Percobaan 3.1 Fix

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM METODE ANALISIS INSTRUMEN

Analisis Kualitatif Dan Kuantitatif Bahan Baku Dengan Metode


Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

DISUSUN OLEH :

Firman Hidayat (10060314068)


Rimmah Namirah (10060314069)
Ananda Shesa Rigita (10060314070)
Maulana Allan Elmawan (10060314071)
Destia Apriliany (10060314072)
Shift :C
Kelompok :3
Tanggal Praktikum : 22 Februari 2017
Tanggal Pengumpulan : 01 Maret 2017
Asisten : Shanti Wilandari S.farm

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT E


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2016 M/1438 H
I. Tujuan Percobaan

1.1. Melakukan analisis kualitatif bahan baku dengan metode


Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.

1.2.Melakukan analisis kuantitatif bahan baku dengan metode


Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

1.3. Menyimpulkan mutu bahan baku dengan data


kromatogram dan hasil penetapan kadar.

II. Teori Dasar

Kromatografi adalah cara pemisahan campuran yang didasarkan atas


perbedaan distribusi dari komponen campuran tersebut diantarany dua fase, yaitu
fase diam (stationary) dan fase bergerak (mobile). Fase diam dapat berupa zat
padat atau zat cair, sedangkan fase bergerak dapat berupa zat cair atau gas. Dalam
kromatografi fase bergerak dapat berupa gas atau zat cair dan fase diam dapat
berupa zat padat atau zat cair (Adnan M, 2010).
Kromatografi adalah metode suatu proses fisik yang digunakan untuk
memisahkan komponen-komponen dari suatu campuran senyawa kimia. Dalam
kromatografi, campuran tersebut dibuat sebagi zona yang sempit (kecil) pada
salah satu ujung media porus seperti adsorben, yang disebut alas atau landasan
kromatografi. Zona campuran kemudian digerakan dengan larutan suatu cairan
atau gas yang bergerak sebagai pembawa, melaui media porus tersebut, yang
berupa partikel-partikel yang diam (tidak bergerak, statisiones). Sehingga
akibatnya masing-masing komponen dari campuran tersebut akan terbagi
(terdistribusi) secara tidak merata antara alas yang diam dan cairan atau gas
yang membawanya. Akibat selanjutnya, masing-masing komponen akan bergerak
(bermigrasi) pada kecepatan yang berbeda (differential migration) dan dengan
demikian, akan sampai pada ujung lain dari alas tersebut pada waktu yang
berlainan, dan dengan demikian terjadilah pemisahan diantara komponen-
komponen yang ada. (Hayun, dkk, 2006).
Banyaknya macam-macam kromatografi yang salah satunya adalah
kromatografi gas, yang merupakan metode kromatografi pertama yang
dikembangkan pada zaman instrumen dan elektronika. Kromatografi gas dapat
dipakai untuk setiap campuran dimana semua komponennya mempunyai tekanan
uap yang berarti, suhu tekanan uap yang dipakai untuk proses pemisahan. Tekanan
uap atau keatsirian memungkinkan komponen menguap dan bergerak bersama-
sama dengan fase gerak yang berupa gas (Adnan M, 1997).
Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan komponen-
komponen campuran yang berdasarkan distribusi diferensial dari komponen-
komponen sampel diantara dua fasa, yaitu fasa gerak dan fasa diam. Salah satu
teknik kromatografi yang dimana fasa gerak dan fasa diamnya menggunakan zat
cair adalah HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau didalam
bahasa Indonesia disebut KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi).Teknik
