CTL Dan Rme

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 27

LANDASAN KEPENDIDIKAN

KELOMPOK 4:

HESTI AYU NINGTIYAS


YUSUF ARIFIYANTO
SASANTI YUNI K.
NURIKEN S.
ANPDIKA ROSSY K. P.

14030174006
14030174061
14030174070
14030174075
14030174104

2014 C

JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


2015
A.

PARADIGMA BARU PEMBELAJARAN

Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus cerdas, damai,
merdeka, dan adil. Hal-hal yang disebutkan itu merupakan tujuan pendidikan yang harus
diwujudkan. Tujuan tersebut secara eksplisit dijabarkan di dalam UUSPN Nomor 20/2003
yang menyatakan bahwa siswa harus memiliki daya saing dalam menghadapi globalisasi.
Lebih rinci lagi dijabarkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan siswa harus memiliki: (a) kualifikasi
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan; (b) dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut, serta (c) memiliki kecakapan hidup mencakup kecakapan pribadi, kecakapan
sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Menurut UUSPN 2003, untuk mewujudkan tujuan tersebut, pembelajaran dilaksanakan
melalui olahhati, olahpikir, olahrasa, dan olahraga. Sementara menurut PP Nomor 19/2005
pembelajaran dilaksanakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik. Pembelajaran juga harus memberikan keteladanan.
Uraian di atas menyiratkan bahwa paradigma pembelajaran yang diterapkan selama ini
harus diubah. Pembelajaran harus menerapkan inovasi. Inovasi terjadi pada tataran
implementasi, yaitu menerapkan pembelajaran inovatif. Dengan kata lain inovasi sangat
berkaitan dengan perubahan tingkah laku guru atau dosen.
Terdapat beberapa alasan, mengapa harus mengubah paradigma pembelajaran sebagai
berikut:
1.

Jumlah informasi yang sedemikian banyak di satu sisi, sementara di sisi lain
terbatasnya jumlah waktu yang tersedia, tidaklah mungkin bagi guru untuk memberikan
semua informasi dalam bentuk jadi kepada siswa atau mahasiswa. Diperlukan suatu
keterampilan tertentu yang dapat digunakan oleh siswa untuk mengarahkan dirinya dalam
rangka belajar sepanjang hayat.
2.
Tidak semua aspek pengetahuan dapat diajarkan dengan cara yang sama apalagi
hanya dengan satu cara. Diperlukan variasi cara dan strategi sesuai dengan karakteristik
materi pelajaran yang diajarkan. Materi pelajaran sains amat kaya dengan instrumen dan
alat ukur di satu pihak sementara di lain pihak sains juga kaya dengan konsep, teori, dan
prinsip serta hukum yang tiap-tiap substansi memiliki karakteristik berbeda yang
memerlukan strategi berbeda pula untuk mengajarkannya.
3.
Orientasi pada penguasaan target materi telah berhasil dalam kompetensi mengingat
jangka pendek, tapi gagal dalam membekali anak dalam memecahkan persoalan dalam
kehidupan jangka panjang.
4.
Hasil penelitian yang dilakukan dalam 25 tahun terakhir tentang otak manusia
menunjukkan bahwa drill hanya mengembangkan satu bagian otak manusia yang disebut
batang otak (otak manusia terdiri dari batang otak, sistem limbik dan neokorteks atau otak
berpikir). Batang otak atau sering disebut dengan otak reptil berfungsi sebagai motor

5.

6.

7.
8.

sensorik, bertanggungjawab mengkoordinasikan aktivitas yang menyangkut kelangsungan


hidup: melawan atau lari. Sementara neokorteks berfungsi saat berpikir, bernalar, perilaku
baik, bahasa, dan kecerdasan lebih tinggi belum difungsikan secara maksimal.
Pembelajaran ilmu kealaman (Natural Sciences) diajarkan lebih baik dengan cara
bagaimana ilmu itu ditemukan oleh para ahli. Hal ini mengisyaratkan adanya integrasi
antara ketrampilan kerja ilmiah dengan penguasaan konsep. Integrasi ini bermaksud untuk
belajar tentang konsep fisika, siswa menggunakan keterampilan kerja ilmiah sebagai alat.
Untuk belajar keterampilan kerja ilmiah, siswa menggunakan substansi mata pelajaran
dalam hal ini fisika sebagai kendaraan.
Menurut kurikulum yang berlaku, pendekatan belajar di dalam sains adalah (a) empat
pilar pendidikan, (b) inkuiri sains, (c) sains, teknologi, dan masyarakat, (d)
konstruktivisme, dan (e) pemecahan masalah.
KBM seharusnya terfokus pada learning, berangkat dari masalah nyata,
menumbuhkembangkan kemampuan menggunakan keterampilan proses.
Strategi lebih penting dari pada hanya sekedar hasil.

Menurut model SPICES hybrid curricula, inovasi terjadi bila terjadi perubahan perilaku
guru atau dosen atau perubahan paradigma dari karakteristik atau paradigma pembelajaran
yang digambarkan oleh kelompok kata pada kolom sebelah kiri menjadi seperti digambarkan
oleh kelompok kata di kolom sebelah kanan sebagai berikut.
Teacher-centered

