Tokoh POLITIK LUAR NEGERI

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

Peranan Penting Tokoh-tokoh Agama dalam Politik

Pencitraan SBY

Perselisihan antara pemerintahan SBY dan para tokoh agama sangat


disayangkan. Ibarat peribahasa lupa kacang akan kulitnya, kejadian ini seakan
menunjukkan bahwa SBY melupakan jasa-jasa tokoh agama terhadap negara ini
khususnya pemerintahan SBY mengingat peran penting para tokoh agama dan
masyarakat madani dalam politik pencitraan. Peranan penting ini secara khusus
ingin saya lihat dari perspektif hubungan internasional.
Berbagai serangan teroris dari mulai Tragedi WTC, lalu Bom Bali I dan II,
kemudian Bom J.W. Marriot serta berbagai aksi teror lainnya telah menghasilkan
persepsi negatif terhadap Islam dan Indonesia. Akibat aksi-aksi terorisme tersebut,
citra Indonesia menjadi sangat buruk mengingat Indonesia adalah negara dengan
mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia dan banyaknya aksi terorisme yang
terjadi di Indonesia. Selain itu, di dunia internasional khususnya di negara-negara
Barat, muncul sentimen negatif yang menyatakan bahwa Islam identik dengan
kekerasan dan terorisme, serta persepsi bahwa Indonesia adalah sarang teroris.
Hal-hal ini tentunya akan menjadi penghalang Indonesia dalam pergaulan
internasional yang tentunya akan sangat merugikan Indonesia. Investasi akan
berkurang, jumlah turis asing yang datang ke Indonesia akan berkurang
signifikan, serta kegelisahan di tengah masyarakat yang sewaktu-waktu bisa

menjadi korban aksi terorisme. Di tengah buruknya persepsi terhadap Indonesia,


para tokoh agama dan masyarakat madani menjadi ujung tombak pemerintah
untuk memperbaiki citra Indonesia di luar negeri.
Mereka menjadi garda pertama kebijakan luar negeri pemerintahan SBY
yang memfokuskan pencitraan positif. Para tokoh agama dan masyarakat madani
tersebut terlibat aktif dalam berbagai dialog lintas agama dengan para tokoh
agama dan masyarakat madani negara lain. Selain berbagi pengalaman mengenai
best experience mengenai kerukunan beragama di Indonesia, Islam di Indonesia
yang moderat, budaya dialog yang mengakar dalam masyarakat Indonesia sejak
zaman dulu, kehidupan berdemokrasi di Indonesia dengan komposisi masyarakat
yang sangat pluralis, berbagai kerjasama juga terjalin dengan adanya dialog
tersebut. Melalui kerja keras dan peran penting para tokoh agama, persepsi dan
sentimen negatif negara-negara Barat perlahan-lahan mulai berkurang dan
mengembalikan citra positif Indonesia di luar negeri. Citra positif Indonesia di
luar negeri semakin kuat dan menunjukkan ke dunia internasional bahwa Islam
tidak identik dengan kekerasan maupun terorisme, bahwa Islam kompatibel
dengan demokrasi, dan bahwa kerukunan umat beragama di Indonesia bisa
dijadikan contoh toleransi dalam masyarakat pluralis. Citra positif ini sangat
membantu pemerintahan SBY dalam menjalankan kebijakan-kebijakan luar negeri
Indonesia.
Dengan demikian, sudah sepantasnya para tokoh agama dan masyarakat
madani mendapatkan apresiasi khusus untuk peranannya. Kondisi bangsa
Indonesia yang sangat pluralis membutuhkan mereka sebagai pemersatu dan
sebagai simbol kesatuan bangsa Indonesia. Kritik para tokoh agama kepada
pemerintah sebaiknya ditanggapi dengan positif dan menjadi motivasi untuk
berbuat lebih baik lagi untuk kesejahteraan rakyat.

Peran Adam Malik Di Dunia


Internasional

Adam Malik Batubara (lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 22


Juli 1917 meninggal diBandung, Jawa Barat, 5 September 1984 pada umur 67
tahun) adalah mantan Menteri Indonesiapada beberapa Departemen, antara lain ia
pernah menjabat menjadi Menteri Luar Negeri. Ia juga pernah menjadi Wakil
Presiden Indonesia yang ketiga. Adam Malik ditetapkan sebagai salah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 6 November 1998 berdasarkan
Keppres Nomor 107/TK/1998.[1]
Adam Malik adalah anak dari pasangan Abdul Malik Batubara dan Salamah
Lubis.[2][3] Ayahnya,

Abdul

Malik,

adalah

seorang

pedagang

kaya

di

Pematangsiantar.[2] Adam Malik adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara.


