Akuntansi Syariah Vs Konvensional
Akuntansi Syariah Vs Konvensional
Akuntansi Syariah Vs Konvensional
com/materi-kuliah/akuntansisyariah/
AKUNTANSI SYARIAH VS AKUNTANSI
KONVENSIONAL
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu yang mencoba mengkonversi bukti dan data
menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan dikelompokkan
dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.
Kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar
hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan
dipergunakan sebagai aturan oleh seorang akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan,
analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan
suatu kejadian atau peristiwa.
Menurut Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul On Islamic Accounting, Akuntansi
Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman
pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada konsep Akuntansi yang harus
dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia dan Akuntansi
Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu hanief yang menuntut agar perusahaan juga
memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana
setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Allah SWT.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma
(kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan Uruf (adat kebiasaan)
yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi dalam Islam, memiliki
karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah
Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat Islami, dan termasuk disiplin ilmu
sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal
sebagai berikut:
1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Daftar Pustaka:
http://aharlibrary.wordpress.com/2007/03/15/mengenal-prinsip-akuntansi-syariah/
http://msi-uii.net/baca.asp?kategori=rubrik&menu=ekonomi&baca=artikel&id=96
http://re-searchengines.com/1107kesiper.html
http://shariahlife.wordpress.com/category/ekonomi/akuntansi-syariah/
http://kiamifsifeui.wordpress.com/?s=akuntansi+syariah
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
AKUNTANSI SYARIAH
KabarIndonesia - Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan "double entry". Menurut sejarah
yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku "Teori Akuntansi", disebutkan muncul di
Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau
menulis buku "Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita" dengan memuat satu bab
mengenai "Double Entry Accounting System". Dengan demikian mendengar kata "Akuntansi
Syariah" atau "Akuntansi Islam", mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa
hal itu sangat mengada-ada.
Namun apabila kita pelajari "Sejarah Islam" ditemukan bahwa setelah munculnya
Islam di
Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di
Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang
akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi
wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri
pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi
akuntan dengan sebutan "hafazhatul amwal" (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab
suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat
terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan
transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah
hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut
menyatakan "Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah telah mengajarkannya........."
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal
system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih
dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan,
Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi
dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan
dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.
Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan
jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita,
sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam
berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu'ara ayat 181-184 yang berbunyi:"Sempurnakanlah
takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan
timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah
kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang
telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu."
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga
menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan,
sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan
menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah
organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya.
Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan
kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya.
Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta
bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu
Auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut "tabayyun" sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah
Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu."
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran
di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam
Surah Al-Israa' ayat 35 yang berbunyi: "Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan
timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah
Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang
disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang
Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun
penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma
(kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan Uruf (adat kebiasaan)
yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki
karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah
Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu
sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal
sebagai berikut:
1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran
Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk
melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok
(kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian
berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi
kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang
kontinuitas;
2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap
(aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam
barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock),
selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama
kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk
pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua
kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan
konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan
berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya
dan resiko;
5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal
pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam
dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok)
dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang
haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah
ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra
usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli,
sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya
perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang
belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak
boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam
dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi
persamaannya hanya bersifat aksiomatis. Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang
berjudul "On Islamic Accounting", Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat
sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam
Akuntansi Islam ada "meta rule" yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu
hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai
dengan kecenderungan manusia yaitu "hanief" yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika
dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan
mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib
dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga
masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu
dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang
belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada
berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam
Al Qur'an. "......... Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri."
(QS.An-Nahl/16:89)
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=10&dn=20070327190527
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
berimbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan (falah) manusia dengan cara menciptakan
keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi sosio-ekonomi, serta
persaudaraan dalam masyarakat manusia. Triyumono menyatakan bahwa Akuntansi Syari'ah
merupakan salah satu upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk humanis dan
syarat nilai.
Sesuai dengan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka seluruh upaya dilakukan oleh
manusia harus mampu merespon kebutuhan masyarakat atau harus memiliki orientasi sosial.
Demikian pula upaya kita untuk mengembangkan Akuntansi Syari'ah. Akuntansi harus
berkembang dengan merespon kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut Gilling (1996) menjelaskan
situasi akuntansi yang intinya sebagai berikut:
Akuntansi adalah alat mekanis yang secara pribadi diterapkan pada kegiatan bisnis, akuntansi
berkembang menjadi media yang sangant penting untuk mengungkapkan pada fakta umum yang
penting tentang masyarakat modern dan komplek di mana kita hidup. Akuntansi bertindak sebagai
fungsi pencatatan dengan melaporkan informasi yang berguna bagi pemilik dan pemegang saham,
investor yang disebabkan pemisahan pemilikian dengan pengawasan tidak lagi memiliki
pengetahuan langsung tentang kondisi dan kegiatan usaha.
Tujuan akuntansi tidak lagi membuat pertanggungjawaban yang jelas bagi pemilik tetapi
membiarkan perusahaan survive. Di pihak lain akuntansi telah menjadi alat ukur menghitung
keuntungan perusahaan yang berbeda dari keuntungan sosial. Sementara, masyarakat
mengharapkan agar perusahaan bertindak sebagai koordinator dalam menggunakan SDM, bahan
dan dana untuk menghasilkan barang dan jasa dan dalam mendistribusikan hasilnya kepada
penyumbang. Tetapi sayangnya belum dikembangkan kepada metode untuk melaporkan kemajuan
masyarakat dan juga tidak membuat laporan hasil atas hasilnya.
Islam melalui Al Qur'an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para
pelaku
transaksi
atau
pembuat
laporan
akuntansi
adalah
menekankan
pada
konsep
pertanggungjawaban atau accountability, sebagai ditegaskan dalam surat Al Baqaroh ayat 282.
Disamping itu, Akuntansi Syari'ah harus berorietasi sosial. Akuntansi Syari'ah tidak hanya sebagai
alat ukur untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi sebagai
suatu metode untuk menjelaskan fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam.
Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi (1995) dalam bukunya yang berjudul On Islamic
Accounting yang dijelaskan bahwa akuntansi kapitalis, konsep Akuntansi Syari'ah, perhitungan
zakat dan kasus Feisal Islamic Bank di Kairo dan praktek bisnis di Arab Saudi. Hayashi
mengemukakan perbedaan yang mendasar antara akuntansi kapitalis dan Islam. Akuntansi Syari'ah
memiliki metarule yaitu hukum Islam yang digambarkan oleh Al Qur'an dan Hadits sedangkan
akuntansi kapitalis tidak memiliki itu. Akuntansi kapitalis hanya bergantung pada keinginan user
sehingga bersifat lokal dan situasional.
Harahap (1992) dalam bukunya berjudul Akuntansi, Pengawasan dan Manajeme dalam Perspektif
Islam, melihat dari sudut nilai-nilai Islam yang ada di dalam konsep akuntansi kapitalis. Dari
analisis terhadap prinsip dan sifat-sifat akuntansi dikemukakan, bahwa banyak prinsip akuntansi
yang sesuai dengan konsep Islam, seperti prinsip substance over from, reliability, objectivity,
timeline dan lain sebagainya (1992 : 8-9). Selanjutnya sesuai dengan perkembangan akuntansi
kapitalis banyak mengalami pemangkasan aspek-aspek yang tidak sesuai dengan kondisi lokal,
sehingga dia yakin konsep akuntansi kapitalis saat ini akan menuju irama Akuntansi Syari'ah.
Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (1996) yang berjudul An Invetigation of Accounting
Concepts an Practice in Islamic Banks, The Case of Bank Islam Malaysia Berhad dan Bank
Muamalat Indonesia yang dalam kesimpulannya sebagai berikut:
1. Secara koseptual, kedua bank masih memakai konsep dan praktik yang lazim dilakukan
dalam akuntansi konvensional.
2. Tinjauan kritis bahwa sebenarnya tidak semua konsep dasar akuntansi dapat diterima
secara syari'ah
3. Berdasarkan butir kedua di atas khususnya menyiratkan perlunya dibangun model
akuntansi yang memang sesuai dengan syari'ah, bila diharapkan terjadi konsistensi antara
gerak ekonomi Islam dan istrumen pendukungnya.
