Revisi Sistem Perkemihan Pada Anak
Revisi Sistem Perkemihan Pada Anak
Revisi Sistem Perkemihan Pada Anak
DISUSU N OLEH
KELOMPOK V AJ1 B20
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelainan konginetal pada penis menjadi suatu masalah yang sangat penting, karena
selain berfungsi sebagai pengeluaran urine juga berfungsi sebagai alat seksual yang pada
kemudian hari dapat berpengaruh terhadap fertilitas. Salah satu kelainan konginetal
terbanyak kedua pada penis setelah cryptorchidism yaitu hipospadia dan epispadia.
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra yang terletak di bagian
bawah dekat pangkal penis. (Ngastiyah, 2005 : 288).
Selain berpengaruh terhadap fungsi reproduksi yang paling utama adalah pengaruh
terhadap psikologis dan sosial anak. Penyebab dari hiposapadia ini sangat multifaktorial
antara lain disebabkan oleh gangguan dan ketidakseimbangan hormone, genetika dan
lingkungan. Ganguan keseimbangan hormon yang dimaksud adalah hormone androgen
yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Sedangkan dari faktor genetika , dapat
terjadi karena gagalnya sintesis androgen sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
Dan untuk faktor lingkungan adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat
mengakibatkan mutasi.
Belakangan ini di beberapa negara terjadi peningkatan angka kejadian hipospadia
seperti di daerah Atlantameningkat 3 sampai 5 kali lipat dari 1,1 per 1000 kelahiran pada
tahun 1990 sampai tahun1993. Banyak penulis melaporkan angka kejadian hipospadia
yang bervariasi berkisar antara 1 : 350 per kelahiran laki-laki. Bila ini kita asumsikan ke
negara Indonesia karenaIndonesia belum mempunyai data pasti berapa jumlah penderita
hipospadia dan berapaangka kejadian hipospadia. Maka berdasarkan data dari Biro Pusat
Statistik tahun 2000 menurut kelompok umur dan jenis kelamin usia 0 – 4 tahun yaitu
10.295.701 anak yangmenderita hipospadia sekitar 29 ribu anak yang memerlukan
penanganan repair hipospadia.
Penatalaksanaan hipospadia pada bayi dan anak dilakukan dengan
prosedur pembedahan. Tujuan utama pembedahan ini adalah untuk merekontruksi penis
menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal sehingga
pancaran kencing arahnya kedepan. Umumnya di Indonesia banyak terjadi kasus
hipospadia dan epispadia karena kurangnya pengetahuan para bidan saat menangani
kelahiran karena seharusnya anak yang lahir itu laki-laki namun karena melihat lubang
kencingnya di bawah maka di bilang anak itu perempuan. Oleh karena itu kita sebagai
seorang tenaga medis harus menberikan informasi yang adekuat kepada para orang tua
tentang penyakit ini. Para orang tua hendaknya menghindari faktor- faktor yang dapat
menyebabkan hipospadia dan mendeteksi secara dini kelainan pada anak mereka sehingga
dapat dilakukan penanganan yang tepat.
Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk membuang
sampah metabolisme dan racun tubuh dalam bentuk urin, yang kemudian dikeluarkan dari
tubuh. Tetapi pada kondisi tertentu karena adanya gangguan pada ginjal, fungsi tersebut
akan berubah. Gagal ginjal adalah ketidakmampuaan ginjal untuk mengekskresikan zat
sisa tubuh,memekatkan urin dan menyimpan elektrolit. Keadaan ini dapat terjadi secara
tiba-tiba (GGA) sebagai respon terhadap perfusi darah yang tidak adekuat, atau dapat
terjadi secara perlahan-lahan (GGK) sebagai akibat dari penyakit atau anomali ginjal
yang berlangsung lama.Gagal ginjal akut (GGA) adalah sindrom yang ditandai oleh
penurunan laju filtrasi glomerulus secara mendadak dan cepat (hitungan jam-minggu)
yang mengakibatkan terjadinya retensi produk sisa nitrogen seperti ureum dan kreatinin
Sedangkan Gagal ginjal kronik biasanya terjadi secara perlahan-lahan sehingga
biasanya diketahui setelah jatuh dalam kondisi parah. Gagal ginjal kronik tidak dapat
disembuhkan. Gagal ginjal kronik dapat terjadi pada semua umur dan semua tingkat
sosial ekonomi. Pada penderita gagal ginjal kronik, kemungkinan terjadinya kematian
sebesar 85%.
Lebih dari 90 % sindrom nefrotik atau gagal ginjal pada anak merupakan akibat dari
penyakit ginjal primer yang tidak tahu penyebabnya. Insiden penyakit ginjal yang banyak
terdapat pada anak adalah gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik pada anak lebih jarak
dibandingkan orang dewasa, tetapi memiliki akibat yang lebih buruk terhadap
pertumbuhan dan perkembangan. Biasanya gejala klinis belum terlihat hingga terjadi
penurunan fungsi ginjal sampai 60-80 %. Gejala klinis mungkin tidak jelas yaitu adanya
gagal tumbuh, anoreksia dan nokturia atau dapat berupa gejala akut pada krisis kronik
yang dapat disebabkan oleh infeksi .
