CTL Dan Rme
CTL Dan Rme
CTL Dan Rme
KELOMPOK 4:
14030174006
14030174061
14030174070
14030174075
14030174104
2014 C
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus cerdas, damai,
merdeka, dan adil. Hal-hal yang disebutkan itu merupakan tujuan pendidikan yang harus
diwujudkan. Tujuan tersebut secara eksplisit dijabarkan di dalam UUSPN Nomor 20/2003
yang menyatakan bahwa siswa harus memiliki daya saing dalam menghadapi globalisasi.
Lebih rinci lagi dijabarkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan siswa harus memiliki: (a) kualifikasi
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan; (b) dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut, serta (c) memiliki kecakapan hidup mencakup kecakapan pribadi, kecakapan
sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Menurut UUSPN 2003, untuk mewujudkan tujuan tersebut, pembelajaran dilaksanakan
melalui olahhati, olahpikir, olahrasa, dan olahraga. Sementara menurut PP Nomor 19/2005
pembelajaran dilaksanakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik. Pembelajaran juga harus memberikan keteladanan.
Uraian di atas menyiratkan bahwa paradigma pembelajaran yang diterapkan selama ini
harus diubah. Pembelajaran harus menerapkan inovasi. Inovasi terjadi pada tataran
implementasi, yaitu menerapkan pembelajaran inovatif. Dengan kata lain inovasi sangat
berkaitan dengan perubahan tingkah laku guru atau dosen.
Terdapat beberapa alasan, mengapa harus mengubah paradigma pembelajaran sebagai
berikut:
1.
Jumlah informasi yang sedemikian banyak di satu sisi, sementara di sisi lain
terbatasnya jumlah waktu yang tersedia, tidaklah mungkin bagi guru untuk memberikan
semua informasi dalam bentuk jadi kepada siswa atau mahasiswa. Diperlukan suatu
keterampilan tertentu yang dapat digunakan oleh siswa untuk mengarahkan dirinya dalam
rangka belajar sepanjang hayat.
2.
Tidak semua aspek pengetahuan dapat diajarkan dengan cara yang sama apalagi
hanya dengan satu cara. Diperlukan variasi cara dan strategi sesuai dengan karakteristik
materi pelajaran yang diajarkan. Materi pelajaran sains amat kaya dengan instrumen dan
alat ukur di satu pihak sementara di lain pihak sains juga kaya dengan konsep, teori, dan
prinsip serta hukum yang tiap-tiap substansi memiliki karakteristik berbeda yang
memerlukan strategi berbeda pula untuk mengajarkannya.
3.
Orientasi pada penguasaan target materi telah berhasil dalam kompetensi mengingat
jangka pendek, tapi gagal dalam membekali anak dalam memecahkan persoalan dalam
kehidupan jangka panjang.
4.
Hasil penelitian yang dilakukan dalam 25 tahun terakhir tentang otak manusia
menunjukkan bahwa drill hanya mengembangkan satu bagian otak manusia yang disebut
batang otak (otak manusia terdiri dari batang otak, sistem limbik dan neokorteks atau otak
berpikir). Batang otak atau sering disebut dengan otak reptil berfungsi sebagai motor
5.
6.
7.
8.
Menurut model SPICES hybrid curricula, inovasi terjadi bila terjadi perubahan perilaku
guru atau dosen atau perubahan paradigma dari karakteristik atau paradigma pembelajaran
yang digambarkan oleh kelompok kata pada kolom sebelah kiri menjadi seperti digambarkan
oleh kelompok kata di kolom sebelah kanan sebagai berikut.
Teacher-centered
Student-centered
Subsject-based
Problem-based
Dicipline
Integrated-based
Hospital-oriented
Community-based
Standardized
Electives
Opportunistic
Systematic
Pre-graduate
Contonuing
Pada tataran mikro di kelas, kondisi sekarang yang ditandai dengan Teacher centered,
Subject based, Dicipline-based, Hospital-based, Standardized, Opportunistic, Pregraduate,
harus berangsur-angsur di ubah ke arah model SPICES, yaitu Student centered, Problembased, Integrated, Community oriented, Electives, Systematic, Continuing.