Dalam pandangan Iwan Triyuwono bahwa Akuntansi Syari'ah yang berorientasi sosial merupakan
salah satu upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat
nilai. Tujuanya adalah tercipta peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris,
transendental dan teleologikal. Konsekuensi ontologis dari hal ini adalah bahwa akuntan secara
kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas (peradaban) semu beserta jaringanjaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan
seperangkat jaringan-jaringan kuasa ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari.
Akuntansi Syari'ah adalah akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya
sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga
sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat
Islam. Akuntansi Syari'ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa dipikirkan oleh akuntansi
konvensional. Perilaku manusia diadili di hari kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu
derivasi/hisab yaitu menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek. Realitas Akuntansi
Syari'ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.
Akuntansi zakat menunjukkan proses di mana kekayaan diperoleh secara halal oleh perusahaan.
Ini merupakan salah satu contoh dari turunan hisab yang merupakan bidang akuntansi. Disamping
itu ternyata melalui Al Qur'an telah menggariskan bahwa konsep akuntansinya adalah penekanan
pertanggungjawaban atau accountability yang tujuanya menjaga keadilan dan kebenaran.
Akuntansi Konvensional Vs Islam
Wacana di sekitar akuntansi syariah ini muncul, kurang lebih sama dengan atau tidak lama setelah
kemunculan kembali bank Islam itu sendiri. Sejak itu banyak tulisan atau publikasi tentang
akuntansi syariah oleh para pakar misalnya Abdel Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi
(1988), Hayashi (1989), Adnan (1996), Triyuwono (1996), Harahap (1996), Muhammad (2005)
untuk menyebut beberapa contoh diantaranya.
Kendati ada kesan bahwa pada mulanya pakar berbeda pendapat dalam menilai urgensi perbedaan
Akuntansi Syari'ah dan konvensional, atau cukup merubah sedikit saja apa yang sudah ada dalam
akuntansi konvensional, namun dalam perkembangan berikunya, gumpalan semangat untuk
berbeda, ternyata lebih menguat. Ini memuncak setelah dilakukan berbagai studi yang kemudian
dijadikan landasan untuk dibentuknya The Financial Accounting Organization for Islamic Bank
and Financial Institutions (FAO-IBFI) pada tahun 1990. Dalam perkembangannya lembaga ini
kemudian berganti nama menjadi The Accounting and Auditing Organization for Islmic Financial
Institutions (AAO-IFI).
Ada sejumlah argumentasi yang diajukan, mengapa Akuntansi Syari'ah harus berbeda dengan
akuntansi konvensional. Diantaranya adalah karena faktor-faktor tujuan. Siapapun yang
bertransaksi dengan cara Islam, harus diasumsikan bahwa tujuannya adalah dalam rangka
mematuhi perintah Allah dan sekaligus ridha-Nya. Ini tentu sangat berbeda dengan tujuan yang
biasa ingin dicapai akuntansi konvensional, yang biasanya hanya sarat dengan nilai-nilai
keduniawian, tetapi kering dari nilai-nilai ukhrawi. Secara lebih spesifik, dengan merujuk pada
Statement of Financial Accounting (SFA) No. 1, alasan yang dipakai menyusun tujuan yang
berbeda untuk Akuntansi Syari'ah adalah karena:
1. Islamic banks must comply with the principles and rules of Shari'a in all their financial and
other dealings
2. The functions of Islamic banks are significantly different from those of traditional banks
who have adopted the Western model of banking
3. The relatioship between Islamic banks and the parties that deal with them differs from the
relatioship of those who deal with the traditional banks. Unlike traditional banks, Islamic
banks do not use interest in their investment and financing transactions, whereas
traditional banks borrow and lend money on the basis of interest....
Pendapat di atas rasanya cukup jelas dan masuk akal, bila kemudian disimpulkan bahwa wajar bahkan haruslah - Akuntansi Syari'ah tidak sama dengan akuntansi konvensional. Disamping itu
kalau seseorang mencoba memahami hakekat keberadaan akuntansi sebagai alat yang tidak bebas
nilai, dan bahkan penuh kompromi untuk berbagai kepentingan pihak tertentu. Ada dua aliran yang
terjadi, pertama adalah mereka yang menghendaki tujuan dan berbagai kaidah Akuntansi Syari'ah
dibangun atas dasar prinsip dan ajaran Islam, lalu membandingkannya dengan pemikiranpemikiran akuntansi kontemporer yang sudah mapan. Kedua, adalah berangkat dari tujuan dan
kaidah akuntansi konvensional yang sudah ada, kemudian mengujinya dari padang Islam. Bagian
yang dipandang sejalan diterima dan dipakai, sedangkan bagian yang dipandang tidak sesuai
ditolak.
Evalusai Kritis Akuntansi Konvensional
Akuntansi konvensional dikembangkan oleh ide orang Barat yang digunakan di seluruh dunia.
Sistem tersebut dikenal sebagai sistem yang paling baik di masyarakat. Hal ini disebabkan karena
mungkin ditandai dengan eksportasi teknologi akuntansi (yaitu teknik, institusi dan konsep dari
asosiasi akuntansi profesional yang
sangat dominan)
pengembangan perdagangan dan usaha harmonisasi internasional khususnya di negara Islam yang
sedang berkembang di dunia ini. Walaupun beberapa negara (seperti Malaysia dan Pakistan)
mencoba mengadaptasi bahkan mengadopsi seluruh ide, sebagai usaha minimal.
Demikian pula, pengenalan beberapa konsep dan nilai mendasar akuntansi konvensional saat ini
adalah bersifat kontradiksi bagi masyarakat Islam. Sebab secara mendasar hal tersebut
berhubungan dengan bunga atau riba. Riba adalah sesuatu yang diharamkan. Di samping itu, ada
beberapa unsur yang masuk dalam kategori gharar. Banyak isu lain, sebagaimana diharapkan oleh
para akuntan muslim. Demikian pula Dewan Pengawas Syariah yang secara efektif mengontrol
mekanisme akuntansi.
Masalah penting yang perlu diselesaikan adalah adanya akuntansi Islam yang dapat menjamin
terciptanya keadilan ekonomi melalui formalisasi prosedur, aktivitas, pengukuran tujuan, kontrol
dan pelaporan yang sesuai dengan prinsip Islam, dengan memfokuskan pada dua ide dasar dalam
akuntansi konvensional yang diterima sebagai problematik dan tidak sesuai dengan orang Islam.
Masalah pertama berhubungan dengan fondasi filsafat dan kedua berhubungan dengan peran dan
fungsi akuntansi dalam masyarakat.
Munculnya paradigma agama sebagai sumber pengorganisasi dan pengawasan bisnis. Namun yang
terjadi sebaliknya paradigma kapitalis mendorong tumbuhnya sifat serakah manusia, memelihara
paham sekularisme, yang mengarahkan pada sifat materialisme dan pada akhirnya cenderung
bersifat hedonisme, dengan mengedepankan ideologi rasionalisme. Dengan demikian, menjadikan
problem yang lebih besar lagi dalam raperspektif rasionalisme adalah pemisahan agama dari
aktivitas ekonomi. Problem seperti ini, juga sampai seluruh dimensi atau aspek ekonomi
konvensional, sebagai contoh epistemologi akuntansi konvensional memandang gejala ekonomi
merupakan suatu gejala yang bersifat murni, ia tidak ada hubungannya dengan aspek sosial dan
spiritual dalam kehidupan umat manusia.
Problem lainya adalah berhubungan dengan masalah efesiensi alokasi sumber daya yang
didasarkan pada mekanisme pasar. Rasionalisme beranggapan bahwa mekanisme pasar akan dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari penciptaan kekayaan.
Tujuan-tujuan Akuntansi Keuangan dan Laporan Keuangan
Ada dua hal yang menarik dalam hal ini, pertama adalah perbedaan antara tujuan akuntansi
keuangan dan tujuan laporan keuangan. Dalam berbagai literatur, banyak penulis yang
menyamakan antara keduanya.
Mathews & Parera (1996) mengatakan:
Strictly speaking, financial statement cannot have objectives; only those individuals who
cause the statement to be produced and who use them can have objectives.
Mathews & Parera (1996) lebih jauh mengatakan:
What are often referred to as the objectives of financial statements are really the functions
of financial statements ..
