Terapi Divertikulum Zenker membahas tiga pilihan terapi untuk penyakit ini, yaitu reseksi divertikular terbuka, mucomyotomy endoluminal, dan terapi endoskopik lainnya. Reseksi terbuka memiliki komplikasi lebih sedikit tetapi memerlukan insisi bedah, sedangkan mucomyotomy endoluminal dan terapi endoskopik lainnya dapat mencapai kesembuhan hingga 90% tanpa insisi namun berisiko kekambuhan
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
358 tayangan10 halaman
Terapi Divertikulum Zenker membahas tiga pilihan terapi untuk penyakit ini, yaitu reseksi divertikular terbuka, mucomyotomy endoluminal, dan terapi endoskopik lainnya. Reseksi terbuka memiliki komplikasi lebih sedikit tetapi memerlukan insisi bedah, sedangkan mucomyotomy endoluminal dan terapi endoskopik lainnya dapat mencapai kesembuhan hingga 90% tanpa insisi namun berisiko kekambuhan
Terapi Divertikulum Zenker membahas tiga pilihan terapi untuk penyakit ini, yaitu reseksi divertikular terbuka, mucomyotomy endoluminal, dan terapi endoskopik lainnya. Reseksi terbuka memiliki komplikasi lebih sedikit tetapi memerlukan insisi bedah, sedangkan mucomyotomy endoluminal dan terapi endoskopik lainnya dapat mencapai kesembuhan hingga 90% tanpa insisi namun berisiko kekambuhan
Terapi Divertikulum Zenker membahas tiga pilihan terapi untuk penyakit ini, yaitu reseksi divertikular terbuka, mucomyotomy endoluminal, dan terapi endoskopik lainnya. Reseksi terbuka memiliki komplikasi lebih sedikit tetapi memerlukan insisi bedah, sedangkan mucomyotomy endoluminal dan terapi endoskopik lainnya dapat mencapai kesembuhan hingga 90% tanpa insisi namun berisiko kekambuhan
Kesimpulan Pendahuluan: divertikulum Zenker adalah penyakit yang jarang, dimana dapat menyebabkan penderitaan pada pasien. Presentasi klasik dari penyakit ini adalah disfagia yang berat. Secara anatomis terdapat tonjolan pada bagian dorsal hipofaring. sebuah septum dapat tumbuh antara divertikulum dan lumen esofagus dan menpersulit lewatnya makanan. Pilihan terapi yaitu reseksi divertikular terbuka (open diverticular resection) dikombinasikan dengan myotomy otot cricopharyngeus, atau dengan pendekatan endoluminal atau transoral yang memisahkan septum dengan menggunakan teknik endoskopi flexibel atau rigid. Metode: ulasan selektif dari literatur yang ditemukan pada situs Medline. Hasil: kesembuhan yang signifikan dapat dicapai pada lebih dari 90% kasus dengan menggunakan salah satu pendekatan tersebut. Metode endoluminal mempunyai komplikasi yang lebih sedikit tetapi mempunyai tingkat kekambuhan yang tinggi. Diskusi: perencanaan terapi harus didasarkan pada beberapa disiplin ilmu kedokteran, dan perlu diperhatikan juga akan risiko yang ada serta anatomi masing-masing individu. Ludlow awalnya mendeskripsikan apa yang nanti disebut dengan divertikulum Zenker pada sebuah laporan autopsi yang ditulis pada tahun 1764. lesi ini kemudian diberi nama divertikulum Zenker pada tahun 1877 oleh ahli patologi Friedrich Albert von Zenker yang berasal dari Erlangen, Jerman. Temuan patologis adalah temuan berupa mukosa dan submukosa yang berbentuk seperti kantong pada dinding dorsal dari hipofaring, pada bagian kranial dari sphinkter esofagus. Lesi ini sebenarnya adalah sebuah pseudodivertikulum (divertikulum palsu), karena dindingnya hanya terdiri dari mukosa dan submukosa. Lesi ini muncul