Laporan kasus ini membahas manajemen pasien trauma dengan crush injury pada pedis dekstra yang mengalami debridement, eksplorasi, dan perbaikan. Pasien mengalami benturan di seluruh tubuh akibat kecelakaan lalu lintas dan menunjukkan tanda-tanda syok hipovolemik yang membutuhkan resusitasi cairan intensif dan monitoring tekanan darah invasif.
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
176 tayangan24 halaman
Laporan kasus ini membahas manajemen pasien trauma dengan crush injury pada pedis dekstra yang mengalami debridement, eksplorasi, dan perbaikan. Pasien mengalami benturan di seluruh tubuh akibat kecelakaan lalu lintas dan menunjukkan tanda-tanda syok hipovolemik yang membutuhkan resusitasi cairan intensif dan monitoring tekanan darah invasif.
Laporan kasus ini membahas manajemen pasien trauma dengan crush injury pada pedis dekstra yang mengalami debridement, eksplorasi, dan perbaikan. Pasien mengalami benturan di seluruh tubuh akibat kecelakaan lalu lintas dan menunjukkan tanda-tanda syok hipovolemik yang membutuhkan resusitasi cairan intensif dan monitoring tekanan darah invasif.
Laporan kasus ini membahas manajemen pasien trauma dengan crush injury pada pedis dekstra yang mengalami debridement, eksplorasi, dan perbaikan. Pasien mengalami benturan di seluruh tubuh akibat kecelakaan lalu lintas dan menunjukkan tanda-tanda syok hipovolemik yang membutuhkan resusitasi cairan intensif dan monitoring tekanan darah invasif.
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24
LAPORAN KASUS GAWAT DARURAT
RESUSITASI CAIRAN DAN PERSIAPAN OPERASI PADA PASIEN
CRUSH INJURY PEDIS DENGAN GENERAL ANESTESIA - INTUBASI
Disusun Oleh : Adhi Satriyo Utomo (0910714058) Nova Lestarina Ayu (0910714047) Chairunnisa Basyarahil (0910714064) Jessica Sharmila (0910714006)
Pembimbing : dr. Taufik Agus. S, SpAn
LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT dr. SAIFUL ANWAR MALANG 2014 2
PENDAHULUAN
3
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien Nama : Tn. YP Usia : 23 tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki Alamat : Ds. Jatisari RT 12?4 Pakisaji Malang Berat Badan : 60 kg Register : 1420xxx Jenis Pembedahan : Debridement + Explore + Repair Rencana Anestesi : General Anesthesia - Intubasi
2. Persiapan Pre Operasi 2.1 Anamnesis (4 Agustus 2014) A : tidak ada riwayat alergi obat-obatan dan makanan M : tidak didapatkan riwayat pengobatan sebelumnya P : riwayat HT (-), DM (-), asthma (-), pembedahan (-) L : makan terakhir jam 17.30 tanggal 4 Agustus 2014, minum terakhir jam 17.30 tanggal 4 Agustus 2014 E : Pasien menegendarai motor dan ditabrak dari arah berlawanan oleh motor yang sedang menyalip mobil sehingga pasien terjatuh ke sisi sebelah kanan.
2.2 Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (13 Februari 2014) B1 : paten, benda asing (-), suara tambahan (-), BM > 3 Jari, Mallampati I, spontan 20 x/m, reguler simetris, rh (-), wh (-), suara vesikuler simetris, SaO 2
98 % dgn NRBM 10 lpm, retraksi intercostal (-), jejas (+) di regio antebrachii dextra dan regio patella dextra. B2 : akral hangat, CRT < 2, nadi radialis reguler kuat angkat, 78x/m, TD 130/80, S1-2 tunggal, murmur (-), gallop (-). B3 : GCS 356, Pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+ B4 : BAK (+), urin warna kuning jernih (+), terpasang kateter urin, produksi urin 75cc/jam. B5 : flat, BU (+) normal, muscular defense (-), mual (-), muntah (-). B6 : Pedis dextra 4
Deformitas (+), open wound (+) di regio pedis dextra, tenderness (+), AVN distal (-), ROM limited
EKG : sinus rhythm dengan HR 60 x/menit. Foto Thorax AP : dalam batas normal. Foto Cranium AP/Lateral : dalam batas normal. Foto regio Femur AP : fraktur terbuka Os Femur dekstra 1/3 tengah. 5
Foto regio Cruris AP/Lateral : fraktur terbuka Os Tibia-Fibula dekstra 1/3 distal. CT-scan kepala : fraktur segmental Os Frontalis sisi kanan, hematosinus frontalis kanan dan ethmoidalis kanan-kiri, sinusitis maksillaris bilateral, tissue swelling regio frontalis bilateral, senile brain atrophy.