Dengan demikian berangkat dari pemikiran di atas, sebetulnya apa yang menjadi tujuan laporan
keuangan, merupakan tujuan dan fungsi akuntansi sendiri. Dalam konteks ini, bilamana kita harus
berpijak pada prinsip idealime Islam, maka sesuai dengan hasil kajian tesis Adnan (1996), tujuan
akuntansi dapat dibuat dua tingkatan. Pertama, tingkatan ideal, dan kedua tingkatan praktis. Pada
tataran ideal, sesuai dengan peran manusia di muka bumi dan hakikat pemiliki segalanya (QS 2:30,
6:165, 3:109, 5:17), maka semestinya yang menjadi tujuan ideal laporan keuangan adalah
pertanggungjawaban muamalah kepada Sang Pemilik yang kakiki, Allah SWT. Namun karena sifat
Allah Yang Maha Tahu, tujuan ini bisa dipahami dan ditransformasikan dalam bentuk pengamalan
apa yang menjadi sunnah dan syariah-Nya. Dengan kata lain, akuntansi harus terutama berfungsi
sebagai media penghitungan zakat, karena zakat merupakan bentuk manifestasi kepatuhan seorang
hamba atas perintah Sang Empunya.
Tujuan pada tataran pragmatis barulah diarahkan kepada upaya untuk menyediakan informasi
kepada stakeholder dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi. Namun sayangnya, apa yang
hendak dicapai lewat SFA No. 1 barulah pada tataran ini.
Hal kedua yang menarik dari pembedaan antara objectives of financial accounting dan objectives
of financial reports seperti yang dinyatakan dalam Chapter, SFA No. 1 adalah sesuatu yang kabur.
Artinya, ketika SFA menjelaskan tujuan-tujuan financial reports, yang disajikan justru tipe
informasi yang harus dimuat. Dengan kata lain, kurang lebih sama dengan semacam syarat
kualitatif kandungan laporan keuangan. Misalnya, bahwa laporan mengandung informasi tentang
kepatuhan bank terhadap syariah dan oleh karenanya harus ada informasi tentang pos-pos nonhalal; informasi sumber daya dan kewajiban, termasuk akibat suatu transaksi atau kejadian
ekonomi terhadap sumber daya entitas, maupun kewajibannya; informasi yang dapat membantu
pihak-pihak tertentu dalam menghitung zakatnya; informasi yang dapat membantu pihak terkait
dalam memprediksi aliran kas bank dan seterusnya.
Kerangka Dasar Akuntansi Keuangan
Kerangka dasar akuntansi keuangan versi AAO-IFI dituangkan dalam SFA No. 2. Ini meliputi 9
bab, termasuk pengantar dan pernyataan adopsi oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan AAOIFI. Tidak seperti halnya akuntansi keuangan konvensional, akuntansi bank syariah menuntut lebih
banyak bentuk laporan sebagai berikut:
1. Laporan posisi keuangan
2. Laporan laba rugi
3. Laporan arus kas
4. Laporan laba ditahan
5. Laporan perubahan dalam investasi terbatas
6. Laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta dana sosial
7. Laporan sumber dan penggunaan dana dalam qardh
Empat laporan pertama adalah unsur-unsur laporan keuangan yang sudah dikenal selama ini secara
konvensional, sedangkan tiga terakhir bersifat khas. Ketiga laporan yang terakhir ini muncul
akibat perbedaan peran dan fungsi bank Islam, dibandingkan bank konvensional.
Asumsi Dasar
Bila dibandingkan dengan asumsi dasar yang dipakai oleh Kerangka Dasar Penyusunan Laporan
Keuangan yang dipakai di Indonesia dengan menganut kepada apa yang dipakai oleh International
Accounting Standards Committee (IASC), maka sedikit terdapat perbedaan . Kalau kerangka dasar
akuntansi konvensional secara eksplisit memakai dua asumsi dasar, yakni dasar akrual (accrual
basic) dan kelangsungan usaha (going concern), maka asumsi dasar yang dipakai dalam kerangka
dasar versi AAO-IFI terdiri dari empat hal, yakni:
1. The accounting unit concept
2. The going concern concept
3. The periodicity concept
4. The stability of purchasing power of the monetary unit
Komparasi kedua konsep dasar di atas, secara tegas menunjukkan bahwa hanya ada satu konsep
dasar yang sama-sama diakui oleh kedua model akuntansi yakni konsep going concern. Ironisnya
adalah bahwa sebetulnya konsep ini sudah banyak diserang oleh berbagai pakar, misalnya
Husband (1954), Sterling (1967), Fremgen (1968), Boris (1991) dan Abdel Magid (1981).
Selain perbedaan dari sisi jumlah item, sebetulnya keempat konsep ini berasal dari pemikiran
akuntansi konvensional juga. Tetapi yang lebih penting dicatat sebenarnya bahwa paling tidak dua
diantara going concern yang sudah disinggung di atas, banyak kritik oleh pakar, termasuk pakar
non-Muslim sendiri. Konsep The stability of purchasing power of the monetary unit juga memiliki
kelemahan pada saat perekonomian dalam kondisi krisis, sehingga inflasi menjadi tinggi atau tak
terkendali.
perbedaan ini lebih disebabkan karena perbedaan paradigma dasar dari kedua jenis industri, yang
pada gilirannya membawa perbedaan produk dan jasa yang ditawarkan. Konsekuensinya adalah
terjadinya perbedaan standar akuntansinya. Contoh dalam industri perbankan Islam dikenal dengan
produk musyarakah, mudharabah, murabahah, bai' bi-tsaman ajil, qardul hasan, salam, istishna dan
lain sebagainya. Kesemua jenis produk atau jasa ini tidak akan ditemukan operasi dalam bank
konvensional.
Karena keunikan produk atau jasa ini pulalah, maka mau tidak mau ada standar yang tidak hanya
berbeda, tetapi tidak terdapat dalam standar akuntansi konvensional. Pada tataran tertentu,
keunikan ini sekaligus memunculkan perlakuan akuntansi yang unik. Contohnya manakala terjadi
transaksi deposito mudharabah oleh nasabah kepada bank Islam. Sekilas orang menyangka bahwa
sifat dan bentuk deposito ini sama saja dengan deposito bank konvensional.
http://re-searchengines.com/1107kesiper.html
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
menyatakan Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah telah mengajarkannya
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal
system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih
dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti
dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan
akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang,
modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara
adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan
timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran
menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syuara ayat 181-184 yang
berbunyi:Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan
dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hakhaknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah
kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga
menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan,
sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan
menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah
organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya.
Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan
kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya.
Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta
bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu
Auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut tabayyun sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah
Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran
di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam
Surah Al-Israa ayat 35 yang berbunyi: Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan
timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah
Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang
disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang
Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun
penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma
(kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan Uruf (adat kebiasaan)
yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki
karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah
Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu
sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal
sebagai berikut:
1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi
Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk
melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok
(kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian
berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi
kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang
kontinuitas;
2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap
(aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam
barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock),
selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama
kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk
pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua
kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan
konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan
berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya
dan resiko;
5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal
pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam
dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok)
dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang
haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah
ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra
usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli,
sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya
perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang
belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak
boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam
dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi
persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul On Islamic Accounting, Akuntansi
Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman
pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada meta rule yang berasal diluar
konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan
ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu hanief yang
menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada
pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya
di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan
manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum
Syariah lainnya.
Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu
dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang
belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada
berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam
Al Quran. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
(QS.An-Nahl/ 16:89)
http://aharlibrary.wordpress.com/2007/03/15/mengenal-prinsip-akuntansi-syariah/
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Ketika akuntansi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis akuntansi konvensional yang saat ini
masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter akuntansi pasti kapitalistik, sekuler,
egois, anti-altruistik. Ketika akuntansi memiliki kepentingan ekonomi-politik MNCs (Multi
National Companys) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang diajarkan dan
dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi pada kepentingan neoliberalisme
ekonomi pula (Mulawarman 2007d).
Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah memang kita tidak memiliki sistem akuntansi sesuai realitas
kita? Apakah masyarakat Indonesia tidak dapat mengakomodasi akuntansi dengan tetap melakukan
penyesuaian sesuai realitas masyarakat Indonesia? Lebih jauh lagi sesuai realitas masyarakat
Indonesia yang religius? Religiusitas Indonesia yang didominasi 85% masyarakat Muslim?
2. Akuntansi Syariah: ANTARA Aliran Pragmatis DAN IDEALIS
Perkembangan akuntansi syariah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c)
masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan
dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori
akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis
antara aliran akuntansi syariah pragmatis dan idealis.
2.1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori
akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya
Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan
untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang
memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah. Akomodasi
akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting
and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara
internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat
dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syariah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada
tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsipprinsip syariah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory
dengan akuntabilitas terbatas.
Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI
misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi
konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan
lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya;
analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan
syariah; laporan responsibilitas sosial bank syariah; serta laporan pengembangan sumber daya
manusia untuk bank syariah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi,
sedangkan ketentuan syariah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari
ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syariah mementingkan
aspek ekonomi daripada aspek syariah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari
beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya
(2003b), Syafei, et al. (2004).
Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik
pelaporan keuangan perbankan syariah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI,
perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis
laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial
dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed
dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syariah di kedua negara belum melaksanakan praktik
akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syariah di
Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah
sesuai tujuan syariah (maqasid syariah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan
tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni
melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syariah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima
kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syariah.
Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim
menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan
syariah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada
kesejahteraan umat. Ketiga, bank syariah telah establish dalam sistem ekonomi sekularismaterialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami.
Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syariah lebih menekankan formalitas fiqh daripada
substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syariah. Praktisi lebih
mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan
mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.
2.2. Akuntansi Syariah Aliran Idealis
Aliran Akuntansi Syariah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu terbuka dan
longgar jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan
filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik,
sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997;
Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman
2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai
bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya
mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap
masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan
laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan
pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi
syariah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK
59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan
ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syariah
filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed
2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syariah menurut aliran idealis
adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas
yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syariah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b)
konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan
kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi
bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi
dari indirect participants.
Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001)
mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shariate ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak
yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu
direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah
pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham,
manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders
adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat
mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian
alam).
2.3. Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis
Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi
syariah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syariah pragmatis memilih
melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi
teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan
laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syariah idealis memilih
melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shariate ET. Konsekuensi
teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan
perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan
penjelasan perbedaan akuntansi syariah aliran pragmatis dan idealis, silakan lihat gambar berikut:
Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syariah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi
Syariah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.
Mulawarman, Aji Dedi. 2006b. Pensucian Pendidikan Akuntansi. Prosiding Konferensi Merefleksi
Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi UKSW. Salatiga. 1 Desember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007a. Menggagas Laporan Arus Kas Syariah. Simposium Nasional
Akuntansi X. Unhas Makassar. 26-28 Juli
Mulawarman, Aji Dedi. 2007b. Menggagas Neraca Syariah Berbasis Maal: Kontekstualisasi
Kekayaan Altruistik Islami. The 1st Accounting Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007c. Menggagas Laporan Keuangan Syariah Berbasis Trilogi
Maisyah-Rizq-Maal. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3. Unpad. Bandung. 14-15 Nopember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007d. Menggagas Teori Akuntansi Syariah. Seminar Akuntansi Syariah,
Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang, 24
Nopember.
Menurut data Indonesian Capital Market Direktory 2005, perusahaan yang terdaftar di bursa
saham per Desember 2004 mencapai 331 perusahaan. Sebagai perbandingan, jumlah usaha mikro,
kecil dan menengah saat ini mencapai lebih dari 16 juta entitas.
Ditegaskan oleh Chua (1986) bahwa akuntansi bukan hanya dipandang bersifat rasional teknis
saja, suatu aktivitas jasa yang terpisah dari hubungan kemasyarakatan. Tetapi, seperti dikatakan
oleh Hines (1989), bahwa accounting creates and maintains (or can play a part in changing) the
social world, is through its reflection and reinforcement of the values of society.
AAOIFI singkatan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions,
lembaga regulasi keuangan Islam internasional yang berkedudukan di Abu Dhabi, UEA. AAOIFI
telah mengeluarkan Standar Akuntansi dan Auditing untuk lembaga keuangan Islam (Accounting
and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions) tahun 1998.
PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 59 merupakan pernyataan yang dikeluarkan
oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengenai Akuntansi Perbankan Syariah. Standar ini banyak
merujuk pada AAOIFI.
Penelitian yang menarik dilakukan Afifudin (2004) mengenai PSAK No. 59 khusus pembiayaan
Mudharabah Bank Syariah. Dari penelusuran mengenai konsep dasar teoritis akuntansi yang
melandasinya, jelas-jelas menggunakan basis entity theory yang kapitalistik.
EVAS dikembangkan oleh Mook et al. (2003; 2005) sebagai salah satu alternatif bentuk pengganti
Laporan Laba Rugi. EVAS merupakan adaptasi dari VAS yang diperluas. EVAS juga menekankan
peran organisasi dalam mengarahkan manfaat untuk masyarakat yang secara umum diabaikan
dalam financial statement. EVAS merupakan integrasi informasi finansial dan non finansial,
melakukan sintesis data finansial dengan input dan output sosial. EVAS mengkombinasikan data
finansial dan data sosial untuk memberikan gambaran lebih utuh dampak sosial dan ekonomi
perusahaan.
Proses rekonstruksi sinergis VAS dan EVAS untuk membentuk SVAS dapat dilihat lebih detil
dalam Mulawarman (2006).
http://ajidedim.wordpress.com/2008/02/14/akuntansi-syariah-bagian-satu/
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Integralitas dan organisnya Tauhid yang menjadi dasar dari terbentuk dan dibentuknya peradaban
manusia dalam Islam ini ditunjukkan dalam titah Tuhan dalam Al-Quran:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitabkitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang memintaminta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan menepati
janji bila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
(QS. 2:177)
Ayat di atas adalah bentuk keterikatan segala sesuatu yang menjadi kaidah normatif Ketuhanan
sekaligus realitas yang harus dijalankan oleh setiap manusia yang disebut oleh Allah sebagai
kebajikan dan ketakwaan. Hal ini yang dikatakan oleh Al-Faruqi (1995, 17) sebagai segala sesuatu
perintah dalam Islam, baik perintah yang berkaitan dengan kewajiban maupun aspek moralitas
dalam Islam, yang bisa dilepaskan dari Tauhid. Bahwa mengisi aliran ruang dan waktu atau
mentransformasikan ciptaan, tegas Al Faruqi (1995, 35) diharapkan dari seorang muslim yang
muttabi (terikat). Setelah menerima Tuhan sebagai satu-satunya Yang Maha Tuan sebagai bentuk
kepasrahan tanpa reserve dalam bentuk Keimanan pada Allah. Dilanjutkan dengan kepatuhan
untuk menjalankan syariatnya, sebagai bentuk penyerahan diri, dalam wujud nyatanya sebagai
abd Allah:
Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu. (QS: 51:56)
Dan hendaknya kamu menyembahKu. Inilah jalan yang lurus (QS. 36:61). Hidup dan
seluruh energinya untuk mengabdi kepada-Nya. Seperti yang selalu diingatkan oleh Allah
dalam bacaan shalat lima waktu kita:
Katakanlah: Sesungguhnya, shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah,
ketakwaan:
Hai seluruh manusia, beribadahlah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa (QS. 2: 21)
Ibadah adalah suatu bentuk kepatuhan dan ketundukan yang berpuncak pada sesuatu yang diyakini
menguasai jiwa raga seseorang dengan penguasaan yang arti dan hakikatnya tidak terjangkau
(Shihab 2005, 119). Ada tiga hal yang menandai keberhasilan seseorang mencapai hakikat ibadah
kepada Tuhan (Shihab 2005, 119). Pertama, manusia tidak menganggap apa yang berada dalam
genggaman tangannya sebagai milik pribadinya, tetapi milik Allah tempat dia mengabdi. Kedua,
segala aktivitasnya hanya berkisar pada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepada-Nya ia
mengabdi serta menghindar dari apa yang dilarang-Nya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu untuk
dia laksanakan atau hindari kecuali dengan mengaitkannya dengan kehendak siapa yang kepadaNya ia mengabdi.
