Tugas Makalah Politik Hukum Terkait Kenotariatan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

Makalah Politik Hukum

KEDUDUKAN NOTARIS SELAMA MENJADI


ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Dosen Pengampu :
Dr. Mochamad Isnaeni Ramdhan, S.H.,M.H

Disusun Oleh:
Abdul Razak Sitorus
KENOTARIATAN A

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana yang diterangkan dalam

penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian maka segala

sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan

harus berlandaskan dan berdasarkan atas hukum, sebagai barometer untuk

mengukur suatu perbuatan atau tindakan telah sesuai atau tidak dengan

ketentuan yang telah disepakati.

Dalam setiap lima tahun sekali, Negara Indonesia memiliki suatu pesta

akbar yang mana pesertanya adalah seluruh rakyat Indonesia yang peduli

terhadap keadaan bangsanya. Pesta akbar yang menghabiskan biaya yang

sangat besar tersebut dinamakan pemilihan umum (selanjutnya disebut

Pemilu).

Pemilu merupakan intrumen penting dalam negara demokrasi yang

menganut sistem perwakilan. Mereka yang terpilih dianggap sebagai orang

atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan

bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui partai politik.

Pada pokoknya mereka yang akan maju mewakili partai politik tertentu
tersebut pasti memiliki sebuah kepentingan akan dari dirinya dan

golongannya.

Salah satu kelompok yang berminat akan duduk sebagai anggota

dewan di parlemen tersebut adalah profesi notaris. Di Indonesia, notaris

bertidak sebagai pelayan masyarakat. Hal ini karena notaris adalah pejabat

yang diangkat oleh pemerintah untuk melayani kebutuhan masyarakat akan

dokumen-dokumen legal yang sah, namun seorang notaris di luar jabatannya

adalah orang yang memiliki kedudukan yang sama dengan orang yang lain

(equality before the law).

Notaris dalam menggunakan haknya untuk bisa duduk mewakili

masyarakat sebagai anggota dewan, diatur dalam:

1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Undang-undang Pemilu

pasal 51 ayat (2) huruf g.

2. UUJN, khususnya pasal 17 huruf d menyatakan notaris dilarang

merangkap sebagai pejabat negara. Dalam ketentuan UUJN, apabila

notaris yang terpilih menjadi anggota dewan, diwajibkan mengambil cuti.

3. Pasal 8 ayat (1) huruf e UUJN, jika notaris merangkap dengan jabatan

Negara, hal ini merupakan alasan untuk memberhentikan sementara

notaris dari jabatannya.

4. Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN, Jika seorang notaris akan diangkat

menjadi pejabat negara maka wajib mengambil cuti selama memangku

jabatan sebagai pejabat negara dan wajib mengangkat notaris pengganti

yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku


jabatan sebagai pejabat negara, maka notaris dapat melanjutkan lagi tugas

jabatannya sebagai notaris.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kaitannya politik hukum dalam profesi jabatan notaris?

2. Bagaimana status hukum seorang notaris yang menjadi anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, apakah harus cuti atau tidak berpraktek?

3. Siapa yang bertanggung jawab terhadap akta yang dibuat oleh notaris

sebelum menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui kaitan politik hukum di dalam profesi jabatan notaris

2. Untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana status hukum seorang

notaris yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat

3. Untuk memberikan penjelasan tentang siapa yang bertanggung jawab

terhadap akta yang dibuat oleh notaris sebelum menjadi anggota Dewan

Perwakilan Rakyat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kaitan Politik Hukum Dalam Profesi Jabatan Notaris

Politik adalah kegiatan dalam suatu usaha politik atau negara yang

menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem tersebut dan bagaimana

melaksanakan tujuannya. Sementara itu, hukum adalah peraturan-peraturan

yang dibuat oleh badan yang berwenang yang berisi perintah ataupun larangan

untuk mengatur tingkah laku manusia guna mencapai keadilan, keseimbangan

dan keselarasan dalam hidup.