[2]

Adam Malik menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche

School Pematangsiantar. Ia melanjutkan di Sekolah Agama Madrasah Sumatera


Thawalib Parabek di Bukittinggi, namun hanya satu setengah tahun saja karena
kemudian pulang kampung dan membantu orang tua berdagang.[2]
Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada bangsa mendorong Adam
Malik untuk pergi merantau ke Jakarta. Pada usia 20 tahun, ia bersama
dengan Soemanang, Sipahutar, Armijn

Pane, Abdul

Hakim,

Kartawiguna memelopori berdirinya Kantor Berita Antara.[3]

dan Pandu

Kariernya diawali sebagai wartawan dan tokoh pergerakan kebangsaan yang


dilakukannya secaraautodidak. Pada masa mudanya, ia sudah aktif ikut
pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, antara lain melalui
pendirian Kantor Berita Antara yang berkantor pada waktu itu di Buiten
Tijgerstraat 38 Noord Batavia (Jl. Pinangsia II Jakarta Utara) kemudian pindah JI.
Pos

Utara

53

Pasar

Baru, Jakarta

Pusat.

Sebagai

Direktur

diangkat

Mr. Soemanang, dan Adam Malik menjabat Redaktur merangkap Wakil Direktur.
Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua,
mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional. Sebelumnya, ia sudah
sering menulis antara lain di koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo. Tahun
1941 sebagai utusan Mr. Soemanang bersama Djohan Sjahroezah datang ke
rumahSugondo Djojopuspito minta agar Soegondo bersedia menjadi Direktur
Antara, dan Adam Malik tetap sebagai Redaktur merangkap Wakil Direktur.
Pada tahun 1934-1935, ia memimpin Partai Indonesia (Partindo) Pematang
Siantar dan Medan. Pada tahun 1940-1941 menjadi anggota Dewan Pimpinan
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta. Pada 1945, menjadi anggota
Pimpinan Gerakan Pemuda untuk persiapan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Di zaman penjajahan Jepang, Adam Malik juga aktif bergerilya dalam
gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945,
bersama Sukarni, Chaerul
Karno dan Bung

Saleh,

dan Wikana,

ia

pernah

membawa Bung

Hatta ke Rengasdengklok untukmemproklamasikan

kemerdekaan Indonesia. Demi mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta, ia


menggerakkan rakyat berkumpul di lapangan Ikada, Jakarta.
Mewakili kelompok pemuda, Adam Malik sebagai pimpinan Komite Van
Aksi, terpilih sebagai Ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1947)
yang bertugas menyiapkan susunan pemerintahan. Selain itu, Adam Malik adalah
pendiri dan anggota Partai Rakyat, pendiri Partai Murba, dan anggota parlemen.
Tahun 1945-1946 ia menjadi anggota Badan Persatuan Perjuangan di Yogyakarta.
Kariernya semakin menanjak ketika menjadi Ketua II Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP), sekaligus merangkap jabatan sebagai anggota Badan Pekerja KNIP.

Pada tahun 1946, Adam Malik mendirikan Partai Rakyat, sekaligus menjadi
anggotanya. 1948-1956, ia menjadi anggota dan Dewan Pimpinan Partai Murba.
Pada tahun 1956, ia berhasil memangku jabatan sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR-RI) yang lahir dari hasil pemilihan umum.
Karier Adam Malik di dunia internasional terbentuk ketika diangkat
menjadi Duta

Besar luar

biasa

dan

berkuasa

penuh

untuk

negara Uni

Soviet dan Polandia. Pada tahun 1962, ia menjadi Ketua Delegasi Republik
Indonesia untuk perundingan Indonesia dengan Belanda mengenai wilayah Irian
Barat di Washington D.C, Amerika Serikat. Yang kemudian pertemuan tersebut
menghasilkan Persetujuan Pendahuluan mengenai Irian Barat. Pada bulan
September 1962, ia menjadi anggota Dewan Pengawas Lembaga di lembaga yang
didirikannya,yaitu Kantor Berita Antara. Pada tahun 1963, Adam Malik pertama
kalinya masuk ke dalam jajaran kabinet, yaitu Kabinet yang bernamaKabinet
Kerja IV sebagai Menteri Perdagangan sekaligus menjabat sebagai Wakil
Panglima Operasi ke-I Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE). Pada
masa semakin menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia, Adam Malik
bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Abdul Haris Nasution dianggap sebagai
musuh PKI dan dicap sebagai trio sayap kanan yang kontra-revolusi.
Ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam
Malik

yang

berseberangan

dengan kelompok

kiri justru

malah

menguntungkannya. Tahun 1966, Adam disebut-sebut dalam trio baru SoehartoSultan-Malik. Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia menyatakan keluar dari
Partai Murba karena pendirian Partai Murba, yang menentang masuknya modal
asing. Empat tahun kemudian, ia bergabung dengan Golkar. Pada tahun 1964, ia
mengemban tanggung jawab sebagai Ketua Delegasi untuk Komisi Perdagangan
dan Pembangunan di PBB. Pada tahun 1966, kariernya semakin gemilang ketika
menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II (Waperdam II) sekaligus
sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia di kabinet Dwikora II.
Karier murninya sebagai Menteri Luar Negeri dimulai di kabinet Ampera
I pada tahun 1966. Pada tahun 1967, ia kembali memangku jabatan Menteri Luar

