Laporan SVP - Hanifa Rahma - Kartika Mutiara - 2A
Laporan SVP - Hanifa Rahma - Kartika Mutiara - 2A
Laporan SVP - Hanifa Rahma - Kartika Mutiara - 2A
Disusun oleh:
P17335114039
II A
Dosen Pembimbing:
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Mampu menentukan formula, membuat sediaan dan mengevaluasi sediaan
dengan tepat dalam pembuatan injeksi Small Volume Parenteral serbuk rekonstitusi
dengan bahan aktif Hidralazin HCl 3%.
II. PENDAHULUAN
Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas
dari mikroorganisme hidup. Pada prinsipnya ini termasuk sediaan parenteral, mata,
dan irigasi. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan yang unik diantara bentuk obat
terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa
kedalam bagian tubuh. Karena sediaan menggelakkan garis pertahanan pertama dari
tbuh yang aling efisien yakni membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus
bebas dari kontaminasi mikroba dan dari komponen toksis, dan harus mempunyai
yingkat kemurniaan tinggi (Lachman, 1994). Salah satu sediaan parenteral yaitu
injeksi. Injeksi adalah injeksi yang dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang
(Depkes RI, 1995). Umumnya hanya larutan obat dalam air yang bisa diberikan
secara intravena. Suspensi tidak bisa diberikan karena berbahaya yang dapat
menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kapiler.
Obat suntik didefinisikan secara luas sebagai sediaan steril bebas pirogen
yang dimaksudkan untuk diberikan secara parenteral. Istilah parenteral seperti yang
umum digunakan, menunjukkan pemberian lewat sunntikan seperti berbagai sediaan
yang diberikan dengan suntikkan. Pada umumnya pemberian dengan cara parenteral
dilakukan bila diinginkan kerja obat yang cepat seperti pada keadaan gawat, bila
penderita tidak dapat diajak bekerja sama dengan baik, tidak sadar, tidak dapat atau
tidak tahan menerima pengobatan melalui oral atau bila obat itu sendiri tidak efektif
dengan cara pemberian lain (Ansel, 2005).
Sediaan parenteral yang diberikan secara penyuntikan intravena, subkutan
dan intramuskular merupakan rute pemberian obat yang kritis jika dibandingkan
dengan pemberian obat secara oral. Semakin meningkatnya perkembangan ilmu
bioteknologi telah meningkatkan pula jumlah obat yang diproduksi secara
bioteknologi, seperti obat peptide dan atau produk gen. Pada abad mendatang
(sekarang sudah dimulai) beberapa obat peptide dan obat lainnya akan dihasilkan
menurut prinsip bioteknologi. Penyuntikan obat diperlukan, baik untuk respon
terapeutik yang cepat maupun untuk obat yang tidak tersedia untuk rute non-injeksi.
Penggunaan awal sediaan parenteral menimbulkan banyak masalah dan berkembang
relatif lambat (Goeswin, 2013).
Pemberian obat secara intravena menghasilkan kerja obat yang cepat
dibandingkan dengan cara cara pemberian lain dan karena absorpsi obat tidak
menjadi masalah, maka tingkatan darah optimum dapat dicapai dengan ketepatan dan
kesegaran yang tidak mungkin didapat dengan cara cara lain. Pada keadaan gawat,
pemberian obat lewat intravena dapat menjadi cara yang menyelematkan hidup
karena penempatan obat langsung ke sirkulasi darah dan kerja obat yang cepat terjadi.
Sekarang pemberian obat secara intravena merupakan hal yang umum ditemui di
rumah sakit walaupun tetap dijumpai bahaya bahaya yang timbul pada penggunaan
cara ini (Ansel, 2005).
Bentuk sediaan injeksi yang beredar di pasaran saat ini dapat berupa sediaan
parenteral volume kecil, sediaan parenteral volume besar dan sediaan parenteral
berbentuk serbuk untuk direkonstitusi. Larutan obat dalam volume besar atau kecil
dapat diberikan lewat intravena. Dalam praktikum kali ini dibuat larutan volume
kecil berbentuk serbuk untuk direkonstitusi. Larutan volume kecil (small volume
parenteral) adalah injeksi yang dikemas dalam wadah 100 ml atau kurang (USP 31).
Dalam praktikum kali ini dibuat sediaan injeksi small volume parenteral
dengan bahan aktif Hidralazin HCl. Hidralazin atau bentuk garamnya merupakan
bahan aktif yang digunakan sebagai obat obat antihipertensi. Hidralazin merupakan
kelompok obat antihipertensi yang dianggap sebagai lini kedua yaitu sebagai
vasodilator. Hidralazin bekerja langsung merelaksasi otot polos anteriol dengan
mekanisme yang belum dapt dipastikan. Sedangkan otot polos vena hampir tidak
dipengaruhi. Vasodilatasi yang terjadi menimbulkan reflek kompensasi yang kuat
berupa peningkatan kekuatan dan frekuensi denyut jantung, peningkatan renin dan
norepinefrin plasma. Hidralazin menurunkan tekanan darah berbaring dan berdiri,
karena lebih selektif bekerja pada arteriol, maka hidralazin jarang menimbulkan
hipotensi ortostatik (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2009).
III. TINJAUAN PUSTAKA
Sediaan parenteral merupakan sediaan steril yang biasa diberikan dengan
berbagai rute. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan unik diantara bentuk obat
yang terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikan melalui kulit atau membrane mukosa
kebagian dalam tubuh. Jenis pemberian parenteral yang paling umum adalah intra
vena, intra muscular, subkutan, intrakutan dan intra spinal. Pada umumnya
pemberian secara parenteral dilakukan bila diinginkan kerja obat yang lebih cepat,
seperti pada keadaan gawat bila penderita tidak dapat diajak bekerja sama, tidak sadar
atau bila obat tersebut tidak efektif dengan cara pemberian yang lain (Perry Potter,
2006).
Istilah parenteral seperti yang umum digunakan, menunjukkan pemberian
lewat suntikkan seperti berbagai sediaan yang diberikan dengan disuntikkan. Kata ini
berasal dari kata Yunani, para dan enteron berarti di luar usus halus dan merupakan
rute pemberian lain dari rute oral (Ansel, 2005). Akan tetapi, dalam dunia kesehatan,
istilah parenteral didefinisikan sebagai rute pemberian obat melalui suntikan atau
injeksi , dimana obat dihantarkan langsung menuju ke jaringan tubuh , pembuluh
darah , atau kompartemen tubuh.
Pembuatan sediaan yang akan digunakan untuk injeksi harus hati-hati untuk
menghindari kontaminasi mikroba dan bahan asing. Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB) mensyaratkan pula tiap wadah akhir injeksi harus diamati satu persatu secara
fisik. Kemudian, kita harus menolak tiap wadah yang menunjukkan pencemaran
bahan asing yang terlihat secara visual. Sediaan steril untuk kegunaan parenteral
digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda, yaitu: (Depkes RI, 1995)
1. Obat, larutan, atau emulsi yang digunakan untuk injeksi ditandai dengan nama:
injeksi........ Contoh: Injeksi Insulin.