HPLC merupakan suatu metode kromatografi cair-cair, yang dapat digunakan baik
untuk keperluan pemisahan maupun analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dengan
teknik HPLC didasarkan pada pengukuran luas area standar. Pada prakteknya,
metode pembandingan area standar dan sampel kurang menghasilkan data yang
akurat bila hanya melibatkan suatu konsentrasi standar. Oleh karena itu, dilakukan
dengan menggunakan teknik kurva kalibrasi. 9Hayun, dkk. 2006).
Pada kromatografi cair ini digunakan kolom tabung gelas dengan
bermacam dimeter. KCKT berbeda dari kromatografi cair klasik. HPLC
menggunakan kolom dengan diameter kecil, 2-8mm dengan ukuran partikel
penunjang penunjang 50mm, sedangkan laju aliran dipertinggi dengan tekanan
yang tinggi.(Khopkar, 1990)
HPLC yang modern telah mucul akibat pertemuan dari kebutuhan,
keinginan manusia untuk meminimalis pekerjaan, kemampuan teknologi, dan
teori untuk memandu pengembangan pada jalur yang rasional. Jelas sebelum era
peralatan yang modern bahwa LC (Liquid Chromatography) memiliki kekuatan
pemisahan yang sangat ampuh, bahkan untuk komponen-komponen yang
berhubungan sangat erat. LC harus ditingkatkan kecepatannya, diotomasasi, dan
harus disesuaikan dengan sampel-sampel yang lebih kecil, waktu elusi yang
beberapa jam (Underwood, Day. 2002 : 553).
Berdasarkan kepolaran fasa geraknya, HPLC dibagi menjadi 2 macam
yaitu :
a) Fase Normal HPLC
HPLC jenis ini secara esensial sama dengan kromatografi kolom.
Meskipun disebut normal, ini bukan bentuk biasa dari HPLC. Kolom ini diisi
dengan partikel silika yang sangat kecil dan pelarut nonpolar seperti heksan
sebuah kolom sederhana memiliki diameter internal 4,6 mm (dan kemungkinan
kurang dari nilai ini) dengan panjang 120 nm-250 nm. Senyawa-senyawa polar
dalam campuran melalui kolom akan melekat lebih lama pada silika yang polar
dibanding dengan senyawa-senyawa non polar. Oleh karena itu, senyawa yang
non polar kemudian akan lebih cepat melewati kolom. Apabila pasangan fasa
diam lebih polar daripada fasa geraknya maka sistem ini disebut HPLC fase
normal.
b) Fase Balik HPLC
Pada HPLC jenis ini, ukuran kolomnya sama, tetapi silika dimodifikasi
menjadi non polar melalui pelekatan hidrokarbon dengna rantai panjang pada
permukaannya secara sederhana baik berupa atom karbon 8 atau 18. Dalam kasus
ini, akan terdapat interaksi yang kuat antara pelarut polar dan molekul polar dalam
campuran yang melalui kolom. Interaksi yang terjadi tidak sekuat interaksi antara
rantai-rantai hidrokarbon yang berlekatan pada silika (fasa diam) dan molekul-
molekul polar dalam larutan. Oleh karena itu molekul-molekul polar akan lebih
cepat bergerak melalui kolom. Sedangkan molekul-molekul non polar akan
bergerak lambat karena interaksi dengan gugus hidrokarbon.
Prinsip dasar HPLC adalah pemisahan komponen-komponen terjadi
karena perbedaan kekuatan interaksi antara solut-solut terhadap fasa diam.
Keunggulan menggunakan HPLC dibandingkan kromatografi gas yaitu terletak
pada kemampuannya untuk menganalisis cuplikan yang tidak menguap dan labil
pada suhu tinggi. HPLC tidak terbatas pada senyawa organik tapi mampu
menganalisis senyawa anorganik, mampu menganalisis cuplikan yang mempunyai
molekul tinggi (beratnya), mampu menganalisis cuplik yang mempunyai titik
didih yang sangat tinggi seperti polimer.