2.4 Assessment ASA 1 Diagnosa pra bedah: CKR 356 + open fracture pedis dextra ec crush injury
2.5 Planning Tanggal dilakukan anestesi : 5 Agustus 2014 Jenis anestesi : GA-Intubasi Jenis pembedahan : debridement + explore + repair
2.6 Persiapan Operasi 2.6.1 Di UGD Surat ijin operasi + surat ijin tindakan anestesi Puasa minimal 6 jam pre op IVFD NS 2000 cc + maintenance Premedikasi: ketorolac 30 mg, ranitidin 50 mg, ciprofloxacin 3x1 2.6.2 Di Kamar Operasi Scope Stetoskop, Laringoskop Tubes ETT (cuffed) size 7,5 Airway orotracheal airway Tape Plaster for fixation Introducer Untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan Connector penyambung antara pipa dan alat anestesi Suction memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction Obat emergensi : SA, lidokain, adrenalin, efedrin
3. Laporan Anestesi Perioperative Diagnose pra bedah : CKR 356 + open fracture pedis dextra ec crush injury Keadaan pra bedah : TB 170 cm, BB 60 kg 6
TD 110/70 mmHg, Nadi 80x/menit, suhu 36,5 C, Hb 13,40 gr/dL Terakhir makan dan minum > 6 jam lalu Jenis pembedahan : debridement + explorasi + repair
7
PEMBAHASAN
1. Manajemen Pasien Trauma Trauma adalah penyebab utama kematian di Amerika sampai usia 35 tahun. Sampai dengan sepertiga dari seluruh pasien yang masuk rumah sakit di Amerika Serikat secara langsung berhubungan dengan trauma. Lima puluh persen kematian trauma terjadi segera , dengan 30% terjadi dalam beberapa jam setelah cedera ("golden hours"). Karena banyak korban trauma memerlukan operasi segera, ahli anestesi dapat secara langsung menentukan kelangsungan hidup pasien trauma. Bahkan, anestesi sering berperan pada resusitasi primer, dengan pemberian anestesi sebagai peran sekunder. Penilaian awal pasien trauma dapat dibagi menjadi survei primer, sekunder, dan tersier. Survei primer selama 2-5 menit dan terdiri dari urutan ABCDE: Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure. Jika fungsi salah satu dari tiga sistem pertama terganggu, resusitasi harus dimulai segera. Pada pasien sakit kritis, resusitasi dan penilaian dilanjutkan secara bersamaan oleh tim praktisi trauma. Pemantauan dasar termasuk electrocardiograph (EKG), tekanan darah non- invasif, dan pulse oximetry dapat dimulai di lapangan dan dilanjutkan selama pengobatan. Survei sekunder dan tersier yang lebih komprehensif dari pasien mengikuti survei primer (Morgan et. al., 2006). Pada kasus ini, pasien datang setelah ditabrak mobil saat sedang memunguti sampah. Pasien mengalami benturan di seluruh anggota badan dan sempat mengalami kehilangan kesadaran, tanpa adanya mual dan muntah. Saat datang ke IGD, pasien dalam keadaan sadar penuh (alert). Jalan nafas pasien paten, tidak terdengar suara tambahan. Pasien bernafas spontan dengan laju pernafasan 20 kali per menit, reguler dan pergrakan dada simetris. Ditemukan jejas di dada yang menandakan adanya trauma tumpul pada dada. Akral pasien teraba hangat dengan capillary refill time kurang dari 2 detik. Nadi radialis teraba reguler dan kuat angkat dengan laju 80 kali per menit, tekanan darah pasien 110/70 mmHg. Selain itu, ditemukan luka terbuka di regio frontal, femur, dan kruris dekstra. Dari survei primer di atas, dapat kita ketahui bahwa pasien tidak dalam kondisi kritis saat datang ke IGD, ditandai dengan tanda vital pasien yang masih dalam batas normal. Terdapat gangguan pada kesadaran dengan adanya 8
riwayat pingsan. Meskipun tidak terdapat mual dan muntah, kecurigaan terhadap adanya cedera otak belum dapat disingkirkan. Perlu dilakukan pemeriksaan CT- scan dan foto polos kepala untuk memastikan hal tersebut. Pada regio frontal didapatkan jejas sehingga menimbulkan kecurigaan adanya trauma yang dapat mengakibatkan fraktur pada tulang wajah (Os Frontalis) yang kemudian dapat dipastikan dengan foto polos wajah. Pada pasien juga ditemukan jejas di regio thoraks yang menimbulkan kecurigaan akan adanya fraktur costae, tension pneumothorax, dan contusio pulmonum. Selain itu, didapatkan luka terbuka pada regio femur dan kruris dekstra yang mengarah pada adanya fraktur di daerah tersebut. Oleh karena itu, pasien perlu dilakukan pemeriksaan radiologi lebih lanjut. Lokasi perdarahan harus diidentifikasi dan dikendalikan dengan tekanan langsung pada luka. Perdarahan dari ekstremitas mudah dikontrol dengan penekanan menggunakan dressings dan packs; torniket dapat menyebabkan cedera reperfusi. Perdarahan akibat trauma dada biasanya dari arteri interkostal dan sering melambat atau berhenti ketika paru-paru dikembangkan menggunakan drainase selang dada. Perdarahan karena cedera intraabdominal, tergantung pada beratnya, memungkinkan periode resusitasi cairan dan darah saat evaluasi bedah selesai. Istilah syok menunjukkan kegagalan sirkulasi yang mengakibatkan perfusi tidak adekuat pada organ vital dan pada pengiriman oksigen. Meskipun ada banyak penyebab syok, pada pasien trauma biasanya akibat hipovolemia. Respon fisiologis perdarahan antara lain takikardia, perfusi kapiler yang buruk, dan penurunan tekanan nadi sampai dengan hipotensi, takipnea, dan delirium. Konsentrasi serum hematokrit dan hemoglobin bukan indikator kuat untuk kehilangan darah akut. Stimulasi saraf somatik perifer dan cedera jaringan besar akan memperburuk penurunan curah jantung dan stroke volume yang tampak pada syok hipovolemik. Kondisi hemodinamik yang labil pada pasien ini menuntut pemantauan tekanan darah arteri invasif. Pada hipovolemia berat, bentuk gelombang nadi dapat hampir menghilang selama fase inspirasi ventilasi mekanis. Derajat hipotensi pada awal kedatangan ke ruang gawat darurat dan ruang operasi berkorelasi kuat dengan angka kematian (Morgan et. al., 2006).