Negeri di kabinet Ampera II. Pada tahun 1968, Menteri Luar Negeri
dalam kabinet Pembangunan I, dan tahun 1973 kembali memangku jabatan
sebagai Menteri Luar Negeri untuk terakhir kalinya dalam kabinet Pembangunan
II. Pada tahun 1971, ia terpilih sebagai Ketua Majelis Umum PBB ke-26, orang
Indonesia pertama dan satu-satunya sebagai Ketua SMU PBB. Saat itu dia harus
memimpin persidangan PBB untuk memutuskan keanggotaan RRC di PBB yang
hingga saat ini masih tetap berlaku. Karier tertingginya dicapai ketika berhasil
memangku jabatan sebagai Wakil Presiden RI yang diangkat oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1978. Ia merupakan Menteri Luar
Negeri RI di urutan kedua yang cukup lama dipercaya untuk memangku jabatan
tersebut

setelah

Dr.Soebandrio.

Sebagai

Menteri

Luar

Negeri

dalam

pemerintahan Orde Baru, Adam Malik berperanan penting dalam berbagai


perundingan dengan negara-negara lain termasuk penjadwalan ulang utang
Indonesia peninggalan Orde Lama. Bersama Menteri Luar Negeri negaranegara ASEAN, Adam Malik memelopori terbentuknya ASEAN tahun 1967.
Sebagai seorang diplomat, wartawan bahkan birokrat, Adam Malik sering
mengatakan semua bisa diatur. Sebagai diplomat ia memang dikenal selalu
mempunyai 1001 jawaban atas segala macam pertanyaan dan permasalahan yang
dihadapkan kepadanya. Tapi perkataan semua bisa diatur itu juga sekaligus
sebagai lontaran kritik bahwa di negara ini semua bisa di atur dengan uang.

SOEHARTO DAN POLITIK LUAR NEGERI RI

Prang tanpa bala, menang tanpa ngalahake, demikian inti pandangan


mantan Presiden Soeharto tentang bagaimana menghadapi pertarungan politik
internasional seperti yang disampaikannya pada Ramadhan KH dalam biografinya
yang dikeluarkan menjelang akhir dasawarsa 1980-an.
Tumbuh dengan latar belakang budaya Jawa yang kental, hampir
setiap keputusan

dan

tindakannya

didasari

oleh

falsafah

Jawa,

termasuk bagaimana ia menjalankan kebijakan luar negeri RI selama menjabat


sebagai Presiden.
Diingat-ingat, menjadi tamu dari dan menerima tokoh luar negeri, semua
itu berjalan baik. Saya ingat kepada falsafah nenek moyang, perang tanpa
kekerasan dapat memperoleh kemenangan, tercapai cita-cita tanpa menimbulkan
rasa kalah pada lawannya, ujar Soeharto saat itu.
Langkah pria kelahiran 8 Juni 1921 saat menentukan langkah kebijakan
politik luar negeri RI diawali dengan keputusannya untuk menyelesaikan masalah
konfrontasi Indonesia-Malaysia yang telah berlangsung pada pertengahan dekade
1960-an semasa pemerintahan Soekarno.
RE Elson, dalam tulisannya di Biografi politik Soeharto yang dikeluarkan
2001, menilai langkah normalisasi hubungan dengan Malaysia merupakan bagian

dari penyelesaian masalah dalam negeri usai peristiwa gerakan 30 September/PKI.


Kebijakan konfrontasi dalam pandangan Soeharto adalah cuma taktik PKI untuk
melibatkan Indonesia ke dalam sebanyak mungkin konfrontasi supaya PKI bisa
menghimpun kekuatan yang akhirnya bisa memberontak dan memegang
kekuasaan, paparnya.
Soeharto melihat amat penting jika konfrontasi dihilangkan agar Indonesia
dapat berhasil dalam negosiasi bantuan finansial dengan negara-negara barat,
ungkap Elson.
Setelah disepakati perjanjian 11 Agustus 1966 dalam rangka normalisasi
hubungan antara Indonesia-Malaysia yang secara resmi pulih pada 31 Agustus
1967, langkah Soeharto berikutnya adalah kembalinya Indonesia menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 28 September 1966 setelah sebelumnya pada 31
Desember 1964 Soekarno menyatakan RI keluar dari PBB.
Politik luar negeri bebas aktif adalah kebijakan umum politik luar negeri
Indonesia yang diambil oleh Soeharto selama memimpin Indonesia selama 32
tahun sejak akhir dekade 1960-an hingga menjelang milenium atau akhir 1990an. OG Roeder dalam tulisannya The Smiling General yang dikeluarkan pada
1969 mengatakan Soeharto memandang pentingnya memperbaiki kondisi dalam
negeri dibandingkan mengumandangkan penyelamatan umat manusia dalam
lingkup internasional, meski demikian disadari juga kebijakan luar negeri harus
diperbaiki.
Soeharto