Pada strategi pembelajaran inovatif guru atau dosen tradisional dan peran siswa atau
mahasiswa diubah, tanggungjawab siswa atau mahasiswa untuk belajar harus ditingkatkan,
memberi mereka motivasi dan arahan untuk menyelesaikan program belajarnya dan
menempatkan mereka pada pola tertentu agar mereka sukses sebagai pelajar sepanjang hayat.
Pada pembelajaran yang inovatif itu maka guru atau dosen akan berperan sebagai sumber
belajar, tutor, eveluator, pembimbing dan memberi dukungan dalam belajar siswa atau
mahasiswa.
Prinsip yang mendasari strategi pembelajaran inovatif antara lain: (a) pemahaman
dibangun melalui pengalaman, (b) pengertian diciptakan dari usaha untuk menjawab
pertanyaan sendiri dan memecahkan masalah sendiri, (c) kita seharusnya mengembangkan
insting alami siswa dalam melakukan penyelidikan dan berkreasi, (d) strategi berpusat pada
siswa akan membangun ketrampilan berpikir kritis, penalaran dan selanjutnya kreativitas dan
ketaktergantungan.
1. Berpusat pada Siswa
Student centered mengandung pengertian pembelajaran menerapkan strategi pedagogi
mengorientasikan siswa atau mahasiswa kepada situasi yang bermakna, kontekstual, dunia
nyata, dan menyediakan sumber belajar, bimbingan, petunjuk bagi pebelajar ketika mereka
mengembangkan atau membangun pengetahuan tentang materi pelajaran yang dipelajarinya
sekaligus keterampilan memecahkan masalah.
Paradigma yang menempatkan guru atau dosen sebagai pusat pembelajaran (teaching)
dan siswa sebagai objek, seharusnya diubah dengan menempatkan siswa sebagai subjek yang
belajar secara aktif membangun pemahamannya (learning) dengan jalan merangkai
pengalaman yang telah dimiliki dengan pengalaman baru yang dijumpai.
Pengalaman nyata dari negara lain menunjukkan bahwa minat dan prestasi siswa dalam
bidang matematika, sains, dan bahasa meningkat secara drastis pada saat: mereka dibantu
untuk membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman
(pengetahuan lain) yang telah mereka miliki atau mereka kuasai.
2. Berdasarkan Masalah
Pembelajaran hendaknya dimulai dari masalah-masalah aktual, otentik, relevan, dan
bermakna bagi siswa. Pembelajaran yang berbasis subjek sering kali tidak relevan dan tidak
bermakna bagi siswa sehingga tidak menarik perhatian siswa. Pembelajaran yang dibangun
berdasarkan subjek sering kali terlepas dari kejadian aktual di masyarakat. Akibatnya siswa
mahasiswa tidak dapat menerapkan konsep atau teori yang dipelajarinya di dalam kehidupan
nyata sehari-hari.
Dengan pembelajaran yang dimulai dari masalah maka siswa atau mahasiswa belajar
suatu konsep atau teori dan prinsip sekaligus memecahkan masalah. Dengan demikian
sekurang-kurangnya ada dua hasil belajar yang dicapai, yaitu jawaban terhadap masalah
(produk) dan cara memecahkan masalah (proses).
Kemampuan tentang pemecahan masalah lebih dari sekedar akumulasi pengetahuan dan
teori atau hukum, tetapi merupakan perkembangan kemampuan fleksibilitas, strategi kognitif
yang membantu mereka menganalisis situasi tak terduga dan mampu menghasilkan solusi
Proses belajar adalah proses aktif yang harus dilakukan oleh siswa. Keharusannya
menyediakan pilihan juga berkaitan dengan karakteristik substansi ilmu yang disampaikan dan
pengaruh strategi yang digunakan terhadap retensi siswa atau mahasiswa. Keterampilan
psikomotor, keterampilan kognitif, keterampilan sosial serta keterampilan memecahkan
masalah memiliki strategi pembelajaran yang berbeda-beda untuk dapat mencapai tujuannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pembelajaran yang digunakan sangat
berpengaruh pada tingkat retensi siswa atau mahasiswa.
