Lapsus DHF
Lapsus DHF
Lapsus DHF
Penyakit Dengue Hemorrhagic fever (DHF) merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DHF, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas. Laporan yang ada sampai saat ini penyakit DHF sudah menjadi masalah yang endemis pada 122 daerah tingkat II, 605 daerah kecamatan dan 1800 desa/kelurahan di Indonesia. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DHF di Indonesia terus meningkat dari 0,05% (1968) menjadi 14,9% (1997), dengan angka kematian menurun dari 41,3% (1968) menjadi 2,3% (Maret 1998). Namun demikian angka kematian DHF berat/Dengue Shock Syndrome (DSS) masih tetap tinggi. Data yang terkumpul dari tahun 1968-1993 menunjukkan DHF dilaporkan terbanyak terjadi pada tahun 1973 sebanyak 10.189 pasien dengan usia pada umumnya di bawah 15 tahun. Penyakit DHF pertama kali terjadi di Filipina pada tahun 1953, yaitu pada waktu terdapatnya epidemi demam yang menyerang anak disertai manifestasi dan renjatan (syok). Pada tahun 1958, meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah tahun 1958, penyakit ini dilaporkan berjangkit kembali di Filipina dan tempat-tempat lain di Asia Tenggara. Di Indonesia, DHF pertama kali dicurigai terjadi di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di tahun 1970 terdapat 9 negara epidemik DHF, dan sekarang jumlah itu meningkat 4 kali lipat di sejumlah negara-negara. Saat ini DHF telah menjadi epidemik dibeberapa negara di Afrika, Amerika dan Asia, dimana merupakan penyebab utama kematian anakanak. Sampai saat ini, dari sekian faktor yang mempengaruhi angka kematian adalah kesukaran menduga penderita DHF mana yang akan mengalami renjatan, renjatan berulang dan berakhir dengan kematian. Dalam perjalanan penyakit DHF syok merupakan kejadian yang terpenting, karena menimbulkan akibat yang luas dan fatal. Mekanisme yang mendasari terjadinya syok tersebut adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga terjadi hipovolemik dengan
1
curah jantung yang turun. Terjadinya syok merupakan manifestasi mekanisme kompensasi tubuh terhadap kemungkinan terjadinya gagal sirkulasi.
2.1 Infeksi Virus Dengue Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus Flvivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotype yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotype dengue terdapat di indonesia, DEN-3, merupakan serotype dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotype DEN-2. Spektrum klinis infeksi dengue dapat dibagi menjadi (1) gejala klinis paling ringan tanpa gejala (silent dengue infection), (2) demam dengue (DD), (3) Demam berdarah dengue (DBD), dan (4) DBD disertai syok (sindrom syok dengue/DSS). 2.2 Epidemiologi Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka kematin berkisar 4000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan diseluruh provinsi di indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dri 0,05 per 100.000 penduduk (1985-1995). Mortalitas DBD cendrung menurun hingga 2% tahun 1999. Umur terbanyak yang terkena infeksi dengue adalah kelompok umur 4-10 tahun, walaupun makin banyak kelompok umur lebih tua.
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32 C) dengan kelembaban yang tinggi nyamuk aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di indonesia,karena suhu udara dan
3
kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadiya agak berbeda disetiap tempat. Di jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan april-mei setiap tahun.
2.3 Penularan Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir diseluruh pelosok indonesia, terutama ditempat-tempat dengan ketinggian kurang dari 1000 meter diatas permukaan air laut. Populasi nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim huan, tetapi nyamuk aedes aegypti juga dapat hidup dan berkembang biak pada tempat penampungan air sepanjang tahun. Satu gigtan yamuk yang telah terinfeksi sudah mampu untuk menimbulkan penyakit dengue pada orang sehat. Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yag terinfeksi dengue, virus akan mengalami masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien akan mengalami gejala demam akut disertai berbagai gejala dan tanda non spesifik. Selama masa demam akut yang dapat berlangsung 2-10 hari, virus dengue dapat bersirkulasi di peredaran darah perifer. Jika nyamuk A. Aegypti lain menggigit pasien pada fase viremia ini, nyamuk tersebut akan terinfeksi dan dapat mentransmisikan virus pada orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-12 hari.
4
2.4 Patogenesis Patogenesis DHF dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement. Halstead menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous infection. Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotype virus dengue yang heterolog mempunyai resiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/ lebih berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag ( respon antibodi anamnestik). Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks antigenantibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok.
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti dengan
5
adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan didalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun
pada
tubuh
nyamuk.
Kompleks antigen antibodi selain mengaktivas sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi mealui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphospate), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (retikuloendothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada aat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet factor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID= koagulasi intravaskular disseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
Agregasi trombosit ini akan mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktifasi faktor haegeman sehingga terjadi aktifasi sistem kinin
9
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan akibat (KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi. 2.5 Gejala Klinis DHF Pada penderita yang simtomatis, gejala klinis infeksi virus dengue timbul pada 4-7 hari (dapat berkisar antara 3-14 hari) setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi. Perjalanan penyakit dengue meliputi 3 fase, yaitu: fase demam (febrile phase), fase kritis (critical phase), dan fase perbaikan (recovery phase). Gambar berikut menunjukan perjalanan penyakit dan karakteristik klinis dan laboratoris pada masing-masing fase:
Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa fase kritis dimulai pada hari ketiga sejak timbulnya gejala awal, atau sering disebut day of defervescence. Oleh karena itu, pengenalan tanda klinis awal infeksi dengue pada hari ke-1 sampai ke-3 berperan penting untuk meningkatkan kewaspadaan dalam pemantauan dan evaluasi penderita.