kemudian

bertemu

dan

memiliki

partner

yang

tepat

untuk mengejawantahkan keinginannya dan pemikirannya yaitu Adam Malik,


yang kemudian diangkat menjadi menteri luar negeri menggantikan Soebandrio,
papar Roeder.
Pada pernyataan pertama sebagai menteri luar negeri 4 April 1966, Adam
Malik dengan mengejawantahkan konsep Soeharto mengumumkan bahwa
Indonesia menetapkan kebijakan politik luar negeri bebas aktif. Sama seperti

kebijakan politik luar negeri negara lain, kebijakan itu pun berujung pada
pemenuhan tujuan nasional.
Kebijakan itu harus berujung pada pemenuhan tujuan nasional dan juga
memberi kontribusi pada terwujudnya kesejahteraan umat manusia, dalam
konteks ini kita menolak kolonialisme dan imprealisme dalam berbagai bentuk,
kata Soeharto saat pidato peringatan hari ulang tahun RI tahun 1967 di depan
DPR, seperti dikutip Roeder.
Langkah Indonesia menuju pentas politik internasional diawali dengan
pembentukan asosiasi negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN yang mulai
dirintis pada awal 1967. ASEAN resmi di deklarasikan pada 8 Agustus 1967
dengan negara anggota pertamanya adalah Indonesia, Filipina, Malaysia,
Singapura dan Thailand masing-masing diwakili oleh Adam Malik, Narciso R.
Ramos, Tun Abdul Razak, S. Rajaratnam, dan Thanat Khoman.
Salah satu bentuk yang paling bermakna dari tugas-tugas yang kita emban
dalam kesejahteraan dunia adalah lahirnya ASEAN yang kita bangun bersamasama dengan negara anggota lainnya, itu mencerminkan tekad bangsa yang
menjadi anggotanya untuk menciptakan kemajuan bersama bagi warga di kawasan
itu, kata Soeharto dalam salah satu biografinya.
Stabilitas dan keberlanjutan merupakan hal utama yang sangat dipikirkan
oleh Soeharto. Tak heran bila konsep itu ia sodorkan dalam setiap kerjasama
kawasan yang diikuti oleh Indonesia selama masa pemerintahannya. Apabila
tercapai stabilitas nasional di masing-masing negara anggota, maka akan terwujud
stabilitas kawasan secara regional, ujarnya.
Dalam tulisannya, Elson, melihat peran Soeharto dalam lingkup ASEAN
semakin meningkat terutama pada periode puncak kekuasaannya sejak 1985
hingga era 1990-an. Pada 1993 dibentuk forum regional ASEAN yang membahas
masalah keamanan dalam format multilateral.
Indonesia juga memainkan peran kunci dalam mewujudkan kesepakatan
pada 1993 antara faksi-faksi di Kamboja yang saling bertikai. Indonesia juga

menganjurkan jeda damai kepada pemberontak muslim di Filipina Selatan dan


aneka peran-peran internasional lainnya, tulis Elson.
Perang dingin
Soeharto

semasa

memimpin

Indonesia,

dalam

separuh

perjalanan

kepemimpinannya diwarnai dengan suasana politik internasional dengan dua


kutub kekuatan utama yaitu blok barat yang dimotori oleh Amerika Serikat dan
blok timur yang dimotori oleh Uni Soviet. Ketegangan ideologi itu baru berakhir
setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1990.
Beginilah keadaan dunia kita sekarang, perselisihan antar Super-Power
masih saja berkepanjangan, sekalipun secara langsung belum konfrontatif nyata
bentuk konfrontasi itu terjadi di beberapa kawasan, latar belakang pertentangan
yang terjadi di berbagai kawasan itu jelas merupakan pertentangan negara-negara
adikuasa itu, ujar Soeharto dalam biografinya.
Ia menilai harus ada usaha untuk mendekatkan dan menyadarkan negaranegara lainnya untuk tidak ikut mempertajam pertentangan negara-negara
adikuasa. Terlibat atau melibatkan diri pada pertentangan super power hanya
akan menyebabkan terbentuknya blok-blok, katanya.
Meredanya perang dingin pada 1990an membuat keberadaan Gerakan Non
Blok dipertanyakan karena pada awal pembentukannya usai Konferensi Asia
Afrika 1955, GNB merupakan penyeimbang konstelasi kekuatan politik dunia
yang terbagi atas dua kutub saat ini.
Meski demikian, Indonesia berusaha merevitalisasi agar tujuan GNB tetap
relevan dan itu dilakukan saat Soeharto menjadi ketua GNB pada 1992 dan
berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi organisasi itu di Jakarta. Dua tahun
kemudian pada 1994, Indonesia merangkul konsep Asia Pacific Economic
Cooperation (APEC) dan menjadi tuan rumah pertemuan di Bogor.
Sejarah memang pernah mencatat pada setiap era kepemimpinan presiden,
selalu tercetak jejak rekam diplomasi Indonesia, bila Soekarno mendorong
kebanggaan nasional melalui pola diplomasi dalam dan luar negeri berbasis
politik, Soeharto mendorong Indonesia dikenal secara regional dan internasional