2. Sediaan padat kering atau cairan pekat yang tidak mengandung dapar, pengencer,
atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut
yang memenuhi persyaratan injeksi. Kita dapat membedakan dari nama
bentuknya: ........ Steril. Contoh: Sodium steril.
3. Sediaan seperti tertera pada no. 2, tetapi mengandung satu atau lebih dapar,
pengencer, atau bahan tambahan lain dan dapat dibedakan dari nama bentuknya:
......... untuk injeksi. Contoh: Methicillin Sodium untuk injeksi.
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikan secara intravena atau ke dalam saluran spinal. Kita dapat
membedakannya dari nama bentuknya: suspensi ........ Steril. Contoh: Cortison
Suspensi steril.
5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan
yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan
pembawa yang sesuai. kita dapat membedakan dari nama bentuknya: ............
Steril untuk suspensi.
Obat- obat dapat disuntikan ke dalam hampir seluruh organ atau bagian tubuh
termasuk sendi (intraarticular), ruang cairan sendi (intrasynovial), tulang punggung
(intraspinal), ke dalam cairan spinal (intrathecal), arteri (intraarterial), dan dalam
keadaan gawat bahkan ke dalam jantung (intracardiac). Tetapi yang yang paling
umum obat suntik dimaksudkan untuk dimasukkan ke dalam vena (intravena, I.V),
ke dalam otot (intramuscular, I.M), ke dalam kulit (intradermal I.D., intrakutan) atau
dibawah kulit (subkutan, S.K., sub-Q., hipodermik, Hipo) (Ansel, 2005).
a. Rute intradermal
Pada pemberian secara intradermal, atau dapar pula intrakutan, obat disuntikkan
pada lapisan superfisial kulit. Melalui rute ini, volume larutan yang disuntikkan,
biasanya dalam jumlah kecil, hanya 0,1 ml untuk sekali pakai, dan biasanya cara
ini dicadangkan untuk pengukjian diagnostika dan dalam jumlah terbatas untuk
vaksin. Absorpsi melalui rute ini lambat, menyebabkan hasil kerja onset obat
pun lambat (Goeswin, 2013).
b. Rute subcutan
Injeksi volume kecil dilakukan pada jaringan longgar di bawah kulit, biasanya
pada permukaan terluar dari lengan atau paha. Respons dari obat yang diberikan
dengan cara ini lebih cepat daripada respons obat yang diberikan secara
intradermal (Goeswin, 2013).
c. Rute intramuscular
Injeksi pada pemberian obat secara intramuscular dapat dilakukan pada massa
otot. Lokasi yang biasa digunakan adalah otot deltoid (segi tiga) pada lengan
bagian atas, dimana disuntikkan sebanyak 2 ml larutan obat. Volume lebih besar
maksimal 5 ml, dpat diinjeksika ke dalam otot gluteal medial daris etiap
penonjolan (buttock). Absorpsi melalui rute intramuscular berlangsun lebih
cepat daripada rute subkutan, dapat ditunda atau diperlama dengan cara
pemberiaan obat dalam bentuk suspensi steril, baik dalam pembawa air maupun
minyak (Goeswin, 2013).
d. Rute intravena
Larutan bervolume kecil atau besar dapat diberikan ke dalam vena untuk
mendapatkan efek lebih cepat. Hasilnya dapat diperkirakan, tetapi pemberian
melalui rute ini potensial berbahaya karena tidak dapat mundur begitu obat sudah
diberikan. Larutan obat yang mengiritasi dapat diberikan menurut rute ini karena
terjadi pengenceran secara cepat oleh darah dan cairan intravena dapat diberikan
sebagai pengencer. Metode pemberian ini tidak terbatas pada volume dan jumlah
serta lokasi vena, menyebabkan cara ini mudah dilakukan (Goeswin, 2013).
e. Rute intraarteri
Rute intraarteri tidak sering digunakan. Alasan lazim untuk memanfaatkan rute
intraarteri adalah untuk memasukkan material radio opak (bahan kontras) untuk
tujuan diagnostik, seperti untuk arteriogram (Goeswin, 2013).
a. Aman secara toksikologi. Perlu diperhatika, banyak aditif yang potensial dalam
formulasi sediaan tidak cukup aman untuk pemberian obat secara injeksi.
b. Steril, bebas dari kontaminasi mikroorganisme, baik bentuk vegetatif, spora,
patogen maupun nonpatogen.
c. Bebas dari kontaminasi pirogenik (termasuk endotoksin).
d. Bebas dari partikel partikulat asing.
e. Stabil, tidak hanya secara fisika dan kimia tapi juga secara mikrobiologi.
f. Kompatibel jika dicampurkan dengan sediaan parenteral lain yang akan
diberikan secara intravena.
g. Isotonis, dalam pengertian ada rentang isotonis, jadi tidak selalu secara absolut.
Adapun keuntungan bentuk sediaan injeksi atau pemberian obat secara
parenteral adalah: (Syamsuni, 2006)
a. Bekerja cepat, misalnya injeksi adrenalin pada syok anafilaktik.
b. Dapat digunakan untuk obat yang rusak jika terkena cairan lambung,
merangsang jika masuk ke caoran lambung, atau tidak diabsorpsi baik oleh
cairan lambung.
c. Kemurnian dan takaran zat khasiat lebih terjamin.
d. Dapat digunakan sebagai depo terapi.
Adapun kerugian bentuk sediaan injeksi atau pemberian obat secara parenteral
adalah: (Syamsuni, 2006)
a. Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukar dilakukan pencegahan.
b. Cara pemberian lebih sukar, harus memakai tenaga khusus.
c. Kemungkinan terjadinya infeksi pada bekas suntikan.
d. Secara ekonomis lebih mahal dibandingkan dengan sediaan yang digunakan per
oral.
Bentuk atau tipe khusus dalam sediaan parenteral adalah suspensi, emulsi dan
bentuk kering atau serbuk rekonstitusi. Suspensi parenteral adalah suatu sistem
dispersi, multifasa dan heterogen dari partikel padat tidak larut; ditujukan terutama
untuk injeksi intramuskular dan subkutan. Produk suspensi tidak boleh membentuk
cake atau massa kue selama transportasi dan penyimpanan dan harus dengan mudah
diresuspensikan dan disuntikkan menggunakan jarum suntik berurukuran 18 sampai
21 gauge selama usia guna sediaan (Goeswin, 2013). Sistem emulsi adalah sistem
dispersi dari suatu cairan yang tidak tercampur dengan cairan lain. Sistem yang tidak
stabil ini distabilkan dengan meggunakan komponen ketiga yaitu yang dikenal
sebagai agen pengeulsi, untuk mencegah terjadinya koalesens dari tetesan terdispersi.
