Presus Anestesi
Presus Anestesi
Presus Anestesi
Trauma"
Edwin Hafiz 20040310127
Dibuat oleh: Edwin H,Modifikasi terakhir pada Thu 01 of Jul, 2010 [13:50 UTC]
Abstraks
Anestesi umum (general anestesia) adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara
yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia. Untuk
mewujudkan trias anestesi berupa hipnotika, anestesia/analgesia, dan relaksasi dapat diberikan
obat anestesi tunggal maupun kombinasi.
Pada pasien ini dilakukan anestesi teknik inhalasi menggunakan pipa endotrakeal metode
nafas kendali. Metode ini cocok untuk dilakukan pada operasi yang berlangsung lama, pada
kasus ini laparotomi memakan waktu 1 jam 30 menit. Sebelum anestesi dilakukan, dilakukan
evaluasi dan persiapan. Penilaian dan persiapan pra anestesi dimulai dari anamnesis, yang
meliputi riwayat penyakit sistemik yang diderita, yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi
oleh anestesi, riwayat pemakaian obat yang telah maupun sedang digunakan, riwayat operasi
terdahulu, kebiasaan merokok, dan riwayat alergi. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2
hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiovaskular.
Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anastesia yang setidaknya sebagian
tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi atau pada fungsi ginjal. Dengan adanya renal
impairment, modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit
aktif. Terlebih lagi, efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal
dari agen-agen ini.
History
Pasien laki-laki, 43 tahun post KLL 30 menit yang lalu datang dengan keluhan nyeri perut bagian
bawah. Pasien sadar dan masih ingat kejadian Pasien merasakan sakit pada perutnya karena pada
saat itu terbentur oleh benda tumpul. Pasien hanya merasakan mual tetapi tidak muntah. Pasien
tidak merasa pusing. Terdapat luka robek pada pipi kanan, luka lecet pada lutut kanan. Pasien
masih bisa kentut, BAB belum post KLL.Riwayat penyakit asma, diabetes mellitus, jantung, dan
alergi obat disangkal. Belum pernah mengalami operasi sebelumnya.Pasien menyangkal adanya
anggota keluarga yang mengalami sakit serupa. Riwayat penyakit asma, diabetes, dan hipertensi
dalam keluarga disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak lemah dan kesakitan, Kesadaran : Compos Mentis, Vital sign dbn
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, tampak tegang dan keras, Auskultasi: bising
usus (+). Palpasi : defans muskuler (-), nyeri tekan (+), Perkusi : timpani
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah rutin : Kadau ureum : 64,5 dan kreatinin : 1,3 : lain-lain db
Keluhan : Pasien merasa kesakitan pada perutnya. Flatus (-), BAB (-)
Px . Fisik
KESIMPULAN
Diagnosis preoperative :
TINDAKAN ANASTESI
Keadaan pre-operative:
Pasien mengalami program puasa selama 6 jam. Keadaan pasien tampak kesakitan, kooperatif,
tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 84 x/menit. Hb : 14,7 gr/ dl. Resiko kardiologi minimal.
Jenis anestesi:
Anestesi umum, semi closed, kontrol respirasi menggunakan pipa endotrakeal nomor 7,0.
Induksi anestesi
Pasien diberikan Propofol 120 mg IV (dosis 2-2,5 mg/kgBB). Setelah pasien masuk dalam
stadium anestesi disusul dengan pemberian Scolin 60 mg IV (dosis 1 mg/kgBB) untuk
memudahkan intubasi endotrakeal.
Setelah itu pasien diberi O2 murni selama ± 1 menit, setelah terjadi relaksasi kemudian dilakukan
intubasi dengan pipa endotrakeal nomor 7,0. Balon pipa endotrakeal dikembangkan sampai tidak
ada kebocoran pada waktu melakukan napas buatan dengan balon napas. Kemudian diyakinkan
bahwa pipa endotrakeal ada dalam trakea dan tidak masuk ke dalam salah satu bronkus atau
esophagus dengan mendengarkan suara paru-paru dengan stetoskop. Gerakan dinding dada harus
simetris pada setiap inspirasi buatan. Kemudian orofaringeal tube dimasukkan mulut agar lidah
tidak jatuh ke belakang, lalu difiksasi dan dihubungkan dengan mesin anestesi.
Maintenance
Status anestesi dipertahankan dengan Isoflurane 2 Vol %, Sevofluran 2 Vol %, O2 2 liter / menit
dan N2O 2 liter / menit. Pada menit ke 30 setelah tindakan anestesi, diberikan Tracrium 30 mg IV
untuk mempertahankan relaksasi otot dan ditambahkan 5 mg IV. Selama tindakan anestesi
berlangsung, tekanan darah dan nadi senantiasa dikontrol tiap 10 menit. Tekanan darah sistolik
berkisar antara 100 – 145 mmHg. Tekanan diastolik berkisar antara 60 – 80 mmHg. Infus RL
diberikan pada pasien sebagai cairan rumatan.
