Salah Asuhan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

“SALAH ASUHAN”

Berikut adalah tokoh yang ada di dalam drama


1. Hanafi
2. Corrie
3. Rapiah
4. Ibu
5. Nyonya Broom
6. Tuan Broom
7. Tuan du Busee
8. Buyung
9. Tuan Guru
10. Nona Suze
11. Dokter
12. Nyonya Van Dammen

etiap petang berkumpullah beberapa orang penduduk Solok ke tempat


S bermain tenis. Tua-muda, gadis dan nyonya, Bangsa barat dan bangsa
timur sekaliannya bercampurgaullah disana. Barang seorangpun belum
ada disana,kecuali dua orang anak muda yan sedang duduk berhadapan sambil
minum teh. Mereka adalah sepasang sahabat karib, yaitu Hanafi dan Corrie.

Corrie : “Han, apa tidak jadi masalah kita berdua duduk-duduk sambil berbincang-
bincang seperti ini?”
Hanafi : “Apa kita melakukan kesalahan?”
Corrie : “Tidak, bukankah kita telah melanggar kesopanan?”
Hanafi : ‘Kesopanan? Corrie, kita hanya duduk sambil berbincang, di tempat
terang, dan dibatasi oleh meja teh, apa boleh dikata melanggar kesopanan?”
Corrie : “Bukan, tapi segala pekerjaan ada batasnya. Janganlah kita dianggap tidak
punya kesopanan. Sebagai orang Solok, seharusnya kau tahu bagaimana
pandangan orang disini menenai pergaulan antara lelaki dan perempuan.”
Hanafi : “Corrie, sudah berapa kali kau jelaskan bahwa aku hanya Bumiputra
sedangkan kau adalah gadis berdarah bangsa Barat. Tidak perlu kau ulang-
ulang juga!”
Corrie :(menghela nafas) “Hanafi,hanafi! Hari ini fiilmu sangat susah. Tenangkan
dulu darahmu.”
Hanafi : (bersungut-sungut sambil membaca koran)
(Nyonya dan Tuan Broom datang)
Ny. Broom : “Ah! Burung merpati dua sejoli! (tertawa) mudah dapat, mudah lepasnya”
Hanafi : (terkekeh) “oh Nyonya Broom” (bersalaman)
Ny. Broom : (bersalaman dengan Corrie) “Corrie, harga burung gereja lima sen
sedangkan cendrawasih seperti emas. Kau pilih yang mana?”
Corrie : “Burung garuda Nyonya!”
Tn. Broom : “Burung garuda belum tentu di dunia ini. Kalaupun ada, Saya dan Tuan
Hanafi ini, tidak dapat mencapainya.”
Corrie : “Tidak tuan, barang siapa yang teguh, niscaya ia akan berhasil.”
Tn. Broom : (tertawa) “Nah itu! Ayo Hanafi, Nona Corrie minta tempat di dalam
jantungmu.”
Corrie : “Oh, jantung Hanafi sangat lapang untuk dua tiga orang lagi” (tertawa)
Hanafi : “Ah, Corrie!”

Sementara itu, telah terihat ramai-ramai orang berdatangan. Kemudian daripada


mereka bermain tennis bersama. Setelah semua orang menyudahi olahraga itu,
Corrie dan Hanafi pulang ke rumah masing-masing.
***
Di rumah, Corrie duduk di kursi sekedar melepas penat. Ia pun berbincang dengan
Tuan du Bussee, ayahnya, yang sedan membaca sebuah surat kabar
Corrie : “Halo Pah!”
Tuan : “Halo, anakku!” (melirik corrie)
Corrie : “Pah, Corrie hendak bertanya. Bolehkah papa menjawabnya?”
Tuan : (menyesap kopi) “Apakah itu, wahai anakku?”
Corrie : “Hmm, bagaimana menurut papa tentang pernikahan orang Barat dan
orang Timur?”
Tuan : “Pernikahan campuran itu banyak rintangannya,Corrie. Itu timbul dari
keegoisan masing-masing pihak. Namun asal keduanya dapat bertoleransi,
hal itu tidak jadi masalah. Seperti papa dan mamamu, Corrie.”
Corrie : “Tapi hal papa dan mama sungguh berbeda. Papa orang Barat dan mama
orang sini. Corrie tidak tahu, tapi Corrie merasa pernikahan lelaki Timur
dan perempuan barat pasti berbeda.”
Tuan : (menutup surat kabar) “Tentu saja! Itu akibat dari kesombongan bangsa.
Mengapa kau bertanya hal yang sedemikian itu?”
Corrie : “Corrie hanya berfikir, Bagaimana apabila Corrie berjodoh dengan
seorang bumiputera, Pa? Apa papa akan menyetujuinya?”
Tuan : “Apakah orang itu Hanafi?”
Corrie : “Ini hanya seumpamanya saja, Pa.”
Tuan : “ hmm.. Kau ini masih anak-anak, Corrie. Sangat jauh apabila kau
bertanya soal ini. Tapi, tentulah Papa tidak setuju apabila itu terjadi.
Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat dan tidaklah keduanya menjadi
satu. Tabilah gadis Eropa sepertimu dikawini lelaki Bumiputera. Termasuk
Hanafi, walaupun ia bergaul dengan bangsa kita, tapi tetaplah ia
bumiputra.”
Corrie :(menunduk)