10
A. Fase Demam Fase demam ditandai oleh gejala yang mendadak berupa demam tinggi antara 39C dan 40C selama 2-7 hari (pada DBD terjadi 3 hari sebelum memasuki fase kritis). Sebanyak 5-6% penderita menunjukan tipe demam yang khas yaitu pola bifasik (saddleback fever) yang ditandai oleh demam selama beberapa hari pada awal sakit, diikuti dengan hilangnya demam selama beberapa hari, dan diakhiri dengan berulangnya demam selama 12-24 jam. Gejala demam sering kali disertai dengan gejala lain berupa: nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, artralgia sehingga timbul istilah break bone fever. Namun, gejala ini tidak seluruhnya didapatkan pada penderita anak dibawah 15 tahun, dengan frekuensi gejala: demam sebanyak 90% dan nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, artralgia sebanyak 63-78%.7 B. Fase Kritis Fase kritis biasanya terjadi pada hari ke-3 sakit dan berlangsung selama 24-48 jam. Fase ini ditandai oleh: 1. 2. 3. Penurunan suhu tubuh menjadi 37,5C-38C atau lebih rendah yang biasanya berlangsung pada hari ke-3 sampai 7 Peningkatan permeabilitas kapiler atau kebocoran plasma diikuti oleh peningkatan hematokrit, penurunan trombosit, dan peningkatan enzim aminotransferase. Nyeri abdomen ditemukan pada 60% kasus, yang merupakan petanda awal terjadinya kebocoran plasma. Peningkatan permeabilitas kapiler yang mendahului kebocoran plasma menyebabkan terjadinya efusi pleura dan ascites. Pemeriksaan penunjang dengan ultrasonografi (USG) thorak dan abdomen dapat mendeteksi adanya kebocoran plasma lebih cepat, sekitar 2 hari sebelum fase kritis (day of defervescence) atau 3 hari setelah onset demam. Pada penderita dengan kebocoran plasma, harus diawasi adanya nyeri abdomen hebat disertai vomiting persisten, perubahan mendadak dari demam ke hipotermi, letargi atau gelisah karena menunjukan tanda-tanda awal terjadinya DSS. Manifestasi DSS pada anak terdiri atas: 1. Peningkatan frekuensi dan penurunan amplitudo nadi. Nadi menjadi cepat dan lembut sampai tidak teraba. Tanda ini sering kali merupakan tanda paling awal terjadinya syok
11
2. 3. 4.
Kulit (akral) menjadi pucat, dingin, dan lembab akibat insufisiensi sirkulasi perifer sehingga terjadi aktivasi saraf simpatis Perubahan kesadaran penderita, dimulai dari rewel, cengeng, kemudian gelisah , dan pada tahap lanjut dapat terjadi sopor dan koma akibat insufisiensi perfusi serebral. Tekanan nadi menurun di bawah 20 mmHg, diikuti dengan penurunan tekanan sistolik di bawah 80 mmHg. Perubahan tekanan darah timbul pada tahap lanjut, sehingga bukan merupakan tanda awal terjadinya syok
5.
Oliguria atau anuria karena insufisiensi perfusi ginjal Keadaan syok ini akan berlangsung selama 24-48 jam sehingga pada keadaan ini
diperlukan resusitasi cepat dan adekuat untuk mencegah syok berulang.7 C. Fase Perbaikan Jika pasien mampu bertahan dari fase kritis, terjadi reabsorbsi gradual dari cairan ekstraseluler ke dalam intravaskuler pada 48-72 jam setelah fase kritis. Secara klinis, didapatkan perbaikan keadaan umum, nafsu makan, gejala gastrointestinal, keadaan hemodinamik, dan diuresis. Beberapa penderita menunjukan ruam penyembuhan dengan gambaran ruam kemerahan menyeluruh di tubuh, terutama dorsum manus dan pedis, dengan gambaran kulit normal di sekitarnya. Ruam ini sering kali disertai dengan pruritus. Selain itu, pada umumnya didapatkan bradikardi dan perubahan elektrokardiografi (EKG). Fase penyembukan ini berlangsung dalam beberapa hari sampai beberapa minggu, kadang disertai dengan gejala kelemahan atau mudah lelah. Secara laboratoris, didapatkan kadar hematokrit kembali normal atau menurun akibat efek dilusi dari reabsobsi cairan ekstravaskular. Jumlah leukosit dan trombosit kembali meningkat, namun peningkatan trombosit seringkali terjadi setelah peningkatan leukosit. Pada fade ini perlu diperhatikan kemungkinan kelemahan cairan (fluid overload) dengan gejala distress napas akibat efusi pleura dan asites masif, serta akibat edema paru. Keadaan ini sering kali terjadi pada penderita yang mendapatkan cairan intravena dengan jumlah berlebihan atau pemakaian berkepanjangan. Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis perlu ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan. Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut : Derajat Gejala & tanda Laboratorium
12
DD
Demam 2-7 hari Disertai > 2 tanda: sakit kepala,nyeri retro orbita, mialgia,atralgia Hari ke 3-5 fase pemulihan (saat suhu turun), klinis membaik I II Gejala diatas (+) Disertai uji bendung positif Gejala diatas (+)
III
Trombositoenia (<100.000/ml) Kebocoran Disertai perdarahan spontan plasma (+) : Gejala diatas (+) peningkatan Ht Disertai tanda kegagalan > 20% sirkulasi Syok berat nadi tidak dapat
IV
