Skabies

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

2.

1 SCABIES

2.1.1 Definisi

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Sinonim atau nama lain
skabies adalah kudis, the itch, gudig, budukan, dan gatal agogo (Djuanda dkk.,
2013).

2.1.2 Epidemiologi

Angka kejadian skabies tinggi di negara dengan iklim panas dan tropis.
Skabies endemik terutama di lingkungan padat penduduk dan miskin. Faktor yang
menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain: higiene buruk, sosial ekonomi
yang rendah, hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas, salah diagnosis, dan
perkembangan dermografik serta ekologi. Penyakit ini dapat termasuk PHS
(Penyakit akibat Hubungan Seksual). Ada dugaan bahwa setiap 30 tahun terjadi
epidemi skabies (Djuanda dkk., 2013; Tansil dkk., 2017).
Kepadatan penduduk, diagnosis yang tertunda, perlakuan yang tertunda dan
pendidikan masyarakat yang rendah berkontribusi pada prevalensi skabies baik di
negara industri maupun non industri. Rendahnya tingkat pendidikan merupakan
salah satu faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi skabies.
Semakin rendah tingkat pendidikan sesorang maka tingkat pengetahuan tentang
personal hygiene juga semakin rendah. Akibatnya menjadi kurang peduli tentang
pentingnya personal hygiene dan perannya dalam terhadap penyebaran penyakit.
Sehingga diperlukan program kesehatan umum untuk mendidik populasi mengenai
aspek pencegahan penyakit (Setyaningrum, 2008).
Prevalensi skabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus per
tahun. Prevalensi skabies di Indonesia menurut Depkes RI berdasarkan data dari
puskesmas seluruh Indonesia tahun 2008 adalah 5,6%-12,95%. Scabies di
Indonesia menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Insiden dan
prevalensi skabies masih sangat tinggi di Indonesia terutama pada lingkungan
masyarakat pesantren. Hal ini tercermin dari penelitian Marufi et al. (2005) bahwa
prevalensi scabies pada pondok pesantren di Kabupaten Lamongan 64,2%, senada
dengan hasil penelitian Kuspiantoro (2005) di Pasuruan, prevalensi scabies di
pondok pesantren adalah 70%. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa
scabies di suatu pesantren yang padat penghuninya dan higienenya buruk
prevalensi penderita skabies dapat mencapai 78,7%, tetapi pada kelompok
higienenya baik prevalensinya hanya 3,8% (Setyaningrum, 2008).

2.1.3 Faktor Resiko Penularan

Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak


langsung, adapun cara penularannya adalah:

1. Kontak langsung (kulit dengan kulit)


Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan,
tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual
merupakan hal tersering, sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari
orang tua atau temannya.
2. Kontak tidak langsung (melalui benda)
Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur,
pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan.
Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut
memegang peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa
sumber penularan utama adalah selimut (Djuanda dkk., 2010).

2.1.4 Etiologi
Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo
Ackarima, super famili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var.
Hominis. Selain itu, terdapat pula jenis Sarcoptes scabiei yang lain, misalnya pada
kambing dan babi (Djuanda dkk., 2013).
Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata.Tungau ini translusen, berwarna putih kotor dan
tidak bermata. Ukuran yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350 mikron,
sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x150-200 mikron. Bentuk
dewasa memiliki 4 pasang kaki, 2 pasang kaki depan sebagai alat untuk melekat dan 2
pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan
pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan yang keempat berakhir dengan alat
perekat (Djuanda dkk., 2013).
Gambar 1. Sarcoptes scabiei

Siklus hidup tungau ini adalah: Setelah kopulasi (perkawinan) di atas kulit,
tungau jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam
terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina dapat bertahan hidup
selama 1 sampai 2 bulan. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan
dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari, sambil meletakkan
telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai 40-50 telur. Selama itu tungau betina
tidak meninggalkan terowongan (Tansil dkk., 2017).
Setelah 3-4 hari, larva berkaki enam akan muncul dari telur dan keluar dari
terowongan dengan memotong atapnya. Larva kemudian menggali terowongan
pendek (moulting pockets) tempat mereka berubah menjadi nimfa. Setelah itu nimfa
berkembang menjadi tungau jantan dan betina dewasa. Seluruh siklus hidup mulai
dari telur sampai bentuk dewasa antara 8 12 hari (Tansil dkk., 2017).
Tungau skabies lebih memilih area tertentu untuk membuat terowongan dan
menghindari area yang memiliki banyak folikel pilosebaceus. Biasanya, pada satu
individu terdapat 5-15 tungau, kecuali Norwegian scabies - individu bisa didiami
lebih dari sejuta tungau ini (Tansil dkk., 2017).