1. Cara kerja instumentasi HPLC


Prinsip kerja alat HPLC adalah pertama fasa gerak dialirkan
melalui kolom kedetektor dengan bantuan pompa. Kemudian cuplikan
dimasukan ke dalam aliran fasa gerak dengan cara penyuntikan. Didalam
kolom terjadi pemisahan komponen-komponen campuran karena perbedan
kekuatan interaksi antara solut-solut terhadap fasa diam. Solut-solut yang
kurang kuat interaksinya dengan fasa diam akan keluar dari kolom terlebih
dahulu. Sebaliknya solut-solut yang interaksinya kuat dengan fasa diam
akan keluar dari kolom lebih lama. Setiap komponen yang campuran yang
keluar kolom dideteksi oleh detektor kemudian direkam dalam bentuk
kromatogram.
Larutan sampel yang akan dianalisis diinjeksi kemudian sampel
akan turun ke dalam kolom dan di elusi oleh eluen yang disediakan. Lalu
detector akan mendeteksi waktu retensi dalam bentuk kromatogram. Dari
kromatogram itu kita dapat meganalisis sampel. (Ibnu Ghalib, 2012)
HPLC memiliki kekuatan pemisahan yang sangat ampuh bahkan
untuk komponen-komponen yang berhubungan sangat erat; pemisahan
penukar ion yang sukses dari logam tanah yang langka dan asam-asam
amino telah memperlihatkan ini. Komposisi fase gerak dalam HPLC
memberikan suatu dimensi untuk memanipulasi eksperimen yang tidak
dijumpai dalam kromatografi gas. Dalam kromatografi gas faktor
pemisahan untuk sepasang komponen sampel tergantung pada sifat dasar
stationer, sedangkan dalam HPLC faktor itu juga bergantung pada fase
gerak. Seringkali pelarut campuran merupakan fase gerak yang lebih baik
daripada cairan murni untuk memisahkan campuran yang rumit dan
pengoptimasian komposisi pelarut dengan cara coba-coba dapat menjadi
lebih rumit (Khopkar, 1990)
Pemilihan detektor pada HPLC umumnya didasarkan pada
persyaratan sensitivitas, jenis senyawa yang ada di dalam sampel dan
faktor lainnya seperti biaya. Detector yang paling umum didasarkan pada
indeks bias dan eluat kolom, karena hampir semua zat terlarut akan
menghasilkan larutan dengan indeks bias yang berbeda dengan indeks bias
pelarut murni (Day, 2002)
Pada dasarnya instrumen HPLC terdiri dari tandon (reservoir)
cairan fase gerak, pompa, injector, kolom, detektor dan rekorder.
1. Tandon (Reservoir)
Reservoir yang baik disertai degessing system yang berfungsi
untuk mengusir gas-gas terlarut dalam solvent. Degassing dilakukan
dengan mengalirkan gas inert dengan kelarutan yang sangat kecil,
misalnya helium. Degassing dapat juga dibuat sendiri dengan
erlermeyer yang dilengkapi dengan pengaduk magnet, pemanas dan
pompa vacum.
2. Pompa
Fungsi pompa adalah untuk memompa fase gerak (solvent) ke
dalam kolom dengan aliran yang konstan dan reproducible. Pompa
harus memenuhi persyaratann seperti dapat memberi tekanan sampai
6000 psi (360 atm), tekanan yang dihasilkan bebas pulsa, dapat
mengalirkan fase gerak dengan kecepatan 0,1 sampai 10 ml/ menit,
dapat mengalirkan fase gerak dengan reprodusibilitas yang tinggi,
tahan terhadap korosi (biasanya terbuat dari baja atau teflon). Ada
beberapa jenis pompa, antara lain :
a. Reciprocating pump
b. Displacement Pump
c. Pneumatic Pump
3. Katup Injector
Bagian ini merupakan tempat dimana sampel diinjeksikan untuk
selanjutnya dibawa oleh fase gerak ke dalam kolom.
4. Kolom (Column)
Kolom merupakan jantung dari HPLC, sebab kunci keberhasilan
analisis sangat tergantung pada efisiensi kolom sebagai alat untuk
memisah-misahkan senyawa dalam campuran yang kompleks. Kolom
terbuat dari stainless steel yang dibor halus atau dari gelas. Ada dua
jenis packing kolom yang telah digunakan dalam kromatografi cair.
yaitu berupa partikel porous dan partikel pelliculer.
5. Detektor
Setelah sampel melewati kolom maka komponen-komponennya
akan terpisah-pisah dan keluar dari kolom dengan waktu yang
berbeda-beda. Komponen yang sudah terpisah ini secara berturut-turut
akan melewati suatu detektor dan akan dibaca kadarnya. Detektor
yang digunakan harus sesuai dengan jenis zat yang dianalisis.
a. Detektor UV
Prinsip kerja detektor ini adalah spektrophotometri
abssorbsi. Sampel yang dianalisis harus menyerap sinar UV.
Panjang gelombang sinar UV yang biasa digunakan adalah 254
nm.
b. Detektor Fluoresensi
Prinsip kerja detektor ini adalah spektrophotometri.
Detektor ini lebih sensitif daripada detektor UV. Pemakaian
sumber sinar laser akan memberikan sensitivitas yang sangat
tinggi. Derivatisasi sering dilakukan terhadap asam amino.
c. Detektor Indeks Refraksi (Refraksi Index Detector = RID)
Detektor ini bekerja atas dasar perbedaan indeks refraksi
sampel dengan solvent. Semua larutan suatu zat mempunyai
indeks bias yang spesifik, oleh karena itu detektor ini dapat
digunakan untuk hampir semua zat.
6. Recorder
Hasil pembacaan detektor kemudian diolah oleh suatu processor
kemudian dikirim ke recorder. Recorder akan membuat suatu tampilan.
Dalam kromatografi tampilan ini disebut chromathogram. Untuk HPLC
dilengkapi seperangkat software yang dapat menghitung luas
kromatogram dan bahkan sekaligus menghitung kadarnya.
HPLC sering digunakan antara lain untuk menetapkan kadar
senyawa aktif pada obat, produk hasil samping proses sintesis, atau
produk- produk degradasi dalam sediaan farmasi. Keterbatasan metode
HPLC ini adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali jika HPLC
dihubungkan dengan spektometer massa (MS). Keterbatasan lainnya
adalah sampel sangat kompleks maka resolusi yang baik sulit diperoleh.
Parasetamol adalah senyawa yang memiliki sifat polar dan gugus
kromofor yang dimilikinya menyebabkan senyawa ini dapat menyerap
sinar UV. Karakteristik senyawa ini memungkinkan analisis dengan
teknik HPLC menggunakan kolom nonpolar seperti C-18 dan fasa
gerak polar seperti methanol/ air. Parasetamol diabsorbsi cepat dan
sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi plasma dicapai
dalam waktu jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini
tersebar ke seluruh tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat
protein plasma. Parasetamol digunakan sebagai analgesik dan
antipiretik (Sumar, 1994)