Politik hukum adalah aspek-aspek politis yang melatar belakangi

proses pembentukan hukum dan kebijakan suatu bidang tertentu, sekaligus

juga akan sangat mempengaruhi kinerja lembaga-lembaga pemerintahan yang

terkait dalam bidang tersebut dalam mengaplikasikan ketentuan-ketentuan

produk hukum dan kebijakan, dan juga menentukan kebijakan-kebijakan

lembaga-lembaga tersebut dalam tatanan praktis dan operasional.

Politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan

dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk

mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945.


Satu tujuan politik hukum Indonesia adalah adanya penegasan pada

keberadaan notaris sebagai salah satu pelaksana hukum, berarti notaris

penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan

anggotanya. Dan salah satu pelaksana hukum itu sendiri adalah notaris.

Dengan telah mendapat hak yang legal untuk menangani perhubungan hukum

antar masyarakat. Selain itu, akta yang dibuat oleh notaris merupakan suatu

produk hukum yang diakui kebenarannya, yaitu suatu produk yang lahir oleh

kebijakan politik hukum.

B. Status Hukum Seorang Notaris yang Menjadi Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat

Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara

yang baik kewenangan atau materi muatannya tidak berdasarkan pada

peraturan perundang-undangan, delegasi atau mandat, melainkan berdasarkan

wewenang yang timbul dari freis ermessen yang dilekatkan pada administrasi

negara untuk mewujudkan suatu tujuan yang dibenarkan oleh hukum. Profesi

notaris disebut juga sebagai salah satu penegak hukum karena notaris

membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian.

Masalah rangkap jabatan menjadi perdebatan dalam perpolitikan

nasional muaranya adalah:

1. Penolakan bagi seseorang yang menduduki posisi ganda, entah itu diposisi

eksekutif maupun legislatif dan disaat yang sama dianya memimpin partai

politik.
2. Dipandang bahwa tidak etis dua jabatan dipimpin atau dikendalikan oleh

satu orang.

3. Berpotensi terjadinya benturan kepentingan yang bisa saja merugikan

kepentingan yang sifatnya lebih besar.

4. Model rangkap jabatan yang paling disorot adalah dalam bentuk jabatan

eksekutif dan legislatif.

Secara umum tidak ada perdebatan mengenai dilarangnya rangkap

jabatan notaris dengan pejabat negara apabila dilihat dari UUJN saja. Dalam

Pasal 17 huruf d juncto Pasal 11 ayat (1) mengenai larangan notaris yang

merangkap jabatan sebagai pejabat negara dan apabila notaris tersebut terpilih

menjadi pejabat negara maka notaris tersebut wajib mengambil cuti selama

menjabat sebagai pejabat negara tersebut. Jika menurut Pasal 11 ayat (1) dan

(2) UUJN, untuk Notaris wajib mengangkat Notaris Pengganti yang akan

menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai

Pejabat Negara, maka Notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai

Notaris (Pasal 11 ayat (3) (6) UUJN) maka dapat dikategorikan bahwa

Notaris yang bersangkutan masih berpraktek, meskipun jabatannya dan

namanya dipakai oleh Notaris Pengganti, artinya papan namanya sebagai

Notaris tetap ada (dipasang) atau tidak diturunkan.

Permasalahan perdebatan muncul setelah adanya undang-undang

Pemilu tahun 2012, dimana dalam Pasal 51 ayat (2) huruf g, yang mengatakan

bahwa mereka yang mau mencalonkan menjadi anggota DPR (pejabat negara)

harus membuat pernyataan bersedia untuk tidak berpraktek sebagai notaris dan
menurut Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1/2006 wajib berhenti dan

berdasarkan Pasal 12 huruf l dan 51 ayat (2) huruf g Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 juncto Undang-Undang No. 8

Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD,

Notaris/PPAT dilarang berpraktek atau dilarang menjalankan tugas jabatannya

sebagai Notaris/PPAT sama sekali, artinya kalaulah Notaris/PPAT yang

menjadi anggota legislatif tersebut dengan memakai Notaris Penggganti masih

dikategorikan praktek atau menjalankan tugas jabatannya, maka menurut

Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 10 Tahun 2008 dilarang praktek, dengan kata lain Notaris/PPAT yang

bersangkutan bukan lagi harus cuti, tapi harus mengundurkan diri atau

berhenti tetap sebagai Notaris/PPAT dan menyerahkan protokolnya kepada

Notaris/PPAT lain dan menurunkan papan namanya dan menutup kantornya.