9
TABEL 1. Klasifikasi Syok Berdasarkan Mekanisme dan Penyebab Umum (Morgan et. al., 2006) Syok Hipovolemik Kehilangan darah (syok hemoragik) Perdarahan eksternal Trauma Perdarahan Traktus Gastrointestinal Perdarahan Internal Hematoma Hemothorax atau hemoperitoneum Kehilangan plasma Terbakar Dermatitis eksfoliatif Kehilangan cairan dan elektrolit Eksternal Muntah Diare Berkeringat (berlebihan) Status hiperosmolar (diabetic ketoacidosis, hyperosmolar nonketotic coma) Internal ("third-spacing") Pankreatitis Ascites Obstruksi usus Syok Kardiogenik Dysrhythmia Tachyarrhythmia Bradyarrhythmia Kegagalan memompa (sekunder terhadap myocardial infarction atau cardiomyopathy lain) Disfungsi valvular akut (khususnya lesi regurgitasi) Ruptur septum ventrikel atau free ventricular wall Syok Obstruktif Tension pneumothorax Penyakit perikard (tamponade, constriction) 10
Penyakit vaskuler pulmonal (massive pulmonary emboli, pulmonary hypertension) Cardiac tumor (atrial myxoma) Left atrial mural thrombus Penyakit katup obstruktif (aortic or mitral stenosis) Syok Distributif Syok septik Syok Anafilaktik Syok Neurogenik Obat-obatan vasodilator Acute adrenal insufficiency
TABEL 2. Klasifikasi Klinis Syok (Morgan et. al., 2006) Patofisiologi Manifestasi Klinis Mild (<20% EBV) Penurunan hanya pada perfusi perifer dari organ yang mampu menahan iskemia berkepanjangan (kulit, lemak, otot, dan tulang). pH arteri normal. Pasien merasa kedinginan. Hipotensi postural dan takikardia. Kulit lembab, pucat, dan teraba dingin; vena leher kolaps; urin pekat. Moderate (2040% EBV) Penurunan perfusi sentral pada organ, dapat menoleransi iskemia dalam waktu singkat (hepar, usus, ginjal). Terdapat asidosis metabolik. Kehausan. Hipotensi Supinasi dan takikardia (bervariasi). Oliguria dan anuria. Oliguria and anuria. Severe (> 40% EBV) Penurunan perfusi jantung dan otak. Asidosis metabolik parah. Bisa terdapat asidosis respiratorik. Agitasi, kebingungan, tingkat kesadaran berubah. Hipotensi supinasi dan takikardia. Pernapasan cepat dan dalam.
Pada kasus ini, pasien datang dengan tanda vital yang masih dalam batas normal dan tidak ditemukan maifestasi klinis dari syok. Namun, bahaya syok masih perlu diwaspadai mengingat adanya perdarahan pada luka terbuka di regio femur dan kruris dekstra, ditambah dengan jejas pada regio frontal dan thoraks. Menurut Morgan et. al. (2013), pasien ini mengalami hipovolemia 11
dengan persentase kehilangan cairan sebanyak 5% dari berat badan (dalam Liter).
