Pemetaan Teori Sosiologi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 38

BAB I

1. SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI


Revolusi Politik
Rentetan panjang revolusi politik yang dihantarkan oleh revolusi perancis 1789
dan revolusi yang berlangsung sepanjang abad 19 merupakan factor yang paling besar
perannya dalam perkembangan teori sosiologi. Dampak revolusi politik terhadap
masyarakat sangat dahsyat dan banyak perubahan positif yang telah dihasilkannya.
Tetapi, yang menjadi sasaran perhatian kebanyakan ahli teori itu bukan konsekuensi
positifnya, tetapi efek negatifnya. Para pemikir merasa khawatir dengan munculnya
chaos dan kekacauan yang ditimbulkan revolusi, terutama di Perancis. Mereka bertekat
untuk memulihkan ketertiban masyarakat. Sejumlah pemikir yang lebih ekstrem saat itu
benar-benar ingin kembali ke keadaan seperti abad pertengahan yang penuh kedamain
dan ketertiban. Pemikir yang lebih canggih menyadari bahwa ada kemungkinan untuk
menciptakan perubahan social yang dapat mengembalikan kepada keadaan yang
didambakan itu. Karena itu mereka mencoba menemukan landasan tatanan baru dalam
masyarakat yang telah dijungkirbalikkan oleh revolusi politik abad 18 dan 19. Perhatian
terhadap masalah ketertiban social ini menjadi salah satu perhatian utama teoritis
sosiologi klasik, terutama Comte dan Durkheim. (Ritzer, 2003: 7)
Revolusi Industri dan Kemunculan Kapitalisme
Revolusi politik dan revolusi industri yang melanda masyarakat Eropa terutama
di abad 19 dan awal abad 20 merupakan factor langsung yang memunculkan teori
sosiologi. revolusi industri bukan kejadian tunggal, tetapi merupakan berbagai
perkembangan yang saling berkaitan yang berpuncak pada tranformasi dunia Barat dari
corak system pertanian menjadi system industri. Banyak orang meninggalkan usaha
pertanian dan beralih kepekerjaan industry yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik yang
sedang berkembang. Pabrik itu sendiri telah berkembang pesat berkat kemajuan
teknologi. Birokrasi ekonomi berskala besar muncul untuk memberikan pelayanan yang

dibutuhkan oleh industry dan system ekonomi kapitalis. Harapan utama dalam ekonomi
kapitalis adalah sebuah pasar bebas tempat memperjualbelikan berbagai produk industri.
Di dalam system ekonomi kapitalis inilah segelintir orang mendapat keuntungan sangat
besar sementara sebagian orang besar lainnya yang bekerja membanting tulang dalam
jam kerja yang panjang menerima upah yang rendah. Dari situasi seperti itulah
muncullah reaksi menentang system industry dan kapitalisme pada umumnya. (Ritzer,
2003: 7-8).
Kekuatan Intelektual dan Kemunculan Teori sosiologi
Secara keseluruhan, abad pencerahan ditandai oleh keyakinan bahwa manusia
mampu memahami dan mengontrol alam semesta dengan menggunakan akal (nalar) dan
riset empiris. Mereka berpendapat bahwa karena alam fisik didominasi oleh hokum
alam, maka dunia social pun ditentukan oleh suatu hokum tertentu. Karena itu, hakikat
dunia social dapat diketahui baik dengan menggunakan akal ataupun dengan riset.
Segera setelah mengetahui bagaimana cara dunia social bekerja, pemikir pencerahan
mempunyai tujuan praktis menciptakan dunia yang lebih baik dan lebih rasional.
Dengan menekankan pada nalar, filsuf pencerahan cenderung menolak
keyakinan terhadap otoritas tradisional. Ketika para pemikir ini meneliti nilai dan
institusi tradisional, mereka menemukan ketidakrasionalan berlawanan dengan kodrat
manusia serta menghambat pertumbuhan dan perkembangan manusia. Misi pemikir
pencerahan yang berorientasi perubahan praktis itu adalah mengatasi system yang tak
rasional. Teorotisi yang sangat dipengaruhi secara langsung dan positif oleh pemikiran
pencerahan adalah Karl Marx. Tetapi ia merumuskan gagasan teoritis awalnya di
Jerman. (Ritzer, 2003: 11-13)

BAB II
TOKOH DAN TEORI SOSIOLOGI KLASIK
Perkembangan Teori Sosiologi Di Prancis
a. AUGUSTE COMTE (1798-1857)
Comte merupakan orang pertama yang menggunakan kata sosiologi dalam upaya
mempelajari tentang perilaku manusia. Meskipun Comte yang memberikan istilah
positivis, gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan dari dia asalanya. Kaum
positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metodemetode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya.
Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organic yang kenyataannya lebih
dari pada sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung, tetapi untuk mengerti
kenyataan ini.
Comte berpendirian bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa
memperoleh pengetahuan tentang masyarakat menunutut penggunaan metode-metode
penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya, merupakan sumbangannya ang tak
terhingga nilanya terhadap perkembangan sosiologi. Comte melihat perkembangan ilmu
tentang masyarakat yang bersifat alamiah ini sebaga puncak suatu proses kemajuan
intelektual yang logis melalui semua ilmu-ilmu lainnya.
Social statics dan social dynamics
Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian, yaitu apa yang disebut dengan
social statics dan social dynamics. Dengan social statics dimaksudkannya sebagai suatu
studi tentang hokum-hukum aksi dan reaksi antara bagian-bagian dari suatu system
social. Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Comte adalah apa yang
disebutnya dengan social dynamics, yang didefinisikannya sebagai teori tentang

perkembangan dan kemajuan masyarakat manusia. Social statics dimaksudkan Comte


sebagai teori tentang wajib daar masyarakat. Sekalipun social statics merupakan bagian
yang lebih elementer dalam sosiologi tetapi kedudukannya tidak begitu penting
dibandingkan social dynamic. Fungsi dari social static adalah untuk mencari hokumhukum tentang aksi dan reaksi dari pada berbagai bagian di dalam suatu system social.
Hukum Tiga Tahap
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan
evolusioner ummat manusia dari masa primitive sampai ke peradaban Prancis abad ke
Sembilan belas yang sangat maju. Hokum ini menjelaskan bahwa masyarakatmasyarakat (atau manusia) berkembang melalui tiga tahap utama, tahap-tahap ini
ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teologis, metafisik, dan positif.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan
untuk analisa terperinci maka Comte membaginya kedalam periode fetisisme, politeisme
dan monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan
positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hokum-hukum alam yang asasi
yang dapat ditemukan dengan akal budi.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai data
pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak;
semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data
baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas.
b. EMILE DURKHEIM (1858-1917)
Kenyataan Fakta Sosial
Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekataan Durkheim
terhadap sosiologi adalah bahwa gejala social itu riil dan mempengaruhi kesadaran

individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau
karakteristik individu lainnya. Lebih lagi karena gejala social merupakan fakta yang riil,
gejala-gejala itu dapat dipelajar dengan metode-metode empiric, yang memungkinkan
satu ilmu sejati tentang masyarakat dapat dikembangkan.
Di dalam bab petama dari Rules, Durkheim mendifinisikan fakta social sebagai
cara-cara bertindak, berpikir dan merasa, yang berada diluar indiidu dan dimuati dengan
sebuah kekuatan memaksa, yang karenanya hal-hal itu mengontrol individu itu. Fakta
social, menurut pendapatnya, berada diluar diri individu dalam arti bahwa fakta itu
dating kepadanya dari diluar dirinya sendiri dan menguasai tingkah lakunya. Karena itu,
para ilmuan social pasti memperlakukan fakta social sebagai benda-benda dengan cara
yang sama seperti ilmuan-ilmua alam memperlakukan objek-objek fisis yang
kenyataannya harus mereka terima dan jelaskan.
Karakteristik Fakta Sosial
Bagaimana gejala social itu benar-benar dapat dibedakan dari gejala yang benarbenar individual? Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik yang
berbeda: Pertama, gejala social bersifat eksternal terhadap individu. Karakteristik fakta
social yang Kedua adalah bahwa fakta itu memaksa individu. Jelas bagi Durkheim
bahwa individu dipaksa, di bimbing, di yakinkan, didorong atau dengan cara tertentu di
pengaruhi oleh pelbagai tipe fakta social dalam lingkungan sosialnya.
Karakteristik fakta social yang ketiga adalah bahwa fakta itu bersifat umum atau
tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, fakta social itu
merupakan milik bersama bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan
sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta social benar-benar
bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat
kolektifnya ini
Fakta social material dan nonmaterial

Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta social, yaitu material dan
nonmaterial. Fakta material diwakili oleh gaya arsitektur, bentuk teknologi, hokum dan
perundang-undangan. Memang relative mudah di pahami karena keduanya bisa diamati
secara langsung.
Durkheim mengakui bahwa fakta social nonmaterial memiliki batasan tertentu,
ia ada dalam pikiran manusia. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai
berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri.
Durkheim membagi fakta social nonmaterial menjadi empat jenis; Moraitas, kesadaran
kolektif, representasi kolektif dan arus social.
Perkembangan Teori Sosiologi di Jerman
a. KARL MARX (1818-1883)
Alienasi
Analisa Marx tetang alenasi merupakan respons terhadap perubahan ekonomis,
social, dan politis yang dia lihat di sekelilingnya. Dia tidak ingin memahami alienasi
sebagai suatu masalah filosofis. Dia ingin memahami perubahan semacam apa yang
dibutuhkan untuk membuat suatu masyarakat bias mengekspresikan potensi
kemanusiannya secara memadai. Berkaitan dengan hal ini, Marx mengembangkan suatu
pengertian penting; Sistem ekonomi kapitalis adalah sebab utama alienasi.
Alienasi terdiri dari empat unsure dasar. Pertama, para pekerja di dalam
masyarakat kapitalis teralienasi dari aktifitas produktif mereka. Kaum pekerja tidak
memproduksi objek-objek berdasarkan ide-idenya mereka sendiri atau untuk secara
langsung memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Kedua, pekerja tidak hanya
teralienasi dari aktivitas-aktivitas produktif, akan tetapi juga dari tujuan aktivitasaktivitas tersebut. Produk kerja mereka tidak menjadi milik mereka sendiri, melainkan
menjadi milik para kapitalis yang mungkin saja menginginkan cara-cara yang mereka
inginkan.

Ketiga, para pekerja di dalam kapitalisme teralienasi dari sesame pekerja. Asumsi
Marx adalah bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan dan menginginkan bekerja
secara kooperatif untuk mengambil apa yang mereka butuhkan dari alam untuk terus
bertahan. Keempat, para pekerja dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari potensi
kemanusiaan mereka sendiri. Kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat
dasar manusia kita, akan tetapi membuat kita merasa kurang menjadi manusia dan
kurang menjadi diri kita sendiri.
Teori Konflik
Teori konflik melihat elemen-elemen dan komponen-komponen dalam
masyarakat merupakan suatu persaingan dengan kepentingan yang berbeda sehingga
pihak yang satu selalu berusaha menguasai pihak yang lain. Pihak yang kuat berusaha
menguasai pihak yang lemah. Dengan demikian konflik menjadi tak terhindarkan.
Asumsi dasar teori konflik adalah :
a. Struktur dan jaringan dalam masyarakat merupakan persaingan antar
kepentingan dan bahkan saling bertentangan satu sama lain.
b. Sehingga dalam kenyataan menunjukkan bahwa system sosial dalam masyarakat
menimbulkan konflik.
c. Karena konflik adalah sesuatu yang tak terelak, maka konflik menjadi salah satu
cirri dari system sosial.
d. Konflik ini tampak dalam kepentingan-kepentingan dalam kelompok
kelompok masyarakat yang berbeda-beda.
e. Selain itu konflik juga terjadi dalam pembagian sumber-sumber daya dan
kekuasaan yang tidak merata dan tidak adil.
Sehingga konflik menungkinkan terjadinya perubahan-perubahan dalam
masyarakat. Dan perubahan yang akan terjadi tentu saja perubahan ke arah yang lebih
baik atau bisa juga sebaliknya.
Pertentangan Kelas (Teori Kelas)

Teori kelas dari Marx berdasarkan pemikiran bahwa: sejarah dari segala bentuk
masyarakat dari dulu hingga sekarang adalah sejarah pertikaian antar golongan.
Menurut pandangannya, sejak masyarakat manusia mulai dari bentuknya yang primitive
secara relative tidak berbeda satu sama lain. Analisa Marx selalu mengemukakan
bagaimana hubungan antar manusia terjadi dilihat dari hubungan antara posisi masingmasing terhadap sarana-sarana produksi, yaitu dilihat dari usaha yang berbeda dalam
mendapatkan sumber-sumber daya yang langka.
Ada dua macam kelas yang ditemukan Marx ketika menganalisi kapitalisme:
yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas borjuis merupakan nama khusus untuk para
kaum kapitalis dalam ekonomi modern. Mereka memiliki alat-alat produksi dan
mempekerjakan pekerja upahan. Pertentangan antara konflik antar kelas borjuis dan
kelas proletar adalah contoh lain dari kontradiksi antara kerja dan kapitalisme.
b. MAX WEBER (1864-1920)
Tindakan Sosial
Keseluruhan sosiologi Weber didasarkan pada pemahamannya tentang tindakan
social. Ia membedakan tindakan dengan perilaku yang murni reaktif. Mulai sekarang
konsep perilaku dimaksudkan sebagai perilaku otomatis yang tidak melibatkan proses
pemikiran. Bagi Weber, sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha memahami tindakantindakan social dengan menguraikannya dengan menerangkan sebab-sebab tindakan
tersebut.
Bagi Weber cirri yang mencolok dari hubungan-hubungan social yang menyusun
sebuah masyarakat dapat dimengerti hanya dengan mencapai sebuah pemahaman
mengenai segi-segi subjektif dari kegiatan-kegiatan antar pribadi dari para anggota
masyarakat itu. Oleh karena itu melalui analisis atas berbagai macam tindakan
manusialah kita memperoleh pengetahuan mengenai cirri dan keanekaragaman
masyarakat-masyarakat manusia.

Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatian
pada individu, pola dan regularqitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas. Tindakan
dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subjektif hanya hadir
sebagai perilaku seorang atau beberapa orang manusia individual.
Weber memisahkan empat tindakan social di dalam sosiologinya, yaitu apa yang
disebut:
a. Zweck Rational (Rasionalitas instrumental), yaitu tindakan social yang
menyandarkan diri

kepada pertimbangan-pertimbangan manusia yang rasional ketika

menanggapi lingkungan eksternalnya. Dengan perkataan lain zweck rational adalah


suatu tindakan social yang ditujukan untuk mencapai tujuan semaksial mungkin dengan
menggunakan dana serta daya seminimal mungkin.
b. Wert Rational (Rasionalitas yang berorientasi nilai), yaitu tindakan social yang
rasional, namun yang mendasarkan diri kepada suatu-suatu nilai absolute tertentu. Nilainilai yang dijadikan sandaran ini bisa nilai etis, estetika, keagamaan atau pula nilai-nilai
lain. Jadi di dalam tindangan berupa wert ration ini manusia selalu menyandarkan
tindakan yang rasional pada suatu keyakinan terhadap suatu nilai tersebut.
c. Affectual (tindakan afektif), yaitu suatu tindakan social yang timbul karena dorongan
atau motivasi yang sifatnya emosional. Ledakan kemarahan seseoang misalnya, atau
ungkapan rasa cinta, kasihan, adalah contoh dari tindakan affectual.
d. Tradisional, yaitu tindakan social yang didorong dan berorientasi kepada tradisi masa
lampau. Tradisi di dalam pengertian ini adalah suatu kebiasaan bertindak yang
berkembang di masa lampau. Mekanisme tindakan semacam ini selalu berlandaskan
hukum-hukum normative yang telah ditetapkan secara tegas-tegasan oleh masyarakat.

c. GEORGE SIMMEL (1858-1918)