2.6 Diagnosis Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO 1997 yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris, yaitu sebagai berikut: Kriteria klinis : 1) Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, anoreksia, muntah, lemah, nyeri kepala, nyeri otot dan persendian. 2) Terdapat manfestasi perdarahan ditandai dengan uji bendung positif, ptekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena 3) Hepatomegali 4) syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak terabba, penyempitan tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik), dan pasien tampak gelisah. Kriteria Laboratorium : 1) Trombositopenia (100.000/ml atau kurang) 2) Hemokonsentrasi (kadar Ht > 20% dari nilai standar)
13
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium ( atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis kera DBD. Kriteria infeksi virus dengue berdasarkan WHO 2009, yaitu: 1. 2. Hidup atau bepergian pada daerah endemik dengue Demam dengan 2 kriteria tambahan: a. b. c. d. e. f. Anoreksia dan nausea Ruam Nyeri (mialgia, artralgia) Uji torniket positif Leukopenia Terdapat tanda-tanda bahaya (warning sign)
Revisi WHO tahun 2009 dengan memberikan pedoman adanya tanda bahaya (worning signs) berupa: 1. 2. 3. 4. 5. Nyeri perut Vomiting persisten Akumulasi cairan secara klinis Perdarahan mukosa Hepatomegali > 2 cm cepat. Bila didapatkan adanya tanda-tanda bahaya pada penderita, perlu dilakukan rujukan untuk perawatan rumah sakit.
14
Gambar 2.6 Criteria for Dengue and warning sign (WHO, 2009) 2.7 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium darah perifer, meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah perifer untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru, peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD. Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis. Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin. Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostic melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%).
15
Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.13 Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan atas indikasi dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiolgis pada perembesan plasma 20-40%. Dapat juga untuk pemantauan klinis sebagai pedoman pemberian cairan. dan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.10 2.8 Penatalaksanaan Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Pemberian cairan intravena, sebatas cukup untuk mempertahankan sirkulasi yang efektif selama periode plasma leakage. Disertai pengamatan yang teliti dan cermat secara periodik, Berikut algoritma pemberian cairan pada penderita DBD:5
16
Gambar 2.8 Algoritma Demam Berdarah Dengue Derajat III, IV, atau DSS Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid (plasma) dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.12 Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.10,11 Kristaloid memiliki waktu
17
bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.13,14 Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan 7 dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch).13,14 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. 8 Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi. Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara
18
bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.12 Kriteria memulangkan pasien - Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik - Nafsu makan membaik - Secara klinis tampak perbaikan - Hematokrit stabil - Tiga hari setelah syok teratasi - Jumlah trombosit > 50.000/ml - Tidak dijumpai distres pernapasan.
DAFTAR PUSTAKA
19
Darmowandowo W, Setiono P,Soegijanto. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi Ke-3. RSU dr Soetomo Surabaya. 2008. Departemen Kesehatan RI.Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan. 2005. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana demam dengue/demam berdarah dengue pada anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai penerbit FKUI: 2002. IDAI. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Edisi ke-1. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. IDAI. 2010. Applied Management of Dengue Viral Infection in Children. Kediri. Soedarmo SSP. 2009. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Edisi ke-1. Jakarta : Universitas indonesia. Suvatte, V. Dengue emorrhagic fever Hematological abnormalities and pathogenesis. New development in pediatric research; vol 1. New Delhi: 1977. WHO. 1999. Demam Berdarah Dengue. Diagnosis, pengobatan, pencegahan dan pengendalian. Edisi ke-2. WHO.
20
1. Keterangan Umum Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Agama Masuk RS Tanggal Pemeriksaan : An. A : 4 tahun : Laki-laki : Nganjuk : Islam : 27 September 2012 : 27 September 2012
2.
Anamnesis Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 27 September 2012.
