Tokoh POLITIK LUAR NEGERI
Tokoh POLITIK LUAR NEGERI
Tokoh POLITIK LUAR NEGERI
Pencitraan SBY
Abdul
Malik,
adalah
seorang
pedagang
kaya
di
Pane, Abdul
Hakim,
dan Pandu
Utara
53
Pasar
Baru, Jakarta
Pusat.
Sebagai
Direktur
diangkat
Mr. Soemanang, dan Adam Malik menjabat Redaktur merangkap Wakil Direktur.
Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua,
mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional. Sebelumnya, ia sudah
sering menulis antara lain di koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo. Tahun
1941 sebagai utusan Mr. Soemanang bersama Djohan Sjahroezah datang ke
rumahSugondo Djojopuspito minta agar Soegondo bersedia menjadi Direktur
Antara, dan Adam Malik tetap sebagai Redaktur merangkap Wakil Direktur.
Pada tahun 1934-1935, ia memimpin Partai Indonesia (Partindo) Pematang
Siantar dan Medan. Pada tahun 1940-1941 menjadi anggota Dewan Pimpinan
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta. Pada 1945, menjadi anggota
Pimpinan Gerakan Pemuda untuk persiapan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Di zaman penjajahan Jepang, Adam Malik juga aktif bergerilya dalam
gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945,
bersama Sukarni, Chaerul
Karno dan Bung
Saleh,
dan Wikana,
ia
pernah
membawa Bung
Pada tahun 1946, Adam Malik mendirikan Partai Rakyat, sekaligus menjadi
anggotanya. 1948-1956, ia menjadi anggota dan Dewan Pimpinan Partai Murba.
Pada tahun 1956, ia berhasil memangku jabatan sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR-RI) yang lahir dari hasil pemilihan umum.
Karier Adam Malik di dunia internasional terbentuk ketika diangkat
menjadi Duta
Besar luar
biasa
dan
berkuasa
penuh
untuk
negara Uni
Soviet dan Polandia. Pada tahun 1962, ia menjadi Ketua Delegasi Republik
Indonesia untuk perundingan Indonesia dengan Belanda mengenai wilayah Irian
Barat di Washington D.C, Amerika Serikat. Yang kemudian pertemuan tersebut
menghasilkan Persetujuan Pendahuluan mengenai Irian Barat. Pada bulan
September 1962, ia menjadi anggota Dewan Pengawas Lembaga di lembaga yang
didirikannya,yaitu Kantor Berita Antara. Pada tahun 1963, Adam Malik pertama
kalinya masuk ke dalam jajaran kabinet, yaitu Kabinet yang bernamaKabinet
Kerja IV sebagai Menteri Perdagangan sekaligus menjabat sebagai Wakil
Panglima Operasi ke-I Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE). Pada
masa semakin menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia, Adam Malik
bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Abdul Haris Nasution dianggap sebagai
musuh PKI dan dicap sebagai trio sayap kanan yang kontra-revolusi.
Ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam
Malik
yang
berseberangan
dengan kelompok
kiri justru
malah
menguntungkannya. Tahun 1966, Adam disebut-sebut dalam trio baru SoehartoSultan-Malik. Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia menyatakan keluar dari
Partai Murba karena pendirian Partai Murba, yang menentang masuknya modal
asing. Empat tahun kemudian, ia bergabung dengan Golkar. Pada tahun 1964, ia
mengemban tanggung jawab sebagai Ketua Delegasi untuk Komisi Perdagangan
dan Pembangunan di PBB. Pada tahun 1966, kariernya semakin gemilang ketika
menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II (Waperdam II) sekaligus
sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia di kabinet Dwikora II.
Karier murninya sebagai Menteri Luar Negeri dimulai di kabinet Ampera
I pada tahun 1966. Pada tahun 1967, ia kembali memangku jabatan Menteri Luar
Negeri di kabinet Ampera II. Pada tahun 1968, Menteri Luar Negeri
dalam kabinet Pembangunan I, dan tahun 1973 kembali memangku jabatan
sebagai Menteri Luar Negeri untuk terakhir kalinya dalam kabinet Pembangunan
II. Pada tahun 1971, ia terpilih sebagai Ketua Majelis Umum PBB ke-26, orang
Indonesia pertama dan satu-satunya sebagai Ketua SMU PBB. Saat itu dia harus
memimpin persidangan PBB untuk memutuskan keanggotaan RRC di PBB yang
hingga saat ini masih tetap berlaku. Karier tertingginya dicapai ketika berhasil
memangku jabatan sebagai Wakil Presiden RI yang diangkat oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1978. Ia merupakan Menteri Luar
Negeri RI di urutan kedua yang cukup lama dipercaya untuk memangku jabatan
tersebut
setelah
Dr.Soebandrio.
Sebagai
Menteri
Luar
Negeri
dalam
dan
tindakannya
didasari
oleh
falsafah
Jawa,
kemudian
bertemu
dan
memiliki
partner
yang
tepat
kebijakan politik luar negeri negara lain, kebijakan itu pun berujung pada
pemenuhan tujuan nasional.