Setelah mengakui kehendak Sang Penguasa Alam Semesta sebagai kehendak yang harus
diaktualisasikan dalam ruang dan waktu. Dia mesti terjun dalam hiruk pikuknya dunia dan sejarah,
menciptakan perubahan yang dikehendakinya, dengan amal yang sebaik-baiknya, sebagai wakil
Allah di bumi (Khalifatullah fil ardh).
Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. (QS. 35:39).
Nilai-nilai Islam yang berpedoman pada Vestigia Dei (jejak-jejak Ilahi) di atas itulah yang
mengarah pada koeksistensi tujuan utama manusia. Hal itu untuk membedakan koeksistensi alam
dan manusia. Ketika manusia memiliki sifat yang sama dengan alam, maka tidak bergunalah
koeksistensi tujuan manusia, yang dengan itu maka manusia tidak berbeda dengan ciptaan Tuhan
lainnya di alam semesta ini. Ketika manusia memiliki sifat yang berbeda dengan alam, maka
menjadi bergunalah koeksistensi tujuan manusia. Dari hal itulah kemudian mengapa Tuhan
memberikan kewenangan dan kedudukan yang lebih tinggi dari siapapun ciptaan-Nya.
Ditegaskan oleh Naqvi (2003, 38):
Bentuk ketundukan manusia pada Tuhannya, malahan akan membantu manusia merealisasikan
potensi teomorfiknya, juga membebaskannya dari perbudakan manusia. Dengan mengintegrasikan
aspek-aspek religius, sosial, ekonomi dan politik, kehidupan manusia ditransformasikan ke dalam
suatu keutuhan, yang selaras, konsisten dalam dirinya dan menyatu dengan alam luas. Dengan
demikian, manusia bisa mencapai harmoni sosial dengan meningkatkan rasa memiliki dan
persaudaraan universal.
Koeksistensi tujuan manusia dengan demikian adalah dalam rangka pengabdian kepada Allah
(Abdullah/abdi Allah) dan menjadi wakil Allah di bumi (Khalifatullah fil ardh/wakil Allah di
bumi). Abdullah (Shihab 2000, 22-23; Jalaluddin 2001, 28-29, 52-60, 119; Rahardjo 1994, 36-43;
Hasanah, 2002; Basyir 2001; Rahman 1996, 12; Al-Attas 1981, 205; Chapra 1995, 7) adalah
realisasi tujuan Ketuhanan manusia untuk selalu menjalankan ibadah kepada Allah. Memiliki
tujuan hidup yang asali dan akhir untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan dan terkait langsung,
integratif dan organis dengan fungsinya sebagai Khalifatullah fil Ardh. Yaitu realisasi tujuan
kealaman manusia untuk memelihara dan mengelola alam semesta milik Tuhan. Manusia diberi
amanah untuk memberdayakan seisi alam raya dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh
makhluk. Seperti yang dituliskan dalam Al Quran:
Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi ini, niscaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang maruf dan mencegah perbuatan
yang munkar (QS. 22: 41)
Ayat tersebut, menyatakan bahwa mendirikan shalat merupakan refleksi hubungan (pengabdian)
dengan Allah SWT. Menunaikan zakat merupakan refleksi keharmonisan hubungan dengan
sesama manusia, sedangkan maruf berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh
agama, akal, serta budaya dan munkar adalah sebaliknya. Dengan demikian, sebagai seorang
khalifah Allah di muka bumi, manusia mempunyai kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang
hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis. Serta agama, akal dan
budayanya terpelihara (Shihab 1994, 166).
3. Tujuan Syariah (Maqasid Syariah)
Untuk melaksanakan koeksistensi tujuan manusia, maka Allah telah memberikan perangkatperangkat aturan/hukum/syariat Islam, yang bersumber pada Al Quran dan Sunnah. Sumber
hukum/Syariat yang menjelaskan perihal sistem keyakinan dan sistem nilai (Masudi 1995).
Allah SWT menegaskan bahwa Al Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang
bertaqwa (beriman, melaksanakan shalat, menafkahkan sebagian rezeki), merekalah yang disebut
oleh Allah sebagai orang-orang yang beruntung (QS. 2: 2-5). Bertaqwa dalam segala aktivitas
kehidupannya termasuk dalam aktivitas ekonomi (muamalah) (Ibad 2003). Al Quran adalah kitab
yang tidak mempunyai tujuan lain kecuali membimbing manusia kepada kebahagiaan. Ia
mengajarkan kepercayaan sejati, akhlak yang mulia dan perbuatan-perbuatan yang benar, yang
merupakan dasar-dasar kebahagiaan individu dan sosial umat manusia. Al Quran menyuguhkan
ajaran-ajaran Islam dalam bentuk ringkasan, yang rinciannya berkaitan dengan hukum, merujuk
pada Rasulullah saw. Ajaran Islam, baik dan Al Quran maupun dalam haditsnya, tidak pernah
memberi petunjuk tentang bentuk-bentuk, terlebih menyangkut teknis usaha dan bisnis apa yang
harus dilakukan manusia. Manusia diberikan kebebasan sepenuhnya untuk memilih bentuk-bentuk
muamalah yang sesuai potensi dan kersempatan yang dimilikinya (Ibad 2003). Hal tersebut juga
sebenarnya ditegaskan oleh Rasulullah saw. yang menyatakan: Kalian lebih mengetahui tentang
dunia kalian.
Artinya, menurut Masudi (1995) merujuk pada pemikiran Imam Syafii, sesudah Al Quran dan
Hadits Nabi tidak ada otoritas lain kecuali Ijtihad, dengan satu tujuan utama untuk menjamin
terwujudnya kemashlahatan dan mereduksi kemudharatan.
Jadi, tujuan ditetapkannya Syariat (Maqasid Syariah) (Masudi, 1995) tidak memiliki basis
(tujuan) lain kecuali kemaslahatan manusia. Merealisasikan kemashlahatan dengan menjamin
kebutuhan pokoknya (dharuriyah), sekunder (hajiyah) dan pelengkap (tahsiniyah) (Khallaf 2002,
319). Bukan berarti, lanjut Masudi (1995), segi formal dan tekstual dari ketentuan hukum harus
diabaikan. Ketentuan legal-formal-tekstual harus menjadi acuan tingkah laku manusia dalam
kehidupan bersama, kalau tidak ingin menjadi anarki. Tetapi, tegas Masudi (1995) pada saat yang
sama, haruslah disadari sedalam-dalamnya bahwa patokan legal-formal dan tekstual hanyalah
merupakan cara bagaimana citra kemaslahatan dan keadilan itu diaktualisasikan dalam kehidupan
nyata. Artinya, lanjut Masudi (1995) kemaslahatan kemanusiaan yang universal yang dalam
ungkapan yang lebih rasional, yaitu keadilan sosial.
Kemaslahatan lanjut Masudi (1995) perlu dibedakan antara kemaslahatan yang bersifat
individual-subjektif dan sosial-objektif. Kemaslahatan yang bersifat individual-subjektif adalah
kemaslahatan yang menyangkut kepentingan seseorang yang secara eksistensial bersifat
independen dan terpisah dengan kepentingan orang lain. Sedangkan kemaslahatan yang bersifat
sosial-objektif adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini
otoritas yang berhak dan sekaligus menjadi hakimnya tidak lain adalah orang banyak yang
bersangkutan, melalui mekanisme syura untuk mencapai kesepakatan (ijma).
Menurut Syathibi dalam kitabnya yang berjudul al-Muwafaqat seperti dijelaskan oleh Zein (1999),
usaha untuk menemukan maqasid al-shariah dapat dilakukan dengan merujuk langsung pada nash
wahyu tanpa melihat makna/illat (redaksional), merujuk nash wahyu dengan melihat substansi
illat-nya (qiyas), lewat tujuan sekunder yang tidak boleh bertentangan dengan tujuan pokok, dan
terakhir yaitu melalui sikap diamnya Rasulullah atas masalah yang terjadi.
Meskipun begitu, dijelaskan oleh Al-Najjar (1993) seperti dikutip oleh Arma (2004), yang perlu
dicermati di sini adalah konteks syariah dan tujuan syariah adalah kesatuan yang tidak
terpisahkan. Apa yang diperintahkan Allah dengan pasti tentulah akan mendatangkan kebaikan,
dan apa yang dilarang jelas akan menimbulkan kerusakan. Aksioma yang mengatakan di mana ada
mashlahah disitu pasti ada syariah kata Al-Qardhawi (1981) tidak selalu benar (Arma 2004).