TABEL 3. Tanda Kehilangan Cairan atau Hipovolemia (Morgan et. al., 2013) Kehilangan Cairan (Persentase dari Berat Badan) Tanda 5% 10% 15% Membran mukosa Kering Sangat kering Parched Sensorium Normal Lethargik Kebas Perubahan orthostatik Tidak ada Ada Ditemukan heart rate Peningkatan > 15 kali per menit
Tekanan darah Penurunan > 10 mm Hg Laju aliran urinasi Sedikit menurun Menurun Sangat menurun Nadi Normal atau meningkat Meningkat > 100 kali per menit Ditandai meningkat > 120 kali per menit Tekanan darah Normal Sedikit menurun dengan variasi respirasi Menurun
2. Penilaian Preoperatif Landasan dari evaluasi properatif yang efektif adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang seharusnya mendaftar semua pengobatan yang dikonsumsi oleh pasien di masa lalu, riwayat alergi dan obat yang menyebabkannya, serta reaksi dan respon pasien terhadap anestesia yang sebelumnya pernah diberikan. Selain itu, evaluasi ini perlu memasukkan prosedur diagnostik sesuai indikasi, prosedur radiologi, atau hasil konsultasi dari dokter di bidang lainnya. Evaluasi preoperatif merupakan panduan untuk 12
perencanaan anestesi: perencanaan preoperatif yang inadekuat dan persiapan pasien yang tidak lengkap terkait dengan komplikasi anestetik (Morgan et. al., 2013). Evaluasi preoperatif memiliki banyak tujuan, salah satunya adalah untuk mengidentifikasi pasien yang hasil tatalaksananya akan semakin baik dengan prosedur medikasi tertentu (yang pada situasi tertentu menjadikan rencana pembedahan dijadwal-ulang). Sebagai contoh, seorang pasien berumur 60 tahun dijadwalkan akan dilakukan arthroplasty pinggul total secara elektif, juga memiliki angina tak stabil pada arteri koronaria kiri, diprediksi kemungkinan hidup paska operasinya meningkat jika dilakukan coronary artery bypass graft sebelum prosedur elektif tadi. Tujuan evaluasi preoperatif lainnya adalah untuk mengidentifikasi pasien yang kondisinya sangat buruk sehingga pembedahan yang akan dilakukan justru mempercept kematian tanpa meningkatkan kualitas hidupnya. Contohnya, seorang pasien dengan penyakit paru-paru kronis yang parah, gagal ginjal stadium akhir, gagal hati, dan gagal jantung diprediksi tidak dapat bertahan terhadap instrumentasi fusi spinal berbagai level yang kompleks selama 8 jam (Morgan et. al., 2013).
2.1 Anamnesis Anamnesis preoperatif dapat menentukan permasalahan pada pasien yang mungkin mempengaruhi pembedahan, terapi, dan prosedur diagnostik. Ditemukannya penyakit dasar yang parah harus diketahui sebelum dilakukan terapi apa pun. Oleh karena terdapat potensi dari interaksi obat dengan anestesia, riwayat pengobatan yang lengkap termasuk penggunaan terapi herbal harus ditanyakan. Hal ini termasuk juga konsumsi tembakau dan alkohol, serta obat-obatan terlarang seperti marijuana, kokain, dan heroin. Selain itu, dokter harus dapat membedakan antara alergi obat (ditandai dengan sesak nafas atau rash) dan intoleransi obat (ditandai gelaja gastrointestinal). Pertanyaan detil tentang pembedahan dan anestesi sebelumnya dapat mengungkapkan adanya komplikasi anestesi. Riwayat masalah anestesi pada keluarga merupakan salah satu tanda dicurigai adanya masalah anestesi keluarga seperti malignant hyperthermia. Ulasan secara general pada sistem organ sangat penting untuk menentukan adanya masalah medis yang belum terdiagnosis. Pertanyaan yang ditanyakan harus mencakup fungsi kardiovaskular, pulmonal, endokrin, hepar, renal, dan neurologis. Respon positif terhadap adanya keluhan pada fungsi- 13
fungsi tesebut harus digali secara detil untuk menentukan adanya gangguan pada organ yang bersangkutan (Morgan et. al., 2006). Pada pasien ini tidak ditemukan riwayat alergi, pengobatan, dan pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya. Pasien datang ke IGD karena tertabrak mobil saat sedang memunguti sampah. Pasien sempat tidak sadar, tetapi tidak mual ataupun muntah. Pasien mengeluhkan kepalanya terasa berat dan pusing. Pasien terakhir makan 12 jam sebelum masuk IGD. Pasien menyangkal riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dan asthma.