Melihat kondisi seperti tersebut di atas, maka perawat harus dapat mendeteksi secara
dini tanda dan gejala klien dengan gagal ginjal kronik. Sehingga dapat memberikan
asuhan keperawatan secara komprehensip pada klien anak dengan gagal ginjal kronik.
Anak dengan gagal ginjal kronik harus diawasi oleh tim nefrologi anak yang mampu
memberikan perawatan yang optimal yang terdiri dari diet khusus, kemungkinan tindakan
bedah dan persiapan psikologi jika diadakan dialisis atau transplantasi. Gangguan
pertumbuhan pada anak gagal ginjal kronik merupakan masalah multifaktoral tetapi
dengan pemberian diet yang agresif disertai suplemen pada anak usia 2 tahun pertama,
dapat membantu mencegah terjadinya perawakan pendek yang sering tampak pada anak
dengan gagal ginjal kronik.
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh
proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari),
hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria,
Hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer
(idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak
diketahui dan SN sekunder yang d isebabkan oleh penyakit tertentu.
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab
SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan
rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien
SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.
Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati
membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-
proliferatif.
Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan,
obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik,
penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis
arteri renalis, obesitas massif.
Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-anak (<
16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal(75%-85%) dengan umur rata-
rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak
daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun.Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan
oleh diabetes mellitus. Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau
melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi.
Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang
bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut akan dibahas
patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan SN.
B. Tujuan
C. Manfaat
TINJAUAN TEORI
3. Patofisiologi
Hypospadia dan epispadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra
dalam utero. Hypospadia di mana lubang uretra terletak pada perbatasan penis dan
skortum, ini dapat berkaitan dengan crodee kongiental.
Paling umum pada hypospadia adalah lubang uretra bermuara pada tempat frenum,
frenumnya tidak berbentuk, tempat normalnya meatus uranius di tandai pada glans
penis sebagai celah buntuh.
Epispadia terbukanya uretra sebelah ventral. Kelainan ini meliputi leher kandung
kemih ( epispadia total ) atau hanya uretra ( epispadia persial ).Epispadia dimana
lubang uretra terdapat pada permukaan dorsum penis, dan tampak sebagai celah atau
alur tanpa tutup.Epispadia parsialis di mana muara uretra terdapat di sebelah atas dan
di belakang glans penis, permukaan dorsal penis biasanya bertarik sampai ujungnya
tetapi lubang uretra dapat berakhir pada corona atau di sebelah proksimalnya.
Pada embrio yang berumur 2 minggu baru terdapat 2 lapisan yaitu ektoderm dan
endoderm. Baru kemudian terbentuk lekukan di tengah-tengah yaitu mesoderm yang
kemudian bermigrasi ke perifer, memisahkan ektoderm dan endoderm, sedangkan di
bagian kaudalnya tetap bersatu membentuk membran kloaka.
Pada permulaan minggu ke-6, terbentuk tonjolan antara umbilical corddan tailyang
disebut genital tubercle.Di bawahnya pada garis tengah terbenuk lekukan dimana di
bagian lateralnya ada 2 lipatan memanjang yang disebut genital fold. Selama minggu
ke-7, genital tubercleakan memanjang dan membentuk glans.Bila terjadi agenesis dari
mesoderm, maka genital tubercletak terbentuk, sehingga penis juga tak terbentuk.
Bagian anterior dari membrana kloaka, yaitu membrana urogenitalia akan ruptur dan
membentuk sinus. Sementara itu genital foldakan membentuk sisi-sisi dari sinus
urogenitalia. Bila genital fold gagal bersatu di atas sinus urogenitalia, maka akan
terjadi hipospadia.
4. Pathway
Gangguan ketidakseimbangan
Urin menetes
sekitarnya
a. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah
penis yang menyerupai meatus uretra eksternus.
b. Kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung kearah bawah yang akan
tampak lebih jelas pada saat ereksi.
c. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian
punggung penis.
d. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan
membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
e. Kulit penis bagian bawah sangat tipis.
f. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.
g. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
h. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
i. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
j. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
Pada kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung ke arah bawah yang akan
tampak lebih jelas pada saat ereksi. Hal ini disebabkan oleh adanya chordee yaitu
suatu jaringan fibrosa yang menyebar mulai dari meatus yang letaknya abnormal ke
glands penis.Jaringan fibrosa ini adalah bentuk rudimeter dari uretra, korpus
spongiosum dan tunika dartos.Walaupun adanya chordee adalah salah satu ciri khas
untuk mencurigai suatu hipospadia, perlu diingat bahwa tidak semua hipospadia
memiliki chordee.
6. Pemeriksaan Diagnosis
Adapun pemeriksaan diagnostik tidak ada kecuali terdapat ketidak jelasan jenis
kelamin perlu ditegaskan atau pada kasus-kasus ketika abnormalitas lain dicurigai.
Namun dapat dilakukan pemeriksaan fisik untuk mengetahui letak dari meatus uretra
secara normal yang mengalami kelainan atau tidak mengalami kelainan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik. Jika hipospadia terdapat di
pangkal penis, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk memeriksa
kelainan bawaan lainnya.
