01 GDL Nurmairawa 548 1 Nurma
01 GDL Nurmairawa 548 1 Nurma
01 GDL Nurmairawa 548 1 Nurma
Oleh :
Nurma Irawati
S.10033
Oleh :
Nurma Irawati
S.10033
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNya
serta hidayahNya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Gambaran
Pelaksanaan Pemasangan Infus Yang Tidak Sesuai SOP Terhadap Kejadian
Flebitis Di RSUD Dr.Soemarso Mangun Sudiran Kabupaten Wonogiri. Dalam
penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan serta dukungan dari berbagai
pihak. Penulis menyadari tanpa adanya bimbingan dan dukungan maka kurang
sempurna penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1.
Ibu Dra. Agnes Sri Harti, MSi. selaku ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta
2.
Ibu Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns. M.Kep, selaku Pembimbing Utama dan
kepala program studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan serta arahan dalam
penyusunan skripsi ini.
3.
4.
Ibu bc. Yeti Nurhayati,. M.Kes, selaku penguji I yang telah memberikan
masukan dan saran yang membangun sehingga peneliti dapat menempuh
ujian dengan lancar.
iv
5.
6.
Bapak AL Hariyono, S.Kep selaku kepala ruang rawat inap Kenanga RSUD
dr.Soediran Mangun Sumarso Wonogiri yang telah membantu dan
mengarahkan peneliti dalam proses penelitian.
7.
Seluruh partisipan yang telah berperan dalam penelitian ini dan telah
berkenan untuk menjadi partisipan yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
8.
Seluruh staf pengajar dan akademik Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta yang telah membantu penulis.
9.
Kepada kedua orang tua Bapak (Parmin) dan Ibu (Sartinah) tercinta yang tak
henti hentinya mendoakan penulis, memberikan ketulusan kasih sayang
sepenuhnya, membiayai semua penulisan dan selalu memberikan motivasi
serta dukungan terbesar kepada penulis.
10. Adik-adik tercinta (Fera Shonia Novita dan Dzaky Fatihul Ahsan) atas doa
dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis.
11. Kakek (Sarmin) dan Nekek (Siti Chomsinah) ku tercinta yang selalu
mendoakan mendukung setiap langkah yang telah dilalui penulis.
12. Ustadz ku yang selalu memberi motivasi melalui petuah islamiah hingga
penulis dapat menjalani dengan tenang dan sabar dalam penyusunan skripsi.
13. Sahabat-sabahat ku tercinta Ratih Swari Hadiyanti (Ratbo) dan Marni
Wahyuningsih (Marbo) yang selalu menemani dalam penyusunan skripsi.
14. Teman teman seperjuangan dan seangkatan yang tak pernah berhenti
memberikan semangat, motivasi dan dukungan kepada penulis.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam penyusunan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan,
untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak.
Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Surakarta,
Juni 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI
ii
iii
iv
vii
xiv
xv
xvi
xvii
xviii
ABSTRAK ....................................................................................................
xx
ABSTRACT ....................................................................................................
xxi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ..................................................................
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Teori ....................................................................
vii
1. Pengertian SOP
.....................................
2. Tujuan SOP
.....................................
3. Fungsi SOP
.....................................
10
10
2. Tujuan .............................................................
10
10
11
14
15
20
23
26
27
1. Pengertian ......................................................
27
28
3. Penyebab .........................................................
29
4. Skala Flebitis...................................................
30
viii
34
34
35
37
37
38
39
39
39
40
40
41
44
46
47
51
51
1. Aturan ............................................................
51
2. Standar ...........................................................
52
53
53
ix
54
55
56
56
56
57
57
57
58
1. Pernah ............................................................
58
2. Bengkak .........................................................
59
3. Flebitis ...........................................................
60
61
1. Pernah ............................................................
61
2. Lupa ...............................................................
62
63
63
64
65
65
66
68
4. Kebersihan .....................................................
68
70
70
70
71
71
71
72
72
73
74
75
75
76
77
78
79
81
83
xi
83
84
85
86
86
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan ...............................................................................
88
88
88
88
89
89
89
89
90
90
90
90
xii
91
91
91
92
92
92
92
93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian ...................................................................... 6
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lokasi Pemasangan Infus
12
xv
DAFTAR SKEMA
Skema 3.1 Fokus Penelitian .............................................................................. 34
xvi
DAFTAR SINGKATAN
CDC :
CPNS :
D3
Diploma
IV
Intravena
INS
PNS
RL
Ringer Laktat
RSUD :
S1
Sarjana
SOP
WHO :
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
xviii
xix
Nurma Irawati
Gambaran Pelaksanaan Pemasangan Infus Yang Tidak Sesuai SOP
Terhadap Kejadian Flebitis Di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso
Kabupaten Wonogiri
Abstrak
Flebitis adalah suatu kejadian peradangan pada vena yang terpasang infus
karena infeksi oleh mikroorganisme selama perawatan di rumah sakit.Pada studi
pendahuluan didapatkan data pada tahun 2011 pasien yang terjadi flebitis
sebanyak 23 (2,2%) diruang kenanga, kemudian pada data pada bulan OktoberDesember 2013 bahwa pasien yang terpasang infus sebanyak 362 pasien yang
terjadi flebitis sebanyak 20 (5,52%) dan peneliti mengikuti dinas selama 3 hari
pada tanggal 24-26 Desember 2013 terdapat kejadian flebitis sebanyak 3 (15%).
Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran pelaksanaan pemasangan infus
yang tidak sesuai SOP terhadap kejadian flebitis.
Penelitian gambaran pelaksanaan pemasangan infus yang tidak sesuai SOP
terhadap kejadian flebitis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis deskriptif digunakan untuk memperoleh informasi
yang spesifik mengenali nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut
keterangan populasi. Analisa data menggunakan metode Colaizzi. Sampel dalam
penelitian adalah 5 partisipan perawat pelaksana rawat inap dan pasien yang
terpasang infus di RSUD dr. Soediran Mangan Sumarso Wonogiri.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat gambaran pelaksanaan
pemasangan infus yang tidak sesuai SOP terhadap kejadian flebitis.Kesimpulan
penelitian ini adalah pemasangan infus yang tidak sesuai SOP dapat
mempengaruhi kejadian flebitis dibangsal kenanga RSUD dr. Soediran Mangan
Sumarso Wonogiri. Peneliti menyarankan perawat untuk menerapkan pemasangan
infus harus sesuai SOP untuk mencegah terjadinya flebitis di RSUD Dr. Soediran
Mangun Sumarso Wonogiri.
Kata kunci
: Terapi intravena, kejadian flebitis, SOP pemasangan infus.
Daftar Pustaka : 31 (2001-2014)
xx
Nurma Irawati
DESCRIPTION OF THE IMPLEMENTATION OF INFUSION
INSTALLATION UNSUITABLE WITH STANDARD OPERATING
PROCEDURE ON THE INCIDENCE OF PHLEBITIS AT DR. SOEDIRAN
MANGUN SUMARSO LOCAL GENERAL HOSPITAL OF WONOGIRI
REGENCY
ABSTRACT
Phlebitis is an inflammatory incidence of the vein installed with infusion.
It happens due to the infection by microorganisms during the medical care in
hospital. In the preliminary research, in 2011 the number of clients at Kenanga
ward suffering from phlebitis was 23 (2.2%). In October December 2013, of
362 clients installed with infusion, 20 (5.52%) suffered from phlebitis, and when
the researcher attended field practice for three days from December 24th to
December 26th, 2013, there were three incidences (15%) of phlebitis.
The objective of this research is to investigate the description of infusion
installation unsuitable with the standard operating procedure on the incidence of
phlebitis.
This research used the qualitative research method with phenomenological
descriptive approach as to obtain specific information to recognize opinion, value,
behavior, and social context according to the explanations of population. The
samples of the research consisted of five nurses posted in the in-patient wards and
clients installed with infusion at Kenanga ward of dr. Soediran Mangan Sumarso
Local General Hospital of Wonogiri. The data of the research was analyzed by
using the Colaizzi method.
The result of the research shows that there is a description of the
implementation of infusion installation which is unsuitable with the prevailing
standard operating procedure on the incidence of phlebitis. Thus, it can be
concluded that the infusion installation which is not suitable with the existing
standard operating procedure can influence the incidence of phlebitis at Kenanga
ward of dr. Soediran Mangan Sumarso General Local Hospital of Wonogiri.
Therefore, the nurses are suggested to apply the infusion installation in
accordance with the existing standard operating procedure to prevent the
incidence of phlebitis at dr. Soediran Mangun Sumarso Local General Hospital of
Wonogiri.