2.2 Pemeriksaan Fisik Anamnesis dan pemeriksaan fisik berperan saling melengkapi: pemeriksaan fisik mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada anamnesis dan anamnesis membantu pemeriksaan fisik agar fokus pada sistem organ yang harus diperiksa lebih teliti. Pemeriksaan fisik pada pasien sehat dan tanpa keluhan harus minimum mencakup pengukuran tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut jantung, laju pernapasan, dan temperatur) dan pemeriksaan jalan nafas, jantung, paru-paru, dan sistem muskuloskeletal dengan menggunakan teknik standar yaitu inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi. Pemeriksaan neurologis singkat juga penting ketika anestesia regional akan diberikan dan dapat digunakan untuk mendeteksi adanya defisit neurologis sebelum anestesi. Anatomi pasien juga perlu dievaluasi secara spesifik ketika direncanakan prosedur seperti blok saraf, anestesia regional, atau monitoring secara invasif; terjadinya infeksi di atau dekat lokasi anestesi atau abnormalitas anatomis yang signifikan dapat menjadi kontraindikasi dari prosedur-prosedur tersebut (Morgan et. al., 2006). Pentingnya pemeriksaan jalan napas harus ditekankan. Pertumbuhan gigi pasien sebaiknya diinspeksi untuk memeriksa adanya gigi yang tanggal atau longgar dan adanya caps, bridges, atau gigi palsu. Kondisi gigi yang ompong (tidak bergigi) dan abnormalitas wajah dapat mengganggu pemasangan masker saat prosedur anestesi. Micrognathia (jarak pendek antara dagu dan tulang hyoid), gigi seri atas yang prominen, lidah besar, keterbatasan gerak sendi temporomandibula atau cervical spine, atau leher pendek dapat merupakan penyulit intubasi trakea. Mallampati menemukan suatu aturan yang menyatakan adanya hubungan antara yang terlihat pada inspeksi laring langsung per oral dan 14
yang melalui laringoskopi. Untuk melakukan evaluasi Mallampati, pasien didudukkan, lalu pasien diminta mengekstensikan leher dan membuka mulut lebar-lebar, menjulurkan lidah, dan menyuarakan "aah". Dokter kemudian menginspeksi nafas pasien, lidah, palatum durum dan mole, dan tonsil (Birnbaumer et. al., 2002). Skoring Mallampati (Nuckton et. al., 2006): I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula IV. Hanya terlihat palatum durum
Gambar 1. Pemeriksaan Mallampati (Nuckton et. al., 2006) Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan fisik dengan mencakup 6B: breath, blood, brain, bladder, bowel, dan bone. Dari pemeriksaan B1 (breath), abnormalitas yang ditemukan berupa jejas melintang +10cm setinggi ICS II di regio thoraks. Pada pemeriksaan B2 (blood), semua masih dalam batas normal. Namun, pasien mengalami perdarahan pada luka terbuka di kaki kanannya sehingga dilakukan resusitasi cairan dengan 2000cc normal saline. Pada pemeriksaan B3 (brain), B4 (bladder), dan B5 (bowel) tidak ditemukan abnormalitas. Sedangkan pada B6 (bone) didapatkan nyeri pada kaki kanan pasien dan luka terbuka pada regio femur dan kruris dekstra, serta jejas pada regio frontalis. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan anamnesis, dapat disimpulkan diagnosis pra-bedah pada pasien ini adalah cedera kepala ringan dengan GCS 456, trauma tumpul thoraks, vulnus appertum regio femur dan kruris dekstra dengan dugaan fraktur.
15
2.3 Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang Lainnya Pemeriksaan laboratorium rutin bagi pasien sehat tanpa keluhan direkomendasikan jika pemeriksaan gagal mendeteksi adanya abnormalitas. Pemeriksaan rutin tersebut biasanya mahal dan jarang mengganggu manajemen perioperatif; bahkan, abnormalitas yang ditemukan sering tidak dihiraukan--atau mengakibatkan penundaan yang tidak perlu. Dilakukannya pemeriksaan laboratorium preoperatif menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko perioperatif ketika ditemukan adanya abnormalitas dan terdapat penurunan risiko ketika abnormalitas tersebut dikoreksi. Kegunaan pemeriksaan awal suatu penyakit bergantung pada sensitivitas dan spesifisitas tes tersebut, serta prevalensi dari penyakit yang bersangkutan. Pemeriksaan laboratorium yang sensitif memiliki lebih sedikit kemungkinan hasil negatif palsu, sementara pemeriksaan yang spesifik memiliki lebih sedikit hasil positif palsu. Prevalensi penyakit bervariasi sesuai populasi yang diperiksa dan seringkali tergantung pada jenis kelamin, usia, latar belakang genetik, dan gaya hidup yang dipraktikkan. Oleh karena itu, pemeriksaan akan paling efektif ketika prosedur yang digunakan spesifik dan sensitif dilakukan pada pasien yang dicurigai memiliki abnormalitas yang bersangkutan. Pemeriksaan laboratorium seharusnya berdasarkan ada atau tidaknya dugaan suatu penyakit yang disimpulkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik (Morgan et. al., 2006). Pemeriksaan kehamilan pada pasien wanita usia subur meski sebelumnya tidak terdiagnosis hamil dapat mencegah potensi efek teratogenik dari obat-obatan anestesia pada fetus; pemeriksaan tersebut melingkupi deteksi choriconic gonadotropin (hCG) pada urin atau serum. Pemeriksaan rutin deteksi AIDS (antibodi HIV) masih dalam perdebatan. Pemeriksaan rutin koagulasi dan urinalisis tidak efektif dan menghabiskan biaya pada pasien yang sehat dan tanpa gejala (Morgan et. al., 2006). Pemeriksaan laboratorium pada pasien terdiri atas pemeriksaan darah lengkap, faal hemostasis, fungsi hepar, fungsi ginjal, gula darah sewaktu, dan analisa gas darah. Dari semua pemeriksaan, ditemukan abnormalitas pada kadar hemoglobin, leukosit, dan packed cell volume (PCV). Terdapat penurunan sedikit pada hemoglobin (12,70 gr/dL) dari batas normal (13,40-17,70 gr/dL) tetapi hal ini tidak signifikan. Terdapat peningkatan kadar leukosit (15130 /L)sebanyak 5170 /L dari batas normal (4300-10300 /L). Hitung leukosit yang meningkat dapat merupakan respon dari suatu infeksi, stres, inflamasi (reaktif), atau 16