Karena mengundurkan diri, maka dengan konsekuensi hukum, jika setelah

menjalankan tugas sebagai anggota legislatif, akan praktek kembali sebagai

Notaris/PPAT, maka kepada yang bersangkutan akan dikategorikan sebagai

Notaris/PPAT baru yang harus menempuh prosedur pengangkatan sebagai

Notaris/PPAT baru, misalnya harus melihat formasi pengangkatan

Notaris/PPAT, juga ikut ujian PPAT lagi, dengan kata lain tidak lain tidak

diperlukan keistimewaan apapun pada dirinya atau perlakukan khusus kepada

yang bersangkutan. Ini artinya notaris yang terpilih menjadi anggota DPR

tidak boleh membuka kantornya dengan kata lain tidak berpraktek, karena

kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan dalam praktek notaris ketika


seseorang menjadi pejabat negara, dikhawatirkan tidak terkonsentrasinya

anggota DPR untuk menjalani kedua tugas profesi yang berat itu pada waktu

yang bersamaan.

Secara normatif kedua aturan sebagaimana terurai di atas tidak sejalan,

yaitu menurut menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2) juncto ayat (3) (6) UUJN)

cukup cuti saja, dan setelah selesai cuti dapat mengambil kembali Surat

Keputusan (SK-nya) untuk menjalani tugas jabatan sebagai Notaris, menurut

Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1/2006 wajib berhenti, sedangkan

menurut Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 10 Tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang berpraktek.

Terdapat Undang-Undang yang mengatur larangan rangkap jabatan:

1. Pasal 17 huruf d UUJN (notaris dilarang merangkap jabatan sebagai

pejabat negara),

2. Pasal 11 ayat (1) UUJN dan Pasal 27 ayat (2) huruf c UUJN (Apabila

notaris tersebut terpilih menjadi pejabat negara, maka notaris tersebut

diwajibkan mengajukan cuti kepada MPP mengenai permohonan cuti

notaris yang jangka waktunya lebih dari 1 (satu) tahun.

Mengingat masa jabatan pejabat negara (DPR) ialah 5 (lima) tahun,

masalah status hukum yang timbul adalah apakah notaris harus cuti atau

berhenti.

Sebagai seorang notaris harus tunduk terhadap UUJN sabagai hukum

formil yang mengatur tentang jabatan notaris, yaitu diwajibkan mengajukan

cuti kepada MPP dan menunjuk notaris pengganti selama menjabat menjadi
anggota dewan. Sesuai Pasal 11 ayat (1 dan 2) UUJN. Dengan hanya cuti

berarti kantornya notaris tersebut masih tetap buka, dimana kantornya terdapat

notaris pengganti yang ditunjuk oleh notaris yang terpilih menjadi anggota

DPR. Dengan kata lain, yang cuti hanya jabatanya saja, sedangkan orangnya

tetap sebagai notaris. Seharusnya rekan notaris harus memilih salah satu.

Dengan hanya cuti berarti notaris yang menjadi anggota DPR tetap sebagai

pejabat umum, hanya saja dia tidak dapat menanda tangani akta. Di samping

itu hanya dengan mengajukan cuti, ditakutkan akan mengurangi eksistensi dari

seorang notaris yang menjabat juga menjadi anggota DPR. Bahwasanya

notaris yang menjadi anggota DPR apabila hanya mengajukan cuti, berarti

notaris tersebut hanya tidak dapat membuat akta dan menandatanganinya,

namun notaris tersebut tetap saja menjabat sebagai pejabat umum. Dengan

masih terpajangnya papan nama dan terbukanya kantor notaris yang cuti

selama menjadi anggota DPR, maka notaris masih menerima klien. Bedanya

notaris penerima protokol yang melayani, namun notaris penunjuk masih

mendapatkan honor dari klien notaris pengganti.

