Perbedaan Antara Suap Dengan Gratifikasi PAI
Perbedaan Antara Suap Dengan Gratifikasi PAI
Perbedaan Antara Suap Dengan Gratifikasi PAI
Suap
1.
2.
3.
Kitab
Gratifikasi
Undang-Undang
1.
tentang Perubahan UU
No.
No 73)
tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
UU
No.
11
Tahun
31
Tahun
1999
2002
tentang
Komisi
Pemberantasan
31
tentang
Korupsi (UU
Tindak
Pemberantasan Tipikor)
Tahun
1999
Pemberantasan
2.
Peraturan
Menteri
Keuangan
2002
03/PMK.06/2011 tentang
tentang
Komisi
Nomor
Pemberantasan
Pengelolaan
Milik
Tipikor)
Berasal
Barang
Negara
Dari
yang
Barang
janji,
sedangkan
ia yakni
bahwa
sesuatu
atau
meliputi
pemberian
barang,
rabat
penginapan,
sesuatu
atau
tidak
dan
fasilitas
kewajibannya
sarana
UU
Pemberantasan
Tipikor)
UU 11/1980:
tahun
atau
sebanyak-banyaknya
dan
paling
pidana
sedikit
200.000.000,00
KUHP:
pidana
sembilan
juta
penjara
bulan
paling
atau
denda
rupiah)
(dua
dan
Rp
ratus
paling
miliar
ayat
rupiah) (Pasal
[2]
UU
Pemberantasan TipikoR)
diberikan
kekuasaan
yang
atau
karena
kewenangan
berhubungan
dengan
dengan
11
UU
Pemberantasan Tipikor).
Jadi, selain pengaturan suap dan gratifikasi berbeda, definisi dan sanksinya juga berbeda.
Dari definisi tersebut di atas, tampak bahwa suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi
merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Jika melihat pada ketentuan-ketentuan
tersebut, dalam suap ada unsurmengetahui atau patut dapat menduga sehingga ada intensi
atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam kebijakan maupun keputusannya.
Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat
dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya.
Jadi, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia memang masih belum terlalu jelas
pemisahan antara perbuatan pidana suap dan perbuatan pidana gratifikasi karena perbuatan
gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika diberikan terkait dengan jabatan dari pejabat
negara yang menerima hadiah tersebut.
Hal tersebut berbeda dengan pengaturan di Amerika yang mana antara suap dan gratifikasi
yang dilarangdibedakan. Perbedaannya adalah jika dalam gratifikasi yang dilarang, pemberi
gratifikasi memiliki maksud bahwa pemberian itu sebagai penghargaan atas dilakukannya
suatu tindakan resmi, sedangkan dalam suap pemberi memiliki maksud (sedikit
banyak) untuk mempengaruhi suatu tindakan resmi (sumber: Defining Corruption: A
Comparison of the Substantive Criminal Law of Public Corruption in the United States and
the United Kingdom, Greg Scally: 2009). Sehingga jelas pembedaan antara suap dan
gratifikasi adalah pada tempus (waktu) dan intensinya (maksudnya).
Mengenai faktor apa yang mendasari adanya perumusan mengenai delik gratifikasi, kami
merujuk pada salah satu penjelasan yang diamuat dalam Buku Saku Memahami
Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh
rekanan atau bawahannya
2.
Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor
pejabat tersebut
3.
Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi
secara cuma-cuma
4.
Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan
5.
Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat
6.
Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7.
Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja
8.
Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu
2.
3.
4.
5.
Apoteker dan Dokter meresepkan obat kemudian mendapat komisi? Suap? Gratifikasi? Mari
disimak. Sebuah tulisan yang kami kutip dari sebelah. Tulisan yang indah dan nyata.
Kita lihat kemana arahnya. Ini penting untuk kita semua, karena kesehatan milik kita semua.
Pasien, tenaga medis, paramedis, pemerintah, adalah stakeholder. Penjaga dan penikmat
kesehatan.
Karakteristik sistem layanan kesehatan di Korea Selatan agak berbeda dengan negara lain,
dinegara tersebut layanan kesehatan utamanya diselenggarakan oleh pihak swasta sementara
pemerintah mengatur penuh tarif yang dibayarkan untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Hal ini terselenggara berdasarkan keberadaan undang-undang yang mengatur semua institusi
layanan kesehatan yang ada di korea harus turut serta dalam satu-satunya insuransi kesehatan
yang dikelola oleh pemerintah.