produksi sel leukosit yang abnormal (pada leukemia) (Naushad et. al., 2012). Selain itu, juga terdapat peningkatan signifikan pada PCV (93,50%) sebanyak 46,50% dari persentase normalnya (40,0-47,0%). Menurut dr. Shirish Kumar (2006), hal ini bisa disebabkan rendahnya tekanan oksigen (hipoksia), dehidrasi, peningkatan produksi eritrosit dengan penyebab apa pun, dan proliferasi malignan dari sel darah merah (polycythemia vera). Pada pasien ini kemungkinan besar disebabkan adanya hipoksia dan dehidrasi akibat perdarahan. Pemeriksaan penunjang lainnya pada pasien adalah EKG, foto polos regio cranium AP/Lateral, regio thoraks AP, regio femur dekstra AP, dan regio cruris dekstra AP/Lateral, serta CT scan kepala. Tidak ditemukan abnormalitas pada pemeriksaan EKG, foto polos regio cranium, dan regio thoraks. Pada foto polos regio femur didapatkan fraktur terbuka Os Femur dekstra di 1/3 tengah. Selain itu, pada foto polos regio cruris dekstra AP/Lateral ditemukan adanya fraktur terbuka Os Tibia-Fibula dekstra di 1/3 distal. Pada CT-scan kepala, terdapat fraktur segmental Os Frontalis bagian kanan, hematosinus frontalis kanan dan ethmoidalis kanan-kiri, sinusitis maksillaris bilateral, tissue swelling regio frontalis bilateral, senile brain atrophy. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang; pasien didiagnosis pra-bedah dengan: cedera kepala ringan dengan GCS 456, trauma tumpul thoraks, fraktur terbuka Os Femur dextra 1/3 tengah grade I, fraktur terbuka Os Tibia-Fibula dextra 1/3 distal grade II
2.4 Klasifikasi Status Fisik Pasien Secara konvensional, dokter-dokter di banyak negara menggunakan klasifikasi American Society Of Anesthesiologists (ASA) untuk menentukan risiko sebelum sedasi dan anestesi pada pembedahan. Klasifikasi status fisik ASA memiliki banyak manfaat dibandingkan dengan instrumen klasifikasi risiko lainnya (Morgan et. al., 2013). TABEL 4. Klasifikasi Status Fisik Pasien berdasarkan ASA (Morgan et. al., 2013) Kelas Definisi 1 Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri 17
2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari 3 Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas sehari- hari 4 Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun tanpa operasi
5 Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tetapi tetap dilakukan operasi sebagai upaya resusitasi 6 Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil untuk tujuan donor E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas 1-6 di atas
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien dalam kasus ini dimasukkan ke dalam ASA kelas 3.
3. Anestesi pada Pasien Geriatri Pasien geriatri mengalami penurunan berbagai fungsi organ yang juga akan mempengaruhi prosedur dan jenis obat anestesia yang dipilih. Berikut hal- hal yang perlu diperhatikan pada pasien geriatri berdasarkan Morgan and Mikhail's Clinical Anesthesiology 5th Edition (2013). Tanpa penyakit penyerta, fungsi sistolik jantung pada kondisi istirahat masih dalam kondisi baik, bahkan pada orang berusia 80 tahunan. Peningkatan tonus vagal dan penurunan sensitivitas reseptor adrenergik menyebabkan penurunan laju denyut jantung. Pasien geriatri yang menjalani evaluasi echocardiography sebelum pembedahan memiliki insiden disfungsi diastolik dibandingkan dengan pasien yang berusia muda. Berkurangnya cadangan jantung pada banyak pasien geriatri diduga merupakan manifestasi dari penurunan tekanan darah yang besar selama induksi prosedur anestesi general. Waktu sirkulasi yang memanjang memperlambat onset dari obat intravena, tetapi mempercepat induksi dengan anestesia inhalasi. 18
Penuaan menurunkan elastisitas jaringan paru, menjadikan alveoli over- distensi dan kolaps pada jalan nafas kecil. Volume residual dan kapasitas residual fungsional meningkat seiring penuaan. Jalan nafas yang kolaps meningkatkan volume residual dan kapasitan penutupan. Bahkan pada orang normal, kapasitas penutupan melebihi kapasitas residual fungsional pada usia 45 tahun dengan posisi supinasi dan usia 65 tahun dengan posisi duduk. Respon neuroendokrin terhadap stres masih dalam kondisi baik, atau mungkin dapat sedikit menurun pada pasien geriatri yang sehat. Penuaan dikaitkan dengan penurunan respon terhadap obat-obatan adrenergik . Kelemahan dalam pengaturan, kemampuan konsentrasi, dan kapasitas dilusi ion natrium merupakan predisposisi pasien geriatri pada kerentanan terhadap dehidrasi dan overload cairan. Massa dan aliran darah hepatik menurun seiring menuanya usia. Fungsi hepar menurun bersama dengan menurunnya massa hepar. Kebutuhan dosis untuk anestesia lokal dan general (konsentrasi alveolar minimum) berkurang. Pemberian volume anestesia epidural lokal tertentu cenderung menghasilkan penyebaran yang lebih ekstensif pada pasien geriatri. Durasi kerja obat anestesia spinal akan menjadi lebih lama. Penuaan menghasilkan perubahan baik pada farmakokinetik maupun farmakodinamik. Perubahan lain terkait suatu penyakit dan variasi yang luas antar-individu di populasi yang sama menjadikan tidak adanya generalisasi yang mudah dipahami. Pasien geriatri membutuhkan dosis propofol, etomidate, barbiturat, opioid, dan benzodiazepin yang lebih rendah.