Hubungan strategi pembelajaran dengan retensi
Persentase Ingatan
Bentuk Aktivitas
Pembelajaran
Membaca
Mendengar kata-kata
Melihat gambar
Menonton film
Melihat pameran
Direct Instruction
Pembelajaran Langsung
Melihat demonstrasi
Melihat di lokasi
Praktik Penerapan
Simulasi
Hubungan dengan
kehidupan sehari-hari
6. Sistematik
Sering kali hasil belajar bersifat hirarki, begitu pula substansi materi pelajarannya. Materi
tertentu membutuhkan pengetahuan lain sebagai prasyarat yang harus dikuasai terlebih dahulu
sebelum seseorang dapat mempelajari materi tersebut. Begitu pula ketrampilan-keterampilan
tertentu terutama psikomotor bersifat prosedural, memiliki langkah-langkah yang harus
dilakukan secara sekuensial sebelum dapat menuntaskannya dengan baik. Suatu pengetahuan
prosedural mustahil dapat dilakukan tanpa dilaksanakan secara berurutan. Setiap langkah
pengetahuan prosedural merupakan prasyarat bagi langkah berikutnya.
7. Berkelanjutan
Berkelanjutan mengandung pengertian "never ending process". Setiap proses
pembelajaran yang dilakukan meletakkan dasar bagi pembelajaran berikutnya. Setiap konsep
yang diperoleh pada pembelajaran sebelumnya harus dirangkai secara kontinu dengan konsep
baru yang diperoleh sehingga membentuk jalinan konsep di dalam benak seseorang.
Bentuk pembelajaran seperti yang diharapkan di atas antara lain adalah pembelajaran
kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dan Pendidikan Matematika Realistik
(Realistic Mathematic Education).
B.
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Pembelajaran kontekstual sebenarnya bukanlah merupakan pendekatan yang baru, karena
pendekatan ini meramu semua aspek-aspek unggul dari pembelajaran dan pendekatan
sebelumnya yang sudah amat dikenal seperti misal SAL (Students Active Learning), Learning
by doing, inquiry dan sebagainya.
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan.
Pendekatan ini dipilih karena menekankan pada pemberdayaan siswa. Filosofi CTL
memungkinkan siswa belajar melalui mengalami sendiri dan bersifat alami. Pengetahuan yang
disajikan guru tidak "ready to use", tapi siswa harus mengkontruksi sendiri secara aktif dengan
jalan merangkai pengalaman-pengalamannya. Dalam konteks belajar mengajar, guru harus
merancang pengalaman apa yang akan dihayati oleh siswanya. Jadi bagi kita di perguruan
tinggi dan guru di sekolah dengan berkelakuan KTSP, pada hakikatnya gurulah kurikulum itu.
Filosofi CTL adalah bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukan seperangkat fakta, konsep, dan kaidah yang siap diserap dan diingat.
Pengetahuan harus dikonstruksi oleh manusia dan memberinya makna melalui pengalaman.
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi
yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Dari konsep itu ada tiga hal yang bisa dipelajari:
1. Proses untuk mencari menemukan sendiri materi pelajaran
2. Menemukan hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan
nyata.
Inquiry (inkuiri) adalah diawali dengan kegiatan pengamatan untuk memahami suatu
konsep, bertanya, menyelidiki, menganalisis, dan merumuskan penjelasan baik
sebagai individu maupun bersama sejawatnya. Dalam proses ini sekaligus terjadi
aktivitas mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir kritis.
Proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu;
a. Merumuskan masalah
b. Mengajukan hipotesis
c. Mengumpulkan data
d. Menguji hipotesis
e. Membuat kesimpulan
a. Mark Baldwin
b. Jean Piaget
Lebih jauh Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut
a. Pengetahuan merupaka konstruksi kenyataan melalui kegiatan subyek.
b. Subyek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu
untuk pengetahuan.
c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang.