Gambar 2. Siklus Hidup Skabies


2.1.5 Klasifikasi
Adapun bentuk-bentuk khusus skabies yang sering terjadi pada manusia adalah
sebagai berikut :
(a). Skabies pada orang bersih yang merupakan skabies pada orang dengan tingkat
kebersihannya cukup, dapat terjadi salah diagnosis karena kutu biasanya hilang
akibat mandi secara teratur.
(b). Skabies pada bayi dan anak sering berupa lesi skabies yang mengenai seluruh
tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering
terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang
ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat di muka.
(c). Skabies yang ditularkan oleh hewan dapat menyerang manusia yang pekerjaannya
berhubungan erat dengan hewan tersebut, misalnya pada peternak dan gembala.
Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi terutama
terdapat pada tempat-tempat kontak, dan akan sembuh sendiri bila menjauhi
hewan tersebut dan mandi.
(d). Skabies Nodular terjadi akibat reaksi hipersensitivitas. Tempat yang sering
dikenai adalah genitalia pria, lipatan paha, dan aksila. Lesi ini dapat menetap
beberapa minggu hingga beberapa bulan, bahkan hingga satu tahun walaupun
telah mendapat pengobatan anti skabies.
(e). Skabies Inkognito, obat steroid topikal atau sistemik dapat menyamarkan gejala
dan tanda scabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya, pengobatan dengan
steroid topikal yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini
mungkin disebabkan oleh karena penurunan respons imun selular.
(f). Skabies Krustosa (Norwegian Scabies), lesinya berupa gambaran eritodermi,
yang disertai skuama generalisata, eritema, dan distrofi kuku. Krusta terdapat
banyak sekali, dimana krusta ini melindungi sarcoptes scabiei di bawahnya.
Bentuk ini mudah menular karena populasi sarcoptes scabiei sangat tinggi dan
gatal tidak menonjol. Bentuk ini sering salah didiagnosis, malahan kadang
diagnosisnya baru dapat ditegakkan setelah penderita menularkan penyakitnya ke
orang banyak. Sering terdapat pada orang tua dan orang yang menderita retardasi
mental (Downs syndrome), sensasi kulit yang rendah (lepra, syringomelia dan
tabes dorsalis), penderita penyakit sistemik yang berat (leukemia dan diabetes),
dan penderita imunosupresif (Universitas Sumatera Utara, 2010).
Gambar 3. Scabies Krustosa (Norwegian scabies) pada penderita AIDS.

2.1.6 Patogenesis
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga
oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi
terhadap sekret dan ekskreta tungau yang memerlukan waktu kurang lebih satu bulan
setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi,
ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder (Djuanda dkk., 2013).

2.1.7 Manifestasi Klinis

a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, serta kehidupan di pondok
pesantren, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau
tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, keadaan dimana seluruh anggota
keluarganya terkena, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat
sebagai pembawa (carrier).
c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang bewarna
putih keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang satu
cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul
infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-
lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum
korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku
bagian luar, lipat ketiak bagian depan, aerola mame (wanita), umbilicus,
bokong, genetalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat
menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik, dapat ditemukan
satu atau lebih stadium hidup tungau ini.
e. Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal pada kulit
yang umumnya muncul disela-sela jari, siku, selangkangan dan lipatan paha,
dan muncul gelembung berair pada kulit (Universitas Sumatera Utara, 2010).