2.1
2.2
Riwayat Penyakit Sekarang Px rujukan dari RSU nganjuk dengan dx DBD datang dengan keluhan utama panas tinggi sejak 5 hari sebelum MRS . Panas timbul mendadak tinggi hingga 40 C, panas bersifat naik turun, panas turun setelah diberi parasetamol dan kemudian panas naik lagi. Sejak badan panas pasien juga mengeluh sakit kepala, pegal-pegal, dan sakit perut, selain itu keluarga pasien mengatakan bahwa perut pasien terlihat membesar sejak 3 hari sebelum MRS dan tampak muncul bintik-bintik merah pada kulit, di punggung , badan, tangan , dan kaki pasien, hari ini pasien tampak semakin
21
lemah, sesak dan tampak mengantuk terus. Pasien belum BAB sejak 5 hari sebelum MRS, BAK sedikit dan BAK terakhir pekat seperti teh. Pasien Tidak mau makan dan minum sejak mulai sakit. 2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Disangkal
2.4
2.5
Riwayat Penyakit Sosial (RPSos) Tetangga ada yang dirawat di RS karena DHF
2.6
Pasien dikandung kurang bulan, ibu ANC ke bidan tetapi tidak rutin kontrol. Ibunya tidak ada kelainan selama masa kehamilan Pasien lahir di bidan, kurang bulan, langsung menangis, tidak terdapat badan biru & kuning setelah lahir. BBL 2300 gr, PBL 2.7 Riwayat Pertumbuhan menurut ibu pasien pertambahan berat badan dan tinggi badan pasien terus meningkat sampai sekarang. Penimbangan berat dan panjang badan pada masa bayi dilakukan di posyandu. 2.8 Riwayat Perkembangan mengangkat kepala Tengkurap Duduk : usia 7 bulan :22
:-
Pasien tumbuh aktif seperti anak seusianya termasuk aktif bermain 2.9 Riwayat imunisasi :+ :+ :+ :+ :+
2.10 Riwayat makan Pasien mendapat ASI sejak lahir sampai usia 2 tahun. Saat sebelum sakit pasien makan banyak 3 kali sehari atau lebih, porsi cukup, Pasien makan dengan berbagai lauk setiap hari, sayur buah dan susu. Namun, saat sakit nafsu makan pasien menurun. 3. 3.1 Pemeriksaan Fisik Status Generalisata Keadaan umum Kesadaran GCS Vital Sign : tampak sakit berat : Somnolen : 456 : Tekanan darah Nadi RR : 90/x mmHg : 90 x/menit lemah : 45 x/menit
23
Suhu
: 38,2C
Tinggi badan : 96 cm Lingkar kepala: 50 cm Lingkar dada : 53 cm BB/U = Normal ( -2 SD s/d +2 SD) TB/U = Normal ( -2 SD s/d +2 SD) LK/U = Normal (-2 SD s/d +2 SD) BMI/U = Normal (-2 SD s/d +2 SD) BB/TB = Normal (-2 SD s/d + 2 SD) Status Gizi : Baik
KEPALA LEHER Bentuk dan ukuran Mata Telinga Hidung : normocephali : PBI diameter 3mm, Refleks Cahaya +/+ : tidak ada sekret : bentuk normal,septum deviasi(-), sekret(-), NCH (+) Mulut Tenggorokan Leher A/I/C/D : lidah kotor (+) : hiperemis faring(-) : trakea ditengah, kel. Tiroid tidak teraba : -/-/-/+
24
THORAX Inspeksi : gerak dada simetris, tampak retraksi intercostae dan retraksi subcostae pada kedua lapang paru JANTUNG Inspeksi Palpasi Perkusi : iktus kordis tidak tampak : iktus tidak kuat angkat, thrill(-) : batas jantung kiri : ICS V MCL sinistra Palpasi Perkusi Auskultasi : simetris,krepitasi (-) : sonor pada kedua lapang paru : Rh-/-, Wh-/-
batas jantung kanan : ICS IV PSL dextra batas atas Auskultasi : ICS II PSL dextra
ABDOMEN Inspeksi Palpasi : tampak distensi : nyeri tekan (+), hepar teraba 4 cm dibawah arcus costae, Perkusi Auskultasi : meteorismus(-), shifting dullness (+) : bising usus (+) : Akral hangat (+) edema (+),sianosis(-) : Turgor baik, ptechiae (+)
25
EKSTREMITAS KULIT
KGB
RESUME Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun datang dengan akut fever, somnolen (+), lemah (+), sakit kepala (+), nyeri perut (+), pegal-pegal (+), sesak (+), bintik merah pada kulit (+), perut membesar (+), mimisan (-), muntah (-), makan/minum(-), belum BAB sejak 5 hari yang lalu, BAK sedikit dan pekat seperti teh. Di lingkungan tetangga ada yang di rawat di RS karena Demam berdarah. Pada pemeriksaan fisik didapatkan :. Keadaan Umum Kesadaran Tanda vital : Frekuensi nadi Tekanan darah Frekuensi nafas suhu tubuh : 90x/menit lemah : 90/tak teraba mmHg : 45 x/menit : 38,2 C : lemah, tampak sakit berat : somnolen
pada pemeriksaan thorax tampak retraksi intercostae(+) retraksi subostae (+) pada kedua lapang paru, cor dalam batas normal, pada pemeriksaan abdomen didapatkan distensi(+), nyeri tekan (+), hepatomegali (+), shifting dullness(+) dan pada Extremitas tampak edema (+), akral hangat (+). DIAGNOSA Dengue hemorragic Fever grade III
DIAGNOSA BANDING
26