Keywords: Intravenous therapy, incidence of phlebitis, standard operating
procedure, and infusion installation
References: 31 (2001-2014)
xxi
BAB 1
PENDAHULUAN
22
23
24
25
26
informasi
tentang
gambaran
pelaksanaan
27
Judul
Penelitian
Kepatuhan
Perawat
Dalam
Melaksanakan
Standar
Prosedur
Operasional
Pemasangan
Infus
Terhadap
flebitis
Metode
korelasio
nal
Hasil
Penelitian
Hasil
didapatkan
tindakan
pemasangan
infus
dilakukan oleh
perawat
dengan patuh
pada Standar
Prosedur
Operasional
Pemasangan
infus (88,2%)
dan yang tidak
mengalami
flebitis
Penelitian
Sekarang
Gambaran
pelaksanaan
pemasangan
infus
yang
tidak
sesuai
SOP terhadap
kejadian
flebitis
di
RSUD
dr.
Soediran
Mangun
Sumarso
Kabupaten
Wonogiri
28
mayoritas
(97,1%).
Wayunah
2011
Hubungan
Pengeteahuan
tentang terapi
infus dengan
kejadian
flebitis
dan
kenyamanan
pasien di ruang
rawat
inap
rumah
sakit
umum daerah
(RSUD)
Kabupaten
Indramayu.
Analiticcorelatio
nal
dengan
pendekat
ann
crosssectional
Prastika
Daya, Sri
Susilaning
sih
dan
Afif Amir
A. 2012
Kejadian
flebitis
di
Rumah Sakit
Umum Daerah
Majalaya
Deskrifti
f
korelasio
nal
hasil penelitian
diketahui
bahwa
kejadian
flebitis
pada
pasien
yang
terpasang infus
oleh perawat
pelaksana di
ruang
rawat
inap
dewasa
RSUD
Indramayu
sebanyak 40%
dengan
responden 65
pasien.
Hasil
penelitian dari
90 responden
yang dilakukan
pemasangan
infus di IGD
RSUD
Majalaya
berdasarkan
kejadian
flebitis dapat
diketahui
32,2%
mengalami
flebitis
dan
67,8%
tidak
mengalami
flebitis.
Gambaran
pelaksanaan
pemasangan
infus
yang
tidak
sesuai
SOP terhadap
kejadian
flebitis
di
RSUD
dr.
Soediran
Mangun
Sumarso
Kabupaten
Wonogiri
Gambaran
pelaksanaan
pemasangan
infus
yang
tidak
sesuai
SOP terhadap
kejadian
flebitis
di
RSUD
dr.
Soediran
Mangun
Sumarso
Kabupaten
Wonogiri
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
alur
tugas,
wewenang
dan
tanggung
jawab
dari
petugas/pegawai terkait.
d. Melindungi organisasi/unit kerja dan petugas/pegawai dari malpraktek
atau kesalahan administrasi lainnya.
e. Melindungi organisasi/unit kerja dan petugas/pegawai dari malpraktek
atau kesalahan administrasi lainnya.
keraguan, duplikasi
dan
inefisiensi
3. Fungsi SOP
a. Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja.
b. Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan.
c. Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak.
d. Mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja.
4. Kapan SOP diperlukan
a. SOP harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan.
b. SOP digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah dilakukan
dengan baik atau tidak.
c. Uji SOP sebelum dijalankan, lakukan revisi jika ada perubahan langkah
kerja yang dapat mempengaruhi lingkungan kerja.
5. Keuntungan adanya SOP
a. SOP yang baik akan menjadi pedoman bagi pelaksana, menjadi alat
komunikasi dan pengawasan dan menjadikan pekerjaan diselesaikan secara
konsisten.
b. Para pegawai akan lebih memiliki percaya diri dalam bekerja dan tahu apa
yang harus dicapai dalam setiap pekerjaan.
c. SOP juga bisa dipergunakan sebagai salah satu alat trainning dan bisa
digunakan untuk mengukur kinerja pegawai.
10
Tujuan
Laskowski-Jones dan Falkowski; Ingnatavicius dan (workman 2010 dalam
Wayunah 2011) yang mengatakan bahwa alasan umum pasien mendapatkan terapi
infus adalah:
a.
b.
c.
d.
11
a.
Keuntungan
Keuntungan terapi intravena antara lain : Efek terapeutik segera dapat
pemberian
dapat
dikontrol
sehingga
efek
terapeutik
dapat
dipertahankan maupun dimodifikasi, rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika
diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari, sesuai untuk obat yang
tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau
ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis.
b.
Kerugian
Kerugian terapi intravena adalah : tidak bisa dilakukan drug recall dan
mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi,
kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan speed shock dan
komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu : kontaminasi mikroba melalui titik
akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vascular, misalnya flebitis kimia,
dan inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.
3. Lokasi Pemasangan infus
Menurut (Perry dan Potter 2005), tempat atau lokasi vena perifer yang
sering digunakan pada pemasangan infus adalah vena supervisial atau perifer
kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses paling mudah untuk
terapi intravena. Daerah tempat infus yang memungkinkan adalah permukaan
dorsal tangan (vena supervisial dorsalis, vena basalika, vena sefalika), lengan
bagian dalam (vena basalika, vena sefalika, vena kubital median, vena median
12
lengan bawah, dan vena radialis), permukaan dorsal (vena safena magna,
ramusdorsalis)
Umur pasien : misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat
penting dan mempengaruhi berapa lama intravena terakhir.
b.
13
c.
d.
memaksa
tempat-tempat
yang
optimum
(misalnya
Durasi
terapi
intravena:
terapi
jangka
panjang
memerlukan
pengukuran untuk memelihara vena; pilih vena yang akurat dan baik,
rotasi sisi dengan hati-hati, rotasi sisi pungsi dari distal ke proksimal
(misalnya mulai di tangan dan pindah ke lengan).
f.
Ketersediaan vena perifer bila sangat sedikit vena yang ada, pemilihan
sisi dan rotasi yang berhati-hati menjadi sangat penting ; jika sedikit
vena pengganti.
g.
h.
i.
j.
14
b.
kolaps
kardiovaskular
dan
peningkatan
tekanan
15
pembuluh
darah.
Mampu
menstabilkan
tekanan
darah,
16
f) Gunting verband
g) Bengkok (neirbekken)
h) Infus set lengkap dengan gantungan botol (kolf)
i) Perlak kecil dan alas
j) Tali pembendung (tourniquet)
k) Spalk dalam keadaan siap pakai, bila perlu terutama pada anakanak.
(Asmadi 2008)
2) Persiapan :
a) Pastikan program medis untuk terapi intravena, periksa label larutan, dan
identifikasi pasien. Kesalahan yang serius dapat dihindari dengan
pemeriksaan yang teliti.
b) Jelaskan prosedur pada pasien. Pengetahuan meningkatkan kenyamanan dan
kerjasama pasien.
c) Cuci tangan dan kenakan sarung tangan sekali pakai. Asepsis penting untuk
mencegah infeksi. Mencegah pajanan perawat terhadap darah pasien.
d) Pasang tourniket dan identifikasi vena yang sesuai. Tourniket akan
melebarkan vena dan membuatnya terlihat jelas.
e) Pilih letak insersi. Pemilihan tempat yang teliti akan meningkatkan
kemungkinan pungsi vena yang berhasil dan pemeliharaan vena.
f) Pilih kanula intravena. Panjang dan diameter kanula harus sesuai baik untuk
letak maupun tujuan infuse.
g) Hubungkan kantong infus dan selang, dan alirkan larutan sepanjang selang
untuk mengeluarkan udara, tutup ujung selang. Mencegah penundaan;
17
meningkatkan
kemungkinan
keberhasilan
dan
memberikan
18
19
(2). Tahan hub jarum, dan dorong kateter yang membungkus jarum
kedalam vena. Jangan pernah memasukkan kembali jarum ke
dalam kateter plastic atau menarik kateter kembali ke jarum.
(3). Lepaskan jarum, sambil menekan perlahan kulit di atas ujung kateter;
tahan hub kateter di tempatnya. (Aliran balik mungkin tidak terjadi
jika vena kecil; posisi ini menurukan kemungkinan tembusnya
dinding posterior vena).
h) Lepaskan tourniket dan sambungkan selang infus ; buka klem sehingga
memungkinkan tetesan. (Infus harus disambungkan dengan cepat untuk
mencegah terjadinya bekuan darah dalam kanula. Setelah 2 kali usaha
untuk melakukan penusukan vena tidak berhasil dianjurkan meminta
bantuan dari perawat lain).
i) Sisipkan bantalan kasa steril berukuran 2x2 inchi dibawah ujung kateter.
(Kasa berfungsi sebagai bidang steril).
j) Rekatkan jarum dengan kuat di tempatnya dengan plester. (Jarum yang
stabil lebih sedikit kemungkinannya untuk terlepas atau mengiritasi vena).
k) Tempat penusukan kemudian ditutup dengan band-aid atau kasa steril;
rekatkan dengan plester nonalergenik tetapi jangan melingkari ekstremitas.
(Plester yang melingkari ekstremitas dapat berfungsi sebagai tourniket).
l) Plesterkan sedikit lengkungan selang intravena ke atas balutan.
(Lengkungan selang menurunkan kemungkinan pergeseran kanul yang
tidak sengaja jika selang tertarik).
