BAB I Penyuluhan Pertusis
BAB I Penyuluhan Pertusis
BAB I Penyuluhan Pertusis
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk melakukan penyuluhan kepada
masyarakat mengenai penyakit pertusis pada anak. Diharapkan melalui
penyuluhan dan makalah ini, orang tua dapat mengerti dan memahami hal-hal
mengenai penyakit pertusis dan pencegahanya pada anak masing-masing.
BAB 2
PEMBAHASAN
3
4
2.4 Epidemiologi
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80% sampai 100% pada penduduk yang rentan. Sampai
saat ini manusia merupakan satu-satunya host. Pertusis dapat ditularkan melalui
udara secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk.
Pertusis adalah penyakit endemik. Di Amerika Serikat antara tahun 1932
sampai tahun 1989 telah terjadi 1.188 kali puncak epidemi pertusis. Penyebaran
penyakit ini terdapat di seluruh udara, dapat menyerang semua golongan umur,
yang terbanyak adalah anak umur di bawah 1 tahun. Makin muda usianya makin
berbahaya penyakitnya, lebih sering menyerang anak perempuan daripada laki-
laki. Di Amerika Serikat + 35% penyakit terjadi pada usia kurang dari 6 bulan,
termasuk bayi yang berumur 3 bulan. Sekitar 45% penyakit terjadi pada usia
kurang dari 1 tahun dan 66% pada usia kurang dari 5 tahun. Kematian dan jumlah
kasus yang dirawat tertinggi terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan.
Antibodi dari ibu (transplansenta) selama kehamilan tidak cukup untuk
mencegah pertusis pada bayi baru lahir. Pertusis yang berat pada neonatus dapat
ditularkan dari ibu dengan gejala pertusis ringan. Kematian sangat menurun
setelah diketahui bahwa dengan pengobatan Eritromisin dapat menurunkan
tingkat penularan pertusis, karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari
pengobatan.1
2.5 Patogenesis
Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai 10 hari). Pertusis paling
mudah menular pada stadium kataral, bisa menular selama 3 minggu, atau sebelm
5 hari pengobatan dengan Eritromisin.1,2
Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis
infeksi terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap
mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit
sistemik.
6
Pada anak yang lebih besar, manivestasi klinis tersebut lebih ringan dan
lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak kurang dari 2 tahun. Suhu jarang
lebih dari 38,4oC pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan
B.parapertussis atau B.bronkiseptika lebih ringan daripada B.pertussis dan juga
lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan di bawah ini.1
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya
rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,
lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya
diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan dengan
common cold.
Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet
dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi.1
2.7.1 Anamnesis
Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien
pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas.
Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi.
2.11 Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak
laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis
dengan adanya program imunisasi. Pada tahun 1926 sampai tahun 1930 (era
sebelum imunisasi) di Amerika Serikat dan Inggris terdapat sebanyak 36.013
kematian yang disebabkan pertusis dan setelah era imunisasi berjalan terdapat 26
kematian yang disebabkan pertusis (tahun 1986 sampai tahun 1988). Melalui PPI
(Program Pengembangan Imunisasi), Indonesia telah melaksanakan imunisasi
pertusis dengan vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus). Pencegahan dapat
dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif.1
pertusis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25 ml/ im) telah
dipakai untuk mengontrol epidemi di antara orang dewasa yang terpapar.1
Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan
antikonvulsan setiap 4 sampai 6 jam selama 48 sampai 72 jam. Anak dengan
kelainan neurologik dengan riwayat kejang 7,2x lebih mudah terjadi kejang
setelah imunisasi DTP dan 4,5x lebih tinggi bila hanya mempunyai iwayat kejang
dalam keluarga. Maka pada keadaan anak yang demikian hanya diberikan
imunisasi DT (Difteri Tetanus).1
Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami
ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa
demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry
dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, demam lebih dari
40,5oC selama 2 hari yang tidak dapat diterangkan penyebabnya.1
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu
dengan pertusis. Kontak erat pada anak usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya
telah diberikan imunisasi hendaknya diberi booster dan Eritromisin
50 mg/kgBB/hari dalam 2 sampai 4 dosis selama 14 hari. Booster tidak perlu
diberikan bila telah diberi imunisasi dalam 6 bulan terakhir. Kontak erat pada usia
lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis.1
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran
infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien
pertusis tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberi eritromisin selama
14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya
eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat
eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalen dan eritromisin diberikan
waktu terjadi epidemi.1
b. Vaksin Aseluler
Komponen vaksin pertusis aseluler yang dimurnikan (AP), pada mulanya
berkembang di Jepang adalah imunogenik dan disertai dengan kejadian kurang
merugikan bila dibandingkan dengan DTP. Vaksin yang disediakan oleh 6 pabrik
telah digunakan secara luas di Jepang sejak tahun 1981, dan penggunaannya telah
mengendalikan pertusis. Trial kemanjuran kendali-plasebo, acak (tetapi bukan
kendali DTP) 2 vaksin pertusis aseluler (dikembangkan oleh institut kesehatan
Jepang dan dilakukan di Swedia selama tahun 1986-1987 di bawah sponsor AS)
menunjukkan kemanjuran vaksin aseluler ini sedikit kurang dibandingkan secara
historis dengan vaksin pertusis seluruh sel yang digunakan di AS. Reaktogenisitas
vaksin aseluler yang lebih rendah dan imunogenisitas yang baik pada anak AS
yang baru belajar jalan, digabung dengan bukti kemanjuran pada pemajanan-
rumah tangga dan penelitian berdasar populasi dari Jepang, menyebabkan
keluarnya lisensi AS (tahun 1991 sampai 1992) pada DTAP untuk penggunaan
pada anak umur lebih dari/ sama dengan15 bulan sebagai dosis ke-4 dan/ atau
ke-5 seri DTP yang dianjurkan. Vaksin ini ditoleransi dengan baik, dan
penggunaannya disertai dengan sedikit reaksi lokal yang lazim dan gejala-gejala
sistemik, demam dan kejang demam.5
2.12 Prognosis
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik.
