Fitokimia KLT Dengan Berbagai Eluen

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

1.

Tujuan
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang kaitan antara polaritas eluen dengan harga Rf
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Kromatografi secara umum
Kromatografi, komponen-komponen terdistribusi dalam dua fase yaitu fase gerak dan
fase diam. Transfer massa antara fase bergerak dan fase diam terjadi bila molekul-molekul
campuran serap pada permukaan partikel-partikel atau terserap. Pada kromatografi kertas
naik, kertasnya digantungkan dari ujung atas lemari sehingga tercelup di dalam solven di
dasar dan solven merangkak ke atas kertas oleh daya kapilaritas. Pada bentuk turun, kertas
dipasang dengan erat dalam sebuah baki solven di bagian atas lemari dan solven bergerak ke
bawah oleh daya kapiler dibantu dengan gaya gravitasi. Setelah bagian muka solven selesai
bergerak hampir sepanjang kertas, maka pita diambil, dikeringkan dan diteliti. Dalam suatu
hal yang berhasil, solut-solut dari campuran semula akan berpindah tempat sepanjang kertas
dengan kecepatan yang berbeda, untuk membentuk sederet noda-noda yang terpisah. Apabila
senyawa berwarna, tentu saja noda-nodanya dapat terlihat (Consden, Gordon dan Martin
1994).
Consden, Gordon dan Martin, memperkenalkan teknik kromatografi kertas yang
menggunakan kertas saring sebagai penunjang fase diam. Kertas merupakan selulosa murni
yang memiliki afinitas terhadap air atau pelarut polar lainnya. Bla air diadsorbsikan pada
kertas, maka akan membentuk lapisan tipis yang dapat dianggap analog dengan kolom.
Lembaran kertas berpran sebgai penyngga dan air bertindak sebagai fase diam yang terserap
diantara struktur pori kertas (Consden, Gordon dan Martin 1994).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adakah suatu teknik yang sederhana yang banyak
digunakan,metode ini menggunakan lempeng kaca atau lembaran plastik yang ditutupi
penyerap atau lapisan tipis dan kering. Untuk menotolkan karutan cuplikan pada kempeng
kaca, pada dasarya menggunakan mikro pipet atau pipa kapiler. Setelah itu, bagian bawah
dari lempeng dicelup dalam larutan pengulsi di dalam wadah yang tertutup ( Barseoni, 2005).
Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis yang dilapisi dengan adsorben seperti
silika gel, aluminium oksida (alumina) maupun selulosa. Adsorben tersebut berperan sebagai
fasa diam. Fasa gerak yang digunakan dalam KLT sering disebut dengan eluen. Pemilihan
eluen didasarkan pada polaritas senyawa dan biasanya merupakan campuran beberapa cairan
yang berbeda polaritas, sehingga didapatkan perbandingan tertentu. Eluen KLT dipilih
dengan cara trial and error.Kepolaran eluen sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi)

yang diperoleh. Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan
jarak

yang

ditempuh

oleh

eluen.

Rumus

faktor

retensi

adalah:

Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut
dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa
yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga
sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan
tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang
bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah
mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya (Ewing Galen Wood, 1985).
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan murah dibandingkan
dengan kromatografi kolom. Demikiann juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi
lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan hampir semua laboratorium
melaksanakan metode ini. Kromatografi lapis tipis (KLT) fase diamnya berupa lapisan
seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat
alumunium, atau pelat plastik. Fase diam pada KLT merupakan penjerap berukuran kecil
dengan diameter partikel antara 10-30 m. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam,
semakin baik kinerja KLT dalam hal efisien dan resolusinya. Penjerap yang paling sering
digunakan adalah silica dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama adalah
pada KLT yaitu adsorpsi dan partisi. Untuk tujuan tertentu, pejerap atau fase diam dapat
dimodifikasi dengan cara pembaceman. Fase gerak dari pustaka dapat ditentukan dengan uji
pustaka atau dengan dicoba-coba karena pengerjaan KLT ini cukup cepat dan mudah. Sistem
yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran ini dapat
diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi dengan optimal. Dalam pembuatan
dan pemilihan fase gerak yang harus diperhatikan yaitu kemurnian dari eluen itu sendiri
karena KLT merupak teknik yang sensitif; daya elusi dari pelarut itu juga harus diatur
sedemikian rupa agar harga Rf berkisar antara 0,2-0,8 yang menandakan pemisahan yang
baik; polaritas dari pelarut juga harus diperhatikan agar pemisahan terjadi dengan sempurna.
Ada 2 cara yang digunakan untuk menganalisis secara kuantitatif dengan KLT. Pertama,
bercak yang terbentuk diukur langsung pada lempeng dengan menggunakan ukur luas atau