Setelah Corrie mendengar ‘katakata” dari sang ayah, Ia menjadi bimbang mengenai
perkara hatinya. Sementara itu, terjadilah percakapan antara anak dan ibu di
kediaman keluarga Hanafi mengenai perjodohan.
Hanafi : “Betul-betul kampung ibu ini, ada kursi masih saja duduk di lantai!”
Ibu : “Penat pinggangku apabila duduk di kursi itu.”
Hanafi : “Itulah bangsa kita, tidak bisa mengikuti perkembangan zaman! Lebih
suka diam sepanjang hari. Terlalu banyak kerbau bangsa ini. Dan segala
sirih menyirih itu.. errghh (bergidik, jijik)
Ibu : (menghela nafas, duduk di kursi) “ Anakku, kemarin mamakmu, Sutan
Batuah, datang kemari. Ia hendak berbicara panjang lebar denganmu. Tapi
kau sama sekali tidak ada waktu untuknya. Dia menunggu sampai
akhirnya dia pulang.”
Hanafi : “Ibu tahu, aku kaku berbicara dengan orang-orang itu. Apapula yang
hendak mereka bicarakan padaku, Bu?”
Ibu : “Kau tahu kan, kita banyak berhutang budi padanya? Telah banyak
bantuan yang ia berikan pada kita,”
Hanafi : “Ya, lalu kenapa? Apa ia menagihnya? Apabila itu yang ia inginkan, aku
akan membayarnya denan menyicil dari gajiku.”
Ibu : “Bukan itu yang ia inginkan, Hanafi. Hutang budi haruslah dibayar
dengan budi. Kau ingat putrinya – Rapiah ? Ibu telah sepakat
menikahkannya denganmu.”
Hanafi : (tersentak) “APA?! Apa ibu tidak salah? Perempuan seperti itu yang
hendak ibu berikan kepadaku?”
Ibu : “Ya, Hanafi. Apakah kau sudi menerima Rapiah menjadi istrimu?”
Hanafi : “Entahla, Bu” ( pergi dengan gusar)
Buyung : “Tuan!” (mengejar Hanafi)
Hanafi : “Berani kau berteriak kepadaku, hah?! Apa maumu?”
Buyung : “Ma.. maaf Tuan. Ini ada surat. Simin yang memberkannya kepada
saya.” (menyodorkan amplop)
Hanafi : (merebut amplop) “Ya sudah, pergi sana!”
Buyung : (pergi)
Hanafi : (membolak-balik amplop) “Dari Simin? Simin si pembantu Corrie?
Hmm , ada apa?”
(membuka amplop)