Teori Pertukaran Nilai
Teori ini berangkat dari asumsi dasar do ut des artinya saya memberi supaya
engkau juga memberi. Menurut Goerge Simmel peletak toeri ini, semua kontak di antara
manusia bertolak dari skema memberi dan memdapatkan kembali dalam jumlah yang
sama. Pendukung teori ini merumuskan ke dalam lima proposisi yang saling
berhubungan satu sama lain. Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan
tertentu memperoleh ganjaran atau upah atau manfaat, maka semakin sering orang
tersebut akan melakukan tindakan yang sama. Misalnya, seseorang akan meminta
nasihat pada seorang psikiatris, kalau ia merasa bahwa nasehat orang itu sangat berguna
baginya.
Jika di masa lalu ada stimulus yang khusus atau satu perangkat stimulus yang
merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang mempeoleh ganjaran, maka semakin
stimuli itu mirip dengan stimuli masa lalu, semakin besar kemungkinan orang itu
melakukan tindakan serupa. Contoh, seorang nelayan menebar jala di laut yang dalam
dan gelap dan menangkap banyak ikan, maka ia cenderung melakukan hal yang sama
kemudiannya.
Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka semakin senang seseorang melakukan
tindakan itu. Misalnya, apabila bantuan yang saya berikan kepada orang itu bernilai,
maka kemingkinan besar saya akan melakukan tindakan yang sama lagi. Sebaliknya bila
bantuan kurang bernilai, tidak mungkin diulangi lagi. Semakin sering seseorang
menerima satu ganjaran dalam waktu yang berdekatan, maka semakin kurang bernilai
ganjaran tersebut. Di sini unsure waktu memainkan peranan penting. Misalnya, apabila
seseorang menerima pujian dari orang yang sama dalam waktu yang berdekatan, maka
semakin kurang bernilai pujian itu baginya.
Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkan atau
menerima hukuman, maka ia menjadi marah atau kecewa. Sebaliknya bila seseorang

menerima ganjaran yang lebih besar dari apa yang ia harapkan, maka ia merasa senang
dan lebih besar kemungkinan ia melakukan perilaku yang disenanginya.
Uang Dan Nilai
Secara umum Simmel berpendapat bahwa orang menciptakan nilai dengan
menciptakan objek, memisahkan dirinya dari objk-objek tersebut, dan selanjutnya
berusaha mengatasi jarak, kendala dan kesulitan. Semakin besar kesulitan untuk
mendapatkan suatu objek maka semakin besar pula nilainya. Prinsup umumnya adalah
bahwa nilai benda berasal dari kemampuan orang untuk menjarakkan dirinya secara
tepat dengan objeknya. Benda-benda yang terlalu dekat, terlalu mudah diperoleh, dan
tidak terlalu berharga perlu upaya tertentu untuk agar dianggap bernilai. Sebaliknya,
benda-benda yang terlalu jauh, terlalu sulit, atau nyaris diperoleh juga sangat tidak
bernilai. Benda-benda yang menghalangi sebagian besar, jika tidak semua, upaya untuk
memperolehnya semakin tidak bernilai di mata kita.
Dalam konteks umum nilai inilah Simmel mendiskusikan uang. Dalam ranah
ekonomi, uang berperan dalam menciptakan jarak dengan objek yang ditawarkan diri
jadi sarana untuk mengatasi jarak tersebut. Nilai uang yang melekat pada objek dalam
ekonomi modrn menyebabkan kita berjarak darinya; kita tidak dapat memperolehnya
tanpa uang. Kesulitan untuk mendapatkan uang dan objek-objek tersebut menjadikannya
bernilai bagi kita. Pada saat yang sama, sekali kita dapat uang yang banyak maka kita
mampu mengatasi jarak antara diri kita dengan objek. Dengan demikian uang memiliki
fungsi yang unik, menciptakan jarak antara orang denga objk dan kemudian menjadi
sarana untuk mengatasi jarak tersebut.

BAB III
TEORI SOSIOLOGI MODERN
PARADIGMA DAN TEORI SOSIOLOGI
Paradigma Fakta Sosial
Paradigma adalah suatu pandangan yang fundamental (mendasar, prinsipiil,
radikal) tentang sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dalam ilmu pengetahuan.
Kemudian, bertolak dari suatu paradigma atau asumsi dasar tertentu seorang yang akan
menyelesaikan permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan, baik
yang menyangkut pokok permasalahannya, metodenya agar dapat diperoleh jawaban
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sosiologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang kehidupan bersama
dalam masyarakat. Dalam masyarakat terdapat individu, keluarga, kelompok, organisasi,
aturan-aturan dan lembaga-lembaga, yang kesemuanya itu merupakan suatu kebulatan
yang utuh. Dalam hal ini sosiologi ingin mengetahui kehidupan bersama dalam
masyarakat,

baik

yang

menyangkut

latar

belakang,

permasalahan

dan

sebabmusababnya.Untuk mengetahui kehidupan bersama tersebut diperlukan suatu


teori.
Lahirnya sosiologi dihubungkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di
Eropa Barat, baik yang menyangkut tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad XV,
perubahan sosial politik, reformasi Martin Luther, meningkatnya individualisme,
lahirnya ilmu pengetahuan modern, berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri,
adanya Revolusi Industri maupun Revolusi Perancis. Sosiologi sebagai ilmu yang
mempelajari kehidupan bersama dalam masyarakat akan senantiasa berkembang terus,
terutama apabila masyarakat menghadapi ancaman terhadap pedoman yang pada
masanya telah mereka gunakan. Krisis yang demikian cepat atau lambat akan
melahirkan pemikiran sosiologis. Bertolak dari kenyataan yang demikian dapatlah

dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran sosiologis terjadi sejak awal XVIII berkenaan


ddngan

adanya

industrialisasi,

urbanisasi,

kapitalisme

dan

sosialisme

yang

menyebabkan adanya perubahan-perubahan sosial.


Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. paradigma fakta sosial yang menyatakan
bahwa struktur yang terdalam masyarakat mempengaruhi individu. Paradigma ini
dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog integrasi sosial asal Perancis,
melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897).
Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert
Spencer, yang menekankan pada individualisme. Spencer lebih tertarik pada
perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan
baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum
evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte,
Bapak Sosiologi dan pencetus positivisme dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya samasama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah
kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur
sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.
Menurut paradigma ini, Fakta sosial menjadi pusat perhatian penyelidikan
dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang
sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang
menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan
sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat),
tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran
manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa
pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu
struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution).
Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah :
Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi
Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang

menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional,


proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori
ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain,
dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional
bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp
Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang
kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa
menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan
mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat. . ( Ritzer, 2011:21-27)
Paradigma kedua adalah Definisi Sosial
paradigma definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam
masyarakat mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini sekalipun
struktur juga berpengaruh terhadap pemikiran individu, akan tetapi yang berperanan
tetap individu dan pemikirannya. Pemikiran ini dikembangkan oleh Max Weber untuk
menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi
adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana tindakan
yang penuh arti itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk
mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui
penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya
disebut dengan verstehen. Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari
Weber sendiri), Teori Fenomenologi yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori
Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead. ( Ritzer, 2011:
43-52)
Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial
Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. paradigma perilaku sosial yang
menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat
merupakan suatu pokok permasalahan. Dalam hal ini interaksi antarindividu dengan
lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang bersangkutan.

Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan


behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya
karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi
yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan
perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga
berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya
sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan
Teori Exchange.
Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif
yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, xang kemudian disebut dengan istilah
Multi- Paradigma (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan
paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode
yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam
paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi
sosial yang ditelorkan melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model
observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka
perhatiannya dicurahkan pada tingkah laku dan perulangan tingkah laku, dan metode
yang dipakai lebih menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan suatu
exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah tingkatan realitas sosial,
yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.
Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam
tiga bagian juga, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan
interaksionisme simbolik. Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu
Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson.
Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar:
1. masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka
masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam
fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan

2. setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau


substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik,
ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat.
Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu
adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan
memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat.
pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada
dua asumsi, yaitu:
1. kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan masyarakat, dan
2. melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx,
dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai
basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan
menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.
Habermas dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori
sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma instrumental ini,
pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya.
Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan
paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang
mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada
universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta
dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial.
Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi
dan herme neutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar
untuk memahami. Semboyannya adalah biarkan fakta berbicara atas nama dirinya
sendiri. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak
sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai,
walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme.

Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses


katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah
tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan
(historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama
yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme
dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini
biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.

BAB IV
TEORI SOSIOLOGI KRITIS
Teori kritis berkembang secara pesat bersama dan berada dalam Frankfurt
School. Pelopor sekolah Frankfurt Felix J. Weil seorang sarjana politik. Mendapat
warisan dari ayahnya Herman Weil, ia menghimpun cendekiawan untuk menyegarkan
kembali ajaran Marx sesuai kebutuhan saat itu. Cendekiawan yang tergabung antara lain
Friederickh Pollock ahli ekonomi, Theodore W. Adorno, musikus, ahli sastra dan filsuf;
Herbert Marcuse, murid Heidegger; Erich Fromm ahli psikoanalisa Freud; Walter
Benyamin kritikus sastra, Max Horkheimer, Jurgen Habermas dan sebagainya.
Sejak awal secara eksplisit sekolah Frankfurt menempatkan ajaran Marxisme
sebagai titik tolak pemikirannya .Walaupun sebagaimana diketahui melalui sekolah ini
pula ajaran-ajaran Marx diperbarui dan bahkan ditinggalkan. Disamping itu sekolah
Frankfurt juga men-dasarkan diri pada perspektif idealisme Jerman yang dirintis
Immanuel Kant (kritisisme), memuncak pada ajaran Hegel melalui dialektikanya serta
ketika Horkheimer sebagai pimpinan Frankfurt School teori kritis mendapatkan
penyegaran melalui ajaran Freud dan Habermas sendiri seperti Althuser yang
memperbaharui teori Marx dengan konsentrasi pada ideologi .
Berpikir kritis memerlukan: pertama, berpikir kritis adalah berpikir secara
dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir secara totalitas. Totalitas bukan berarti
semata-mata keseluruhan di mana unsur-unsurnya yang bertentangan berdiri sejajar.
Tetapi totalitas itu berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan
saling bermediasi (memperantarai dan diperan-tarai). Pemikiran dialektis menekankan
bahwa dalam kehidupan yang nyata pasti unsur-unsurnya saling berkontradiksi,
bernegasi dan bermediasi. Pemikiran dialektis menolak kesadaran yang abstrak,
misalnya individu dan masyarakat. Menurut pemikiran dialektis, individu selalu saling
berkontradiksi, bermediasi dan bernegasi terhadap masyarakat .