melalui diplomasi bertahap dimulai dari regional terdekat berbasis stabilitas


keamanan dan mengedepankan pertumbuhan ekonomi.

Di Sidang Majelis Umum PBB,


Wapres JK Kembali Bela Palestina

Hari Jumat (2/10) sore waktu New York atau Sabtu pagi WIB, Wakil
Presiden Jusuf Kalla menyampaikan pandangan politik luar negeri
Indonesia mengenai berbagai isu internasional.
Dalam sidang majelis umum PBB yang ke-70 ini, wakil presiden
mengajak negara-negara anggota merefleksikan kemajuan dalam
mewujudkan piagam PBB, termasuk pencapaian dalam hal Pasukan
Penjaga Perdamaian mencegah konflik bersenjata selama tujuh
dekade terakhir.
Namun, Bapak Jusuf Kalla menggaris-bawahi sejumlah tantangan
yang masih harus diselesaikan, termasuk konflik berkelanjutan yang
menimbulkan penderitaan rakyat Palestina.
Dukungan Indonesia terhadap Palestina merupakan hal yang selalu
disampaikan setiap tahun di forum sidang majelis umum PBB. Tahun
ini, meski secara simbolik bendera Palestina berkibar di markas PBB
namun status Palestina tidak berubah, tetap hanya sebagai negara
pengamat PBB.
Terlebih lagi terjadi kemunduran dalam prospek perdamaian
Palestina dan Israel, dengan keluarnya Palestina dari Perjanjian Oslo.

Hari Rabu (29/9), Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan


kepada Sidang Majelis Umum bahwa Otoritas Palestina tak lagi terikat
Perjanjian Perdamaian Oslo ini, maupun perjanjian lainnya yang
menjadi landasan solusi dua negara Palestina dan Israel yang hidup
berdampingan secara damai. Menurut Mahmoud Abbas, tak ada alasan
bagi

Palestina

untuk

mematuhi

perjanjian

ini

jika

Israel

tak

mematuhinya.
Seusai pidato dalam wawancara khusus dengan VOA Wapres
Jusuf Kalla menyatakan bahwa dengan berbagai masalah di Timur
Tengah termasuk Iran, Irak dan Suriah memang isu Palestina ini tidak
lagi menonjol.
Namun menurut wapres masalah ini tetap penting karena, Jika
diurai, salah satu penyebab utama berbagai masalah di Timur Tengah
adalah ketidakadilan di Palestina, ujarnya.
Wapres
setengah

menyatakan
masalah

yakin

Timur

jika

Tengah

masalah
bisa

Palestina

selesai,

diselesaikan.

Wapres

menyampaikan niat Indonesia untuk meningkatkan perannya di


berbagai forum agar terus dapat menjadi bagian dari penyelesaian
masalah.
Sejak masa pemerintahan sebelumnya, Indonesia terus solider
terhadap Palestina, namun karena Indonesia bukan aktor kawasan dan
tidak banyak berpengaruh terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik,
tak banyak yang secara konkret dapat disumbangkan Indonesia dalam
proses perdamaian.
Di PBB, upaya perdamaian Israel Palestina tahun ini kembali
digiatkan melalui forum Kuartet Timur Tengah, yaitu PBB, Uni Eropa,
Amerika Serikat dan Rusia.