Student-centered

Subsject-based

Problem-based

Dicipline

Integrated-based

Hospital-oriented

Community-based

Standardized

Electives

Opportunistic

Systematic

Pre-graduate

Contonuing

Pada tataran mikro di kelas, kondisi sekarang yang ditandai dengan Teacher centered,
Subject based, Dicipline-based, Hospital-based, Standardized, Opportunistic, Pregraduate,
harus berangsur-angsur di ubah ke arah model SPICES, yaitu Student centered, Problembased, Integrated, Community oriented, Electives, Systematic, Continuing.
Pada strategi pembelajaran inovatif guru atau dosen tradisional dan peran siswa atau
mahasiswa diubah, tanggungjawab siswa atau mahasiswa untuk belajar harus ditingkatkan,
memberi mereka motivasi dan arahan untuk menyelesaikan program belajarnya dan
menempatkan mereka pada pola tertentu agar mereka sukses sebagai pelajar sepanjang hayat.
Pada pembelajaran yang inovatif itu maka guru atau dosen akan berperan sebagai sumber

belajar, tutor, eveluator, pembimbing dan memberi dukungan dalam belajar siswa atau
mahasiswa.
Prinsip yang mendasari strategi pembelajaran inovatif antara lain: (a) pemahaman
dibangun melalui pengalaman, (b) pengertian diciptakan dari usaha untuk menjawab
pertanyaan sendiri dan memecahkan masalah sendiri, (c) kita seharusnya mengembangkan
insting alami siswa dalam melakukan penyelidikan dan berkreasi, (d) strategi berpusat pada
siswa akan membangun ketrampilan berpikir kritis, penalaran dan selanjutnya kreativitas dan
ketaktergantungan.
1. Berpusat pada Siswa
Student centered mengandung pengertian pembelajaran menerapkan strategi pedagogi
mengorientasikan siswa atau mahasiswa kepada situasi yang bermakna, kontekstual, dunia
nyata, dan menyediakan sumber belajar, bimbingan, petunjuk bagi pebelajar ketika mereka
mengembangkan atau membangun pengetahuan tentang materi pelajaran yang dipelajarinya
sekaligus keterampilan memecahkan masalah.
Paradigma yang menempatkan guru atau dosen sebagai pusat pembelajaran (teaching)
dan siswa sebagai objek, seharusnya diubah dengan menempatkan siswa sebagai subjek yang
belajar secara aktif membangun pemahamannya (learning) dengan jalan merangkai
pengalaman yang telah dimiliki dengan pengalaman baru yang dijumpai.
Pengalaman nyata dari negara lain menunjukkan bahwa minat dan prestasi siswa dalam
bidang matematika, sains, dan bahasa meningkat secara drastis pada saat: mereka dibantu
untuk membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman
(pengetahuan lain) yang telah mereka miliki atau mereka kuasai.
2. Berdasarkan Masalah
Pembelajaran hendaknya dimulai dari masalah-masalah aktual, otentik, relevan, dan
bermakna bagi siswa. Pembelajaran yang berbasis subjek sering kali tidak relevan dan tidak
bermakna bagi siswa sehingga tidak menarik perhatian siswa. Pembelajaran yang dibangun
berdasarkan subjek sering kali terlepas dari kejadian aktual di masyarakat. Akibatnya siswa
mahasiswa tidak dapat menerapkan konsep atau teori yang dipelajarinya di dalam kehidupan
nyata sehari-hari.
Dengan pembelajaran yang dimulai dari masalah maka siswa atau mahasiswa belajar
suatu konsep atau teori dan prinsip sekaligus memecahkan masalah. Dengan demikian
sekurang-kurangnya ada dua hasil belajar yang dicapai, yaitu jawaban terhadap masalah
(produk) dan cara memecahkan masalah (proses).
Kemampuan tentang pemecahan masalah lebih dari sekedar akumulasi pengetahuan dan
teori atau hukum, tetapi merupakan perkembangan kemampuan fleksibilitas, strategi kognitif
yang membantu mereka menganalisis situasi tak terduga dan mampu menghasilkan solusi

yang bermakna. Bahkan Gagne mengatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah


merupakan hasil belajar yang paling tinggi.
Bandingkan manakah yang lebih menantang bagi siswa, ketika seorang guru memulai
pelajaran dengan menulis topik di papan tulis "Hukum Archimedes" ataukah dengan jika dia
melakukan demonstrasi terlebih dahulu mengapa benda yang ditimbang di udara dan di
timbang di dalam air berbeda hasil pengamatannya.
Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang
diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya.
3. Terintegrasi
Seseorang yang belajar seharusnya tidak menggunakan "kaca mata kuda" yang hanya
tahu secara mendalam disiplin ilmunya tapi sama sekali buta tentang kaitan ilmu yang
dipelajari dengan disiplin lain. Seorang belajar tentang bangun datar, dia hanya tahu macam
bangun datar tersebut. Namun tidak dapat menyebutkan benda yang berbentuk bangun datar
tersebut, padahal dia juga mempelajari tentang sifat dari bangun datar tersebut. Di dalam
inovasi pembelajaran pendekatan terintegrasi lebih diharapkan daripada pendekatan disiplin
ilmu. Kelemahan pendekatan disiplin ilmu, siswa atau mahasiswa tidak dapat memandang
sistem, mereka akan terkotak pada satu disiplin ilmu, sehingga tidak heran seorang guru ketika
ditanya "apa fungsi dari kita belajar integral?" tetapi dia malah balik bertanya integral itu apa?.
Namun guru malah melempar pertanyaan kepada siswa.
4. Berorientasi Masyarakat
Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang
diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya. Pengalaman lain dari
negara lain juga menemukan bahwa minat dan prestasi siswa dalam bidang matematika, sains,
dan bahasa meningkat secara drastis pada saat mereka diajarkan bagaimana mereka
mempelajari konsep, dan bagaimana konsep tersebut dapat dipergunakan di luar kelas.
Mengajak siswa atau mahasiswa untuk mengimplementasikan apa yang dipelajari di dalam ke
konteks masyarakat atau sebaliknya mengambil masalah-masalah yang terjadi di masyarakat
sebagai "starter" untuk belajar keterampilan dan pengetahuan yang lebih dalam merupakan
proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa.
5. Menawarkan Pilihan
Setiap orang bersifat unik, berbeda dengan orang lain. Siswa atau mahasiswa yang
belajar juga demikian. Mereka memiliki variasi pada gaya belajar, kecepatan belajar, pusat
perhatian, dan sebagainya. Menyamaratakan siswa atau mahasiswa selama proses belajar
mengajar mungkin akan berdampak pada hasil belajar. Pembelajaran yang inovatif memberi
perhatian pada keragaman karakteristik pebelajar itu. Atas dasar itu maka pembelajaran bukan
dilakukan seperti yang diinginkan oleh guru tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh
siswa.