Kebijakan itu harus berujung pada pemenuhan tujuan nasional dan juga
memberi kontribusi pada terwujudnya kesejahteraan umat manusia, dalam
konteks ini kita menolak kolonialisme dan imprealisme dalam berbagai bentuk,
kata Soeharto saat pidato peringatan hari ulang tahun RI tahun 1967 di depan
DPR, seperti dikutip Roeder.
Langkah Indonesia menuju pentas politik internasional diawali dengan
pembentukan asosiasi negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN yang mulai
dirintis pada awal 1967. ASEAN resmi di deklarasikan pada 8 Agustus 1967
dengan negara anggota pertamanya adalah Indonesia, Filipina, Malaysia,
Singapura dan Thailand masing-masing diwakili oleh Adam Malik, Narciso R.
Ramos, Tun Abdul Razak, S. Rajaratnam, dan Thanat Khoman.
Salah satu bentuk yang paling bermakna dari tugas-tugas yang kita emban
dalam kesejahteraan dunia adalah lahirnya ASEAN yang kita bangun bersamasama dengan negara anggota lainnya, itu mencerminkan tekad bangsa yang
menjadi anggotanya untuk menciptakan kemajuan bersama bagi warga di kawasan
itu, kata Soeharto dalam salah satu biografinya.
Stabilitas dan keberlanjutan merupakan hal utama yang sangat dipikirkan
oleh Soeharto. Tak heran bila konsep itu ia sodorkan dalam setiap kerjasama
kawasan yang diikuti oleh Indonesia selama masa pemerintahannya. Apabila
tercapai stabilitas nasional di masing-masing negara anggota, maka akan terwujud
stabilitas kawasan secara regional, ujarnya.
Dalam tulisannya, Elson, melihat peran Soeharto dalam lingkup ASEAN
semakin meningkat terutama pada periode puncak kekuasaannya sejak 1985
hingga era 1990-an. Pada 1993 dibentuk forum regional ASEAN yang membahas
masalah keamanan dalam format multilateral.
Indonesia juga memainkan peran kunci dalam mewujudkan kesepakatan
pada 1993 antara faksi-faksi di Kamboja yang saling bertikai. Indonesia juga
semasa
memimpin
Indonesia,
dalam
separuh
perjalanan
Hari Jumat (2/10) sore waktu New York atau Sabtu pagi WIB, Wakil
Presiden Jusuf Kalla menyampaikan pandangan politik luar negeri
Indonesia mengenai berbagai isu internasional.
Dalam sidang majelis umum PBB yang ke-70 ini, wakil presiden
mengajak negara-negara anggota merefleksikan kemajuan dalam
mewujudkan piagam PBB, termasuk pencapaian dalam hal Pasukan
Penjaga Perdamaian mencegah konflik bersenjata selama tujuh
dekade terakhir.
Namun, Bapak Jusuf Kalla menggaris-bawahi sejumlah tantangan
yang masih harus diselesaikan, termasuk konflik berkelanjutan yang
menimbulkan penderitaan rakyat Palestina.
Dukungan Indonesia terhadap Palestina merupakan hal yang selalu
disampaikan setiap tahun di forum sidang majelis umum PBB. Tahun
ini, meski secara simbolik bendera Palestina berkibar di markas PBB
namun status Palestina tidak berubah, tetap hanya sebagai negara
pengamat PBB.
Terlebih lagi terjadi kemunduran dalam prospek perdamaian
Palestina dan Israel, dengan keluarnya Palestina dari Perjanjian Oslo.
Palestina
untuk
mematuhi
perjanjian
ini
jika
Israel
tak
mematuhinya.
Seusai pidato dalam wawancara khusus dengan VOA Wapres
Jusuf Kalla menyatakan bahwa dengan berbagai masalah di Timur
Tengah termasuk Iran, Irak dan Suriah memang isu Palestina ini tidak
lagi menonjol.
Namun menurut wapres masalah ini tetap penting karena, Jika
diurai, salah satu penyebab utama berbagai masalah di Timur Tengah
adalah ketidakadilan di Palestina, ujarnya.
Wapres
setengah
menyatakan
masalah
yakin
Timur
jika
Tengah
masalah
bisa
Palestina
selesai,
diselesaikan.
Wapres
memberi arah tepat dan efisien guna pemulihan situasi di segala bidang untuk
kemaslahatan seluruh rakyat.