Menurut Al-Qardhawi aksioma yang seharusnya adalah berbunyi di mana ada hukum syara di
sana pasti ada mashlahah. Ini karena terkadang apa yang dianggap sebagai mashlahah sebenarnya
bukan mashlahah, bisa jadi ia sudah menjadi mashlahah yang dikategorikan dibatalkan (mulghah),
seperti khamar. Pada keadaan seperti kasus ini sudah tentu syara tidak hadir. Akan tetapi ketika
syariah ada, pasti mashlahah akan hadir di sana, karena tidak mungkin Allah mensyariatkan
sesuatu tanpa ada mashlahahnya, meskipun terkadang akal kita tidak dapat menangkap dan
memahami masalah tersebut. Pada saat itulah keimanan dan keislaman kita diuji (Arma 2004).
http://ajidedim.wordpress.com/2008/06/05/akuntansi-syariah-pengantar-bagian-dua/
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
mengingat panjangnya tulisan. Bagian Pertama berkaitan dengan Konsep Value Added atau Nilai
Tambah secara umum beserta definisinya. Selamat membaca :D
A. Konsep Value Added (Nilai Tambah) dalam Konteks Makroekonomi
Menurut Haller dan Stolowy (1995) Value Added (VA) atau Nilai Tambah adalah pengukuran
performance entitas ekonomi yang memiliki sejarah panjang pada aplikasinya dalam ilmu
ekonomi. VA merupakan konsep utama pengukuran income. Konsep ini secara tradisional berakar
pada ilmu ekonomi makro, terutama yang berhubungan dengan penghitungan pendapatan nasional
yang diukur dengan performance produktif dari ekonomi nasional yang biasanya dinamakan
Produk Nasional atau Produk Domestik. Hal tersebut merepresentasikan nilai tambah
perekonomian nasional dalam periode tertentu. Penggunaan secara universal konsep VA juga telah
banyak didiskusikan dan dipraktikkan sebagai kegunaan ekonomis dan indikator performance
dalam area yang berbeda dari ilmu ekonomi dan bisnis.
Konsep VA, menurut Gillchrist (1970) dalam Staden (2000), mulai muncul pertama kali pada
tahun 1790 dalam Sensus Pertama Produksi Amerika Serikat (The First North American Census of
Production), yaitu oleh Trenche Cox, pegawai di Departemen Keuangan yang kemudian diadopsi
oleh banyak negara-negara industri dalam menghitung Gross National Product (GNP), sebagai
respon untuk menghilangkan double counting dalam nilai tambah antara barang setengah jadi dan
barang jadi dalam produksi nasional. Sedangkan secara teoretis, menurut Haller dan Stolowy
(1995), konsep VA berakar dari konsep theory of the economic circle yang dikembangkan pertama
kali di Prancis oleh Quesnay dalam menciptakan Tableau Economique sekitar 1670. Dalam
konteks akuntansi nasional, VA awalnya sering digunakan sebagai indikator perkembangan
ekonomi suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya. Sebenarnya tujuan awalnya adalah
untuk menunjukkan secara akurat perbandingan internasional berkaitan dengan gambaran
mengenai harmonisasi metode perhitungan VA.
Setelah Perang Dunia II, PBB melakukan pengembangan lebih jauh konsep standardisasi
penghitungan VA secara Nasional. Standardisasi National Income Accounting yang dipublikasikan
pertama kali tahun 1952 dan mengalami perubahan-perubahan sampai dengan tahun 1993.
Kemudian diadopsi oleh banyak negara menjadi standar perhitungan internasional untuk
pendapatan nasional. Agar konsep VA dapat dilihat lebih komprehensif lagi, perlu dilakukan
peninjauan lebih jauh mengenai konsep Pendapatan Nasional.
1. Konsep Pendapatan Nasional
Konsep pendapatan nasional awalnya digagas oleh Sir William Petty yang pada tahun 1665
menaksir pendapatan nasional Inggris sebesar 40 juta pound. Perhitungan Petty itu didasarkan
pada anggapannya bahwa pendapatan nasional merupakan penjumlahan biaya hidup (atau biasa
disebut konsumsi) selama setahun (Rosyidi 2001, 102).
Para ahli ekonomi modern kurang menyepakati pendapat Petty tersebut. Menurut pandangan ilmu
ekonomi yang lebih baru, konsumsi bukanlah satu-satunya unsur di dalam pendapatan nasional,
sedangkan pendapatan nasional itu sendiri bukanlah pokok pangkal dari semua konsepsi
pendapatan nasional. Para ahli modern lebih menyukai Produk Nasional Bruto (Gross National
Product-GNP) atau Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Bruto-GDP) sebagai alat ukur pokok
kegiatan perekonomian.
GDP menyatakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa.
Tujuan dari GDP adalah meringkas aktivitas ekonomi dalam nilai uang tunggal selama periode
waktu tertentu. Terdapat dua cara dalam melihat GDP; pertama, GDP sebagai pendapatan total dari
setiap orang di dalam perekonomian; dan kedua adalah sebagai pengeluaran total atas output
barang dan jasa perekonomian (Mankiw 2003, 16). Dalam pengukuran GDP, dipakai sistem
Akuntansi Pendapatan Nasional (National Income Accounting), yaitu sistem akuntansi yang
digunakan untuk mengukur GDP dan model statistik ekonomi yang terkait lainnya (Mankiw 2003,
16).
Pengukuran Pendapatan Nasional berdasarkan pada GDP dapat diukur dengan tiga pendekatan
(Mankiw 2003, 16; Kamus Ekonomi Collins 1994, 445-446):
a. Pendekatan VA
Pendapatan nasional ditentukan dari output/produk dalam negeri dari barang-barang dan jasajasa yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan dalam suatu negara. Total output ini tidak
mencakup nilai barang-barang dan jasa yang diimpor. Untuk menghindari penilaian yang
terlalu tinggi atas output yang diproduksi dengan double counting baik barang jadi dan jasa
jadi maupun barang setengah jadi dan jasa yang pada saat tertentu masih harus diolah menjadi
output akhir, hanya VA atau nilai tambah pada setiap proses produksi tersebut yang
dimasukkan dalam penghitungan pendapatan nasional. Jumlah dari seluruh nilai tambah dari
setiap bagian perekonomian (pertanian, pabrik, dan lainnya) sering dikenal sebagai Gross
Domestic Product. Sedangkan untuk mendapatkan Gross National Product, GDP masih harus
ditambahkan dengan pendapatan bersih yang diperoleh dari luar negeri (didefinisikan sebagai
pendapatan bersih dalam bentuk bunga, sewa, laba dan dividen yang diperoleh oleh penduduk
suatu negara dari aktiva yang mereka miliki di luar negeri).
b. Pendekatan Pendapatan
Pendapatan Nasional ditentukan dari Total pendapatan penduduk suatu negara yang diperoleh
dari produksi barang dan jasa yang sedang berlangsung. Pendapatan ini disebut dengan Factor
Income sebab mereka ditambahkan pada faktor produksi, dan pembayaran transfer (transfer
payment) tidak dimasukkan dalam perhitungan, seperti tunjangan sakit dan tunjangan
pengangguran di mana tidak ada barang atau jasa yang diterima sebagai imbalannya. Jumlah
dari seluruh faktor pendapatan (upah dan gaji, pendapatan dari orang yang bekerja untuk diri
sendiri dan lain sebagainya) harus persis sama dengan GDP.
c. Pendekatan Pengeluaran
Pendapatan Nasional ditentukan dari Pengeluaran domestik oleh suatu penduduk suatu negara
pada konsumen dan investasi barang-barang. Hal ini mencakup pengeluaran pada barang dan
jasa jadi (tidak termasuk barang dan jasa perantara atau setengah jadi), dan termasuk barangbarang yang tidak terjual dan yang ditambahkan pada persediaan (investasi persediaan)
Dalam konteks GDP, dijelaskan oleh Mankiw (2003, 20) bahwa VA dari sebuah perusahaan sama
dengan nilai output perusahaan itu dikurangi nilai barang setengah jadi yang dibeli perusahaan.