20
untuk
mencegah
terjadinya
infus
yang
berlebihan
atau
kekurangan).
p) Dokumentasikan tempat, jenis dan ukuran kanula, waktu, larutan,
kecepatan
intravena,
dan
respons
pasien
terhadap
prosedur.
Pengertian
Pemasangan infus untuk memberikan obat /cairan melalui parenteral.
2.
Tujuan
Pemasangan fungsi kolaborasi dengan dokter.
3.
Kebijakan
a.
b.
21
4.
Petugas
a.
Perawat
5.Peralatan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Desinfektan
g.
Tourniquet/manset
h.
i.
Bengkok 1
j.
Plester/hepavix
k.
Kassa steril
l.
Petunjuk waktu
6.Langkah-langkah
a.
b.
Tahap orientasi
1) Memberikan salam dan menyapa nama pasien
2) Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/klien
22
Tahap Kerja
1) Melakukan disinfeksi tutup botol cairan
2) Menutup selang infus (klem)
3) Menusukan saluran infus dengan benar
4) Menggantung botol cairan pada standar infus
5) Mengisi tabung reservoir infus sesuai tanda
6) Mengalirkan cairan hingga tidak ada udara dalam selang
7) Mengatur posisi pasien dan pilih vena
8) Memasang perlak dan pengalas
9) Membebaskan daerah yang akan diinsersi
10) Meletakan tourniquet 5 cm proksimal yang akan ditusuk
11) Memakai hanschoon
12) Membersihkan kulit dengan kapas alkohol (melingkar dalam ->
keluar)
13) Mempertahankan vena pada posisi stabil
14) Memegang iv kateter dengan sudut 30 derajat menusuk vena dengan
lubang jarum menghadap ke atas
15) Memastikan iv kateter masuk intra vena kemudian menarik mandrin
0,5 cm
16) Memasukan iv kateter secara berlahan
17) Menarik mandrin dan menyambung dengan selang infus
18) Melepas tourniquet
23
24
b. Infiltrasi
Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di
sekeliling tempat pungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya
pembengkakan (akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan
oleh sirkulasi yang menurun) di sekitar area insersi, ketidaknyamanan dan
penurunan kecepatan aliran secara nyata. Infiltrasi mudah dikenali jika
tempat penusukan lebih besar daripada tempat yang sama di ekstremitas
yang berlawanan. Suatu cara yang lebih dipercaya untuk memastikan
infiltrasi adalah dengan memasang torniket di atas atau di daerah proksimal
dari tempat pemasangan infus dan mengencangkan torniket tersebut
secukupnya untuk menghentikan aliran vena. Jika infus tetap menetes
meskipun ada obstruksi vena,berarti terjadi infiltrasi.
c. Iritasi vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada
kulit di atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH
tinggi, pH rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin,
vancomycin, eritromycin, dan nafcillin)
d. Hematoma
Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di
sekitar area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang
berlawanan selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang
tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau
kateter dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis,
25
menggambarkan
adanya
bekuan
ditambah
26
dingin, iritasi vena oleh obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena dan
aliran yang terlalu cepat.
i. Reaksi vasovagal
Digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena,
dingin, berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah.
Reaksi vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan.
j. Kerusakan syaraf, tendon dan ligament.
Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan
kontraksi otot. Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa
dan deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang tidak
tepat sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligament.
8. Pencegahan komplikasi pemasangan terapi intravena
Menurut (Hidayat 2008), selama proses pemasangan infus perlu
memperhatikan hal-hal untuk mencegah komplikasi yaitu :
a.
Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru.
b.
Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda Infeksi.
c.
d.
Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan.
e.
f.
Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum infus
perlahan, periksa ujung kateter terhadap adanya embolus.
g.
27
h.
i.
j.
k.
2.1.3. Flebitis
1.
Pengertian
Flebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme
yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti
dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam (Darmadi
2008).
Flebitis adalah inflamasi lapisan vena dimana sel endotelia dinding vena
mengalami iritasi dan permukaan sel menajdi kasar, sehingga memungkinkan
platelet menempel dan kecenderungan terjadi inflamasi penyebab plebitis (Philip
2005 dalam Wayunah 2011)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Flebitis itu adalah suatu
kejadian peradangan pada vena yang terpasang infus karena infeksi oleh
mikroorganisme selama perawatan di rumah sakit.
28
2.
29
3.
Penyebab
Penyebab flebitis yang dinyatakan oleh (Workman dalam Mustofa 2007)
terbagi atas 3 yaitu:
a. Iritasi kimia
Biasanya iritasi ini bersumber dari cairan intravena atau obat-obatan
yang digunakan umumnya cairan tersebut memiliki pH rendah dengan
osmolaritas tinggi, sebagai contoh adalah cairan dextrose hipertonik atau
cairan yang mengandung kalium klorida.
b. Iritasi fisik
Terjadi karena faktor bahan kanul yang digunakan berdiameter besar,
sehingga mempermudah pecahnya pembuluh darah flebitis dapat pula
terjadi jika pemasangan tidak pada tempat yang baik, misalnya siku atau
pergelangan tangan.
c. Iritasi mekanik
Misalnya fiksasi kurang baik sehingga menyebabkan kanul bergerakgerak dalam pembuluh darah dan menyebabkan iritasi pada pembuluh
darah. Banyak hal yang dapat menyebabkan flebitis antara lain tindakan
pembersihan yang akan dilakukan penusukan kateter intravena kurang baik
dan juga adanya bakteri. (Boker dan Ignaticus 1996) menyimpulkan bahwa
bakteri-bakteri yang terdapat pada kulit yang mempunyai potensi
menyebabkan
flebitis
staphylococcus aureus.
adalah
staphylococcus
apidernidis
dan
30
4.
Skala Flebitis
Ada beberapa standar yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat
keparahan flebitis:
a. Skala menurut (Intgravenous Nurses Society dalam Mustofa 2007),
keparahan flebitis di identifikasi sebagai berikut :
Skala 0 : Tidak nyeri, tidak kemerahan, tidak edema, tidak hangat dan
tidak terjadi pembengkakan lokal
Skala
1:
Terasa
nyeri,
kemerahan,
tidak
hangat,
tidak
terjadi
: Tidak ada nyeri, tidak ada eritema, tidak ada indurasi, tidak ada
pembengkakan lokal
Skala 1
Skala 2
31
Skala 3
Skala 4
Skala 5
5.
gerak
pada
ekstremitas
yang
mengalami
32
tangan
mempunyai
resiko
lebih
kecil
terhadap
flebitis
dibandingkan dengan yang dipasang pada lengan atau siku. Pada anakanak pemasangan kanula dapat dilakukan pada lengan, punggung kaki atau
kulit kepala.
e. Bahan dan ukuran kateter
Kateter polyurethane 30% lebih rendah resikonya terhadap flebitis
dibanding dengan kateter yang berbahan teflon. Sebuah study di USA
menunjukkan bahwa kateter teflon atau polyurethane kateter berisiko
infeksi dengan rentang 0-5 %.
f. Jenis cairan
Menurut Booker dan Ignaticus bahwa pH cairan yang lebih rendah
memiliki resiko flebitis yang lebih tinggi, tetapi perlu juga diingat tentang
pemberian obat melaui intravena. (Hening Pujasari 2002)
33
g. Host Agent
Sistem imun manusia juga berkompeten dalam melindungi tubuh
dari berbagai organisme. Manusia yang memiliki gangguan imun akan
lebih mudah terkena infeksi. (Hening Pujasari 2002)
BAB III
METODE PENELITIAN
SOP
Pemasangan
Infus
Pemasangan Infus
Flebitis
Skema 3.1.
Fokus Penelitian
3.2. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis. (Saryono & Anggraeni 2010). Menurut (Ircham
2013), penelitian kualitatif menempatkan perhatian pada pembuktian pemahaman
yang komprehensif / pemahaman secara holistik dari suatu keadaan sosial dimana
penelitian dilakukan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi digunakan dengan alasan
karena peneliti akan berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya
terhadap orang-orang yang biasa dalam situasi-situasi tertentu. penelitian
kualitatif efektif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenali
nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut keterangan populasi. Sedangkan
pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang berusaha untuk
memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam
situasinya yang khusus (Sutopo 2006).
34
35
langkah
yang
harus
dilakukan,
diantaranya
mempersiapkan
36
37
38
pengumpulan data. Dalam penelitian ini menggunakan alat penelitian seperti alat
tulis, lembar observasi (SOP pemasangan Infus) dan lembar catatan.
3.5.1.
1. Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap
informasi terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik
wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (In
dept interview). Wawancara mendalam (In dept interview) adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman dan informan terlibat
dalam kehidupan sosial yang relatif lama.
2. Dokumen
Sejumlah besar data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi.
Dalam penelitian ini mengambil sumber data dari dokumen rekam medik yang
bertujuan untuk mengetahui data nama pasien dan lama menjalani perawatan.