Proses belajar adalah proses aktif yang harus dilakukan oleh siswa. Keharusannya
menyediakan pilihan juga berkaitan dengan karakteristik substansi ilmu yang disampaikan dan
pengaruh strategi yang digunakan terhadap retensi siswa atau mahasiswa. Keterampilan
psikomotor, keterampilan kognitif, keterampilan sosial serta keterampilan memecahkan
masalah memiliki strategi pembelajaran yang berbeda-beda untuk dapat mencapai tujuannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pembelajaran yang digunakan sangat
berpengaruh pada tingkat retensi siswa atau mahasiswa.
Hubungan strategi pembelajaran dengan retensi
Persentase Ingatan

Bentuk Aktivitas

Pembelajaran

10% dari apa yang dibaca

Membaca

20% dari apa yang didengar

Mendengar kata-kata

30% dari apa yang dilihat

Melihat gambar
Menonton film

50% dari apa yang dilihat dan


didengar

Melihat pameran

Direct Instruction
Pembelajaran Langsung

Melihat demonstrasi
Melihat di lokasi

70% dari apa yang diucapkan

Berpartisipasi dalam diskusi


Bercakap-cakap

Praktik Penerapan

90% dari apa yang diucapkan


dan dikerjakan

Simulasi pengalaman nyata

Simulasi

95% dari apa yang diajarkan


kepada orang lain

Melakukan tindakan nyata

Hubungan dengan
kehidupan sehari-hari

Mengajarkan orang lain


keterampilan

6. Sistematik
Sering kali hasil belajar bersifat hirarki, begitu pula substansi materi pelajarannya. Materi
tertentu membutuhkan pengetahuan lain sebagai prasyarat yang harus dikuasai terlebih dahulu
sebelum seseorang dapat mempelajari materi tersebut. Begitu pula ketrampilan-keterampilan
tertentu terutama psikomotor bersifat prosedural, memiliki langkah-langkah yang harus
dilakukan secara sekuensial sebelum dapat menuntaskannya dengan baik. Suatu pengetahuan

prosedural mustahil dapat dilakukan tanpa dilaksanakan secara berurutan. Setiap langkah
pengetahuan prosedural merupakan prasyarat bagi langkah berikutnya.
7. Berkelanjutan
Berkelanjutan mengandung pengertian "never ending process". Setiap proses
pembelajaran yang dilakukan meletakkan dasar bagi pembelajaran berikutnya. Setiap konsep
yang diperoleh pada pembelajaran sebelumnya harus dirangkai secara kontinu dengan konsep
baru yang diperoleh sehingga membentuk jalinan konsep di dalam benak seseorang.
Bentuk pembelajaran seperti yang diharapkan di atas antara lain adalah pembelajaran
kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dan Pendidikan Matematika Realistik
(Realistic Mathematic Education).

B.

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Pembelajaran kontekstual sebenarnya bukanlah merupakan pendekatan yang baru, karena
pendekatan ini meramu semua aspek-aspek unggul dari pembelajaran dan pendekatan
sebelumnya yang sudah amat dikenal seperti misal SAL (Students Active Learning), Learning
by doing, inquiry dan sebagainya.
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan.
Pendekatan ini dipilih karena menekankan pada pemberdayaan siswa. Filosofi CTL
memungkinkan siswa belajar melalui mengalami sendiri dan bersifat alami. Pengetahuan yang
disajikan guru tidak "ready to use", tapi siswa harus mengkontruksi sendiri secara aktif dengan
jalan merangkai pengalaman-pengalamannya. Dalam konteks belajar mengajar, guru harus
merancang pengalaman apa yang akan dihayati oleh siswanya. Jadi bagi kita di perguruan
tinggi dan guru di sekolah dengan berkelakuan KTSP, pada hakikatnya gurulah kurikulum itu.
Filosofi CTL adalah bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukan seperangkat fakta, konsep, dan kaidah yang siap diserap dan diingat.
Pengetahuan harus dikonstruksi oleh manusia dan memberinya makna melalui pengalaman.
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi
yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Dari konsep itu ada tiga hal yang bisa dipelajari:
1. Proses untuk mencari menemukan sendiri materi pelajaran
2. Menemukan hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan
nyata.

3. Menerapkannya dalam kehidupan nyata.


Terdapat lima karakteristik proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL,
yaitu:
1. Activiting knowledge; proses pengaktifan pengetahuan yang sudah dipelajari, yang
merupakan satu kesatuan pengetahuan yang utuh.
2. Acquiring knowledge; pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara
keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya (deduktif).
3. Understanding knowledge; pengetahuan diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk
dipahami dan diyakini.
4. Applying knowledge; pengetahuan dan pengalaman harus dapat diaplikasikan dalam
kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
5. Reflecting knowledge;
melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan
pengetahuan sebagai proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.
Pembelajaran kontekstual menurut C-Stars (2002) ditandai dengan 7 pilar, yaitu

Inquiry (inkuiri) adalah diawali dengan kegiatan pengamatan untuk memahami suatu
konsep, bertanya, menyelidiki, menganalisis, dan merumuskan penjelasan baik
sebagai individu maupun bersama sejawatnya. Dalam proses ini sekaligus terjadi
aktivitas mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir kritis.
Proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu;
a. Merumuskan masalah
b. Mengajukan hipotesis
c. Mengumpulkan data
d. Menguji hipotesis
e. Membuat kesimpulan

Bertanya (Questioning) digunakan oleh dosen untuk mendorong, membimbing, dan


menilai kemampuan berpikir mahasiswa. Sedangkan dari segi mahasiswa bertanya
digunakan dalam kerangka berinkuiri.
Dalam pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk;
a. Menggali informasi
b. Membangkitkan motivasi
c. Merangsang keingintahuan siswa
d. Menfokuskan keingintahuan siswa
e. Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.