dengan teknik densitometri. Cara kedua yaitu dengan mengorek bercak lalu menetapkan
kadar senyawa yang terdapat dalam bercak tersebut dengan menimbang hasil korekan.
Identifikasi secara kulitatif pada kromatografi kertas khususnya kromatografi lapis
tipis dapat ditentukan dengan menghitung nilai Rf. Nilai Rf merupakan ukuran kecepatan
migrasi suatu senyawa. Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak senyawa
titik

awal

dan

jarak

tepi

muka

pelarut

dari

titik

awal

(ibnu,gholib

2007).

2.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada
tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan
elektroforesis. Berbeda debgan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau
dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang
seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat
aluminium atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan
sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Gholib Gandjar, 2007).
KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode
untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki
system pelarut dan system penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau
kromatografi cair kinerja tinggi. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan
bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik
(ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending)
(J. Gritter, 1991).
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah
dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam
kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan
hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat.
Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini (Gholib Gandjar, 2007) :
Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.
Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluorosensi
atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet.
Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan cara
elusi 2 dimensi.
Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan
merupakan bercak yang tidak bergerak.

Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam


campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektivitas
pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta memantau
kromatografi kolom, melakukan screening sampel untuk obat. Analisa kualitatif dengan KLT
dapat dilakukan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT yang digunakan
untuk identifikasi adalah nilai Rf. Analisis kuantitatif dilakukan dengan 2 cara, yaitu
mengukur bercak langsung pada lengpeng dengan menggunakan ukuran luas atau dengan
teknik densitometry dan cara berikutnya dalaha dengan mengerok bercak lalu menetapkan
kadar senyawa yang terdapat dalam bercak dengan metode analisis yang lain, misalnya
dengan metode spektrofotometri. Dan untuk analisis preparatif, sampel yang ditotolkan dalam
lempeng dengan lapisan yang besar lalu dikembangkan dan dideteksi dengan cara yang nondekstruktif. Bercak yang mengandung analit yang dituju selanjutnya dikerok dan dilakukan
analisis lanjutan (Gholib Gandjar, 2007).
2.3 Nilai RF
Nilai Rf didefinisikan sebagi perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa pada
permukaan fase diam dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut sebagai fase gerak.
Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak bergeraknya senyawa
tersebut pada plat kromatografi lapis tipis. Saat membandingkan dua sampel yang berbeda di
bawah kondisi kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut
kurang polar dan berinteraksi dengan adsorbent polar dari plat kromatografi lapis tipis
( Handayani, 2008)
Nilai Rf dapat dijadikan bukti dalam mengidentifikasikan senyawa. Bila identifikasi
nilai Rf memiliki nilai yang sama dengan nilai Rf Standart dari senyawa tersebut maka
senyawa tersebut dapat dikatakan memiliki karakteristik yang sama atau mirip. Sedangkan,
bila nilai Rfnya berbeda, senyawa tersebut dapat dikatakan merupakan senyawa yang
berbeda. Namun perbedaan perlakuan dalam percobaan kromatografi lapis tipis juga akan
mempengaruhi nilai Rf sampel yang diidentifikasi (Parmeswaran, 2013). Nilai Rf Standart
dari piperin adalah 0,42+0,03 (Vyas et all, 2011)
2.4 Polaritas dalam KLT
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencobacoba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah

campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur
sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gholib, 2007).
Kemampuan suatu analit terikat pada permukaan silika gel dengan adanya pelarut
tertentu dapat dilihat sebagai pengabungan 2 interaksi yang saling berkompetisi. Pertama,
gugus polar dalam pelarut dapat berkompetisi dengan analit untuk terikat pada permukaan
silika gel. Dengan demikian, jika pelarut yang sangat polar digunakan, pelarut akan
berinteraksi kuat dengan permukaan silika gel dan hanya menyisakan sedikit tempat bagi
analit untuk terikat pada silika gel. Akibatnya, analit akan bergerak cepat melewati fasa diam
dan keluar dari kolom tanpa pemisahan. Dengan cara yang sama, gugus polar pada pelarut
dapat berinteraksi kuat dengan gugus polar dalam analit dan mencegah interaksi analit pada
permukaan silika gel. Pengaruh ini juga menyebabkan analit dengan cepat meninggalkan fasa
diam. Kepolaran suatu pelarut yang dapat digunakan untuk kromatografi dapat dievaluasi
dengan memperhatikan tetapan dielektrik () dan momen dipol () pelarut. Semakin besar
kedua tetapan tersebut, semakin polar pelarut tesebut. Sebagai tambahan, kemampuan
berikatan hidrogen pelarut dengan fasa diam harus dipertimbangkan (Tim Penyusun, 2010).
2. 5 MSDS Bahan :
1. Piperin
Merupakan senyawa alkaloid dengan kelarutan dalam air 40 mg/L atau 1g/25L
(18C), larut dalam alkohol (1g/15mL, larut dalam eter (1g/36mL), larut dalam
kloroform 1g/1.7mL). memiliki rumus molekul C17H19NO3 dengan Mr 285,34 g/mol.
Densitas senyawa ini adalah 1,193 g/cm3 dan titik lelehnya 1300C (anonim, 2012)
2. Eluen
Memiliki nama IUPAC Methylbenzene dengan rumus molekul C 7H8 dan Mr
92, 14 g/mol. Memiliki densitas 0,87 g/ml dan titik leleh -95 0C dan titik didih 1110C.
Merupakan hidrokarbon aromatik yang banyak digunakan dalam industri sebagai
solven (Anonim, 2012)
3. Etil Asetat
adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3. Senyawa ini
merupakan ester dari etanol dan asam

asetat.

Senyawa

ini

berwujud cairan tak

berwarna, memiliki aroma khas. Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et
mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar

sebagai pelarut.memiliki Mass Molar 88,12 g/mol. Memiliki densitas 0,897 g/cm 3 dan
titil lebur -83,60C serta titik didih 77,10C (Anonim,2012).
3. Alat dan Bahan
Alat :

Gelas ukur 10 ml dan 25 ml


Pipet tetes
Plat KLT
Pipa kapiler
Chamber
Kertas saring
Cawan petri
Pensil 2B
UV
Label
Penggaris

Bahan :

Toluene
Etil asetat
Dragendorf
Piperin

4. Prosedur Kerja
Chamber

Dibersihkan

Pada chamber A dimasukkan eluen dengan perbandingan toluen : etil asetat = 70 : 3


atau 9,6 ml toluen dengan 0,4 ml etil asetat

Pada Chamber B dimasukkan eluen dengan perbandingan toluen ; etil asetat = 70: 30
atau 7 ml toluen dengan 3 ml etil asetat

Pada chamber C dimasukkan eluen dengan berbandiangan toluen : etil asetat = 35 : 3


atau 9,2 ml toluen dengan 0,8 ml etil asetat

Masing-masing chamber dimasukkan kertas saring dan ditutup dengan plat kaca agar
eluen tidak menguap

Setelah kertas saring terbasahi maka di ambil kertas saring tersebut dan chamber siap
digunakan.

