerebellar, atau saluran proprioception di saraf perifer
dan kolom dorsal. Cerebellar ischemia terjadi karena gangguan sirkulasi
posterior dan sering muncul dengan gejala non-spesifik dari gaya berjalan
tidak stabil, pusing, sakit kepala, disfungsi gerakan mata, serta mual dan
muntah. Presentasi MFS dapat bingung dengan kejadian iskemik. MFS dan

11
gangguan vaskular adalah kejadian akut, pasien ataksik dengan MFS
biasanya jarang terjadi lateralisasi ataksia yang membantu untuk
membedakan MFS dari mayoritas lesi serebelar. Racun dan obat-obatan
juga memiliki kemampuan menginduksi ataksia onset akut. Modulator
saluran natrium seperti fenitoin dan agen kemoterapi seperti fluorourasil
dapat mengendapkan episode ataksik. Penyebab ataksia yang paling sering
adalah konsumsi alkohol, sebagian besar mempengaruhi ekstremitas bawah
dan juga berhubungan dengan kontrol motorik halus yang buruk pada
tangan, bicara cadel, dan gangguan penglihatan. MFS adalah perkembangan
kelemahan dari "kepala ke bawah", sedangkan gejala awal tidak akan
menjadi kelemahan dan ataksia pada ekstremitas bawah.9

3. Areflexia adalah indikasi defisit neuron motorik yang lebih rendah, yang
tidak akan terlihat dalam banyak kondisi yang mempengaruhi sistem saraf
pusat. Paradoksnya, pasien dengan syok tulang belakang terlihat pada
transeksi atau kompresi sumsum tulang belakang yang bersifat refleksis atau
hiporefleksik pada tahap subakut penyakit, yang kemudian berkembang
menjadi hiperefleksia ketika patologi berkembang. Neuropati perifer, paling
sering terlihat pada penderita diabetes dan individu yang kekurangan gizi,
dapat menyebabkan areflexia pada kasus yang berat. Kerusakan cornu
anterior, terlihat pada polio dan amyotrophic lateral sclerosis (ALS), akan
membuat pasien juga mengalami refleks. Seperti MFS, syok tulang
belakang dalam kondisi akut, sedangkan ALS biasanya memiliki onset
bertahap. Kelumpuhan sementara dan areflexia mirip dengan MFS dan
Guillain-Barre juga dapat disebabkan oleh infeksi virus polio, dengan
pemulihan fungsional yang terjadi 4-6 minggu setelah paralisis.9

2.7 Tatalaksana

Sampai saat ini masih belum ada pengobatan yang spesifik untuk SGB,
namun hanya bersifat simtomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah untuk
mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan

12
memperbaiki prognosis. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit
untuk dilakukan observasi tanda-tanda vital. Adapun beberapa tata laksana yang
dapat dilakukan adalah Penatalaksanaan Guillain-Barre Syndrome (SGB) adalah
terapi suportif dengan mencegah dan mengatasi komplikasi yang fatal.
Imunoterapi adalah terapi spesifik untuk pengelolaan Sindrom Guillain-Barre
dengan pilihan pengobatan plasmaphereis atau intravena imunoglobulin (IVIG) .10

1. Terapi Suportif

Penanganan secara umum pada SGB adalah dengan melakukan pengawasan


pasien secara ketat. Pengawasan pasien dilakukan untuk mencegah dan mengatasi
komplikasi yang fatal.10


Pengawasan ketat terhadap fungsi paru sebaiknya dikerjakan setiap 2-4 jam
pada fase akut, dan setiap 6-12 jam pada kondisi stabil. Jika terdapat
gejala gagal nafas, pertimbangkan transfer ke unit rawat intensif dan
pergunakan ventilasi mekanik.10

Pengawasan regular terhadap fungsi otonom juga sangat penting, terutama
pengawasan irama jantung, denyut nadi dan tekanan darah.10

Selalu periksa fungsi menelan untuk mencegah timbulnya komplikasi
aspirasi.10

Selalu awasi dan cegah munculnya dekubitus dan kontraktur akibat tirah
baring lama.10

Pemberian low molecular weight heparin (LMWH) dibutuhkan untuk
mencegah terjadinya trombosis vena dalam.10