Politik Luar Negeri Megawati

SETELAH melalui kontroversi konstitusional berkepanjangan, Sidang Istimewa


MPR (SI MPR) akhirnya mencabut mandat kepresidenan Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) dan menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan
Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden. Terlepas dari masih adanya resistensi
berbagai kalangan, khususnya para pendukung Gus Dur tentang "suksesi"
kepemimpinan nasional itu, hasil ini kiranya patut diterima sebagai realitas politik
yang telah diambil lembaga tertinggi yang dijamin UUD 1945. Terlebih lagi,
kepemimpinan baru ini sudah memperoleh legitimasi lebih luas setelah mendapat
pengakuan internasional dari berbagai negara.
Meski demikian, pergantian kepemimpinan nasional bukan solusi akhir dari
setumpuk persoalan yang dihadapi bangsa ini. Pemerintahan baru di bawah duet
Megawati-Hamzah Haz, dihadapkan aneka masalah dan persoalan mendasar yang
dialami rakyat, akibat krisis berkepanjangan di segala bidang yang belum teratasi
pemerintah sebelumnya. Mengingat kompleksitas masalahnya, diharapkan
pemerintahan baru mampu merumuskan visi, misi, dan prioritas program kerja
yang akan dilakukan hingga akhir masa jabatan tahun 2004. Dalam tenggang
waktu ini, prioritas utama yang dapat dikerjakan antara lain pemulihan ekonomi
rakyat, mengembalikan citra dan kepercayaan pemerintah, serta mencegah
disintegrasi bangsa dan memulihkan stabilitas keamanan. Ini penting dalam upaya

memberi arah tepat dan efisien guna pemulihan situasi di segala bidang untuk
kemaslahatan seluruh rakyat.
Salah satu aspek penyelenggaraan pemerintahan yang sering menjadi sorotan
publik di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah pelaksanaan politik luar
negeri dan diplomasi. Seperti dimaklumi, selama kurang dari dua tahun, Presiden
Abdurrahman Wahid mengambil peran "aktor utama" (chief diplomat) dalam
pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi dengan melakukan kunjungan luar
negeri ke lebih 50 negara. Tercatat rekor, Presiden Abdurrahman Wahid menjadi
satu-satunya Presiden RI yang telah menancapkan kaki di lima benua yang
mungkin akan menjadi "catatan penting" dari sejarah politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi melalui kunjungan ke mancanegara
yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid banyak disorot publik, karena
pelaksanaannya dianggap tidak berdasarkan "cetak-biru" atau tidak memiliki
"profil" yang jelas ke arah mana kebijakan luar negeri akan dijalankan. Beberapa
kalangan, termasuk wakil rakyat, juga dengan keras mengkritik, pelaksanaan
politik luar negeri amat tidak jelas (in total disarray). Belajar dari pengalaman itu,
orientasi atau arah kebijakan luar negeri seperti apa yang akan diambil pemerintah
Megawati Soekarnoputri? Tulisan ini mencoba memberikan sumbangan pikiran
yang dapat dipertimbangkan bagi pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi.
***
BELAKANGAN ini, peran Indonesia dalam kancah organisasi regional ASEAN
mulai dipertanyakan, baik oleh kalangan dalam negeri maupun luar negeri. Tidak
seperti masa sebelum krisis ekonomi, peran regional Indonesia di forum ASEAN
amat menonjol, bahkan sempat dijuluki big brother di kalangan negara anggota
ASEAN lainnya. Namun, ketika krisis ekonomi melanda kawasan ini, kohesivitas
dan integritas ASEAN dalam menghadapi dampak sosial dari krisis mulai
diragukan.

Negara-negara anggota ASEAN dipandang lebih sibuk mencari solusi


penanggulangan krisis sendiri-sendiri mengingat kompleksitas dan tingkat krisis
yang dialami masing-masing negara berbeda satu dengan lainnya, termasuk
Indonesia yang dianggap paling parah dan paling lambat pemulihannya. Hal ini
secara tidak langsung menyulitkan Indonesia untuk mempertahankan peran
regionalnya, apalagi Malaysia dan Thailand relatif telah berhasil keluar dari krisis.
Apalagi jika diingat beberapa pernyataan kontroversial yang dilontarkan Presiden
Abdurrahman Wahid berkaitan dengan keadaan dalam negeri anggota ASEAN
lainnya atau misalnya ungkapan kekecewaan terhadap ASEAN dengan
mengajukan gagasan pembentukan "Forum Pasifik Barat", dalam derajat tertentu
sempat mengaburkan peran Indonesia itu.
Untuk itu, Indonesia perlu menegaskan kembali komitmennya bahwa ASEAN
merupakan "soko guru" politik luar negeri sebagaimana diamanatkan GBHN
dengan tetap menyandarkan diri pada politik luar negeri "bebas-aktif" sesuai
amanat Pembukaan UUD 1945. Politik luar negeri perlu dilaksanakan melalui
diplomasi yang konsisten dalam prinsip serta rasional dan luwes dalam
pendekatan.
Dengan kembali menempatkan ASEAN sebagai "fokus" kebijakan luar negeri,
diharapkan Indonesia dapat meraih kembali peran regional di kawasan Asia
Tenggara, yang nantinya akan menjadi modalitas dan "posisi tawar" bagi
pengembangan peran yang lebih luas di kawasan lain maupun di tingkat global
seperti yang telah dijalankan dua periode terakhir pemerintahan Presiden
Soeharto.
Dengan kata lain, Indonesia perlu tampil dengan "profil" politik luar negeri dan
diplomasi yang lebih tegas dan konsisten serta tidak perlu keluar dengan berbagai
pernyataan kontroversial yang dapat menyinggung martabat dan harga diri negara
lain, khususnya di kalangan negara ASEAN.