Gambar 4. Lesi scabies pada sela jari, penis dan areola mammae

2.1.8 Diagnosis
Terdapat 4 tanda utama atau cardinal sign pada infestasi skabies, yaitu
pruritus nocturna, mengenai sekelompok orang, adanya terowongan, dan ditemukan
Sarcoptes scabiei. Diagnosa dapat ditegakkan dengan menentukan 2 dari 4 cardinal
sign tersebut (Tansil dkk., 2017).
Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung kepada
kemampuannya meletakkan telur, larva, dan nimfa di dalam stratum korneum, oleh
karena itu parasit sangat menyukai bagian kulit yang memiliki stratum korneum relatif
lebih longgar dan tipis. Lesi berupa eritema, krusta, ekskoriasi papul dan nodul yang
sering ditemukan di daerah sela-sela jari, aspek volar pergelangan tangan dan lateral
telapak tangan, siku, aksilar, skrotum, penis, labia, dan areola wanita. Jika ada infeksi
sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Erupsi
eritematous dapat tersebar di badan sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap antigen
tungau (Tansil dkk., 2017).
Lesi patognomonik adalah terowongan tipis dan kecil seperti benang, linear
kurang lebih 1 hingga 10 mm, berwarna putih abu-abu, pada ujung terowongan
ditemukan papul atau vesikel yang merupakan hasil pergerakan tungau di dalam
stratum korneum. Terowongan terlihat jelas di sela-sela jari, pergelangan tangan, dan
daerah siku (Tansil dkk., 2017).
Gambar 5. Tempat-tempat predileksi skabies

Selain bentuk skabies klasik, terdapat pula bentuk-bentuk tidak khas,


meskipun jarang. Bentuk ini dapat menimbulkan kesalahan diagnostik yang dapat
berakibat gagal pengobatan, antara lain skabies pada orang bersih, skabies nodular,
skabies incognito, skabies yang ditularkan oleh hewan, skabies Norwegia (skabies
berkrusta) (Tansil dkk., 2017).

Gambar 6. Lesi mirip terowongan pada skabies

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang


Jika gejala klinis spesifik, diagnosis skabies mudah ditegakkan, penderita
sering datang dengan lesi bervariasi. Pada umumnya diagnosis klinis ditegakkan jika
ditemukan dua dari empat cardinal signs. Lesi terowongan yang merupakan gejala
khas skabies seringkali sulit ditemukan, petunjuk yang sering digunakan untuk
mendiagnosis adalah karakteristik distribusi lesi, misal pada pria adanya nodul, papul
ataupun krusta pada penis. Diagnosis pasti terletak pada pemeriksaan mikroskopis
apabila ditemukan tungau, telur atau skibala dari S. scabiei. Beberapa pemeriksaan
penunjang untuk menemukan S.scabiei dan produknya adalah (Tansil dkk., 2017):
1. Kerokan kulit
Permukaan kulit yang memiliki ciri khas lesi terowongan dikerok dengan
skalpel dan letakkan spesimen tersebut diatas gelas objek dengan 10% potassium
hydroxide. Campuran ini akan melarutkan keratin dan menghasilkan visualisasi
gambaran tungau yang lebih baik di bawah mikroskop.
Akan tetapi potassium hydroxide juga dapat melarutkan skibala tungau sebagai
salah satu produk untuk mendiagnosis scabies. Sehingga digunakan alternatif mineral
oil yang diteteskan pada lesi, lalu cukit atau kerok dengan scalpel bagian atas lesi
terowongan tersebut untuk kemudian diperiksa dibawah mikroskop (Sashidharan,
2016).
2. Mengambil tungau dengan jarum
Mula-mula carilah terowongan, kemudian pada ujung yang terlihat papul atau
vesikel dicongkel dengan jarum dan diletakkan di atas sebuah kaca obyek, lalu ditutup
dengan kaca penutup dan dilihat dengan mikroskop cahaya (Djuanda dkk., 2013).
3. Tes tinta pada terowongan (burrow ink test)
Tes ini memungkinkan untuk identifikasi liang yang khas pada skabies.
Aplikasikan tinta hitam atau biru pada papula yang dicurigai, kemudian bersihkan
dengan alkohol untuk menghilangkan tinta permukaan. BIT positif terjadi saat
terdapat garis zigzagged gelap khas yang melintang dan menjauhi lesi karena tinta
meluncur di sepanjang liang tungau (Sashidharan, 2016).
4. Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)
Kadang-kadang skabies tampak dalam bentuk klinis yang atipikal, sehingga
sulit didiagnosis. Manifestasi atipikal tersebut pada bayi sering timbul pada wajah,
kulit kepala, telapak tangan dan telapak kaki, kemudian pada orang dewasa timbul
dalam bentuk papul atipikal dan pada orang yang immunocompromised muncul dalam
bentuk krusta lokal atau generalisata (Chosidow, 2006). Pada kasus yang demikian
atau saat pemeriksaan langsung tidak dapat dilakukan, biopsi irisan kulit dapat
mengkonfirmasi diagnosis, caranya lesi dijepit dengan 2 jari kemudian dibuat irisan
tipis dengan pisau. Biopsi tersebut dapat diwarnai dengan pewarnaan HE dan
diperiksa di bawah mikroskop cahaya (Djuanda dkk., 2013).
5. Dermoscopy
Epiluminescence dermoscopy adalah alat pemeriksaan in vivo yang efektif
untuk mendiagnosis papul yang disebabkan skabies. Visualisasi yang diperbesar akan
menunjukkan struktur segitiga kecil dan gelap sesuai dengan pigmen bagian anterior
tungau dan segmen linier halus di balik segitiga yang berisi gelembung udara,
sehingga gambarannya menyerupai jet with contrail dan dianggap sebagai liang
dengan telur dan skibala tungau (Freedberg dkk., 2003).
6. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Digunakan untuk mendiagnosis pasien dengan gambaran klinis dermatitis
atipikal. Pada pemeriksaan ditemukan PCR positif DNA S.scabiei pada pasien dengan
gejala klinis skuama epidermal dan PCR menjadi negatif 2 minggu setelah diberikan
terapi (Freedberg dkk., 2003).
Meskipun sensitivitas pemeriksaan diagnostik skabies relatif rendah, terapi
empiris tidak direkomendasikan pada pasien dengan rasa gatal yang menyeluruh dan
dipertimbangkan diberikan pada pasien dengan riwayat kontak, erupsi yang atipikal
atau keduanya (Chosidow, 2006).