Kontruktivisme (Construktivism) membangun pemahaman oleh diri sendiri dari


pengalaman-pengalaman baru yang dirangkai dengan pengalaman awal. Pemahaman
yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman belajar yang bermakna.
Penggagasnya;

a. Mark Baldwin
b. Jean Piaget
Lebih jauh Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut
a. Pengetahuan merupaka konstruksi kenyataan melalui kegiatan subyek.
b. Subyek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu
untuk pengetahuan.
c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang.

Pemodelan (Modelling) mendemonstrasikan bagaimana anda menginginkan


seseorang berbuat, melakukan sesuatu agar orang lain melakukannya. Maksudnya
adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang
dapat ditiru oleh setiap siswa. Modeling tidak harus dari guru saja tetapi juga dari
siswa yang dianggap bagus sebagai contoh untuk teman-temannya.
Modeling merupakan asas penting dalam CTL, sebab dengan modeling siswa dapat
terhindar dari teoritis-abstrak yang meungkinkan terjadinya verbalisme.

Masyarakat Belajar (Learning community) ditandai dengan aktivitas berbicara dan


berbagi pengalaman dengan orang lain. Bekerjasama dengan orang lain untuk
menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibanding apabila tiap-tiap mahasiswa
bekerja sendiri.
Leo Semenovich Vygotsky, psikolog Rusia, menyatakan bahwa pengetahuan dan
pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi dengan orang lain. CTL
menerapkan learning community karena hasil belajar dapt diperoleh dari hasil
sharing dengan orang lain

Asesmen autentik (Authentic assessment) mengukur pengetahuan dan keterampilan


mahasiswa yang mempersyaratkan penerapan pengetahuan atau keterampilan dalam
situasi kontekstual dan keseharian.
Oleh sebab itu, penilaian keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh aspek hasil belajar
seperti hasil tes, akan tetapi juga proses belajar melaui penilaian nyata.
Authentic assessment adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan
informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa

Refleksi (Reflection) berpikir tentang apa yang telah kita pelajari, mereview dan
merespon kejadian, aktivitas, dan pengalaman, mencatat apa yang telah kita pelajari,
bagaimana ide-ide baru yang telah kita lakukan. Refleksi dapat berupa berbagai
bentuk jurnal, diskusi, maupun hasil karya /seni.

Owen dan Smith (2000) mengatakan bahwa pembelajaran telah dikatakan ber CTL jika:
pembelajaran bermakna, melibatkan aplikasi pengetahuan, menggunakan berpikir tingkat

tinggi, mengacu kepada kurikulum berdasarkan standar, responsif terhadap budaya, dan
menggunakan asesmen autentik.
Sementara itu menurut Center for Occupational Research (COR) pembelajaran dikatakan
telah berCTL jika: Relating (belajar dalam konteks nyata), Experiencing (belajar melalui
pengalaman), Applying (belajar dengan memadukan pengetahuan dengan kegunaannya), dan
Cooperating(belajar dalam konteks interaksi), Transfering (belajar dengan menggunakan
pengetahuan pada konteks baru/lain).
Berdasarkan pilar CTL tersebut diatas, model pembelajaran atau strategi yang berasosiasi
dengan CTL antara lain adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Direct instruction
Cooperatif learning
Problem based instruction
Learning strategy

Model direct instruction, sangat cocok untuk mengajarkan pengetahuan prosedural,


misalnya keterampilan psikomotor seperti merangkai alat, menggunakan alat. Model
cooperatif learning sangat cocok untuk mengajarkan keterampilan sosial. Problem based
instruction sangat cocok untuk mengajarkan keterampilan pemecahan masalah, berpikir
tingkat tinggi, dan berperan sebagai orang dewasa. Sementara itu strategi belajar baik untuk
mengajarkan keterampilan kognitif seperti menghafal, merangkum, dan menemukan ide-ide
pokok.
Pola dan tahapan Pembelajaran CTL
Perbandingan pola dan tahapan pembelajaran konvensional dan CTL, untuk mencapai
kompetensi yang sama, yakni :
1.
2.
3.
4.
5.

Siswa dapat menjelaskan pengertian pasar


Siswa dapat menjelaskan jenis-jenis pasar
Siswa dapat menjelaskan karakteristik pasar tradisional dan nontradisonal
Siswa dapat menyimpulkan tentang fungsi pasar.
Siswa dapat membuat karangan yang ada kaitannya dengan pasar.

Terlihat perbandingan pola sebagai berikut :


1.

Pola Pembelajaran Konvensional


a. Siswa disuruh membaca buku tentang pasar
b. Guru menyampaikan materi pelajaran sesuai pokok materi pelajaran
c. Guru member kesempatan kepada siswa untuk bertanya yang kurang jelas
d. Guru mengulas pokok-pokok materi pelajaran
e. Guru melakukan post-test evaluasi
f. Guru menugaskan siswa untuk membuat karangan sesuai tema pasar

2.

Pola Pembelajaran CTL


a. Pendahuluan
1) Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaatnya
2) Guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL;
Siswa dibagi ke dalam kelompok
Penugasan pada tiap kelompok untuk observasi
Mencatat berbagai hal yang ditemukan di pasar
3) Guru melakukan Tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh setiap
siswa.
b. Inti
Di lapangan
1) Siswa melakukan observasi ke pasar sesuai pembagian tugas
2) Siswa mencatat hal-hal yang mereka temukan di pasar
Di dalam kelas
1) Siswa mendiskusikan hasil temuan sesuai kelompok
2) Siswa melaporkan hasil diskusi
3) Setiap siswa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain
c. Penutup
1) Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil observasi
2) Guru menugaskan siswa untuk membuat karangan tentang pengalaman mereka
dengan tema pasar.