Hal ini penting mengingat ASEAN saat ini tengah menghadapi masalah sulit yang
diwarnai berbagai sengketa bilateral maupun konflik internal di antara
anggotanya. Kesalahpahaman saat Presiden Abdurrahman Wahid menghadiri KTT
informal ASEAN di Singapura tahun lalu kiranya tidak perlu terulang guna
mengembalikan citra Indonesia yang selama ini disegani anggota ASEAN lainnya.
Dalam kaitan ini, rencana Presiden Megawati untuk mengunjungi seluruh negara
anggota ASEAN diharapkan dapat menjadi indikasi awal bagi Indonesia untuk
memainkan kembali peran regionalnya di kawasan ini. Meski demikian, setelah
kunjungan diharapkan Presiden Megawati tetap memusatkan perhatiannya kepada
persoalan dalam negeri dan tidak perlu terlena untuk melakukan serangkaian
muhibah ke luar negeri seperti pendahulunya. Sebaliknya, pelaksanaan tugas
diplomasi dapat sepenuhnya diserahkan kepada Menteri Luar Negeri dan
jajarannya dengan melibatkan berbagai aktor lain di luar pemerintah yang
berkompeten dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.
***
DENGAN demikian, dalam rangka pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi,
diharapkan Presiden Megawati dapat menunjuk figur Menteri Luar Negeri yang
sepenuhnya memfokuskan diri pada tugas-tugas yang berkaitan dengan
pelaksanaan hubungan luar negeri. Hal ini penting mengingat sesuai amanat
Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,
Presiden dapat melimpahkan kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar
Negeri dan Politik Luar Negeri kepada Menteri Luar Negeri yang berperan
sebagai konsultan dan koordinator bagi penyelenggaraan segenap aspek hubungan
luar negeri.
Lebih dari itu, pemerintah Megawati juga perlu memperhatikan dan
mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan
diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945. Seperti diketahui, selama ini Komisi I
DPR telah menjalankan peran cukup signifikan dan tegas dalam mempengaruhi

dan mengontrol pelaksanaan aktivitas diplomasi Indonesia. Karena itu,


pemerintahan baru perlu mengupayakan sebuah "mekanisme kerja" yang lebih
solid dengan Komisi I DPR sehingga diharapkan dapat memunculkan a concerted
and united foreign policysebagai hasil kerja bersama lembaga eksekutif dan
legislatif yang lebih konstruktif dan bertanggung jawab atas dasar prinsip check
and balance. Andaikata memungkinkan, dapat diterapkanbipartisanship foreign
policy yang berlandaskan kolaborasi antara dua partai utama di DPR serta antara
Presiden dan para pemimpin oposisi (jika ada).
Terlepas dari pentingnya politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu
platform pemerintahan baru dalam membantu upaya pemulihan ekonomi dan
stabilitas keamanan di dalam negeri, kiranya tetap perlu diingat, Presiden
Megawati akan lebih dihargai di mata rakyat bila memprioritaskan diri
mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian
Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat di mana nasib ratusan ribu atau
mungkin jutaan pengungsi dalam kondisi amat memprihatinkan.
Dengan kata lain, anggaran Presiden ke luar negeri dihemat dan dialokasikan
untuk membantu mengurangi penderitaan rakyat di daerah-daerah itu, tanpa harus
mengabaikan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu
aspek penting penyelenggaraan pemerintah yang pelaksanaannya di bawah
koordinasi Menteri Luar Negeri. Dan yang lebih penting, untuk membuktikan
kepada rakyat bahwa pemerintah Megawati memiliki sense of urgency dan sense
of crisis yang belum berhasil dibangun pemerintahan sebelumnya.
* Andy Rachmianto, pemerhati masalah luar negeri dan anggota Indonesian
Council of World Affairs (ICWA).

dan dialokasikan untuk membantu mengurangi penderitaan rakyat di daerahdaerah itu, tanpa harus mengabaikan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi
sebagai

salah

satu

aspek

penting

penyelenggaraan

pemerintah

yang

pelaksanaannya di bawah koordinasi Menteri Luar Negeri. Dan yang lebih


penting, untuk membuktikan kepada rakyat bahwa pemerintah Megawati
memiliki sense of urgency dan sense of crisis yang belum berhasil dibangun
pemerintahan sebelumnya.

Politik Luar Negeri Indonesia


Politik Luar Negeri Indonesia. Dalam melaksanakan hubungan dengan
luar negeri atau dengan bangsa lain Indonesia menerapkan politik luar
negeri bebas aktif. Politik luar negeri adalah wawasan internasional.
Sehingga, politik luar negeri cenderung bersifat tetap, politik luar negeri
juga dapat diartikan sebagai pola perilaku, dan kebijakan suatu negara
berhubungan dengan negara lain ataupun dunia internasional. Politik
luar negeri diabdikan bagi kepentingan nasional terutama untuk
kepentingan pembangunan di segala bidang serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.