Diperkirakan 85% lebih kapasitas tempat tidur di Korea saat ini dikelola oleh pihak swasta.
Institusi pendidikan dokter di Korea juga umumnya dimiliki oleh pihak swasta.
Hal seperti ini terjadi karena setelah perang Korea, sistem layanan kesehatan milik
pemerintah hancur lebur, dan proses pembangunannya saat itu tidak dianggap sebuah
prioritas dibandingkan proyek pembangunan korea paska perang.
Bahkan hingga saat ini, kebanyakan sekolah kedokteran di Korea adalah sekolah swasta yang
independen dan tidak menerima support sama sekali dari pemerintah. Walau demikian
kualitas layanan kesehatan di Korea tetap berkualitas, Korsel adalah pemimpin pada beberapa
bidang seperti operasi transplantasi dan bedah plastik.
Sistem jaminan sosial atau asuransi yang ada di korea berlaku untuk semua warga korea
disemua fasilitas layanan kesehatan. Rakyat korea hanya perlu membayarkan 3% dari
pendapatannya untuk asuransi kesehatannya.
Namun ketika sakit mereka harus membayar hampir setengah dari tagihan biaya pengobatan.
Untuk menjaga agar rakyat korea dapat tetap membayar tagihan kesehatannya, pemerintah
menekan tarif yang dibayarkan untuk layanan kesehatan.
Sebuah penelitian menemukan bahwa tarif yang dibayarkan pemerintah Korsel untuk layanan
kesehatan nilainya rata-rata sekitar sekitar 80% dari biaya layanan kesehatan yang
sesungguhnya. Hal ini jika dipikir tidak jauh berbeda dengan keadaan Indonesia saat ini di
era JKN.
Tarif yang ditetapkan pemerintah melalui Ina-CBGs untuk beberapa kasus cenderung sangat
rendah sehingga akhirnya dokter terpaksa mengakali sistem.
Keadaan seperti itu tentunya dapat mengakibatkan kebangkrutan untuk para dokter dan
institusi layanan kesehatan di Korsel. Karenanya institusi layanan kesehatan dan pemerintah
bekerja sama dan memberlakukan skema tanggungan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Skema tersebut melibatkan adanya pengecualian dalam jaminan kesehatan yang ditanggung
pemerintah. Obat-obat yang mahal, tindakan tertentu yang menggunakan alat mahal dan
canggih, operasi plastik, dan lain sebagainya tidak ditanggung jaminan kesehatan di Korsel.
Selain hal-hal yang tidak ditanggung diatas, di Korsel juga dikenal istilah Pharmaceutical
Margin. Pharmaceutical Margin adalah pembayaran dari perusahan farmasi untuk dokter atau
rumah sakit sebagai imbalan telah meresepkan obat-obat yang diproduksi mereka, hal ini
ketahui oleh pemerintah Korsel namun diam-diam dibiarkan.
Support dari perusahan farmasi ini diperkirakan memberikan kontribusi hingga pendapatan
dokter di Korsel.
Selain dokter, pihak yang mendapatkan keuntungan dari sistem tersebut adalah apoteker. Di
korea secara tradisionil apoteker berhak memberikan obat secara langsung.
Warga korsel dapat dengan mudah mampir ke apotek, menyebutkan keluhannya apa, dan
apoteker dapat memberikan obat dengan mudah. Kompensasi dari perusahaan farmasi juga
diberikan untuk apoteker yang mampu menjual produk farmasi dengan baik.
Subsidi tidak resmi oleh industri farmasi terhadap layanan kesehatan di Korsel berjalan
bukan tidak tanpa masalah. Dokter dan apoteker jadi cenderung meresepkan obat dalam
jumlah yang berlebih. Penggunaan antibiotik di korea contohnya terus meningkat dari tahunketahun, resistensi antibiotik di korsel menjadi salah satu yang tertinggi di Dunia.
Untuk meredam dampak hal tersebut pemerintah Korsel ditahun 1999 membuat UU yang
menyatakan bahwa dokter hanya boleh meresepkan obat untuk kemudian diambil di apotik
diluar RS. Hal ini memotong sistem kerjasama langsung dengan industri farmasi yang selama
ini terjalin, mengurangi pendapatan dokter (dan RS) dan hanya menguntungkan pihak
apoteker yang saat itu menjadi saingan dokter Korsel.