- Syok Septik PENATALAKSANAAN O2 2 lpm Infus RL 300 cc/30 menit 200 tpm makro apabila ada perbaikan cairan diturunkan menjadi 150 ml dalam 1 jam (50 tpm makro) Jika kondisi tetap stabil dan membaik maka cairan diturunkan menjadi 75 ml/jam (25 tpm makro) jika dalam 24 jam kondisi membaik dan stabil maka cairan diturunkan lagi menjadi 45 ml/jam (15 tpm makro) inj novalgin 3 x 150 mg inj parmadol 1 x 150 mg inj cefotaxime 3 x 500 mg inj ranitidine amp paracetamol syr 3 x 1 cth
27
HASIL PEMERIKSAAN DL
Tanggal
27 september 2012 28 september 2012 29 september 2012 01 oktober 2012
HCT
Trombosit
209
407
28
Tanggal 28-09-2012
S Panas (+) Mual(+) Muntah(-) Sakit perut (+) Pegal-pega(+) Sakit kepala (+) Lemas (+) Mengantuk terus(+) Gelisah(+) Ma/mi () BAK (+) BAB (-)
O A KU : Tampak DHF grade III lemah N: 116X/menit TD: 100/60 mmHg t : 37.8 C RR : 42x/menit Pmx Fisik : A/I/C/D : -/-/-/+ Thorax : retraksi intercostae(+) Retraksi subcostae,sonor,rh -/-,wh-/Cor : S1 S2 tunggal Abdomen: distended Nyeri tekan, hepar teraba 4 cm dibawah arcus costae, shifting dullness (+) BU (+) Lingk Abd 52cm Extremitas : akral hangat (+) Edema (+) Ptekie (-) KU : Tampak DHF grade III lemah N: 88X/menit TD: 100/70 mmHg t : 38,2 C RR : 45x/menit Pmx Fisik : A/I/C/D : -/-/-/+ Thorax : retraksi intercostae(+) Retraksi subcostae,sonor,rh -/-,wh-/Cor : S1 S2 tunggal Abdomen: distended Nyeri tekan, hepar teraba 4 cm dibawah arcus costae, shifting dullness (+) BU (+) Lingk Abd 54cm Extremitas : akral hangat (+) Edema (+) Ptekie (-)
P Terapi : O2 2 lpm Infus Asering 150 cc/1 jam 25 tpm Inj Novalgin 3x150 mg Inj cefotaxim 3 x 150 mg Paracetamol syr 3x1 cth
29-09-2012
Panas (+) Mual(+) Muntah(-) Sakit perut (+) Pegal-pega(+) Sakit kepala (+) Lemas (+) Mengantuk terus(+) Gelisah(+) Ma/mi () BAK (+) BAB (+)
Terapi : 02 2 lpm Infus asering 14 tpm Inj cefotaxim 3 x 150 mg Inj Novalgin 1x150 mg Inj ranitidine 3 x ampul Paracetamol syr 3x1 cth Urdafalk 3 x 150 mg
29
BAB 3 PEMBAHASAN Diagnosis demam berdarah dengue derajat III ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini penegakkan diagnosis DBD pada pasien ini berdasarkan adanya lebih dari dua kriteria yang memenuhi kriteria klinis dari WHO yakni demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, pembesaran hepar, terdapat manifestasi perdarahan berupa uji torniquet positif serta dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien dalam keadaan syok (terdapat kegagalan sirkulasi), yaitu keadaan umum yang buruk, gelisah, dengan tekanan darah 90/tak teraba, nadi yang cepat dan lemah, frekuensi nafas 45x/menit, akral dingin, dan perfusi jelek, hepatomegali, dan ascites. Dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil leukosit yang sedikit meningkat, nilai hemoglobin dan hematokrit cenderung dalam batas normal, serta didapatkan trombositopenia yaitu sebesar 71000/mm 3 dan pada pemeriksaan foto thorax didapatkan gambaran efusi pleura massif pada pulmo dextra. Hal ini merupakan kriteria laboratorium dari DBD. Efusi pleura pada foto thorax menunjukkan adanya kebocoran plasma yang memperkuat diagnosis DBD. Selain itu pada pasien ini juga didapatka tandatanda kegagalan sirkulasi seperti nadi yang lemah,tekanan darah menurun, akral dingin dan lembab. Hal ini menunjukkan bahwa pasien ini mengalami DBD derajat III. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa pada sindrom syok dengue, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum pasien dapat tiba-tiba
30
memburuk, yang biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yakni antara hari sakit ke 3- 7. Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda-tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba lembab dan dingin, serta nadi menjadi cepat dan lemah. Pasien seringkali akan mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya akan ditemukan adanya hemokonsentrasi yang bisa dilihat secara klinis ataupun laboratorium (peningkatan kadar hematokrit >20%) dan trombositopenia ( trombosit < 100.000/mm3). Terjadinya peningkatan kadar Hb merupakan bukti terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia sedang sampai berat yang disertai dengan hemokonsentrasi adalah temuan laboratorium yang khusus untuk DBD. Patofisiologi yang menunjukkan derajat keparahan DBD dan membedakannya dari demam dengue adalah kebocoran plasma yang yang bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), efusi, atau hipoproteinemia.