Berpikir kritis adalah berpikir yang dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir
dalam perspektif empiris historis antara kesatuan teori dan praksis, namun pengertian
teori dan praksis ini sering menjadi persoalan). Hal ini jelas berbeda dengan orang yang
salah paham bahwa persoalan teori dan praksis mesti dipikirkan sebagai persoalan
bagaimana agar suatu teori itu dapat diaplikasikan pada kehidupan praktis, sebab
pengertian itu seakan-akan menganggap bahwa teori dan praksis sebagai dua bidang
yang berbeda, pada hal pengetian teori dan praksis hanyalah dua dimensi dari manusia
yang satu dan sama, sehingga satu sama lain memang saling bisa dipisahkan dan saling
mengecualikan. Pemikiran dialektis tidak mengandaikan adanya kesenjangan antara
teori dan praksis yang harus dijembatani melainkan bagaimana suatu teori dapat
membuahkan praksis.
Konsep utama teori kritis di samping bersumber pada Kant, Hegel juga pada
Marx tentang kritik ekonomi politik Marx. Menurut penganut Frankfurt school kritik
ekonomi politik Marx harus diubah menjadi kritik sosiologi politik. Sebagaimana
pendirian Marx bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka
melainkan sebaliknya keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran mereka.
Kritik Ideologi melalui Freud. Erich Fromm lah yang memasukkan psikoanalis
Freud ke dalam ajaran teori kritis. Menurut Fromm kritik ideologi Marx membutuhkan
psikoanalisa, sebab psikoanalisa dapat mempertajam kritik ideologi Marx. Menurut
Marx ideologi itu adalah kesadaran palsu, maksudnya ideologi tidak menggambarkan
situasi nyata manusia secara apa adanya. Ideologi menggambarkan keadaan secara
terpuntir atau terbalik.
A. THEODOR W. ADORNO
Theodor W. Adorno, atau disebut juga Theodor Adorno, mempunyai nama
lengkap Theodor Adorno Ludwig Wiesengrund. Dia dilahirkan di kota Frankfurt,
Jerman pada 11 September 1903, dan meninggal dunia pada 6 Agustus 1969 pada umur
65 tahun. Adorno adalah seorang yang multi-talented (ahli dalam banyak bidang),
disamping terkenal sebagai filsuf, dia juga terkenal sebagai sosiolog, musikolog, dan
komponis.

Pada tahun 1918- 1919, (waktu itu ia berusia 15 tahun) Adorno tercatat sebagai
murid dari Siegfried Kracauer hingga lulus dari pendidikan di tingkat gymnasium.
Setelah itu Adorno melanjutkan studinya di Universitas Frankfurt untuk belajar
sosiologi, filsafat dan musik, yang dimulai sejak tahun 1921 hingga selesai pada tahun
1924.
Pada waktu terjadi huru-hara di Jerman, dimana Partai Nazi, yang dipimpin
Adolf Hitler berusaha menghabiskan semua bangsa Yahudi yang berada di Jerman
dengan cara membantai mereka, maka Adorno, yang notabene keturunan Yahudi dari
garis ayahnya, bersama beberapa tokoh mazhab Frankfurt yang lain, diantaranya Max
Horkheimer, Herbet Marcuse, dan Erich Fomm, memutuskan untuk pindah ke Amerika
Serikat.
Pada tahun 1937, Adorno berkunjung ke New York, dan memutuskan untuk
menetap di sana dan berpisah dengan sahabat dekatnya, Benjamin, yang tetap tinggal di
Eropa. Sejak saat itu komunikasi Adorno dengan Benjamin, demikian juga dengan
teman-teman yang lain, hanya sebatas melalui surat. Adorno mulai memfokuskan diri
untuk aktif di sebuah Institut Penelitian Sosial di Columbia University, dan selebihnya
perhatiannya dicurahkan sebagai direktur musik pada sebuah proyek radio, yang
dipimpin oleh seorang sosiolog Austria, Paulus Lazarsfeld, di Universitas Princeton.[7]
Selama di Amerika, Adorno juga rajin menulis, yang menjadikannya terkenal. Adorno
bersama para anggota Mazhab Frankfurt yang berada di Amerika menyaksikan secara
langsung situasi di Amerika saat itu, dimana budaya media, yang mencakup film, musik,
radio, televisi, dan budaya massa lainnya dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa
ada campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yang
merupakan ciri masyarakat kapitalis, dan kemudian menjadi fokus studi budaya kritis.
Horkheimer dan Adorno lalu mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut
industri kebudayaan yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi
budaya dibawah hubungan produksi kapitalis.
Selain tinggal di New York, Adorno juga pernah tinggal di California, dan
kembali ke Jerman pada tahun 1949 setelah berlalunya huru-hara di Jerman, yang cukup

mencekam bagi bangsa Yahudi. Di Jerman ia mengambil posisi sebagai filosof di bagian
departemen filosofi. Disamping itu ia juga sempat menjadi pemimpin intelektual Jerman
dan tokoh sentral di Institut Riset sosial yang berdiri tahun 1923 yang sebelumnya di
pimpin oleh Max Horkheimer sejak 1930 yang dikenal dengan sebutan Frankfurt
School.
Dari sepanjang perjalanan kehidupan Adorno bersama kawan-kawan yang
tergabung dalam mazhab Frankfurt, mulai dari pengalaman menerima tekanan Nazi
yang diluar batas nilai kemanusiaan, menyaksikan situasi di Amerika Serikat dengan
komersialisasi nilai seni dan budaya,

dan permasalahan-permasalahan sosial yang

diakibatkan oleh arus modernisasi pada saat itu, pada gilirannya banyak mewarnai corak
berpikirnya, yang kemudian melahirkan sebuah Teori yang dikenal dengan sebutan
"Teori Kritis.
Dialektika Pencerahan.
Dialektika Pencerahan adalah judul sebuah buku, karya terkenal dari Max
Horkheimer dan Theodor W. Adorno yang ditulis bersama pada tahun 1944. Buku ini
aslinya ditulis dalam bahasa Jerman dengan judul Dialektik der Aufklarung dan
diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai Dialectic of Enlightenment. Secara
umum isi buku tersebut bermuatan kritik terhadap modernitas, yang dipandang oleh
Adorno dan Horkheimer, sebagai sejarah dominasi atau penguasaan. Pemikiran mereka
secara umum senada dengan kritik Karl Marx, adapun yang membedakan adalah bahwa
Adorno dan Horkheimer tidak menjelaskan sejarah penguasaan dari hubungan produksi,
melainkan dari dorongan psikologis manusia yang berkeinginan kuat untuk menguasai
pihak lain.
Melalui Dialektika Pencerahan tersebut Adorno dan Horkheimer, lebih jauh,
mengkritik kesadaran yang ada pada masyarakat itu sendiri, dengan kesadaran modern,
yang dengannya bahwa rasio sebagai alat utama dominasi. Lebih lanjut, Adorno dan
Horkheimer juga beranggapan bahwa pencerahan yang dipandang sebagai kemajuan
dari cara pandang mitologis, sebenarnya telah menjadi mitos itu sendiri. Lebih jauh,