Emulsi parenteral relatif jarang digunakan karena disyaratkan untuk mencapai
stabilitas tetesan dengan ukuran kurang dari 1 m untuk mencegah terjadinya emboli
dipembuluh darah; dan biasanya tidak diperlukan ntuk pemberian obat dalam bentuk
emulsi (kecuali untuk keperluan nutrisi) (Goeswin, 2013).
Dalam praktikum kali ini, dibuat sediaan parenteral bentuk serbuk keringnya atau
serbuk rekonstitusi. Untuk sediaan parenteral berbentuk serbuk, serbuk biasanya
dibuat sevara kristalisasi dan semprot kering asepti untuk menajmin sterilitas dan
nioburden dari bahan secara maksimal. Pada teknik kristalisasi, obat dilarutkan
dalam pelarut yang sesuai dan disterilkan dengan cara filrasi. Dalam kondisi
terkendali, ditambahkan pelarut steril yang lain dimana obat tidak larut. Penambahan
pelarut tersebut bertujuan menginduksi proses kristalisasi dari obat. Jika serbuk obat
dibuat secara semprot kering, maka terlebih dahulu dibuat larutan steril dari obat
dengan cara yang sama seperti pada kristalisasi secara asepetik. Untuk bahan aktif
obat dan formulasi sediaan yang tidak stabil, apalagi setelah mengalami beberapa
proses, maka dapat dilakukan proses liofilisasi (freeze-drying), dimana larutan
membentuk kue serbuk tabf siap direkonstitusikan pada saat akan digunakan
(umumnya dengan pelarut air) (Goeswin, 2013).
Dalam praktikum kali ini pembuatan sediaan injeksi small volume parenteral
serbuk rekonstitusi menggunakan bahan aktif Hidralazin. Hiralazin yang digunakan
adalah bentuk garamnya yaitu Hidralazin HCl. Hidralazin atau Hidralazin HCl
merupakan salah satu contoh dari obat antihipertensi. Hipertensi merupakan suatu
kelainan, suatu gejala dari gangguan mekanisme regulasi tekanan darah (Tjay, dkk,
2010). Penyebab dari hipertensi adalah akibat penyakin ginjal dan penciutan aorta
atau arteri ginjal, juga akibat tumor di anak-ginjal dengan efek overproduksi hormon
hormon tertentu yang berkhasiat menigkatkan tekanan darah (Tjay, dkk, 2010).
Dosis pemberian oral 25-100 mg dua kalu sehari. Untik hipertensi darurat sepertii
pada glomerulonefritis akut dan eklampsia, dapat juga diberikan secara i.m atau i.v
dengan dosis 20-40 mg. Dosis maksimal 200 mg/hari (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FK UI, 2009).
IV. FORMULASI
1. Bahan aktif
a. Hidralazin HCl (RM : C8H8N4.HCl ; BM : 196,64)
Pemerian Serbuk hablur; putih hingga hampir putih; tidak berbau. Melebur
pada suhu lebih kurang 275C disertai penguraian (FI V, hlm. 525).
Kelarutan Larut dalam air; sukar larut dalam etanol; sangat sukar larut dalam
eter (FI V, hlm. 525).
Stabilitas Panas: Melebur pada suhu lebih kurang 275C disertai peruraian
Panas (FI V, hlm. 525).
Hidrolisis Oksidasi: Terdekomposisi saat terkena oksigen (TPC 12th ed.
Cahaya 1992 p. 898).
pH Hidrolisis: Terhidrolisis dalam air (Halasi S N. 1990. Stability
studies of Hydralazin HCl in aqueous solutions).
Cahaya: Terdekomposisi saat terkena cahaya (TPC 12th ed. 1992
p. 898).
pH sediaan injeksi: 3,2 4,4 (USP 30)
Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat (FI V, hlm. 525).
Kesimpulan :
Bentuk zat aktif yang digunakan (basa/asam/garam/ester) : Garam
Bentuk sediaan (lar/susp/emulsi/serbuk rekonstitusi) : Serbuk rekonstitusi
Cara sterilisasi sediaan : Sterilisasi panas basah dengan menggunakan autoklaf pada
suhu 121C dan tekanan 15 psi selama 15 menit.
2. Bahan Tambahan
a. BHT (Butil Hidroksi Toluen)
b. Benzil alkohol
Pemerian Jernih, tidak berwarna, cairan berminyak dengan bau aromatik samar
samar dan tajam, rasa terbakar (HOPE 6th ed. 2009 p. 64).
Kelarutan Kelarutan pada suhu 20C atau dinyatakan lain. Dalam kloroform
terlarut dalam segala ukuran, dalam etanol terlarut dalam segala
ukuran, 1:1,5 dalam etanol 90%; 1:2,5 dalam air pada suhu 25C,
1:14 dalam air suhu 90C (HOPE 6th ed. 2009 p. 64).
Stabilitas Panas: Dapat disterilisasi filtrasi atau autoklaf (HOPE 6th ed.
2009 p. 65).
Hidrolisi/oksidasi: Tidak bereaksi dengan air (HOPE 6th ed.
2009 p. 65).
Cahaya: Disimpan pada tempat terlindung dari cahaya (HOPE
6th ed. 2009 p. 65).
pH sediaan injeksi: pH stabilitas aktif pada pH dibawah 5,
kurang aktif pada pH diatas 8 (HOPE 6th ed. 2009 p. 65).
Kegunaan Pengawet antimikroba (HOPE 6th ed. 2009 p. 64).
Inkompabilitas Benzil alkohol tidak kompatibel dengan oksidator kuat dan asam.
Hal ini juga dapat mempercepat autoksidasi lemak. Meskipun
aktivitas antimikroba berkurang dengan adanya surfaktan nonionik,
seperti polisorbat 80, pengurangan kurang daripada halnya dengan
ester hydroxybenzoate atau kuaterner senyawa amonium. Benzil
alkohol tidak kompatibel dengan metilselulosa dan hanya perlahan
diserap oleh penutupan terdiri dari karet alam, neoprene, dan
penutupan karet butil, perlawanan yang dapat ditingkatkan dengan
lapisan polimer fluorinated (HOPE 6th ed. 2009 p. 65).
c. Asam Sitrat
Pemerian Hablur bening, tidak berwarna atau serbuk hablur granul sampai
halus; putih, tidak berbau atau praktis tidak berbau; rasa sangat asam.
Bentuk hidrat mekar dalam udara kering (FI V, hlm. 157).
Kelarutan Sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam etanol, agak sukar
larut dalam eter (FI V, hlm. 157).