Data Fisik dan Kimia


a. Parasetamol (Acetaminophen)
Rumus molekul :
Warna : Putih
Rasa : Pahit
Bau :-
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur
Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium
hidroksida 1N, mudah larut dalam etanol.
Berat molekul : 151,16 g/mol
Bobot jenis : 1,293 g/cm3
pH larutan : 5-7
Stabilitas : Pada suhu > 40C mudah terdegradasi
Titik leleh : 169-172C
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya.
Fungsi : Analgetik, antipiretik.
(Farmakope Indonesia Edisi IV hal. 649 & MSDS Acetaminophen
ScienceLab.com Chemicals and Laboratory Equipment)
b. Metanol
Rumus molekul : CH4OH
Pemerian : Cairan tidak berwarna, tidak berasa
Titik did : 64,5C
Bobot jenis : 0,7915 g/cm3
Berat molekul : 32,04 g/mol
Kerapatan : 1,11
Titik beku : -98C
Viskositas : 0,55 Cp
Perhatian : Dapat menyebabkan iritasi pada mata, kulit, rasa
terbakar, inflamasi, kerusakan kornea, mudah terbakar dan bersifat
toksik.
(MSDS Methanol ScienceLab.com Chemicals and Laboratoty
Equipment))
c. Aqua Bidestilasi
Pemerian : Cairan jernih tidak berbau, tidak berasa
pH :7
Titik didih : 100C
Titik beku : 0C
Stabilitas : Produk yang stabil
Inkompatibilitas : -
(MSDS H2O ScienceLab.com Chemicals and Laboratory Equipment)
III. Alat dan Bahan

No. Pereaksi No. Peralatan


1. Aqua bidestilasi 1. Alat KCKT
2. Bahan baku paracetamol 2. HPLC Agillent
3. Baku pembanding paracetamol 3. Labu takar
4. Kolom HPLC C18 4. Membran filter PTFE
5. Metanol pro HPLC 5. Pipet tetes
6. Pipet volume
7. Timbangan neraca
8. Filter bulb
IV. Prosedur Percobaan
4.1 Uji Kesesuaian Sistem
Larutan standar diinjeksikan berturut-turut sebanyak 7 kali ke dalam
instrument KCKT. Kemudian dihitung nilai simpang baku relatif (SBR) pada
luas area standar, waktu retensi dan faktor ikutan. Uji kesesuaian sistem
dinyatakan memenuhi syarat apabila nilai SBR nya < 2%.

4.2 Analisis Kualitatif


4.2.1 Larutan standar
Baku pembanding paracetamol ditimbang sebanyak 25 mg ke dalam labu
takar 50 ml, kemudian diencerkan dengan fase gerak hingga tanda batas.
Larutan dikocok hingga homogen. Larutan dalam labu takar tersebut dipipet
sebanyak 1 ml ke dalam labu takar 10 ml. Kemudian diencerkan dengan fase
gerak hingga tanda batas. larutan disaring dengan membran filter PTFE
dengan ukuran 0,45 mikrometer.

4.2.2 Larutan uji


Bahan baku paracetamol ditimbang sebanyak 25 mg ke dalam labu takar
50 ml, kemudian diencerkan dengan fase gerak hingga tanda batas. Larutan
dikocok hingga homogen. Larutan dalam labu takar tersebut dipipet sebanyak
1 ml ke dalam labu takar 10 ml. Kemudian diencerkan dengan fase gerak
hingga tanda batas. larutan disaring dengan membran filter PTFE dengan
ukuran 0,45 mikrometer. Kemudian masing-masing larutan standar dan larutan
uji di injeksikan ke dalam alat KCKT. Selanjutnya kromatogram yang
terbentuk direkam. Lrtutan uji dan larutan standar dibandingkan
kromatogramnya. Waktu retensi puncak larutan uji harus sama dengan waktu
retensi puncak larutan standar.

4.3 Analisis Kuantitatif


4.3.1 Larutan standar
Baku pembanding paracetamol ditimbang sebanyak 25 mg ke dalam labu
takar 50 ml, kemudian diencerkan dengan fase gerak hingga tanda batas.
Larutan dikocok hingga homogen (larutan stok baku pembanding
paracetamol). Dibuat serangkaian pengenceran larutan standar untuk
pembuatan kurva kalibrasi. Larutan dalam labu takar tersebut dipipet masing-
masing sebanyak 0,2 ; 0,4 ; 0,6 ; 0,8 ; 1.0 ; dan 1,2 ml larutan stok baku
pembanding ke dalam labu takar 10 ml. Kemudian diencerkan dengan fase
gerak hingga tanda batas. Larutan disaring dengan membran filter PTFE
dengan ukuran 0,45 mikrometer.