Untuk menilai beratnya epispadia, dilakukan pemeriksaan berikut:
a. Radiologis (IVP)
b. USG sistem kemih-kelamin.
c. Epispadia biasanya diperbaiki melalui pembedahan.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan adalah dengan cara operasi, dikenal
banyak teknik operasi hipospadia, yang umumnya terdiri dari beberapa tahap yaitu:
a. Operasi pelepasan chordee dan tunneling
Dilakukan pada usia satu setengah hingga dua tahun. Pada tahap ini dilakukan
operasi eksisi chordee dari muara uretra sampai ke glans penis. Setelah eksisi
chordee maka penis akan menjadi lurus akan tetapi meatus uretra masih terletak
abnormal. Untuk melihat keberhasilan setelah eksisi dilakukan tes ereksi buatan
intraoperatif dengan menyuntikan NaCl 0,9% ke dalam korpus kavernosum.
b. Operasi uretroplasti
Biasanya dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama. Uretra dibuat dari kulit penis
bagian ventral yang diinsisi secara longitudinal paralel di kedua sisi.
c. Dan pada tahun-tahun terakhir ini, sudah mulai deterapkan operasi yang dilakukan
hanya satu tahap, akan tetapi operasi hanya dapat dilakukan pada hipospadia tipe
distal dengan ukuran penis yang cukup besar.
Tujuan pembedahan :
a. Membuat normal fungsi perkemihan dan fungsi sosial.
b. Perbaikan untuk kosmetik pada penis.
Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik
Horton dan Devine.
1. Teknik tunneling Sidiq-Chaula, dilakukan operasi 2 tahap :
a. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan
yang berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2 tahun. Penis
diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat yang abnormal. Penutupan
luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal dan kulit penis.
b. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah
lunak. Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke
glans, lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka
ditutup dengan flap dari kulit preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah
dan dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama
dengan harapan bekas luka operasi pertama telah matang.
2. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar
dengan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal
(yang letaknya lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit
bagian punggung dan ujung penis dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke
bawah.
Mengingat pentingnya preputium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia, maka
sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan
operasi hipospadi.
Berbeda dengan hipospadia di mana ada sejumlah besar teknik bedah yang
menawarkan pilihan terapi yang berbeda, karena koreksi epispadia termasuk
alternatif bedah dan hasil dari sudut pandang fungsional sering tidak memuaskan.
Ketika epispadias tidak terkait dengan inkontinensia urin perawatan bedah
terbatas pada rekonstruksi kepala penis dan uretra menggunakan plat uretra.
Ketika epispadias dikaitkan dengan inkontinensia urin pengobatan menjadi lebih
kompleks. Dalam rangka meminimalkan dampak psikologis, usia yang paling
cocok untuk perbaikan bertepatan dengan tahun pertama atau kedua kehidupan.
Yang penting untuk perbaikan epispadia sukses meliputi:
1. Pemanjangan penis
2. Urethroplasty
3. Cakupan cacat kulit dorsal penis.
8. Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi striktur uretra (terutama pada sambungan
meatus uretra yang sebenarnya dengan uretra yang baru dibuat) atau fisula, infertilitas,
serta gangguan psikososial.
a. Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin dalam 1
jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu)
b. Psikis (malu) karena perubahan posisi BAK
c. Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat dewasa
Komplikasi paska operasi yang terjadi:
1. Edema/pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat
bervariasi, juga terbentuknya hematom/kumpulan darah dibawah kulit, yang
biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi
2. Striktur, pada proksimal anastomosis yang kemungkinan disebabkan oleh angulasi
dari anastomosis
3. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang
atau pembentukan batu saat pubertas
4. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai
parameter untuyk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat ini
angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10 %
5. Residual chordee/rekuren chordee, akibat dari rilis korde yang tidak sempurna,
dimana tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau pembentukan skar yang
berlebihan di ventral penis walaupun sangat jarang
6. Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu lebar, atau adanya
stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut.
1) pemeriksaan genitalia
2) tidak ada kulit katan (foreksin) ventral
3) palpasi abdomen untuk melihat distensi bladder atau pembesaran pada
ginjal.
4) Kaji fungsi perkemihan
5) Adanya lekukan pada ujung penis
6) Glans penis berbentuk sekop
7) Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
8) Terbukanya urethral pada ventral (hypospadias)
b) Pascaoperasi
Yang terinspeksi pada Genitourinaria adalah:
1) Pembengkakan penis
2) Perdarahan pada sisi pembedahan
3) Disuria
2. Neurologis
a. Iritabilitas
b. Gelisah
3. Kaji riwayat kelahiran (adanya anomali konginetal, kondisi kesehatan)
4. Head to toe
b. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksimekanik
2. Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik keluarga
dan klien.
3. Nyeri berhubungan dengan pembedahan
4. Resiko infeksi (traktus urinarius) berhubungan dengan pemasangan kateter
menetap
5. Perubahan eliminasi urine (retensi urin) berhubungan dengan trauma operasi
c. Intervensi
Diagnosa pre operasi
1). Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksimekanik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
retensi urin berkurang.
NOC : Pengawasan urin
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK
b. Menentukan pola BAK
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet
e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK
f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK
g. Mengesankan kandung kemih secara komplet
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Perawatan retensi urin
Intervensi :
a. Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus kepada
inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten, fungsi kognitif dan
masalah urin)
b. Menjaga privasi untuk eliminasi
c. Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet
d. Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10 menit)
e. Menyediakan perlak di kasur
f. Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan
g. Menganjurkan untuk mencegah konstipasi
h. Monitor intake dan output
i. Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi
j. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan.
2). Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik keluarga
dan klien.
Tujuan : Setelah dilakukan tindkan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
kecemasan pasien berkurang.
NOC : Kontrol ansietas
Indikator :
a. Tingkat kecemasan di batas normal
b. Mengetahui penyebab cemas
c. Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas
d. Informasi untuk mengurangi kecemasan
e. Strategi koping untuk situasi penuh stress
f. Hubungan sosial
g. Tidur adekuat
h. Respon cemas
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Pengurangan cemas
Intervensi :
a. Ciptakan suasana yang tenang
b. Sediakan informasi dengan memperhatikan diagnosa, tindakan dan prognosa,
dampingi pasien untuk meciptakan suasana aman dan mengurangi ketakutan
c. Dengarkan dengan penuh perhatian
d. Kuatkan kebiasaan yang mendukung
e. Ciptakan hubungan saling percaya
f. Identifikasi perubahan tingkatan kecemasan
g. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang menimbulkan kecemasan
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh
atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin
menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan
gangguan fungsi endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa.
Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari
berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal.
Penurunan GFR
Sindrome Uremia
oedema Hipertensi
Curah jantung
PH Darah Anoxresia, mual,
Napas bau amoniak muntah
Penurunan perfusi
Asidosis metabolik
jaringan
Intake Nutrisi tidak
Kuit kering, gatal adekuat
Kerusakan pertukaran
gas Pemenuhan nutrisi
Kerusakan integritas Kulit
g. Komplikasi Gagal Ginjal Akut
1). Infeksi
Asidosis metabolic terjadi karena gangguan sekresi ion hidrogen dan
produk sisa katabolisme
Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi kalium
Uremia
Payah jantung
Kejang uremik
Perdarahan
Gagal ginjal kronik.
4. Patofisiologi GGK
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR.
Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR(Glomerular
Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :
a. Penurunan cadangan ginjal; Yang terjadi bila GFR turun 50% dari
normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa
metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak,
dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan
nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk
mendeteksi penurunan fungsi ginjal.
b. Insufisiensi ginjal; Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari
normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan
sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulasi
sisa metabolic dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi
mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan
oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan
berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis.
c. Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
d. Penyakit gagal ginjal stadium akhir; Terjadi bila GFR menjadi kurang
dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di
seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus. Akumulasi
sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam
darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan
pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal. (Corwin, 1994
1. Pathway Gagal Ginjal Kronik
Kerusakan glomerulus
Ultrafiltrasi glomerulus
G3 kondisi elektrikal
otot ventrikal Kelebihan Vol. Cairan
Pernpsan kussmaul,
Aritmia resiko tinggi kejang
Hipertensi sistemik Beban kerja jantung kesadaran menurun, edema
sel otak, letargi
Penurunan perfusi serebral
Curah jantung
Perubahan proses pikir
Defosit kalsium tulang
Penurunan
6. Komplikasi perfusikronik
gagal ginjal jaringan
a. Tes Darah
Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum – meningkat. kadar kreatinin
10 mg/dl diduga tahap akhir, Natrium dan Kalsium serum – menurun, Kalium
dan Fosfor serum – meningkat, pH dan bikarbonat (HCO3) serum – menurun
(asidosis metabolik), Haemoglobin, hematokrit, trombosit – menurun (disertai
penurunan fungsi sel darah putih dan trombosit), Glukosa serum – menurun
(umum terjadi pada bayi), Asam urat serum – meningkat, Kultur darah –
positif (disertai infeksi sistemik), SDM: menurun, defisiensi eritropoitin,
GDA: asidosis metabolik, pH kurang dari 7, Protein (albumin) : menurun,
Magnesium: meningkat
b. Tes Urine
1) Urinalitas – sel darah putih dan silinder.
2) Elektrolit urine osmolalitas, dan berat jenis – bervariasi berdasarkan
proses penyakit dan tahap GGA.
3) Warna: secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh
pus, bakteri, lemak, fosfat atau uratsedimen. Warna urine kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
4) Volume urine: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak ada urine
(anuria)
5) Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat
6) Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
7) Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
8) Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
9) Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
c. Elektrokardiogram (EKG) – perubahan yang terjadi berhubungan dengan
ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung.
d. Kajian foto toraks dan abdomen – perubahan yang terjadi berhubungan dengan
retensi cairan.
e. Osmolalitas serum: Lebih dari 285 mOsm/kg
f. Pelogram Retrograd: Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
g. Ultrasonografi Ginjal :
Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas
i. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif
k. Arteriogram Ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, masa
DIALISIS
1. Pengertian
Dialisis adalah suatu proses pencucian darah dengan menggunakan alat bantu
atau mesin untuk membersihkan tubuh dari zat-zat limbah yang berbahaya
yang terdapat dalam aliran darah.
2. Jenis-jenis Dialisis
1) Hemodialisis
Hemodialisi berasal dari kata “hemo” artinya darah dan “dialisis” artinya
pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis atau cuci darah adalah proses
pembersihan darah dari zat-zat sampah melalui proses penyaringan di luar
tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis.