M. Hatta
Asas politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Bebas artinya tidak
memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia. Aktif artinya tidak pasif atas
kejadian-kejadian internasional melainkan aktif menjalankan kebijakan
luar negeri. Aktif dalam arti ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Asas
politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dikemukakan pertama
kali oleh Mohammad Hatta dalam keterangnnya didepan badan pekerja
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pada 2 September 1948. Politik

luar negeri Indonesia selain bersifat bebas dan aktif juga mempunyai sifatsifat berikut.

Anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala hal bentuk


manifestasinya dan ikut serta menjelaskan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan


rakyat.

Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri Indonesia antara lain sebagai berikut :

Negara Indonesia menjalankan politik damai.

Indonesia membantu pelaksanaan keadilan sosial internasional


dengan berpedoman pada piagam PBB.

Indonesia bersahabat dengan segala bangsa atas dasar saling


menghargai dengan tidak mencampuri urusan pemerintahan dalam
negeri negara lain

Pelaksanaan politik luar negeri menjadi tugas Kementerian Luar Negeri,


disingkat Kemlu, (dahulu Departemen Luar Negeri, disingkat Deplu).
Kementrian Luar Negeri adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia
yang membidangi urusan luar negeri. Untuk mewakili pemerintah
Indonesia di suatu negara dibentuk Perwakilan Diplomatik. Perwakilan
diplomatik adalah kedutaan besar Republik Indonesia dan perutusan tetap
Republik Indonesia yang melakukan kegiatan diplomatik di seluruh
wilayah negara penerima dan/atau pada organisasi internasional untuk
mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa, negara dan
pemerintah Republik Indonesia. Orang yang melakukan kegiatan
diplomatik disebu diplomat atau duta besar

Menurut Drs. Moh. Hatta, tujuan politik luar negeri Indonesia, antara lain
sebagai berikut:

mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan


negara;

memperoleh barang-barang yang diperlukan dari luar negeri untuk


memperbesar kemakmuran rakyat;

meningkatkan perdamaian internasional;

meningkatkan persaudaraan dengan semua bangsa.

Tujuan politik luar negeri tidak terlepas dari hubungan luar negeri.
Hubungan luar negeri merupakan hubungan antarbangsa, baik regional
maupun internasional, melalui kerja sama bilateral ataupun multirateral
yang ditujukan untuk kepentingan nasional.
Jika memperhatikan kenyataan tersebut maka upaya Indonesia untuk
mencapai berbagai kepentingan nasionalnya di tingkat internasional perlu
ditopang melalui pengerahan segenap potensi dan sumber daya yang
ada untuk mendukung sepenuhnya pelaksanaan diplomasi atau kerja
sama antarnegara. Hal tersebut harus diantisipasi oleh Indonesia melalui
kebijakan dan strategi politik luar negeri yang tepat sehingga Indonesia
dapat menarik manfaat maksimal dalam hubungan internasional tersebut.

Dalam lingkup nasional, politik luar negeri Indonesia tetap


ditujukan untuk menjaga keutuhan wilayah nasional, persatuan
bangsa serta stabilitas nasional dalam menghadapi permasalahan di
dalam negeri.

Dalam lingkup hubungan antardua negara (bilateral),


Indonesia berupaya untuk memantapkan dan
meningkatkan hubungan bilateral dengan negara-negara
sahabat dengan terus mempelajari kemungkinan
pembinaan hubungan bilateral dengan negara-negara yang
dinilai berpotensi membantu upaya pencapaian
kepentingan nasional Indonesia.

Dalam lingkup wilayah (regional), Indonesia sangat


mendukung pemulihan perekonomian Asia Tenggara dan
akan berpartisipasi aktif dalam berbagai langkah ASEAN dan tetap
memainkan kepemimpinan di ASEAN serta menjaga kekompakan
sesama ASEAN.

Dalam lingkup dunia (internasional), Indonesia tetap menaruh


harapan besar pada PBB dan tetap meyakini keabsahan institusi ini.
PBB adalah satu-satunya lembaga internasional yang paling
mampu dalam mengambil keputusan-keputusan penting yang
bersifat mendunia.

Kebebasan Indonesia dalam menjalankan politik luar negeri dibuktikan


oleh peningkatan hubungan regional dan internasional sebagai berikut:
1. Peran Indonesia dalam PBB;
2. Konferensi Asia Afrika (KAA);
3. Peran Indonesia dalam Gerakan Non Blok;
4. Peran Indonesia di ASEAN.

Anda mungkin juga menyukai