Inkompabilitas Asam sitrat tidak kompatibel dengan kalum tartrat, alkali dan
karbonat alkali tanah dan bikarbonat, asetat, dan sulfida. Juga tidak
kompatibel dengan zat pengoksidasi, basa, mengurangu agen, dan
nitrat (HOPE 6th ed. 2009, p: 182).
d. Natrium Sitrat
Pemerian Hablur tidak brwarna atau serbuk putih (FI V, hlm. 913).
Kelarutan Dalam bentuk hidrat mudah larut dalam air; sangat mudah larut
dalam air mendidih; tidak larut dalma etanol (FI V, hlm. 913).
Inkompabilitas Larutan air yang sedikit basa dan akan bereaksi dengan at asam.
Garam alkaboidal dapat diendapkan dari larutan air atau
hidroalkohol. Kalsium dan strontinum garam akan menyebabkan
pengendapa nitrat yang sesuai. Tidak kompatibel lainnya termasuk
basa, zat pereduksi dan oksidator (HOPE 6th ed. 2009, p: 641).
Stabilitas Panas: Secara kimia air stabil disemua bentuk fisiknya (HOPE
6th ed. 2009, p: 766).
Hidrolisi/oksidasi: Tidak ditemukan dalam literatur Martindale
36th ed. 2009, JP 15th ed., BP ed. 2009, FI V, European pharm
5th ed., USP 30-NF 25, TPC 12th ed. 1992.
Cahaya: Tidak ditemukan dalam literatur Martindale 36th ed.
2009, JP 15th ed., BP ed. 2009, FI V, European pharm 5th ed.,
USP 30-NF 25, TPC 12th ed. 1992.
pH sediaan injeksi: pH identifikasi 5,0 7,0 (HOPE 6th ed. 2009,
p: 766).
Kegunaan Pembawa
V. PENDEKATAN FORMULA
a. Perhitungan dapar
103,1 103,8
0,01 = 2,303 C [(103,1 103,8 )2 ]
1,259 107
0,01 = 2,303 C [ ]
9,0786 107
Jadi,
Massa asam = M x Mr asam x Volume
= 0,00521 M x 192,12 x 0,050 L
= 0,05 gram
Massa garam = M x Mr garam x Volume
= 0,0261 x 294,10 x 0,050 L
= 0,384 gram
c. Perhitungan Dosis
g = 1,228 g
Jadi, Hidralazin 1 g setara dengan 1,228 g
Hidralazin HCl
Dalam sediaan:
Base:
Garam: 1,5 g x 1,228 g = 1,842 g
Kadar Hidralazin HCl 95,0-105,0% (USP
30)
Kemurnian Hidralazin yang digunakan
adalah 100%. Maka untuk memenuhi kadar
Hidralazin sesuai literatur, Hidralazin HCl
dilebihkan 5%
= 1,842 g + 5% = 1,842 g + (5% x 1,842 g)
= 1,842 g x 0,0921 g = 1,9341 g
1,9341
Kadar bahan aktif: x 100% =
50
3,8682%
3,8682
Jumlah yang ditimbang: x 50 ml =
100
1,9341 g
1,5
2 Benzil alkohol = 100 x 50 ml = 0,75 g
0,01
3 BHT = 100 x 50 ml = 0,005 g
0,1
4 Asam sitrat = 100 x 50 ml = 0,05 g
0,768
5 Natrium sitrat = 100 x 50 ml = 0,384 g
= 50 ml (1,9341 + 0,75 + 0,005 + 0,05 +
WFI
0,384) g = 46,8679 ml
6
= 10,5 ml (1,9341 + 0,75 + 0,005 + 0,05 +
WFI per vial
0,384) = 7,3769 g
VIII. STERILISASI
a. Alat
No Nama Alat Jumlah Cara sterilisasi (alat,suhu/ dosis,waktu)
b. Wadah
No. Nama alat Jumlah Cara sterilisasi (alat,suhu/ dosis,waktu)
Panas lembab, autoclave pada suhu 121C
1 Vial kaca coklat 6 dengan tekanan 15 psi selama 15 menit
Desinfeksi, direndam dalam alkohol 70% selama
2 Tutup karet vial 6 24 jam
Desinfeksi, direndam dalam alkohol 70% selama
3 Tutup vial alumunium 6 24 jam
c. Bahan
No. Nama bahan Jumlah Cara sterilisasi (alat,suhu/ dosis,waktu)
Panas lembab, autoclave pada suhu 121C dengan
1 Hidralazin HCl 1,9341 g
tekanan 15 psi selama 15 menit
Panas lembab, autoclave pada suhu 121C dengan
2 Benzil alkohol 0,75 g
tekanan 15 psi selama 15 menit
Panas lembab, autoclave pada suhu 121C dengan
3 BHT 0,005 g
tekanan 15 psi selama 15 menit
Panas lembab, autoclave pada suhu 121C dengan
4 Asam sitrat 0,05 g
tekanan 15 psi selama 15 menit
Panas lembab, autoclave pada suhu 121C dengan
5 Natrium sitrat 0,384 g
tekanan 15 psi selama 15 menit
Panas lembab, autoclave pada suhu 121C dengan
6 WFI 46,8769 ml
tekanan 15 psi selama 15 menit
IX. PROSEDUR PEMBUATAN
RUANG PROSEDUR
1. Semua alat dan awadah dicuci bersih, dibilas dengan aquadest dan
dikeringkan dengan tissue.
2. Untuk labu erlenmeyer 100 ml dikalibrasi sebanyak 50 ml (untuk
menyimpan stok air), kemudian dikeringkan dengan tissue.
3. Vial dikalibrasi dengan 10,5 ml aquadest kemudian dikeringkan
dengan tissue.
4. Bagian mulut erlenmeyer 100 ml, gelas ukur 10 ml, vial, buret, beaker
glass 100 ml, corong kaca, dan pipet tetes ditutup dengan kertas
perkamen.
Grey area 5. Dilakukan sterilisasi alat dengan cara:
(Ruang sterilisasi) a. Pipet tetes, gela sukur 10 ml, beaker galss 200 ml, labu
erlenmeyer 100 ml, buert, vial, membran filter 0,45 m dan
membran filter 0,22 m disterilisasi dengan meggunakan autoklaf
pada suhu 121C selama 15 menit dengan tekanan 15 psi.
b. Kaca arloji, spatel dan tutup vial alumunium disterilisasi dengan
menggunakan oven pada suhu 170C selama 60 menit.
c. Plastic bag, tutup karet pipet dan tutup karet vial didesinfeksi
dengan direndam dalam alkohol 70% selama 24 jam.
6. Setelah disterilisai, semua alat dan wadah dimasukkan ke dalam white
area menggunakan passbox.