Refleksi (Reflection) berpikir tentang apa yang telah kita pelajari, mereview dan
merespon kejadian, aktivitas, dan pengalaman, mencatat apa yang telah kita pelajari,
bagaimana ide-ide baru yang telah kita lakukan. Refleksi dapat berupa berbagai
bentuk jurnal, diskusi, maupun hasil karya /seni.
Owen dan Smith (2000) mengatakan bahwa pembelajaran telah dikatakan ber CTL jika:
pembelajaran bermakna, melibatkan aplikasi pengetahuan, menggunakan berpikir tingkat
tinggi, mengacu kepada kurikulum berdasarkan standar, responsif terhadap budaya, dan
menggunakan asesmen autentik.
Sementara itu menurut Center for Occupational Research (COR) pembelajaran dikatakan
telah berCTL jika: Relating (belajar dalam konteks nyata), Experiencing (belajar melalui
pengalaman), Applying (belajar dengan memadukan pengetahuan dengan kegunaannya), dan
Cooperating(belajar dalam konteks interaksi), Transfering (belajar dengan menggunakan
pengetahuan pada konteks baru/lain).
Berdasarkan pilar CTL tersebut diatas, model pembelajaran atau strategi yang berasosiasi
dengan CTL antara lain adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Direct instruction
Cooperatif learning
Problem based instruction
Learning strategy
2.
4.
5.
6.
Menumbuhkan rasa ingin tahu tentang materi yang dipelajari dengan bertanya kepada
guru.
Menumbuhkan kemampuan dalam bekerjasama dengan teman yang lain untuk
memecahkan masalah yang ada.
Siswa dapat membuat kesimpulan sendiri dari kegiatan pembelajaran.
Himpunan bilangan bulat dapat dilambangkan dengan B yang anggotanya adalah ...,
3, 2, 1, 0, 1, 2, 3, .... Tanda ... di sebelah kiri mempunyai arti berlanjut tanpa henti
ke kiri, dan tanda ... di kanan mempunyai arti berlanjut tanpa henti ke kanan. Garis
bilangan himpunan bilangan bulat digambarkan seperti berikut.
C.
Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat
abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam matematika. Prestasi
matematika siswa baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan. Third
International Mathematics and Science Study (TIMSS) melaporkan bahwa rata-rata skor
matematika siswa kelas 8 Indonesia jauh di bawah rata-rata skor matematika siswa
Internasional dan berada pada rangking 34 dan 38 negara. Rendahnya prestasi matematika
siswa disebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami masalah secara komperhensif atau secara
parsial dalam matematika.
Selain itu, belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang
konsep sangat lemah. Jenning dan Dunne (1999) mengatakan bahwa, kebanyakan siswa
mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal
ini yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran
matematika kurang bermakna. Guru dalam pembelajaran di kelas tidak mengaitkan dengan
skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. Mengaitkan pengalaman
kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting
dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000; Price, 1996; Zamroni, 2000).
Menurut Van de Henvel-Panhuizen (2000), bila anak belajar matematika terpisah dari
pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan
matematika. Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran matematika di kelas ditekankan pada
keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Selain itu,
perlu menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki anak pada kehidupan
sehari-hari atau pada bidang lain sangat penting dilakukan.
Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman
sehari-hari dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran
Matematika Realistik (MR). Pembelajaran MR pertama kali dikembangkan dan dilaksanakan
di Belanda dan di pandang sangat berhasil untuk mengembangkan pengertian siswa.
Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam
pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda
pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Pernyataan Freudenthal bahwa "matematika
merupakan suatu bentuk aktivitas manusia" melandasi pengembangan Pendidikan Matematika
Realistik. Pendidikan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran
matematika di Belanda. Kata "realistik" sering disalahartikan sebagai "real-world", yaitu dunia
nyata. Banyak pihak yang menganggap bahwa Pendidikan Matematika Realistik adalah suatu
pendekatan pembelajaran matematika yang harus selalu menggunakan masalah sehari-hari.