5. Masukan Oral Pasien Preoperatif Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi (Latief et. al., 2010).
19
Tabel 5. Masukan Oral Pasien Preoperatif (Latief et. al., 2010) Usia pasien Intake oral Lama puasa (jam) puasa yg diberikan < 6 bln Clear fluid Breast milk Formula milk 2 3 4 20 cc/kg 6 bln 5 thn Clear fluid Formula milk Solid 2 4 6 10 cc/kg >5 thn Clear fluid Solid 2 6 10 cc/kg Adult, op. pagi Clear fuid Solid 2 Puasa mulai jam 12 mlm
Adult, op. siang Clear fluid Solid 2 Puasa mulai jam 8 pagi
Pasien merupakan pasien dewasa yang datang ke IGD pada pagi hari, sehingga direncanakan pembedahan siang atau sore hari. Maka seharusnya pasien puasa minimum 6 jam sebelum pembedahan. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien makan terakhir 12 jam sebelum datang ke IGD sehingga pasien telah puasa > 12 jam sebelum pembedahan.
6. Terapi Cairan Preoperatif Dengan hilangnya masukan oral, defisit cairan dan elektrolit dapat berkembang dengan cepat sebagai akibat dari produksi urin yang berkelanjutan, sekresi gastrointestinal, berkeringat, dan kehilangan cairan yang tidak disadari pada kulit dan paru-paru (Morgan et. al., 2013). Tabel 6. Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan (Morgan et. al., 2013) Berat Badan Laju 10 kg pertama 4 mL/kg/jam 10 kg kedua Tambahkan 2 mL/kg/jam Setiap kg di atas 20 kg Tambahkan 1 mL/kg/jam
20
Pada pasien ini, dengan berat badan 60 kg dan usia 60 tahun, maka estimasi kebutuhan cairan pemeliharaan selama puasa adalah sebagai berikut. Estimasi = (10kg x 4mL) + (10kg x 2mL) + (40kg x 1mL) = 40 + 20 + 40 = 100 mL/jam
7. Resusitasi Cairan pada Perdarahan Preoperatif Terjadinya syok pada pasien trauma hampir selalu terkait dengan kehilangan darah atau perdarahan, baik internal maupun eksternal. Terapi pada syok yang disebabkan perdarahan adalah dengan menghentikan perdarahan dan memberi cairan resusitasi (RL atau NS) dan/atau produk darah (transfusi). Pada panduan Advanced Trauma Life Support (ATLS) prosedur yang dianjurkan adalah sebagai berikut. Pertama, hitung estimasi volume darah pasien sebelum perdarahan. Pada orang dewasa, sekitar 7% (dalam Liter) dari berat badan (dalam kilogram). Tentukan kelas perdarahan sesuai tabel berikut. Tabel 7. Kelas Perdarahan berdasarkan ATLS (Advanced Trauma Life Support Student Course Manual, 9th ed, 2013, American College of Surgeons, pp. 68-70). Kelas Kehilangan Darah Tanda I 15% EBV (s/d 750mL) Nadi < 100x/menit, SBP normal, tekanan nadi normal, RR 14-20x/menit, urine output > 30 mL/jam, status mental agak cemas, dan cairan pengganti awal adalah kristaloid (Ringers Lactate atau Normal Saline). II 15-30% (750-1500mL) Nadi 100-120x/menit, SBP normal, tekanan nadi turun, RR 20-30x/menit, urine output 20-30mL/jam, status mental agak cemas, dan cairan pengganti awal adalah kristaloid (Ringers Lactate atau Normal Saline). III 30-40% Nadi 120-140x/menit, SBP turun, tekanan 21
(1500-2000mL) nadi turun, RR 30-40x/menit, urine output 5-15mL/jam, status mental cemas dan bingung, dan cairan pengganti awal adalah kristaloid (Ringers Lactate atau Normal Saline) dan/atau darah (tergantung respon pemberian 1L kristaloid). IV > 40% (> 2000mL) Nadi > 140x/menit, SBP turun, tekanan nadi turun, RR > 35x/menit, urine output sangat sedikit, status mental bingung dan letargik, dan cairan pengganti awal adalah kristaloid (Ringers Lactate atau Normal Saline) dan darah. Pasang 2 jalur intravena dengan jarum besar (ukuran minimum 16G) pada vena antecubiti dan ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap, serum elektrolit, BUN, kreatinin, faal hemostasis, dan crossmatching; juga tes kehamilan bagi pasien wanita usia subur. Masukkan cairan resusitasi hangat secara intravena 1-2L untuk dewasa, secepatnya. Pada anak, diberikan 20mg/kgBB. Respon pasien menentukan tindakan selanjutnya. Respon Keterangan Cepat Terdapat normalisasi hemodinamik, dan terus stabil meskipun cairan intravena dikurangi menjadi dosis maintenance. Biasanya pada pasien dengan kehilangan darah < 20% EBV, dan tidak memerlukan tambahan cairan resusitasi atau pun transfusi darah. Meski demikian, pasien ini tetap diambil sampel darah untuk crossmatching sebagai persiapan. Transien Pasien merespon dengan peningkatan tanda vital dan perbaikan perfusi. Namun, ketika cairan intravena diperlambat sampai dosis maintenance, tanda vital dan perfusinya memburuk lagi. Pasien-pasien ini mungkin mengalami perdarahan berkelanjutan atau membutuhkan lebih banyak cairan/darah. Biasanya pada pasien yang 22