2.1.10 Diagnosis Banding


Terdapat pendapat yang mengatakan penyakit skabies ini merupakan the great
immitator karena dapat menyerupai banyak penyakit kulit dengan keluhan gatal
(Djuanda dkk., 2013). Berikut ini beberapa diagnosis banding dari skabies (Tansil
dkk., 2017):
1. Urtikaria akut, berupa erupsi pada papul multiple yang gatal dan selalu sistemik.
2. Prurigo, biasanya berupa papul-papul yang gatal, predileksi pada bagian ekstensor
ekstremitas.
3. Gigitan serangga, biasanya jelas timbul sesudah ada gigitan, efloresensinya
urtikaria papuler.
4. Folikulitis, berupa pustul miliar dikelilingi daerah eritema.
5. Pedikulosis corporis, sering berupa ekskoriasi, seringkali linier dan utamanya di
bagian belakang, leher, bahu, dan pinggang.

2.1.11 Tatalaksana
Terapi lini pertama pasien dewasa adalah skabisid topikal, dapat digunakan
permethrin krim 5%. Dioleskan di seluruh permukaan tubuh, kecuali area wajah dan
kulit kepala (daerah banyak terdapat kelenjar pilosebaceus), dan lebih difokuskan di
sela-sela jari, inguinal, genital, area lipatan kulit sekitar kuku, dan area belakang
telinga. Pada pasien anak dan skabies berkrusta, area wajah dan kulit kepala juga
harus diolesi. Pasien harus diberitahu bahwa walaupun telah diberi terapi skabisidal
yang adekuat, ruam dan rasa gatal di kulit dapat tetap menetap hingga 4 minggu.
Steroid topikal, anti-histamin, ataupun steroid sistemik jangka pendek dapat diberikan
untuk menghilangkan ruam dan gatal pada pasien yang tidak membaik setelah
pemberian terapi skabisid lengkap (Tansil dkk., 2017).