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan fisiologis berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok. Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam ke fae penurunan suhu yang
31
biasanya terjadi pada hari ke tiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi suportif dan simptomatik. Terapi supportif yang diberikan adalah peberian 02 melalui nasal 2 liter/menit. Pemberian oksigen harus dilakukan pada semua pasien syok. Selain itu juga dilakukan pemasangan infus cairan intravena berupa ringer laktat 300 ml dalam 30 menit pertama. Pengobatan awal cairan intravena pada keadaan syok adalah dengan larutan kristaloid 20 ml/kgBB dalam 30 menit. Pada pasien ini berat badannya adalah 15 kg sehingga ddapatkan jumlah cairan yang diberikan adalah 300 ml dalam 30 menit dengan tetesan infus sebesar 200 tetes per menit makro ((300/30) x 20). Apabila syok belum teratasi dan atau keadaan klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan diganti dengan koloid 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB/jam. Segera setelah terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid dengan tetesan 20 ml/kgBB. Pada pasien dengan kondisi membaik setelah diberikan cairan awal sehingga jumlah cairan yang diberikan dikurangi menjadi 150 ml dalam 1 jam ( 10 ml/kgBB/jam). Jika kondisi tetap stabil dan membaik maka cairan diturunkan menjadi 75 ml/jam (5ml/kgBB/jam) atau jika dalam 24 jam kondisi membaik dan stabil maka cairan diturunkan lagi menjadi 45 ml/jam ( 3 ml/kgBB/jam) atau 15 tpm makro dan dalam 48 jam setelah syok teratasi pemberian terapi cairan dapat dihentikan. Oleh karena perembesan plasma tidak konstan ( perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskuler kembali ke dalam intravaskular. Apabila saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distress pernafasan. Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk mengatasi demam dengan dosis sebanyak 150 mg peroral ( apabila suhu > 38 C ). Karena pasien ini mengeluhkan nyeri perut maka juga diberikan ranitidine dengan dosis 20 mg untuk sekali pemberian yang diberikan 3 kali sehari. Diberikan antibiotik dengan tujuan untuk mencegah
32
terjadinya infeksi sekunder yang mungkin terjadi akibat manipulasi yang dilakukan terhadap pasien seperti pemasangan jalur infus untuk pemberian cairan dan pengambilan sampel darah yang rutin dilakukan. Yang beresiko untuk terjadinya infeksi pada pasien ini. Selain itu berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 27 september 2012 didapatkan leukosit yang sedikit meningkat. Selain medikamentosa tidak lupa juga diberikan terapi non medikamentosa, yaitu minum air yang banyak, mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegitan pencegahan DBD dengan 3M menutup, menguras, mengubur barang barang yang dapat menampung air, menjaga asupan nutrisi yang seimbang, baik kualitas, maupun kuantitasnya. Pasien dapat dipulangkan apabila sudah tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit > 50.000/mm3 dan cenderung meningkat serta tidak dijumpai adanya distress pernafasan.
33
1. Keterangan Umum Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Agama Masuk RS Tanggal Pemeriksaan : An. MY : 14 tahun : Laki-laki : kediri : Islam : 23 September 2012 : 23 September 2012
2.
Anamnesis Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 23 September 2012.
2.1
2.2
Px datang dengan keluhan utama panas tinggi sejak 4 hari sebelum MRS . Panas timbul mendadak, panas bersifat naik turun, panas turun setelah diberi parasetamol dan kemudian panas naik lagi. Ibu pasien mengatakanKemarin sore panas sempat turun dan hari ini panas naik lagi. Sejak badan panas 4 hari yang lalu pasien juga mengeluh sakit kepala, pegal-pegal, sakit perut, mual, dan muntah, muntah 5x setiap hari muntah setiap habis makan /minum, dan muntahannya berupa makanan dan minuman yang masuk. Pagi tadi pasien mimisan, darah yang keluar sedikit, dan timbul bintik bintik kemerahan pada kedua tangan dan kaki. Pasien belum BAB sejak 4 hari sebelum MRS, BAK lancar seperti teh. Pasien Tidak mau makan dan minum sejak mulai sakit. 2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Disangkal 2.4 Riwayat Penyakit Keluarga (RPK) Disangkal 2.5 Riwayat Penyakit Sosial (RPSos) Disangkal 2.6 Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Pasien dikandung kurang bulan, ibu ANC ke bidan tetapi tidak rutin kontrol. Ibunya tidak ada kelainan selama masa kehamilan Pasien lahir di bidan, kurang bulan, langsung menangis, tidak terdapat badan biru & kuning setelah lahir. BBL 2200 gr, PBL 2.7 Riwayat Pertumbuhan menurut ibu pasien pertambahan berat badan dan tinggi badan pasien terus meningkat sampai sekarang. Penimbangan berat dan panjang badan pada masa bayi dilakukan di posyandu. 2.8 Riwayat Perkembangan