karena dua alasan. Pertama karena adanya titik lemah pada dinding muskuler dari hipofaring dimana divertikulum tersebut terjadi. Otot-otot hipofaring disusun atas serat otot konstriktor faring inferior, yang mana bagian bawahnya dikenal dengan musculus crichofaringeal. Serat dari otot ini tersusun secara oblik pada bagian atas dan horizontal pada bagian bawah. Antara kedua bagian ini, terdapat ruang dengan ukuran yang bervariasi, yang disebut sebagai segitiga Killian. Kantong pada bagian dorsal dari mukosa dan submukosa muncul terutama pada bagian ini dimana pertahanannya yang tidak kuat. Alasan kedua terjadinya divertikula Zenker adalah meningkatnya tekanan hipofaring, yang dapat ditunjukkan secara manometrik. Hal ini diperkirakan karena adanya peningkatan tonus otot crichoparingeal, dengan relaksasi sfinkter esofagus yang tidak cukup yang terletak di bagian bawahnya. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan bahwa crichopharingeus sangat rentan terhadap perubahan degeneratif seperti atrofi dan fibrosis, yang menyebabkan otot ini menjadi kurang elastis. Setelah dilakukan myotomi pada cricopahringeus, pemeriksaan tekanan bolus yang diukur secara manometrik kembali menjadi normal, tekanan hipofaring yang secara fisiologis menurun dapat dikembalikan. Keefektifan myotomi cricopharingeus sebagai satu-satunya terapi pilihan pada divertikulum Zenker telah ditunjukkan pada beberapa penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa cricopahringeus memiliki peranan sentral pada patofisiologi kondisi ini dan myotomi cricopharingeus harus selalu menjadi terapi pilihan, sedangkan segala tindakan lain merupakan terapi tambahan saja. Manifestasi klinis Gejala paling umum adalah disfagia dan regurgitasi. Pada tahap awal dari penyakit ini biasanya hanya muncul ketika pasien mengkonsumsi makanan padat; namun kemudian dapat berkembang terus sehingga terdapat disfagia untuk makanan dengan semua konsistensi, bahkan terhadap cairan sekalipun. Simptom akut dapat muncul seperti perasaan seperti adanya makanan di tenggorokan, tersedak makanan, dan batuk ketika makan. Gejala yang lain adalah regurgitasi nokturnal dari makanan yang belum tercerna, suara yang parau, dan halitosis. Mungkin juga terdapat gejala lanjutan seperti hilangnya berat badan hingga 20kg dan kakeksia, atau komplikasi lain seperti pneumonia aspirasi yang berulang. Retensi obat-obatan oral pada divertikulum dapat menjadikan obat-obatan itu menjadi tidak efektif. Salah satu efek psikososial yang penting adalah pasien merubah kebiasaan makanannya dan menarik diri dari lingkungan. Karena gejala-gejala tersebut, penderita biasanya menghindari adanya orang lain ketika mereka makan. Banyak penderita melaporkan adanya penurunan kualitas yang signifikan ketika kondisi yang mereka derita terus berlanjut. Divertikulum Zenker biasanya menimbulkan gejala pada pasien dengan umur diatas 50 tahun; diantara pasien yang menjalani terapi, umur pasien tertua adalah 70 tahun. Seringkali terdapat jarak beberapa tahun antara onset dari gejala hingga dilakukannya pengobatan. Karena pasien biasanya berusia tua ketika mereka diobati, pasien-pasien ini biasanya juga memiliki penyakit lain yang juga harus diperhitungkan sehingga dapat diberikan terapi alternatif. Diagnosis Prosedur diagnosis paling penting adalah penelanan barium esofagus (barium meal) dan difoto pada beberapa tingkat. Pada tingkat sendi sternoclavicula, gambaran khas berupa kantong (outpouching) pada permukaan dorsal dari esofagus dapat dilihat, dan ukuran serta posisinya dapat ditaksir dengan mudah (figure 2). Banyak penulis mengklasifikasikan divertikulum Zenker berdasarkan ukurannya, diukur dari arah craniocaudal, yaitu: kecil (hingga 2 cm), sedang (2-4 cm) dan besar (4-6 cm). Esofagogastroduodenoscopy tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pemeriksaan ini dapat dilakukan setelah dilakukan penelanan barium (jika pemeriksaan ini tidak dilakukan lebih dulu sebagai prosedur awal). Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan lain yang dapat menyebabkan keluhan yang sama pada pasien, misalnya gastroesofageal reflux atau tumor esofagus. Pemeriksaan endoskopi harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan dibawah pengawasan langsung, sehingga pembukaan pada lumen esofagus yang kecil pada bagian cranial, tepi dari divertikulum tersebut dapat dikenali dan dimasuki. Terapi Perkembangan terapi dalam sejarah Eksisi bedah divertikulum melalui pendekatan servikal lateral telah dijelaskan beberapa kali sejak tahun 1884. Pada abad ke 20, teknik yang lebih baru seperti pemisahan dari otot cricopharyngeus (myotomi) mulai dikembangkan. Teknik myotomi sering dikombinasikan dengan reseksi divertikulum untuk mengeliminasi kenaikan tekanan pada sfinkter esofagus bagian atas. Pada awal tahun 1917, Mosher memisahkan jembatan muskuler antara esofagus dan divertikulum dengan pendekatan endoskopi pada sejumlah kecil pasien tetapi harus menghentikan teknik ini karena adanya risiko mortalitas. Pada tahun 1960, Dohlmann dan Mattson menjelaskan tentang pemisahan dari septum dengan koagulasi melalui endoskopi transoral rigid. Sebuah modifikasi dari prosedur ini yang disebut teknik stapler, diperkenalkan oleh Collard pada tahun 1993: disini, tepi-tepi dari perlukaan di hekter pada saat yang bersamaan. Metode paling baru dalam mengatasi divertikulum Zenker adalah dengan memisahkan septum (mucomyotomy) dengan menggunakan endoskopi fleksibel dengan jarum-pisau bedah atau dengan argon plasma coagulation (APC). Sejak awal 1990an, teknik ini semakin populer secara internasional. Penelitian pertama diterbitkan pada tahun 1995 oleh kelompok dari Brazil dan Belanda; penelitian lebih lanjut dengan modifikasi- modifikasi telah banyak dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Reseksi bedah divertikulum Operasi ini dilakukan dengan bantuan anestesi umum dengan menggunakan pipa endotrakeal. Sebuah insisi dibuat pada batas anterior dari sisi kiri muskulus strenocleidomastoideus, dan diseksi diteruskan secara ventral menuju lapisan karotid sehingga divertikulum dapat dicapai dimana divertikulum terletak antara esofagus dan tulang servikal. Ketika leher dari divertikulum telah tampak, divertikulum di diseksi bebas, diangkat, dan kemudian dilakukan reseksi, misalnya dengan alat hekter (stapler). Sebuah myotomy pada otot cricopharyngeus kemudian dilakukan sebagai tambahan: otot ini dipisahkan dari tepi yang saling berhadapan dari leher divertikulum secara caudal sejauh 3-5 cm, tanpa membuka mukosa esofagus dibawahnya. Lebih lanjut, pilihan terapi yang jarang dipakai adalah mobilisasi seluruh divertikulum secara cranial dan kemudian dijahit (diverticulopexy) atau invaginasi divertikulum kedalam esofagus sehingga pembukaan pada esofagus itu sendiri dapat dihindari. Terapi endoluminal dengan mucomyotomy Prinsip dasar dari terapi ini adalah septum antara lumen esofagus dan divertikulum harus dipisahkan sekomplit mungkin. Karena otot cricopharyngeus menyusun sebagian dari jembatan ini, tindakan myomtomy diperlukan untuk mencapai tujuan ini. Ketika septum telah dipisahkan, makanan dapat lewat melalui divertikulum, yang sekarang sudah kolaps kedalam esofagus (figure 3). Ketika mucomyotomy dilakukan melalui endoskopi rigid, maka diperlukan anestesi umum endotrakeal dan hiperekstensi leher. Sebuah alat divertikuloskop spesial, yang sering disebut sebagai Weerda laryngoskop, digunakan untuk memvisualisasikan dinding partisi (septum) dari divertikulum tersebut. Instrumen ini terdiri dari dua cabang yang bisa digenggam pada berbagai sudut. Salah satu cabang dimasukkan kedalam divertikulum dan yang lainnya kedalam esofagus, kemudian sudut antara kedua cabang ini diperbesar sehingga septum dapat terlihat. Sebuah endoskop rigid kemudian digunakan untuk visualisasi ketika septum dipisahkan dengan laser CO 2 atau gunting diathermik. Sebuah modifikasi penting adalah penggunaan alat stapler/hecter yang dipandu dengan endoskopi. Ketika alat ini (misalnya stapler Endo-GIA 30) sudah pada posisinya, septum divertikular dipisahkan ketika tepi luka berbentuk huruf V dihekter secara berurutan. Secara teori teknik ini memiliki keuntungan yaitu risiko perforasi dan pendarahan yang lebih rendah ketika luka dihekter secara berurutan. Untuk divertikula yang besar maka diperlukan beberapa kali penggunaan hekter. Mucomyotomy dengan endoskopi fleksibel dilakukan melalui gastroskopi video dengan posisi pasien left lateral. Pasien tidak diintubasi, tetapi diberikan analgesi dan sedasi (midazolam/disoprivan/pethidine). Sebelum prosedur dilakukan, NGT dimasukkan dengan menggunakan kawat panduan. NGT ini memungkinkan orientasi yang lebih baik selama prosedur dan juga menstabilkan dinding esofagus (figure 3). Tutup transparan dipasangkan pada ujung endokop untuk memberikan pandangan lebih terhadap septum yang lebih luas. Endoskop kemudian dimasukkan kedalam septum (figure 4) dan septum dipisahkan dengan menggunakan gunting-pisau atau sebuah probe APC dapat dimasukkan kedalam saluran kerja dari endoskopi pada garis midline, dari cranial ke caudal, hingga sedikit diatas bagian bawah divertikulum (figure 5 dan 6). Dapat juga dilakukan penutupan luka dengan klip metal. Jika gejala tetap ada atau berulang karena septum yang masih tersisa, maka prosedur ini dapat diulang. Hasil Hampir semua penelitian yang telah diterbitkan tentang berbagai macam terapi dari divertikulum Zenker adalah penelitian retrospektif dengan evidence grade IIB dan III (case control study, non randomized). Penelitian-penelitian ini memberikan informasi tentang hasil dan komplikasi. Pada beberapa penilitian non-acak, teknik pembedahan dibandingkan satu sama lain dan dengan endoskopi rigid; tidak ada penelitian yang dapat dibandingkan yang meliputi ketiga metode tersebut sekaligus. Rata-rata umur pasien pada semua penelitian ini adalah sekitar 70 tahun. Hanya sedikit dari penelitian yang diterbitkan menyebutkan tingkat drop-out, tapi sepertinya pasien yang menjalani terapi bedah terbuka