Maka dengan kebimbangan hati yang tidak dapat dikira-kira, dibacanyalah surat
itu.
Sahabatku Hanafi,
Han, aku hendak pergi ke Betawi. Tapi, aku tak tahu pasti kapan tepatnya aku
pulang Saat kau membaca suratku ini, tentulah aku tenah dalam perjalanan. Papa
benar Han, timur tinggal timur, barat tinggal barat, tak akan dapat ditumbuni jurang yan
membatasi kedua bagian itu. Aku harap kau maklum Hanafi.
Sahabatmu,
Corrie du Busee
Hanafi : “APA? Corrie? TIDAK!!!”
Setelah Corrie meninggalkan Hanafi, akhirnya dengan berat hati Hanafi menerima
Rapiah sebagai istri pemberian ibunya. Sangatlah tidak bahagia Hanafi atas
pernikahannya itu. Meski pernikahan yang telah berjalan 2 tahun itu sudah
dikaruniai seorang anak laki-laki, Syafei, rumah tangga Hanafi bagaikan
menyimpan api dalam sekam. Puncak dari segala yang terjadi saat kawan-kawan
Hanafi bertandang ke rumahnya. Termasuk diantaranya Suze, nona Bos yang
belakangan ini terihat dekat dengan Hanafi.
Hanafi : “Ayo, mari silahkan masuk!”
Suze : “ terimakasih”
Hanafi : “Oh kalian pasti lelah. Sebentar. Buyung! Buyung! (hening) Rapiah!
(hening)
hah.. aku permisi ke belakang dulu ya?”
Tn. Guru : “Oh silahkan”
Hanafi : (pergi ke dapur)
“sampai kering tenggorokanku memanggil, tapi seorang pun tiada
menyahut!”
Rapiah : “Oh, maafkan Hanafi. Buyung sedang membawa Syafei ke muka
rumah.”
Hanafi : “Aaah.. alasan! Setiap tamu berkunjung pasti begini!”
Ibu : “Tenanglah, Hanafi. Istrimu sedangg mmembuatkan makanan untuk tuan
dan nyonya itu.”
Hanafi : “Lalu siapa yang hendak membawa teh itu keluar? Akukah? Buyung!”
Buyung : (datang sambil berlari kecil) “ Ya, Tuan? Tuan memanggil saya?”
Hanafi : “Darimana saja kau?”
Buyung : “hamba disuruh mengajak Syafei main, Tuan.”
Hanafi : (geram) Sudah berkali-kali kubilang bila ada tamu, kau jangan jauh-
jauh, Buyung! Sekarang simpan anak itu!”
Buyung : “Baiklah, Tuan.” (pergi)
Ibu : “Kau ini tidak lihat? Mereka sedang kerepotan Hanafi. Coba sekali-kali
kau gantikan pekerjaan istrimu.”
Hanafi : (membawa nampan ke ruang tamu)
Suze : “Oh! Lihatlah, lihat! Babu baru!” (bertepuk tangan sambil tertawa)
Tn Guru : “memangnya nyonya kemana, Han?”
Suze : “Mungkin sedang berias! Aku tak menyangka seorang Hanafi melakukan
ini.”
Hanafi : “Inilah rumah tanggaku. Aku benar-benar menderita. Tak ada
kebahagiaan.” (mengelap muka dengan tangan)
Tn. Guru : “Hmm.. hari sudah petang Han, banyak pekerjaan yang harus
kulakukan.” (berdiri)
Suze : “Mmm.. Ya, kami harus pulang.” (ragu)
Hanafi : (bersalaman) “Baiklah. Hati-hati! Maaf atas jamuanku yanng kurang
menyenangkan.”
Akhirnya tamu-tamu Hanafi pulang. Termasuk Suze yang sesungguhnya masih
ingin berbicara denan Hanafi, terpaksa ikut pulang. Setelah kepulangan tamunya,
Hanafi kembali mengomel pada Rapiah.
Hanafi : (masuk dapur) “Rapiah.. Kau ini sangat memalukan!”
Rapiah : (menunduk) “Maafkan aku.”
Ibu : “Kau tak seharusnya berkata seperti itu, Han. Dia sangat lelah tapi dia
begitu sabar menghadapi fiilmu itu. Jadi, kau sama sekali tak pantas
berkata seperti itu, Hanafi.”
Hanafi :”Sudahlah! Jangan membelanya terus, Bu! Aku telah mendengar ocehan
Ibu.”
Ibu : “Lancang sekali bicaramu iyu, Hanafi. Terkutuklah kau!”
Hanafi : “Aaah! Ibu sama saja seperti dia. Aku muak dengan kalian berdua!”
Ibu : “Astagfirullah, Hanafi.”

Tanpa sadar, Ada seekor anjing yang mengigit tangan Hanafi


Hanafi : (kaget) “Aaaw..! Dasar anjing gila! (meringis)
Rapiah : (memegang tangan Hanafi) “Ah.. Hanafi, apa kau baik-baik saja?”
Hanafi : (melepaskan tangan Rapiah) “Sudahlah! Ini pun karena Ibu.” (pergi)
Ibu : “Astaga! Apa yan telah kulakukan? Tadi aku sudah mengutuk anakku
sendiri.”
Rapiah : (menenangkan Ibu) “Tidak, Bu. Mungkin ini hanya kecelakaan. Sekarang
Hanafi lebbih baik berobat ke Betawi sebelum lukanya bertambah parah.”