Tabel 1. Pengobatan Skabies


Syarat obat yang ideal adalah harus efektif terhadap semua stadium tungau,
harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak berbau atau kotor serta tidak
merusak atau mewarnai pakaian, mudah diperoleh dan harganya terjangkau (Djuanda
dkk., 2013).
1. Penatalaksanaan umum pada pasien skabies, antara lain:
Edukasi pasien skabies:
1. Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan yang
sama dan serentak selama 4 minggu.
2. Pengobatan dioleskan di kulit dan sebaiknya dilakukan pada malam hari
sebelum tidur.
3. Ganti pakaian, handuk, sprei kamar, dan sofa yang sudah digunakan, selalu
cuci dengan teratur, rendam dengan air panas dan disetrika.
4. Jangan ulangi penggunaan skabisid dalam waktu kurang dari seminggu
walaupun rasa gatal mungkin masih timbul selama beberapa hari.
2. Penatalaksanaan khusus pada pasien skabies, meliputi:
1. Pengobatan topikal
a. Krim Permethrin
Merupakan pilihan pertama, tersedia dalam bentuk krim 5%, yang
diaplikasikan selama 8-12 jam dan setelah itu dicuci bersih. Apabila belum
sembuh bisa dilanjutkan dengan pemberian kedua setelah 1 minggu, dan
pemberian ketiga 1 minggu setelah pemberian kedua.
Target utama pengobatan adalah membran sel skabies. Obat membuat
ion Cl masuk ke dalam sel secara berlebihan, membuat sel saraf sulit
depolarisasi dan parasit akan paralisis/lumpuh. Obat ini efektif membunuh
parasit, tapi tidak efektif untuk telur. Oleh karena itu, penggunaan
permethrin hingga 3 kali pemberian sesuai siklus hidup tungau. Pemberian
kedua dan ketiga dapat membunuh tungau yang baru menetas.
Permethrin jarang diberikan pada bayi kurang dari 2 bulan, wanita
hamil, dan ibu menyusui karena keamanannya belum dapat dipastikan.
Wanita hamil dapat diberikan dengan aplikasi yang tidak lama sekitar 2
jam. Efek samping jarang ditemukan, berupa rasa terbakar, perih. dan gatal,
mungkin karena kulit sensitif dan terekskoriasi.
b. Presipitat Sulfur 4-20%
Preparat sulfur tersedia dalam bentuk salep dan krim. Tidak efektif
untuk stadium telur. Kekurangan lainnya adalah berbau, dapat mengotori
pakaian serta terkadang menimbulkan iritasi. Pengobatan selama tiga hari
berturut-turut, dapat dipakai untuk bayi/anak kurang dari 2 tahun.
c. Benzyl benzoate
Benzyl benzoate bersifat neurotoksik pada tungau skabies. Digunakan
dalam bentuk emulsi 25% dengan periode kontak 24 jam, diberikan setiap
malam selama 3 hari. Terapi ini dikontraindikasikan pada wanita hamil dan
menyusui, bayi, dan anak-anak kurang dari 2 tahun, lebih efektif untuk
resistant crusted scabies. Obat ini sulit diperoleh, sering menimbulkan
iritasi dan kadang-kadang semakin gatal setelah pemakaian.
d. Gamma benzene heksaklorida (Gammexane)
Merupakan insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP)
tungau. Tersedia dalam bentuk 1% krim, lotion, gel, tidak berbau, dan tidak
berwarna. Pemakaian secara tunggal dioleskan ke seluruh tubuh dari leher
ke bawah selama 12-24 jam. Setelah pemakaian, cuci bersih, dan dapat
diaplikasikan kembali setelah 1 minggu. Hal ini untuk memusnahkan larva-
larva yang menetas dan tidak musnah oleh pengobatan sebelumnya. Tidak
dianjurkan mengulangi pengobatan dalam 7 hari serta menggunakan
konsentrasi selain 1% karena efek samping neurotoksik SSP (ataksia,
tremor, dan kejang) akibat pemakaian berlebihan.
e. Crotamiton krim (Crotonyl-N-Ethyl-OToluidine)
Sebagai krim 10% atau lotion, merupakan obat pilihan, mempunyai
dua efek sebagai anti skabies dan anti gatal. Obat ini harus dijauhkan dari
mata, mulut dan uretra. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50%-70%.
Hasil terbaik diperoleh jika diaplikasikan dua kali sehari setelah mandi
selama lima hari berturut-turut. Tidak dapat digunakan untuk wajah,
disarankan mengganti semua pakaian dan sprei serta dicuci dengan air
panas setelah penggunaan crotamiton untuk mencegah kembalinya tungau.
Efek samping iritasi bila digunakan jangka panjang; obat ini tidak
mempunyai efek sistemik.
f. Ivermectin
Ivermectin adalah bahan semisintetik yang dihasilkan oleh
Streptomyces avermitilis, anti parasit yang strukturnya mirip antibiotik
makrolid, namun tidak mempunyai aktivitas antibiotik, diketahui aktif
melawan ekto dan endo parasit. Ivermectin digunakan luas pada pengobatan
hewan, mamalia; pada manusia digunakan untuk pengobatan penyakit
filarial terutama oncocerciasis, dilaporkan efektif untuk skabies.
Ivermectin diberikan oral, dosis tunggal, 200 ug/kgBB untuk pasien
berumur lebih dari 5 tahun. Formulasi ivermectin topikal juga dilaporkan
efektif. Efek samping yang sering adalah dermatitis kontak, dapat juga
terjadi hipotensi, edema laring, dan ensefalopati.