35
mengangkat kepala
:-
Pasien tumbuh aktif seperti anak seusianya termasuk aktif bermain 2.9 Riwayat imunisasi Hepatitis B BCG DPT POLIO CAMPAK :+ :+ :+ :+ :+
2.10 Riwayat makan Pasien mendapat ASI sejak lahir sampai usia 2 tahun. Saat sebelum sakit pasien makan banyak 3 kali sehari atau lebih, porsi cukup, Pasien makan dengan berbagai lauk setiap hari, sayur buah dan susu. Namun, saat sakit nafsu makan pasien menurun. 3. 3.1 Pemeriksaan Fisik Status Generalisata Keadaan umum Kesadaran GCS : tampak sakit sedang : compos mentis : 456
36
Vital Sign
: Tekanan darah Nadi RR Suhu : 100/70 mmHg : 90 x/menit lemah : 24 x/menit : 38,2C
KEPALA LEHER Bentuk dan ukuran Mata Telinga Hidung : normocephali : PBI diameter 3mm, Refleks Cahaya +/+ : tidak ada sekret : bentuk normal,septum deviasi(-), sekret(-), NCH (-) Mulut Tenggorokan Leher A/I/C/D : lidah kotor (+) : hiperemis faring(-) : trakea ditengah, kel. Tiroid tidak teraba : -/-/-/-
: gerak dada simetris, retraksi (-) : simetris,krepitasi (-) : sonor pada kedua lapang paru : Rh-/-, Wh-/-
Palpasi Perkusi
: iktus tidak kuat angkat, thrill(-) : batas jantung kiri : ICS V MCL sinistra
batas jantung kanan : ICS IV PSL dextra batas atas ABDOMEN Inspeksi Palpasi : distensi (-) : nyeri tekan (-), hepatomegali 2 cm dibawah arcus costae Perkusi Auskultasi : meteorismus(-) : bising usus (+) : Akral hangat (+) edema (-),sianosis(-) : Turgor baik, ptechiae (+) : cervical, inguinal, axilla tidak teraba Auskultasi : ICS II PSL dextra
RESUME Seorang anak laki-laki berusia 14 tahun datang dengan akut fever, compos mentis (+), lemah (+), sakit kepala (+), nyeri perut (+), pegal-pegal (+), sesak (-), bintik merah pada kulit (+), mimisan (+), mual (+), muntah (+), makan/minum() belum BAB sejak 4 hari yang lalu, BAK (+) . Pada pemeriksaan fisik didapatkan : Keadaan Umum Kesadaran Tanda vital : Frekuensi nadi : 90x/menit
38
pada pemeriksaan didapatkan lidah kotor (+), thorax dan cor dalam batas normal, pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan distensi, nyeri tekan (-), hepatomegali 2 cm, dan pada Extremitas edema (-), akral hangat (+). DIAGNOSA Dengue hemorragic Fever grade II DIAGNOSA BANDING - Demam tifoid - malaria PENATALAKSANAAN Infus RL 175 ml/ I jam (60 tpm makro) apabila ada perbaikan cairan diturunkan menjadi 125 ml dalam 1 jam (41 tpm makro) Jika kondisi tetap stabil dan membaik maka cairan diturunkan menjadi 75 ml/jam (25 tpm makro) bila cairan awal yang diberikan dan tidak ada perbaikan tetesan dinaikkan menjadi 250 ml/jam (83 tpm makro) apabila tanda vital tidak stabil terdapat distress nafas, ht naik, dan tekanan nadi < 20 mmHg berikan koloid 500 ml/jam (166 tpm makro) jika ada perbaikan diberikan cairan kristaloid lagi dan tetesan dikurangi menjadi 5 ml/jam dan 3 ml/jam. inj amoxilin 3 x 500 mg inj ranitidine 2 x amp inj ondancentron 2 x amp
PEMERIKSAAN PENUNJANG
39
HCT
Trombosit
50.3% 20.000 39.1% 18000 36.6% 26000 41.1% 26000 35.9% 32000 40.8% 50000
40
41
Tanggal 24-09-2012
S Panas (+) Mual(-) Muntah(-) Mimisan(-) Sakit perut (-) Pegal-pegal(-) Sakit kepala (-) Lemas (+) Ma/mi (+/+) BAK (+) BAB (-)
O A KU : CM DHF grade II N: 90X/menit TD: 100/70 mmHg t : 36 ,7C RR : 24x/menit Pmx Fisik : A/I/C/D : -/-/-/Thorax : simetris,krepitasi(), sonor, rh -/-,wh-/Cor : S1 S2 tunggal Abdomen: BU (+) met (-) hepatomegali 2cm dibawah arcus costae Extremitas : akral hangat (+) Edema (-) Ptekie(+) KU : CM DHF grade II N: 92X/menit TD: 110/70 mmHg t : 37 C RR : 22x/menit Pmx Fisik : A/I/C/D : -/-/-/Thorax : Thorax : simetris,krepitasi(), sonor, rh -/-,wh-/Cor : S1 S2 tunggal Abdomen: BU (+) met(-)hepatomega li 2cm dibawah arcus costae Extremitas : akral hangat (+) Edema (-) Confalescence petechial rash (+)
P Terapi : Infus asering 60 tpm/I jam cek DL 20 tpm Inj Ranitidne 2 x amp Inj ondancentron 2 x amp Inj amox 3 x 500 mg
25-09-2012
Panas (-) Mual(-) Muntah(-) Mimisan(-) Sakit perut (-) Pegal-pega(-) Sakit kepala (-) Lemas (-) Ma/mi (+/+) BAK (+) BAB (+)
Terapi : Infus asering 15 tpm Inj ranitidine 2 x ampul Vit B1B6B12 3 X1 Vit B complex 3 x1
26-09-2012
Panas (-) Mual(-) Muntah(-) Mimisan(-) Sakit perut (-) Pegal-pega(-) Sakit kepala (-) Lemas (-) Ma/mi (+/+) BAK (+)
KU : Tampak DHF grade II lemah N: 90X/menit TD: 110/70 mmHg t : 36,3 C RR : 24x/menit Pmx Fisik : A/I/C/D : -/-/-/Thorax :
Terapi : Inj ranitidine 2 x amp Inj amox 3 x 500 mg 42 B1B6B12 3 X 1 Vit B complex 3 x1