telah diseleksi dengan hati-hati terlebih dahulu. Tabel 1 berisi data dari penelitian-penelitian dari berbagai jenis terapi yang didapatkan dari pencarian literatur kami. Penelitian yang relevan dari setiap jenis terapi telah disebutkan dan dijelaskan. Terapi bedah (Reseksi divertikulum/divertikuloplexy/myotomy) Sebuah analisis dari 10 npenelitian yang diterbitkan sejak 1990 dengan setidaknya 30 pasien pada setiap penelitian menyebutkan bahwa perbaikan simptomatik hingga 94% dan 91% pasien bebas dari gejala setelah prosedur dilakukan. Tingkat berulangnya gejala sampai 7.5% dengan single outlaying value 16% pada salah satu penelitian. Komplikasi serius seperti mediastinitis, pneumonia, dan pendarahan hebat muncul pada 7.5% kasus pada beberapa penelitian. Pembentukan fistula, stenosis, kelumpuhan syaraf laring rekuren, dan infeksi luka muncul hingga 25% dari semua pasien. Pada tiga penelitian, tingkat mortalitas berkisar antara 1.2% hingga 3.4% Mucomyotomy dengan endoskopi rigid Sebuah analsis dari tujuh peneltiain dengan terapi CO 2 dan stapler, gejala-gejala yang ada mengalami perbaikan pada 96% pasien, sedangkan pasien yang asimptomatik berjumlah 90%. Tingkat rekurensi hingga 15.4%. komplikasi nya berupa dental injury, paresis pita suara transien, pendarahan, pembentukan fistula, paresis servikal, emfisema servikal, pneumonia aspirasi, dan perforasi yang dapat diatasi dengan cara konservatif. Komplikasi yang lebih serius muncul pada 3.8% pasien pada salah satu penelitian dan terdiri dari dua kasus pendarahan yang diterapi dengan pembedahan terbuka. Terapi stapler tidak dimungkinkan pada 13% pasien karena situasi anatomi masing-masing individu. Sen dkk mengulas hasil dari 29 penelitian dari endoscopic stapling technique (ESD) yang terdiri dari 576 pasien. 53-100% pasien dari masing-masing penelitian mengalami perbaikan gejala penuh. Rata-rata lama rawat dirumah sakit adalah 2,3 hari. Tingkat komplikasi berkisar antara 0-17%; 2.6% pasien mengalami komplikasi serius (14 perforasi), dan ada dua kematian, sehingga meningkatkan angka kematian menjadi 0.43%. kebanyakan perforasi memerlukan perubahan prosedur menjadi terapi bedah terbuka. Mucomyotomy dengan endokopi fleksibel Hasil dari teknik ini telah diterbitkan pada 10 penelitian dengan total 388 pasien (tabel 2) . perbaikan gejala sebanyak 84% hingga 96% pasien pada masing-masing penelitian, sementara kesembuhan total dari 3 penelitian adalah 39-100% pasien. Satu dari tiga sesi diperlukan untuk memberikan hasil ini. Tingkat berulangnya gejala sekitar 3-35%; pada kebanyakan kasus rekurensi, kesembuhan total dapat dicapai dengan mengulang terapi. Komplikasi serius muncul hanya pada satu pasien pada salah satu penelitian dimana pasien ini mengalami mediastinitis diikuti dengan sepsis dan penyembuhan yang lama. Komplikasi lain cukup ringan dan muncul sekitar 2%-23% (tabel 2). Komplikasi tersebut adalah pendarahan, demam, emfisema mediastial atau kutan, dan pneumonia. Tingkat mortalitas dari semua penelitian ini adalah nol. Pada penelitian kami, kami mengobati 31 pasien dengan mucomyotomy pisau dan mengkelompokkan pasien-pasien tersebut secara hati-hati pada skala disfagia khusus. Sepuluh pasien(32%) memerlukan prosedur ulang. Setelah 2,2 tahun follow up, 12 pasien (39%) asimptomatik, sementara 14 (45%) memiliki gejala residual ringan