mitos itu pada gilirannya juga menghasilkan penindasan dan penguasaan manusia yang
satu terhadap yang lainnya. Kenyataan terjadinya penindasan tersebut, antara lain
sebagaimana yang dialami Adorno sendiri, yaitu dengan munculnya ideologi fasisme di
Jerman, disamping juga kepincangan-kepincangan yang diakibatkan dari kemajuan
teknologi yang telah memanupulasi manusia, pada umumnya.
Dalam karyanya tersebut, Adorno berusaha memberikan analisis konseptual
tentang bagaimana pencerahan yang pada mulanya ditujukan untuk mengamankan
kebebasan dari ketakutan dan otoritas manusia, berubah menjadi beberapa bentuk
dominasi politik, sosial, dan budaya, dimana manusia kehilangan individualitas dan
masyarakat kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini diberikan dengan penjelasan
tentang motif konseptual dari proses rasionalisasi masyarakat dalam konteks Weberian,
dimana dominasi kapitalis merupakan bahaya terbesar yang muncul darinya.
Objek sentral dalam Teori kritis Adorno adalah hubungan saling keterpengaruhan
antara pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk
konkrit kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada ide
tentang masyarakat sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah Teori
menjadi kritis dengan ketegasan terhadap ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang
dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.
Namun demikian, Teori Adorno dan Horkeimer tersebut ditentang oleh Jurgen
Habermas, yang notabene sebagai asisten dari Adorno sendiri, disamping juga sebagai
salah satu dari tokoh penting dari kelompok Mazhab Frankfurt. Habermas mengatakan
bahwa Teori tersebut sebagai sebuah dialetika negatif, dan merupakan proyek filsafat
analog dengan dekonstruksi Derrida. Dialektika negatif dan dekonstruksi merupakan
dua jalan keluar untuk persoalan yang sama, yaitu ketika rasionalitas Pencerahan tak
mungkin dipertahankan. Rasionalitas pencerahan merupakan muasal dari totalitarisme
filsafat dan politik abad ke duapuluh dan tak ada jalan keluar darinya kecuali dengan
meninggalkannya.

BAB V
TEORI SOSIOLOGI POSTMODERNISME
Postmodernisme Dan Perkembangan Ilmu Sosial
Postmodernisme dalam perkembangannya banyak sekali menuai penilaian dan
pandangan dari makna murni dari postmodernisme. Sebagian besar orang mengartikan
postmodernisme sebagai sesuatu yang beda, semau gue, dan biasanya melenceng dari
kebiasaan umum masyarakat sehingga banyak yang memaknai postmodernisme sebagai
hal yang negative. Postmodernisme banyak merasuki aspek kehidupan, seperti Seni
posmo, sastra posmo, film posmo, arsitektur posmo, ideology posmo, budaya posmo,
dan bahkan teologi posmo adalah beberapa contoh maraknya kehadiran ide
posmodernisme dalam berbagai sisi kehidupan kontemporer. Padahal posmodernisme
perlu diletakkan secara prooporsional dalam tataran arus pemikiran filsafat dan social
terkini dengan merujuk pada pemikiran tokoh-tokoh teori social postmodern.
Dalam wilayah sosiologi, kajian tentang postmodernisme baru manemukan bentuk
dan kematangannya pada rentang waktu antara tahun 1960 hingga 1980-an. Beberapa
tokoh pemikir postmodern diantaranya adalah Jean Francois Lyotard, Michel Foucault,
Jacques Derrida, jean Baudrillard, dan Friedrich Jameson. Meskipun masih terus
berkembang hingga saat ini, harus diakui bahwa puncak pemikiran posmodernisme
terjadi pada era tahun 1980-an. Istilah posmodernisme secara harfiah berarti setelah
modernism. Posmodernisme adalah sebuah realitas seni, filsafat, budaya, politik dan
social, yang menjadi dasar kondisi atau keberadaan atau sesuatu yang berkaitan dengan
lembaga dan kondisi yang disebut sebagai posmodernitas. Dengan kata lain,
posmodernisme adalah sebuah fenomena budaya dan fikiran, terutama dalam gerakan
seni sejak tahun 1920-an, sementara posmodernitas lebih terfokus pada ranah social dan
politik sejak tahun 1960-an di dunia barat. Jika merujuk makna kamus, oxford English

Dictionary mendefinisikan posmodernisme sebagai suatu gaya dan konsep dalam seni
yang dicirikan oleh sikap ketidakpercayaan terhadap teori dan ideologi.
Posmodernisme awalnya merupakan reaksi terhadap modernism. Posmodernisme
merujuk pada bentuk-bentuk kebudayaan, intelektual, dan seni yang telah kehilangan
hirarki atau prinsip kesatuan serta disarati kompleksitas eksrim, kontradiksi, ambiguitas,
perbedaan, dan kesalingtautan sehingga sulit dibedakan dengan parodi. Maka dari itulah
lahir istilah postmodernitas yaitu istilah turunan postmodernisme yang merujuk pada
aspek-aspek non seni sejarah yang di pengaruhi oleh berbagai gerakan baru, terutama
perkembangan dalam dunia social, ekonomi dan kebudayaan sejak tahun 1960-an.
Ketika pemikiran tentang penolakan terhadap modernism diadopsi oleh ranah teori yang
lain, dalam beberapa hal ia menjaddi sama dengan postmodernitas. Istilah
postmodernistas sendiri juga sering dikaitkan dengan postrukturalisme (ala micheal
Foucault) dan dengan modernism dalam pengertian penolakan terhadap budaya bejouis
elit, dan masih banyak lagi pandangan modernisme ala tokoh-tokoh lainnya.
Munculnya teori social postmodern selanjutnya telah mendorong perkembangan
ilmu social kontemporer dewasa ini. Di satu sisi, munculnya teori social postmodern
patut Diapresiasi. Merujuk Pauline M. Rosenau (1992) kemunculan teori-teori social
postmodern ini telah mengandung lahirnya kesadran kritis dan reflektif terhadap
paradigma postmodernisme yang dianggap banyak melahirkan patologi modernitas. Di
sisi lain, kesemarakan yang menyelimutiti perkembangan teori social postmodern telah
pula melahirkan euphoria berlebihan yag menganggap paham postmodernisme akan
mengubur paham modernism dan menjadi satu-satunya pandangan dunia yang benar.
Sikap demikian tentu saja bertolak dengan keyakinan postmodernisme yag justru
menolak segala bentul narasi besar (grand narratives) dan absolutism kebenaran.
Akar Sejarah Teori Sosial Postmodern
Jejak- jejak pemikiran yang bernaung di bawah payung postmodernisme : senisastra,
politik, ekonomi, arsitektur,sosiologi, antropologi dan filsafat sebenarnya dapat dilacak
jauh ke alur sejarah modernitas istilah modern yang berarti zaman baru berasal dari

bahsa latin modernus. Sementara itu istilah modernitas (modernity) diartikan sebagai
kondisi social budaya masyarakat modern. Istilah ini sekaligus menggambarkan
hubungan antar massa ini dan massa silam, serta sebagai kurun sejarah yang berbeda
dimana modernitas lebih superior di banding masa sebelumnya.
Modernisasi (modernization) berarti proses berlangsugnya proyek mencapai kondisi
modernitas. Modernisasi mencangkup proses pengucilan karya-karya klasik, warisan
masa lampau, sejarah purbakala, karena modernitas pada hakekatnya mengambil posisi
yang berlawanan dengan hal-hal lama demi terciptanya hal-hal baru. Dngan demikian,
modernisasi adalah pandangan sikap hidup yang dianut untuk menghadapi massa kini
yakni pandangan dan sikap hidup dalam meghadapi kenyaan hidup masa kini.
Modernisasi di tandai oleh pemusatan hubungan secara tegas terhadap nilai-niilai
tradisional ; berkembangnya system kapitalisme progresif, rasionalisasi administrative,
serta diferensiasi social dan budaya ( Featherstone , 1988).
Disisi lain , marshall berman dalam kajiannya tentang modernism menyatakan
bahwa era modern telah di mulai sejak era renaisans abad ke -16 M berkembang dalam
tiga fase sejarah modernism. Fase pertama, adalah modernisme yang berkembang
semenjak awal ke-16 M hingga akhir abad ke -18 M, dimana orang baru mulai
merasakan pengalaman kehidupan modern, modernism pada tahap ini di tandai oleh
mulai diyakinya rasio, keberanian menghadapi kehidupan secara nyata, memudarnya
religuisitas dalam berbagai segi kehidupan, serta lahirnya pemberontakan kreatif dalam
dunia seni. Fase kedua, adalah modernisme di tandai dengan revolusi perancis dan
kekacauan sosial, politik, ekonomi yang seringkali dihubungkan dengan momentum
Gelombang revolusi besar 1790. Fase ketiga adalah modernisme yang di mulai ketika
terjadi proses modernisasi global dan pembentukan kebudayaan dunia dan modern
secara massal dimana semakin banyak terjadi kekacauan social dan politik, ketidak
pastian dan ancaman terhadap realitas dunia baru terbentuk inilah puncak anomaly
realitas modern, yang ternyata tidak mampu mewujudkan impian menciptakan
kehidupan yang lebih baik, dan justru sebaliknya, menciptkan berbagai masalah beasr
yang menyengsarakan umat manuaia (smart,1990;16).