Salah satu aspek penyelenggaraan pemerintahan yang sering menjadi sorotan
publik di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah pelaksanaan politik luar
negeri dan diplomasi. Seperti dimaklumi, selama kurang dari dua tahun, Presiden
Abdurrahman Wahid mengambil peran "aktor utama" (chief diplomat) dalam
pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi dengan melakukan kunjungan luar
negeri ke lebih 50 negara. Tercatat rekor, Presiden Abdurrahman Wahid menjadi
satu-satunya Presiden RI yang telah menancapkan kaki di lima benua yang
mungkin akan menjadi "catatan penting" dari sejarah politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi melalui kunjungan ke mancanegara
yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid banyak disorot publik, karena
pelaksanaannya dianggap tidak berdasarkan "cetak-biru" atau tidak memiliki
"profil" yang jelas ke arah mana kebijakan luar negeri akan dijalankan. Beberapa
kalangan, termasuk wakil rakyat, juga dengan keras mengkritik, pelaksanaan
politik luar negeri amat tidak jelas (in total disarray). Belajar dari pengalaman itu,
orientasi atau arah kebijakan luar negeri seperti apa yang akan diambil pemerintah
Megawati Soekarnoputri? Tulisan ini mencoba memberikan sumbangan pikiran
yang dapat dipertimbangkan bagi pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi.
***
BELAKANGAN ini, peran Indonesia dalam kancah organisasi regional ASEAN
mulai dipertanyakan, baik oleh kalangan dalam negeri maupun luar negeri. Tidak
seperti masa sebelum krisis ekonomi, peran regional Indonesia di forum ASEAN
amat menonjol, bahkan sempat dijuluki big brother di kalangan negara anggota
ASEAN lainnya. Namun, ketika krisis ekonomi melanda kawasan ini, kohesivitas
dan integritas ASEAN dalam menghadapi dampak sosial dari krisis mulai
diragukan.
Hal ini penting mengingat ASEAN saat ini tengah menghadapi masalah sulit yang
diwarnai berbagai sengketa bilateral maupun konflik internal di antara
anggotanya. Kesalahpahaman saat Presiden Abdurrahman Wahid menghadiri KTT
informal ASEAN di Singapura tahun lalu kiranya tidak perlu terulang guna
mengembalikan citra Indonesia yang selama ini disegani anggota ASEAN lainnya.
Dalam kaitan ini, rencana Presiden Megawati untuk mengunjungi seluruh negara
anggota ASEAN diharapkan dapat menjadi indikasi awal bagi Indonesia untuk
memainkan kembali peran regionalnya di kawasan ini. Meski demikian, setelah
kunjungan diharapkan Presiden Megawati tetap memusatkan perhatiannya kepada
persoalan dalam negeri dan tidak perlu terlena untuk melakukan serangkaian
muhibah ke luar negeri seperti pendahulunya. Sebaliknya, pelaksanaan tugas
diplomasi dapat sepenuhnya diserahkan kepada Menteri Luar Negeri dan
jajarannya dengan melibatkan berbagai aktor lain di luar pemerintah yang
berkompeten dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.
***
DENGAN demikian, dalam rangka pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi,
diharapkan Presiden Megawati dapat menunjuk figur Menteri Luar Negeri yang
sepenuhnya memfokuskan diri pada tugas-tugas yang berkaitan dengan
pelaksanaan hubungan luar negeri. Hal ini penting mengingat sesuai amanat
Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,
Presiden dapat melimpahkan kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar
Negeri dan Politik Luar Negeri kepada Menteri Luar Negeri yang berperan
sebagai konsultan dan koordinator bagi penyelenggaraan segenap aspek hubungan
luar negeri.
Lebih dari itu, pemerintah Megawati juga perlu memperhatikan dan
mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan
diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945. Seperti diketahui, selama ini Komisi I
DPR telah menjalankan peran cukup signifikan dan tegas dalam mempengaruhi
dan dialokasikan untuk membantu mengurangi penderitaan rakyat di daerahdaerah itu, tanpa harus mengabaikan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi
sebagai
salah
satu
aspek
penting
penyelenggaraan
pemerintah
yang
M. Hatta
Asas politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Bebas artinya tidak
memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia. Aktif artinya tidak pasif atas
kejadian-kejadian internasional melainkan aktif menjalankan kebijakan
luar negeri. Aktif dalam arti ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Asas
politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dikemukakan pertama
kali oleh Mohammad Hatta dalam keterangnnya didepan badan pekerja
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pada 2 September 1948. Politik
luar negeri Indonesia selain bersifat bebas dan aktif juga mempunyai sifatsifat berikut.
Menurut Drs. Moh. Hatta, tujuan politik luar negeri Indonesia, antara lain
sebagai berikut:
Tujuan politik luar negeri tidak terlepas dari hubungan luar negeri.
Hubungan luar negeri merupakan hubungan antarbangsa, baik regional
maupun internasional, melalui kerja sama bilateral ataupun multirateral
yang ditujukan untuk kepentingan nasional.
Jika memperhatikan kenyataan tersebut maka upaya Indonesia untuk
mencapai berbagai kepentingan nasionalnya di tingkat internasional perlu
ditopang melalui pengerahan segenap potensi dan sumber daya yang
ada untuk mendukung sepenuhnya pelaksanaan diplomasi atau kerja
sama antarnegara. Hal tersebut harus diantisipasi oleh Indonesia melalui
kebijakan dan strategi politik luar negeri yang tepat sehingga Indonesia
dapat menarik manfaat maksimal dalam hubungan internasional tersebut.