Dialyzer atau filter hemodialisis memiliki dua bagian, satu untuk darah dan
satu untuk cairan cuci yang disebut dialisat. Sebuah membran tipis
memisahkan dua bagian ini. Sel darah, protein dan hal-hal penting lainnya
tetap dalam darah karena ukuran molekulnya terlalu besar untuk melewati
membran, sedangkan produk limbah yang berukuran lebih kecil didalam darah
seperti urea, kreatinin, kalium dan cairan yang berlebihan dapat melewati
membran dan dikeluarkan. Darah dari tubuh anak dikeluarkan melalui sebuah
selang untuk kemudian difilter (penyaringan) . Zat-zat sisa yang beracun dan
kelebihan cairan akan dikeluarkan dari darah. Kemudian darah yang sudah
dibersihkan dikembalikan lagi ke dalam tubuh. Rata-rata dilakukan 2-3 kali
seminggu dengan lama 4-5 jam setiap kalinya.
2) Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal adalah metode pencucian darah dengan meggunakan
peritoneum ( selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ
perut).Sebuah selang yang disebut kateter diperlukan untuk memasukan cairan
dialisit ke dalam rongga perut anak. Dialysis peritoneal sangat mirip dengan
hemodialsis, dimana pada tehnik ini peritoneum berfungsi sebagai membrane
semi permeable. Dialysis peritoneal dilakukan dengan menginfuskan 1-2 L
cairan dialysis kedalam kavum peritoneal menggunakan kateter abdomen.
Ureum dan kreatinin yang merupakan hasil akhir metabolisme yang
diekskresikan oleh ginjal dikeluarkan dari darah melalui difusi dan osmosis.
Bedanya dengan hemodialisi metode ini dapat dilakukan di rumah dan tidak
memerlukan pengawasan tenaga medis terlatih. Orang tua penderita dan
penderita akan mendapatkan pelatihan khusus sebelum dapat melakukan
perawatan di rumah.
3. Iindikasi Dialisis
a. Gagal ginjal akut, ditandai dengan oliguri mendadak dan gejala toksik uremia,
gagal ginjal kronis berguna untuk menopang kehidupan selama penderita ada
dibawah pengawasan atau dibawah rencana transplantasi ginjal.
b. Gagal jantung dan udema paru yang sukar diatasi
c. Keracunan yang menimbulkan gagal ginjal atau gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit
d. Keracunan obat yang mendadak untuk mengeluarkan obat tersebut melalui
dialisis
e. Gejala uremia mayor menunjukan adanya gagal ginjal akut atau kronis yang
telah terminal dengan gejalanya muntah, kejang, disorentasi, somnolen sampai
koma, hidrasi berlebihan seperti udema paru, gagal jantung, hipertensi yang
tidak terkendali dan perdarahan.
4. Kontraindikasi Dialisis
a. Pasien yang mengalami perdarahan sangat serius disertai anamia
b. Pasien yang mengalami hipotensi berat atau syok
c. Pasien yang mengalami penyakit jantung koroner serius atau insufisiensi
miokard, aritmia serius, hipertensi berat, atau penyakit pembuluh darah otak.
d. Pasien pasca operasi besar, 3 hari pasca operasi.
e. Pasien yang mengalami gangguan mental atau tumor ganas
f. Perdarahan serebral akibat hipertensi dan anti pembekuan
g. Hematoma subdural
h. Tahap akhir uremia dengan komplikasi irreversibel serius.
5. Komplikasi Dialisis.
Hemodialisis
a. Hipotensi
Hipotensi intradialisis merupakan efek samping yang paling umum terjadi
pada saat hemodialisis. Mekanisme patogenesis hipotensi intradialisi ada
dua yaitu pertama kegagalan untuk menjaga volume plasma pada tingkat
optimal dan kedua kelainan kardiovaskuler. Mekanisme pertama berkaitan
dengan berat badan yang berlebihan yang membutuhkan osmolalitas
serum rendah dan ultrafiltrasi volume besar dan mekanisme kedua adalah
disfungsi otonom, pergeseran aliran darah ke daerah gastrointestinal
selama makan, penurunan dalam senyawa vasokonstriksi dan peningkatan
senyawa vasodilatasi, vasodilatasi terkait dengan dialisat berbasis asetat
dan enurunan respon kompensasi karena hipertrofi atau iskemia.
b. Sakit Kepala
c. Sakit dada
d. Hipoksemia
e. Gatal – gatal
f. Kram otot
g. Anemia
h. Amiloidosis
Amiloidosis terkait dialisis terjadi ketika protein dalam darah di simpan
pada sendi dan tendon sehingga menyebabkan nyeri, kekauan dan
penumpukan cairan pada sendi.
i. Depresi
Dialisys Peritoneal
a. Nyeri abdomen hebat
Nyeri hebat mendadak mungkin disebabkan ruptura peritonium bila
mengikuti drainase isi kembali ruang abdomen dengan sebagian dialisa.
b. Penyumbatan drain
Urut perut penderita dan penderita diubah posisinya. Manipulasi kateter atau
suntikan 20 ml diasilat dengan kuat ntuk membebaskan sumbatan. Bila gagal
pindahan kateter pada posisi lain, diberikan heparinpada dialisat untuk
mengurangi pembekuan darah dan merendahkan fibrin. Kontrol dengan
pemeriksaan sinar-X, kontrol kadar hematokrit diasilat untuk menilai lama
dan beratnya perdarahan.