Mengenai notaris harus berhenti dari jabatannya apabila terpilih

menjadi DPR juga diungkapkan bahwasanya aturan hukum yang mengatur

kedudukan notaris yang menjadi anggota DPR tersebut secara substansi sangat

berbeda.

1. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN, untuk notaris wajib

mengangkat notaris pengganti yang akan menerima protokolnya, dan

setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai pejabat negara, maka notaris
dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai notaris (Pasal 11 ayat (3)

juncto (6) UUJN).

2. Sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-

undang Pemilu, notaris dilarang berpraktek atau dilarang menjalankan

tugas jabatannya sebagai notaris.

3. Untuk Notaris wajib mengangkat notaris pengganti yang akan menerima

protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai pejabat

negara, maka notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai

Notaris (Pasal 11 ayat (3) jo (6) UUJN) maka dapat dikategorikan bahwa

notaris yang bersangkutan masih berpraktek, meskipun jabatannya dan

namanya dipakai oleh notaris pengganti, artinya papan namanya sebagai

notaris tetap ada (dipasang) atau tidak diturunkan.

4. Berdasarkan Pasal 12 huruf l dan 51 ayat (2) huruf g Undang-undang

Pemilu :

a. Notaris dilarang berpraktek atau dilarang menjalankan tugas

jabatannya sebagai notaris sama sekali, artinya kalaulah notaris yang

menjadi anggota legistif tersebut dengan memakai notaris penggganti

masih dikategorikan praktek atau menjalankan tugas jabatannya.

b. Dengan kata lain notaris yang bersangkutan bukan lagi harus cuti, tapi

harus mengundurkan diri atau berhenti tetap sebagai notaris dan

menyerahkan protokolnya kepada notaris lain dan menurunkan papan

namanya dan menutup kantornya.


Karena mengundurkan diri, maka dengan konsekuensi hukum, jika

setelah menjalankan tugas sebagai anggota legislatif, akan praktek kembali

sebagai notaris, maka kepada yang bersangkutan akan dikategorikan sebagai

notaris baru yang harus menempuh prosedur pengangkatan sebagai notaris

baru, misalnya harus melihat formasi pengangkatan notaris, dengan kata lain

tidak lain tidak diperlukan keistimewaan apapun pada dirinya atau perlakukan

khusus kepada yang bersangkutan.

Secara normatif kedua aturan sebagaimana terurai di atas tidak sejalan.

Dengan menggunakan Asas Preferensi Hukum, dalam hal ini Pasal 12 huruf l

dan 51 ayat (2) huruf g Undang-undang Pemilu harus ditempatkan sebagai

aturan hukum yang khusus (lex spesialis), yang mengatur secara khusus

mengenai persyaratan sebagai anggota legislatif, maka notaris yang terpilih

sebagai anggota legislatif wajib berhenti tetap atau mengundurkan diri sebagai

notaris.

Undang-undang Pemilu dikatakan bahwa notaris yang menjadi caleg,

harus berhenti. Sedangkan dalam UUJN diperbolehkan untuk mengambil cuti.

Dengan adanya dua peraturan perundangan ini, harus ditinjau sejauh mana

pemahamannya itu, karena ada dua perbedaan yang mendasar. Jabatan notaris

itu, hukumnya termasuk lex specialis. Jadi kalau mereka mencalonkan diri

sebagai anggota dewan harus mengingat peraturan tentang profesi notaris,

dalam hal ini UUJN. Kalau notaris ini memasuki jabatan lain dan sifatnya

sementara, maka notaris tersebut bisa cuti. Lain halnya, kalau jabatan itu

permanen atau tetap, maka notaris tersebut harus melepaskan jabatannya


sebagai notaris. Jadi aksioma hukumnya, mana yang harus diutamakan kalau

ada 2 (dua) undang-undang yang mengatur hal yang sama. Aksioma hukum,

tentulah undang-undang yang terakhir yang berlaku.