2. Pengobatan Komplikasi
Pada infeksi bakteri sekunder dapat digunakan antibiotik oral.
3. Pengobatan Simptomatik
Obat antipruritus seperti obat anti histamin dapat mengurangi gatal
yang menetap selama beberapa minggu setelah terapi anti-skabies yang
adekuat. Untuk bayi, dapat diberikan hidrokortison 1% pada lesi kulit yang
sangat aktif dan aplikasi pelumas atau emolient pada lesi yang kurang aktif,
pada orang dewasa dapat digunakan triamsinolon 0,1%.
Setelah pengobatan berhasil membunuh tungau skabies, masih terdapat
gejala pruritus selama 6 minggu sebagai reaksi eczematous atau masa
penyembuhan. Pasien dapat diobati dengan emolien dan kortikosteroid topikal;
antibiotik topikal tergantung infeksi sekunder oleh Staphylococcus aureus.
Crotamiton antipruritik topikal dapat digunakan. Keluhan pruritus dapat
berlanjut selama 2-6 minggu setelah pengobatan berhasil. Hal ini karena
respons kekebalan tubuh terhadap antigen tungau. Jika gejalanya menetap,
mungkin karena salah diagnosis, aplikasi obat salah, sehingga tungau skabies
tetap ada. Kebanyakan skabies kambuh karena reinfeksi.

2.1.12 Pencegahan
Orang-orang yang kontak langsung atau dekat dengan penderita harus diterapi
dengan skabisid topikal. Terapi pencegahan ini harus diberikan untuk mencegah
penyebaran karena seseorang dapat mengandung tungau skabies yang masih dalam
periode inkubasi asimptomatik (Tansil dkk., 2017).

2.1.13 Komplikasi
Eczema, khususnya dermatitis atopik, mungkin sangat menonjol baik selama
infestasi aktif skabies maupun saat skabies telah sembuh. Ekskoriasi dapat
menyebabkan pyoderma sekunder dan kolonisasi strain Streptococci nephritogenic
yang dapat menyebabkan glomerulonefritis akut. Komplikasi ini terlihat paling sering
terjadi di daerah tropis. Pasien yang telah berhasil diobati atau yang tidak pernah
menderita skabies dapat mengembangkan acarophobia atau delusi parasitosis
(Freedberg dkk., 2003).

2.1.14 Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakain obat, serta syarat
pengobatan dapat menghilangkan faktor predisposisi (antara lain hygiene), maka
penyakit ini memberikan prognosis yang baik (Djuanda dkk., 2013).