Merujuk Marx Weber, rasionalitas Modernisme memiliki dua karakter mendasar.


Pertama sebagai Rasionalitas tujuan (Zweckrationalitat). Kedua sebagai Rasionalitas
nilai, rasionalitas modernisme mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis, dan
religius. (Wertrationalitat). Namun, diantara kedua bentuk rasionalitas ini yang sangat
dominan dalam realitas dunia modern adalah Rasionalitas tujuan. Rasionalitas itu sendiri
adalah suatu problema hidup yang berdasarkan pada jaman modernisasi seperti
sekarang ini, contohnya di kota-kota besar. Menurut Weber, modernitas merupakan
konsekuensi proses modernisasi, dimana realitas social berada dibawah bayang-bayang
dan dominasi asketisme, sekulerisasi, klaim universalistik tentang rasionalitas
instrumental, diferensiasi bidang-bidang kehidupan, birokratisasi ekonomi, praktekpraktek politik dan militer, serta tumbuhnya moneterisasi nilai-nilai.
Secara Epistimologis, modernitas meliputi empat unsur pokok. Pertama,
subjektifitas reflektif, yakni pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam
memecahkan masalah-masalah kehidupan.kedua , subjetivitas yang berkaitan dengan
kritik atau refleksi, yakni kemampuan untuk menyingkirkan kendala-kendala kebebasan
dari tradisi dan sejarah.Ketiga , kesadaran historis yang di munculkan oleh subjek,
bahwa waktu berlangsung secara linear, unik, tak terulangi dengan titik berat pada
kekinian titik sejarah. Keempat, universalisme yang mendasari ketiga unsure
sebelumnya. Dengan universalisme di maksudkan bahwa elemen-elemen modernitas
bersifat normative untuk masyarakat yang akan melangsungkan modernisasi. Dengan
modernisasi, kebenaran wahyu di uji dihadapan rasio, legitimasi kekuasaan di gugat
melalui kritik dan kesahilan tradisi dipertanyakan berdasarkan harapan akan masa depan
yang lebih baik.
Postmodernisme Dan Kondisi Masyarakat Postmodern
pada kisaran tahun 1960-an, postmodernisme telah muncul sebagai diskursus
kebudayaan yang banyak menarik perhatian. Berbagai bidang kehidupan dan disiplin
ilmu seperti: seni, arsitektur, sastra, sosiologi, sajarah, antroplogi, politik dan filsafat
hamper secara bersamaan memberikan tanggapan terhadap tema postmodernisme. Seni

postmodern diantaranya adalah hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari,
runtuhnya distingsi antara budaya tinggi dan budaya massa / popular, maraknya gaya
eklektis dan campur aduk, munculnya kitsch, parody, Pastiche, camp, dan ironi,
merosotnya kedudukan pencipta seni,serta adanya asumsi seni sebagai penanggulangan,
perpetual art (Featherstone,1988).
Penggunaan istilah postmodernisme dan berbagai turunannya selanjutnya perlahanlahan mulai menyentuh bidang-bidang lain. Dalam bidang arsitektur, istilah
postmodernisme mengacu pada perlawanan bentuk-bentuk arsitektur modern. Arsitektur
modern dikenali dengan cirri-cirinya yang menonjolkan keteraturan, rasionalitas,
objektif, praktis, ruang isotropis dan estetika mesin. sebaliknya, menawarkan konsep
bentuk asimetris, ambigu, naratif, simboloik, terpiuh, penuh kejutan, dan variasi,
ekuivokal, penuh ornament, metaphor serta akrab dengan alam (Andy Siswanto,1994).
Merujuk Akbar S.Ahmed, dalam buku nya Postmodernisme and Islam(1992)
terdapat delapan rincian cirri karakter sosiologis postmodernisme.Pertama, timbulnya
pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas. Kedua, meledaknya industry
media massa, sehingga ia seolah merupakan perjuangan dari system indera organ dn
syaraf. Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaaan.Keempat, munculnya
kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan
romantisme dengan masa lampau.Kelima,semakin menguatnya wilayah perkotaan
(urban Area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan (ru ral area)
sebagai daerah pinggirin.Keenam,semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas
social atau kelompok minoritas untuk mengemukakan pendapatnya secara lebih bebas
dan terbuka. Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklesitisme dan
pencampuradukan berbagai diskursus, nilai keyakinan dan potret serpihan realitas,
sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada
kelompok budaya tertentu secara eksklusif. Kedelapan, bahasa yang di gunakan dalam
diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan makna
dan konsisten , sehingga bersifat paradox (Ahmed,1992).

Sementara itu, sejumlah kalangan memandang postmodernisme sebagai bagian dari


proyek modernism yang belum usai (misalnya Juergen Habermas dan Mahzab Frankfurt
generassi kedua), namun sejumlah kalangan yang lain memandang postmodernisme
sebagai penolakan radikal terhadap nilai-nilai dan asumsi-asumsi modernism (misalnya
Lyotard, Derrida, Foucault) postmodernisme juga sering dirujukan pada berbagau
fenomena realitas masyarakat kontemporer dewasa ini sebagai masyarakat postindustry (post- industrial society)masyarakat computer (Computerized society)
masyarakat consumer (Consumer Society). Masyarakat media (media society),
masyarakat tontonan (spectacle society) atau masyarakat tanda (semiurgy society).
Jean Francois Lyotard: Narasi Besar dan Masyarakat Komputerisasi
Jean Francois Lyotard lahir di Versailes, prancis pada tahun 1924. Karir
akademiknya diawali sebagai guru sekolah menengah di Constantine, Algeria pada
tahun 1950. Tahun 1959 ia menerima tawaran untuk mengajar di University of Paris ,
Sorbonne. Selain mengajar di Sorbonne , Lyotard juga aktif sebagai anggota kelompok
kiri militant Perancis, Socialisme ou barbarie yang sangat terkenal pada saat itu. Tahun
1966 Lyotard meninggalakan Sorbonne untuk mengajar di Universitas of Nanterre.
Jean Francois Lyotard adalah pemikir filsafat dan social Perancis yang mulai
meletakkan dasar argumentasi filosofis dalam diskursus postmodernisme. Melalui
bukunya yang telah menjadi klasik, The condition of postmodern : A Report on
knowledge (1984). Lyotard mencatat beberapa cirri utama kebudayaaan postmodern.
Menurutnya, kebudayaan postmodern di tandai oleh beberapa prinsip yakni; lahirnya
masyarakat komputerisasi, runtuhnya narasi-narasi besar modernism, lahirnya prinsip
delegitimasi, disensus, serta paralogi.
Menggarisbawahi sifat transformative masyarakat komputerisasi yang lebih terbuka,
majemuk, plural dan demokratis, Lyotard selanjutnya menyatakan bahwa kebenaran
yang di bawa oleh narasi-narasi besar ( Grand Narratives) modernisme sebagai
metanarasi kini telah kehilangan legitimasinya. Hal ini karena dalam masyarakat
kontemporer, sumber pengetahuan dan kebenaran pengetahuan tidak lagi tunggal.

Realitas kontemporer tidak lagi homolog ( Homo: satu dan logi : tertib, nalar )
melainkan paralog ( para : Beragam, dan logi : tertib nalar ) (awuy, 1995). Pengetahuan
dan kebenaran kini menyebar dan plural. Konsekuensinya, prinsip legitimasi
modernisme harus di bongkar dengan prinsip delegitimasi. Dengan legitimasi , berarti
diakui adanya berbagai unsure realitas yang memiliki logikanya sendiri. Dengan
legitimasi , menurut lyotard, prinsip lain yakni disensus menjadi lebih bisa diterima
ketimbang prinsip consensus seperti ditawarkan Juergen Habermas.
Mihel Foucault : Kuasa Pengetahuan Era Postmodern
Michel Foucault adalah filsuf, sjarawan dan sosiolog kontemporer prancis. Ia
dilahirkan di Poitiers, Prancis pada tanggal 15 oktober 1926 dengan nama Paul- Michel
Foucault dari sebuah keluarga kaya. Ayahnya Paul Foucault adalah seorang dokter bedah
terkenal di prancis pada saat itu. Pendidikan dasarnya di selesaikam di sekolah katolik,
Jesuit College Saint-stanislas dan dilanjutkan ecole Normale sperieure (rue dulm)
sekolah prestius yang di anggap sebagai pintu masuk karir akademik terbaik di bidang
humaniora di Prancis.
Foucault sangat dikenal karena karya-karya kritisnya mengenai institusi social
peripheral (pinggiran), penjara, rumah sakit jiwa, kegilaan, ilmu-ilmu kemanusiaan, dan
sejarah seksualitas. Pemikiran Foucault tentang kekuasaan, hubungan kuasa,
pengetahuan dan diskursus serta arkeologi pengetahuan banyak di perbincangkan dalam
kajian post-strukturalisme. alam bukunya the order of things;an archaeology of Human
sciences (1966),Foucault membahas konsepsi sejarah dan memperkenalkan istilah
genealogi sejarah, sebuah istilah yang di pengaruhi oleh gagasan genealogi Nietzsche.
Menurut Foucault, genealogi sejarah adalah konsepsi sejarah yang secara sadar
mendelegitimasi masa kini dan memisahkannya dari masa lalu. Tujuannya adalah untuk
menghapuskan delegitimasi masa kini sehingga dapat menemukan perbedaan khas masa
lalu dan masa kini. Ketika teknologi kekuasaan masa lalu di uraikam secara rinci , maka
asumsi- asumsi masa kini yang memandang masa lalu sebagai irasional akan runtuh.