Jadi di sini tidak secara eksplisit menyebutkan rangkap jabatan sebagai

anggota dewan.

1. Harus dibedakan, dalam Undang-undang Pemilu tidak ada yang

menyatakan harus berhenti, tetapi tidak boleh berpraktek. Tidak boleh

berpraktek dan berhenti harus dibedakan.

2. Seorang notaris yang terpilih menjadi anggota DPR tidak harus berhenti

berdasarkan Undang-undang Pemilu. Karena jabatan notaris merupakan

sebuah jabatan yang diangkat oleh pemerintah berdasarkan UUJN. Jadi

notaris dalam menjalankan jabatannya tunduk dengan UUJN.

3. Soal rangkap jabatan juga sangat jelas diatur dalam UUJN, yaitu Pasal 17

huruf d juncto Pasal 11 ayat (1), (2), dan (3).

4. Mengenai larangan notaris merangkap jabatan sebagai pejabat negara dan

wajib mengangkat notaris pengganti yang akan menerima protokolnya,

setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai pejabat negara, maka notaris

dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai notaris.

5. Hal ini guna menjaga kesinambungan jabatan notaris. Sehingga UUJN

merupakan lex specialist, sedangkan Undang-undang Pemilu lex generali.

C. Pertanggung Jawaban Terhadap Akta yang Dibuat Oleh Notaris

Sebelum Menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat


Salah satu tugas utama dari seorang notaris ialah membuat alat bukti

tertulis dan autentik yang diminta oleh masyarakat sebagai perwujudan adanya

perbuatan hukum dan digunakan sebagai alat bukti yang dapat dipertanggung

jawabkan di depan hukum dari yang berkepentingan. Keberadaan akta

autentik, baik karena undang-undang mengharuskannya alat bukti untuk

perbuatan tertentu itu (dengan diancam kebatalan jika tidak dibuat dengan)

akta autentik.

Mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang

berhubungan dengan kebenaran materiil suatu akta dibedakan menjadi empat

poin, yakni:

1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil

terhadap akta yang dibuatnya

2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam

akta yang dibuatnya

3. Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris terhadap

kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya

4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan

kode etik notaris.

Dengan menggunakan Asas Preferensi Hukum, dalam hal ini Pasal 12

huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-undang Pemilu harus ditempatkan

sebagai aturan hukum yang khusus (lex spesialis), yang mengatur secara

khusus mengenai persyaratan sebagai anggota legislatif, maka notaris yang

terpilih sebagai anggota legislatif wajib berhenti tetap atau mengundurkan diri
sebagai notaris. Jika ternyata ada notaris yang terpilih sebagai anggota

legislatif tersebut tidak mengundurkan diri sebagai notaris, tapi malah

mengangkat notaris pengganti, maka tindakan notaris tersebut dikategorikan

sebagai tindakan atau perbuatan diluar wewenang atau sudah tidak

mempunyai kewenangan lagi, sehingga akta-akta yang dibuat oleh atau

dihadapannya tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan bukan

lagi sebagai akta autentik.

Selama menjalankan tugas jabatannya, notaris berhak mengajukan cuti,

yang dapat diambil setelah menjalankan tugas jabatan selama 2 (dua) tahun

(Pasal 25 ayat (3) UUJN). Jumlah keseluruhan cuti yang diambil notaris tidak

lebih dari 12 (dua belas) tahun (Pasal 26 ayat (3) UUJN). Sesuai dengan

karakter jabatan notaris, yaitu harus berkesinambungan selama notaris masih

dalam masa jabatannya, maka notaris yang bersangkutan wajib menunjuk

notaris pengganti. Permohonan cuti sebagaimana dimaksud di atas diajukan

kepada pejabat yang berwenang, berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUJN .

Mengenai siapa yang bertanggung jawab atas akta yang timbul

permasalahan pada saat notaris yang membuat, sedang menjalani cuti ialah

notaris pengganti, karena pada saat penunjukkan notaris pengganti, maka

protokol notaris yang terpilih menjadi anggota DPR diserahkan kepada notaris

pengganti. meski protokol sudah diberikan kepada notaris pengganti, namun

apabila dikemudian hari muncul permasalahan terhadap akta-akta yang

termasuk dalam protokol notaris. Bukanlah notaris pengganti yang


bertanggung jawab, melainkan notaris yang membuat. Dalam UUJN Pasal 65

diatur mengenai tanggung jawab notaris terhadap akta yang dibuatnya.

Berarti, meski notaris pengganti ditunjuk oleh notaris yang hendak cuti

dan telah ditetapkan penunjukkannya oleh majelis pengawas. Bukan notaris

penggantilah yang bertanggung jawab, namun notaris pengganti tidak serta

merta lepas tanggung jawab apabila ada para pihak yang datang ke kantornya,

sehubungan dengan adanya akibat hukum terhadap akta yang dibuat oleh

notaris penunjuk. Notaris pengganti tetap wajib memberikan pelayanan

terhadap para pihak yang berkepentingan dan membantu memberikan solusi

yang terbaik.

Seorang notaris bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya

hingga seumur hidup. Jangankan hanya karena cuti dan protokolnya

diserahkan notaris pengganti lalu notaris, seorang notaris harus

mempertanggungjawabkan semua perbuatan hukum atas jabatannya, baik

secara moril maupun hukum.

Apabila timbul akibat hukum terhadap suatu akta maka yang

bertanggung jawab atas akta ialah notaris yang membuatnya, meskipun notaris

sedang cuti menjadi anggota DPR. Dasar hukumnya Pasal 65 UUJN, yaitu

notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus, dan pejabat sementara

notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun protokol

notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol

notaris.
Notaris yang menjadi anggota DPR, tidak dapat menolak diperiksa

baik oleh majelis pengawas maupun penyidik berkaitan dengan akta yang

dibuatnya menimbulkan akibat hukum dengan alasan memiliki kekebalan atau

hak imunitas (Pasal 20A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang

dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan

ditegakkan. Disamping itu, politik hukum dalam suatu negara hukum tidak

luput dari peranan berbagai penegak hukum dimana salah satu penegak

hukum dalam hal ini adalah notaris. Yang mana keberadaan notaris

tersebut dibutuhkan di dalam suatu negara hukum agar dapat mengatur

perhubungan hukum antar masyarakat di dalamnya. Selain itu, notaris

merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat akan bantuan hukum yang

netral dan berimbang sehingga melindungi kepentingan hukum

masyarakat. Notaris juga diharapkan dapat memberikan penyuluhan

hukum, khususnya dalam pembuatan akta, sehingga masyarakat akan

mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum, sehubungan


dengan semakin meningkatnya proses pembangunan sehingga meningkat

pula kebutuhan hukum dalam masyarakat.

2. Notaris yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

berdasarkan Pasal 17 huruf d UUJN mengenai larangan rangkap jabatan

menjadi pejabat negara. Maka notaris wajib mengajukan cuti, dan

menunjuk notaris pengganti (Pasal 11 ayat (1-3) UUJN). Notaris yang

membuat akta bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya, meskipun

notaris yang membuat akta sedang cuti selama menjadi anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan sudah ditunjuknya notaris pengganti sebagai

penerima protokol notaris. Dasar hukumnya Pasal 65 UUJN.

3. Mengenai siapa yang bertanggung jawab atas akta yang timbul

permasalahan pada saat notaris yang membuat, sedang menjalani cuti ialah

notaris pengganti, karena pada saat penunjukkan notaris pengganti, maka

protokol notaris yang terpilih menjadi anggota DPR diserahkan kepada

notaris pengganti. meski protokol sudah diberikan kepada notaris

pengganti, namun apabila dikemudian hari muncul permasalahan terhadap

akta-akta yang termasuk dalam protokol notaris. Bukanlah notaris

pengganti yang bertanggung jawab, melainkan notaris yang membuat.