Catatan tentang penerapan CTL sebagai suatu strategi pembelajaran, yaitu;


1.
CTL adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara
penuh, baik fisik maupun mental.
2.
CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal akan tetapi proses berpengalaman
dalam kehidupan nyata.
3.
Kelas dalam CTL bukan sebagai tempat untuk mendapatkan infoirmasi, akan tetapi
untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan.
4.
Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri, bukan hasil pemberian dari orang lain.
Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran CTL
Menurut Anisa (2009) ada beberapa kelebihan dalam pembelajaran CTL, yaitu :
1.
Pembelajaran lebih bermakna, artinya siswa melakukan sendiri kegiatan yang
berhubungan dengan materi yang ada sehingga siswa dapat memahaminya sendiri.
2.
Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada
siswa karena pembelajaran CTL menuntut siswa menemukan sendiri bukan
menghafalkan.
3.
Menumuhkan keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat tentang materi yang
dipelajari.

4.
5.
6.

Menumbuhkan rasa ingin tahu tentang materi yang dipelajari dengan bertanya kepada
guru.
Menumbuhkan kemampuan dalam bekerjasama dengan teman yang lain untuk
memecahkan masalah yang ada.
Siswa dapat membuat kesimpulan sendiri dari kegiatan pembelajaran.

Menurut Dzaki (2009) kelemahan dalam pembelajaran CTL yaitu :


1.
Bagi siswa yang tidak dapat mengikuti pembelajaran, tidak mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman yang sama dengan teman lainnya karena siswa tidak
mengalami sendiri.
2.
Perasaan khawatir pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik siswa karena
harus menyesuaikan dengan kelompolnya.
3.
Banyak siswa yang tidak senang apabila disuruh bekerjasama dengan yang lainnya,
karena siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihan siswa yang lain dalam
kelompoknya.
Dari penjelasan di atas maka seorang guru dalam menerapkan model pembelajaran CTL
harus dapat memperhatikan keadaan siswa dalam kelas. Selain itu, seorang guru juga harus
mampu membagi kelompok secara heterogen, agar siswa yang pandai dapat membantu siswa
yang kurang pandai.
Bagaimana Implementasi Pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL) dalam
Pembelajaran Matematika?
Penerapan pendekatan pembelajaran dipengaruhi oleh materi yang diajarkan oleh
guru. Seperti halnya CTL, materi yang diajarkan harus dapat dikaitkan dengan dunia nyata
atau benda-benda konkret sehingga siswa dapat membuat hubungan antara pengetahuan yang
diperolehnya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya pada Materi Bilangan Bulat dan Lambangnya pada Sub Pokok Bahasan
Bilangan Positif dan Bilangan Negatif:
a) Pernahkah kamu mendengar ramalan cuaca di radio atau melihatnya di televisi?
Misalnya, besok Kota A akan turun hujan dengan suhu minimum 1C dan maksimum 6C
dan kota B cerah dengan suhu 6C serta kota C berawan dengan suhu 10C.
Dapatkah bilangan cacah; 0, 1, 2, 3, ...; melambang situasi di atas? Juga, dapatkah
bilangan cacah melambangkan posisi seekor burung yang hinggap di pucak tiang layar
sebuah perahu nelayan yang tingginya 3 meter, dan posisi pemilik perahu tersebut yang
sedang menyelam di kedalaman 5 meter?
b) Perhatikan gambar termometer di samping,

bilangan apa sajakah yang terdapat pada skala


termometer itu?
Kamu dapat menulis suhu 5 derajat di atas nol
dengan +5C atau 5C, dan menulis suhu
5 derajat di bawah nol dengan 5C. Bilangan 5 dibaca positif 5 dan bilangan 5
dibaca negatif 5. Bilangan 5 dan bilangan 5 dapat digambar pada sebuah garis bilangan
vertikal atau horisontal seperti berikut:

Himpunan bilangan bulat dapat dilambangkan dengan B yang anggotanya adalah ...,
3, 2, 1, 0, 1, 2, 3, .... Tanda ... di sebelah kiri mempunyai arti berlanjut tanpa henti
ke kiri, dan tanda ... di kanan mempunyai arti berlanjut tanpa henti ke kanan. Garis
bilangan himpunan bilangan bulat digambarkan seperti berikut.

C.

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK

Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat
abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam matematika. Prestasi
matematika siswa baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan. Third
International Mathematics and Science Study (TIMSS) melaporkan bahwa rata-rata skor
matematika siswa kelas 8 Indonesia jauh di bawah rata-rata skor matematika siswa
Internasional dan berada pada rangking 34 dan 38 negara. Rendahnya prestasi matematika
siswa disebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami masalah secara komperhensif atau secara
parsial dalam matematika.
Selain itu, belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang
konsep sangat lemah. Jenning dan Dunne (1999) mengatakan bahwa, kebanyakan siswa
mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal
ini yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran
matematika kurang bermakna. Guru dalam pembelajaran di kelas tidak mengaitkan dengan
skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Mengaitkan pengalaman
kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting
dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000; Price, 1996; Zamroni, 2000).
Menurut Van de Henvel-Panhuizen (2000), bila anak belajar matematika terpisah dari
pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan
matematika. Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran matematika di kelas ditekankan pada
keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Selain itu,
perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki anak pada kehidupan
sehari-hari atau pada bidang lain sangat penting dilakukan.
Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman
sehari-hari dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran
Matematika Realistik (MR). Pembelajaran MR pertama kali dikembangkan dan dilaksanakan
di Belanda dan di pandang sangat berhasil untuk mengembangkan pengertian siswa.
Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam
pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda
pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Pernyataan Freudenthal bahwa "matematika
merupakan suatu bentuk aktivitas manusia" melandasi pengembangan Pendidikan Matematika
Realistik. Pendidikan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran
matematika di Belanda. Kata "realistik" sering disalahartikan sebagai "real-world", yaitu dunia
nyata. Banyak pihak yang menganggap bahwa Pendidikan Matematika Realistik adalah suatu
pendekatan pembelajaran matematika yang harus selalu menggunakan masalah sehari-hari.
Penggunaan kata "realistik" sebenarnya berasal dari bahasa Belanda "zich realiseren" yang
berarti "untuk dibayangkan" atau "to imagine" (Van den Heuvel-Panhuizen, 1998). Menurut
Van den Heuvel-Panhuizen, penggunaan kata "realistik" tidak sekedar menunjukkan adanya
suatu koneksi dengan dunia nyata tetapi lebih mengacu pada fokus Pendidikan Matematika
Realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan

(imagineable) oleh siswa. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan
bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas
manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata
sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa
(Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalanpersoalan realistik. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi
pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan
kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses
penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi
horisontal dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan,
dan penvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentranformasian masalah
dunia real ke masalah matematik. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubunganhubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan modelmodel yang berbeda, dan penggeneralusasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat
perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (Van de HeuvelPanhuizen, 2000).
Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan
matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik,
dan realistik.
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang
diketahui dari pengalaman sendiri. Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin.
Kedua jenis matematisasi tidak digunakan.
Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak
diajarkan dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal.
Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal,
misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga
suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik
sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal
diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.
Menurut Hadi dalam Irzani, pengajaran matematika dengan pendekatan realistik meliputi
aspek aspek sebagai berikut:
a. Pendahuluan

1.

memulai pengajaran dengan mengajukan soal yang riil bagi siswa sesuai dengan
pengalaman dan tingkat pengetahuannya. Sehingga terlibat dalam pembelajaran secara
bermakna.

2.

Permasalahan yang diberikan guru tentu harus diarahkan dengan tujuan yang ingin di
capai dalam pembelajaran tersebut.
b. Pengembangan

1.

siswa mengembangkan model model simbolik secara informal terhadap persoalan


atau masalah yang diajukan.

2.

pengajaran berlansung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan


terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya, mengatakan
ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain
c. Penutup / penerapan

Melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang di tempuh atau setiap hasil penelitian.
Jadi, RME yang dimaksudkan dalam hal ini adalah model pembelajaran matematika yang
dilakukan dengan menempatkan realitas dan pengalaman sehari-hari siswa sebagai titik tolak
pembelajaran, karena matematika merupakan aktivitas manusia.
1.

Ciri-Ciri Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)


Menurut Yuwono, pembelajaran yang berorientasikan pada RME dapat dicirikan oleh:
1) Pemberian perhatian yang besar pada reinvention yakni siswa diharapkan dapat
membangun konsep dan struktur matematika bermula dari intuisi mereka masingmasing.
2) Pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang kongkrit atau dari sekitar
siswa.
3) Selama proses pematematikaan siswa mengkonstruksi gagasannya sendiri, tidak perlu
sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya.
4) Hasil pemikiran siswa dikonfrontir dengan hasil pemikiran siswa yang lainnya.

Ciri lain dari RME yaitu (a) matematika adalah kegiatan aktivitas manusia. (b) belajar
matemaika merupakan proses reinvention. Dengan perkataan lain filosofis mmatematika
dekat dengan filsafat konstruktivisme yang menyebutkan bahwa pengetahuan itu adalah
konstruksi dari seorang yang sedang belajar.
Jadi, dalam hal ini pendekatan RME dilandasi dengan pandangan bahwa siswa harus aktif
dan siswa juga tidak boleh pasif.

2.

Prinsip-prinsip Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)

RME dikembangkan atas dasar tiga prinsip, yaitu; Prinsip yang pertama mengarahkan
siswa untuk diberi kesempatan mengalami sendiri proses yang sama saat matematika
ditemukan dan menginspirasikan menggunakan prosedur informal dengan menggunakan
situasi nyata yang mengandung matematika. Prinsip kedua fenomena yang dijadikan bahan
haruslah berangkat dari keadaan nyata bagi siswa sebelum mereka mencapai tingkatan
formal. Sedangkan prinsip ketiga, siswa diarahkan membuat model sendiri dalam
menyelesaikan masalah.
3.

Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)

Karakteristik RME adalah menggunakan konteks dunia nyata, model-model, produksi


dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Treffers, 1991; Van den
Heuvel-Panhuizen, 1998).
a.

Menggunakan Konteks "Dunia Nyata"


Berikut menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus dimana "dunia
nyata" tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk
mengaplikasikan kembali matematika. Konsep matematisasi (De Lange, 1987). Dalam
RME pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual, sehingga memungkinkan
mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyaringan dari
konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai
matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan
konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep
matematika ke bidang baru dari dunia nyata. Oleh karena itu, untuk menjembatani
konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan
matematisasi pengalaman sehari-hari dan penerapan matematika dalam kehidupan seharihari (Cinzia Bonotto, 2000).

b.

Menggunakan Model-model (Matematisasi)


Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang
dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models
merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika
formal ke matematika informal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam
menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata
siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of
masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model of akan bergeser menjadi modelfor masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.

c.

Menggunakan Produksi dan Konstruksi

Streefland (1991) menekankan pada bahwa dengan pembuatan "produksi bebas"


siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting
dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa berupa prosedur pemecahan
masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran
lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
d.

Menggunakan Interaktif
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara
eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju,
tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari
bentuk-bentuk informal siswa.

e.

Menggunakan Keterkaitan (Intertwinment)


Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam
pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan
berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam pengaplikasian matematika, biasanya
diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar, atau
geometri tetapi juga bidang lain.

4.

Realistic Mathematics Education (RME)


Menurut Pandangan Konstruktivis

Pembelajaran matematika menurut pandangan kontruktivis adalah memberikan


kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika dengan
kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai
fasilitator.
Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika
berorientasi pada:
1)
2)
3)

Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi dan akomodasi


Dalam pengerjaan matematika setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa
informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu
kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan
pengalamannya
4)
Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir bukan pada apa yang mereka
katakan atau tulis
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini
oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,
1993; Atwel, Bleicer & Cooper, 1993). Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky
(Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.