Akibatnya, Hanafi harus berobat Ke Betawi. Hanafi girang betul sudah terpaksa ke
Betawi. Udara di rumah memang kurang nyaman sedangkan di Betawi, tentu ada
Corrie. Berangkatlah ia ke Betawi dan tanpa sengaja ia bertabrakan dengan Corrie
saat ia tengah dalam perjalanan menuju tempat berobat.
Hanafi : “Aah Maaf, maaf saya sedang ter.. Corrie?” (mengulurkan tangan)
Corrie : “Hanafi?”

Singkat cerita, Hanafi dan Corrie akhirnya memutuskan untuk menikah. Selain itu
pula, setelah menikah dengan Corrie, Hanafi mengganti kewarganegaraannya
menjadi bangsa Eropa. Begitulah hidup Hanafi dan Corrie, sangat bahagia. Namun
lain halnya dengan Rapiah di Solok.
Rapiah : “Ibu, janganlah menyediakan makanan banyak-banyak. Siapakah yang
hendak memakannya nanti?”
Ibu : (tersenyum) “Sebab kau berpuasa, Rapiah, tak puas hati ibu jika makanan
kurang. Meskipun kau makan atau tidak, asal makanan cukup tersedia, aku
senang.”
Rapiah : (memotong sayur) “Haah... Bu. Sudah kamis kedelapan aku berpuasa
sunat. Dan selama itu pula, ayah Syafei pergi meninggalkan kita. Selama
ia masih dalam perjalanan, tak akan rumpangnya aku berpuasa Senin dan
Kamis.”
Ibu : “Berpuasa unat itu banyak manfaatnya. Tapi lihat! Tinggal kulit pemalut
tulangmu saja, Nak.”
Rapiah : (tersenyum) “Benar, badanku enjadi kurus, Bu. Tapi bukan kurus karena
berpuasa. Dan meskipun kurus, tetepi pada perasaanku, kesehatanku
tiadalah terganggu.”
Ibu : “Rapiah.. Rapiah..”
Rapiah : (sedih) “Ibu, sudah tiga kali kangkin masuk ke dalam rumah.”
Ibu : (mengernyit) “ apa pula artinya kangkung masuk ke dalam rumah itu?”
Rapiah : (berhenti memotong, menatap ibu) “Tanda ada orang yang melepas
kebaji, supaya bercerailah suami-istri.”
Ibu : “Rapiah, kalau semua kau yakini buruknya, tubuhmu akan semakin
kurus.”
Buyung : (datang) “Permisi, Nyonya. Ini ada pos.”(menyodorkan surat)
Ibu : (mengambil surat) “Terimakasih, Yung.”
Buyung : “jikalau begitu, saya permisi untuk kembali bekerja.” (pergi)
Ibu : “Rapiah, bukalah. Tolong bacakan!”
Rapiah : “Aku tak pandai membaca. Maka sudilah engkau membacakan untukku.”
Rapiah : “Baiklah, bu.”