atau sedang. Empat pasien (13%) memiliki gejala yang cukup jelas dan memerlukan terapi ulang, sementara satu pasien (3%) memilih untuk menjalani pembedahan. Kesimpulan Ada tiga konsep terapi berbeda untuk divertikulum Zenker asimptomatik: pembedahan terbuka dan terapi dengan endoskopi fleksibel atau rigid. Ketiganya memperbaiki disafagia dengan tingkat kesuksesan 90%. Pembedahan terbuka tingkat komlplikasi paling tinggi karena ini merupakan metode paling invasif dari ketiganya. Fakta ini relevan secara klinis karena pasien biasanya berusia tua. Kerugian lain adalah lamanya masa rawatan di rumah sakit dibandingkan dengan terapi endoluminal. Pada sisi lain, keuntungan lain adalah hasil yang baik dan jarang sekali untuk melakukan pengulangan prosedur. Keuntungan lain dari terapi resektif adalah, dari sudut pandang jarangnya rekurensi terjadi (0.4%) dari neoplasia malignan pada divertikulum Zenker, menurut pandangan penulis, bukanlah suatu keuntungan sama sekali. Pemeriksaan endoskopi menunjukkan adanya perubahan malignan pada divertikulum; lebih lanjut, ketika terapi endoskopi telah dilakukan, penyebab paling munngkin dari karsinoma (tekanan dan stasis dari divertikulum) telah terleminasi. Walaupun begitu, masalah ini harus didiskusikan pada pasien sebelum jenis terapi diputuskan. Metode endoskopi rigid banyak digunakan di eropa. Keuntungan metode ini adalah masa rawat rumah sakit yang pendek, terutama setelah stapler esophagodiverticulostomy, rendahnya tingkat komplikasi, dan rekurensi. Tingkat komplikasi serius hingga 3.8% dengan mortalitas 0.43%. komplikasi lebih ringan terjadi setelah endoskopi fleksibel dan biasanya terdiri dari masalah lokal seperti dental injury, paresis pita suara, dan fistula. Pada beberapa pasien (sekitar 13%) prosedur harus diubah menjadi pembedahan terbuka karena alasan anatomis seperti kurang hiperekstensibilitas leher, ketidakmampuan untuk membuka rahang cukup lebar, atau divertikulum yang kecil (<2cm). Pasien harus waspada akan kemungkinan ini dan mengerti akan hal ini sebelum prosedur dilakukan. Mucomyotomy dengan endoskopi fleksibel, seperti teknik yang lain, memberikan tingkat kesuksesan yang tinggi. Persentasi pasien yang sembuh total bervariasi dan tergantung dari ketepatan data yang ada. Persentase kesembuhan total yang rendah (39%) ditemukan pada penelitian kami sendiri, dibandingkan dengan penelitian lain, hal ini mungkin disebabkan karena kami menggunakan skor disfagia khusus (skala numerik analog) untuk menilai disfagia. Komplikasi serius jarang dijumpai pada metode ini. Komplikasi serius muncul hanya pada satu pasien pada satu penelitian (tingkat komplikasi pada penelitian tersebut adalah 3%; perforasi dengan mediastinitis). Komplikasi yang lebih ringan, seperti pendarahan ringan dan emfisema mediastinal atau kutan umum dijumpai, sedangkan tidak ada kematian yang terjadi pada prosedur ini pada semua penelitian. Kekhawatiran bahwa prosedur ini akan menyebabkan perforasi dengan mediastinitis telah terbukti benar. Keuntungan dari mucomyotomy fleksibel adalah dimungkinkannya melakukan prosedur ini dibawah analgesia dan sedasi (tanpa anestesi umum endotrakeal) dan tingkat komplikasi yang rendah yang berhubungan dengan invasi yang minimal. Di sisi lain, tingkat rekurensinya cukup tinggi sehingga diperlukan pengulangan prosedur. Rekurensi, pada