Pipierin

Di ambil dengan pipa kapiler yang telah di bilas dengan etanol

Di totolkan pada 3 plat KLT yang sudah di beri batas bawah 1,5 cm, dan batas atas
0,5 cm

Plat di masukkan dalam masing-masing Chamber

Dieluasi plat pada masing-masing eluen yang telah dibuat

Diamati plat KLT secara visual

Di lihat dibawah sinar UV 365 nm

Dilihat dibawah sinar UV 254 nm

Di celupkan pada reagen dragendorft

Dihitung Rf pada masing-masing KLT

Didiskusikan mengapa harga Rf berbeda pada setiap platnya

Hasil

5. Hasil Data Pengamatan :


5.1 Pengamatan warna
No
1.
2.
3.

Chamber
A
B
C

Secara Visual
Tidak Terlihat
Tidak Terlihat
Tidak Terlihat

5.2 Perhitungan Rf
RfA =

0,5 cm
8 cm

= 0,0625

RfB =

3,3 cm
8 cm

= 0,4125

RfC =

1,1 cm
8 cm

=0,1375

UV 368 nm
Biru
Biru
Biru

UV 254 nm
Hijau
Hijau
Hijau

Dragendorf
Kuning
Kuning
Kuning

5.3 Gambar

6. Pembahasan
6.1 Perubahan warna
Perubahan warna yang terjadi adalah pada saat diberi sinar UV. Fase diam pada sebuah
lempengan lapis tipis seringkali memiliki substansi yg ditambahkan kedalamnya supaya
menghasilkan pendaran flour ketika di berikan sinar UV . Sehingga pada saat dilihat dibawah
sinar UV dengan panjang gelombang 254 , tampaklah warna hijau . Berdasarkan Hernando
dan Leon , terbentuknya warna putih kekuningan pada saat penyemprotan dragendorff adalah
menandakan bahwa dalam bahan uji terdapat kandungan alkaloid (Hernando,1992).
6.2 Hubungan kepolaritasan dengan nilai Rf

Ketika memisahkan dua atau lebih senyawa melalui kromatografi, sangat penting untuk
memilih pelarut yang benar sebagai fase gerak. Jika terlalu lemah pelarut yang dipilih dari
eluting, akan memakan waktu yang sangat lama dan volume pelarut yang digunakan sangat
besar untuk mengelusi senyawa. Jika terlalu kuat pelarut yang dipilih dari eluting
, semua senyawa akan segera dielusi. Senyawa polar dengan mudah larut dalam pelarut polar
dan

memiliki

afinitas

rendah

untuk

pelarut

nonpolar.

Senyawa

memiliki

afinitas tinggi untuk pelarut dengan polaritas yang mirip dengan diri mereka sendiri (Serma
and Bernard, 2003)
Nilai Rf tergantung pada (Bidlingmayer, 1987):
Sifat polar pelarut yang digunakan
Sifat Polar dari fase diam
Sifat Polar sampel
Kondisi percobaan
Suatu senyawa yang mempunyai nilai lipofilitas tinggi berarati mudah larut dalam
lipid atau pelarut non polar, maka akan mempunyai harga Rf yang rendah sedangkan senyawa
yang mempunyai nilai lipofilitas rendah berarti senyawa tersebut tidak mudah larut dalam
lipid atau pelarut non polar, maka harga Rf-nya bernilai tinggi. Fase gerak yang digunakan
dilakukan pemilihan beberapa campuran fase gerak atau eluen dengan berbagai perbandingan
untuk mendapatkan campuran fase gerak yang optimum (Gunardi, dkk., 2009)
Telah disebutkan sebelumnya bahwa polaritas sampel dan laju pergerakan berbanding
terbalik. Semakin tinggi polaritas senyawa, fase diam dari senyawa dengan afinitas yang
lebih besar akan mempunyai nilai Rf yang semakin kecil. Semakin rendah polaritas senyawa,
semakin tinggi afinitas untuk pelarut dan semakin besar nilai Rf. Jika pelarut berubah dari
pelarut polaritas rendah (seperti hexane) ke polaritas yang lebih tinggi (seperti etil asetat)
kekuatan eluasi akan meningkat dan akan meningkatkan semua nilai-nilai Rf. Tempat dengan
nilai Rf tertinggi adalah yang paling polar (bergerak tercepat), dan tempat dengan nilai Rf
terendah adalah yang paling polar (bergerak lambat) (Serma and Bernard, 2003).
6.3 Pembahasan penggunaan kombinasi eluen
Dalam percobaan ini digunakan beberapa macam perbandingan kombinasi eluen
antara toluene dan etil asetat. Hal ini dikarenakan berbagai senyawa fitokimia memberikan
nilai Rf yang berbeda pada sistem eluen yang berbeda. Variasi nilai Rf pada fitokimia
memberikan petunjuk penting dalam memahami polaritas senyawa fitokimia serta membantu
untuk memilih sistem pelarut yang sesuai untuk pemisahan senyawa murni dengan