Rapiah membaca:
Ibu yang tercinta!
Sesungguhnya surat ini haruslah kualamatkan kepada Rapiah. Tapi karena
perempuan itu kuperoleh dari ibu, kepada ibu pulalah ia hendak kupulangkan.
Ibunda, sesampainya Hanafi di Betawi, Han bertemu dengan kawan lama yang
menawarkan pekerjaan disini. Tentunya, dengan jabatan yan tinggi pula. Maka, tanpa
pikir panjang, Han langsung mengambil peluang itu. Selain itu, sekaran Han sudah
mendapat persamaan hak untuk orang Eropa. Dan Han telah menikahi Corrie du
Busee, sahabat karib Han semasa kecil dahulu.
Sia-sia bagi Rapiah buat menanti-nantikan pulangku dan sekali-kali janganlah ia
bercita-cita hendak datang ke Betawi. Maka dari itu, selagi Rapiah masih muda,
tentulah besar peluangnya untuk bersuami lagi. Carilah suami yang cocok denganya
dan lebih baik dari Han.
Salam anakmu,
Hanafi
Rapiah : (menangis) “ibu..”
Kehidupan rumah tangga Corrie dan Hanafi tak selamanya bersukaria. Kawan-
kawan yang mengetahui perkawinan itu, mulai menjauh. Disatu pihal menganggap
Hanafi besar kepala dan angkuh, tidak menghargai bangsanya sendiri. Di lain
pihak, Corrie dianggap menjauhkan diri dari pergaulan kehidupan Barat.
Puncaknya, terjadilah kesalahpahaman yang akhirnya mengakibatkan pernikahan
itu ada di depann gerbang perceraian.
Hanafi : (datang) “Apa yang telah kaulakukan selama aku tidak ada, Corrie?”
Corrie : (menyimpan gelas teh di meja) “ Apa maksudmu, Han? Aku tak
mengerti.”
Hanafi : (marah) “Kau membawa laki-laki lain masuk ke rumah kan? Iya kan?”
(menarik Corrie sampai berdiri)
Corrie : “Apa maksudmu? Kau sudah keterlaluan dengan menuduhku begitu,
Han!” (menghempas tangan Hanafi)
Hanafi : “lebih dari menuduh!” (menunjuk Corrie)
Corrie : (kesal) “Baiklah kalau begitu! Kau kumpulkan semua bukti dan saksi,
supaya disahkan oleh pengadilan!”
Hanafi : “Jadi, ini yang aku peroleh? Perempuan yang kudapat dengan banyak
pengorbanan?”
Corrie :“kenapa? Kau menyesal? Sungguh kasihan.” (melipat tangan di dada)
Hanafi :“aku memang patut dikasihani! Aku telah merendahkan diriku hanya untu
wanita semacamm kau?!”
Corrie : (melepaskan tangan) “APA?! Lebih kasihan mana seoran gadis Eropa
menikahi pria melayu sepertimu, Hah?!”
Hanafi : “Aaah!!!”
Corrie : “Tega kau Hanafi.” (pergi)

Setelah pertengkaran hebat itu, Corrie pergi meninggalkan rumah. Juga Hanafi
yang menyesa; akan perbuatannya. Ia merasa amat bersalah kepada Corrie.
Tidaklah ia memicingkan matanya baran sekejap juga. Sungguh, urat-urat sarafnya
sudah tergoyang, perangainya sudah serupa orang gila.
Setelah beberapa lama Hanafi mencari Corrie, akhirnya ia menemukannya. Corrie
tinggal di rumah Nyonya Van Dammen di Semarang. Namun keadaannya tak
seperti dulu.
Hanafi : “permisi..”
Nyonya : (datang) “Ya... oh maaf, siapakah tuan?”
Hanafi : “Saya Hanafi, apakah benar ini kediaman Nyonya Van Dammen.”
Nyonya : “Oh ya benar. Saya ini Nyonya Van Dammen. Apakah maksud
kedatangan tuan kemari?”
Hanafi : “Saya bermaksud untuk menemui istri saya, Nyonya. Corrie du Busee.
Benarkah ia tinggal disini?”
Nyonya : “Ya Allah, Yang Maha Kuasa! Syukurlah. Mungki Tuhanlah yang telah
menunjukan jalannya.”
Hanafi : (bingung) “Maksud Nyonya?”
Nyonya : “Corrie, istri Tuan, mengalami sakit parah. Kini ia dirawat di rumah
sakit.”
Hanafi : (kaget) “Apa? Apakah sakit istriku itu, Nyonya?”
Nyonya : “Kolera, ya kolera! Semoga Tuhan akan memanjangkan umurnya, juga
semoga Tuan akan bertemu dengannya.”
Hanafi : “Amin. Baiklah, Nyonya. Saya akan ke rumah sakit sekarang.”

Dengan langkah terburu, Hanafi berangkat ke rumah sakit. Melewati setiap lorong
denan gelisah hati. Sampailah Hanafi pada sebuah kamar. Ketika hendak masuk,
ditahanlah ia oleh seorang dokter.
Hanafi : “Dokter, saya ingin bertemu dengan Corrie.”
Dokter : “Maaf, Tuan. Pasien dalam keadaan tidak stabil.”
Hanafi : “Saya mohon. Saya inilah suaminya. Saya ingin bertemu dengannya.”
Dokter : (menghela nafas) “Baiklah. Tapi jangan Tuan tidak mengetahui, bahwa
keadaan istri Tuan dalam keadaan genting, hanya sebentar ia sadar. Dan
jka lama berkata, tentulah akan melarat besar baginya.”
Hanafi : “Asal saya berpandangan sebentar saja, cukuplah dokter.”
Tak lama, maka masuklah Hanafi ke dalam, berjalan dengan ujung sepatunya, lalu
menndapatkan Corrie yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Dengan
cepat ia menggenggam tangan Corrie.
Hanafi : “Oh, Corrie. Ini aku suamimu datag menjemput.” (sedih)
Corrie : (suara lemah) “Hanafi, aku tahu kau akan datang.”
Hanafi : “lekaslah sembuh, kita akan pulaang besok.”
Corrie : “Sabarlah... Han..” (semakin lemah, matanya sayup-sayup)
Hanafi : “Corrie? Tidak! Tidak! Aku tak suka kau tinggalkan. Bangunlah kita
mulai kehidupan yang baru.” (khawatir)
Corrie : “selamat tinggal... Han. Peliharalah... anakmu.. Aku...” (menutup mata)
Hanafi : “Corrie!!! Suster tolong!”