4.3.2 Larutan uji


Bahan baku paracetamol ditimbang sebanyak 25 mg ke dalam labu takar
50 ml, kemudian diencerkan dengan fase gerak hingga tanda batas. Larutan
dikocok hingga homogen. Larutan dalam labu takar tersebut dipipet sebanyak
1 ml ke dalam labu takar 10 ml. Kemudian diencerkan dengan fase gerak
hingga tanda batas. Larutan disaring dengan membran filter PTFE dengan
ukuran 0,45 mikrometer.

4.4 Cara kurva kalibrasi


Di injeksikan serangkaian konsentrasi larutan standar dan larutan uji.
Kemudian dicatat luas area kromatogran masing-masing larutan standar dan
larutan uji. Digunakan kurva kalibrasi atau persamaan garis, kemudian
dihitung kadar larutan sampel dam faktor pengencerannya.

4.5 Cara one point


Diambil luas area kromatogram salah satu larutan pembanding, kemudian
gunakan untuk menghitung kadar larutan sampel dengan menggunakan
metode One Point serta faktor pengencerannya.

V. Hasil Pengamatan dan Perhitungan


1. Penimbangan PCT
PCT = Larutan standar = 25,13 mg
Larutan uji = 25,11 mg

2. Uji Kesesuain Sistem

Penyuntikan Waktu Retensi Luas Area (Standar)


1 3,417 33816153
2 3,357 32702632
3 3,353 33899777
4 3,357 29032861
5 3,347 34532491
6 3,330 34189731
7 3,330 33319353

Rata - Rata 3,355857143 33070428


Standar Deviasi 0,029339556 18767693

Sbr / rsd 0,87427904 5,675068

3. Perhitungan Pengenceran (ppm)


25,13 mg
- Larutan Standar = 0,05 L = 502,6 mg/L (ppm)

Dipipet 1 ml di ad 10 ml
V1 . N1 = V2 . N2
1 ml . 502,6 ppm = 10 ml . N2
502,6 ppm = 10 ml . N2
502,6 ppm
N2 = 10 = 50,26 ppm

25,13 mg
- Larutan Uji = 0,05 L = 502,6 mg/L (ppm)

Dipipet 1 ml di ad 10 ml
V1 . N1 = V2 . N2
1 ml . 502,2 ppm = 10 ml . N2
502,2 ppm = 10 ml . N2
502,2 ppm
N2 = 10 = 50,22 ppm

4. Perhitungan Konsentrasi
- Dipipet 0,2 ml di ad 10 ml
V1 . N1 = V2 . N2
0,2 ml . 502,6 ppm = 10 ml . N2
502,2 ppm = 10 ml . N2
N2 = 10,052 ppm
- Dipipet 0,4 ml di ad 10 ml
V1 . N1 = V2 . N2
0,4 ml . 502,6 ppm = 10 ml . N2
201,04 ppm = 10 ml . N2
N2 = 20,104 ppm
- Dipipet 0,6 ml di ad 10 ml
V1 . N1 = V2 . N2
0,6 ml . 502,6 ppm = 10 ml . N2
301.56 ppm = 10 ml . N2
N2 = 30,156 ppm
- Dipipet 0,8 ml di ad 10 ml
V1 . N1 = V2 . N2
0,8 ml . 502,6 ppm = 10 ml . N2
402,08 ppm = 10 ml . N2
N2 = 40,208 ppm

- Dipipet 1 ml di ad 10 ml
V1 . N1 = V2 . N2
1 ml . 502,6 ppm = 10 ml . N2
502,6 ppm = 10 ml . N2
N2 = 50,26 ppm
- Dipipet 1,2 ml di ad 10 ml
V1 . N1 = V2 . N2
1,2 ml . 502,6 ppm = 10 ml . N2
603,12 ppm = 10 ml . N2
N2 = 60,312 ppm

5. Cara Kurva Kalibrasi

Konsentrasi (ppm) Luas Area


10,052 9457595
20,104 17918040
30,156 24366450
40,208 32077551
50,26 39735890
60,312 47949580
a = 2021726
b = 755001,353
r = 0,99949
y = bx + a
24970442 = 755001,353 x + 2021726,733
24970442 2021726,733 = 755001,353 x
22948715,27 = 755001,353 x
X = 30,39559489
x
%= 100
50,22
30,395
= 100
50,22
= 60,523 %

KURVA KALIBRASI PARACETAMOL


60000000
50000000
40000000
30000000
20000000
10000000
0
Luas Area

Konsentrasi (ppm)

6. Cara One Point = (Larutan Uji)


Lu
Cu = Ls Cs

24970442
= 30,156
24366450
= 30,90
x
% = 50,22 100

30,90
= 100
50,22
= 61, 529 %
VI. Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan analisis kualitatif dan


kuantitatif yaitu bahan baku parasetamol dengan menggunakan metode
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui mutu sediaan dari bahan baku parasetamol yang digunakan, apakah
memenuhi syarat kualitas sesuai dengan persyaratan kadar yang tercantum dalam
FI Edisi V atau tidak.