Keadaan post-operasi
Operasi berlangsung selama 90 menit. Sesaat sebelum operasi selesai, pemberian Isofluran,
Sevofluran dan N2O dihentikan, sedangkan O2 terus diberikan. Ekstubasi dilakukan setelah
operasi selesai, kemudian rongga mulut dan trakea dibersihkan dengan suction untuk
menghilangkan lendir yang dapat menghalangi jalan napas.
Ruang Pemulihan
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor Aldrete. Bila pasien
tenang dan Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada kasus
ini Aldrete Score-nya yaitu kesadaran 1 (merespon bila nama dipanggil), aktivitas motorik 1 (dua
ekstremitas dapat digerakkan), pernapasan 2 (bernapas tanpa hambatan), sirkulasi 2 (tekanan
darah dalam kisaran <20% sebelum operasi), dan warna kulit 2 (merah muda). Jadi Aldrete
Score pada pasien ini adalah 8 sehingga layak untuk pindah ke bangsal. Untuk pasien ini
sementara dilakukan perawatan di ICU. Hal tersebut dilakukan untuk memonitor lebih ketat
keadaan umum dan vital sign pasien.
Diskusi
Pada kasus seorang laki-laki usia 43 tahun dilakukan operasi laparotomi emergency oleh karena
peritonitis perforasi post trauma. Dilakukan anastesi umum dengan metode semi-closed
intubation menggunakan pipa endotrakeal nomor 7.
Anestesi umum (general anestesia) adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara
yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia. Untuk
mewujudkan trias anestesi berupa hipnotika, anestesia/analgesia, dan relaksasi dapat diberikan
obat anestesi tunggal maupun kombinasi.
Pada pasien ini dilakukan anestesi teknik inhalasi menggunakan pipa endotrakeal metode nafas
kendali. Metode ini cocok untuk dilakukan pada operasi yang berlangsung lama, pada kasus ini
laparotomi memakan waktu 1 jam 30 menit.
Sebelum anestesi dilakukan, dilakukan evaluasi dan persiapan. Penilaian dan persiapan pra
anestesi dimulai dari anamnesis, yang meliputi riwayat penyakit sistemik yang diderita, yang
dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh anestesi, riwayat pemakaian obat yang telah maupun
sedang digunakan, riwayat operasi terdahulu, kebiasaan merokok, dan riwayat alergi. Kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi
sistem kardiovaskular.
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium penting untuk menilai status fisik pasien.
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk
diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Sementara pemeriksaan
penunjang atau pemeriksaan khusus lainnya bergantung pada kondisi pasien maupun penyakit
sistemik yang diderita. Hal lain yang sangat mendukung adalah konsultasi dengan dokter
spesialis atau dengan unit terkait, apabila ditemui gangguan fungsi organ, yang dapat
mempengaruhi atau dipengaruhi anestesia dan pembedahan.
· ASA II : Pasien dengan penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.
· ASA III : Pasien dengan penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat, yang
disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.
· ASA IV : Pasien penyakit bedah dengan penyakit sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya.
· ASA V : Pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang sudah
tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan
meninggal.
Seluruh pasien yang dijadwalkan operasi elektif dengan anesthesia harus dipuasakan untuk
mencegah regurgitasi lambung. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam, dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat, air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.
Premedikasi ialah pemberian obat sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan dan bangun dari anestesi, diantaranya:Meredakan kecemasan dan ketakutan,
Memperlancar induksi anesthesia, Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus,
Meminimalkan jumlah obat anestetik, Mengurangi mual-muntah pasca bedah, Menciptakan
amnesia, Mengurangi isi cairan lambung, dan Mengurangi reflek yang membahayakan.
Dalam kasus ini, diberikan ondansentron 4 mg, ketorolac 30 mg, sulfas atropine 0,25 mg, dan
midazolam 2 mg secara intravena.
· Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual
dan muntah.
· Ketorolac merupakan analgetika non opioid yang selain bersifat analgetik juga bersifat
antiinflamasi, antipiretik dan anti pembekuan darah. Kerja obat ini menghambat aktivitas enzim
siklooksigenase, sehingga terjadi penghambatan sintesis prostaglandin perifer. Prostaglandin
sendiri dihasilkan oleh fosfolipid dari dinding sel yang rusak akibat trauma bedah. Efek analgetik
dari ketorolac dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6
jam. Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang sesuai kebutuhan, namun penggunaannya dibatasi
untuk 5 hari.
· Sulfas atropine pada dosis kecil (0,25 mg) diperlukan untuk menekan sekresi saliva,
mukus bronkus dan keringat. Sulfas atropine merupakan antimuskarinik yang bekerja pada alat
yang dipersarafi serabut pascaganglion kolinergik.
· Midazolam merupakan sedatif golongan benzodiazepine. Selain sedasi, juga berefek
hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansietas, relaksasi otot dan antikonvulsi.
Dosis sedasi yang diberikan secara IV = 0,025-0,1 mg/kgBB.