Dalam bukunya yang lain madness and insanity; History of madness in the classical
age (1961) Foucault meneliti sejarah kegilaan dan peradaban masyarakat barat. Menurut
Foucault kegilaan sebenarnya memiliki sumbangan tersendiri terhadap peradaban barat.
Berdasarkan pnelitian yang dilakukannya, menurut Foucault, genealogi kegilaan sejak
abad ke -17 M memperlihatkan telah terjadinya praktik pemenjaraan moral yang
dilakukan melalui mekanissme disiplin dan penghukuman orang-orang gila.
Penghukuman orang-orang gila, sejatinya bukan sekedar pemenjaraan fisik semata ,
namun lebih dari itu adalah sebuah praktik pemenjaraan moral.
Melalui bukunya Discipline and punish: The birth of the prison (1975) menurut
Foucault telah terjadi monarkis ke kuasaan mode kekuaan mode pelaksanaan kekuasaan
disipliner. Dalam masyarakat feudal, kekuasaaan pengadilan tidak banyak menahan
pelaku kejahatan, namun hukuman di berikan secara spektakuler sehingga orang lain
takut untuk melakukan kejahatan yang sama. Inilah mode kekuasaan monarkis.
Sementara itu, muncul mode kekuasaan baru, yaitu kekuasaan disipliner dimana
ditanamkan system pengawasan yang diinternalisasikan hingga setiap orang menjadi
pengawas bagi dirinya sendiri (mirip Konsep Panopticon dari Jeremy Bentham)
Dengan upaya besar dan cerdasnya ini, faucault telah memberikan dua sumbangan
besar terhadap postmodernisme. Pertama, keberhasilannya menyingkap mitos-mitos
modernism yang menampilkan dirinya sebagai kebenaran absolute, yang universal,
namun sebenarnya palsu. Kedua, pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang
selama ini di tindas oleh rasionalitas modern, tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih
di dengar dan di perhatikan.
Jacques Derrida : Dekontruksi Modernitas
Jacques Derrida adalah seorang filsuf dan pemikir social berkebangsaan perancis
yang lahir pada tanggal 15 juli 1930, di El Biar, Algeria. Dididik dalam tradisi
pendidikan Perancis , tahun 1949 ia belajar di Ecole Normale superiure (ENS) sebuah
sekolah elit di paris kemudian mengajar filsafat di univer itas Sorbonne (1960 hingga
1964)Ecole Normale superieru (1964 hingga 1984). Sejak tahun 1960-an mulai

mempublikasikan buku dan karya ilmiah di jurnal-jurnal ternama. Ia juga banyak


memberikan kuliah di universitas terkenal di Amerika serikat , termasuk di Yale
University of California. Derrida meninggal pada tanggal 8 oktober 2004 di paris
Perancis.
Derrida terutama dikenal sebagai pendukung utama dekonstruksi, sebuah istilah
yang merujuk pada strategi kritis yang menggugat konsep pembedaan atau oposisi biner,
yang melekat dalam sejarah pemikiran barat. Melalui dekonstruksi, derrida mencoba
meletakkan kembali kedudukan struktur dalam keadaan aslinya, yakni keadaan dimana
relasi antara pusat pinggiran belum lagi mengeras. Denganya diinginkan pluralitas dan
heterogenitas kehidupan yang membeku dan tertindas selama masa modernismekembali
terhampar.dengan dekonstruksi,wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok
etnis,kaum feminis,dunia ketiga,ras kulit hitam, kelompok guys, hippies, punk, atau
gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan dengan konstruksi, sejarah
modernisme hendak di tampilkan tanpa kedok, apa adanya.
Pada tahun 1960-an, karya derrida mulai diterima di Perancis dan di luar Perancis
sebagai

gerakan

interdisipliner

yang

dikenal

dengan

nama

strukturalisme`.

Strukturalisme menganalisis berbagai fenomena kebudayaan seperti mitos, ritual agama,


cerita sastra, fashion dan lain-lain. Beberapa karya derrida juga dianggap sebagai kritik
terhadap pemikiran tokoh-tokoh strukturalisme seperti Saussure, Calude Levi-Strauss,
dan Michel Foucault sehingga beberapa kalangan menyebutnya sebagai penyokong
poststrukturalisme, lebih dari semua itu, terutama karena keberhasilannya
membongkar sifat paradox cerita-cerita besar modernitas melalui dekonstruksi, derrida
banyak di golongkan sebagai salah satu pemikir utama teori postmodern.
Jean Baudrilland : Dunia simulasi dan Hiperrealitas Postmodern
Jean Baudrilland dilahirkan di kota Riems, Prancis barat pada 5 januari 1929.
Bersama saudara-saudaranya yang lain baudrilland hidup dalam tradisi keluarga petani
urban yang sederhana. Ia adalah seorang pertama dalam keluarganya yang bekerja
sebagai ilmuwan secara serius. Pada tahun 1966 Baudrilland menyelesaikan tesis

sosiologisnya di Universitas Nanterre di bawah bimbingan Henry Lefebvre, seorang


anti-strukturali perancis kondang saat itu. Setahun setelah lulus , ia kemudian masuk
universitas Nanterre, untuk mengajar di sana. Setelah setahun mengajar, selanjutnya
baudrilland bergabung dengan Roland Barthes mengajar di Ecole Des Hautes Etudes.
Menurut Baudrilland, perkembangan kapitalisme lanjut semenjak tahun 1920-an
menunjukkan perubahan dramatis karakter produksi dan konsumsi dalam masyarakat
consumer. Dalam era ini, segala upaya pada penciptaan dan peningkatan kapasitas
konsumsi melalui permassalan produk, differensiasi produk dan manajemen pemasaran.
Dalam masyarakat konsumer , objek-objek konsumsi yang berupa komoditi tidak lagi
sekedar memiliki manfaat (nilai guna ) dan harga (nilai tukar)seperti dijelaskan Marx.
Namun lebih dari itu ia kini menjadi symbol gaya hidup, prestise, kemewahan, dan
status social pemiliknya.
Dunia simulacra, yang menjadi wacana dominan keasadaran masyarakat barat
dewasa ini, papar baudrilland, sebenarnya telah ada semenjak era renaisans. Realitas
simulacra memiliki tiga tingkatan periode historis, yaitu, Orde Pertama, berlangsung
semenjak era Renaisans- Feodal Hingga permulaan Revolusi industry. Dalam orde ini
realitas dunia dipahami berdasarkan prinsip hokum alam, dengan cirri ketertiban,
keselarasan, hierarki alamiah serta bersifat tresenden. Alam menjadi pendukung utama
sekaligus determinan kebudayaan. Simulacra Orde Kedua, berlangsung bersamaan
dengan semakin gemuruhnya era industrialisasi yang merupakan konsekuensi logis
Revolusi Industri.revolusi industri disatu sisi telah memberikan sumbangan besar bagi
perkembangan kebudayaan. Namun di sisi lain revolusi industry juga menimbulkan
akses-akses negative kebudayaan. Logika produksi yang menjadi prinsip simulacra orde
kedua. orde ketiga, lahir sebagai konsekuensi logis perkembangan ilmu dan teknologi
informasi, komunikasi global, media massa, konsumerisme, dan kapitalisme pada era
pasca perang dunia II.
Sementara melalui karyanya the ectasy of communication(1987) Baudrilland
menyatakan bahwa dengan transparasi makna dan informasi, masyarakat barat dewasa