ZPD merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan


sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui
kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahaptahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin,
1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan
memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan,
menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dandan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial disebut pendekatan
konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak
bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan
pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran
matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya konstruktivisme sosio (socioconstructivism). Siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada
pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang
diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik
RME.
Konsep ZPD dan Scaffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam
pembelajaran MR disebut dengan penemuan kembali terbimbing (guided reinvention).
Menurut Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini mempunyai kesamaan tetapi
kedua pendekatan ini dikembangkan secara terpisah.
Perbedaan keduanya adalah pendekatan konstruktivis sosio merupakan pendekatan
pembelajaran yang bersifat umum, sedangkan pembelajaran MR merupakan pendekatan
khusus, yaitu hanya dalam pembelajaran matematika.
5.

Langkahlangkah Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)


Langkah-langkah pembelajaran pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)
adalah sebagai berikut :
Tabel 1: Langkah-langkah Realistic Mathematic Education (RME)
Aktivitas Guru
Guru memberikan
kontekstual.

siswa

Aktivitas Siswa
masalah Siswa secara sendiri atau kelompok
kecil mengerjakan masalah dengan
strategi-strategi informal.

Guru merespon secara positif jawaban Siswa memikirkan strategi yang


siswa. Siswa diberikan kesempatan untuk efektif untuk memberikan jawaban
memikirkan strategi siswa yang paling
efektif.
Guru mengarahkan siswa pada beberapa
masalah kontekstual dan selanjutnya
meminta siswa mengerjakan masalah
dengan menggunakan pengalaman
mereka.

Siswa secara sendiri-sendiri atau


berkelompok menyelesaikan masalah
tersebut.

Guru mengelilingi siswa sambil


memberikan bantuan seperlunya.

Beberapa siswa mengerjakan di papan


tulis. Melalui diskusi kelas, jawaban
siswa dikonfrontasikan.

Guru mengenalkan istilah konsep.

Siswa merumuskan bentuk


matematika formal.

Guru memberikan tugas di rumah, yaitu Siswa mengerjakan tugas rumah dan
mengerjakan soal atau membuat masalah menyerahkannya kepada guru.
cerita serta jawabannya yang sesuai
dengan matematika formal.

6.

Keunggulan dan Kelemahan Realistic Mathematics Education (RME)


Beberapa keunggulan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:
1. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang
keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia nyata)
dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
2. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri
oleh siswa, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus sama antara
orang yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau
menggunakan caranya sendiri, asalkan orang itu bersungguh-sungguh dalam
mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara
penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara

penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari penyesaian soal atau
masalah tersebut.
4. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam
mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama, dan
untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk
menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang
sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses
tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.
5. Pelajaran menjadi cukup menyenangkan bagi siswa dan suasana tegang tidak tampak.
6. Materi dapat dipahami oleh sebagian besar siswa.
7. Alat peraga adalah benda yang berada di sekitar, sehingga mudah didapatkan.
8. Guru ditantang untuk mempelajari bahan.
9. Guru menjadi lebih kreatif membuat alat peraga.
10. Siswa mempunyai kecerdasan cukup tinggi tampak semakin pandai.
Beberapa kelemahan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:
1. Upaya mengimplementasikan RME membutuhkan perubahan pandangan yang sangat
mendasar megenahi beberapa hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya
mengenahi siswa, guru, dan peranan soal kontekstual. Di dalam RME, siswa tidak
lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah jadi
tetapi dipandang sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep-konsep
matematika. Guru tidak lagi terutama sebagai pengajar, tetapi lebih sebagai
pendamping bagi siswa. Di samping itu peranan soal konstektual tidak sekedar
dipandang sebagai wadah untuk menerangkan aplikasi dari matematika, tetapi justru
digunakan sebagai titik tolak untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika itu
sendiri.
2. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, melalui soal-soal konstektual,
proses pematematikaan horisontal, dan proses pematematikaan vertikal juga bukan
merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa
harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan
penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu.
3. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyesaikan soal
juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh guru.
4. Pencarian soal-soal konstektual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut RME
tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa,

terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacammacam cara.
5. Sulit diterapkan dalam suatu kelas yang besar(40- 45 orang).
6. Dibutuhkan waktu yang lama untuk memahami materi pelajaran.
7. Siswa yang mempunyai kecerdasan sedang memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mampu memahami materi pelajaran
7.

Bagaimana Implementasi Realistic Mathematics Education (RME)?

Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran MR, berikut ini


diberikan contoh pembelajaran pecahan di sekolah dasar. Pecahan di SD diinterpretasi
sebagai bagian dari keseluruhan. Interpretasi ini mengacu pada pembagian unit ke dalam
bagian yang berukuran sama. Dalam hal ini sebagai kerangka kerja siswa adalah daerah,
panjang, dan model volume. Bagian dari keseluruhan juga dapat diinterpretasi pada ide
pempartisian suatu himpunan dari objek diskrit.
Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa
dibawa ke situasi informal. Misalnya, pembelajaran pecahan dapat diawali dengan
pembagian menjadi bagian yang sama sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal
anak dengan konsep-konsep matematika.
Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan
istilah pecahan. Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional di mana siswa sejak
awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.
Jadi, pembelajaran MR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan
guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah
itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
Sebagaimana yang diketahui. RME merupakan Pembelajaran yang dirancang berawal
dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berbasis pada pengalaman yang telah
dimiliki siswa, sehingga mereka dengan segera tertarik secara pribadi terhadap aktivitas
matematika yang bermakna. Dalam Penerapan Pembelajaran RME terhadap materi pelajaran
waktu, hendaknya guru menyiapkan terlebih dahulu konsep materi dan bahan-bahan yang
akan di gunakan untuk pelaksaan model pembelajaran RME. Untuk materi yang disiapkan
yaitu materi yang berbentuk soal pemecahan masalah atau problem solving yang didalamnya
terdapat pelajaran tentang waktu. sedangkan bahan atau alat yang dipersiapkan adalah alat
yang berhubungan dengan waktu, seperti pembuatan jam dinding. Jam dinding dibuat dari
bahan-bahan yang tidak terpakai lagi seperti kertas kardus bekas, yang di bentuk sedemikian
rupa sehingga terbentuk jam dinding. Sedangkan untuk jarum penunjuk waktu hendaknya
dibuat dapat diputar, hal ini bertujuan agar siswa dapat menyelesaikan soal dengan
mempraktekkan langsung pada jam dinding tersebut. Guru dapat meminta kepada setiap

siswanya untuk membuatnya dirumah masing-masing. Berikut tahapan-tahapan dalam proses


pembelajaran ini :