3. Observasi
Observasi dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan data mengenai
hal hal yang dapat dinilai secara obyektif dari partisipan maupun pasien, seperti
keadaan daerah yang terpasang infus, nyeri yang di rasakan hingga benar-benar
terjadi flebitis.
3.5.2. Alat Pengumpulan data
Alat pengumpul data penelitian terdiri dari :
39
1.
2.
3.
Alat tulis.
40
mengumpulkan
gambaran
fenomena
partisipan
berupa
41
42
dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda,
baik kelompok sumber sejenis atau sumber yang berbeda jenisnya.
Dalam penelitian ini menggunakan sumber data dari penelitian (Ince Maria
& Erlin Kurnia 2012) yang menerangkan tentang Kepatuhan perawat dalam
melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus terhadap flebitis.
Peneliti kemudian mengembangkan hingga menjadi judul yang berbeda.
3.7.2. Triangulasi Metode
Teknik triangulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan cara
mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode
pengumpulan data yang berbeda. Disini yang ditekankan adalah penggunaan
metode pengumpulan data yang berbeda dan bahkan lebih jelas untuk diusahakan
mengarah pada sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya.
Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis. Pendekatan fenomenologi
43
beberapa peneliti terhadap semua informasi yang berhasil digali dan dikumpulkan
yang berupa catatan dan bahkan sampai dengan simpulan-simpulan sementara,
diharapkan bisa terjadi pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih
memantapkan hasil akhir penelitian.
Pada penelitian ini menggunakan validitas data lima orang perawat yang
melakukan pemasangan infus, dari ke lima orang perawat tersebut pada saat
wawancara kedua jawabanya sama dengan pada saat wawancara pertama, hal
tersebut dikatakan validitas ahkir sesuai dengan bagian dari analisa data yang
menggunakan metode Colaizzi (Polit & Back 2006).
3.7.4. Triangulasi Teori
Triangulasi jenis ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan
perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Dalam
melakukan triangulasi ini peneliti wajib memahami teori-teori yang digunakan
dan keterkaitannya dengan permasalahan yang diteliti sehingga mampu
menghasilkan simpulan yang lebih mantap, bisa dipertanggungjawabkan dan
benar-benar memiliki makna yang mendalam serta bersifat multiperspektif. Meski
demikian, dalam hal ini peneliti bisa menggunakan satu teori khusus yang
digunakan sebagai fokus utama dari kajiannya secara lebih mendalam daripada
teori yang lain yang juga digunakan (Sutopo 2006).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan berbagai sumber teori dalam
pembahasan hasil penelitian. Teori tersebut berhubungan langsung dengan tema
yang telah didapatkan oleh peneliti seperti teori tentang skala pengukuran flebitis
menggunakan skala menurut (Intgravenous Nurses Society dalam Mustofa 2007).
44
meyakini
bahwa
partisipan
harus
dilindungi
dengan
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
46
47
48
peneliti. Wawancara kedua dilakukan pada hari Senin, 24 Maret 2014 pukul
11.00-11.30 WIB dibangsal kenangan RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Kabupaten Wonogiri.
4.2.2. Partisipan 2 (P02)
Tn. M usia 31 tahun pendidikan S-1 Keperawatan pengalaman kerja 7
tahun. Partisipan pernah bekerja dipuskesmas pertama lulus pendidikan D3
Keperawatan selama 1 tahun menjadi pegawai honor selama 3 bulan dan menjadi
pegawai tetap selama kurang lebih 10 bulan. Kemudian mengikuti CPNS (Calon
Pegawai Negeri Sipil) setelah itu beliau diterima menjadi Pegawai negeri sipil
(PNS) dan ditempatkan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.
Partisipan mengatakan 2 tahun setelah berdinas di RSUD melanjutkan pendidikan
Sarajan Keperawatan (S-1). Pada awal menjadi pegawai di RSUD partisipan
mengaku sering dipindah dari bangsal satu kebangsal lain nya hingga saat ini
ditempatkan dibangsal kenanga sudah 3 tahun.
Wawancara pertama dilakukan pada Senin, 03 Februari 2014 pukul 11.00
11.30 WIB. Wawancara dilakukan dibangsal Kenanga RSUD dr. Soediran
Mangun Sumarso Wonogiri. Jarak antara partisipan dan peneliti antara 1 meter.
Sikap pasien tenang dan sedikit bercanda saat menjawab pertanyaan. Posisi saat
wawancara berhadapan saling tatap muka dengan peneliti. Wawancara kedua
dilakukan pada hari Senin, 24 Maret 2014 pukul 14.30.00-15.00 WIB di bangsal
Kenanga RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri.
4.2.3. Partisipan 3 (P03)
49
50
51
14.30 WIB dilakukan dibangsal Kenanga RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri.
Aturan
Tema ini di dapatkan dari pernyataan partisipan 2, 3, dan 4 tentang
52
53
tindakan pada pasien dalam pemasangan infus. Ada banyak tahapan SOP yang
belum dilakukan disaat melakukan tindakan. Tahapan SOP tersebut akan dibahas
dan diuraikan dibawah sesuai kategori.
4.3.2. Pelaksanaan SOP dibangsal
Hasil penelitian pada partisipan dari pertanyaan tentang pelaksanaan SOP
dibangsal ditemukan tema sebagai berikut : 1. Jarang dipraktikan, 2. Tidak hafal,
3. Melihat situasi dan kondisi. Tema-tema yang telah didapatkan itu adalah
pernyataan dari partisipan pada saat menjawab pertanyaan dari peneliti.
Berikut ini uraian dari tema yang telah ditemukan dari bagaimana
pelaksanaan SOP dibangsal:
1.
Jarang dipraktikan
Tema ini didapatkan dari pernyataan dari partisipan 1 dengan mengatakan
dibangsal
tersebut.
Banyak
tindakan
yang
memang
dalam
pelaksanaannya jarang mempraktikan SOP yang telah disusun pihak rumah sakit.
Berikut ini adalah kalimat pernyataan partisipan:
...Kalau SOP itu jarang di praktikan dek disini, yang
penting dilakukan tindakkannya...(P01)
...ya dibangsal ini kalau SOP dibangsal ini buat teman teman
kurang tahu bagaimana pelaksanaannya tetapi kalau saya ya
jujur saja jarang mempraktikkan, hehehe...(P05)
54
kita tidak akan pernah tahu dampak dari hasil tindakan yang telah dilakukan tidak
sesuai dengan SOP. Dalam jangka waktu dekat ataupun jauh suatu tindakan yang
dilakukan tanpa menggunakan suatu standar aturan yang baku pastilah akan
timbul suatu dampak yang akan mempengaruhi dari partisipan dan juga pasien itu
sendiri. Mungkin partisipan memiliki alasan tersendiri mengenai hal tersebut
dalam pelaksanaannya.
2.
Tidak hafal
Tema ini didapatkan dari partisipan ke 2 yang menyatakan tidak hafal
dengan SOP yang telah dibuat pihak dari RSUD. Pernyataan tersebut juga dapat
dilihat dari bagaimana partisipan melaksanakan semua tindakan keperawatan
terutama tindakan pemasangan infus. Berikut inilah kalimat pernyataan partisipan:
...sesuai atau tidak, nggak hafal juga sama SOP nya, ya intine
standar ajalah...(P02)
55
3.
tersebut dengan penuh sadar dan tanpa paksaan. Pada saat peneliti bertanya
tentang pelaksanaan SOP dibangsal tersebut partisipan menjawab melihat sikon
yang ada disekiar.
Berikut ini adalah kalimat dari partisipan:
...Pada intinya sesuai SOP tetapi melihat sikon dilapangan kalau
segala sesuatu harus sesuai teori pekerjaan tidak akan selesai atau
tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien...(P03)
...ya menentukan kondisi dilapangan kalau segala sesuatu harus
sesuai teori pekerjaan tidak akan selesai...(P04)
56
57
58
...Infus disini diganti sekitar 4-5 hari bahkan lebih, biasa dek
dilahan seperti ini tetap jauh dari teori yang ada...(P05)
Partisipan mengatakan bahwa infus diganti 4-5 hari dari tanggal
pemasangan infus. Bahkan partisipan ada juga yang mengatakan bahwa bisa saja
infus diganti lebih dari 4-5 hari dari tanggal pemasangan karena menentukan
kondisi dari lokasi pemasangan infus yang masih bagus. Partisipan tidak
memungkiri jika memang kondisi penggantian infus ini ditentukan oleh kondisi
lokasi pemasangan infus. Tetapi partisipan juga mengungkapkan jika penggantian
infus menunggu kondisi yang jelek pada lokasi infus.
4.3.6. Alasan infus diganti kurang dari 3 hari
Hasil penelitian ini didapat dari pernyataan dari semua partisipan yang
terlibat dalam penelitian ini. Dari jawaban partisipan ini didapatkan tema-tema
sebagai berikut: 1. Pernah, 2. Bengkak, 3. Plebitis. Tema-tema yang telah
didapatkan itu adalah pernyataan dari partisipan pada saat menjawab pertanyaan
dari peneliti.