3.1 Aspek Kesehatan Masyarakat dalam Pencegahan Skabies


Pencegahan penyakit skabies menjadi tantangan di masa depan. Hal ini
didasarkan beberapa fakta adanya efek samping obat yang tidak diharapkan, resistensi
obat dan kendala diagnosis skabies serta masih diperlukannya penelitian yang panjang
terkait dengan penggunaan tanaman sebagai obat. Efek samping dari penggunaan obat
bensil bensoat, crotamiton, lindan, malation dan permetrin berkaitan erat dengan
kejadian kejang-kejang pada penderita scabies dilaporkan oleh Badan Kesehatan
Dunia (World Health Organization/WHO) yang bekerjasama dengan Pusat
Pemonitoran Obat Internasional (Center for International Drug Monitoring) pada
tahun 1998. Kematian pasca pemberian crotamiton, lindan dan permetrin juga pernah
dilaporkan. Beberapa literatur melaporkan adanya resistensi S.scabiei terhadap obat
anti skabies yang telah diuji baik secara in vitro maupun secara in vivo
(Setyaningrum, 2008).
Cara pencegahan penyakit skabies meliputi: mandi secara teratur dengan
menggunakan sabun; mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya
secara teratur minimal 2 kali dalam seminggu; menjemur kasur dan bantal minimal 2
minggu sekali; tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain; hindari
kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai terinfeksi tungau
skabies; menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup. Kebersihan tubuh sangat
penting untuk dijaga agar tidak menjadi tempat infestasi parasit. Sebaiknya mandi dua
kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita, mengingat parasit
mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan penyakit kulit
biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini sangat mengganggu
kehidupan sehari-hari. Bila pengobatan sudah dilakukan secara tuntas, tidak menjamin
terbebas dari infeksi ulang, langkah yang dapat diambil adalah sebagai berikut
(Universitas Lampung, 2015):
a. Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di
cairan antiseptik.
b. Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan
seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering.
c. Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket.
d. Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab (Depkes, 2007).
Departemen Kesehatan RI (2007) memberikan beberapa cara pencegahan
yaitu dengan dilakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas kesehatan
tentang cara penularan, diagnosis dini dan cara pengobatan penderita skabies dan
orang-orang yang kontak dengan penderita skabies, meliputi :
a. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya. Laporan kepada
Dinas Kesehatan setempat namun laporan resmi jarang dilakukan.
b. Isolasi santri yang terinfeksi dilarang masuk ke dalam pondok sampai
dilakukan pengobatan. Penderita yang dirawat di Rumah Sakit diisolasi
sampai dengan 24 jam setelah dilakukan pengobatan yang efektif.
Disinfeksi serentak yaitu pakaian dalam dan sprei yang digunakan oleh
penderita dalam 48 jam pertama sebelum pengobatan dicuci dengan
menggunakan sistem pemanasan pada proses pencucian dan pengeringan,
hal ini dapat membunuh kutu dan telur (Universitas Lampung, 2015).
Pendidikan sebagai solusi pencegahan penyakit skabies berkaitan erat dengan
tingkat pengetahuan. Pengetahuan tentang pencegahan, cara penularan penyakit, serta
upaya pengobatan jika telah terinfeksi skabies berpengaruh terhadap perilaku hidup
sehat yang menjaga kebersihan diri sendiri maupun lingkungan selanjutnya
diharapkan mampu menekan bahkan meniadakan prevalensi skabies. Domain perilaku
pada hakikatnya perilaku proaktif memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah resiko terjadinya penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit serta
berpartisipasi aktif dalam upaya kesehatan. Penyebaran informasi dapat dilakukan
melaui penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat oleh petugas kesehatan dengan
dukungan penuh dari tokoh masyarakat yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan
masyarakat setempat (Setyaningrum, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

Chosidow, O. 2006. Clinical Practice Scabies. New England Journal of Medicine. 354:1718-
1727.

Djuanda, A., Mochtar, H., dan Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Cetakan
Ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Freedberg, I. M., Eisen, A., Wolff, K., Austen, K. F., dan Goldsmith, L. A. 2003.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Sixth Edition. United States: McGraw
Hill.

Sashidharan, P. N. 2016. UK National Guideline on The Management of Scabies. Article


British Association of Sexual Health and HIV [online].
https://www.bashhguidelines.org/media/1137/scabies-2016 (diakses tanggal 5
November 2017 pukul 05.30 WIB).

Setyaningrum, Y. I. 2008. Skabies Penyakit Kulit yang Terabaikan: Prevalensi, Tantangan


dan Pendidikan sebagai Solusi Pencegahan. Artikel Seminar Nasional X Pendidikan
Biologi FKIP UNS. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Tansil, S., Angelina, J., dan Krisnataligan. 2017. Skabies: Terapi Berdasarkan Siklus Hidup.
Artikel Ilmiah. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara.

Universitas Lampung. 2015. Skabies. Makalah Ilmiah [online].


http://digilib.unila.ac.id/2439/8/BAB%20II (diakses tanggal 5 November 2017 pukul
06.30 WIB).

Universitas Sumatera Utara. 2010. Skabies. Makalah Ilmiah [online].


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/43960/4/Chapter%20II (diakses tanggal
5 November 2017 pukul 05.00 WIB).

Anda mungkin juga menyukai