c. Hipokalsemia
Dicegah dengan menambahkan 3,5-4 mEq/1 kalsium perliter diasilat.
d. Hidrasi berlebihan
Dapat diketahui dengan mengukur BB tiap 8 jam. BB penderita akan turun
0,5-1% setiap hari. Jika meninggi berikan
e. Hipovolemial
Dapat diketahui dengan mengukur tekanan darah dan mengawasi tanda-tanda
renjatan.
f. Hipokalemia
g. Infeksi
Infeksi dicurigai bila cairan dialisat yang dikeluarkan keruh atau berwarna.
Peritonitis terjadi biasanya karena kuman gram negatif atau staphylicoccus
aureus.
h. Hiperglikemia
Terjadi karena absorbsi glukosa dari diasilat.
b. Diagnosa Keperawatan
c. Intervensi Keperawatan
d. Implementasi keperawatan
2. Etiologi
3. Klasifikasi
4. Patofisiologi
Adanya peningkatan permiabilitas glomerulus mengakibatkan proteinuria
masif sehingga terjadi hipoproteinemia. Akibatnya tekanan onkotik plasma
menurun karean adanya pergeseran cairan dari intravaskuler ke intestisial.
5. Pathway
6. Manifestasi Klinis
a. Berat badan meningkat
b. Pembengkakan pada wajah, terutama disekitar mata
c. Edema anasarka
d. Pembengkakan pada labia / skotum
e. Asites
f. Diare, nafsu makan menurun, absorbsi usus menurun à edema pada mukosa
usus
g. Volume urine menurun, kadang – kadang berwarna pekat dan berbusa
h. Kulit pucat
i. Anak menjadi iritabel, mudah lelah / letargi
j. Celulitis, pneumonia, peritonitis atau adanya sepsis
k. Azotemia
l. TD biasanya normal / naik sedikit
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Urine
Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor,
sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin,
porfirin.
b. Darah
8. Komplikasi
1. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia.
2. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang
menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga
terjadi peninggian fibrinogen plasma.
4. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal (Rauf,
2002 : .27-28).
9. Penatalaksanaan
1. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang
lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya
dan menghindar makanan yang diasinkan. Diet protein 2 – 3
gram/kgBB/hari.
2. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan
diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya
edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hididroklortiazid (25 – 50 mg/hari), selama pengobatan diuretik perlu
dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan
cairan intravaskuler berat.
3. Pengobatan kortikosteroid yang diajukan Internasional Coopertive Study of
Kidney Disease in Children (ISKDC), sebagai berikut :
a. Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari
luas permukaan badan (1bp) dengan maksimum 80 mg/hari.
b. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan
dosis 40 mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis
maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respon selama pengobatan, maka
pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.
c. Cegah infeksi. Antibiotik hanya dapat diberikan bila ada infeksi.
d. Pungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital
(Arif Mansjoer,2000).
1. Pengumpulan data
2. Riwayat Keperawatan
a. Keluhan Utama
Badan bengkak, muka sembab dan nafsu makan
menurun.
b. Riwayat penyakit dahulu.
Edema masa neonatus, malaria, terpapar bahan kimia.
c. Riwayat penyakit sekarang.
Badan bengkak, muka sembab, muntah, napsu makan
menurun,konstipasi, diare, urine menurun.
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak
dapat ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya
mati pada tahun pertama atau dua tahun setelah
kelahiran.
e. Riwayat kesehatan lingkungan.
Endemik malaria sering terjadi kasus NS.
f. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
1) Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8
2) Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir.
3) Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase
oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan merasakan
kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, senang
bermain dengan anak berjenis kelamin beda, oedipus
kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan ibu,
elektra kompleks untuk anak perempuan lebih dekat
dengan ayah.
4) Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre
school (inisiative vs rasa bersalah) yaitu memiliki inisiatif
untuk belajar mencari pengalaman baru. Jika usahanya
diomeli atau dicela anak akan merasa bersalah dan
menjadi anak peragu.
5) Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional
yaitu mulai mempresentasekan dunia dengan bahasa,
bermain dan meniru, menggunakan alat-alat sederhana.
6) Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari,
menggambar orang dengan kepala, lengan dan badan,
segiempat, segitiga, menghitung jari-jarinya, menyebut
hari dalam seminggu, protes bila dilarang, mengenal
empat warna, membedakan besar dan kecil, meniru
aktivitas orang dewasa.
7) Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka,
gangguan tidur, kecemasan, keterbatasan dalam
bermain, rewel, gelisah, regresi, perasaan berpisah dari
orang tua, teman.
g. Riwayat nutrisi.
h. Riwayat Persistem
1) Sistem pernapasan.
Frekuensi pernapasan 15 - 32 X/menit, rata-rata 18
X/menit, efusi pleura karena distensi abdomen
2) Sistem kardiovaskuler.
Nadi 70 - 110 X/mnt, tekanan darah 95/65 - 100/60
mmHg,hipertensi ringan bisa dijumpai.
3) Sistem perkemihan.
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria,
oliguri.
4) Sistem pencernaan.
Diare, napsu makan menurun, anoreksia,
hepatomegali, nyeri daerah perut, malnutrisi berat,
hernia umbilikalis, prolaps anii.
5) Sistem integumen.
Edema periorbital, ascites.
6) Persepsi orang tua
Kecemasan orang tua terhadap kondisi anaknya.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan perubahan status metabolik.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap
kehilangan protein dan penurunan napsu makan.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen.
4. gangguan pola tidur berhubungan dengan urgency
berkemih.
5. Resiko ketidakseimbangan volume cairan
berhubungan dengan resiko penurunan,
peningkatan, perpindahan secara cepat cairan
intravaskuler, interstisial dan intraselular satu ke
yang lain.
3. Intervensi Keperawatan
Tujuan :
INTERVENSI RASIONAL
Kriteria Hasil:
Intervensi:
a. Kaji status nutrisi
Tujuan:
Kriteria Hasil:
a. Penghematan energi
Intervensi:
Kriteria hasil:
a. Jam tidur 8-9 jam/ hari (sesuaikan dengan kebiasann jumlah jam
tidur klien sebelumnya).
Intervensi:
Kriteria Hasil:
Intervensi:
a. Observasi TTV
D. Evaluasi
BAB III
1. CONTOH KASUS
Pada tanggal 20 0ktober 2017 jam 18.00 Orang tua An.Fa (4 tahun) membawa anaknya ke RS
dengan keluhan bengkak pada kaki, tangan & wajah sejak 1 minggu yang lalu.Awalnya
bengkak pada wajah ± 2 bulan yang lalu, dirasakan timbulnya pada pagi hari setelah bangun
tidur, disertai mata yang berat. Setelah siang hari bengkak mulai berkurang.± 1 bulan
berikutnya bengkak mulai dirasa pada kakinya terutama pada siang hari.± 2 minggu
kemudian bengkak mulai timbul di tangan, bengkak mulai menetap.Bengkak tidak disertai
demam, sesak napas, mudah lelah, & anak Fa dapat tidur memakai satu bantal.
Sebelumnya anak Fa sering batuk sejak umur 5 bulan, tanpa disertai darah, tidak berat,
sembuh bila berobat ke dokter & tidak pernah mendapat pengobatan yang lama. Anak Fa
sering minum jamu-jamuan gendong sejak usia 3 tahun, berupa jamu beras kencur, tidak ada
riwayat memakai obat-obatan secara rutin, tidak pernah ada riwayat alergi, tidak pernah
timbul bercak kemerahan pada kedua pipi & tidak pernah sakit kuning. BAK-nya sedikit, ±
3x sehari, ± ½ gelas kecil & berwarna pekat dan berbusa, BAB 1x/hari. Napsu makan
menurun, kadang muntah, makan bubur habis 1/3 porsi yang disiapkan, minum 1000 cc /24
jam
II. ANAMNESIS
a. IDENTITAS
Nama penderita : An. Fa
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 4 tahun
Nama Ayah : Tn. j
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : SD
Umur : 32 tahun
Pendidikan : SD
b. Riwayat Penyakit
Keluhan utama : Bengkak-bengkak pada kaki,tangan & wajah, napsu makan menurun,
kadang muntah, makan bubur habis 1/3 porsi yang disiapkan.
Anak Fa datang dengan keluhan bengkak pada kaki, tangan & wajah sejak 1 minggu yang
lalu.Awalnya bengkak pada wajah ± 2 bulan yang lalu, dirasakan timbulnya pada pagi hari
setelah bangun tidur, disertai mata yang berat. Setelah siang hari bengkak mulai berkurang.±
1 bulan berikutnya bengkak mulai dirasa pada kakinya terutama pada siang hari.± 2 minggu
kemudian bengkak mulai timbul di tangan, bengkak mulai menetap.Bengkak tidak disertai
demam, sesak napas, mudah lelah, & An. Fa dapat tidur memakai satu bantal. Sebelumnya
An. Fa sering batuk sejak umur 5 bulan, tanpa disertai darah, tidak berat, sembuh bila berobat
ke dokter & tidak pernah mendapat pengobatan yang lama. An Fa sering minum jamu-jamuan
gendong sejak usia 3 tahun, berupa jamu beras kencur, tidak ada riwayat memakai obat-
obatan secara rutin, tidak pernah ada riwayat alergi, tidak pernah timbul bercak kemerahan
pada kedua pipi & tidak pernah sakit kuning. BAK-nya sedikit, ± 3x sehari, ± ½ gelas kecil
& berwarna pekat dan berbusa. Napsu makan menurun, kadang muntah, makan bubur habis
1/3 porsi yang disiapkan .
Riwayat Kehamilan
Ibu pasien sering memeriksakan kehamilannya ke bidan,dan dikatakan bahwa pasien
memiliki anak kembar pada kehamilan ke-3. Anak kembar yang ke-1 (an. Fa) lahir
dibidan, spontan, langsung menangis, 2200 gr, 43 cm. Anak kembar ke-2 lahir di
RSAM karena lahirnya lama, spontan, langsung menangis, 2400 gr, 41 cm.
Riwayat Makanan
Riwayat Imunisasi
Status pasien
Keadaan umum : Tampak sakit sedang, kesadaran composmentis.