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan pembedahan. Pada kasus ini, digunakan
propofol sebagai induksi anestesi.
Propofol merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profil fenol. Berupa cairan
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Suntikan intravena
dapat menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena
4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg.
Sebagai rumatan (maintenance) digunakan inhalasi dengan Isofluran 2 vol%, Sevofluran 2 vol%,
O2 2 liter / menit dan N2O 2 liter / menit. Pemberian anesthesia dengan N2O harus disertai O2
minimal 25 %. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain. Pada
akhir anesthesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga
terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, diberikan O2
selama 5-10 menit.
Tracrium (Atrakurium Besilat/ Tramus) merupakan pelumpuh otot sintetik dengan masa kerja
sedang. Obat ini menghambat transmisi neuromuskuler sehingga menimbulkan kelumpuhan pada
otot rangka. Kegunaannya dalam pembedahan adalah sebagai adjuvant dalam anesthesia untuk
mendapatkan relaksasi otot rangka terutama pada dinding abdomen sehingga manipulasi bedah
lebih mudah dilakukan. Pada penggunaan bersama anestetik umum seperti eter, halotan,
metoksifluran, isofluran, enfluran, siklopropan dan flureksen, dosis pelumpuh otot kompetitif
harus dikurangi menjadi 1/3-1/2 kali dosis biasa (dosis = 1/3-1/2 x 0,4-0,5 mg/kgBB). Karena
interaksi dengan obat-obat tersebut memperlihatkan efek stabilisasi membrane pasca sinaps,
maka bekerja sinergistik dengan obat-obat penghambat kompetitif.
Pengelolaan Cairan:
· Perdarahan : ± 500 ml
Kebutuhan cairan total dalam 1 jam pertama : 120 + 480 + 300 = 900 ml/jam
EBV pada pria dewasa adalah 75 ml/kgBB sehingga pasien dengan BB = 60 kg, EBV = 4500 ml
Karena perdarahan yang terjadi kurang dari 20 % EBV, maka pemberian cairan dengan cairan
kristaloid. Pada pasien ini dapat diatasi dengan pemberian Ringer Lactat 5 kolf selama
pembedahan.
PERUBAHAN FUNGSI GINJAL DAN EFEKNYA TERHADAP AGEN-AGEN
ANASTESI
Banyak obat-obatan yang biasanya digunakan selama anastesia yang setidaknya sebagian
tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Dengan adanya renal impairment, modifikasi
dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Terlebih lagi, efek
sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini.
Observasi terakhir mungkin bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan obat, penetrasi
ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada blood brain barrier, atau efek sinergis dengan
toxin yang tertahan pada gagal ginjal.
AGEN INTRAVENA
Farmakokinetik baik propofol dan etomidate tidak mempunyai efeknya secara signifikan
pada gangguan fungsi ginjal. Penurunan ikatan protein dari etomidate pada pasien
hipoalbuminemia bisa mempercepat efek–efek farmakologi.
Ketamin
Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit yang aktif di
hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial akumulasi pada gagal ginjal.
Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada pasien-pasien hipertensi
ginjal.
AGEN-AGEN ANTIKOLINERGIK
Dalam dosis premedikasi, atropin dan glycopyrolate biasanya aman pada pasien gangguan renal
karena lebih dari 50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di urin,
potensi akumulasi terjadi bila dosis diulang. Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi
ginjal, tapi efek sistem syaraf pusat bisa dipertinggi oleh azotemia.
Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Methoclopramide sebagian
diekskresinya tidak berubah di urin dan akan diakumulasikan juga pada gagal ginjal. Walaupun
lebih dari 50% ondansetron diekskresikan di urin, tidak ada dosis yang disesuaikan yang di
sarankan untuk 5 HT3 bloker pada pasien dengan insufisiensi ginjal.
MUSCLE RELAXANT
Succinylcholine
SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium kurang dari
5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepolarisasi sebaiknya
digunakan .Walaupun penurunan level pseudocholinesterase pernah dilaporkan pada beberapa
pasien uremik yang mengikuti dialisis, perlamaan signifikan dari blokade neuromuscular jarang
terlihat.
Mivacurium tergantung pada eliminasi ginjal secara minimal. Perlamaan minor dari efek bisa
diobservasi karena berkurangnya plasma pseudocholinesterase. Cisatracurium & atracurium
didegradasi di plasma. Agen-agen ini mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot
pada pasien-pasien dengan gagal ginjal.
Kesimpulan
Pada pasien dilakukan laparotomi dengan general anestesi. Teknik yang digunakan harus
tepat dan harus dilakukan monitor yang ketat selama jalannya operai. Selain itu, karena pada
pasien ini terdapat gangguan fungsi ginjal, maka harus diperhatikan benar obat-obat maupun
agen anaestesi yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
Edwin Hafiz (20040310127). Program Profesi Pendidikan Dokter. Bagian Ilmu Anestesi &
Reanimasi. RSUD Wonosobo.