1. Bahan bahan yang dibutuhkan ditimbang diatas kaca arloji steril
dengan menggunkan timbangan analitik yang sudah dikalibrasi:
a. Hidralazin HCl sebanyak 1,9341 g
b. Benzil alkohol sebanyak 0,75 g
Grey area
c. BHT sebanyak 0,005 g
(Ruang
d. Asam sitrat sebanyak 0,05 g
penimbangan)
e. Natrium sitart sebanyak 0,384 g
2. Kaca arloji yang berisi bahan yang telah ditimbang ditutup dengan
alumunium foil dan dimasukkan ke dalam whute area melalui
transfer box.
1. Pembuatan WFI: 50 ml aquadest dalam beaker glass 100 ml
disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121C selama 15 menit dengan
tekanan 15 psi.
2. Hidralazin HCl, benzil alkohol, BHT, asam sitrat, dan natrium sitrat
dicampurkan ke dalam plastic bag sampia homogen lalu diayak
dengan ayakan B40.
3. Campuran sediaan yang telah diayak, ditimbang, dan dibagi untuk 3
vial.
White area Grade 4. Kemudian masing masing sediaan dimasukkan ke dalam vial, vial
C ditutup dengan tutup karet.
(Ruang 5. WFI dimasukkan ke dalam vial yang lain sebanyak 10,5 ml.
pencampuran) 6. Sebelum WFI dimasukkan ke dalam vial, WFI disaring terlebih
dahulu dengan membran filter 0,45 m dan membran filter 0,22 m
(duplo). Bilas bagian dalam buret hingga semua bagian dalam buret
terbasahi.
7. Sebelum dimasukkan ke dalam vial, jarum buret dibersihkan dengan
tissue yang telah dibasahi oleh etanol.
8. Bagian atas buret ditutup dengan alumunium foil.
9. Vial diisi dengan WFI 10,5 ml. kemudian vial ditutup dengan tutup
karet. Vial dibawa ke ruang penutupan melalui transfer box.
Grey area Grade 1. Vial yang telah ditutup dengan tutup karet lalu diseal dengan alu cap.
C 2. Vial yang telah berisi sediaan dan WFI disterilisasi dengan
(Ruang sterilisasi) menggunakan autoklaf pada suhu 121C dengan tekanan 15 psi
selama 15 menit.
EVALUASI FISIKA
Penghamburan cahaya:
hasil perhitungan jumlah
Prosedurnya dengan cara
total butiran baku yang
memanfaatkan sensor
terkumpul pada penyaring
penghamburan cahaya dan
harus berada dalam batas
pengumpan sampel, jika
20% dari hasil
tidak memenuhi batas yang
perhitungan partikel
ditetapkan, maka dilakukan Tidak ada bahan
Penetapan bahan kumulatif rata-rata per ml.
1. pengujian mikroskopik. 3 vial partikulat dalam
partikulat Mikroskopik: injeksi
Pengujian mikroskopik ini sediaan.
memenuhi syarat, jika
menghitung bahan
partikel yang ada (nyata
partikulat subvisibel setelah
atau menurut perhitungan)
dikumpulkan pada
dalam tiap unit tertentu
penyaring membran
diuji melebihi nilai yang
mikropori.
sesuai dengan yang tertera
pada FI.
Menentukkan pH sediaan
2. Penetapan pH dengan menggunakan 3 vial pH sediaan 5,37. pH sediaan antara 3,2-4,4.
indikator pH universal.
Dengan membalikkan
posisi wadah menjadi
bagian penutupnya berada
dibawah. Letakkan diatas
Uji kebocoran tissue atau kertas saring. Tidak terjadi Tissue atau kertas saring
3. 3 vial
wadah Diamkan selama 5 menit, kebocoran. tidak menjadi basah.
amati apakah kertas saring
menjadi basah atau tidak.
Jika tissue atau kertas saring
menjadi basah maka
sediaannya dinyatakan
bocor.
Penentuan volume
terpindahkan dilakukan
dengan cara mengambil Volume tidak kurang dari
Penetepan sediaan dengan alat suntik volume ang tertera pada
4. 3 vial 10,0 ml
volume injeksi hipodermik dan wadah bila diuji satu per
memasukannya ke dalam satu (10,5 ml).
gelas ukur. (FI IV, hlm.
1044)
Dilakukan dengan
menggunakan latar
belakang putih dan hitam Tidak mengalami
5. Uji kejernihan 3 vial Dispensasi
dibawah lampu untuk kebocoran.
melihat ada atau tidaknya
partikel viable.
Menyelidiki pengotor
berwarna putih dan Jernih, tidak ada
berwarna dengan partikel viabel Jernih, tidak ada partikel
Uji kejernihan
6. menggunakan latar 3 vial berwana putih dan viabel berwana putih dan
dan secara visual
belakang putih dan hitam berwarna yang berwarna yang terlihat.
dengan cara menyinari terlihat.
wadah dari samping.
EVALUASI KIMIA
Identifikasi bahan Menggunakan spektrum Bahan aktif adalah
1. 3 vial Dispensasi
aktif serapam inframerah. Benzokain.
Menggunakan kromatografi Tidak kurang dan tidak
2. Penetapan kadar 3 vial Dispensasi
kinerja tinggi. lebih dari 0,15%.
EVALUASI BIOLOGI
Menguji sterilitas suatu
bahan dengan melihat ada Tidak terjadi pertumbuhan
tidaknya pertumbuhan mikroba setelah inkubasi
mikroba pada inkubasi selama 14 hari. Jika dapat
bahan uji menggunakan dipertimbangkan tidak
1. Uji sterilitas 3 vial Dispensasi
cara inokulasi langsung absah maka dapat
atau filtrasi secara aseptik. dilakukan uji ulang
Media yang digunakan dengan jumlah bahan yang
adalah Tioglikonat cair dan sama dengan uji aslinya.
Soybean Casein Digest.
Bakteri koloni tidak
kurang dari 1,6 kg
Inokulasi tiao wadah
direduksi dari jumlah
Uji efektivitas dengan volume suspensi
2. 3 vial Dispensasi hitungan awal kapan dan
pengawet inokula antara 0,5% dan
khamir. Koloni tidak
1%.
meningkat dari jumlah
hitungan awal.
Dengan metode Tidak lebih dari 20% dari
Uji kandungan
3. kromatografi gas. (FI IV, 3 vial Dispensasi jumlah yang tertera pada
zat antimikroba
hlm. 1423) etiket. (FI IV, hlm. 1423)
XI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dibuat sediaan injeksi small volume parenteral
serbuk rekonstitusi dengan bahan aktif Hidralazin dengan kadar 3%. Sediaan injeksi
adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus
dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan
dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir
(Depkes RI, 1995). Sedangkan injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas
dalam wadah 100 ml atau kurang (USP 31).