Prinsip dasar dari KCKT adalah suatu pemisahan senyawa berdasarkan


sifat kepolarannya. Prinsip dari metode ini pada umumnya sama dengan metode
kromatografi, yaitu didasarkan pada perbedaan kecepatan migrasi solut yang
dipengaruhi oleh perbedaan afinitas solut terhadap fase gerak dan fase diam
(Gandjar dan Rohman,2007 hal 120).

Sementara untuk prinsip kerja dari alat KCKT sendiri yaitu ketika suatu
sampel yang akan diuji diinjeksikan ke dalam kolom maka sampel tersebut
kemudian akan terurai dan terpisah menjadi senyawa-senyawa kimia (analit)
sesuai dengan perbedaan afinitasnya. Hasil pemisahan tersebut kemudian akan
dideteksi oleh detector (spektrofotometer UV, fluorometer atau indeks bias) pada
panjang gelombang tertentu, hasil yang muncul dari detektor tersebut selanjutnya
dicatat oleh recorder yang biasanya dapat ditampilkan menggunakan integrator
atau menggunakan personal computer (PC) yang terhubung online dengan alat
HPLC tersebut (Day, R.A., A.L Underwood, 2002hal 394).

Sistem kromatografi yang digunakan dalam percobaan ini yaitu sistem


kromatografi partisi dan fase yang digunakan adalah fase balik karena sifat dari
fase diam non polar bila dibandingkan dengan sifat dari fase gerak yang bersifat
polar.

Fase gerak yang digunakan dalam percobaan ini yaitu campuran antara
air : metanol dengan perbandingan (3:1), campuran antara air : metanol
merupakan pelarut universal sehingga digunakan sebagai fase gerak. Adanya
struktur dari metanol yang memiliki gugus OH dan metil berdeketan sehingga
menjadikan metanol bersifat semipolar, bila digunakan sebagai fase gerak metanol
dapat mengelusi senyawa polar maupun nonpolar. Metanol memenuhi persyaratan
sebagai fase gerak yaitu murni, tidak terdapat kontaminan, tidak bereaksi dengan
wadah (packing) dan dapat diperoleh dengan harga murah. Air merupakan pelarut
universal yang bersifat polar, tidak toksik dan dapat diperoleh dengan harga
murah. Sehingga dikombinasikan dengan metanol untuk mendapatkan hasil
pemisahan yang efisien.

Pada percobaan ini juga digunakan fase diam yaitu ODS (okta desil silika)
atau C18karena parasetamol bersifat polar sedangkan ODS bersifat non polar
sehingga senyawa parasetamol tidak akan tertahan didalam fase diam tetapi akan
terelusi dan ikut keluar bersama dengan fase gerak yang bersifat polar yaitu air :
metanol (3 : 1) sehingga parasetamol mampu dipisahkan.Okta desil silika (ODS)
merupakan kolom berisi silika memiliki jumlah C yang banyak sehingga
mengakibatkan sifat fase diam ini cenderung bersifat non polar. ODS merupakan
fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa
dari tingkat kepolaran yang rendah, sedang maupun tinggi.

Detektor yang digunakan pada percobaan ini yaitu detektor UV 243 nm,
karena parasetamol memiliki gugus kromofor yang dapat menyerap sinar UV
sehingga dapat terbaca oleh detektor UV. Panjang gelombang yang digunakan
yaitu 243 nm karena ini merupakan panjang gelombang maksimal yang dimiliki
oleh parasetamol, kepekaannya juga maksimal dan memenuhi hukum Lambert-
Beer.

Parameter baik atau tidaknya suatu kromatogram didasarkan pada lima


factor, yaitu waktu retensi, faktor kapasitas, efisiensi kolom, resolusi, dan factor
ikutan.Waktu retensi didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan untuk
membawa keluar suatu komponen dari dalam kolom kromatografi sehingga yang
keluar dari kolom adalah tepat konsentrasi maksimum.Faktor kapasitas (k) juga
merupakan ukuran retensi suatu komponen dalam kolom. Jika nilai k kecil, maka
komponen tertahan sebentar dalam kolom. Dan jika nilai k yang lebih besar,
maka pemisahan baik tetapi waktu yang dibutuhkan untuk analisis lebih lama dan
puncaknya melebar. Sehingga ditentukanlah nilai k optimum, yaitu antara 1
sampai 10. Kolom dinyatakan baik jika cukup selektif artinya mampu menahan
berbagai komponen dengan kekuatan yang cukup berbeda. Agar terjadi pemisahan
yang baik maka nilai selektivitas () harus lebih besar daripada 1, dimana semakin
besar nilai maka pemisahannya akan semakin baik. Nilai dapat diubah-ubah
dengan cara mengubah fasa gerak (misal: memperbesar polaritas); mengubah fasa
diam; mengubah temperature, karena pada umumnya kenaikan temperature akan
memperkecil waktu retensi; dan mengubah bentuk komponen.Efisiensi kolom
merupakan kemampuan kolom mengeluarkan hasil yang diinginkan dengan hasil
yang memuaskan dan dalam waktu yang singkat.Keterpisahan antara dua puncak
kromatogram dinyatakan dengan resolusi R (ukuran besar kecilnya pemisahan).
Jika nilai R 1,5 maka senyawa terpisah dengan baik.Sedangkan factor terikutan
(Tf) merupakan ukuran kesimetrisan suatu puncak. Dengan catatan nilai Tf < 2,0
(Ahmad dan Suherman, 1991 hal-312).

Sebelum dilakukan analisis terhadap bahan baku parasetamol perlu


dilakukan uji kesesuaian system (UKS). Uji kesuaian sistem menurutDepkes RI,
1995 hal-1016 adalah suatu uji yang digunakan untuk membuktikan bahwa
resolusi dan keberulangan suatu system kromatografi memenuhi syarat dalam
melakukan suatu pengujian. Konsep dari uji kesesuaian sistem adalah berdasarkan
pada prinsip bahwa instrument, reagen, kolom, kondisi percobaan, rincian
prosedur, contoh, sistem elektronik dan bahkan analisis adalah suatu sistem yang
harus diuji fungsinya. Tujuan dari uji kesesuaian sistem adalah untuk mengetahui
apakah suatu sistem kromatografi cair kinerja tinggi yang digunakan memenuhi
syarat yang telah ditetapkan dan berada dalam kondisi yang bagus dan dapat
dipercaya, sehingga data analisis yang dihasilkan cukup handal untuk dipakai
dalam menyimpulkan suatu hasil pengujian. Uji kesesuaian sistem dinyatakan
memenuhi syarat apabila nilai SBR < 2,0%. Uji kesesuaian sistem yang dihasilkan
dalam percobaan ini yaitu memiliki nilai SBR 0,87427904%,nilai ini memenuhi
syarat yang ditentukan karena <2% sehingga proses analisis bahan baku
parasetamol dapat dilanjutkan dengan menggunakan metode KCKT.

Dalam prosedur percobaan dilakukan proses penyaringanpada larutan uji


dan larutan standar dengan menggunakan membran filter PTFE ukuran 0,45m
yang bertujuan untuk menyaring pengotor-pengotor bahkan yang berukuran mikro
dari pelarut dan agar tidak terjadi penyumbatan didalam kolom yang dapat
menghambat proses pendeteksian sampel uji. Adanya pengotor dalam reagen
dapat menyebabkan gangguan pada sistem kromatografi. Ketika proses
penginjeksian larutan standar dan larutan uji ke dalam alat KCKT tidak boleh
terdapat gelembung pada syringe karena dapat mengganggu proses analisis dan
pengamatan. Penginjeksian ini harus dilakukan dengan hati-hati dan dijaga supaya
tidak ada gas yang terinjeksi kedalamnya, karena adanya gas dapat menimbulkan
gelembung dan pengumpulan gas pada komponen lain terutama pada pompa dan
detektor sehingga proses analisis menjadi terhambat dan hasil analisisnya menjadi
tidak bagus.

Kemudian dengan bantuan pompa bertekanan tinggi, sampel masuk ke


dalam kolom. Di dalam kolom, komponen-komponen sampel dipisahkan
berdasarkan kepolarannya. Parasetamol yang bersifat polar akan keluar lebih dulu
bersama fase gerak.

Dari hasil pengamatan yang diperoleh terhadaplarutan standar didapat


konsentrasi sebesar 10,052 ppm dengan luas area 9457595 dan dengan waktu
retensi 3.320, kemudian dengan konsentrasi sebesar 20,104 ppm didapat nilai luas
area 17918040 dengan waktu retensi 3320, pada kosentrasi 30,156 ppm didapat
nilai luas area sebesar 24366450 dengan waktu retensi sebesar 3.323, pada
konsentrasi 40,208 didapat nilai luas area sebesar 32077551 dan waktu retensi nya
sebesar 3.330, pada konsentrasi 50,26 ppm diperoleh nilai luas area sebesar
39735890 dan dengan waktu retensi sebesar 3.333, dan pada konsentrasi 60,312
diperoleh nilai luas area sebesar 47949580 dan dengan waktu retensi sebesar
3.327. Dengan diperolehnya konsentrasi dan luas area tersebut maka dapat
digunakan untuk membuat persamaan regresi linier dan dibuat kurva kalibrasi
hubungan antara konsentrasi ( sebagai x) dan luas area (sebagai y). Diperoleh nilai
R yang cukup tinggi yaitu sebesar 0,99949 dan persamaan regresi y =
755001,353x + 2021726,733 dengan y = luas area larutan uji, dan x = konsentrasi
(g/mL) sehingga dengan persamaan linier tersebut dapat digunakan untuk
menentukan kadar parasetamol.

Pada analisis kualitatif setelah larutan standar dan larutan uji diinjeksikan
kedalam alat KCKT kemudian dibandingkan hasil dari kromagram pada masing-
masing larutan tersebut, didapat hasil data kromatogram dari larutan uji sebagai
berikut:

Waktu retensi Luas area


3.127 24970442

Sementara hasil dari data kromatogram larutan standar yang mendekati


data kromatogram dari larutan uji yaitu sebagai berikut:

Waktu retensi Luas area


3.323 24366450

Data kromatogram larutan standar yang digunakan yaitu pada konsentrasi


30,156 ppm. Dari hasil kedua kromatogram tersebut dapat dilihat keduanya
menunjukkan kromatogram yang mendekati sama. Puncak yang terbentuk terjadi
pada waktu retensi 3.127 untuk larutan uji dan 3.323 untuk larutan standar, waktu
retensi tersebut mendekati sama. Hal ini sesuai dengan literatur (Gandjar dan
Rohman, 2007 hal 164) yang menyatakan bahwa waktu retensi puncak larutan uji
harus sama dengan waktu retensi puncak larutan standar.

Kemudian untuk analisis kuantitatif dilakukan dengan membandingkan


kadar parasetamol yang diperoleh menggunakan metode kurva kalibrasi dan one
point. Dari hasil pengamatan dengan menggunakan metode kurva kalibrasi
diperoleh kadar parasetamol sebesar 60,523% dandengan menggunakan metode
one point kadar parasetamol yang diperoleh sebesar 61,529%. Kedua kadar
parasetamol tersebut mendekati sama. Menurut Farmakope Indonesia edisi V
parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%
dihitung terhadap zat anhidrat (Depkes,2014 hal 985). Hal ini berarti kadar
parasetamol pada percobaan ini tidak memenuhi syarat. Hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya :

1. Kondisi alat yang digunakan telah digunakan berulang kali..

2. Adanyakontaminasiselamapengerjaandilakukan.

3. Proses penyuntikan yang tidak tepat.

VII. Kesmpilan
Berdasarkan hasil percobaan yaitu untuk analisa kualitatif dari hasil kedua
kromatogram tersebut dapat dilihat keduanya menunjukkan kromatogram
yang sama. Puncak yang terbentuk terjadi pada waktu retensi 3.127 untuk
larutan uji dan 3.323 untuk larutan standar, waktu retensi tersebut mendekati
sama. Sementara untuk analisa secara kuantitatif dari hasil pengamatan
dengam menggunakan metode kurva kalibrasi diperoleh kadar parasetamol
sebesar 60,523% dan kadar parasetamol sebesar 61,529% dengan
menggunakan metode one point. Jika dilihat dari kadar yang dihasilkan dari
kedua metode tersebut maka dapat disimpulkan bahwa mutu dari bahan baku
parasetamol tersebut tidak baik karena kadarnya tidak memenuhi syarat yang
terdapat dalam FI Edisi V.

VIII. Daftar Pustaka

Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit


Andi Offset. Yogyakarta.

Hayun, Ibnu Ganjar Dan Abdul Rahman. 2006. Kimia Farmasi Analisis.
Yogyakarta: Pustaka Belajar

Ibnu Ghalib. 2012. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Belajar.


Khopkar, S.M., 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, UI Press: Jakarta.
R.A.Day, Dr Jan Dan Al - Underwood. 2002. Analitik Kimia Kuantitatif. Jakarta:
Erlangga.

Sumar, Hendayana. 1994. Parasetamol. Jakarta: UI Press Supardani. 20011. Ilmu


Kimia Analitik Dasar. PT Gramedia: Jakarta.

Ahmad, M., dan Suherman. 1991. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Airlangga
University Press. Surabaya. Hal 312

Day, R. A. and A. L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif edisi Keenam.


Jakarta. Penerbit Erlangga. Hal 394.

Ditjen POM. 2014. Farmakope Indonesia edisi Kelima. Jakarta. Departemen


Kesehatan RI. Hal 985.

Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia edisi Keempat. Jakarta. Departemen


Kesehatan RI. Hal 1016.

Gandjar, G.H., dan Rohman, A., (2007). Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta: hal.120, 164.

Anda mungkin juga menyukai