menggunakan kromatografi kolom. Campuran pelarut dengan polaritas yang bervariasi pada
perbandingan yang berbeda-beda dapat digunakan untuk memisahkan senyawa murni tertentu
dari ekstrak tanaman. Pemilihan sistem pelarut yang sesuai untuk ekstrak tanaman tertentu
hanya dapat dicapai dengan menganalisa nilai Rf senyawa pada sistem pelarut yang berbedabeda. Dengan demikian informasi ini dapat membantu untuk pemilihan sistem pelarut yang
sesuai untuk pemisahan senyawa lebih lanjut dari ekstrak tanaman (Sharma dan Paliwal,
2013).
6.4 Korelasi nilai Rf hasil dengan Rf piperine serta eluen yang sesuai untuk identifikasi
kualitatif piperin
Dari hasil percobaan dengan ketiga campuran eluen yang berbeda didapatkan jarak
totolan pada perbandingan eluen toluen:etil asetat = 70:3 adalah 0,5 cm sehingga Rf 0,0625.
Pada perbandingan eluen toluen:etil asetat = 70:30 jarak totolan adalah 3,3 cm sehingga Rf
0.4125. Sedangkan pada perbandingan eluen toluen:etil asetat = 35:3 jarak totolan adalah 1,1
cm sehingga Rf 0,1375. Berdasarkan literature diketahui bahwa toluen adalah senyawa non
polar dan etil asetat adalah senyawa polar. Sehingga dari ketiga eluen yang bersifat paling
non polar adalah perbandingan eluen toluen:etil asetat = 70:3, lalu 35:3 dan yang paling polar
70:30. Dengan urutan fase gerak dari yang paling non polar, didapatkan Rf 0,0625 ; 0,1375
dan 0,4125.
Silica yang merupakan fase diam bersifat polar. Sedangkan piperin merupakan
senyawa non polar. Dari perhitungan Rf pada percobaan, diketahui bahwa piperin memiliki
nilai yang lebih tinggi pada fase gerak yang lebih polar dan paling rendah pada fase gerak
yang bersifat paling non polar.
Berdasarkan literatur, nilai Rf Standart dari piperin adalah 0,42+0,03 (Vyas et all,
2011). Oleh karena itu, dari hasil percobaan ini eluen yang sesuai untuk identifikasi kualitatif
piperin adalah eluen dengan perbandingan toluene : etil asetat = 70 : 30 dengan nilai Rf
0,4125 karena nilai Rf tersebut mendekati nilai Rf standart dari piperin.
Seharusnya, semakin rendah polaritas senyawa, semakin tinggi afinitas untuk pelarut
dan semakin besar nilai Rf. Namun pada percobaan ini, piperin yang bersifat non polar lebih
tertarik ke fase gerak yang bersifat paling non polar yaitu perbandingan eluen toluen:etil
asetat = 70:3 tetapi jarak pergerakan totolan piperin lebih dekat dan diperoleh nilai Rf yang
paling rendah. Hal ini karena pada dasarnya piperin yang merupakan senyawa non polar akan
lebih tertarik untuk ke fase gerak yang non polar, dibandingkan dengan fase diam yang polar,
sesuai dengan prinsip like dissolve like.