BAB 3 PEMBAHASAN Diagnosis demam berdarah dengue derajat II ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini penegakkan diagnosis DBD pada pasien ini berdasarkan adanya lebih dari dua kriteria yang memenuhi kriteria klinis dari WHO yakni demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, sakit kepala, pegal-pegal, nyeri perut, mual, dan muntah. terdapat manifestasi perdarahan berupa uji torniquet positif dan terdapat perdarahan spontan berupa epistaksis, dan bintik-bintik merah pada kulit. serta dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien dalam keadaan umum lemah, terdapat hepatomegali 2 cm dibawah arcus costae, dan ptekie (+). Dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil leukosit yang menurun, nilai hemoglobin dan hematokrit yang meningkat serta didapatkan trombositopenia yaitu sebesar 71000/mm3. Hal ini merupakan kriteria laboratorium dari DBD. hemoglobin dan hematokrit yang meningkat menunjukkan adanya hemokonsentrasi, peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma. Hal ini memperkuat diagnosis demam berdarah dengue. Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa pada demam berdarah dengue grade II , yaitu ditandai dengan demam disertai gejala tidak khas dan ditandai manifestasi perdarahan yaitu uji torniquet positif dan disertai perdarahan spontan dikulit atau perdarahan
43
lain. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya akan ditemukan adanya hemokonsentrasi yang bisa dilihat secara klinis ataupun laboratorium (peningkatan kadar hematokrit >20%) dan trombositopenia ( trombosit < 100.000/mm3). Terjadinya peningkatan kadar Hb merupakan bukti terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia sedang sampai berat yang disertai dengan hemokonsentrasi adalah temuan laboratorium yang khusus untuk DBD. Patofisiologi yang menunjukkan derajat keparahan DBD dan membedakannya dari demam dengue adalah kebocoran plasma yang yang bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), efusi, atau hipoproteinemia. Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan fisiologis berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok. Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam ke fae penurunan suhu yang biasanya terjadi pada hari ke tiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi suportif dan simptomatik. Terapi supportif yang diberikan adalah pemasangan infus cairan intravena berupa ringer laktat 175 ml dalam I jam pertama. Pengobatan awal cairan intravena adalah dengan larutan kristaloid 7 ml/kgBB dalam I jam. Pada pasien ini berat badannya adalah 25 kg sehingga ddapatkan jumlah cairan yang diberikan adalah 175 ml dalam I jam. dengan tetesan infus sebesar 60 tetes per menit makro ((175/60) x 20). Apabila pasien mengalami perbaikan, tidak gelisah, nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan Ht turun 2 kali setelah diberikan cairan awal sehingga jumlah cairan yang diberikan dikurangi menjadi 125 ml dalam 1 jam ( 5 ml/kgBB/jam). Jika kondisi tetap stabil dan membaik maka diturunkan lagi menjadi 75 ml/jam (3 ml/kgBB/jam) atau 25 tpm makro dan dalam 48 jam setelah syok teratasi pemberian terapi cairan dapat dihentikan. Oleh karena perembesan plasma tidak konstan ( perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit.
44
Penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti
perlu
mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskuler kembali ke dalam intravaskular. Apabila saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distress pernafasan. Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk mengatasi demam dengan dosis sebanyak 250 mg peroral ( apabila suhu > 38 C ). Karena pasien ini mengeluhkan nyeri perut maka juga diberikan ranitidine dengan dosis 25 mg untuk sekali pemberian yang diberikan 3 kali sehari. Untuk mengatasi mual dan muntah pada pasien maka diberikan ondansentron dengan dosis 2 x 4 mg iv. Selain itu diberikan antibiotik dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder yang mungkin terjadi akibat manipulasi yang dilakukan terhadap pasien seperti pemasangan jalur infus untuk pemberian cairan dan pengambilan sampel darah yang rutin dilakukan. Yang beresiko untuk terjadinya infeksi pada pasien ini. Selain itu berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 27 september 2012 didapatkan leukosit yang sedikit meningkat. Selain medikamentosa tidak lupa juga diberikan terapi non medikamentosa, yaitu minum air yang banyak, mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegitan pencegahan DBD dengan 3M menutup, menguras, mengubur barang barang yang dapat menampung air, menjaga asupan nutrisi yang seimbang, baik kualitas, maupun kuantitasnya. Pasien dapat dipulangkan apabila sudah tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit > 50.000/mm3 dan cenderung meningkat serta tidak dijumpai adanya distress pernafasan.
45