Untuk perekonomian secara menyeluruh, jumlah seluruh nilai tambah harus sama dengan nilai
seluruh barang dan jasa akhir. Jadi GDP juga merupakan nilai tambah total dari seluruh perusahaan
dalam perekonomian.
2. Definisi Value Added atau Nilai Tambah
Dari konteks Pendapatan Nasional di atas dapat didefinisikan VA. Menurut Kamus Lengkap
Ekonomi Collins (1994), definisi VA:
Perbedaan antara nilai dari output suatu perusahaan atau suatu industri, yaitu total pendapatan
yang diterima dari penjualan output tersebut, dan biaya masukan dari bahan-bahan mentah,
komponen-komponen atau jasa-jasa yang dibeli untuk memproduksi komponen tersebut. VA
adalah nilai yang ditambahkan oleh suatu perusahaan ke bahan-bahan dan jasa-jasa yang dibelinya
melalui produksi dan usaha-usaha pemasarannya.
Definisi VA menurut Wurgler (2000) sebagai berikut:
Value Added is defined as the value of shipments of goods produced (output) minus the cost of
intermediate goods and required services (but not including labor), with appropriate adjustments
made for inventories of finished goods, work-in-progress, and raw materials.
Sedangkan definisi yang lebih detail menurut Ruggles dan Ruggles dalam Staden (2002):
sebagai nilai tambah perusahaan, seperti penciptaan nilai dari aktivitas perusahaan dan para
karyawannya, yang dapat diukur dengan membedakan antara nilai pasar dari barang yang diputar
oleh perusahaan dan biaya dari barang dan material yang dibeli dari perusahaan (producer)
lainnya. Pengukuran ini akan mengeluarkan kontribusi yang dibuat oleh perusahaan lain pada nilai
total produksi perusahaan, sehingga sebenarnya VA secara esensial sama dengan penciptaan nilai
pasar oleh perusahaan.
3. Permasalahan Substansial dan Kritik terhadap GDP
Seperti dijelaskan di atas, bahwa sebenarnya GDP juga merupakan VA total dari seluruh
perusahaan dalam perekonomian. Tetapi dari beberapa pemikiran ekonomi yang baru, melihat
perhitungan Pendapatan Nasional berdasarkan konsep GDP masih menyisakan permasalahan
substansial. Salah satu pemikir ekonomi yang sangat keras menentang tersebut adalah Paul
Ormerod dalam bukunya yang terkenal, The Death of Economics. Menurut Ormerod (1998, 88106), perhitungan Pendapatan Nasional (National Accounting) tidak dapat mengukur pertumbuhan
ekonomi yang sebenarnya dari masyarakat suatu negara. National Accounting lanjut Ormerod
(1998, 89) hanya tertuju pada tingkat permintaan dan penawaran yang kemudian praktis terbatas
pada transaksi yang bersifat uang, tidak melihat transaksi yang bersifat non uang seperti
pencemaran lingkungan dan pekerjaan rumah tangga, maupun black economy.
Bahkan pada tahun 1971 ketika diadakan Conference on Income and Wealth, menghasilkan
rumusan bahwa national accounts yang hanya menekankan transaksi pasar saja tidak dapat
dipertahankan. Biaya dan laba dari aktivitas lingkungan juga harus dimasukkan dalam national
accounts (Ormerod 1998, 91). Pada tahun 1972, Tobin dan Nordhaus dalam Ormerod (1998, 9192) menyusun Ukuran Kesejahteraan Ekonomi (Measure of Economic Wealth-MEW) untuk
mengukur tingkat kesejahteraan ekonomi di Amerika Serikat tahun 1929-1965. Konsep itu
dipertentangkan dengan ukuran kegiatan ekonomi konvensional, GNP. Kendati tidak secara
langsung peduli dengan masalah lingkungan, hanya memasukkan penyesuaian nilai ekonomi
waktu luang dan pekerjaan rumah tangga, dan beberapa aspek urbanisasi seperti angkutan pulangpergi dari rumah ke tempat kerja, yang sebelumnya dijumlahkan dalam GNP, dalam MEW
dijadikan faktor pengurang. Dari perhitungan yang dilakukan, ternyata ditemukan korelasi yang
tinggi antara MEW dan GDP. Dua-duanya sama-sama mengalami pertumbuhan, tetapi MEW
mengalami pertumbuhan yang lebih lambat daripada GNP, sekitar 0,5 persen.
Hal yang sama dalam menguji pendapatan nasional dilakukan oleh Daly dan Cobb dalam buku
mereka yang berjudul For the Common Good (1989) dalam Ormerod (1998, 93), dengan
memeriksa perkembangan ekonomi AS dari tahun 1950-1986 dan menyusun Indeks yang disebut
Index of Sustainable Economic Welfare-ISEW). Mereka menekankan pentingnya konsep
sustainability dan environmental factors. Perhitungan ISEW menunjukkan pendapatan per kapita
naik hanya 0,9% per tahun, sedang menurut GDP naik sampai 2% per tahun. Kemudian juga
diketahui bahwa dalam jangka panjang masyarakat memang bertambah makmur, tetapi tidak
secepat yang diisyaratkan oleh ukuran kemakmuran konvensional.
Tetapi, menurut Ormerod (1998, 94) tantangan paling besar berdasarkan cara berpikir lingkungan
(environmental thinking) terhadap ilmu ekonomi ortodoks tidak terletak pada National Accounts,
melainkan pada gambaran ilmu ekonomi mengenai kodrat manusia dan masyarakat. Dari konteks
ilmu ekonomi ortodoks menurut Ormerod (1998, 95) pandangan masyarakat terdiri dari individuindividu yang hidup dalam hitung-hitungan rasional saja berdasarkan kepentingan diri sendiri
(self-interest). Tetapi, hal itu ternyata dipatahkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Frank,
Gilovich dan Reagen dari Universitas Cornell (dalam Ormerod 1998, 96-97), yang melihat bahwa
orang tidaklah berpikir menurut logika ekonomi, yang self-interest dan rational calculation, tetapi,
orang lebih sering bersedia bekerja sama. Sifat kerjasama ini juga diungkapkan oleh Robert
Axelrod dalam bukunya, The Evolution of Co-operation (1984) dalam Ormerod (1998, 98), bahwa
perilaku kerjasama jauh lebih menguntungkan daripada mementingkan diri sendiri.
Jadi sebenarnya, menurut para pemikiran lingkungan (environmental thinking) bahwa perilaku
kooperatif mendatangkan manfaat, tindakan manusia saling bergantung dan saling terkait, baik
bagi dirinya, lingkungannya, maupun bagi akibat masa kini dan masa depan (Ormerod 1998, 99).
Harusnya manusia melihat dunia bukan seperti mesin, tetapi seperti organisme yang hidup (lihat
juga Capra, 1997).
Di samping itu, selain dipandang sebagai pengukur kemampuan suatu negara menciptakan nilai
tambah bagi produksi nasional, VA seharusnya juga dipandang sebagai alat ukur pengalokasian
bagi kemampuan perusahaan-perusahaan dalam suatu negara meningkatkan nilai tambahnya.
Tetapi saat ini malah VA telah menjadi alat untuk mengukur alokasi modal (Wurgler 2000).
Bahkan, bila kita lihat penelitian yang dilakukan oleh Wurgler (2000), VA sekarang telah dipakai
dan tereduksi dalam bentuk angka statistik yang berubah bentuk dalam pertumbuhan ekonomi
perusahaan yang harus muncul dalam GDP, dan kemudian mengarah pertumbuhan VA yang
merefleksikan kepentingan pengukuran investasi nasional. Maka sebenarnya, konsep VA telah
tereduksi menjadi alat ukur bagi kepentingan suatu negara yang berkarakter kapitalistik. Hal ini
sesuai dengan penjelasan Raj (1989, 3) bahwa sebenarnya pemikiran perusahaan yang masih
menganut sistem kapitalisme, akan selalu melakukan orientasi usahanya untuk memaksimalkan
kekayaan para shareholders saja.