Kesalahan yang terjadi pada praktikum ini disebabkan karena beberapa hal.
Diantaranya perhitungan dan pengukuran toluene dan etil asetat yang digunakan sebagai
eluen sehingga polaritas campuran berbeda. Saat memasukkan campuran eluen, kemungkinan
pelarut kurang homogen, serta saat memasukkan pelarut ke dalam chamber kurang hati-hati
sehingga sebelum chamber ditutup pelarut ada yang menguap terlebih dahulu. Selain itu
standar piperin yang digunakan kemungkinan tidak murni akibat kontaminasi sehingga
polaritas piperin pun berbeda. Kontaminasi dapat pula terjadi akibat pembilasan pipa kapiler
dengan etanol yang kurang sempurna sehingga mengkontaminasi piperin standar. Di samping
itu, saat mentotolkan standart tidak dalam kondisi yang benar-benar tegak sehingga terjadilah
hasil noda berbentuk lonjong yang seharusya bulat. Hal tersebut dapat mempengaruhi nilai Rf
yang didapatkan.
7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
semakin tinggi polaritas senyawa, fase diam dari senyawa dengan afinitas yang lebih besar
akan mempunyai nilai Rf yang semakin kecil. Dan sebaliknya Semakin rendah polaritas
senyawa, semakin tinggi afinitas untuk pelarut dan semakin besar nilai Rf . Menurut hasil
percobaan, eluen yang sesuai untuk identifikasi kualitatif piperin adalah eluen dengan
perbandingan toluene : etil asetat = 70 : 30 dengan nilai Rf 0,4125 karena nilai Rf tersebut
mendekati nilai Rf standart dari piperin yaitu 0,42+0,03.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2012. Material Safety Data Sheet. http://avogadro.chem.iastate.edu/msds/piperin.
htm. diakses tanggal 10 Maret 2014. Pukul 14.05.
Anonim, 2012. Material Safety Data. Sheet. http://avogadro.chem.iastate.edu/msds/toluen.
htm. diakses tanggal 10 Maret 2014. Pukul 14.15.
Anonim, 2012. Material Safety Data. Sheet.http://avogadro.chem.iastate.edu/msds/etil asetat.
htm. diakses tanggal 10 Maret 2014. Pukul 14.25.
Bernaseoni,G. 2005. Teknologi Kimia. PT Padya Pranita. Jakarta.
Bidlingmayer, Bryan A. 1987. Preparative Liquid Chromatograph.

Elsevier Publishing

Company Inc. Amsterdam.


Consden, Gordon dan Martin 1994. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah. Gramedia,
Jakarta.
Ewing, Galen Wood. 1985. Instrumental of Chemical Analysis Fifth edition. McGraw-Hill.
Singapore.
Gholib, Ibnu.2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Gunardi, Ratna Asmah S, Bambang Tri Purwanto, Edy Sulistyowati, Siti Musinah., Metode
RPTLC dan Optimasi Fase Gerak Dalam Penetapan Harga Rm Sebagai Salah Satu
Parameter Lipofilisitas Dalam Rancangan Obat. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro dan Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Jawa Tengah, 2009;
5(43), 254-259
Handayani, 2008. Sintesis Senyawa Flavonoid--Glikosida secara Reaksi Transglikosilasi
Enzimatik dan Aktivitasnya sebagai Antioksidan. Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 1-4
Hernando, J.E. And J. Leon. 1992. Plant Production and Protection Series. No. 26. FAO.
Italy.
Ibnu Gholib Gandjar. Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Keenan, Charles W. dkk.. 2002. Kimia Untuk Universitas Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Prameswaran, Sandhya. 2013. Quantitation estimation of Piperine, 18-beta Glycyrrhetinic


acid and 6-gingerol from Suryacid tablet formulation by HPLTC method. Int. J. Res.
Pharm. Sci 4(3),453-459.
Roy J. Gritter, 1991. Pengantar Kromatografi. Penerbit ITB. Bandung.
Serma, J and Bernard F., 2003. Handbook of Thin-Layer Chromatography Third edition,
Revised and Expanded. Marcell Dekker Inc. New York.
Sharma, Veena dan R. Paliwal. 2013. Preliminary phytochemical investigation and thin
layer chromatography profiling of sequential extracts of Moringa oleifera pods.
International Journal of Green Pharmacy. India
Tim Penyusun. 2010. Penuntun Praktikum Kimia Organik Farmasi. Lab. Kimia Organik
FMIPA ITB. Bandung
Vyas et al., Orient. J. Chem., TLC Densitometric Method for the Estimation of
Piperine in Ayurvedic Formulation Trikatu Churna. Vol. 27(1), 301-304 (2011)

Anda mungkin juga menyukai