Dalam UUJN Pasal 65 diatur mengenai tanggung jawab notaris terhadap

akta yang dibuatnya. Berarti, meski notaris pengganti ditunjuk oleh notaris

yang hendak cuti dan telah ditetapkan penunjukkannya oleh majelis

pengawas. Bukan notaris penggantilah yang bertanggung jawab, namun

notaris pengganti tidak serta merta lepas tanggung jawab apabila ada para
pihak yang datang ke kantornya, sehubungan dengan adanya akibat hukum

terhadap akta yang dibuat oleh notaris penunjuk. Notaris pengganti tetap

wajib memberikan pelayanan terhadap para pihak yang berkepentingan

dan membantu memberikan solusi yang terbaik. Seorang notaris

bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya hingga seumur hidup.

B. Saran

1. Pentingnya peranan politik hukum dapat menentukan keberpihakan suatu

produk hukum dan kebijakan. Produk hukum tersebut dikeluarkan secara

demokratis melalui lembaga yang terhormat, namun muatannya tidak

dapat dilepaskan dari kekuatan politik yang ada di dalamnya. Suatu negara

yang menganut sistem demokrasi, maka segala sesuatunya harus

dirumuskan secara demokrasi, yaitu dengan melihat kehendak dan aspirasi

dari masyarakat luas sehingga produk yang dihasilkan itu sesuai dengan

kengininan hati nurani rakyat.

2. Ditujukan kepada lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat agar

merubah Pasal 51 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

tentang Pemilihan Umum, mengenai kalimat tidak berpraktek, diganti

dengan kalimat cuti. Sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 11

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, mengenai

cuti bagi notaris yang yang diangkat menjadi pejabat negara.

3. Seorang yang menjabat sebagai notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya haruslah sebagai berikut: Amanah, Jujur, Seksama, Mandiri,

Tak berpihak, Menjaga sikap, tingkah laku dan menjalankan kewajiban


sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawab

sebagai notaris, menjaga sikap dan tingkah laku, menjalankan kewajiban

sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawab

sebagai notaris, akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh

dalam pelaksanaan jabatan, tidak memberikan janji atau mejanjikan

sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dengan

nama atau dalih apapun.

4. Pengacara, notaris dan akuntan publik tidak harus langsung berhenti

praktek saat menjadi caleg. Mereka cukup menyerahkan surat kesediaan

berhenti praktek bila terpilih. (Berhenti) Kalau sudah diterima, kalau sudah

ditetapkan. Menyatakan kesediannya harus sudah dari sekarang ketika

menjadi bakal calon. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan atau tidak

menjadi pejabat lain. Profesi yang harus menyatakan kesediaannya untuk

tidak berpraktek ketika sudah terpilih menjadi anggota DPR, DPRD dan

DPD itu adalah akuntan publik, advokat/pengacara, dan notaris pejabat

pembuat akta tanah (PPAT). Karena itu dapat menimbulkan konflik

kepentingan. Kalau sekarang belum. Surat kesediaan untuk tidak

berpraktek itu sudah harus dilampirkan, bermaterai, ketika mendaftar.

Harus melampirkan surat dari atasan yang menyatakan pengunduran diri

sedang diproses. Kalau PNS atau TNI/Polri kan masih menerima gaji

sampai ada SK yang ditandatangani atasan.

5. Pasal 51 UU Nomor 8 /2012 tentang Pemilu pada huruf l menyatakan

bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota


'bersedia untuk tidak berpraktek menjadi akuntan publik,

advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak

melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan

keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik

kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-

undangan.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan
DPRD.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan UndangUndang No. 10
Tahun 2008 Tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN).
Memahami Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan
DPRD.

Anda mungkin juga menyukai