kehilangan darah 20-40% EBV. Pasien ini memerlukan darah dan produk darah lainnya, serta memerlukan pembedahan segera atau pengendalian perdarahan internal dengan angiografi. Minimal/ tidak merespon Pasien memberikan respon minimum atau tidak berespon terhadap pemberian cairan intravena awal. Pasien-pasien ini membutuhkan pembedahan atau angiografi pengendalian perdarahan internal sesegera mungkin. Jika tidak segera, maka pasien ini kemungkinan besar akan meninggal dunia. Jangan lupa memasang kateter urin untuk memantau pengeluaran urin sebagai salah satu indikator respon adekuat pada resusitasi cairan dan perbaikan perfusi organ. Pasien trauma seringkali mengalami dilatasi gaster yang dapat menyebabkan hipotensi yang tidak dapat dijelaskan, kopromais respirasi, dan aritmia jantung. Pasangkan selang orogastrik atau nasogastrik dan hubungkan dengan suction untuk dekompresi lambung (Advanced Trauma Life Support Student Course Manual, 9th ed, 2013, American College of Surgeons, pp. 72-74). Pasien pada kasus ini memiliki berat badan 60 kg, maka estimasi volume darahnya (7% dari berat badan) adalah 4200 mL. Berdasarkan pemeriksaan fisik, pasien ini dimasukkan dalam kelas I perdarahan mengingat tanda vitalnya masih dalam batas normal dengan urine output 75 mL/jam (>30 mL/jam). Status mental pasien masih baik dengan GCS 456, tidak gelisah atau pun cemas. Maka diperkirakan pasien kehilangan darah sekitar 15% dari EBV, yaitu 630 mL. Berdasarkan anjuran pada ATLS, cairan pengganti awal berupa cairan kristaloid. Pada pasien ini kemudian diberikan Normal Saline 0,9% sebanyak 2000 mL (3 x 630 = 1890 mL) secepat mungkin (habis dalam 2 jam). Selanjutnya, pasien diberikan cairan rumatan dengan laju 100 mL/jam seperti yang sudah dijelaskan di atas. Pasien terus stabil dengan kondisi baik yang menandakan respon cepat. Oleh karena itu, tidak diindikasikan transfusi pada pasien ini. Pada pasien tidak dipasang OGT atau pun NGT.
23
8. Premedikasi Premedikasi merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia di antaranya sebagai berikut (Latief et. al., 2010). Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi anesthesia Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Meminimalkan jumlah obat anestetik Mengurangi mual muntah pasca bedah Menciptakan amnesia Mengurangi isi cairan lambung Mengurangi reflek yang membahayakan Pasien diberikan premedikasi di IGD berupa ketorolac 30 mg dan ranitidin 50 mg secara intravena. Ketorolac merupakan obat NSAIDs (Nonsteroidal Anti- Inflammatory Drugs) yang bekerja dengan menghambat COX-1 dan COX-2 sehingga dapat menurunkan sintesis prostaglandin sebagai salah satu mediator inflamasi yang menimbulkan nyeri. Sedangkan ranitidin adalah obat golongan inhibitor kompetitif reseptor H 2 -blockers yang dapat menurunkan resiko perioperatif berupa aspirasi pneumonia dengan menurunkan volume sekresi gaster serta meningkatkan pH cairan gaster.
24
DAFTAR PUSTAKA
Advanced Trauma Life Support Student Course Manual, 9th ed, 2013, American College of Surgeons, pp. 68-74.
Birnbaumer Dianne M., Charles V. Pollack Jr. 2002. Troubleshooting and Managing The Difficult Airway, Semin Respir Crit Care Med. 2002;23(1)
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4 th
Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2013. Clinical Anesthesiology. 5 th
Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Schreiber, M. S. 2011. The Use of Normal Saline for Resuscitation in Trauma. The Journal of Trauma Vol 70 Number 5. Lippincott Williams & Wilkins.