ini telah melampaui ambang batas menuju keadaan permanent ectasy, ektasi
social(massa) ektasi tubuh (kegemukan) ektasi seks (kecabulan) ektasi kekerasan
(terror) dan ektasi informasi (simulasi).
Fredrich Jameson : Kapitalisme lanjut dan Postmodernisme
Fredich jameson adalah pemikir social Marxian berkebangsaan America serikat yang
lahir di Cleveland, Ohio, America Serikat. Setelah lulus dari Haverlord collage pada
tahun 1954, ia pergi ke Eropa dan belajar di aix-provence, Munich serta berlin dimana
ia mempelajari perkembangan terbaru dalam kajian filsafat, terutama strukturalisme. Ia
kembali ke America serikat untuk menyelesaikan studinya doctoral di Yale University
selama tahun 1960 hingga 1965.
Pergeseran minat jameson menuju paham marxisme juga didorong oleh hubungan
politik pribadinya yang semakin meningkat dengan tokoh-tokoh gerakan kiri baru.
Dalam banyak hal , jameson bersama dengan pemikir kritik kebudayaan Marxian
lainnya yaitu Terry eagleton, berusaha menjelaskan peran penting pandangan Marxian
terhadap trend filsafat dan sastra kontemporer. Setelah pindah ke University of
California, san diego pada tahun 1967, Jameson menerbitkan buku berjudul Marxism
and Form Twentieth- century Dialectical Theories of literature (1971) dan The PrisonHouse Of Language: A Critical Account Of structuralism And Russian Formalism
(1972).
Karya penting fredich Jameson Mengenai pedidikan postmodernisme adalah
bukunya yang berjudul Postmodernisme or the Cultural Logic Of the late Capitalism.
Dalam buku ini jameson menyatakan bahwa kapitalisme saat ini telah menjadi cara
pandang dominan masyarakat kontemporer dewasa ini. Dengan buku ini jameson
bermaksud mengkritik postmodernisme dan menolak pendapat sebagian besar pemikir
postmodernisme, terutama Jean francois Lyotard dan jean Baudrilland.
Dalam bukunya yang menjadi klasik tersebut, jameson juga memberikan ciri- ciri
masyarakat yang cenderung negative sebagai berikut;

1) postmodernisme di tandai oleh kedangkalan dan kekurangan kedalaman


2) Postmodernisme di tandai oleh kepura-puraan atau kelesuan emosi
3) Postmodernisme di tandi oleh hilangya makna sejarah
4) terdapat sejenis teknologi baru seperti televise dan computer yang melekat amat erat
dengan masyarakat postmodern.
Diantara pemikir-pemikir postmodern yang lain, Fredich Jameson adalah salah
satu pemikir yang secara terbuka bersikap negative dan mengkritik pandangan teoritis
pemikiran social postmodern yang berkembang di awal abad ke-20 M.
Kritik Terhadap Teori Sosiologi Postmodern
Suara kritis terhadap teori sosiologi postmodern salah satunya dikemukakan oleh
Mark poster, Poster mencatat bahwa setidaknya terdapat lima kelemahan teori sosiologi
postmodern (Keller, 1994). Pertama, para pemikir teori social postmodern seringkali
tidak mampu menjelaskan dengan gamblang pengertian istilah-istilah kunci yag ada
dalam karya-karya mereka. Hal ini menimbulkan kekaburan pada gagasan-gagasan
orisinal yang dikemukakan pemikir postmodern.
Kedua, Poster memandang gaya menulis para pemikir teori sosiologi postmodern,
misalnya Baudrilland, aneh dan ganjil karena seringkali tidak di barengi dengan
argumentassi yang sistematik dan logis. Kelemahan ini, dengan sendirinya menjadikan
pemikiran-pemikiran sosiologi postmodern kehilangan dasar argumentasi yang rasional.
Ketiga, para pemikir teroti postmodern, tanpa disadarinya, telah terjatuh ke dalam sikap
mentotalisasikan ide-ide pemikirannya, dan menolak untuk mengubah atau membatasi
pemikirannya.
Keempat, para pemikir teori sosiologi postmodern terkesan terlalu menafikan
kenyataan bahwa terdapat keuntungan-keuntungan dari perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi. Televise dan mediia massa dan internet dalam tampilannya

yang positif juga memberikan manfaat seperti misalnya mempercepat penyebaran


informasi tentang pendidikan, HAM Dan lingkungan, menyampaikan berita peristiwaperistiwaaktual yang tengah terjadi dan lebih membuka pemahaman akan sifat pluralism
dan humanism kebudayaan dewasa ini. Kelima, sikap fatalis dan nihilis yang secara
sadar banyak dipilih oleh pemikir social postmodernmenjadikan pemikiran-pemikiran
mereka jauh lebih dari nilai nilai moral dan agama.
Sementara itu Pauline M. rosenau , seorang pengamat teori social kontemporer
Amerika melihat terdapat 7 kontradiksi dalam pemikran postmodernisme:
a.Posisi anti-teori dari para pemikir postmodermisme sebenarnya justru merupakan
sebuah pendirian toritis.
b. Sementara postmodernisme menekankan pada hal-hal yang bersifat irasional, akal
pemikiran tetap di gunakan untuk memperluas pandangannya.
c. Sikap teori postmodernuntuk berfokus pada hal-hal yang terpinggirkandalam
dirinya sendiri sebenarnya merupakanpenekaran evaluatifatas hal-hal yang
diserangnya.
d. Postmodernisme menekankan inter-tekstualitas namun seringkali memperlakukan
teks secara tertutup.
e. Dengan menolak criteria modernism untuk menilai sebuah teori , para pemikir
postmodernisme tidak dapat menyatakan bahwa tidak ada criteria yang absah
untuk digunakan sebagai criteria penilaian.
f. Postmodernisme mengkritik inkonsestensi modernism, namun menolak untuk
norma konsistensi itu sendiri.
g. Para pemikir postmodern berkontradiksi di dalam dirinya sendiri dengan
menyampaikan klaim-klaim kebenaran dalam tulisan-tulisan mereka sendiri.

Sementara itu

Jurgen Habermas, Seorang Filsuf kontemporer Jerman, juga

memberikan kritikan terhadap pandangan postmodernisme. Dalam bukunya Modernity,


an incomplete project, habermas mengtakan bahwa proyek modernitas yang di mulai
sejak abad ke-19 demi membangun ilmu yang objektif, hukum dan dan moralitas
universal, serta seni yang otonom belum selesai. Para pemikir postmodern, menurut
Habermas, terlalu tidak sabar untuk menuntaskan proyek modernitas yang
seharusnyabisa mereka selesaikan. Dalam perdebatannya dengan beberapa pemikir
postmodern, terutama Baudrilland dan Lyotard, habermas tetap berpendirian bahwa
postmodernisme masih bisa dibenahi, yakni dengan prinsip consensus dan komunikasi
partisipasif.
Akhirnya, Christoper Norris, Seorang pemikir social America, dalam sebuah
bukunya Whats Wrong with Postmodernism: Critical Theory and the ends of Philosopy
(1990), Menyatakan bahwa saat ini kita telah sampai pada suatu titik dimana teori akan
berbalik pada arah melawan dirinya sendiri.menghasilkan sebentuk sikap epistemologis
skeptic dan ekstrim yang menghancurkan segala sesuatu, filsafat,politik,kritik,dan teori
pada tingkatan dimana nilai-nilai consensus menjadi sesuatu yang paling tidak menarik
untuk di bicarakan; inilah sikap postmodernisme.
Beberapa kritik tajam terhadap postmodernisme diatas patut menjadi catatan untuk
memahami teori social postmodern secara lebih jernih dan koheren. Setidaknya,
diperlukan sikap kritis, reflektif dan objektif dalam memandang realitas social dan
budaya kontemporer dewasa ini. diperlukan landasan nilai moral dan agama dalam
menyikapi realitas social dan kebudayaan yang begitu cepat berubah dewasa ini. Tanpa
landasan nilai moral dan agama, maka pembacaan dan penyikapan realitas social dan
kebudayaan dewasa ini, hanya akan sampai pada sikap nihilism, fatalism, dan
keputusasaan yang justru tidak menyelasaikan persoalan.

Daftar pustaka
Ritzer George. 2011. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta :
Rajawali Pers
Ritzer, George Dan Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Ed-6.Jakarta : Kencana
Http://Hmjaf.Blogspot.Com/2011/03/Pendahuluan-Istilah-Teori-Sosiologi.Html
(Diakses Pada Tanggal 27.04.2015)
Http://Kuliahsosiologi.Blogspot.Com/2011/03/Teori-Teori-Postmodern.Html (Diakses
Pada Tanggal 27.04.2015)
Http://Moving-Forw4rd.Blogspot.Com/2013/07/Sosiologi-Postmodernisme.Html
(Diakses Pada Tanggal 27.04.2015)

Anda mungkin juga menyukai