Penggunaan kata "realistik" sebenarnya berasal dari bahasa Belanda "zich realiseren" yang
berarti "untuk dibayangkan" atau "to imagine" (Van den Heuvel-Panhuizen, 1998). Menurut
Van den Heuvel-Panhuizen, penggunaan kata "realistik" tidak sekedar menunjukkan adanya
suatu koneksi dengan dunia nyata tetapi lebih mengacu pada fokus Pendidikan Matematika
Realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan
(imagineable) oleh siswa. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan
bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas
manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata
sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa
(Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalanpersoalan realistik. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi
pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan
kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses
penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi
horisontal dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan,
dan penvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentranformasian masalah
dunia real ke masalah matematik. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubunganhubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan modelmodel yang berbeda, dan penggeneralusasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat
perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (Van de HeuvelPanhuizen, 2000).
Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan
matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik,
dan realistik.
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang
diketahui dari pengalaman sendiri. Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin.
Kedua jenis matematisasi tidak digunakan.
Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak
diajarkan dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal.
Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal,
misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga
suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik
sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal
diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.
Menurut Hadi dalam Irzani, pengajaran matematika dengan pendekatan realistik meliputi
aspek aspek sebagai berikut:
a. Pendahuluan
1.
memulai pengajaran dengan mengajukan soal yang riil bagi siswa sesuai dengan
pengalaman dan tingkat pengetahuannya. Sehingga terlibat dalam pembelajaran secara
bermakna.
2.
Permasalahan yang diberikan guru tentu harus diarahkan dengan tujuan yang ingin di
capai dalam pembelajaran tersebut.
b. Pengembangan
1.
2.
Melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang di tempuh atau setiap hasil penelitian.
Jadi, RME yang dimaksudkan dalam hal ini adalah model pembelajaran matematika yang
dilakukan dengan menempatkan realitas dan pengalaman sehari-hari siswa sebagai titik tolak
pembelajaran, karena matematika merupakan aktivitas manusia.
1.
Ciri lain dari RME yaitu (a) matematika adalah kegiatan aktivitas manusia. (b) belajar
matemaika merupakan proses reinvention. Dengan perkataan lain filosofis mmatematika
dekat dengan filsafat konstruktivisme yang menyebutkan bahwa pengetahuan itu adalah
konstruksi dari seorang yang sedang belajar.
Jadi, dalam hal ini pendekatan RME dilandasi dengan pandangan bahwa siswa harus aktif
dan siswa juga tidak boleh pasif.
2.
RME dikembangkan atas dasar tiga prinsip, yaitu; Prinsip yang pertama mengarahkan
siswa untuk diberi kesempatan mengalami sendiri proses yang sama saat matematika
ditemukan dan menginspirasikan menggunakan prosedur informal dengan menggunakan
situasi nyata yang mengandung matematika. Prinsip kedua fenomena yang dijadikan bahan
haruslah berangkat dari keadaan nyata bagi siswa sebelum mereka mencapai tingkatan
formal. Sedangkan prinsip ketiga, siswa diarahkan membuat model sendiri dalam
menyelesaikan masalah.
3.
b.
c.
Menggunakan Interaktif
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara
eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju,
tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari
bentuk-bentuk informal siswa.
e.
4.
siswa
Aktivitas Siswa
masalah Siswa secara sendiri atau kelompok
kecil mengerjakan masalah dengan
strategi-strategi informal.
Guru memberikan tugas di rumah, yaitu Siswa mengerjakan tugas rumah dan
mengerjakan soal atau membuat masalah menyerahkannya kepada guru.
cerita serta jawabannya yang sesuai
dengan matematika formal.
6.
penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari penyesaian soal atau
masalah tersebut.
4. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam
mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama, dan
untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk
menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang
sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses
tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.