Tahap pertama, pada tahap ini guru melakukan tanya jawab dengan siswa,
Guru mengingatkan tentang konsep pola tentang materi pelajaran "waktu yang telah
dipelajari sebelumnya. Kemudian guru memberikan lembaran kertas berupa soal-soal
pemecahan masalah yang berkenaan dengan materi pelajaran Waktu dan
memanfaatkan Jam dinding yang telah mereka buat dirumah sebagai penunjang atau
pendukung pembelajarannya. Sedangkan peran Guru disini adalah sangat terbatas
yakni bertugas sebagai fasilitator, dimana Guru menjelaskan soal atau masalah
dengan memeberikan petunjuk/saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian
tertentu yang tidak dipahami siswa. Berikut Contoh soal pemecahan masalah yang
dapat di berikan:
Yulia pulang sekolah pukul 12.30 WIB. Waktu tempuh dari sekolah ke rumahnya 35
menit. Di perjalanan, ban sepedanya kempes dan memerlukan waktu 20 menit
menambal ban tersebut di bengkel. Yulia tiba di rumah pada pukul berapa?.

Tahap kedua adalah siswa diarahkan untuk membentuk dan menggunakan


model tersendiri, sedangkan media jam dinding dari kardus untuk membantu
mempermudah siswa menyelesaikan soal pemecahan masalah yang telah diberikan.
Pada tahap ini siswa akan secara aktif mencoba menyelesaikan masalah yang
berkenaan dengan waktu dengan mengaplikasikannya langsung ke jam dinding,
sehingga siswa akan mengikuti pola kerja, intuisi, coba- salah, dugaan, kemudian
memperoleh hasil. Pada tahap ini, guru diharapkan tidak memberi tahu penyelesaian
soal atau masalah tersebut sebelum siswa memperoleh penyelesaiannya sendiri. Pada
langkah ini semua prinsip dan karakteristik PMR terpenuhi. pada umumnya hasil
jawaban siswa adalah sebagai berikut :
Diketahui
:
Waktu pulang sekolah pukul 12.30 WIB
Waktu tempuh Sekolah- Rumah = 35 menit
Waktu yang diperlukan untuk menambal ban = 20 menit.
Ditanya
: Pukul berapa Yulia tiba di rumah..?
Jawab
: (dengan Bantuan Media jam dinding, siswa mencoba memecahkan
masalahnya)

Waktu pulang sekolah pukul 12.30 WIB , siswa akan memutar Jarum Jam
Dinding tersebut menunjukkan pukul 12.30.

Waktu tempuh dari Sekolah ke Rumah 35 Menit, siswa akan menambahkan


(waktu pulang sekolah + waktu Tempuh Sekolah ke rumah).
Jadi diperoleh: 12.30 + 00.35 = 13.05, setelah itu siswa akan memutar jarum
menuju arah jam 13.05.

Waktu yang di perlukan untuk menambal ban adalah 20 menit. Yulia yang
seharusnya tiba pukul 13.05 ternyata di perjalanan bannya kempis dan
memerlukan waktu 20 menit untuk menambal dibengkel.
Kemudian siswa akan mencoba berpikir dengan menambahan (waktu yang
seharusnya di tempuh yulia saat sampai dirumah + waktu yang diperlukan untuk
menambal ban).
sehingga di peroleh: 13.05 + 00.20 = 13.25 WIB. Kemudian siswa akan memutar
lagi arah jarum jamnya menunjukkan pukul 13.25.

Jadi dari tahapan penyelesaian soal diatas dapat di temukan hasil bahwa Yulia
tiba di Rumah pukul 13.25 WIB.

Tahap Ketiga, siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan hasil

akhir dari pemecahan masalah (soal) yang telah dilakukkannya dalam kelompok
kecil, setelah itu hasil dari diskusi tersebut dibandingkan pada diskusi kelas yang
dipimpin oleh guru. Pada tahap ini semua siswa akan terjalin interaksi antara siswa
maupun dengan guru. Pada setiap penyampaian masalah tentang materi pelajaran
waktu ini, siswa di haruskan mempresentasikan hasil pemecahan masalahnya
dengan memperagakan pada media jam dinding yang telah mereka buat. pada tahap
ini melatih keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat, memberi kritik serta
memberi tanggapan terhadap permasalah yang mereka pecahkan. Sedangkan,
karakteristik RME tentang penggunaan ide atau kontribusi siswa terpenuhi.

Tahap keempat, pada tahap terakhir guru mengarahkan siswa untuk menarik

kesimpulan tentang konsep, definisi, teorama, prinsip matematika yang terkait


dengan masalah Waktu yang telah mereka selesaikan. Pada tahap ini penggunakan
interaksi antara guru dengan siswa sebagai salah satu karakteristik model
pembelajaran RME terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

Pembelajaran Matematika Untuk Meningkatkan Minat Dan Hasil Belajar


Matematika. Skripsi. Surakarta : UMS.
http://zainurie.wordpress.com/2007/04/13/pembelajaran-matematika-realistikrme/diakses pada tanggal 1 Oktober 2015 12.30
https://bustan11.files.wordpress.com/2011/04/bab-13_diakses pada tanggal 3 Oktober
2015 20.30
www.duniapelajar.com diakses pada tanggal 3 Oktober 2015 19.30
http://www.sekolahdasar.net/2012/05/kelebihan-dan-kelemahanpembelajaran.html#ixzz3nUohX7Am diakses pada tanggal 3 Oktober 2015 18.30
https://jeinscollection.fils.wordpress.com diakses pada tanggal 3 Oktober 2015 18.30

Anda mungkin juga menyukai