Tujuan dari pratikum kali ini adalah agar mahasiswa mampu menentukan
formula, membuat sediaan dan mengevaluasi sediaan dengan tepat dalam pembuatan
injeksi small volume parenteral dengan bahan aktif Hidralazin 3%. Sediaan yang
dibuat diinginkan dalam bentuk larutan, akan tetapi bahan aktif Hidralazin sukar larut
dalam air. Jika zat aktif tidak larut dalam air, maka ada beberapa alternatif lain yang
dapat diambil sebelum untuk membuat sediaan suspensi atau larutan minyak yaitu
dengan mencari bentuk garam dari bahan aktif tersebut atau melakukan reaksi
penggaraman atau dicari bentuk kompleksnya. Dalam praktikum kali ini, Hidralazin
diganti dengan bentuk garamnya. Hidralazin diganti dengan bentuk garamnya yaitu
Hidralazin HCl dengan perbandingan BM. Sehingga didapatkan 1 g Hidralazin base
setara dengan 1,228 g Hidralazin HCl.
Hidralazin memiliki kegunaan sebagai antihipertensi yang bekerja sebagai
vasodilator. Vasodilator adalah sekelompok obat yang digunakan untuk
menyembuhkan gagal jantung, angina dan hipertensi. Kelompok ini mencakup obat-
obat yang memiliki berbagai macam mekanisme aksi yang berbeda-beda termasuk
nitrat organik, calcium channal blocker, blocker, vasodilator langsung (misalya
Hidralazin), ACE inhibitor dan agonis, dan lain sebagainya. Secara keseluruhan obat-
obat ini tampaknya dapat melebarkan vaskulatur periferal baik pada salah satu sisi
vena atau arteri ataupun keduanya (Jonathan McArthur, 2010).
Gagal fungsi pompa jantung menyebabkan dipacunya berbagai mekanisme
kompensasi di antaranya meningkatnya tonus simpatis dan aktivasi sistem RAA
untuk mempertahankan pengisian jantung. Mekanisme ini pada mulanya diimbangi
dengan dilepasnya zat-zat pengatur endogen untuk memacu natriuresis dan
vasodilatasi sehingga tercapai kembali keseimbangan homeostatis. Namun, pada
gagal jantung yang berlanjut, keseimbangan ini akan bergeser sehingga vasokontriksi
dan retensi cairan lebih menonjol. Lama kelamaan beban jantung semakin berat
karena resistensi perifer yang meningkat. Vasodilator mengurangi vasokontriksi
yang berlebihan (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2009).
Vasodilator kini berperan penting dalam mengatasi gagal jantung, lebih-lebih
yang berhubungan dengan hipertensi, penyakit jantung iskemik, insufisiensi mintral
atau aorta dan kardiomiopati yang menyebabkan bendungan. Efeknya relaif berbeda
tergantung dari pembuluh darah mana yag dipengaruhinya, ateriol (pembuluh
resisten) atau venula (pembuluh penampung). Arteriodilator terutama mengurangi
beban tahanan pada aorta sehingga isi sekuncup lebih banyak, sedangkan vasodilator
menyebabkan berkurangnya tekanan pengisian ventrikel kiri sehingga daya
tampungnya saat diasto membaik. Ini menyebabkan hilangnya gejala bendungan
paru (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2009).
Hidralazin tergolong obat arteriodilator, sehingga penggunaan jangka
panjang pada gagal jantung kongestif akan memperbaiki hemodinamik dan
meningkatkan aliran darah ke ginjal dan tungkal, tetapi tidak memperbaiki
kemampuan kerja. Refleks takikardi yang sering timbul dalam pengobatan hipertensi
jarang terjadi pada pengobatan gagal jantung. Toleransi terhadap hidralazin dapat
terjadi pada sebagian kasus sehingga pengobatan jangka panjang dengan hidralazin
sering tidak efektif paru (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2009).
Hidralazin HCl memiliki pemerian yaitu serbuk hablur; putih hingga hampir
putih; tidak berbau dan melebur pada suhu lebih kurang 275C disertai peruraian
(Depkes RI, 2014). Hidralazin HCl memiliki kelarutan dalam air yang larut, tetapi
sukar larut dalam etanol dan sangat sukar larut dalam eter (Depkes RI, 2014).
Hidralazin HCl memang memiliki kelarutan yang baik dalam air, namun saat terkena
air, Hidralazin HCl dapat terhidrolisis yang menyebabkan Hidralazin HCl menjadi
tidak stabil (Halasi, 1990). Sehinga untuk membuat sediaan lebih stabil maka sediaan
dibuat dalam bentuk injeksi serbuk rekonstitusi. Jadi, data kelarutan suatu bahan aktif
sangat diperlukan karena bentuk larutan air paling dipilih pada pembuatan sediaan
steril, data kelarutan diperlukan untuk menentukan bentuk sediaan. Seperti halnya
dalam hal ini karena Hidralazin HCl larut dalam air tetapi mudah terhidrolisis oleh
adanya air maka lebih baik dibuat sediaan serbuk rekonstitusi. Selain kedua hal
tersebut, zat aktif larut air dibuat sediaan larutan dalam air, zat aktif larut dalam
minya dibuat sediaan larutan dalam pelarut minyak. Jika zat aktif tidak larut
keduanya maka dibuat sediaan suspensi.
Hidralazin HCl memiliki sifat kelarutan yang larut dalam air, maka saat akan
digunakan serbuk di larutkan terlebih dahulu dengan pelarut yang sesuai. Dalam hal
ini digunakan water for injection sebagai pelarutnya. Water for injection adalah
pelarut yang paling sering digunakan pada pembuatan obat suntik secara besar-
besaran. Air dimurnikan dengan cra penyulingan atau osmosis terbalik (reverse
osmosis) dan memenuhi standar yang sama dengan Purified Water, dalam hal jumlah
zat padat yanga da yaitu tidak lebih dari 1 mg per 100 ml. Water for injection tidak
boleh mengandung zat penambah. Walaupun air untuk obat suntik tidak disyaratkan
steril tetapi harus bebas pirogen. Pirogen adalah senyawa organik yang menimbulkan
demam, berasal dari pengotoran mikroba dan meruoakan penyebab banyak reaksi-
reaksi febril yang timbul pada penderita yang menerima suntikan intravena. Air
tersebut dimaksudkan untuk pembuatan produk yang disuntikkan yang akan
disterilkan sesudah dibuat. Air untuk obat suntik harus disimpan dalam wadah
tertutup rapat pada temperatur dibawah atau diatas kisaran temperatur dimana
mikroba dapat tumbuh. Air untuk obat suntik dimaksudkan untuk digunakan dalam
waktu 24 jam sesudah penampungan. Tentunya harus ditampung dalam wadah yang
ebabs pirogen dan steril. Wadah umumnya dari gelas atau dilapis gelas. (Ansel,
2005).