Keresahan tersebut akhirnya berujung pada aksi mogok 70 ribu lebih dokter Korea selama 4
bulan ditahun 2000. Hampir seluruh RS di Korsel ikut serta dalam aksi mogok tersebut. RS
tetap memberikan layanan kesehatan untuk kasus-kasus emergensi, perawatan di ruang
intensif, operasi darurat, dan persalinan tetap berjalan.
Para dokter di Korsel menuntut jika memang akan diberlakukan hal seperti itu, kompensasi
untuk dokter harus ditingkatkan dan kewenangan apoteker harus dibatasi. Proses negosiasi
berlangsung alot, beberapa dokter yang terlibat ada yang sampai ditahan, media korsel juga
memberitakan buruk aksi mogok tersebut, namun akhirnya pemerintah korsel tunduk
terhadap tuntutan para dokter.
Tarif konsultasi, tindakan, & perawatan rata-rata dinaikkan hingga 50% lebih, warga korsel
tidak dapat membeli lagi obat sembarangan, apoteker dilarang untuk menjual obat-obatan
tertentu dan dapat dikenakan sanksi yang berat jika melanggar.
Bagaimana dengan di Indonesia? Keadaan di Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan
keadaan di Korsel 15 tahun yang lalu. Perusahan farmasi masih memberikan insentif yang
besar untuk dokter dan rumah sakit jika mau menggunakan produknya. Akibatnya
overtreatment oleh dokter sangat mungkin terjadi.
Pharmaceutical Margin adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dalam dunia kesehatan di
belahan dunia manapun, contohnya ya di Korea Selatan. Untuk mengatasi hal tersebut
permasalahan yang ada harus dikupas dengan baik dan bijak. Aturan harus dibuat sehingga
sponsorship perusahaan farmasi dapat berjalan dikoridor yang legal dan sesuai etika sehingga
tidak ada pihak yang dirugikan.
Sama halnya dengan anggota KPK dan perpajakan yang dibayar mahal oleh pemerintah agar
tidak menyalah gunakan wewenang dan korupsi. Potensi penyalah gunaan wewenang oleh
dokter juga dapat ditekan dengan memperbaiki kesejahteraan dokter.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode sebelumnya Prijo Sidipratomo mengatakan,
pada kenyataannya memang gaji seorang dokter tidak sebanding dengan tuntutan pekerjaan
dan tingkat studi yang telah dijalaninya.
Untuk menjadi dokter, orang mesti mendapatkan gelar sarjana dan ditambah sekolah profesi.
Total waktu yang diperlukan hampir tujuh tahun lamanya. Namun sampai saat ini pemerintah
hanya memberikan kompensasi sama dengan PNS (pegawai negeri sipil) golongan sarjana
yakni berkisar Rp 2,5-3 juta.
Di Malaysia, GP (general practitioners, dokter umum) dibayar hampir 6.000 ringgit atau
sekitar Rp 15 juta.
Terkait itu, Prijo lantas membandingkannya dengan pekerjaan pegawai pajak, bahkan pilot
pesawat terbang. Untuk menjadi seorang pegawai pajak, kata Prijo, diperlukan sekolah tiga
tahun lamanya pada bidang perpajakan.
Namun, kompensasi atau gaji yang diterimanya bisa mencapai Rp 9 juta. Adapun seorang
pilot pesawat terbang lulusan sekolah penerbangan 18 bulan lamanya, dapat diberi
kompensasi Rp 20 juta.IDI sendiri, menurut Prijo, pernah membuat perhitungan besaran gaji
yang sesuai untuk seorang dokter.
Kata Prijo, untuk seorang dokter umum yang baru lulus sekolah kedokteran, gaji normalnya
sekitar Rp 20 juta. Adapun untuk seorang dokter yang lulusan spesialis, gaji normalnya bisa
tiga kali lipat dari yang diterima dokter umum.
Semoga upaya untuk memperbaiki layanan kesehatan di Indonesia dapat berlangsung baik
tidak seperti di Korea Selatan. Kuncinya adalah berpandangan terbuka, mau belajar dan mau
cari solusi bersama. Dokter juga manusia.