Pada bayi risiko kematian 0,5-1% disebabkan ensefalopati. Pada observasi jangka
panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual di kemudian
hari.1
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
18
3.1. Kesimpulan
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri B.pertussis.
Pertusis disebut juga batuk rejan atau whooping cough karena pasien batuk 5
sampai 10x batuk tanpa berhenti dan berupaya keras untuk menarik napas
sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas (whoop). Pertusis
ditularkan melalui aerosol batuk atau bersin dari penderita pertusis. Tanpa
pengobatan, penderita pertusis dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain
mulai awal batuk sampai berminggu-minggu kemudian hingga batuk berhenti,
namun dapat menjadi tidak infeksius setelah 5 hari pengobatan dengan
eritromisin. Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai 10 hari). Stadium
klinis pertusis terdiri dari stadium katar yang ditandai dengan gejala seperti
infeksi saluran pernapasan, stadium paroksismal yang ditandai dengan batuk berat
5 sampai 10x batuk tanpa henti dan diakhiri dengan suara khas (whoop) dan/ atau
muntah, dan stadium konvalesens ditandai dengan batuk berkurang dan tidak
muntah lagi. Penegakan diagnosis berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang
(limfositosis dan biakan bakteri B.pertussis). Eritromisin 50 mg/kgBB/hari dalam
2 sampai 4 dosis dapat membasmi basil dalam 3 sampai 4 hari, namun tidak
meringankan stadium paroksismal penyakit. Terapi suportif diberikan terutama
untuk menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi
dan nutrisi, bila perlu beri oksigen dan pengisapan lendir pada bayi. Komplikasi
pertusis terutama pada sistem pernapasan (apnea dan pneumonia) dan saraf pusat
(ensefalopati dan kejang). Prognosisnya lebih baik pada anak usia lebih tua.
Siapa saja dapat terkena pertusis, terutama bayi muda dan anak yang lebih
tua. Infeksi pada bayi lebih serius dan dapat menimbulkan kematian. Imunisasi
yang diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan efektif untuk mencegah infeksi yang
berat, namun tidak memberikan kekebalan yang permanen. Oleh karena itu, perlu
diberikan booster dan profilaksis eritromisin pada anak usia kurang dari 7 tahun
yang kontak erat dengan penderita pertusis. Efek samping vaksinasi pertusis
adalah demam tinggi, nyeri lokal, dan rewel. Kontraindikasi pemberian vaksin
18
19
pertusis yaitu anak yang mengalami ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi,
kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi,
menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif
hiporesponsif ndalam 2 hari, demam lebih dari 40,5oC selama 2 hari yang tidak
dapat diterangkan penyebabnya. Pemberian vaksin pertusis aseluler memberi efek
samping lebih ringan, namun efek protektifnya lebih rendah dibandingkan
dengan vaksin pertusis sel penuh.
3.2. Saran
Bayi sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh karena itu dianjurkan pemberian
vaksin DTP pada usia 2, 4, dan 6 bulan sesuai dengan Program Pengembangan
Imunisasi untuk mencegah infeksi yang berat. Vaksin booster dianjurkan pada
usia 4 tahun dan 15 tahun karena imunisasi dasar pertusis tidak memberi
kekebalan permanen. Selain itu bila ada kontak erat dengan penderita pertusis
perlu diberikan profilaksis eritromisin dan isolirkan penderita, jika tidak mungkin
memutus kontak, maka perlu diberi eritromisin profilaksis hingga batuk berhenti.
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis.
Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai
penerbit IDAI. hal.331-336.
2. News Health. 2008. Pertusis (Batuk Rejan). Diunduh dari:
http:www.mhcs.heatlh.nws.gov.au.pdf. [diakses tanggal 20 Agustus 2010]
3. Pertusis (Batuk Rejan). Diunduh dari: http://digilib.unnes.ac.id.pdf.
[diakses tanggal 20 Agustus 2010]
4. Brooks, GF., Butel, JS., Ornston, LN. 1996. Bordetella. Dalam:
Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. hal 268-270.
5. Long, SS. 2000. Pertusis. Dalam: Wahab AS (Editor). Ilmun Kesehatan
Anak Nelson Volume 2 Edisi 15. Jakarta: EGC. hal.960-965.
20