USP mengizinkan penambahan zat-zat yang sesuai ke dalam sediaan resmi
yang digunakan sebagai obat suntik, untuk tujuan meningkatkan kestabilan atau
kegunaan, asalkan tidak dilarang sesuai yang tercantum dalam monografi masing-
masing, tidak berbahaya dalam jumlah yang diberikan dan tidak menganggap efek
terapi sediaan atau penentuan kadar dan pemeriksaan-pemeriksaan. Senyawa
penambah kebanyakan adalah pengawet antimikroba, dapar, penambah kelarutan,
antioksidan, dan zat-zat pembantu farmasi lainnya. Syarat dari zat penambahan
adalah satu atau lebih senyawa sesuai yang ditambahkan ke produk parenteral yang
dikemas dalam wadah dosis gannda untuk mencegah pertumbuhan mikroba, tanpa
mengindahkan cara sterilisasi yang digunakan, kecuali bila dinyatakan dalam
masing-masing monograf atau bila bahan aktif obat suntik itu sendiri bersifat
bakteriostatik (Ansel, 2005).
Dalam praktikum kali ini berdasarkan perhitungan dosis, sediaan dinyatakan
sebagai multiple dose atau dosis ganda dimana penggunaannya tidak hanya sekali
pakai. Untuk mencegah terjadinya pertumbuhan mikroba dalam sediaan maka
diperlukan penambahan pengawet antimikroba. Dalam hal ini pengawet antimikroba
yang digunakan adalah benzil alkohol. Konsentrasi benzil alkohol yang lazim
digunakan adalah 1-2%, dalam hal ini konsentrasi yang digunakan adalah 1,5%.
Penambahan pengawet dapat dilakukan pada sediaan multiple dose kecuali yang
dilarang oleh monografi atau bahan aktif bersifat bakteriostatik. Pada sediaan dosis
ganda ada kemungkinan kontaminasi sediaan pada saat pemakaian kembali, dan
pengawet bekerja secara bakteriostatik. Sediaan unit dosis jika tidak dilakukan
sterilisasi akhir juga memungkinkan adanya pertumbuhan mikroba maka diperlukan
penambahan pengawet antimikroba.
Selain pengawet antimikroba, bahan tambahan yang ditambahakan dalam
sediaan adalah antioksidan. Penambahan antioksidan adalah karena berdasarkan
literatur Hidralazin HCl terdekomposisi saat terkena oksigen sehingga perlu
ditambahkan antioksidan (The Council of The Royal Pharmaceutical Society of
Great Britain, 1994). Antioksidan yang ditambahkan dalam sediaan adalah BHT.
Kadar BHT yang digunakan adaah 0,01%. Antioksidan memiliki empat mekanisme
kerja yang berbeda, yaitu agen pereduksi, agen pemblokir, zat sinergis dan
pengompleks. Agen pereduksi mempunyai potensial oksidasi rendah sehingga
teroksidasi lebih dahulu dari zat aktif. Contoh dari antioksidan yang bekerja sebagai
agen pereduksi adalah vitamin C, natrium bisulfit dan natrium pirosulfit. Sedangkan
agen pemblokir bekerja dengan mencegah oksidasi dengan memutuskan oksidasi.
Salah satu contohnya adalah BHT yang dalam hal ini digunakan sebagai antioksidan.
Untuk antioksidan yang bekerja sebagai zat sinergis, dia bekerja meningkatkan efek
anitioksidan lainnya terutama antioksidan agen pembloker. Sedangkan antioksidan
yang bekerja sebagai pengompleks, zat-zat ini membentuk kmpleks dengan ion-ion
logam yang mengkatalis reaksi oksidasi sehingga reaksi dapat diperlambat.
Selain pengawet antimikroba dan antioksidan, karena Hidralazin HCl
memiliki pH sediaan injeksi 3,2-4,4 yang artinya rentang pHnya kurang dari sama
dengan dua, maka diperlukan suatu pengatur pH yang disebut dengan dapar (USP
30). Adapun dapar yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah dapar sitrat
karena nilai pKa nya mendekati dari pH sediaan yang diinginkan. Tujuan dari
penambahan dapar adalah untuk meningkatkan stabilitas obat, mengurangi rasa
nyeri, iritasi, nekrosis saat penggunaan, menghambat pertumbuhan mikroba dan
meningkatkan aktifitas fisiologis obat. Untuk sediaan parenteral volume kecil, dapar
dapat diberikan bila pH stabilias sediaan berada didalam rentang untuk i.v adalah 3-
10,5 dan untuk rute lain adalah 4-9. Yang perlu diperhatikan dalam penambahan
dapar adalah kecuali darah cairan tubuh lainnya tidak mempunyai kapasitas dapar,
pada umumnya larutan dapar menyebabkan larutan injeksi menjadi hipertonis, bahan
obat akan diabsorpsi jika kapasitas dapar sudah hilang, amka sebaiknya obat didapar
pada pH yang tidak jauh dari isohidri (Syamsuni, 2006).
Salah satu syarat untuk sediaan injeksi adalah harus isotonis dengan darah.
Larutan obat suntik dikatakan isotonis, jika mempunyai tekanan osmosis yang sama
dengan tekanan osmosis cairan tubuh (darah, cairan lumbar, air mata) bernilai sama
dengan tekanan osmosis larutan NaCl 0,9% b/v. Kemudian yang kedua adalah
mempunyai titik beku yang sama dengan titik beku cairan tubuh yaitu -0,52C. Jika
larutan injeksi mempunyai tekananosmosi ebih besar dari larutan NaCl 0,9% b/v,
maka larutan itu disebut hipertonis, jika lebih kecil dari larutan NaCl 0,9% maka
disebut hipotonis. Jika larutan injeksi hipertonis disuntikkan, air dalam sel akan
ditarik keluar dari sel sehingga sel akan mengkerut, tetapi keadaan ini bersifat
sementara dan tidak akan menyebabkan kerusakan sel tersebut. Jika larutan injeksi
yang hipotonis disuntikkan, air dari larutan injeksi akan diserap dan masuk ke dalam
sel, akibatnya sel akan mengembang dan pecah dan keadaan ini bersifat tetap
(Syamsuni, 2006).
Berdasarkan hasil perhitungan tonisitas, didapatkan bahwa sediaan injeksi
small volume parenteral serbuk rekonstitusi memiliki nilai tonisitas 1,64287%.
Dimana nilai tersebut melebihi dari larutan NaCl 0,9% b/v atau dapat diartikan
sebagai sediaan yang hipertonis. Maka, sediaan tersebut tidak diperlukan
penambahan pengisotonis. Pada dasarnya larutan perlu isotonis agar mengurangi
kerusakan jaringan dan iritasi, mengurangi hemolisis sel darah, mencegah
ketidakseimbangan dan mengurangi rasa sakit pada daerah injeksi. Contoh pengatur
tonisitas pada keadaan yang hipotonis adalah NaCl 0,9%, dextrosa 5%, dan lain
sebagainya.