Hal ini berbeda dari konsep VA yang sebenarnya dalam melihat Pendapatan Nasional. Seperti
dijelaskan lebih lanjut oleh Raj (1989, 4), ketika pemikiran pertumbuhan ekonomi diukur dalam
term produk nasional, maka tujuan dari perusahaan dalam pandangan ini, pasti akan
memaksimalkan produk nasional atau pendapatan nasional. Produk nasional naik ketika VA naik,
sehingga dari konsep VA yang sebenarnya, tujuan mendasar dari perusahaan adalah
memaksimalkan VA (Raj, 1989, 4). Sehingga perusahaan akan memiliki dua obligasi mendasar
dalam menjalankan usahanya; pertama, obligasi pada pemilik; kedua, obligasi pada masyarakat
atau negara (Raj 1989, 5).
http://ajidedim.wordpress.com/2008/12/15/konsep-nilai-tambah-syariah-bagian-satu/
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Bapak, ibu saudara sekalian, berikut ditampilkan konsep tujuan akuntansi syariah . Konsep tujuan
akuntansi syariah di sini merupakan rangkuman dari beberapa artikel saya yang telah
dipresentasikan di beberapa forum nasional akuntansi maupun akuntansi syariah.Silakan
melakukan quotation atau mencuplik konsep ini sesuai akhlak (etika) akademis Islami yang
benar dan santun, dengan mencantumkan sumbernyalebih baik lagi apabila bapak-ibu beri
komentar atas tulisan saya ini, serta mencantumkan email atau identitas yang bisa diajadikan
database saya ) ya kalau ikhlas kalau nggak ya gpp wong katanya ilmu harus berbagidan
silaturrahmi kan juga harus dibagi ya kan D Jazakumullah khairan katsirBarakallah
Menggagas akuntansi syariah yang ideal bukan hanya melakukan dekonstruksi akuntansi
Menggagas akuntansi syariah yang ideal juga bukan hanya melakukan rekonstruksi akuntansi
syariah pragmatis
Menggagas akuntansi syariah yang ideal adalah melampaui (beyond) sekaligus melebihi (hyper)
atas keduanya
Puncak akuntansi syariah yang ideal adalah pensucian (tazkiyah)
Itulah tujuan akuntansi syariah yang sebenarnya
Tazkiyah menurut Mulawarman (2006a; 2006b; 2007a; 2007b; 2007c) secara harfiah adalah
pensucian. Tazkiyah merupakan proses dinamis untuk mendorong individu dan masyarakat
tumbuh melalui pensucian terus-menerus. Menurut Ahmad dalam Gambling dan Karim (1991; 33)
pertumbuhan dan perubahan serta peningkatan manfaat materi dalam konsep Tazkiyah bukan
hanya berdampak, tetapi memiliki keutamaan, pada keadilan sosial dan pengembangan
spiritual yang lebih baik bagi umat. Tazkiyah mempunyai sifat menyeluruh dan mencakup aspek
moral, rohani dan material yang terikat satu sama lainnya. Semuanya berorientasi pada optimasi
cita-cita dan nilai kesejahteraan manusia dalam semua dimensi, baik dunia maupun akherat.
Tazkiyah juga mencakup seluruh perubahan dan keseimbangan kuantitatif maupun kualitatif.
Penjelasan lebih detil juga dapat dibaca dalam Mulawarman (2006a) Bab 4, 6,7,8,9,10.
Tazkiyah motivasi dan tujuan dalam akuntansi syariah menurut Mulawarman (2007a; 2007b) pada
dasarnya dilakukan untuk melakukan pencerahan dan pembebasan dari hegemoni korporasi dan
pemilik modal yang telah mengakar kuat dalam seluruh bangunan akuntansi (Mulawarman 2006a;
Mulawarman 2006b). Tazkiyah tujuan akuntansi syariah harus diarahkan pada pemahaman
Tawhid, yaitu pemahaman kepada sang Pencipta, Allah SWT. Dari titik sentral Tuhan, beranjak
pada cinta manusia pada Tuhan-Alam-Manusia, berlanjut pada akuntabilitas, dan proses terakhir
adalah pemahaman terhadap informasi, yaitu bentuk pencatatan untuk mencapai tujuan
(Mulawarman 2007a; 2007b) .
Nilai-nilai Islam menurut Mulawarman (2006a; 2006b; 2007a; 2007b; 2007c) berdasarkan Tawhid
merupakan nilai yang dianut setiap Muslim dalam keimanan dan penegasan atas Keesaan Allah.
Keimanan dilanjutkan pada kepatuhan menjalankan syariat sebagai penyerahan diri sebagai
hamba Allah (abd Allah) (QS: 51:56; 36:61; 6:162). Setelah itu manusia harus terjun dalam hiruk
pikuknya dunia sebagai Khalifatullah fil ardh (QS. 35:39). Untuk melaksanakan koeksistensi
tujuan manusia tersebut Allah memberikan perangkat-perangkat hukum (syariat) yang bersumber
pada Al Quran dan As Sunnah. Manusia diberi kebebasan memilih bentuk-bentuk muamalah
sesuai potensi dan kesempatan yang dimilikinya (Ibad, 2003). Dengan itu pula manusia menurut
Masudi (1995) tidak memiliki maqashid asy-syariah (tujuan syariah) lain kecuali kemaslahatan
manusia dalam bentuk keadilan sosial.Berdasarkan kesejahteraan untuk semua itulah menurut
Mulawarman (2007a; 2007b) kemudian konsep Tazkiyah menjadi konsep yang harus selalu hadir
sebagai bagian dari ciri khas Islam. Usaha manusia memperoleh harta benda yang mencukupi
kehidupannya merupakan jawaban terhadap panggilan dan tuntutan fitrah dan nafsunya yaitu cinta
pada harta benda. Hal ini bukanlah penyimpangan dan bukan pula pengahalang untuk mencapai
ridha Allah. Karena cinta harta merupakan fitrah sejak ia diciptakan namun manusia dalam
memenuhi tuntutan nafsunya berkewajiban untuk menjaga batas-batas syariat dan menggunakan
cara yang disyariatkan (lihat misalnya QS. 18: 46; 89: 20; 100: 8).Cinta harta lanjut Mulawarman
(2007a; 2007; 2007c) harus diarahkan pada tiga hal. Pertama kecintaan harta sesuai maqashid asysyariah untuk merealisasikan kemashlahatan dunia dan alam semesta sekaligus. Kedua, tugas
(Khalifatullah fil ardh) dan pengabdiannya (abd Allah). Ketiga, fitrah kemanusiaan lainnya yang
berlawanan dengan kecintaan harta yaitu kedermawanan. Ketiga hal itu hanya dapat terlaksana
dengan jalan niat dan penyucian (tazkiyah) secara terus menerus .
Tujuan akuntansi syariah tegas Mulawarman (2007a; 2007b) dengan demikian adalah
merealisasikan kecintaan utama kepada Allah SWT, dengan melaksanakan akuntabilitas
ketundukan dan kreativitas, atas transaksi-transaksi, kejadian-kejadian ekonomi serta proses
produksi dalam organisasi, yang penyampaian informasinya bersifat material, batin maupun
spiritual, sesuai nilai-nilai Islam dan tujuan syariah.
Reference:
Gambling, Trevor and Rifaat AA Karim. 1991. Business and Accounting Ethics in Islam. London:
Mansell.
Ibad, Saiful. 2003. Fiqih progresif menjawab dinamika masyarakat modern. Kumpulan Karangan.
Fiqh Progresif: Menjawab Tantang Modernitas. Editor: Thobib Al Asyhar. FKKU Press. Jakarta.
Masudi, Masdar F. 1995. Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syariah. Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Quran. No. 3. Vol. VI. h. 94-99.
Mulawarman, Aji Dedi. 2006a. Menyibak Akuntansi Syariah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi
Syariah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.
Mulawarman, Aji Dedi. 2006b. Pensucian Pendidikan Akuntansi. Prosiding Konferensi Merefleksi
Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi UKSW. Salatiga. 1 Desember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007a. Menggagas Laporan Keuangan Syariah Berbasis Trilogi MaisyahRizq-Maal. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3. Universtas Padjadjaran. Bandung. 14-15
Nopember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007b. Menggagas Teori Akuntansi Syariah. Seminar Akuntansi Syariah.
Universitas Negeri Malang. 24 Nopember.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007c. Menggagas Neraca Syariah Berbasis Maal: Kontekstualisasi
Kekayaan Altruistik Islami. The 1st Accounting Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,