5. Pelajaran menjadi cukup menyenangkan bagi siswa dan suasana tegang tidak tampak.
6. Materi dapat dipahami oleh sebagian besar siswa.
7. Alat peraga adalah benda yang berada di sekitar, sehingga mudah didapatkan.
8. Guru ditantang untuk mempelajari bahan.
9. Guru menjadi lebih kreatif membuat alat peraga.
10. Siswa mempunyai kecerdasan cukup tinggi tampak semakin pandai.
Beberapa kelemahan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:
1. Upaya mengimplementasikan RME membutuhkan perubahan pandangan yang sangat
mendasar megenahi beberapa hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya
mengenahi siswa, guru, dan peranan soal kontekstual. Di dalam RME, siswa tidak
lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah jadi
tetapi dipandang sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep-konsep
matematika. Guru tidak lagi terutama sebagai pengajar, tetapi lebih sebagai
pendamping bagi siswa. Di samping itu peranan soal konstektual tidak sekedar
dipandang sebagai wadah untuk menerangkan aplikasi dari matematika, tetapi justru
digunakan sebagai titik tolak untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika itu
sendiri.
2. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, melalui soal-soal konstektual,
proses pematematikaan horisontal, dan proses pematematikaan vertikal juga bukan
merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa
harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan
penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu.
3. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyesaikan soal
juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh guru.
4. Pencarian soal-soal konstektual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut RME
tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa,
terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacammacam cara.
5. Sulit diterapkan dalam suatu kelas yang besar(40- 45 orang).
6. Dibutuhkan waktu yang lama untuk memahami materi pelajaran.
7. Siswa yang mempunyai kecerdasan sedang memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mampu memahami materi pelajaran
7.
Tahap pertama, pada tahap ini guru melakukan tanya jawab dengan siswa,
Guru mengingatkan tentang konsep pola tentang materi pelajaran "waktu yang telah
dipelajari sebelumnya. Kemudian guru memberikan lembaran kertas berupa soal-soal
pemecahan masalah yang berkenaan dengan materi pelajaran Waktu dan
memanfaatkan Jam dinding yang telah mereka buat dirumah sebagai penunjang atau
pendukung pembelajarannya. Sedangkan peran Guru disini adalah sangat terbatas
yakni bertugas sebagai fasilitator, dimana Guru menjelaskan soal atau masalah
dengan memeberikan petunjuk/saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian
tertentu yang tidak dipahami siswa. Berikut Contoh soal pemecahan masalah yang
dapat di berikan:
Yulia pulang sekolah pukul 12.30 WIB. Waktu tempuh dari sekolah ke rumahnya 35
menit. Di perjalanan, ban sepedanya kempes dan memerlukan waktu 20 menit
menambal ban tersebut di bengkel. Yulia tiba di rumah pada pukul berapa?.
Waktu pulang sekolah pukul 12.30 WIB , siswa akan memutar Jarum Jam
Dinding tersebut menunjukkan pukul 12.30.
Waktu yang di perlukan untuk menambal ban adalah 20 menit. Yulia yang
seharusnya tiba pukul 13.05 ternyata di perjalanan bannya kempis dan
memerlukan waktu 20 menit untuk menambal dibengkel.
Kemudian siswa akan mencoba berpikir dengan menambahan (waktu yang
seharusnya di tempuh yulia saat sampai dirumah + waktu yang diperlukan untuk
menambal ban).
sehingga di peroleh: 13.05 + 00.20 = 13.25 WIB. Kemudian siswa akan memutar
lagi arah jarum jamnya menunjukkan pukul 13.25.
Jadi dari tahapan penyelesaian soal diatas dapat di temukan hasil bahwa Yulia
tiba di Rumah pukul 13.25 WIB.
akhir dari pemecahan masalah (soal) yang telah dilakukkannya dalam kelompok
kecil, setelah itu hasil dari diskusi tersebut dibandingkan pada diskusi kelas yang
dipimpin oleh guru. Pada tahap ini semua siswa akan terjalin interaksi antara siswa
maupun dengan guru. Pada setiap penyampaian masalah tentang materi pelajaran
waktu ini, siswa di haruskan mempresentasikan hasil pemecahan masalahnya
dengan memperagakan pada media jam dinding yang telah mereka buat. pada tahap
ini melatih keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat, memberi kritik serta
memberi tanggapan terhadap permasalah yang mereka pecahkan. Sedangkan,
karakteristik RME tentang penggunaan ide atau kontribusi siswa terpenuhi.
Tahap keempat, pada tahap terakhir guru mengarahkan siswa untuk menarik
DAFTAR PUSTAKA