Kemurniaan Hidralazin HCl yang digunakan saat praktikum adalah 100%,
sedangkan berdasarkan literatur sediaan injeksi Hidralazin mengandung Hidralazin
HCl tidak kurang dari 95,0-105,0%. Maka untuk memenuhi syarat sediaan injeksi,
maka massa bahan aktif dilebihkan 5%. Untuk memenuhi syarat volume injeksi dan
untuk mendapatkan keseragaman volume tiap vial maka volume masing-masing vial
dilebihkan 0,5 ml. sedangkan untuk mencegah terjadinya kehilangan volume dalam
proses pembuatan maka total volume sediaan dilebihkan 10%.
Berdasarkan stabilitas panas, Hidralazin HCl melebur pada suhu lebih kurang
275C disertai peruraian (Depkes RI, 2014). Hal ini bisa menjadi acuan untuk
menentukan apakah sediaan dilakukan sterilisasi akhir atau tidak. Berdasarkan
literatur tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sediaan tahan pemanasan sehingga
dapat dilakukan sterilisasi akhir dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121C
dengan tekanan 15 psi selama 15 menit. Sebagian besar produk farmasi tidak tahan
panas dan tidak dapat dipanaskan dengan aman pada temperatur yang dibutuhkan
untuk sterilisasi panas kering. Bila ada kelembapan (uap air), bakteri terkoagulasi
dan dirusak pada temperatur yang lebih rendah daripada bila tidak ada kelembapan.
Kenyataanya, sel bakteri dengan kadar air besar umunya kebih mudah dibunuh.
Spora-spora yang kadarnya airnya relatif lebih kecil lebih sukar dihancurkan.
Mekansime penghancuran baketri oleh uap air adalah karena terjadinya denaturasi
dan koagulasi beberapa protein esensial organisme tersebut (Ansel, 2005).
Prosedur awal dari pembuatan sediaan ini adalah melakukan sterilisasi di
ruangan grey area ruang sterilisasi terhadap alat dan wadah yang akan digunakan
dalm proses pembuatann. Sterilisasi alat dan wadah tergantung pada sifat dari lat dan
wadahnya masing-masing apakah tahan pemanasan atau tidak. Selanjutnya setelah
alat dan wadah disterilisasi, maka dilakukan penimbangan bahan-bahan yang
digunakan diatas kaca arloji steril dengan menggunakan timbangan analitik di
ruangan grey area ruang penimbangan. Setelah smeua bahan ditimbang maka
dilanjutkan ke proses selanjutnya yaitu pencamouran bahan-bahan di ruangan white
area ruang pencampuran grade C. Dilakukan di grade C karena sediaan akan
dilakukan sterililasi akhir sehingga tidak perlu dilakukan dalam grade A background
B. Setelah semua bahan tercampurkan, maka selanjutnya dimasukkan ke dalam vial.
Vial yang digunakan ada dua yaitu untuk serbuk dan untuk pelarutnya. Berdasarkan
literatur Hidralazin HCl akan terdekomposisi daat terkena cahaya, maka vial yang
digunakans ebagai wadah adalah vial cokelat tahan terhadap cahaya. Pada dasarnya
wadah obat suntik, termasuk tutupnya harus tidak berinteraksi dengan sediaan, baik
secara fisik maupun kimia sehingga akan mengubah kekuatan dan efektivitasnya
(Ansel, 2005). Setelah dimasukan ke dalam vial selanjutnya sediaan dan wadah
dilakukan sterilisasi akhir dengan sterilisasi panas basah menggunakan autoklaf pada
suhu 121C dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.
Setelah sediaan disterilisasi akhir, dilakukan evaluasi terhadap sediaan.
Evaluasi sediaan yang dilakukan antara lain waktu rekonstitusi, uji kejernihan, uji
kejernihan dan warna, pH sediaan, volume terpindahkan dan uji kebocoran. Langkah
pertama yang dilakukan sebelum melakukan evalusi adalah melarutkan serbuk
dengan pelarutnya kemudia dikocok sampai larut sempurna. Saat pengocokkan
dilakukan juga evaluasi waktu rekonstitusi. Setelah 30 detik pengocokkan bahan-
bahan larut sempurna meskipun masih ada beberapa bahan-bahan partikel yang
melayang dalam sediaan. Selanjutnya dilakukan uji kejernihan dan kejerniahn dan
warna. Berdasarkan hasil pengamatan, dalam sediaan ditemukan bahan partikulat
yang melayang dan ditemukan pengotor dalam sediaan. Setelah dilakukan evaluasi
tersebut, kemudian dilakukan evaluasi volume terpindahkan. Hasil yang didapatkan
adalah 10,0 ml. setelah dilakukan evaluasi vlume terpindahkan, sediaan dalam jarum
suntik dimasukkan kembali ke dalam vial untuk selanjutnya dilakuakn evaluasi pH
sediaan. Evaluasi selanjutnya yang dilakukan adalah penetapan pH sediaan dengan
menggunakan pH meter. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa pH sediaan
adalah 5,37. Evaluasi yang terakhir dilakukan adalah uji kebocoran. Berdasarkan uji
kebocoran sediaan tidak mengalami kebocoran. Jadi, berdasarkan hasil evaluasi
sediaan dinyatakan tidak memenuhi syarat karena berdasarkan uji waktu rekonstitusi,
kejernihan, kejernihan dan warna , pH sediaan dan volume terpindahkan tidak sesuai
dengan syarat, dan evaluasi tersebut merupkan parameter kritis kecuali volume
terpindahkan.
XII. KESIMPULAN
Formulasi yang tepat untuk sediaan steril injeksi/ infus adalah sebagai berikut.
Dus
Etiket
Brosur
HIDRALAZINA
Hidralazin Hidroklorida
Serbuk Injeksi Rekonstitusi
Tiap ml mengandung:
Hidralazin HCl...................................................................... 20 mg
FARMAKOLOGI
Hidralazina mengandung Hidrlazin HCl yang dapat digunakan
sebagai langsung merelaksasi otot polos arteriol.
INDIKASI
HIdrlazina diindikasikan untuk pasien Hipertensi yang tidak
biasa, yaitu hipertensi esensial yang parah, hipertensi yang
penyebabnya masih belum diketahui.
KONTRAINDIKASI
Tidak boleh diberikan pada pasien yang mempunyai penyakit
arteri koroner dan mitral valvular rematik jantung.
EFEK SAMPING
-Sakit kepala
-Mual
-Hipotensi
-Angina pektoris
CARA PAKAI
Rekonstitusikan dengan Bacteriostatic Water for Injection.
KEMASAN
2 buah vial, satu vial berisi serbuk dan yang lainnya berisi
Bacteriostatic Water for Injection.
No. Reg. : DKL1523900144A1
PENYIMPANAN
Simpan pada suhu kamar (25), terlindung dari cahaya.
KETERANGAN
HARUS DENGAN RESEP DOKTER.
Dibuat oleh:
PT PHARAFAM FARMA
Bandung Indonesia