1.
Pernah
Tema ini didapat dari patisipan 1, 2, 3, dan 4 yang menyatakan bahwa
pernah melakukan penggantian infus kurang dari 3 hari setelah hari pemasangan.
Berikut ini adalah pernyataan partsipan:
...Ya pernah sich dek...(P01)
...nek kui koyone pernah dek...(P02)
...pernah...(P03)
...pernah dek...(P04)
...hmmm...Pernah...(P05)
59
Bengkak
Tema ini didapatkan dari partisipan 1, 2, dan 4 yang menyatakan bahwa
60
dari observasi peneliti melakukan disinfektan pada kulit itu setelah didisinfektan
memegang kembali lokasi penusunaan dengan menggunakan hanschoon yang
sudah dipakai berulang kali tersebut.
3.
Flebitis
Tema ini didapat dari partisipan yang mengungkapkan bahwa alasan infus
diganti kurang dari 3 hari karena plebitis. Hal ini diungkap oleh partisipan 3 dan
4, berikut pernyataan partisipan:
...Karena macet,rusak atau plebitis...(P03)
...Karena macet, rusak, bengkak atau bahkan plebitis...(P04)
Pernyataan diatas menyatakan bahwa sebagian partisipan mengatakan
infus pada pasien yang diganti kurang dari 3 hari karena flebitis. Dari ungkapan
itu pula bahwa kejadian flebitis memang sering terjadi dibangsal ini dengan
kriteria yang berbeda-beda pada setiap pasien.
Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti dan dibantu diskusi oleh
perawat bahwa pasien yang dilakukan pemasangan infus oleh P01 tersebut
dinyatakan dalam tahap flebitis skala 1 yaitu
kemerahan disekitar penusukan jarum infus. Skala ini terjadi pada hari kedua
pemasangan infus.
Dari observasi pada pasien yang dipsang infus oleh P02 terjadi flebitis
dengan skala 1 seperti halnya yang terjadi pada pasien P01 yaitu dengan tanda
nyeri dan kemerahan disekitar penusukan jarum infus. Skala ini terjadi pada hari
ketiga pemasangan infus.
Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti dan dibantu diskusi oleh
perawat bahwa pasien yang dilakukan pemasangan infus oleh P03 tersebut
61
dinyatakan dalam tahap flebitis skala 2 yang artinya bahwa terdapat tanda nyeri,
kemerahan dan hangat pada pasien. Skala ini terjadi pada hari ketiga pemasangan
infus.
Dari observasi didapatkan hasil pemasangan infus oleh P04 itu peneliti
menemukan tanda nyeri yang tak tertahankan pada ekspresi wajah pasien,
kemerahan pada sekitar pemasangan infus, teraba hangat pada sekitar pemasangan
infus dan juga odema yang dengan ditemukan tanda-tanda tersebut peneliti
menyimpulkan bahwa telah terjadi flebitis dalam rentang waktu enam hari di
skala 3. Skala ini terjadi pada hari keenam pemasangan infus.
4.3.7. Angka kejadian flebitis dalam 1 bulan
Hasil penelitian ini didapatkan dari 2 kategori yaitu kategori dari
pernahkan ada pasien yang mengalami kejadian flebitis dan juga dalam 1 bulan
ada berapa pasien yang mengalami kejadian flebitis. Dari hal tersebut dapat
ditemukan tema-tema sebagia berikut: 1. Pernah ada, 2. Lupa. Tema-tema ini
didapatkand ari pernyataan dari partisipan dan juga hasil obeservasi.
Berikut adalah ungkapan dari partisipan:
1.
Pernah
62
Lupa
Tema ini didapat dari jawaban partisipan dengan peneliti kembali
mengajukan pertanyaan jika dalam 1 bulan ada berpa pasien yang terjadi flebitis.
Berikut adalah pernyataan partisipan:
...Ya kalau nyeri kemerahan banyak, bengkak juga banyak juga
tapi lebih banyak nyeri dan kemerahan...(P01)
...wah nek piro ne lali dek, masalahe yow mikire ora kui thok
lali aku dek tp okeh kok dek...(P02)
...tidak pasti dek berapanya,saya lupa juga...(P03)
...wahh berapanya lupa tapi seringnya belum sampai parah udah
diganti dek kalau pas ketahuan kalau nggak ketahuan ya sampai
parah...(P04)
...berapa ya? Hmmm saya hanya beberapa saja tetapi teman
teman yang sering menjumpai, tapi kalau untuk sekedar perkiraan
ya 1 bulan itu kira-kira ada lah ya lebih dari 20 tapi tentu dengan
derajat yang berbeda-beda dek...(P05)
Kalimat pernyataan dari partisipan diatas adalah kalimat yang menjawab
tentang berapa dalam 1 bulan ada kejadian flebitis dibangsal kenanga. Terdiri dari
lima partisipan dan empat dari lima partisipan itu menyatakan lupa akan berapa
yang terjadi flebitis. Namun satu dari lima partisipan menyatakan kira-kira itu ada
lebih dari dua puluh pasien terjadi flebitis.
Dari observasi yang didapatkan oleh peneliti bahwa dari lima partisipan
yang melakukan pemasangan infus terdapat satu pasien yang terjadi flebitis
dengan skala 3 demikian infus dipasang oleh P04 namun flebitis terjadi pada hari
63
ke enam setelah pemasangan infus yang tidak lain berarti flebitis terjadi dihari
lebih dari hari standar yang memang ditentukan dalam teori. Kemudian pada
pemasangan infus yang telah dilakukan oleh P03 dengan skala 2 terjadi flebitis
pada hari ketiga setelah pemasangan. Kemudian pemasangan infus yang
dilakukan oleh P01, P02 dan P05 terjadi flebitis di skala 1 namun yang
membedakan adalah terjadi pada hari yang berbeda. Pada pasien yang dipasang
oleh P01 terjadi flebitis pada hari kedua setelah pemasangan infus. Sedangkan
pemasangan infus yang dilakukan oleh P02 terjadi flebitis pada hari ketiga setelah
pemasangan infus dan pemasangan infus yang dilakukan oleh P05 terjadi flebitis
pada hari keempat setelah pemasangan infus. Dari kelima partisipan memiliki
perbedaan dalam kejadian flebitis. Namun yang paling banyak terjadi flebitis di
skala 1.
4.3.8. Intervensi pasien flebitis
Hasil penelitian ini didapatkan dari pernyataan partisipan dari pertanyaan
peneliti tentang tindakan jika pasien mengalami flebitis. Dari pernyataan
partisipan tersebut muncul tema-tema sebagai berikut: 1. Ganti lokasi, 2. Melepas
infus. Tema-tema tersebut akan dijelaskan dibawah. Berikut adalah ungkapan
kalimat dari partisipan:
1.
Ganti lokasi
Tema ini didapatkan dari parnyataan semua partisipan dengan pertanyaan
64
diganti
dengan
yang
baru
lokasi
baru
Tindakan yang dilakukan partisipan ini memang sudah benar jika setelah
terjadi flebitis kemudian diganti dengan lokasi pemasangan infus yang baru dilain
vena. Dari semua partisipan mengungkapkan bahwa memang diganti lokasi
setelah terlihat ada kejadian flebitis.
2.
Melepas infus
Tema ini didapatkan dari partisipan 3, 4, dan 5. Yang menyebutkan bahwa
jika terjadi flebitis pada pasien tindakan yang dilakuka oleh partisipan adalah
melepas infus dengan segera. Berikut adalah ungkapan dari partisipan:
...Infus lama dilepas ganti yang baru biar tidak nyeri...(P03)
...paling dilepas terus diganti dengan yang baru lokasi baru
juga...(P04)
...dilepas terus
juga...(P05)
diganti
dengan
yang
baru
lokasi
baru
Dari ketiga partisipan diatas menyatakan bahwa jika ada pasien yang
terjadi flebitis, partisipan melepas infus yang terpasang pada lokasi terjadinya
flebitis. Dan dari hasil obervasi pula peneliti dapat melihat bahwa jika ada yang
terjadi flebitis memang partisipan melepas infus pada daerah yang terjadi flebitis.
Tindakan ini juga merupakan tindakan alternatif jika ada pasien yang terjadi
flebitis. Tindakan ini dinyatakan lebih dari setengah partisipan yang terlibat secara
65
langsung dengan penelitian ini. Maka dari itu dari ketiga partisipan ini sudah
menunjukan bahwa rata-rata tindakan yang bisa dilakukan saat terjadi flebitis
salah satunya adalah melepas infus dari lokasi yang terjadi flebitis.
4.3.9. Penyebab flebitis
Hasil penelitian ini didapatkan dari partisipan yang menjawab pertanyaan
dari peneliti tentang penyebab flebitis pada pasien partisipan. Dari pernyataan
partisipan telah ditemukan tema-tema sebagai berikut: 1. Aktifitas fisik, 2.
Transfusi darah, 3. Cairan infus, dan 4. Kebersihan. Tema-tema tersebut akan
diuraikan sendiri-sendiri.
Berikut adalah ungkapan kalimat dari partisipan:
1.
Aktifitas fisik
Tema ini didapatkan dari pernyataan partisipan 1, 2, 3, dan 4 yang
mengatakan bahwa aktifitas fisik juga mempengaruhi kejadian flebitis. Berikut ini
adalah ungkapan partisipan:
...Ya biasanya pergerakan fisik yang terpasang infus dek, bisa
juga karena cairan infus, transfusi darah, kurang steril dan lain
lain...(P01)
...cairan infus, transfusi darah, aktifitas fisik pasien, ya namanya
kelas 3 dek ngerti dewe tho?...(P02)
...aktifitas fisik pasien, cairan infus, transfusi darah, dan masih
banyak lagi...(P03)
...banyak faktor ya tetapi yang sering disini itu cairan infus,
transfusi darah, aktifitas fisik pasien, kebersihan juga kali
ya...(P04)
66
dilakukan oleh peneliti bahwa yang partisipan lakukan pemasangan infus tersebut
ada yang semua aktifitasnya berada di tempat tidur. Salah satu aktifitas tersebut
mulai dari BAB, BAK dan lain sebagianya. Seperti yang terjadi pada pasien yang
dilakukan pemasangan infus oleh P02 dan P05 adalah pasien yang semua aktifitas
fisiknya dilakukan ditempat tidur.
Obervasi yang terlihat bahwa pada saat pemasangan infus pasien dari partisipan
P02 dan P05 ada tahapan infus yang tidka dilakukan oleh partisipan. Yang
tergolong dalam pasien yang banyak bergerak adalah pada pasien yang dipasang
infud oleh P04. Sedangkan pada pasien yang dipasang infus oleh P01 dan P03
dilihat dari hasil observasi dalam aktifitasnya pasien ini tidak terlalu banyak
aktifitas fisik tetapi juga kadang-kadang melakukan aktifitas fisik. Jika dapat
disimpulkan bahwa dari keliama pasien yang terpasang infus yang banyak
melakukan aktifitas hanyalah ada satu yaitu pasien yang dipasang infus oleh P04.
2.
Transfusi darah
Tema ini didapatkan dari pernyataan semua partisipan yang menjawab
67
68
3.
Cairan infus
Tema ini didapatkan dari hasil pernyataan yang diungkapkan oleh
Kebersihan
Tema ini didaptakan dari hasil pernyataan partisipan yang mengungkapkan
69
70
1.
pemasangan infus. Tema ini merupakan tahapan kerja pada SOP pemasangan
infus yang ada pada RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Tema ini
merupakan tahapan kerja yang tidak dilakukan oleh partisipan saat melakukan
pemasangan infus. Tidak mempertahankan vena pada posisi stabil ini dilakukan
oleh bebarapa partisipan diantaranya adalah P01, P02 dan P05.
2.
Memakai hanschoon
Dalam melakukan pemasangan infus yang dilakukan oleh partisipan
aturan atau SOP RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri dilakukan
melingkar dari dalam keluar. Namun kenyataan yang ada partisipan melakukan
dengan naik turun dan berulang kali. Tema ini didapatkan dari tahapan kerja
71
dalam SOP yang tidak dilakukan oleh partisipan. Dari kelima partisipan semua
melakukan hal yang sama saat melakukan disinfektan.
4.
Soediran Mangun Sumarso Wonogiri ini adalah lembar observasi yang digunakan
oleh peneliti karena peneliti menganggap bahwa SOP ini adalah pedoman dari
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri itu sendiri dalam melaksanakan
semua tindakan keperawatan terutama dalam pemasangan infus. Namun jika
dilihat dari observasi tindakan ini tidak dilakukan oleh P01 dan P02 saat
melakukan pemasangan infus.
5.
Sumarso Wonogiri yang tidak dilakukan oleh partisipan yang terlibat langsung
dalam penelitian ini. Meletakkan tourniquet 5 cm proksimal yang akan ditusuk
merupakan tahapan yang mendukung kesuksesan dalam pemasangan infus. Dari
kelima partisipan yang tidak melakukan tahapan SOP ini ada empat yaitu P01,
P03, P04, dan P05.
6.
pemasangan infus ini sepertinya tidak terlalu mempengaruhi kejadian flebitis yang
ada pada partisipan namun biarpun begitu tahapan-tahapan SOP yang ada
seharusnya semua dilakukan. Karena sebagai perawat yang profesional
seharusnya memang melakukan segala tindakan keperawatan dengan sesuai
72
aturan yang telah dibuat oleh RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.
Ataupun pedoman SOP dari manapun jika memang SOP itu dibuat untuk
pedoman dalam bekerja untuk mencapai tujuan yang sama seharusnya dapat
dipatuhi.
4.3. Pembahasan
4.3.1. Pengertian SOP
Menurut teori dari (Perry dan Potter 2005) bahwa pengertian SOP adalah
Suatu standar / pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan
menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar
operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang
harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Sedangkan dari
hasil wawancara yang dilakukan peneliti dihasilkan tanggapan seperti diatas
bahwa kebanyakan partisipan mengetahui SOP itu adalah sebuah aturan padahal
dalam teori yang telah disebutkan (Perry dan Potter 2005) diatas menyatakan
bahwa SOP itu tidak hanya sebuah aturan saja.
Bagi partisipan aturan mewakili dari pengertian SOP. Ada juga partisipan
yang mengatakan bahwa SOP adalah aturan baku. Aturan baku yang merupakan
aturan yang harus sudah dibuat dan harus dilaksanakan tetapi pada kenyataan
yang ada aturan baku itu hanyalah sebuah tulisan yang dibuat dan dibiarkan begitu
saja tanpa harus melaksanakannya. Ada salah satu partisipan yang mengatakan
standar berarti aturan. Dalam pelaksanaannya partisipan yang mengatakan
demikian juga tidak melaksanakan SOP sesuai dengan standar atau aturan yang
73
74
selesai begitu saja tetapi pasien akan tetap menuntut kebutuhan yang tidak
meninggalkan dampak buruk hari. Dimana kondisi itu belum sepenuhnya sesuai
dengan SOP yang menjadi telahacuhan dibangsal yaitu SOP yang telah dibuat
oleh RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.
4.3.3. Pemasangan belum sesuai SOP
Menurut teori dari (Perry dan Potter 2005) bahwa pengertian SOP adalah
Suatu standar / pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan
menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar
operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang
harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Namun kenyataan
yang ada dilapangan saat melakukan penelitian peneliti mendapati bahwa hampir
semua partisipan belum melakukan pemasangan infus yang sesuai dengan SOP
yang berada di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Partisipan
menyatakan belum melaksanakan tindakan sesuai SOP. Jika tindakan terbiasa
dilakukan sesuai dengan SOP mungkin semua bisa terselesaikan tanpa ada
keluhan lama dari partisipan. Disisi lain partisipan mengungkapkan bahwa jika
dilakukan tindakan sesuai SOP itu membutuhkan waktu lama. Namun keadaan
berbeda, partisipan memang sudah terbiasa tidak menggunakan SOP saat
melakukan tidakan keperawatan. Partisipan sebenarnya juga mengetahui dampak
dari tindakan yang belum sesuai SOP tersebut namun SOP memang belum bisa
dilakukan secara lengkap.
75
76
mendukung pemberian asuhan keperawatan yang baik untuk semua pasien tanpa
harus membedakan status sosial pasien. Karena seorang profesi perawat dituntut
untuk profesional dalam melakukan suatu tindakan sesuai dengan prosedur yang
berlaku. Dari pihak RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri sendiri sudah
memberikan sebuah prosedur dalam melakukan segala tindakan yang keperawatan
yaitu SOP. SOP yang sesuai dengan judul penelitian ini adalah SOP pemasangan
infus.
4.3.6. Alasan infus diganti kurang dari 3 hari
Teori pergantiaan infus menurut (Hidayat 2008) infus seharusnya diganti
48-72 jam sekali dengan infus set yang baru. Jika dilihat dari kenyataan yang ada
dengan teori yang dinyatakan (Hidayat 2008), kondisi saat infus diganti kurang
dari 3 hari diungkapkan oleh partisipan. Hal tersebut dipicu oleh yang
menyebabkan infus tersebut memang harus diganti agar tidak menimbulkan halhal yang lebih buruk dari kejadian yang sudah ada saat itu. Pergantian infus
kurang dari 3 hari memang baik adanya jika dilakukan karena berdasarkan oleh
teori yang ada. Tetapi jika infus diganti kurang dari 3 hari dengan alasan karena
banyak faktor seperti bengkak, flebitis merupakan hal yang kurang baik pula
dalam segi hal keselamatan pasien. Karena kejadian pemasangan infus yang
menimbulkan komplikasi saat ini bukan lagi hal yang dapat diabaikan begitu saja
karena melihat dari dampak yang ada saat ini memang membuat kerugian bagi
pasien. Untuk mencegah pasien dengan komplikasi pemasangan infus salah satu
caranya adalah dengan melakukan pemasangan infus sesuai dengan SOP atau
77
pedoman standar pemasangan infus yang telah disediakan oleh RSUD dr.
Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.
4.3.7. Angka kejadian flebitis dalam 1 bulan
Flebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme
yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti
dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam (Darmadi
2008). Partisipan mengatakan pernah ada pasien yang mengalami flebitis. Dari
semua partisipan mengungkapakan bahwa dibangsal tersebut pernah ada bahkan
sering terjadi flebitis namun dalam tahapan yang berbeda-beda. Mengingat flebitis
adalah infeksi nosokomial yang dialami pasien selama dirawat dirumah sakit.
Maka dari itu setidaknya sebagai seorang perawat wajib mencegah terjadinya
infeksi nosokomial. Saat peneliti mengajukan pertanyaan ada berapa pasien yang
mengalami kejadian flebitis lima dari satu partisipan menjawab kurang lebih ada
dua puluh pasien yang terjadi flebitis. Namun keempat partisipan menjawab lupa.
Tema yang didapatkan menunjukan bahwa memang tidak ada pencatatan angka
kejadian infeksi nosokomial terutama flebitis.
Obervasi yang dilakukan oleh peneliti bahwa saat melakukan penelitian
yang belum genap satu bulan yaitu baru sekitar satu minggu lebih sudah ada
angka kejadian flebitis di skala satu yang terjadi pada hari ke dua dan ke tiga
setelah pemasangan infus dibangsal. Sedangkan pemasangan yang dilakukan oleh
partisipan lain bahwa terjadi flebitis di skala dua yang terjadi pada hari ke tiga.
Menurut teori dari (Hidayat 2008) infus seharusnya diganti 48-72 jam sekali
dengan infus set yang baru. Kondisi lamanya pemasangan infus sudah sesuai
78
dengan teori yang ada jika memang diganti pada hari ke tiga setelah pemasangan
namun pergantian yang terjadi dengan alasan terjadinya flebitis di skala satu dan
dua. Kondisi lain yang berbeda terjadi pada pasien yang dipasang infus oleh
partisipan berikutnya dengan kondisi kejadian flebitis pada hari ke enam setelah
pemasangan infus. Kenyataan yang ada ini menunjukkan bahwa tidak sesuainya
penggantian infus dengan teori yang ada. Meskipun pada hari ketiga kondisi infus
masih bagus belum ditemukan gelaja flebitis. Namun sesuai dengan observasi
memang belum diganti.
4.3.8. Intervensi pasien flebitis
Flebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme
yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti
dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam (Darmadi
2008). Tindakan partisipan ini sudah sangat benar mendukung untuk mencegah
terjadinya flebitis yang lebih parah. Terbukti sudah semua partisipan melakukan
tindakan tersebut. Tindakan melepas infus dan ganti lokasi setelah terlihat adanya
flebitis dalam skala ringan maupun berat. Pada hasil penelitian yang diungkapkan
oleh (Handoyo&Endang 2007) bahwa penggantian lokasi pemasangan infus
merupakan tindakan alternatif dalam penanganan flebitis. Tindakan ini juga
diungkapkan oleh (Krzywda dan Edmiston 2002) bahwa tindakan mengganti infus
atau memasang dianggota badan lain merupakan terapi yang paling efektif untuk
menyembuhkan flebitis. Jika dilihat dari observasi peneliti bahwa memang jika
terjadi flebitis partisipan mengganti melepas dan lokasi pemasangan infus. Agar
79
tidak terjadi hal-hal yang lebih dari yang tidak diinginkan. Tindakan ini memang
sudah banyak dipraktikan dalm dunia kerja jika sudah terjadi flebitis.
4.3.9. Penyebab flebitis
Menurut (The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun
2002) dalam artikel intravaskuler catheter related infection in adult and
pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus adalah
stapylococus dan bakteri gram negatif. Ada pula penyebab lain yang dalam
pernyataan partisipan disebabkan oleh kebersihan. Misalnya pemakaian
hanschoon yang tidak bersih bahkan steril, karena pada saat pemasangan infus
hanschoon yang dipakai partisipan dalam keadaan kotor, bagaimana tidak
dikatakan kotor jika hanschoon yang dipakai sudah dipakai pada perawatan pasien
lain secara bergantian. Memang abocath yang akan dimasukan kedalam vena tidak
tersentuh oleh hanschoon karena hanschoonnya hanya memegang gagang abocath
tetapi hanschoon yang dipakai sudah jelas tentu dipakai untuk memegang kapas
alkohol untuk mendisinfektan kulit yang akan dipasang infus. Secara langsung
bakteri yang ada dihanschoon tersebut menempel pada kapas alkohol dan dipakai
untuk mendisinfektan lokasi yang akan dipasang.
Bakteri sudah ada dikulit kemudian kulit dipasang infus ada banyak
kemungkinan bakteri tersebut ikut masuk kedalam abocath yang masuk kedalam
vena sehingga menjadi penyebab terjadinya flebitis. Itu salah satu alasan mengapa
keseterilan yang harus dijaga saat pemasangan infus. Hanschoon yang bersih juga
bisa mempengaruhi kejadian flebitis. Jika dilihat dari observasi dapat disimpulkan
80
bahwa kejadian flebitis pada pasien yang dipasang infus oleh partisipan ini
disebabkan oleh kebersihan dari lokasi pemasangan infus. Aktifitas fisik juga
menjadi salah satu penyebab terjadinya flebitis jika pasien terlalu banyak
bergerak. Didukung oleh pernyataan (Workman dalam Mustofa 2007) penyebab
flebitis dari fisik: Terjadi karena faktor bahan kanul yang digunakan berdiameter
besar, sehingga mempermudah pecahnya pembuluh darah flebitis dapat pula
terjadi jika pemasangan tidak pada tempat yang baik, misalnya siku atau
pergelangan tangan. Transfusi darah seperti yang diungkapkan oleh partisipan
juga menjadi penyebab terjadinya flebitis, jika pasien melakukan trasnfusi darah
secara langsung dapat menghambat darah masuk kedalam tubuh karena darah jika
lama-lama berada diluar daerah panas akan mengental dan menyebabkan
penyumbatan pada abocath hingga mengakibatkan flebitis. (Hadaway 2006)
menerangkan bahwa beberapa cairan bisa dipergunakan dalam menjaga terjadinya
cloting akibat bekuan darah pada slang dan jarum infuse. Penggunaan cairan yang
tepat dapat menghilangkan clot/sumbatan tersebut diantaranya, sodium chloride,
heparin flush solution, ethylenediaminetetraacetate dan ethanol. Menurut (Booker
dan Ignaticus dalam Hening Pujasari 2002) bahwa pH cairan yang lebih rendah
memiliki resiko flebitis yang lebih tinggi, tetapi perlu juga diingat tentang
pemberian obat melalui intravena.
81
Cairan infus juga menjadi salah satu penyebab kejadian flebitis sesuai
dengan ungkapan partisipan. Karena ada cairan infus yang memiliki kandungan
yang dapat membuat tersumbat pada selang infus. Terjadi sumbatan jika terjadi
dalam waktu lama bisa menyebabkan peradangan pada daerah yang terpasang
infus sehingga dapat menyebabkan kejadian flebitis. Seperti pernyataan
(Workman dalam Mustofa 2007) penyebab flebitis dari kimia: biasanya iritasi ini
bersumber dari cairan intravena atau obat-obatan yang digunakan umumnya
cairan tersebut memiliki pH rendah dengan osmolaritas tinggi, sebagai contoh
adalah cairan dextrose hipertonik atau cairan yang mengandung kalium klorida.
4.3.10. Gambaran pemasangan infus yang tidak sesuai SOP
1.
Bare, 2002) bahwa dengan tangan yang tidak memegang peralatan akses vena,
pegang tangan pasien dan gunakan jari atau ibu jari untuk menegangkan kulit di
atas pembuluh darah. Fungsi dari prosedur yang dilakukan itu sama artinya
dengan membantu vena untuk menstabil agar lebih mudah dalam pemasangan
infus. Mempertahankan vena pada posisi yang stabil merupakan hal yang penting
dalam pemasangan infus. Jika tidak dilakukan kemungkinan abocath tidak akan
terpasang pada tempat yang benar pada vena. Mempertahankan posisi vena stabil
mempengaruhi keberhasilan dalam pemasangan infus.
Mengingat vena mudah saja hilang setelah diraba jika tidak dipertahankan
dengan stabil. Hingga bisa mengakibatkan vena terluka dan terjadinya flebitis.
Tahapan kerja pada SOP ini tidak dilakukan oleh partisipan setiap kali
82
83
84
kali. Sudah pasti bakteri dan virus yang ada dihanschoon pindah dikulit dan dapat
mempenaruhi kejadian flebitis. Dalam jurnalnya (Elizabeth Ari, Lidwina Triastuti,
dan Sisilia Heni tahun 2009) didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna atau signifikan antara kejadian infeksi pada pemasangan infus dengan
disinfektan cara spray dengan cara oles. Namun demikian cara disinfektan yang
yang dilakukan dengan cara oles pun harus sesuai dengan SOP pemasangan infus
dan kewaspadaan universal untuk mendapatkan hasil seperti penelitian tersebut.
Namun jika dilakukan seperti dalam penelitian yang dilakukan partisipan ini bisa
sangat mempengaruhi kejadian infeksi seperti flebitis mudah saja terjadi.
4. Melakukan desinfeksi tutup botol cairan
Melakukan desinfektan tutup botol cairan merupakan salah cara yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi. Seperti yang diungkap oleh
(Nursalam 2007) bahwa Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian
infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko
penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh
dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas
kesehatan. Dalam pelaksanaannya tahapan dari SOP pemasangan infus ini tidak
dilakukan oleh partisipan saat melakukan pemasangan infus. Jika melakukan hal
ini tentunya dilakukan dengan hanschoon dan kapas alkohol yang tidak
terkontaminasi agar tidak terjadi infeksi. Karena tema ini didapatkan dari tahapan
kerja SOP yang tidak dilakukan dalam pemasangan infus. Secara langsung sangat
berhubungan dengan tema-tema yang yang lainnya. Berkesinambugannya tema
ini memperkuat terjadinya flebitis pada pasien yang terpasang infus tidak sesuai
85
dengan SOP. Disinfektan tutup botol cairan berarti membersihkan tutup botol
cairan yang akan dipasang pada infus pasien. Tujuannya agar kuman-kuman yang
ada pada tutup botol cairan infus yang terkontaminasi dari luar tidak masuk
kedalam tutup botol yang ada didalam. Pencegahan ini merupakan langkah awal
untuk mencegah kuman yang masuk.
5. Meletakkan tourniquet 5 cm proksimal yang akan ditusuk
Meletakkan tourniquet 5 cm proksimal yang akan dilakukan penusukan
merupakan hal yang penting juga karena hal ini dapat mempengaruhi tema yang
mempertahankan vena pada posisi stabil. Tourniquet adalah salah satu alat yang
digunakan untuk mendukung tema yang mempertahankan vena dalam posisi
stabil. Setiap SOP yang berhubungan dengan vena ataupun arteri itu
membutuhkan tourniquet yang berguna untuk membendung vena atau
mempertahankan vena pada posisi stabil agar dalam pemasangan infus atau
pengambilan darah dapat sesuai dengan yang diinginkan dalam keberhasilannya
dan tidak menimbulkan komplikasi. Tourniquet diletakkan 5 cm dari lokasi
pemasangan infus karena jika dilakukan kurang dari 5 cm akan mengganggu
proses penusukan abocath kedalam vena.
Namun tahapan ini tidak sepenuhnya dilakukan menggunakan tourniquet
yang tersedia dilokasi melainkan partisipan menggunakan selang infus bekas yang
dipotong sehingga bisa digunakan dalam pemasangan infus sebagai pengganti
tourniquet. Fungsi dari selang infus yang dipotong itu memang hampir sama
dengan tourniquet namun tourniquet yang memang sudah tersedia dan sudah
menjadi standar nasional dalam penggunaan nya pada pemasangan infus.
86
87
BAB V
PENUTUP
Bagian ini merupakan bagian akhir dari laporan hasil penelitian yang
menjelaskan kesimpulan dan saran. Simpulan yang dibuat berdasarkan kategori
yang ada dan tema-tema yang telah ditemukan dalam penelitian, dampak dari
pelaksanaan pemasangan infus yang tidak sesuai SOP, Prosentase kejadian flebitis
dan analisa gambaran pelaksanaan pemasangan infus yang tidak sesuai SOP.
Sedangkan saran yang dibuat bagi rumah sakit, institusi pendidikan, peneliti lain
dan peneliti.
5.1. Simpulan
5.1.1. Gambaran pelaksanaaan pemasangan infus
1. Pengertian SOP
Hasil penelitian pada partisipan dari pertanyaan tentang pengertian SOP
ditemukan tema sebagai berikut : 1. Aturan, 2. Standar. Tema-tema yang telah
didapatkan adalah pernyataan dari partisipan pada saat menjawab pertanyaan dari
partisipan.
2. Pelaksanaan SOP dibangsal
Hasil penelitian pada partisipan dari pertanyaan tentang pelaksanaan SOP
dibangsal ditemukan tema sebagai berikut : 1. Jarang dipraktikan, 2. Tidak hafal,
3. Melihat sikon. Tema-tema yang telah didapatkan itu adalah pernyataan dari
partisipan pada saat menjawab pertanyaan dari peneliti.
88
89
90
91
92
terungkap dari perawat namun yang paling banyak dan sering dikeluhkan adalah
tuntutan pekerjaan yang banyak.
5.2. Saran
5.2.1. Bagi rumah sakit
1. Sebagai bahan masukan untuk perawat di RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kabupaten Wonogiri dalam meningkatkan kualitas pelayanan
asuhan keperawatan pada pasien. Terutama untuk pemasangan infus harus
sesuai dengan standar SOPuntuk meminimalkan tingkat kejadian flebitis.
2. Sebagai sumber dokumen diperpustakaan RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Kabupaten Wonogiri.
5.2.2. Bagi Institusi Pendidikan
1. Sebagai bahan acuan bagi pendidikan tentang gambaran pelaksanaan
pemasangan infus yang tidak sesuai SOP terhadap kejadian flebitis dalam
menyampaikan teori tentang flebitis.
2. Sebagai bahan penelitian lebih lanjut tentang gambaran pelaksanaan
pemasangan infus yang tidak sesuai SOP terhadap kejadian flebitis lebih
banyak ditemukan diskala berapa.
5.2.3. Bagi Peneliti Lain
1. Penelitian ini dapat menjadi acuan oleh peneliti lain untuk meneliti kembali
tentang kejadian flebitis.
2. Adanya hal-hal yang kurang dalam penelitian ini bisa menjadi bahan oleh
peneliti lain meneliti lebih lanjut.
93
DAFTAR PUSTAKA
Handoyo dan Endang Trianto (2007) analisis tindakan perawatan yang dilakukan
pada pasien denganphlebitis di rsud prof dr. Margono soekardjo
purwokerto, Pengajar Program Sarjana Keperawatan Universitas Jenderal
Soedirman. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of
Nursing), Volume 2, No.2 Juli 2007
Hening Pujasari (2002) Angka Kejadian Plebitis dan Tingkat Keparahannya,
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol.:6, No.1 , Penerbit FIK UI, Jakarta,
Maret, 2002.
Hidayat, A. Aziz Alimul (2008), Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta:
Salemba Medika.
Hindley, G. (2006). Infection control in peripheral cannulae. Nursing Standard,
18(27).
Ignatavicius, D.D., & Workman, ML. (2010). Medical-surgical nursing, Patientcentered collaborative care. 6th Edition. St. Louis: Saunders Elsevier Inc.
Krzywda dan Edmiston (2002) Central Venous Catheter Infections, Journal of
Infusion Nursing 25 (1), 29-35
Maria, Ince & Kurnia, Erlin. (2012). Kepatuhan Perawat Dalam Melaksanakan
Standar Prosedur Operasional Pemasangan Infus Terhadap Phlebitis.
Jurnal STIKES Volume 5, No.1, Juli 2012.
Mustofa (2007). Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Perawat Mengenai
Kontrol Infeksi Terhadap Perilaku Pencegahan Kejadian Flebitis Di Ruang
Rawat Inap RSD Sunan Kalijaga Demak, Skripsi, Universitas
Diponegoro Semarang.
Philips, L.D. (2005). Manual of iv therapeutics. Fourth Edition. Philadelphiaa: FA
Davis Company.
Polit, DF & Beck, CT (2006), Essentials Of Nursing Research Methods,
Appraisal, and Utilization, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia
Polit, DF & Hungler, BP (2005), Nursing Research : Principles and Methods, 6th
edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia
Potter dan Perry (2005). Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik.
Jakarta: EGC
Prastika Daya, Sri Susilaningsih dan Afif Amir A. (2012). Kejadian Flebitis di
RSUD Majalaya Universitas Padjadjaran Bandung.
Saryono & Anggraeni, MD (2010), Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam
Bidang Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta
Smeltzer dkk. (2001). Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 1 Edisi 8
Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G (2002), Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh
Agung Waluyo(dkk), EGC, Jakarta.
Subagyo, Joko P. (2004). Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, PT Asdi
Mahasatya, Jakarta.
Sutopo, HB (2006), Metodologi Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian,
Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta
Wayunah (2011). Hubungan pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan
kejadian flebitis dan kenyamanan pasien diruang rawat inap rumah sakit
umum daerah (RSUD) Kabupaten Indramayu, Tesis, Universitas
Indonesia Jakarta.