Awasi kebutuhan dan kecukupan gizi pasien.10

2. Terapi Spesifik

Terapi spesifik meliputi imunoterapi, kortikosteroid, dan terapi simtomatik.11

 Imunoterapi
Penanganan yang spesifik harus segera dilakukan begitu diagnosis SGB
ditegakkan. Plasmapheresis atau plasma exchange yang dilakukan 5 kali selama
10-14 hari dapat membantu mengeluarkan autoantibodi, kompleks imun, dan

13
komponen sitotoksik lainnya dari serum dan terbukti dapat mempercepat waktu
penyembuhan hingga 50%. Terapi plasmapheresis dapat memberikan efek jika
dilakukan dalam 4 minggu setelah gejala, dan dapat memberikan efek yang lebih
baik jika dikerjakan dalam 2 minggu pertama setelah munculnya gejala
kelemahan otot. .11
Pilihan imunoterapi lain adalah pemberian intravena immunoglobulin
(IVIG). IVIG diberikan dengan dosis 400mg/kgBB perhari selama 5 hari berturut-
turut.IVIG lebih baik diberikan dalam 2 minggu pertama dari onset SGB. Terapi
dengan IVIG lebih mudah untuk dikerjakan dan relatif lebih aman dibandingkan
plasmapheresis. IVIG menjadi pilihan terapi pada pasien dengan hemodinamik
yang tidak stabil. Beberapa penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan hasil
terapi yang bermakna antara plasmapheresis dan IVIG. Kombinasi antara
plasmapheresis dan IVIG juga tidak menunjukkan hasil yang lebih baik
dibandingkan terapi plasmapheresis atau IVIG tunggal.11
 Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral atau intravena dulu dipercaya dapat
mempercepat penyembuhan SGB.Namun beberapa studi menunjukkan bahwa
pemberian steroid bersamaan dengan terapi IVIG tidak memberikan hasil yang
lebih baik dari pada terapi IVIG tunggal. Studi lainnya juga tidak menunjukkan
hasil yang signifikan pada pemberian steroid.11

 Terapi untuk gejala simtomatis

 Terapi Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang cukup sering ditemukan pada pasien SGB.
Sekitar 89% mengeluhkan nyeri selama proses perjalanan penyakit. Keluhan
nyeri yang muncul berbeda-beda sesuai dengan fase perjalanan penyakit, mulai
dari nyeri punggung, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri visceral. Pemberian
gabapentin, karbamazepin, dan opioid dianjurkan untuk mengatasi nyeri pada
pasien SGB, terutama pada fase akut.10

 Terapi gejala otonom


Gangguan fungsi otonom ditemukan pada sekitar dua pertiga pasien SGB.
Gejala gangguan fungsi otonom bervariasi mulai dari gangguan irama jantung,

14
tekanan darah yang tidak stabil, gangguan produksi keringat, gangguan saluran
kemih dan gastrointestinal. Gangguan fungsi otonom dapat menjadi komplikasi
yang mengancam jiwa jika mengenai system kardiovaskular.10

 Fisioterapi
Penderita SGB memiliki resiko terkena dekubitus, kontraktur serta
pneumonia orthostatik terkait dengan berkurangnya kemampuan untuk
mobilisasi. Kondisi ini dapat memperpanjang masa perawatan dan menurunkan
kualitas hidup setelah perawatan. Tidak jarang kelemahan otot persisten dapat
ditemukan pada penderita SGB setelah fase akut. Program fisioterapi yang tepat
diharapkan dapat mencegah dan mengendalikan komplikasi-komplikasi tersebut.10

 Perawatan Intensive Care Unit (ICU)

Dalam perjalanannya SGB dapat berkembang secara progresif hingga


menyebabkan lumpuh otot-otot pernafasan. Kondisi ini membutuhkan
pemasangan pipa endotrakeal, ventilasi mekanik dengan ventilator dan
pengawasan yang ketat di ruangan ICU. Adanya aritmia akibat gangguan fungsi
otonom memerlukan pengawasan yang ketat di ruang ICU. Aritmia dapat
menyebabkan kematian mendadak pada penderita SGB.11

Terdapat tanda tambahan yang bisa dijadikan prediktor untuk pemasangan


ventilasi mekanik, yaitu:


