Skabies
Skabies
Skabies
1 SCABIES
2.1.1 Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Sinonim atau nama lain
skabies adalah kudis, the itch, gudig, budukan, dan gatal agogo (Djuanda dkk.,
2013).
2.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian skabies tinggi di negara dengan iklim panas dan tropis.
Skabies endemik terutama di lingkungan padat penduduk dan miskin. Faktor yang
menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain: higiene buruk, sosial ekonomi
yang rendah, hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas, salah diagnosis, dan
perkembangan dermografik serta ekologi. Penyakit ini dapat termasuk PHS
(Penyakit akibat Hubungan Seksual). Ada dugaan bahwa setiap 30 tahun terjadi
epidemi skabies (Djuanda dkk., 2013; Tansil dkk., 2017).
Kepadatan penduduk, diagnosis yang tertunda, perlakuan yang tertunda dan
pendidikan masyarakat yang rendah berkontribusi pada prevalensi skabies baik di
negara industri maupun non industri. Rendahnya tingkat pendidikan merupakan
salah satu faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi skabies.
Semakin rendah tingkat pendidikan sesorang maka tingkat pengetahuan tentang
personal hygiene juga semakin rendah. Akibatnya menjadi kurang peduli tentang
pentingnya personal hygiene dan perannya dalam terhadap penyebaran penyakit.
Sehingga diperlukan program kesehatan umum untuk mendidik populasi mengenai
aspek pencegahan penyakit (Setyaningrum, 2008).
Prevalensi skabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus per
tahun. Prevalensi skabies di Indonesia menurut Depkes RI berdasarkan data dari
puskesmas seluruh Indonesia tahun 2008 adalah 5,6%-12,95%. Scabies di
Indonesia menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Insiden dan
prevalensi skabies masih sangat tinggi di Indonesia terutama pada lingkungan
masyarakat pesantren. Hal ini tercermin dari penelitian Marufi et al. (2005) bahwa
prevalensi scabies pada pondok pesantren di Kabupaten Lamongan 64,2%, senada
dengan hasil penelitian Kuspiantoro (2005) di Pasuruan, prevalensi scabies di
pondok pesantren adalah 70%. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa
scabies di suatu pesantren yang padat penghuninya dan higienenya buruk
prevalensi penderita skabies dapat mencapai 78,7%, tetapi pada kelompok
higienenya baik prevalensinya hanya 3,8% (Setyaningrum, 2008).
2.1.4 Etiologi
Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo
Ackarima, super famili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var.
Hominis. Selain itu, terdapat pula jenis Sarcoptes scabiei yang lain, misalnya pada
kambing dan babi (Djuanda dkk., 2013).
Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata.Tungau ini translusen, berwarna putih kotor dan
tidak bermata. Ukuran yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350 mikron,
sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x150-200 mikron. Bentuk
dewasa memiliki 4 pasang kaki, 2 pasang kaki depan sebagai alat untuk melekat dan 2
pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan
pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan yang keempat berakhir dengan alat
perekat (Djuanda dkk., 2013).
Gambar 1. Sarcoptes scabiei
Siklus hidup tungau ini adalah: Setelah kopulasi (perkawinan) di atas kulit,
tungau jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam
terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina dapat bertahan hidup
selama 1 sampai 2 bulan. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan
dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari, sambil meletakkan
telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai 40-50 telur. Selama itu tungau betina
tidak meninggalkan terowongan (Tansil dkk., 2017).
Setelah 3-4 hari, larva berkaki enam akan muncul dari telur dan keluar dari
terowongan dengan memotong atapnya. Larva kemudian menggali terowongan
pendek (moulting pockets) tempat mereka berubah menjadi nimfa. Setelah itu nimfa
berkembang menjadi tungau jantan dan betina dewasa. Seluruh siklus hidup mulai
dari telur sampai bentuk dewasa antara 8 12 hari (Tansil dkk., 2017).
Tungau skabies lebih memilih area tertentu untuk membuat terowongan dan
menghindari area yang memiliki banyak folikel pilosebaceus. Biasanya, pada satu
individu terdapat 5-15 tungau, kecuali Norwegian scabies - individu bisa didiami
lebih dari sejuta tungau ini (Tansil dkk., 2017).
2.1.6 Patogenesis
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga
oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi
terhadap sekret dan ekskreta tungau yang memerlukan waktu kurang lebih satu bulan
setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi,
ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder (Djuanda dkk., 2013).
a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, serta kehidupan di pondok
pesantren, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau
tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, keadaan dimana seluruh anggota
keluarganya terkena, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat
sebagai pembawa (carrier).
c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang bewarna
putih keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang satu
cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul
infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-
lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum
korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku
bagian luar, lipat ketiak bagian depan, aerola mame (wanita), umbilicus,
bokong, genetalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat
menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik, dapat ditemukan
satu atau lebih stadium hidup tungau ini.
e. Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal pada kulit
yang umumnya muncul disela-sela jari, siku, selangkangan dan lipatan paha,
dan muncul gelembung berair pada kulit (Universitas Sumatera Utara, 2010).
Gambar 4. Lesi scabies pada sela jari, penis dan areola mammae
2.1.8 Diagnosis
Terdapat 4 tanda utama atau cardinal sign pada infestasi skabies, yaitu
pruritus nocturna, mengenai sekelompok orang, adanya terowongan, dan ditemukan
Sarcoptes scabiei. Diagnosa dapat ditegakkan dengan menentukan 2 dari 4 cardinal
sign tersebut (Tansil dkk., 2017).
Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung kepada
kemampuannya meletakkan telur, larva, dan nimfa di dalam stratum korneum, oleh
karena itu parasit sangat menyukai bagian kulit yang memiliki stratum korneum relatif
lebih longgar dan tipis. Lesi berupa eritema, krusta, ekskoriasi papul dan nodul yang
sering ditemukan di daerah sela-sela jari, aspek volar pergelangan tangan dan lateral
telapak tangan, siku, aksilar, skrotum, penis, labia, dan areola wanita. Jika ada infeksi
sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Erupsi
eritematous dapat tersebar di badan sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap antigen
tungau (Tansil dkk., 2017).
Lesi patognomonik adalah terowongan tipis dan kecil seperti benang, linear
kurang lebih 1 hingga 10 mm, berwarna putih abu-abu, pada ujung terowongan
ditemukan papul atau vesikel yang merupakan hasil pergerakan tungau di dalam
stratum korneum. Terowongan terlihat jelas di sela-sela jari, pergelangan tangan, dan
daerah siku (Tansil dkk., 2017).
Gambar 5. Tempat-tempat predileksi skabies
2.1.11 Tatalaksana
Terapi lini pertama pasien dewasa adalah skabisid topikal, dapat digunakan
permethrin krim 5%. Dioleskan di seluruh permukaan tubuh, kecuali area wajah dan
kulit kepala (daerah banyak terdapat kelenjar pilosebaceus), dan lebih difokuskan di
sela-sela jari, inguinal, genital, area lipatan kulit sekitar kuku, dan area belakang
telinga. Pada pasien anak dan skabies berkrusta, area wajah dan kulit kepala juga
harus diolesi. Pasien harus diberitahu bahwa walaupun telah diberi terapi skabisidal
yang adekuat, ruam dan rasa gatal di kulit dapat tetap menetap hingga 4 minggu.
Steroid topikal, anti-histamin, ataupun steroid sistemik jangka pendek dapat diberikan
untuk menghilangkan ruam dan gatal pada pasien yang tidak membaik setelah
pemberian terapi skabisid lengkap (Tansil dkk., 2017).
2. Pengobatan Komplikasi
Pada infeksi bakteri sekunder dapat digunakan antibiotik oral.
3. Pengobatan Simptomatik
Obat antipruritus seperti obat anti histamin dapat mengurangi gatal
yang menetap selama beberapa minggu setelah terapi anti-skabies yang
adekuat. Untuk bayi, dapat diberikan hidrokortison 1% pada lesi kulit yang
sangat aktif dan aplikasi pelumas atau emolient pada lesi yang kurang aktif,
pada orang dewasa dapat digunakan triamsinolon 0,1%.
Setelah pengobatan berhasil membunuh tungau skabies, masih terdapat
gejala pruritus selama 6 minggu sebagai reaksi eczematous atau masa
penyembuhan. Pasien dapat diobati dengan emolien dan kortikosteroid topikal;
antibiotik topikal tergantung infeksi sekunder oleh Staphylococcus aureus.
Crotamiton antipruritik topikal dapat digunakan. Keluhan pruritus dapat
berlanjut selama 2-6 minggu setelah pengobatan berhasil. Hal ini karena
respons kekebalan tubuh terhadap antigen tungau. Jika gejalanya menetap,
mungkin karena salah diagnosis, aplikasi obat salah, sehingga tungau skabies
tetap ada. Kebanyakan skabies kambuh karena reinfeksi.
2.1.12 Pencegahan
Orang-orang yang kontak langsung atau dekat dengan penderita harus diterapi
dengan skabisid topikal. Terapi pencegahan ini harus diberikan untuk mencegah
penyebaran karena seseorang dapat mengandung tungau skabies yang masih dalam
periode inkubasi asimptomatik (Tansil dkk., 2017).
2.1.13 Komplikasi
Eczema, khususnya dermatitis atopik, mungkin sangat menonjol baik selama
infestasi aktif skabies maupun saat skabies telah sembuh. Ekskoriasi dapat
menyebabkan pyoderma sekunder dan kolonisasi strain Streptococci nephritogenic
yang dapat menyebabkan glomerulonefritis akut. Komplikasi ini terlihat paling sering
terjadi di daerah tropis. Pasien yang telah berhasil diobati atau yang tidak pernah
menderita skabies dapat mengembangkan acarophobia atau delusi parasitosis
(Freedberg dkk., 2003).
2.1.14 Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakain obat, serta syarat
pengobatan dapat menghilangkan faktor predisposisi (antara lain hygiene), maka
penyakit ini memberikan prognosis yang baik (Djuanda dkk., 2013).
Chosidow, O. 2006. Clinical Practice Scabies. New England Journal of Medicine. 354:1718-
1727.
Djuanda, A., Mochtar, H., dan Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Cetakan
Ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Freedberg, I. M., Eisen, A., Wolff, K., Austen, K. F., dan Goldsmith, L. A. 2003.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Sixth Edition. United States: McGraw
Hill.
Tansil, S., Angelina, J., dan Krisnataligan. 2017. Skabies: Terapi Berdasarkan Siklus Hidup.
Artikel Ilmiah. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara.