Dank
Dank
Dank
KATA PENGANTAR
Makalah ini dibuat untuk memenuhi syarat dari mata kuliah Filsafat Ekonomi yang
dibimbing oleh dosen kami Bpk. Drs. Rodemeus Risyantoro., M.Hum. Makalah ini berisi
mengenai Paradigma Pembangunan Berkelanjutan, didalamnya dibahas mengenai dua pokok
yaitu pertama, cita cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan. Kedua, sebuah kritik
terhadap paradigma pembangunan berkelanjutan, yang sekaligus menawarkan paradigma baru
berupa paradigma keberlanjutan ekologi sebagai ganti dari pradigma pembangunan yang
berkelanjutan yang sudah lebih dulu dikenal.
Dengan dibuatnya makalah ini dimaksudkan agar terpenuhinya syarat yang dibutuhkan
dari mata kuliah Filsafat Ekonomi yang dibimbing oleh dosen Bpk. Drs. Rodemeus Risyantoro.,
M.Hum. selain itu agar dapat berguna pula bagi orang yang membacanya.
Terakhir kami ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yesus yang sudah memberikan kami
kesehatan dan semangat dalam mengerjakan makalah ini. Kami juga berterima kasih pada Bpk.
Drs. Rodemeus Risyantoro., M.Hum. yang telah membimbing kami dalam mata kuliah Filsafat
Ekonomi selama satu semester ini.
Penulis,
Kelompok 14
budaya dan lingkungan hidup menyebabkan masyarakat dan negara membayar mahal, bukan saja
dalam hitungan finansial melainkan juga dalam bentuk kehancuran sosial budaya dan lingungan
hidup. Dampak lanjutannya adalah terjadinya kemiskinan yang semakin mendalam, hal ini tidak
terjadi hanya karena terkurasnya sumber daya alam untuk membayar hutang luar negeri, namun
juga karena kemerosotan sumber daya alam itu membuat semakin tidak bisanya meningkatkan
kualitas kehidupan. timbulnya bernagai penyakit yang terkait langsung dengan mutu kehidupan
yang semakin menurun dikarenakan pencemaran lingkungan. Kehancuran sumber daya alam dan
keanekaragaman hayati membawa pengaruh langsung bagi kehancuran budaya masyarakat di
sekitarnya yang sangat tergantung kehidupannya dari sumber daya alam. Akibatnya cara berpikir
dan cara hidup mereka dengan segala kekayaan budayanya juga terancam bersama terancamnya
eksistensi mereka oleh punahnya keanekaragaman hayati itu.
Dari segi lingkungan hidup kita menghadapi problem problem serius, seperti
pencemaran sungai, kebakaran hutan, pencemaran udara, kerusakan terumbu karang, dan
perdagangan satwa liar. Dari kerusakan lingkungan hidup ini menyebabkannya penyakit dan
menurunnya kualitas kehidupan manusia. Perusakan lingkungan seperti diatas terjadi karena
kekeliruan persepsi tentang kekyaan alam, seperti yang dikatakan oleh Naess dan ahli
lingkungan hidup lain, kekayaan alam selalu dibaca dan dilihat semata mata sebagai sumber
daya ekonomi yang siap dieksploitasi demi pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhatikan kedua
aspek lainnya. Persepsi ini menyebabkan pola pikir untuk mengubah sumber daya alam yang ada
untuk menjadi nilai ekonomi yng riil nagi kemakmuran sebuah bangsa.
Perhatian utama dari pembangunan ekonomi hanya tertuju pada perbaikan standar
kehidupan, khususnya standar material. Seolah olah hanya nilai material yang paling penting
bagi kehidupan manusia. Aspek aspek lain dari kesejahteraan manusia seperti sosial budaya,
spritual, dan estetik, tidak mendapatkan perhatian sama sekali.
Pada dasarnya paradigma pembangunan berkelanjutan merupakan suatu etika politik
yang baik untuk meningkatkan kesejahteraan manusia disemua aspek aspek kehidupnnya,
namun menjadi tidak baik karena pada pelaksanaanya yang ditekakan oleh pembangunan
berkelanjutan adalah pertumbuhan ekonomi, yang semata mata tidak mementingkan aspek
sosial buadaya dan lingkungan hidup yang saling terintegrasi, dan tidak bisa dijalankan secara
pincang atau aspek ekonomi saja yang dibangun.
Menuntut agar adanya perlakuan yang sama bagi semua orang dan kelompok masyarakat.
Tidak boleh ada orang atau kelompok masyrakat yang mendapat perlakuan istimewa dari
negara dalam proses pembangunan, khususnya dalam mendapatkan peluang dan akses
terhadap sumber-sumber ekonomi.
Menuntut agar ada distribusi manfaat dan beban secara proposional antara semua orang
dan kelompok masyarakat.
Antara manfaat dan beban itu harus proposional dengan eran dan kontribusinya dalam
proses pembangunan.
Menuntut agar ada peluang yang sama bagi generasi yang akan datang untuk memperoleh
manfaat secara sama atau proposional dari sumber daya ekonomi yang ada.
Menuntut agar kerugian akibat proses pembangunan yang dialami oleh kelompok
masyarakat tertentu harus bisa ditebus atau dikompensasi secara seimbang atau
proposional baik oleh negara ataupun oleh kelompok yang menimbulkan kerugian
tersebut.
3. Prinsip berkelanjutan
Prinsip ini mengharuskan kita mencari alternatif pembangunan yang lebih hemat
sumber daya dan aspek pemanfaatan secara arif. Dengan demikian, prinsip berkelanjutan
mengharuskan kita untuk hemat energi, bahan baku, dan menghemat sumber daya alam.
Prinsip berkelanjutan ini pada akhirnya sangat menunjang prinsip keadilan
antargenerasi. Prinsip keadilan dan prinsip berkelanjutan menuntut kita untuk menjaga alam
hingga di kemudian hari, bukan berani merusaknya karena dibayar dengan harga tinggi.
Kerugian jangka panjang tidak bisa digantikan dengan bersifat ekonomis dan fisik saja,
namun juga bersifat, material, non-material, mental, spiritual, dan kesehatan. Hanya dengan
perubahan politik yang mendekat kepada politik pembangunan yang dimulai dari sekarang,
bisa dijamin bahwa cita-cita dan agenda pembangunan berkelanjutan bisa dicapai. Karena
cita-cita dan agenda adalah kegiatan yang sangat menyita waktu.
Dengan ini dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan berkelanjutan
memerlukan ketiga sinergi positif yaitu; pertama negara dengan kekuatan politik, kedua
swasta dengan kekuatan ekonomi, dan kertiga masyarakat warga dengan kekuatan moral.
Terdapat pula kelemahan kelemahan yang ada pada pembangunan berkelanjutan ini
seperti; pertama, tidak ada sebuah titik kurun waktu yang jelas dan terukur yang menjadi
sasaran pembangunan berkelanjutan. Kedua, cara pandang yang menganggap alam sekadar
sebagai alat bagiu pemenuhan kebutuhan material manusia. Ketiga, asumsi yang ada dibalik
paradigma adalah, manusia bisa menentukan daya dukung ekosistem lokal dan regional.
Keempat, paradigma pembangunan berkelnajutan bertumpu pada ideologi materialisme yang
tak diuji secara kritis tetapi siterima begitu saja sebagai benar.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah dirubah dalam Tahun 2002
berbunyi selengkapnya :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasi Negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang
mengenai pengelolaan sumber daya alam adalah seperti apa yang disebutkan dalam ayat (3) yaitu
melingkupi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ketentuan ini
kemudian diperluas dalam Undang- Undang No. 5 Tahun 1960 dengan menambah unsur ruang
angkasa sehingga meliputi Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya.
Ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan penegasan tentang dua hal yaitu:
1. Memberikan kekuasaan kepada negara untuk menguasai bumi dan air serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya sehingga negara mempunyai Hak Menguasai. Hak
ini adalah hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak penguasaan sumber daya alam di
Indonesia.
2. Membebaskan serta kewajiban kepada negara untuk mempergunakan sumber daya alam
yang ada untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat menunjukkan kepada kita bahwa rakyatlah yang harus menerima
manfaat kemakmuran dari sumber daya alam yang ada di Indonesia.
Secara singkat pasal ini memberikan hak kepada negara untuk mengatur dan
menggunakan sumber daya alam yang wajib ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia, juga
membebankan suatu kewajiban kepada negara untuk menggunakan sumber daya alam
untuk kemakmuran rakyat, bilamana hal ini merupakan kewajiban negara, maka pada sisi
lain adalah merupakan hak bagi rakyat Indonesia untuk mendapat kemakmuran melalui
penggunaan sumber daya alam.
Pertanyaan yang muncul adalah rakyat Indonesia yang mana yang paling berhak untuk
mendapatkan kemakmuran dari sumber daya alam Indonesia? Pada dasarnya seluruh rakyat
Indonesia yang berdiam di seluruh wilayah Negara Kesatuan Indonesia pada tingkat atau lapisan
manapun mempunyai hak yang sama untuk menikmati kemakmuran tersebut, namun kalau kita
membicarakan siapa yang lebih diutamakan tentu saja masyarakat yang berada disekitar sumber
daya alam itu berada harus lebih diutamakan dari mereka yang bertempat tinggal jauh dari
sumber daya alam yang dimaksud.
Hal ini ditegaskan antara lain dalam pasal 3 ayat (1) Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998
tetang penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan pembangunan dan pemanfaatan sumber
daya yang berkeadilan serta perimbangan keuangan Pusat dan daerah dilaksanakan secara adil
untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa keseluruhannya.
Dalam pasal ini disebutkan lebih dahulu masyarakat daerah dari bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Mengisyaratkan kepada kita bahwa masyarakat setempat harus diberikan prioritas
haknya untuk menikmati kemakmuran dalam pemanfaatan sumber daya alam ketimbang orangorang yang jauh bertempat dari sumber daya alam dimaksud. Hak ini telah diberi penekanan
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai reaksi dari apa yang selama ini dikenal
hegemoni pusat. Orang-orang yang ada di pusat lebih banyak menikmati kemakmuran dari pada
masyarakat daerah atau masyarakat setempat.
Selain itu kemakmuran dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam bukan hanya
sekedar menjadi hak dari generasi masa kini saja. Anak cucu kita sebagai generasi mendatang
juga mempunyai hak yang sama untuk menikmati kemakmuran dari pemanfaatan sumber daya
alam yang tersedia. Karena itu kemakmuran yang ingin diwujudkan menurut Undang-Undang
Dasar adalah bersifat transgeneration dan oleh karenanya hak untuk mendapat kemakmuran
harus berkesinambungan atau berkelanjutan (sustainable). Karena hal ini adalah sejalan dengan
konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan .
Pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam yang dikaitkan dengan pembangunan
yang berkelanjutan tampak dengan jelas dalam Undang- Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan. Pasal 3 dari Undang-Undang ini misalnya menentukan:
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang
berkeadilan dan berkelanjutan:
1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasnya yang cukup dan sebaran yang proporsional.
2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi komunikasi, fungsi lindung,
dan fungsi produksi. Untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi
yang seimbang dan lestari.
3. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.
pengelolaan sumber daya alam dimaksud untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan
tetap terjaganya fungsi lingkungan.
Ditegaskan lebih jauh dalam UU ini, dengan memperhatikan permasalahan dengan kondisi
sumber daya alam dan lingkungan hidup dewasa ini, kebijakan di bidang sumber daya alam dan
lingkungan hidup ditujukan pada upaya:
1. Mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat
diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya
dukung dan daya tampungnya.
2. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari kerusakan sumber daya
alam dan pencemaran lingkungan .
3. Mendelegasikan kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintah daerah dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap.
4. Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat global.
5. Menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator
keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
untuk
mengetahui
6. Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi
baru di wilayah tertentu, dan
7. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan
global.
Bilamana kita teliti penggarisan tentang rencana pembangunan sebagaimana disebutkan dalam
Tap MPR No. IV/MPR/1999 dan UU No. 25 Tahun 2000 khususnya yang berkenaan dengan
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup menggambarkan telah dimasukkannya
perkembangan lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga cukup beralasan
bahwa di Indonesia, pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup telah
dilaksanakan walaupun mungkin baru sebatas dalam aturan hukum.
E. Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah di paparkan di atas, Uraian di atas menunjukkan kita
bahwa secara umum kita sudah mempunyai landasan formal yang cukup untuk melaksanakan
prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam pelakanaan pembangunan nasional di negeri
kita. Kemudian secara sektoral baik yang berkenaan dengan sumber daya alam pada umumnya
walaupun untuk sektor yang bersifat khusus seperti sektor kehutanan dan lain-lain.
Namun apakah dalam realitanya memang sudah seperti apa yang digariskan dalam
ketentuan dimaksud? Dalam gambaran tentang kondisi umum mengenai pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup Tap IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004
menentukan : konsep pembangunan berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun
dalam pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak
terkendali dengan akibat perusakan lingkungan yang mengganggu pelestarian alam; ungkapan ini
menunjukkan adanya pengakuan dari lembaga tertinggi negara kita tentang masih belum
terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam
Hal senada dapat juga dilihat dalam konsideran Tap IX/MPR/2001 yang menyatakan
bahwa pengelolaan sumber daya agraria/ sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah
menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan strukutur penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Kemudian disebutkan
pula bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
agraria atau sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.
Persoalan ini bukan hanya dihadapi di Indonesia akan tetapi juga berlaku secara global
dan proses globalisasi itu sendirilah sebenarnya yang memperlemah pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan, seperti yang dikatakan oleh Martin Khor bahwa dalam penjelasanya, proses
globalisasi telah semakin mendapat kekuatan, dan proses tersebut telah dan akan semakin
menenggelamkan agenda pembangunan yang berkelanjutan.
Paradigma pembangunan berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik
pembangunan, yaitu sebuah komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu
diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma
pembangunan berkelanjutan bukti sebuah konsep tentang pembangunan lingkungan hidup.
Paradigma pembangunan berkelanjutan juga bukan tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah
etika politik pembangunan mengenai pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana
pembangunan itu seharusnya dijalankan. Dalam arti ini, selama paradigma pembangunan
berkelanjutan tersebut tidak dipahami, atau dipahami secara luas, cita-cita moral yang
terkandung di dalamnya tidak akan terwujud
Alasan kedua, mengapa paradigma itu tidak jalan, khususnya mengapa krisis ekologi
tetap saja terjadi, karena paradigma tersebut kembali menegaskan ideologi developmentalisme.
Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de Janeiro sepuluh tahun lalu, tidak lain adalah sebuah
kompromi mengusulkan kembali pembangunan, dengan fokus utama berupa pertumbuhan
ekonomi. Akibatnya, selama sepuluh tahun terakhir ini, tidak banyak perubahan yang dialami
semua negara di dunia dalam rangka mengoreksi pembangunan ekonominya yang tetap saja
sama, yaitu penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam dengan segala dampak negatifnya bagi
lingkungan hidup, baik kerusakan su mber daya alam maupun pencemaran lingkungan hidup.
Sekalipun pembangunan berkelanjutan berada pada suatu titik terendah, namun muncul
juga tanda kebangkitannya kembali sebagai suatu paradigma. Keterbatasan dan kegagalan
globalisasi telah menyebabkan munculnya reaksi negatif dari sebagian masyarakat yang pada
akhirnya mungkin akan berdampak pada terjadinya perubahan sejumlah kebijakan.
Dengan munculnya kekuatan pro pembangunan berkelanjutan dalam pemerintahan di
negara-negara sedang berkembang (NSB) mereka menjadi lebih sadar akan hak-hak dan
tanggungjawab untuk meralat berbagai persoalan yang ada pada saat ini termasuk mengubah
sejumlah peraturan dalam WTO. World Summit On Sustainable Development - WSSD
(Konferensi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan) memberikan kesempatan yang bagus
untuk memusatkan kembali perhatian masyarakat maupun upaya-upaya pemantapan, bukan
semata-mata mengenai persoalan itu, melainkan juga kebutuhan untuk menggeser paradigmaparadigma.
Dengan demikian sekalipun secara formal sudah jelas pembangunan yang dilaksanakan
di Indonesia harus berupa Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan Hidup
tetapi masih baru berupa das solen dan melalui perangkat hukum diharapkan dapat diwujudkan
pada tataran das sein. Namun keberhasilan ini masih tergantung pada banyak faktor, selain faktor
yang bersifat yuridis, juga politis dan budaya termasuk kondisi sumber daya manusia yang
menjadi pelaksanaanya.
F. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, pembangunan berkelanjutan adalah hal yang harus
dijalankan setiap orang pada dasarnya sehingga membantu mempermudah jalanya pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan juga membutuhkan sumber daya alam, oleh karena itu manusia
haruslah pandai dalam "berinteraksi" dengan alam. Apabila lingkungan sekitar kita baik maka
dapat mengurangi penghambat pembangunan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Sonny, Alexander Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Kompas: Jakarta.