Antropometri
BB : 11 kg, BB sebelum sakit 13 kg, TB : 95 cm, Ling.LA : 6 cm, Status gizi : kurang
Status Generalis
a. Sistem pernapasan
Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi sela iga (-), Tidak ada kelainan
ANTERIOR POSTERIOR
c. Sistem Perkemihan
BAK sedikit, ± 3x sehari, ± ½ gelas kecil & berwarna pekat dan berbusa
d. Sistem pencernaan
Mulut : Bibir tidak kering, sianosis (-), lidah tidak kotor, tidak hiperemis, faring
tidak hiperemis, tonsil T₁-T₁, nafsu makan menurun, kadang muntah, makan
bubur habis 1/3 porsi yang disiapkan. BAB normal 1x/hari. Inspeksi : Datar,
simetris
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), Hepar & lien tak teraba, undulasi (-)
Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-), Nyeri (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
e. Sistem muskuloskeletal
Kekuatan otot baik 5555.
Superior : Oedem (+/+),sianosis (-)
Inferior : Oedem (+/+),sianosis (-)
f. Sistem Integumen
Pucat : (-)
Sianosis : (-)
Ikterus : (-)
Perdarahan : (-)
Oedem umum : (+)
Turgor : Cukup
g. Sistem Pengindraan
c. Leher
Bentuk : Simetris
Trakhea : Di tengah
KGB : Tidak membesar
JVP : Tidak meningkat (R + 1)
h. Genitalia eksternal
1. Darah Rutin
Hb : 11 gr%
Leukosit : 11.000/ul
LED : 30 mm/jam
Diff count : 0/0/2/51/43/4
2. Urine
V. Therapi
1. Tirah baring
3. Medikamentosa
Furosemid 1x 10 mg
Prednison 3 x 1 tablet
VI. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Analisa Data
2. Ds : Ny. M mengatakan An. Fa napsu Gangguan nutrisi kurang Intake yang inadekuat
makan menurun, kadang muntah, dari kebutuhan tubuh
makan bubur habis 1/3 porsi yang
disiapkan, BB sebelum sakit 13 kg.
DO : Ku nampak sedang, BB saat ini 11
kg TB : 95 cm, Ling.LA : 6 cm
2. Diagnosa Keperawatan
1.1. KESIMPULAN
Sistem urinal (urinary tract) adalah sistem saluran dalam tubuh manusia, meliputi
ginjal dan saluran keluarnya yang berfungsi untuk membersihkan tubuh dari zat-zatyang
tidak diperlukan. Zat yang diolah oleh sistem ini selalu berupa sesuatu yang larut dalam
air.
Sistem ini terdiri dari sepasang ginjal (ren,kidney) dengan saluran keluar urine berupa
ureter dari setiap ginjal. Ureter itu bermuara pada sebuah kandung kemih (urinary
bladder, vesica urinaria) di perut bagian bawah di belakang tulang kemaluan (pubic
bone). Urine selanjutnya dialihkan keluar melalui sebuah urethra.
1.2. SARAN
Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan beberapa saran sebagai bahan
masukan yang bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan
yang akan datang, diantaranya :
2. Bagi masyarakat
Dengan adanya Askep gangguan perkemihan pada anak ini masyarakat dapat
mengetahui tindakan hemodialisa.
3. Bagi mahasiswa
Dengan adanya Askep gangguan perkemihan pada anak ini dapat digunakan sebagai
pembanding oleh mahasisiwa kesehatan dalam pembuatan tugas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2012. Makalah Hipospadia. Diakses pada 17 Oktober 2014 jam 04.34
http://tririzkiperuri.blogspot.com/2012/11/makalah-hypospadia.html
Berhman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta: EGC
Http://www.medicastore.comDiakses pada 18 Oktober 2014 jam 21.23
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Media Aesculapius: FKUI
Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik Ed.3. Jakarta: EGC
Nettina, Sandra M. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC
Pillitteri, Adele. 2002. Buku Saku Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: EGC
Speer, Kathleen Morgan. 2007. Rencana Asuhan keperawatan pediatrik dengan Clinical
Pathways. Jakarta: EGC
Suriadi, Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak. Perpustakaan Nasional RI:
Katalog dalam Terbitan
Wicaksono, Emirza nur. 2013. Epispadia. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2014 jam 20.15
http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/04/20/epispadia/
Karen J, Marcdante.dkk.Ilmu Kesehatan Anak Esensial,Edisi 6,
Donna L.Wong.dkk. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Edisi 6, Vol. 2, EGC, Jakarta
Doenges, Marilynn, E. dkk. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, 2000. EGC, Jakarta.
Bare Brenda G, Smeltzer Suzan C. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1, EGC,
Jakarta.
Price Anderson Sylvia, Milson McCarty Covraine, Patofisiologi, buku-2, Edisi 4, EGC,
Jakarta.
Betz Cecily L, Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.
Diposkan oleh Kapevi Hatake di 6:03 PM
Masjoer, arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid II. Media
Aesculapius : Jakarta.
Wilkinson, judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. EGC : Jakarta
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak Buku 2. Salemba
Medika : Jakarta.
Suhanyanto, Toto. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Trans Info Media : Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner &
Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.