Sayang, dokter tidak dapat berbuat banyak. Kuasa Tuhan sudah berlaku dan Corrie
pun telah dinyatakan meninggal dunia. Hanafi sangat terpukul dan menyesal
dengan perbuatannya selama ini terhadap Corrie. Namun apa mau dikata, nasi
sudah menjadi bubur. Setelah kepergian Corrie, hanafi pun memutuskan kembali
ke Sumatera untuk menemui ibunya. Pada malam itu, ketika hanafi sedang berada
di dalam perjalanannya, ia dikejutkan oleh orang yang sedang berdiri bersama
anak kecil di hadapannya.
Syafei : “Aku mau yang itu!”(menunjuk balon)
Buyung : “Ibumu hanya memberi lima sen. Uang ini tak akan cukup.”
Syafei : “minta lagi pada ibu. Aku mau itu!” (memaksa)
Hanafi : “Buyung.”
Buyung : “Tuan? Bilakah Tuan datang?” (kaget)
Hanafi : “Tadi senja” (berjongkok dan memandang syafei) “Mana yang engkau
suka? Biar aku belikan.”
Syafei : “Yang merah! Terimakasih. Tapi siapakah tuan?”
Hanafi : “aku orang baik.”
Syafei : “wah sama seperti ayahku. Dia pun orang baik.”
Hanafi : “benarkah? Kalau begitu dimanakah ia sekarang?”
Syafei : “kata ibu di Betawi, ayah sedang bersekolah. Aku ingin sekali bertemu
ayah. Tapi betawi jauh sekali, harus menyebrang laut dengan kapal besar.
Kalau aku sudah besar, aku baru boleh mengunjunginya.”
Hanafi : (kaget)
Rapiah : (datang) Hai, buyung! Kalau kau lelah menjaga anakku lebih baik kau
letakan saja di tanah.” (membawa syafei pergi)
Hanafi : (menggejar Rapiah) “Rapiah!!”
Ibu : (datang dari arah berlawanan) “Hanafi, anakku!”
Hanafi : “ibu” (mendekati ibunya)
Ibu : “kapan engkau datang nak? Bagaimana keadaanmu? Mari masuk
kedalam.”
Hanafi : (mengangguk)

keesokan harinya, Hanafi tidak dapat menemukan Syafei di rumah. Ternyata ia


ditinggalka oleh Rapiah ke Bonjol. Maka Hanafi tidak dapat melihat anaknya lagi.
Sungguh malang nasib Hanafi. Ia pun jatuh sakit karen terlalu lelah dengan
semua yang menimpanya. Semakin hari, sakinya betambah parah sehingga
ibunya memanggilkan dokter ke rumah.
Hanafi : (batuk) “ apakah dokter tahu penyakit saya?”
Dokter : “Tahu betul tuan, tuan telah meminum sublimat, maka saya wajib untuk
menolong Tuan.”
Hanafi : “Sia-sia. Banyak yang sudah kutelan dengan sengaja. Biarkan aku
mati.”
Dokter : “Apa tuan tidak kasihan dengan ibu tuan?”
Hanafi : (menghella napas) “ baiklah. Tapi jangan beri tahu bahwa aku minum
sublimat.”

Dokter pun berupaya untuk mengeluarkan sublimat yang berada di dalam perut
Hanafi. Namun ppekerjaan itu pun tiada artinya. Dokter pun tidak dapat lagi
menolongnya. Maka setelah Hanafi membaca dua kalimat syahadat, nyawanya
pun melayang.

Begitulah akhir hidup Hanafi, seorang bumiputera yang lupa akan adatnya dan
terpengaruh oleh budaya Barat sehingga ia terjerumus ke dalam hal yang
merugikan dirinya sendiri. Kemana pun kita melangkah, jangan sampai kita
melupakan tanah awal pijakan kita.

Anda mungkin juga menyukai