Tidak bisa mengangkat siku atau kepala dari tempat tidur

Batuk yang tidak adekuat

Tidak mampu untuk berdiri.10

15
2.9 Prognosis SGB

Prognosis SGB tergantung dari variannya. Faktor prognostik buruk meliputi


usia> 60 tahun, progresi cepat menjadi tetraparesis dalam 1 minggu, intubasi, dan
amplitudo motorik distal < 20%. Faktor yang mempengaruhi buruknya
prognostik : 12
1. Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot
2. Umur tua
3. Kebutuhan dukungan ventilator
4. Perjalanan penyakit progresif dan berat

Pada umumnya pasien SGB memiliki prognosis yang baik tetapi sebagian
kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi
penyembuhan tanpa adanya gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan
antara lain : 13

1. Bila pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal


2. Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset.
3. Progresifitas penyakit lambat dan pendek.
4. Pada penderita berusia 30-60 tahun.

BAB II

KESIMPULAN

Meskipun tidak umum, MFS adalah diagnosis penting yang harus


dilakukan karena gejala ataksia dan opthalmoplegia dapat membingungkan dokter
antara gejala lesi UMN atas atau sentral. Adanya gejala neurologis tambahan
dapat membuat evaluasi klinis lebih menantang. Seorang klinisi dengan
pemeriksaan neurologis yang teliti akan menemukan temuan-temuan arefleksia
yang terlokalisir ke lesi dominan sistem saraf perifer. Ini harus memicu evaluasi
untuk gangguan demielinasi dan mengarah pada konfirmasi MFS sebagai
diagnosis dengan adanya autoantibodi GQ1b. MFS harus dimasukkan dalam
diagnosis banding dari siapa pun yang datang dengan temuan sentral ataksia,
areflexia, dan opthalmoplegia.9

16
BAB II

Daftar Pustaka
1. Chagall R, Andy F, Marjorie HD, Joseph H, Aestelle LB et al. Miller-Fisher
Syndrome. GBS/CIDP Foundation International. Forrest Avenue : GBS/CIDP
International. Available at : www.gbs-cidp.org

2. Wakerley, BER, Antonia U and Nobuhiro Y. 2014. Gullain-Barre and Miller Fisher
syndromes-New diagnostic classification. Nat Rev Neurol:10;p. 537-544.

3. Eduardo AD, Jin JL. 2012. The Miller Fisher Syndrome. J Neurol
Neurophysiol:3;p. 110

4. Venkata UK, Seshulakshmi B and Srinivasa RB. 2013. Miller Fisher Syndrome-An
Antypica; Clinical Presentation. Intern Med:3; p.119

5. Yuki N. 2001. Infectious origins and molecular mimicry in Guillain-Barre and


Miller Fisher Syndrome. Lancet Infect Dis: 1(1); p.29-37

17
6. Sidarta,P.2004.Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta. Penerbit Dian
Rakyat.

7. Hauser SL, Asbury AK. Guillain-Barre Syndrome and Other Immune-Mediated


Neuropathies. In: Hauser SL, ed. Har- rison’s Neurology in clinical medicine. New
York:McGraw- Hill; 2006.p.517-26

8. Doorn, P.A, Ruts, L. Jacobs, B.C, Clinical features, pathogenesis, and treatment of
Guillain-Barre Syndrome. Lancet Neurol. 2008. 7(10); p. 939-50.

9. Yepishin, I. V., Allison, R. Z., Kaminskas, D. A., Zagorski, N. M., & Liow,
K. K. (2016). Miller Fisher Syndrome: A Case Report Highlighting
Heterogeneity of Clinical Features and Focused Differential
Diagnosis. Hawai’i Journal of Medicine & Public Health, 75(7), 196–199.

10. Tarwoto (2007). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem


Persarafan, Jakarta, Sangung Seto

11. Hakim M. 2011. Sindrom Guillain – Barre. Medicinus. Vol : 24, no : 4

12. Robert DS, Nigel H and Marios H. 2015. Miiler-Fisher syndrome: Is the Ataxia
central or peripheral?. Cerebellum and Ataxias:2(3)

13. Dr. Iskandar J, Guillain Barre Syndrome. Universitas Sumatera Utara ; 2005

18

Anda mungkin juga menyukai