konteks ini, didefinisikan sebagai kembali timbulnya gejala, walaupun pada gambaran radiologis tidak tampak residual atau divertikulum rekuren, karena temuan ini tidak kuat hubungannya dengan gejala klinis. Kesimpulannya, dari data-data yang ada saat ini tidak ada teknik yang lebih superior daripada yang lain. Mucomyotomy endokopik fleksibel, karena tingkat invasif dan komplikasi yang lebih rendah, tampaknya menjadi satu-satunya teknik yang menjanjikan. hal ini dikarenakan pasien dengan divertikulum Zenker cenderung berusia tua sehingga lebih mudah mendapatkan komplikasi. Pada sisi lain, kerugiannya adalah kemungkinan besar untuk dilakukannya prosedur ulangan. Pada departemen penulis, pengulangan prosedur menjadi semakin jarang karena pengalaman kami yang semakin bertambah, dan harus diingat bahwa prosedur ulangan jika diperlukan dapat dilakukan dengan aman dan nyaman. Di kantor pusat kami, saat ini kami sedang melakukan percobaan acak terkontrol membandingkan koagulasi argon plasma dengan insisi jarum-pisau pada mucomyotomy endoskopik fleksibel. KETERANGAN GAMBAR DAN TABEL Figure 1. hipopharing dorsal dengan segitiga Killian (kiri) dan divertikulum Zenker (kanan). Figure 2. foto x-ray anteroposterior: penelanan barium menunjukkan adanya divertikulum Zenker. Foto x-ray lateral: pergeseran lateral dari lumen esofagus Figure 3. mucomyotomy dengan jarum-pisau diikuti oleh pembuatan saluran bebas kedalam esofagus Figure 4. tampilan melalui tutup transparan: divertikulum terlihat pada bagian kiri, esofagus dengan NGT tampak pada bagian kanan. Figure 5. pemisahan septum dengan jarum-pisau: divertikulum tampak pada bagian bawahnya. Sedangkan esofagus dengan NGT pada bagian atas Figure 6. tiga bulan setelah prosedur: mucomytomy komplit dengan kolaps divertikulum pada arah jam 5. Tabel 1 Hasil dari berbagai jenis terapi Tipe terapi Pembedahan Endoluminal Endoluminal fleksibel CO 2 /stapler Stapler saja Nomor penelitian;nomor referensi Tahun 10; 15-24 1955-1999 7; e1-e7 1999-2004 29; e8 1993-2003 10; 9-18 1995-2007 Jumlah pasien 1532 456 576 388 Follow-up (dalam tahun) 3.8 2.0 2.1 1.3 Rekurensi (%) 3.6-7 3.9-15.4 0-32 3.3-35 Perbaikan simptomatik (%) 84-94 80-96 Data tidak tersedia 93-96 Kesembuhan total (%) 82-91 53-90 53-100 39-100 Komplikasi (%) -ringan -berat
Tabel 2 Hasil dari mucomyotomy endoskopik fleksibel Penulis Jumlah pasien Jumlah sesi Komplikasi Follow-up (dalam bulan) Hasil Mulder 20 3 Tidak ada 6.7 Semua pasien mengalami perbaikan simptomatis Ishioka 42 1.8 Ringan: 4.7% 38 93% tanpa disfagia, 7.3% mengalami perbaikan, 7% mengalami rekurensi Hashiba 47 2.2 Ringan: 15% 1-12 96% mengalami perbaikan, 4% dengan perbaikan minimal Mulder 125 1.8 Ringan:19.2% Tidak disebutkan Lebih baik pada semua kasus, walaupun beberapa pasien masih menderita gejala Sakai 10 1 Tidak ada 2-12 Semua pasien dengan disfagia grade 0 Evrard 30 1 Berat:3% Ringan 10% 13 93% sembuh total 3.3% mengalami perbaikan, 3.3% rekurensi Vogelsang 31 1.4 Ringan: 23% 26 39% perbaikan total; 45% perbaikan yang cukup; 16% tidak memuaskan atau tidak ada perbaikan Christiaens 21 1.1 Ringan: 2.1% 3 90% disfagia grade 0; 10% disfagia grade 1 Rabenstein 34 3 Ringan: 20% 16 15% rekurensi dan diperlukan prosedur ulangan Costamagna 28 1.1 Ringan: 23% 36 29% sembuh total atau dengan gejala sisa ringan; 71% respon inkomplit